Anda di halaman 1dari 11

Manfaat Terapi Elektrokonvulsif pada Gangguan Bipolar Episode Campuran

Miguel Palma, Berta Ferreira, Nuno Borja Santos, Bruno Trancas, Ceu Monteiro, dan Graca Cardoso

Abstrak

Pendahuluan:
Episode campuran memiliki presentasi tersering gangguan bipolar dan berhubungan dengan resistensi
yang tinggi terhadap psikofarmakologi. Bukti yang terbatas mendukung penggunaan ECT pada pasien-
pasien ini. Tujuan penelitian ini adalah melaporkan pengalaman gangguan episode kini campuran dengan
ECT.

Metode:
Data retrospektif dikumpulkan dari semua pasien bipolar yang mengikuti terapi ECT akut, antara Juni
2006 sampai Juni 2011. Tiga kelompok dibuat sesuai polaritas afek episode. Penilaian CGI digunakan
untuk menentukan remisi klinis dan variabel klinis dan demografis dibandingkan di tiap kelompok. Hasil
jangka panjang dievaluasi melalui tingkat readmisi, dengan mempertimbangkan penggunaan
berkelanjutan dari ECT.

Hasil:
Selama jangka waktu penelitian, total 50 terapi ECT dilakukan pada 41 pasien bipolar. Seluruh episode
afektif, kecuali satu episode campuran, menunjukkan respon klinis yang positif. Pasien dengan episode
campuran cenderung lebih muda dan memiliki masa perawatan di rumah sakit yang lebih awal daripada
pasien episode depresi. Tidak ada perbedaan ditemukan pada banyaknya sesi ECT dilakukan, lama rawat
di rumah sakit, dan rujukan untuk melanjutkan terapi ECT, tingkat readmisi, dan durasi hingga readmisi
selanjutnya.

Kesimpulan:
Hasil penelitian ini mendukung efektivitas ECT pada pasien gangguan bipolar episode kini campuran.
Manfaat Terapi Elektrokonvulsif pada Gangguan Bipolar Episode Kini Campuran
Miguel Palma, Berta Ferreira, Nuno Borja Santos, Bruno Trancas, Ceu Monteiro, dan Graca Cardoso

Pendahuluan

Gangguan bipolar campuran pertama kali dideskripsikan secara sistematis oleh Kraepelin (1).
Sejak itu, prevalensi tinggi bipolar campuran dikenali berulang kali, dialami lebih dari 50%
seluruh pasien dengan gangguan bipolar (2), tetapi gangguan bipolar campuran masih belum
dipahami dengan baik. Episode campuran diketahui memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada bipolar episode depresif atau episode manik (3). Komorbiditas seperti penggunaan zat
psikoaktif, cedera otak akibat trauma, dan gangguan perkembangan otak dan neuropsikiatrik
lainnya juga berhubungan dengan kemunculan episode campuran (4). Risiko munculnya episode
campuran meningkat akhir-akhir ini diperkirakan karena penggunaan antidepresan (5) dan zat
psikoaktif lainnya(6), dan kejadiannya diperkirakan terlalu rendah karena kriteria klasifikasi
yang terlalu restriktif. Selama periode dari DSM-III hingga DSM-IV-TR, untuk mendiagnosis
episode campuran, pasien harus mengalami kemunculan bersamaan sindrom manik dan depresif
penuh selama lebih dari satu minggu, tanpa memperhitungkan gejala campuran sub-sindrom
yang terjadi (7-10). Hal yang sama masih terjadi pada klasifikasi ICD-10 (11). Beberapa
klasifikasi tidak resmi dibuat untuk meliputi kriteria yang lebih luas untuk mendiagnosis episode
campuran (12-14). Kriteria-kriteria tersebut secara umum membutuhkan minimal dua atau tiga
gejala polaritas yang berlawanan pada satu episode afektif major. Validitas klinis dan kegunaan
perwujudan seperti mania disforik atau hipomania atau depresi dengan flight of ideas telah
dikonfirmasi secara substansial pada dasar empiris (12, 14).

Akhir-akhir ini, DSM-5 mengakui dan memperbaiki kekosongan ini, mengenalkan episode
campuran sebagai bentuk lebih spesifik dari manik, hipomanik, dan episode depresif major pada
gangguan bipolar I atau gangguan bipolar II atau gangguan depresif major (15). Perubahan ini,
walaupun terlambat dan kontroversial (16), dapat menghasilkan penentuan langsung diastasis
bipolar pada pasien depresi di mana tidak ada riwayat episode manik/hipomanik dapat
diidentifikasi, sehingga memungkinkan terapi yang lebih sesuai, terutama penggunaan
atidepresan yang lebih hati-hati.

