Anda di halaman 1dari 6

KAD ATAU SHH

Definisi
Ketoasidosis diabetikum (KAD)merupakan komplikasi metabolik akut pada diabetes melitus
yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperketonemia, dan asidosis metabolik.1 Status
hiperosmolar hiperglikemik (SHH) juga merupakan gangguan metabolik akut yang dapat terjadi
pada pasien diabetes melitus, yang ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolaritas, dan
dehidrasi tanpa adanya ketoasidosis.2 Istilah SHH merupakan istilah yang sekarang digunakan
untuk menggantikan KHH (Koma Hiperosmolar Hiperglikemik) dan HHNK (Hiperglikemik
Hiperosmolar non Ketotik) karena koma dapat terjadi lebih dari 50% kasus, dan ketosis ringan
juga dapat ditemukan pada pasien dengan SHH.3

Etiologi

Etiologi(disusun berdasarkan frekuensi) Obat-obatan yang dapat memicu KAD/SHH

Infeksi, terutama pneumonia, ISK, dan sepsis Agen antipsikotik atipikal

Terapi insulin yang tidak adekuat Kortikosteroid

Onset baru diabetes Glukagon

Penyakit kardiovaskuler, terutama infark Interferon


miokard
Agen simpatomimetik, seperti albuterol,
Akantosis nigricans dopamin, dobutamin, dan terbutalin.

Akromegali

Trombosis arteri

Kecelakaan serebrovaskuler

Hemokromatosis

Hipertiroidism

Pankreatitis

Kehamilan
Patofisiologi
KAD ditandai dengan keadaan hiperglikemia, asidosis metabolik, dan peningkatan konsentrasi
keton dalam tubuh. Ketoasidosis terjadi karena kurangnya atau tidak efektifnya kerja insulin
terhadap peningkatan hormon kontraregulator (glukagon, katekolamin, kortisol dan hormon
pertumbuhan). Hubungan antara defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator ini
kemudian dapat mempengaruhi produksi glukosa, peningkatan lipolisis, dan produksi badan
keton. Keadaan hiperglikemia dan tingginya kadar keton akan menyebabkan diuresis osmotik
yang kemudian meembuat pasien mengalami hipovolemia dan penurunan laju filtrasi
glomerulus(LFG).1
SHH ditandai dengan defisiensi konsentrasi insulin yang relatif, namun cukup adekuat untuk
menghambat terjadinya lipolisis dan ketogenesis. Beberapa studi mengenai perbedaan respon
hormon kontra regulator pada KAD dan SHH memperlihatkan hasil bahwa pada SHH pasien
memiliki kadar insulin yang cukup tinggi, dan konsentrasi asam lemak bebas, kortisol, hormon
pertumbuhan, dan glukagon yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien KAD.1
Walaupun patogenesis terjadinya KAD dan SHH serupa, namun keduanya memiliki perbedaan.
Pada SHH akan terjadi keadaan dehidrasi yang lebih berat, kadar insulin yang cukup untuk
mencegah lipolisis besar-besaran dan kadar hormon kontra regulator yang bervariasi.3

Diagnosis Klinis
Diagnosis secara klinis untuk membedakan antara KAD dan SHH tidaklah mudah. Gejala yang
dialami oleh pasien dapat serupa.
Anamnesis
Manifestasi klinis dari KAD biasanya berlangsung dalam waktu singkat, dalam kurun waktu
kurang dari 24 jam. Poliuria, polidipsia dan penurunan berat badan dapat berlangsung selama
beberapa hari, sebelum terjadinya ketoasidosis, muntah dan nyeri perut. Nyeri perut yang
menyerupai gejala akut abdomen, dilaporkan terjadi pada 40-75% kasus KAD. Dalam suatu
penelitian, didapatkan hasil bahwa kemunculan nyeri perut dapat dikaitkan dengan kondisi
asidosis metabolik, namun bukan karena hiperglikemia atau dehidrasi. 4
Untuk SHH, manifestasi klinis dapat terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu.
Pasien dapat mengalami poliuria, polidipsia, dan penurunan kesadaran yang progresif akibat
osmolalitas darah yang sangat tinggi.3 Nyeri perut juga jarang dialami oleh pasien SHH.

