Anda di halaman 1dari 21

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT TENTANG PASIEN DENGAN

EPILEPSI
Tugas Keperawatan ini Disusun Untuk Melengkapi Mata Kuliah Gawat Darurat
Dosen : Ns. Wijaya ,M.Kep.,

Oleh:

Oleh:

1. Bellavioita (2012.C.04a.0286) 10. Ice silvia (2011.C.04a.0176)


2. Elvi (2012.C.04a.0293) 11. Josevan S.(2012.C.04a.0308)
3. Endang (2012.C.04a.0294) 12. Lola melianty (2012.C.04a.0311)
13. Mega (2012.C.04a.0313)
4. Fitriani (2012.C.04a.0296)
14. Naveriana N (2012.C.04a.0317)
5. Frista (2012.C.04a.0298) 15. Nyai (2012.C.04a.0321)
6. Guruh (2012.C.04a.0299) 16. Siwi (2012.C.04a0332)
7. Hendra (2012.C.04a.0301) 17. Wina monica (2012.C.04a.0338)
8. Heri (2012.C.04a.0302)
9. Hero (2012.C.04a.0303)

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI S-1 KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yangdicirikan oleh
terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala.Bangkitan dapat diartikan sebagaimodifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal darisekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan
berirama. Bangkitnyaepilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih
dominan dari pada proses inhibisi.Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen,
disinhibisi, pergeserankonsentrasi ion ekstraselular, voltage-gated ion-channel opening,
danmenguatkan sinkroni neuron sangat penting artinya dalam hal inisiasi
dan perambatan aktivitas bangkitan epileptik.Aktivitas neuron diatur olehkonsentrasi ion
didalam ruang ekstraselular dan intraselular, dan oleh gerakankeluar masuk ion-ion
menerobos membran neuron.S e t i a p o r a n g p u n y a r e s i k o s a t u d i d a l a m
5 0 u n t u k m e n d a p a t epilepsi.Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko
lebihtinggi.Epilepsi dapat menyerang ana k-anak, orang dewasa, para orang
tua bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih
tinggidibandingkan pada wanita, yaitu 1 -3% penduduk akan menderita
epilepsiseumur hidup.Menurut World Health Organization (WHO) sekira 50
juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi (2004 Epilepsy.com).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi Epilepsi ?
2. Apa saja klasifikasi Epilepsi?
3. Apa saja Etiologi Epilepsi?
4. Apa saja Manifestasi klinis Epilepsi?
5. Apa saja Patofisiologi Epilepsi?
6. Bagaimana Proses keperatawatan Epilepsi ?
7. Bagaimana Diagnosa keperawatan Epilepsi?
8. Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
9. Pertolongan pertama Epilepsi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan tentang epilepsi.
1.3.2 Tujuan Khusus
2. Mengetahui definisi Epilepsi.
3. Mengetahui klasifikasi Epilepsi
4. Mengetahui Etiologi Epilepsi.
5. Mengetahui Manifestasi klinis Epilepsi
6. Mengetahui Patofisiologi Epilepsi.
7. Mengetahui keperatawatan Epilepsi
8. Mengetahui Diagnosa keperawatan Epilepsi.
9. Mengetahui Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
10. Mengetahui Pertolongan pertama Epilepsi.
BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1. Definisi
Menurut Hippocrates, epilepsy didefenisikan sebagai masalah yang ada kaitannya
dengan otak (Sylvia & Lorraine, Patofisiologi).
Epilepsy ialah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal
sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi. Serangan kejang
yang merupakan gejala atau manifestasi utama epilepsi dapat diakibatkan karena
kelainan fungsional (motorik dan sensorik/psikis). Serangan tersebut tidak lama, tidak
terkontrol serta timbul secara episodic dan berkaitan dengan pengeluaran impuls oleh
serebral yang berlebihan dan berlangsung lokal.
Status epilepsi adalah aktivitas kejang yang berlangsung terus-menerus lebih dari
30 menit tanpa pulihnya kesadaran. Dalam praktek klinis lebih mendefenisikannya
sebagai setiap aktivitas serangan kejang yang menetap selama lebih dari 10 menit
(Kapita Selekta jilid 2, edisi ketiga).
Status epilepsy menyatakan suatu keadaan dimana terjadi serangan yang
berturut-turut tanpa jeda pemulihan antara kejang yang satu dengan kejang yang lainnya
(Sylvia & Lorraine, Patofisiologi). Status epilepsy merupakan keadaan dimana
terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihankesadaran diantara
kejang atau aktivitas kejang yang berlangsunglebih dari 30 menit ( Konvensi Epilepsi
Foundation of Amerika (EFA)).
Status epilepticus kejang umum didefinisikan sebagai 30 menit aktivitas kejang
terus menerus atau serangkaian serangan tanpa kembali ke kesadaran penuh antara
kejang.