Selain itu, akibat dari peningkatan prevalensi dari episode campuran dibutuhkan pemahaman
lebih baik dari faktor risiko, terapi, dan prognosis dari pasien-pasien tersebut. Pasien-pasien
tersebut biasanya sangat sulir ditangani karena banyak yang refrakter terhadap obat psikotropika
(17). Sebagai perbandingan dengan pasien depresi, pasien yang mengalami episode campuran
memiliki episode yang lebih panjang dan lebih parah, frekunsi psikotik yang lebih tinggi, remisi
antar episode yang lebih rendah, dan risiko bunuh diri yang lebih tinggi (18, 19). Karena
perbedaan-perbadaan itu, episode campuran butuh diteliti sendiri dan tidak dicampur dengan
penelitian yang berfokus pada depresi atau mania. Sesuai dengan bukti ilmiah tentang efektivitas
terapi elektrokonvulsif (ECT) pada terapi baik fase depresi ataupun mania pada gangguan
bipolar, pengalaman klinik juga mendukung penggunaan ECT pada episode campuran. Pada
tahun 1938, Cerletti dan Bini mengembangkan penelitiannya dari penelitian ECT pada hewan
mejadi penelitian ECT pada manusia paling pertama yang dilakukan pada pasien diduga episode
campuran dengan gejala psikotik (20). Sayangnya hanya sedikit informasi pada literature ilmiah
yang mendukung hasil ini. Small et. al. adalah salah satu yang pertama mengusulkan ECT
sebagai pendekatan yang memuaskan pada pasien episode campuran setelah menyimpulkan
bahwa pasien mania dengan gejala depresi menunjukkan perkembangan lebih baik dengan ECT
(21). Sejak itu, lima penelitian telah dipublikasikan tentang manfaat terapi ECT pada pasien
episode campuran; dua diantaranya membandingkan hasil dengan pasien depresi (24, 25) dan
satu penelitian pada pasien depresi dan mania (23). Tujuan penelitian ini adalah melaporkan
pengalaman klinis penulis menggunakan ECT fase akut (Aect) untuk mengurangi gejala akut
pada pasien episode campuran yang sebelumnya gagal ditangani dengan farmakoterapi, untuk
menambah bukti ilmiah pada bidang yang kurang diteliti ini. Selain itu, penulis menganalisis
hasil penelitian ini berkenaan pada follow-up pasien dan hasil dari aplikasi farmakoterapi saja
atau dengan kombinasi ECT berkelanjutan (c-ECT) dan maintenance (m-ECT).

Metode

2.1 Seleksi Pasien. Data klinis dikumpulkan secara retrospektif dari seluruh pasien yang
didiagnosis gangguan bipolar dan diterapi menggunakan a-ECT dari Juni 2006 hingga Juni 2011.
Pasien yang diikutsertakan minimal berusia 18 tahun dan terapi yang diberikan harus melibatkan
minimal 2 sesi dengan regularitas akut dan tanpa interupsi karena alasan medis. Pertimbangan
untuk terapi ECT berdasarkan klinis, dan resistensi obat menjadi kriteria utama. Seluruh pasien
yang diikutsertakan dalam studi tidak menunjukkan respon konsisten pada farmakologi,
walaupun tidak ada penilaian formal terhadap resistensi terapi dilakukan.

2.2 Pengambilan Data. Selama jangka waktu penelitian, beberapa pasien memiliki lebih dari satu
episode yang memerlukan terapi a-ECT. Karena tujuan utama penelitian ini adalah
membandingkan manfaat ECT pada resolusi gejala akut, pendekatan berdasarkan episode
dilakukan. Afek episode bipolar dibagi menjadi tiga kelompok menurut polaritas afek dan
dievaluasi dari karakteristik klinis dan terapi (penempatan elektroda, jumlah sesi ECT per terapi,
lama rawat inap, jumlah readmisi, dan waktu hingga readmisi selanjutnya). Pasien
diklasifikasikan sesuai polaritas episode. Setelah resolusi gejala akut, beberapa episode tetap
diberikan terapi farmakologis saja dan pada pasien lainnya c-ECT hingga 6 bulan setelah a-ECT
dilakukan ditambahkan untuk mencegah relaps. Pada kelompok yang diberikan c-ECT,
pencegahan episode baru setelah c-ECT berakhir dilakukan dengan medikasi saja atau kombinasi
dengan m-ECT. Pada analisis sekunder hasil, tingkat dan waktu readmisi dibandingkan di antara
episode dengan masing-masing pilihan terapi. Diagnosis episode mania dan depresi dilakukan
jika pasien memenuhi kriteria DSM-IV-TR (10) sedangkan episode campuran didiagnosis
menggunakan kriteria McElroy (episode mania/hipomania ditambah tiga atau lebih gejala
depresi) (12) dan Akiskal (episode depresi mayor ditambah dua sampai tiga gejala
mania/hipomania) (14). Penilaian retrospektif untuk keparahan penyakit menggunakan Clinical
Global Impression (CGI), dan skor CGI-S tiga (sakit ringan) atau kurang dari tiga setelah a-ECT
diintepretasikan sebagai kriteria respon klinis positif.