Pemeriksaan Fisik

Kriteria KAD SHH


Tanda dehidrasi
Status mental Kompos mentis - koma Stupor/koma
Bau nafas aseton + -
Pernafasan Kussmaul + -
Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun diagnosis KAD dan SHH dapat ditegakkan dari klinis, namun konfirmasi dengan
pemeriksaan laboratorium harus dilakukan. Hasil laboratorium yang dapat ditemukan:

Kriteria diagnostik dan KAD SHH


klasifikasi

Glukosa plasma(dalam > 250 > 600


mg/dL)

pH arteri <> > 7,3


Bikarbonat serum(dalam <> > 15
mEq/L)
Keton urin ++ + ringan/-
Keton serum ++ + ringan/-
Osmolalitas serum (dalam Bervariasi > 320
mOsm/kg)*
Anion Gap > 12 <>

* Osmolalitas darah = 2(Na serum) + Glukosa plasma/18.1

Hasil laboratorium yang perlu dipantau pada KAD dan SHH:


Natrium : Efek osmotik dari keadaan hiperglikemia membuat cairan berpindah dari
ekstravaskular ke intravaskular. Untuk setiap 100 mg/dL glukosa (jika kadar glukosa >
100 mg/dL), kadar natrium serum dapat menurun hingga 1,6 mEq/L. Ketika kadar
glukosa turun, maka natrium serum dapat meningkat.1
Kalium : Kadar kalium dapat bervariasi. Kondisi asidosis pada pasien dapat
menyebabkan perpindahan kalium dari intraseluler ke ekstraseluler sehingga akan terjadi
hiperkalemia.1 Keadaan defisiensi insulin yang lama pada pasien DM membuat pasien
mengalami hiperkalemia ringan yang kronik. Pada keadaan akut, pasien dapat mengalami
ekskresi kalium yang berlebih melalui ginjal ataupun gastrointestinal karena kondisi
diuresis osmotik, sehingga terjadi masking effect yang dapat membuat kadar kalium
dalam kisaran normal.5 Oleh karena itu, pada penatalaksanaan keadaan akut pasien DM,
baik pada pemberian kalium maupun terapi insulin, kadar kalium harus selalu dievaluasi
dengan ketat agar tidak terjadi aritmia jantung. Elektrokardiogram dapat digunakan
sebagai sarana evaluasi keadaan jantung.1
Peningkatan kadar BUN, sebagai pengaruh dari keadaan dehidrasi pasien. Kadarnya
harus dipantau untuk melihat ada tidaknya insufusiensi renal.2,6
Urinalisis : Digunakan untuk menilai adanya glukosuria atau ketosis urin. Selain itu,
urinalisis juga dapat digunakan jika dicurigai terjadi infeksi pada traktus urinarius.2,6

Tata Laksana
Tujuan dari terapi KAD dan SHH, yaitu:
1. Restorasi volume sirkulasi dan perfusi jaringan
2. Penurunan secara bertahap kadar glukosa serum dan osmolalitas plasma
3. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
4. Perbaikan keadaan ketoasidosis pada KAD
5. Mengatasi faktor pencetus