2.2. Etiologi
Secara umum penyebab epilepsi belum diketahui dengan jelas (idiopatik). Penelitian
yang dilakukan oleh para ahli belum mampu menjawab secara pasti penyebab terjadinya
epilepsi. Namun ada beberapa faktor yang sering mengakibatkan terjadinya kejang
serangan epilepsi yaitu; beberapa penyakit herediter (seperti sklerosis tuberosa,
neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal) cedera kepala, beberapa penyakit
infeksi yang disebabkan bakteri dan virus pada otak, kelainan pembuluh darah, dan
intoksikasi (mis: timbal, kamper, fenotiazin).
Adapun beberapa faktor yang menjadi faktor prepitasi adalah;
1) faktor sensoris (seperti cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang
mengejutkan, air panas)
2) faktor sistemis (seperti demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu),
3) faktor mental (seperti stress dan gangguan emosi).
Status epilepsy biasa disebabkan infark otak mendadak, anoksia otak, tumor otak,
atau menghentikan obat anti kejang. Pada penderita yang sebelumnya tidak mempunyai
riwayat epilepsy mungkin mempunyai riwayat trauma kepala, radang otak, tumor otak
terutama pada lobus frontalis.
Pada pasien yang mempunyai riwayat epilepsy mempunyai faktor pencetus yang
umumnya karena menghentikan obat sekehendak hatinya.
2.3 Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari
korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori utama
lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus.
Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum
(tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial
(sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum
(overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial
kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap
kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak, anak-anak dan dewasa,
hanya dewasa).
Klasifikasi status epileptikus adalah sebagai berikut:
1) Overt generalized convulsive status epilepticus
Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran
penuh.
1. Tonik klonik
2. Tonik
3. Klonik
4. Mioklonik
2) Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized
convulsive status epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik.
3) Simple/partial status epilepticus (consciousness preserved)
1. Simple motor status epilepticus
2. Sensory status epilepticus
3. Aphasic status epilepticus
4) Nonconvulsive status epilepticus(consciousness impaired)
1. Petit mal status epilepticus
2. Complex partial status epilepticus
2.4 Manifestasi Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei
ditemukan kira-kira 44 sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
1) Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan.Kejang didahului dengan tonik-klonik
umum atau kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum.Pada status
tonik-klonik umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus.Pasien menjadi
sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2.Adanya takikardi dan
peningkatan tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan
peningkatan laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam
pertama pada kasus yang tidak tertangani.
2) Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului
fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3) Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik.Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan
gambaran dari Lenox-Gestaut Syndrome.

4) Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati.Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran.Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5) Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu
keadaan mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupaislow motion
movie dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat
kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak.Pada EEG terlihat aktivitas
puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat.Respon terhadap
status epileptikus Benzodiazepin intravena didapati.
6) Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
7) Status Epileptikus Parsial Sederhana
1. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari
pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai
dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
2. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

8) Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode.Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara,
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan.Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
2.3.Patofisiologi
Secara umum, epilepsy terjadi karena menurunnya potensial membrane sel saraf
akibat proses patologik dalam otak yang selanjutnya menyebabkan terlepasnya
muatan listrik dari sel saraf tersebut.
Gejala-gejala yang ditimbulkan akibat serangan epilepsi sebagian karena
serangan epilepsi, sebagian karena otak mengalami kerusakan dan berat atau
ringannya gangguan tersebut tergantung dari lokasi dan keadaan pathologinya. Bila
terjadi lesi pada bagian otak tengah, thalamus dan korteks serebri kemungkinan
bersifat epileptogenik. Sedangkan lesi pada serebelum dan batang otak biasanya
tidak meyebabkan serangan epileptik.
Serangan epilepsi terjadi karena adanya lepasan muatan listrik yang berlebihan
dari neuron-neuron di susunan syaraf pusat yang terlokalisir pada neuron-neuron
tersebut. Gangguan abnormal dari lepasnya muatan listrik ini terjadi karena adanya
gangguan keseimbangan antara proses eksesif/eksitasi dan inhibisi pada interaksi
neuron. Selain itu hal tersebut diatas juga dapat disebabkan karena gangguan pada sel
neuronnya sendiri atau transmisi sinaptiknya. Transmisi sinaptik oleh
neurotransmitter yang bersifat eksitasi atau inhibitor dalam keadaan gangguan
keseimbangan akan mempengaruhi polarisasi membran sel, sehingga jika sampai
pada tingkat membran sel maka neuron epileptik ditandai oleh proses biokimia
tertentu yaitu; (1) ketidakstabilan membran sel syaraf sehingga sel mudah diaktifkan,
(2) neuron yang hipersensitivitas dengan ambang yang menurun sehingga mudah
terangsang secara berturut-turut, (3) kemungkinan terjadi polarisasi yang berlebihan,
hyperpolarisasi atau terhentinya repolarisasi, karena terjadi perbedaan potensial
listrik lapisan intra sel dan ekstra sel dimana lapisan intra sel lebih rendah, (4) adanya
ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan kimia dari neuron yang
menyebabkan membran neuron mengalami depolarisasi.
Neurotransmiter yang bersifat inhibisi akan menimbulkan keadaan depolarisasi
yang akan melepaskan muatan listrik secara berlebihan yaitu asetikolin, noradrenalin,
dopamine dan hidroksitriptamin.
Penyebaran epileptik dari neuron-neuron kebagian otak lain dapat terjadi oleh
gangguan pada kelompok neuron inhibitor yang berfungsi menahan pengaruh neuron
lain sehingga terjadi sinkronisasi dan aktivasi yang berulang-ulang sehingga terjadi
perluasan sirkuit kortikokortikal melalui serabut asosiasi atau ke kontralateral melalui
korpus kalosum, projeksi thallamokortikal difusi sehingga klien kehilangan
kesadaran atau gangguan pada formatio retikularis sehingga sistem motoris
kehilangan kontrol normalnya, dan menimbulkan kontraksi otot polos.
2.6 Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus
Pada : awal menit
1) Bersihkan jalan nafas, jika ada sekresi berlebihan segera bersihkan (bila perlu
intubasi)
1. Periksa tekanan darah
2. Mulai pemberian Oksigen
3. Monitoring EKG dan pernafasan
4. Periksa secara teratur suhu tubu
5. Anamnesa dan pemeriksaan neurologis
2) Kirim sampel serum untuk evaluasi elektrolit, Blood Urea Nitrogen, kadar glukosa,
hitung darah lengkap, toksisitas obat-obatan dan kadar antikonvulsan darah; periksa
AGDA (Analisa Gas Darah Arteri)
3) Infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat
4) Berikan 50 mL Glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia, dan Tiamin 100 mg
IV atau IM untuk mengurangi kemungkinan terjadinya wernickes encephalophaty
5) Lakukan rekaman EEG (bila ada)
6) Berikan Lorazepam (Ativan) 0,1 sampai 0,15 mg per kg (4 sampai 8 mg) intravena
dengan kecepatan 2 mg per menit atau Diazepam 0,2 mg/kg (5 sampai 10 mg). Jika
kejang tetap terjadi berikan Fosfenitoin (Cerebyx) 18 mg per kg intravena dengan
kecepatan 150 mg per menit, dengan tambahan 7 mg per kg jika kejang berlanjut. Jika
kejang berhenti, berikan Fosfenitoin secara intravena atau intramuskular dengan 7 mg
per kg per 12 jam. Dapat diberikan melalui oral atau NGT jika pasien sadar dan dapat
menelan.
Pada : 20 sampai 30 menit, jka kejang tetap berlangsung
1) Intubasi, masukkan kateter, periksa temperature
2) Berikan Fenobarbital dengan dosis awal 20 mg per kg intravena dengan kecepatan
100 mg per menit