Table 1: Karakteristik demografi (n = 50)

Bipolar depresi Bipolar mania Bipolar campuran Nilai p


(n=22) (n=4) (n=15)
Perempuan, n (%) 17 (77.3%) 2 (50%) 11 (73.3%) 0.528a
Usia per 31 Juli 2011 57.9 19.0 42.9 13.1 45.0 15.5 0.089b
Usia saat episode 51.4 19.4 32.8 13.8 38.9 16.0 0.061c
pertama
Jumlah sakit 1.8 2.7 4.0 1.4 2.7 2.4 0.057d
sebelumnya
aEkstensi Freeman-Halton pada tes Fisher Exact Probability; bTes Kruskal Wallis, x2 = 4.832, df = 2; cTes Kruskal Wallis,
x2 = 5.605, df = 2s; d Tes Kruskal Wallis, x2 = 5.747, df = 2

2.3 Terapi ECT. Persetujuan setelah penjelasan tertulis untuk ECT diambil dan terapi dilakukan
dua kali seminggu. Sehari sebelum terapi, seluruh pasien yang menerima medikasi seperti
antipsikotik dihentikan untuk meminimalisir gangguan terhadap ambang kejang dan mengurangi
risiko neurotoksisitas lithium. Terapi dilakukan oleh alat Simatics Tymaron System IV Brief
Pulse. Frekuensi 10-40 Hz, durasi 0.14-8.0 s, dan arus 0.9 A konstan dihitung secara otomatis,
dan energy 5-199.6 J digunakan sesuai metode titrasi dosis menggunakan rekomendasi
pengembang (27). Karena perubahan protocol internal, ECT diberikan dengan penempatan
elektroda bitemporal atau bifrontal sesuai aturan yang berlaku pada waktu terapi. Propofol dan
etomidate digunakan untuk induksi anestesi, diikuti dengan succinylcholine (0.5-1 mg/kg sebagai
pelemas otot. Pasien diberikan O2 100% hingga kembalinya pernapasan normal. respon motoric
dimonitor menggunakan metode cuff dan EEG juga direkam. Jika ada kejang yang hilang atau
inadekuat, pasien direstimulasi dengan intensitas yang semakin meningkat sampai maximum
empat stimulasi berurutan, sesuai jadwal titrasi dosis yang sama, setelahnya titrasi ditunda
hingga sesi berikutnya (27). ECT akut dihentikan jika dokter penanggung jawab menentukan
bahwa tujuan terapi telah tercapai atau ketika respon yang diinginkan diikuti plateau klinis
setelah dua stimulasi berurutan atau jika tidak ada perkembangan diobservasi setelah empat
kejang adekuat berurutan dengan stimuli yang meningkat. Setelah pelaksanaan, frekuensi sesi
antara mingguan hingga tiap tiga minggu sekali untuk c-ECT dan antara tiap dua minggu hingga
tiap bulan pada m-ECT.

2.4 Analisis Statistik. Karena uji normalitas data tidak dapat dilakukan, tes yang dilakukan
adalah tes non-parametrik. Perbandingan antara tiga kelompok dilakukan menggunakan analisis
Chi-square (atau ekstensi Freeman-Halton pada probabilitas Fisher) untuk variabel katagorik dan
Mann Whitney untuk variable kontiyu. Level signifikansi untuk tiap tes adalah p < 0.05. Seluruh
analisis statistik dilakukan menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS-20.0,
IBM Corporation, Armonk, NY), kecuali ekstensi Freeman-Halton pada probabilitas Fisher
dilakukan menggunakan website untuk komputerisasi statistic (http://vassarstats.net/)
Hasil

Empat puluh empat pasien berurutan memenuhi kriteria inklusi, namun 3 dikeluarkan karena
informasi yang tidak lengkap. Dari 41 pasien yang menjadi sampel kami, 30 adalah perempuan
(73,2%) dan 11 adalah laki-laki (26,8%), sedangkan untuk etnis 30 berkulit putih (73,2%) dan 11
hitam (26,8%). Sebanyak 50 perawatan dilakukan selama periode penelitian. Menariknya, 9
pasien yang memiliki lebih dari satu episode afektif dan membutuhkan perawatan ECT
mengalami relaps dengan polaritas afektif yang sama. Secara khusus, empat pasien dengan dua
episode depresi berturut-turut dan satu pasien dengan dua episode campuran memerlukan
perawatan ECT. Dua pasien lain mengalami tiga relaps yang ditangani dengan ECT (satu dengan
tiga episode depresi dan yang lainnya dengan tiga episode campuran).

Secara keseluruhan, kelompok campuran mewakili 36,6% (n = 15), kelompok depresi 53,7% (n
= 22), dan kelompok mania 9,8% (n = 4) dari total populasi pasien. Tabel 1 menyajikan ciri
demografi dan klinis dari 3 sub-populasi tersebut.

Karena ukuran populasi mania yang kecil, perbandingan terhalangi. Oleh karena itu kami
melakukan perbandingan ulang dengan mengeksklusi kelompok mania. Karena normalitas tidak
diamati dalam semua variabel untuk populasi depresi dan campuran, digunakan tes
nonparametrik. Pasien yang didiagnosis dengan keadaan campuran cenderung lebih muda
dibandingkan pasien depresi pada saat studi (p = 0.063) dan saat masuk pertama (p = 0,057),
tetapi tidak ada perbedaan dalam hal jumlah hospitalisasi sebelumnya (p = 0,157). Kedua
kelompok keadaan depresi dan campuran memiliki persentase yang lebih tinggi pada pasien
wanita dan tidak ditemukan perbedaan dalam distribusi jenis kelamin (p = 1.000).

Mempertimbangkan jumlah total 50 episode yang membutuhkan terapi ECT, gejala psikotik
terlihat pada 42,9% episode depresi dan pada 44,4% dari kelompok campuran. Dua pasien mania
menunjukkan gejala psikotik sedangkan dua lainnya tidak (p = 0,9999).

Dikarenakan modifikasi protokol internal yang mengatur praktek teknis kami dalam
mengaplikasikan ECT, proporsi variabel pasien dari masing-masing kelompok memiliki satu dari
dua penempatan elektroda yang berbeda. Pada kelompok depresi, 20 kasus (71,4%) memiliki
elektroda bitemporal, sedangkan 8 (28,6%) memiliki bifrontal. Pada kelompok campuran, pada 8
(44,4%) kasus ditempatkan elektroda secara bitemporal, dan pada 10 (55,6%) secara bifrontal.
Keempat pasien mania ditempatkan secara bifronral (p = 0,012). Perbedaan antara kelompok
depresi dan campuran tidak signifikan (p = 0,067).

Review grafik dari deskripsi episode-episode pada saat dirujuk ke unit ECT mengindikasikan
gangguan mental sedang sampai berat. Semua terapi kecuali satu pada pasien campuran
menunjukkan respon klinis positif, seperti yang didokumentasikan pada peringkat retrospektif
CGI sama dengan atau kurang dari 3.
Kami juga membandingkan apakah ditemukan perbedaan yang relevan antara kelompok-
kelompok tersebut dalam hal jumlah sesi ECT yang dilakukan dan lama hospitalisasi. Hal ini
secara tidak langsung menggambarkan efektifitas terapi dan merupakan dimensi relevan dari
perawatan dalam hal untung-rugi terapi ini. Rata-rata jumlah sesi ECT pada kelompok campuran
sedikit lebih rendah pada keadaan episode campuran daripada episode mania atau depresi,
walaupun tidak signifikan secara statistic. Jika mempertimbangkan waktu hospitalisasi selama
episode afektif yang membutuhkan terapi ECT, episode mania dikaitkan dengan waktu rawat
inap yang lebih lama dibandingkan kondisi episode campuran atau depresi (Tabel 2). Tidak ada
perbedaan yang muncul dari perbandingan langsung antara episode depresi dan campuran (p =
0,955).

Tabel 2: Karakteristik klinis sampel berdasarkan episode (n = 50).