Pada : 40 sampai 60 menit, jika kejang tetap berlangsung

Mulai infus Fenobarbital 5 mg per kg intravena (dosis inisial), kemudian bolus


intravena hingga kejang berhenti, monitoring EEG; lanjutkan infus Pentobarbital 1 mg per kg
per jam; kecepatan infus lambat setiap 4 sampai 6 jam untuk menetukan apakah kejang telah
berhenti. Pertahankan tekanan darah stabil.
-atau-
Berikan Midazolam (Versed) 0,2 mg per kg, kemudian pada dosis 0,75 sampai 10 mg per kg
per menit, titrasi dengan bantuan EEG.
-atau-
Berikan Propofol (Diprivan) 1 sampai 2 mg per kg per jam. Berikan dosis pemeliharaan
berdasarkan gambaran EEG

2.4. Pertolongan pertama epilepsi

Posisi Pemulihan

Setelahnya serangan kejang berhenti . . .


Berlututlah di sebelah pasien dan tekuk lengannya ke atas

Perlahan selipkan telapak tangannya yang satu lagi di samping pipinya dan tahan
Dengan tangan Anda yang lain, tarik lututnya ke arah Anda dan gulingkan badannya
perlahan. Lalu majukan lututnya hingga menyentuh lantai

Tengadahkan kepalanya agar saluran napasnya tidak tersumbat


BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
2.5.Proses Keperawatan
1. Pengkajian
1) Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
2) Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental pasien dengan
berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama pasien. Perhatikan respon pasien. Bila
terjadi penurunan kesadaran, lakukan pengkajian selanjutnya.
Pengkajian kesadaran dengan metode AVPU meliputi :
1. Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan sekelilingnya.
2. Respon velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3. Respon nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4. Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap stimulus verbal dan nyeri ketika
dicubit dan ditepuk wajahnya
3) Pengkajian Primer
Pengkajian primer adalah pengkajian cepat (30 detik) untuk mengidentifikasi dengan
segera masalah aktual dari kondisi life treatening (mengancam kehidupan).
Pengkajian berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal
memugkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan :
1. Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
2. Breathing dan ventilasi
3. Circulation dengan kontrol perdarahan
4. Disability
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal.
Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan gangguan servikal :
1. Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
2. Distres pernafasan
3. Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase iktal, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya sehingga
menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah, mulut berbusa, dan pada fase
posiktal, biasanya ditemukan perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut.
2) Breathing
Pada fase iktal, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan sekresi mukus,
dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada fase post iktal, klien mengalami apneu
3) Circulation
Pada fase iktal terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam
keadaan tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau karakteristik
dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien merasa bingung, dan tidak teringat
kejadian saat kejang
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks, apakah ada
cedera tambahan akibat kejang
4) Pengkajian sekunder
1. Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa,alamat,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian dan diagnosa
medis
2. Keluhan utama: Klien masuk dengan kejang, dan disertai penurunan kesadaran
3. Riwayat penyakit: Klien yang berhubungan dengan faktor resiko bio-psiko-
spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada usia berapa. Frekuansi serangan, ada
faktor presipitasi seperti suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah
pernah menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran, kejang, cedera
otak operasi otak. Apakah klien terbiasa menggunakan obat-obat penenang atau
obat terlarang, atau mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi
dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri, ketidak berdayaan,
tidak mempunyai harapan dan selalu waspada/berhati-hati dalam hubungan
dengan orang lain.
a) Riwayat kesehatan
b) Riwayat keluarga dengan kejang
c) Riwayat kejang demam
d) Tumor intrakranial
e) Trauma kepala terbuka, stroke
4. Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
5. Pemeriksaan fisik
a) Kepala dan leher
Sakit kepala, leher terasa kaku
b) Thoraks
Pada klien dengan sesak, biasanya menggunakan otot bantu napas
c) Ekstermitas
Keletihan,, kelemahan umum, keterbatasan dalam beraktivitas, perubahan
tonus otot, gerakan involunter/kontraksi otot
d) Eliminasi
Peningkatan tekanan kandung kemih dan tonus sfingter. Pada post iktal terjadi
inkontinensia (urine/fekal) akibat otot relaksasi
e) Sistem pencernaan
Sensitivitas terhadap makanan, mual/muntah yang berhubungan dengan
aktivitas kejang, kerusakan jaringan lunak
3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di
endotrakea, peningkatan sekresi saliva
3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat
3.3 Intervensi dan rasional
1. Resiko cedera b.d aktivitas kejang yang tidak terkontrol (gangguan keseimbangan).
Tujuan : Klien dapat mengidentifikasi faktor presipitasi serangan dan dapat
meminimalkan/menghindarinya, menciptakan keadaan yang aman untuk klien,
menghindari adanya cedera fisik, menghindari jatuh.
Kriteria hasil : tidak terjadi cedera fisik pada klien, klien dalam kondisi aman, tidak
ada memar, tidak jatuh
Intervensi Rasional
1. Identivikasi factor lingkungan yang 1. Barang- barang di sekitar pasien dapat
memungkinkan resiko terjadinya membahayakan saat terjadi kejang
cedera 2. Mengidentifikasi perkembangan atau
2. Pantau status neurologis setiap 8 jam penyimpangan hasil yang diharapkan
3. Jauhkan benda- benda yang dapat 3. Mengurangi terjadinya cedera seperti
mengakibatkan terjadinya cedera pada akibat aktivitas kejang yang tidak
pasien saat terjadi kejang terkontrol
4. Pasang penghalang tempat tidur 4. Penjagaan untuk keamanan, untuk
pasien mencegah cidera atau jatuh
5. Letakkan pasien di tempat yang 5. Area yang rendah dan datar dapat
rendah dan datar mencegah terjadinya cedera pada pasien
6. Tinggal bersama pasien dalam waktu 6. Memberi penjagaan untuk keamanan
beberapa lama setelah kejang pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
7. Berikan obat anti konvulsan sesuai kembali
advice dokter 7. Memberi penjagaan untuk keamanan
pasien untuk kemungkinan terjadi kejang
kembali

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sumbatan lidah di


endotrakea, peningkatan sekresi saliva.
Tujuan : jalan nafas menjadi efektif
Kriteria hasil : nafas normal (16-20 kali/ menit), tidak terjadi aspirasi, tidak ada
dispnea
Intervensi Rasional
1. Anjurkan klien untuk mengosongkan 1. Menurunkan resiko aspirasi atau
mulut dari benda / zat tertentu / gigi masuknya sesuatu benda asing ke
palsu atau alat yang lain jika fase aura faring.
terjadi dan untuk menghindari rahang 2. meningkatkan aliran (drainase) sekret,
mengatup jika kejang terjadi tanpa mencegah lidah jatuh dan menyumbat
ditandai gejala awal. jalan nafas.
2. Letakkan pasien dalam posisi miring, 3. untuk memfasilitasi usaha bernafas /
permukaan datar. ekspansi dada.
3. Tanggalkan pakaian pada daerah 4. Mengeluarkan mukus yang berlebih,
leher / dada dan abdomen. menurunkan resiko aspirasi atau
4. Melakukan suction sesuai indikasi. asfiksia.
5. Berikan oksigen sesuai program 5. Membantu memenuhi kebutuhan
terapi oksigen agar tetap adekuat, dapat
menurunkan hipoksia serebral sebagai
akibat dari sirkulasi yang menurun
atau oksigen sekunder terhadap
spasme vaskuler selama serangan
kejang.