Episode depresi Episode mania Episode p


bipolar (n = 28) bipolar(n = 4) campuran value
bipolar (n
= 18)

Jumlah Sesi ECT, rata-rata SD 5,9 3,2 6,8 3,3 5,1 2,2 0,336e

Lama hospitalisasi selama episode, 39,2 30,2 57,0 22,3 44,7 0,250f
dalam hari, rata-rata SD 54,5

cECT, n (%) 10 (35,7%) 3 (75,0%) 11 0,174g


(61,1%)

Hospitalisasi kembali karena relaps 10 (35,7%) 0 (0%) 8 (44,4%) 0,179g


afektif, n (%)

eujiKruskan-Wallis; X2 = 2,180, df = 2; fuji Kruskan-Wallis, X2 = 2,770, df = 2; gsambungan Freeman-Halton dari Fisher Exact
Probability

Tabel 3: Karakteristik hospitalisasi kembali yang ditangani atau tidak ditangani dengan cECT (n
= 50)

cECT Yes No p value

(n = 24) (n = 26)

Hospitalisasi kembali karena relaps afektif, n (%) 8 (33,3%) 10 (38,5%) 0,920h

Waktu sampai hospitalisasi kembali, dalam minggu, rata-rata 73,6 65,4 27,1 30,5 0,248i
SD

Jumlah total hospitalisasi kembali, n; rata-rata SD 17; 0,71 11; 0,65 0,741i
1,459 1,018

hChi-square; iuji Mann-Whitney U


Setelah perawatan akut, pasien ditempatkan pada terapi psikofarmakologi saja atau ditambah
dengan cECT. Semua pasien yang menjadi sampel kami menggunakan mood stabilizer atau
antipsikotik, dan duapertiga menggunakan kombinasi keduanya. Pada kelompok depresi, 20
episode menggunakan mood stabilizer, 22 menggunakan antipsikotik, dan 5 menggunakan
antidepresan (tidak pernah monoterapi). Menyangkut mood stabilizer, lamotrigine adalah obat
pilihan pada 12 episode depresi, sedangkan 5 menggunakan lithium dan 3 natrium valproate;
lamotrigin dikaitkan tiga kali dengan lithium dan sekali dengan natrium valproate. Hanya satu
pasien dengan episode depseri menggunakan antipsikotik long-acting; empat menggunakan SSRI
dan satu SNRI. Pada kelompok campuran, 11 episode diobati dengan mood stabilizer (lithium
dan lamotrigin pada masing-masing 5 kondisi, 3 diantaranya dengan kombinasi kedua obat; 4
dengan natrium valproat), 13 diobati dengan antipsikotik (dimana 6 adalah obat long-acting), dan
tidak ada antidepresan yang diresepkan. Akhirnya, pada kelompok mania, semua 4 episode
menggunakan kombinasi mood stabilizer (3 dengan natrium valproat dan 2 dengan lithium) dan
antipsikotik (3 dengan obat long-acting), dan tidak ada antidepresan.

Pilhan untuk terapi dengan pendekatan gabungan ditambah cECT dilakukan pada lebih dari
sepertiga episode depresi, sedangkan pada kelompok mania dan campuran keputusan ini diambil
dalam lebih dari duapertiga kasus (Tabel 2). Perbandingan langsung antara epidode depresi dan
campuran menunjukkan tidak ada perbedaan secara statistic (p = 0,132). Delapan dari 10
(80,0%) episode depresi yang memulai cECT menggunakan rejimen perawaran, sedangkan
proporsi dalam kelompok campuran adalah 7 dari 11 (63,6%). Hanya 1 episode mania (33,3%)
yang tetap menggunakan ECT setelah 6 bulan fase lanjutan. Tidak ada perbedaan yang diamati
dalam analisis perbandingan 3-kelompok (p = 0,635).

Durasi rata-rata follow-up adalah 136,4 80,1 minggu (kisaran: 10,1-249,9 minggu), dan tidak
ada perbedaan signifikan yang diamati antara kelompok depresi dan campuran (kelompok
depresi = 149,0 SD 86,0 vs kelompok campuran = 125,7 SD 76,4 minggu , p =
0,344). Meskipun kelompok campuran menunjukkan presentasi yang lebih tinggi dari episode
yang diikuti dengan hospitalisasi kembali karena relaps afektif dibandingkan dengan kelompok
depresi, jumlah mutlak hospitalisasi kembali yang mengikuti indeks hospitalisasi tidak berbeda
antara kedua kelompok (rata-rata jumlah hospitalisasi kembali: kelompok depresi = 0,6 SD 1,3
vs kelompok campuran = 0,9 SD 1,3; * = 0,353), begitu pula waktu rata-rata hingga
hospitalisasi kembali (pasien campuran yang masuk kembali= 48,3 SD62.0 vs pasien depresi
yang masuk kembali = 47,3 SD 48,3 minggu; p = 0,424).

Analisis lebih lanjut, terlepas dari polaritas mood, tidak ada perbedaan dalam tingkat
hospitalisasi kembali dalam hal pemilihan atau tidak untuk cECT. Sepertiga dari episode mood
(8 dari 24) yang dirujuk untuk cECT mengalami hospitalisasi kembali selama periode tindak
lanjut (follow-up); Namun, hanya 3 rawat inap terjadi selama pengobatan ini. Meski tidak ada
perbedaan signifikan yang diamati dalam hal jumlah rata-rata masuk kembali atau waktu sampai
rawat inap berikutnya, hospitalisasi kembali dari episode yang diobati dengan cECT terjadi
kemudian (rata-rata), meskipun variabilitas tinggi pada pengukuran ini. Selain itu, jumlah
peningkatan hospitalisasi kembali dalam kelompok c-ECT menunjukkan pasien yang sangat
parah (Tabel 3). Di antara kelompok episode yang diobati dengan cECT, 16 melanjutkan untuk
modalitas pemeliharaan (kelompok depresi = 8, kelompok mania = 1, kelompok campuran = 7),
sementara 8 tidak. Sebanyak 11 hospitalisasi kembali terjadi di bawah mECT (versus 1 pasien
diterima kembali dalam kelompok no-mECT) tapi 5 dari relaps terjadi pada pasien yang sama
(kelompok depresi). Persentase hospitalisasi yang terjadi dalam jangka waktu kebetulan dengan
pengobatan ECT (di kedua rejimen lanjutan maupun pemeliharaan) adalah sama dalam
kelompok depresi dan campuran (7 dari 17 hospitalisasi kembali, 41,2%).

Pembahasan

Jurnal ini dimaksudkan sebagai refleksi tentang praktek departemen kami dalam pengobatan
pasien dengan gangguan bipolar, terutama dalam apa yang menyangkut rujukan ke unit
ECT. Selain itu, praktek biasa kami dalam merujuk pasien campuran untuk diobati dengan ECT
menuntut adanya analisis sistematis data tersebut, untuk menambahkannya ke sedikit bukti yang
tersedia tentang kemanjuran ECT dalam pengobatan episode bipolar dengan fitur
campuran. Hasil kami mendukung validitas ECT sebagai pengobatan yang efektif untuk episode
bipolar campuran, dibandingkan dengan dengan efek relaps pada polaritas depresi dan
mania. Semua pasien yang dilibatkan dalam penelitian ini, kecuali satu di kelompok campuran,
menunjukkan respon positif terhadap program aECT. Jumlah perawatan ECT tidak berbeda
sebagai fungsi dari kelompok diagnostik pasien; Namun, kita bahkan bisa menilai
kecenderungan perawatan yang lebih singkat pada kelompok campuran. Sebagian karena
apresiasi adekuatnya pengobatan ECT pada pasien keadaan campuran, tiga perempat dari
episode dengan pengobatan akut tetap pada ECT pemeliharaan. Namun, setengah dari episode
diikuti oleh kebutuhan hospitalisasi kembali, meskipun hampir setengah dari pasien ini dalam
perawatan pemeliharaan. Hasil ini, meskipun lebih tinggi di episode campuran, tidak secara
signifikan berbeda dari kelompok depresi. Tingkat respon besar di semua polaritas mencegah
temuan prediktor respon.