3. Isolasi sosial b.d rendah diri terhadap keadaan penyakit dan stigma buruk penyakit
epilepsi dalam masyarakat.
Tujuan: mengurangi rendah diri pasien
Kriteria hasil:
adanya interaksi pasien dengan lingkungan sekitar
menunjukkan adanya partisipasi pasien dalam lingkungan masyarakat
Intervensi Rasional
1. Identifikasi dengan pasien, factor- 1. Memberi informasi pada perawat
factor yang berpengaruh pada perasaan tentang factor yang menyebabkan
isolasi sosial pasien. isolasi sosial pasien.
2. Memberikan dukungan psikologis dan 2. Dukungan psikologis dan motivasi
motivasi pada pasien dapat membuat pasien lebih percaya
3. Kolaborasi dengan tim psikiater diri
4. Anjurkan keluarga untuk memberi 3. Konseling dapat membantu mengatasi
motivasi kepada pasien perasaan terhadap kesadaran diri
5. Memberi informasi pada keluarga dan sendiri.
teman dekat pasien bahwa penyakit 4. Keluarga sebagai orang terdekat
epilepsi tidak menular pasien, sangat mempunyai pengaruh
besar dalam keadaan psikologis
pasien.
5. Menghilangkan stigma buruk
terhadap penderita epilepsi (bahwa
penyakit epilepsi dapat menular).
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi juga merupakan gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang
baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi dibandingkan pada wanita, yaitu
1-3% penduduk akan menderita epilepsi seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara
100 populasi (1%) penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya
telah menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health
Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap epilepsi.
Pengklasifikasian epilepsi atau kejang ada dua macam, yaitu epilepsi parsial dan
epilepsi grandmal. Epilepsi parsial dibedakan menjadi dua, yaitu epilepsi parsial
sederhana dan epilepsi parsial kompleks. Epilepsi grandmal meliputi epilepsi tonik,
klonik, atonik, dan myoklonik. Epilepsi tonik adalah epilepsi dimana keadaannya
berlangsung secara terus-menerus atau kontinyu. Epilepsi klonik adalah epilepsi dimana
terjadi kontraksi otot yang mengejang. Epilepsi atonik merupakan epilepsi yang tidak
terjadi tegangan otot. Sedangkan epilepsi myoklonik adalah kejang otot yang klonik dan
bisa terjadi spasme kelumpuhan.

4.2 Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa keperawatan pada khususnya mengetahui pengertian, tindakan penanganan
awal, serta mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan epilepsi. Oleh karena
penyandang epilepsi sering dihadapkan pada berbagai masalah psikososial yang
menghambat kehidupan normal, maka seyogyanya kita memaklumi pasien dengan
gangguan epilepsi dengan cara menghargai dan menjaga privasi klien tersebut. Hal itu
dilaksanakan agar pasien tetap dapat bersosialisasi dengan masyarakat dan tidak akan
menimbulkan masalah pasien yang menarik diri.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Epilepsi. www.nersunhas.com. (Diakses 06 Juli 2015).

Dychan. 2008. Epilepsi. www.medicastore.com. (Diakses 06 Juli 2015).

NANDA, 2001, Nursing Diagnosis: Definition & Classification 2001-


2002, Philadelphia, North American Nursing Diagnosis Association

Pinzon, Rizaldy. 2007. Dampak epilepsi pada aspek kehidupan penyandangnya.


SMF Saraf RSUD Dr. M. Haulussy, Ambon, Indonesia.

Piogama. 2009. Epilepsi. www.wikipedia.com. (Diakses 06 Juli 2015).

Sri D, Bambang. 2007. Epilepsi. Buku Ajar Ilmu Penyakit Syaraf PSIK
UNSOED.

Turana, Yuda. 2007. Epilepsi dan gangguan fungsi


kognitif. www.medikaholistikcom. (Diakses 06 Juli 2015).

Anda mungkin juga menyukai