Sejauh yang kami tahu, hanya sejumlah lima studi yang telah dipublikasikan mengenai
efektifitas terapi ECT pada pasien dengan bipolar campuran [22-26]. Gruber dkk melaporkan 7
kasus campuran yang dimasukkan ke unit ECT, yang menyatakan bahwa kriteria remisi dicapai
pada semua pasien dan gejala depresi serta mania meningkat secara signifikan selama percobaan
ECT [22]. Devanand dkk juga menunjukkan manfaat perawatan ECT selama tiga polaritas
episode bipolar (depresi, n = 38; manik, n = 5; campuran, n = 10), bahkan jika pasien campuran
memerlukan rawat inap dan program sECT yang lebih lama [23]. Sebuah studi oleh Ciapparelli
dkk tidak menemukan perbedaan antara resistensi terapi pada pasien bipolar dengan depresi (n =
23) dan episode mania campuran (n = 41) dalam hal jumlah sesi aECT diperlukan, meskipun
pasien mania campuran memiliki proporsi yang lebih tinggi dari responden di titik akhir (26% vs
56%) [24]. Medda dkk juga membandingkan pasien bipolar depresi (n = 46) dan campuran (n =
50) dan menemukan jumlah yang sama dari sesi ECT antara kelompok (7,4 SD 2,5 vs 7,4 SD
2,4) dan tingkat respon yang lebih seimbang (67,4% vs 76,0 %) [25]. Kelompok yang sama
menerbitkan studi lain, fokus hanya pada pasien keadaan campuran yang diterapi dengan
ECT. Respon tercapai dalam 72,1% dari sampel. Beberapa variabel klinis dan teknis gagal
menunjukkan hubungan dengan kualitas respon. Nonresponden (27,9% dari total sampel)
memiliki durasi yang lebih lama dari episode campuran saat ini. Remitter (30,5%) memiliki
komorbiditas OCD seumur hidup yang jarang dan disajikan pada awal dengan gejala depresi
yang lebih tinggi tetapi fitur manik lebih rendah dari responden dan nonresponden [26]. Semua
studi yang disebutkan menggunakan DSM-IV atau Research Domain Criteria untuk
mendiagnosa keadaan campuran, berbeda dalam hal persyaratan untuk memenuhi syarat respon.

Karena model berbasis masyarakat yang kuat yang telah diatur oleh departemen kami, pasien
dengan gangguan bipolar dengan tegas ditindaklanjuti oleh tim kesehatan mental di
masyarakat. Setiap kali pasien datang dengan relaps afektif, mereka terutama diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan hingga keparahan penyakit atau kurangnya dukungan sosial
membutuhkan masuk ke unit rawat inap. ECT tetap sebagai sumber terapi untuk kedua pasien
rawat jalan dan rawat inap dan dipertimbangkan setiap kali kegagalan psikofarmakologi telah
terdeteksi. Namun, pengobatan aECT biasanya diambil sebagai strategi terapi pertama untuk
pasien yang telah berhasil diobati dengan pendekatan tersebut dalam episode afektif
sebelumnya. Bahkan, 9 dari 50 episode perawatan aECT yang dianalisis adalah pada pasien yang
telah diobati sebelumnya. Dalam kasus ini ECT diusulkan sebagai pengobatan lini pertama dan
pasien setuju untuk itu. Analisis kami berdasarkan episode memiliki keterbatasan yaitu
mempertimbangkan setiap episode independen padahal sebenarnya itu tidak terjadi dihampir
seperlima dari mereka. Mengulangi analisis dengan mengeksklusi semua perawatan akut pada
pasien yang sebelumnya dirawat tidak mengubah hasil yang dilaporkan.

Persiapan retrospektif dan naturalistik dari penelitian ini mencakup beberapa keterbatasan yang
kami sadari. Perhitungan perbaikan global dihubungan dengan review grafik dan obat yang
diberikan bersamaan mengganggu tujuan kami untuk mengisolasi efek terapeutik ECT pada
episode bipolar. Tingkat respon kami yang lebih tinggi dari normal sebagian dapat dijelaskan
oleh konsep retrospektif dan konsep respon yang cukup luas (CGI-S 3), tetapi juga dengan
kriteria resistensi pengobatan yang bergantung pada penilaian formal; sampel penelitian kami
karena itu akan terdiri dari pasien yang responsive terhadap obat, memiliki pendekatan
farmakologis yang dilanjutkan dalam waktu lebih lama dan lebih agresif. Selain itu, perubahan
praktek dalam penempatan elektroda (dari bitemporal ke bifrontal) bisa memperkenalkan
variabel pengganggu yang tidak kita kontrol. Namun, literatur menunjukkan bahwa perbedaan
klinis antara salah satu dari teknik bilateral ini tampaknya sederhana, jika ada, dan memberikan
respon sedikit lebih cepat di posisi bitemporal dan mungkin efek kognitif yang kurang dalam
posisi bifrontal, yang rasional untuk mengubah protokol kami [28-30]. Fakta bahwa lebih banyak
pasien campuran yang memiliki elektroda bifrontal kemungkinan refleks dari peningkatan
rujukan kami dari pasien-pasien tersebut untuk menjalani pengobatan ECT, karena ini adalah
protokol yang ditetapkan saat ini di unit kami. Temuan akhir dari episode campuran sebagai
calon untuk ECT bisa memperpendek waktu tindak lanjut, mengurangi kemungkinan untuk
relaps atau dihospitalisasi kembali. Karena itu, analisis durasi waktu sejak keluar dari rumah
sakit sampai titik akhir tindak lanjut (Juni 2011), meskipun sedikit lebih lama di episode depresi,
tidak secara signifikan berbeda dari yang campuran. Analisis yang cermat dari rekam medic
pasien tidak melaporkan setiap efek samping yang relevan selama sesi ECT, dan ini datang
sesuai dengan gagasan keselamatan yang tinggi dan tolerabilitas prosedur pada pasien dengan
gangguan bipolar [31]. Sayangnya, langkah-langkah kognitif tidak secara sistematis dinilai
dalam penelitian kami. Ukuran sampel yang kecil adalah keterbatasan utama lainnya. Sangat
menarik untuk menyoroti rendahnya jumlah pasien mania yang dirujuk untuk pengobatan dengan
ECT. Beberapa alasan setuju dengan fakta ini. Pertama-tama, kriteria inklusif yang luas untuk
diagnosis pasien campuran, mulai dari depresi bersemangat sampai mania dysphoric, merupakan
konsekuensi penurunan jumlah pasien yang didiagnosis dengan episode depresi atau mania. Oleh
karena itu, hanya depresi dan mania murni yang tetap dengan kategori diagnostik ini. Karena kita
membutuhkan persetujuan sebelumnya dari pasien ketika mengacu pada ECT, sejumlah besar
pasien mania akan menolak untuk diserahkan ke ECT karena kurangnya wawasan dan
pengalaman psikopatologis. Akhirnya, banyak pilihan farmakologis tersedia untuk pasien dengan
mania, yang menyiratkan bahwa perawatan yang berhasil bisa mencegah pertimbanganECT
sebagai alternatif.

Meskipun keterbatasan ini, sampel kami memiliki keuntungan untuk mempertimbangkan konsep
yang lebih luas dari keadaan campuran, bergabung dengan tren diagnostik saat ini yaitu
mempertimbangkan depresi dan mania hanya dalam presentasi yang paling murni. Sejauh yang
kami tahu, ini adalah studi ketiga mengenai efektifitas ECT pada pasien keadaan campuran
dibandingkan dengan polaritas lain dan meskipun jurnal lainnya tidak melaporkan data mereka
tentang lamanya waktu tindak lanjut, jurnal ini kemungkinan besar adalah yang
terpanjang. Bahkan, sangat sedikit yang diketahui tentang dampak aECT pada hasil jangka
panjang dari pasien bipolar. Medda dkk baru-baru ini menerbitkan sebuah studi naturalistik
prospektif yang diikuti 36 pasien bipolar dengan depresi berat atau campuran yang resisten
terhadap pengobatan melaporkan indeks episode yang berespon terhadap aECT (durasi rata-rata
= 55,3 SD 30,4 minggu). Dari jumlah tersebut, 13 relaps depresi, 5 bulan rata-rata setelah akhir
pengobatan akut; satu pasien memiliki keadaan relaps campuran [32]. Secara konsisten, pada
episode yang tidak dirujuk untuk cECT, setengah dari hospitalisasi kembali terjadi di 15 minggu
setelah penghentian aECT, mendukung bukti-bukti awal bahwa manfaat dari pengobatan ini pada
pasien bipolar cenderung menghilang dalam bulan pertama setelah pengobatan terakhir [32].

Selanjutnya, meskipun cECT dan mECT telah diusulkan, data yang sangat terbatas telah
diterbitkan [33, 34]. Diharapkan penelitian PRIDE yang sedang berlangsung dari Kelompok
CORE dapat membawa beberapa bukti baru tambahan [35]. Hasil kami ditambahkan, karena itu,
untuk bukti yang ada bahwa episode campuran adalah, setidaknya, sebagai responsif terhadap
sECT seperti fase depresi dan mania, menunjukkan bahwa pengobatan ini adekuat untuk
penyakit bipolar, terlepas dari bentuk relaps afektif. Karena kondisi campuran terutama sulit
diatasi dengan pendekatan psikofarmakologikal konvensional, ECT harus dipertimbangkan
sebagai alternatif yang valid dalam pengobatan pasien.

Konflik kepentingan

Para penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan mengenai publikasi makalah ini.

Anda mungkin juga menyukai