Terapi Cairan
Pasien dengan KAD memerlukan rehidrasi dengan estimasi cairan yang diperlukan 100
ml/kgBB. Terapi cairan awal bertujuan mencukupi volume intravaskular dan restorasi perfusi
ginjal.1 Terapi cairan saja dapat menurunkan kadar glukosa darah.5 Salin normal (NaCl 0,9%)
dimasukkan secara intravena dengan kecepatan 500 1000 mL/jam selama dua jam pertama.
Perubahan osmolalitas serum tidak boleh lebih dari 3 mOsm/jam. Namun, jika pasien mengalami
syok hipovolemik, maka cairan isotonik ketiga atau keempat dapat digunakan untuk memberikan
tekanan darah yang stabil dan perfusi jaringan yang baik.1
Setelah volume intravaskular terkoreksi, terapi dengan normal salin sebaiknya dikurangi
menjadi 250 mL/jam atau diganti dengan salin 0,45% (250 500 mL/jam), tergantung pada
konsentrasi natrium serum dan status hidrasi pasien.1
Jika kadar gula darah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH,
penggantian cairan harus mengandung glukosa 5-10% untuk mencegah terjadinya hipoglikemia
karena pemberian insulin juga akan dilakukan untuk koreksi keadaan ketonemia.1
Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengganti setengah defisit cairan selama 12 24 jam.
Kegagalan koreksi keadaan dehidrasi dapat mengakibatkan penundaan pada koreksi elektrolit.1

Terapi Insulin
Pemberian insulin dengan dosis yang kecil dapat mengurangi risiko terjadinya hipoglikemia dan
hipokalemia. Fungsi insulin adalah untuk meningkatkan penggunaan glukosa oleh jaringan
perifer, menurunkan produksi glukosa oleh hati sehingga dapat menurunkan konsentrasi glukosa
darah. Selain itu, insulin juga berguna untuk menghambat keluaran asam lemak bebas dari
jaringan adiposa dan mengurangi ketogenesis.1
Pada pasien dengan klinis yang sangat berat, reguler insulin diberikan secara kontinu
intravena. Bolus reguler insulin intravena diberikan dengan dosis 0,15 U/kgBB, diikuti dengan
infus reguler insulin dengan dosis 0,1 U/kgBB/jam (5-10 U/jam). Hal ini dapat menurunkan
kadar glukosa darah dengan kecepatan 65-125 mg/jam.
Jika glukosa darah telah mencapai 250 mg/dL pada KAD atau 300 mg/dL pada SHH,
kecepatan pemberian insulin dikurangi menjadi 0,05 U/kgBB/jam (3-5 U/jam) dan ditambahkan
dengan pemberian dextrosa 5-10% secara intravena. Pemberian insulin tetap diberikan untuk
mempertahankan glukosa darah pada nilai tersebut sampai keadaan ketoasidosis dan
hiperosmolalitas teratasi.
Ketika protokol KAD atau SHH berjalan, evaluasi terhadap glukosa darah kapiler dijalankan
setiap 1-2 jam dan darah diambil untuk evaluasi elektrolit serum, glukosa, BUN, kreatinin,
magnesium, fosfos, dan pH darah setiap 2-4 jam.1

Terapi Kalium
Secara umum, tubuh dapat mengalami defisit kalium sebesar 3-5 mEq/kgBB. Namun, kadar
kalium juga bisa terdapat pada kisaran yang normal atau bahkan meningkat. Peningkatan kadar
kalium ini bisa dikarenakan kondisi asidosis, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Dengan terapi
insulin dan koreksi keadaan asidosis, kadar kalium yang meningkat ini dapat terkoreksi karena
kalium akan masuk ke intraseluler. Untuk mencegah terjadinya hipokalemia, pemberian kalium
secara intravena dapat diberikan. Pemberian kalium intravena (2/3 dalam KCl dan 1/3 dalam
KPO4) bisa diberikan jika kadar kalium darah kurang dari 5 mEq/L.
Pada pasien hiperglikemia dengan defisit kalium yang berat, pemberian insulin dapat memicu
terjadinya hipokalemia dan memicu terjadinya aritmia atau kelemahan otot pernafasan. Oleh
karena itu, jika kadar kalium kurang dari 3,3 mEq/L, maka pemberian kalium intravena harus
segera diberikan dan terapi insulin ditunda sampai kadarnya 3,3 mEq/L.1

Terapi Bikarbonat
Pemberian bikarbonat pada pasien SHH tidak diperlukan, sedangkan pada KAD masih
kontroversial. Asidosis metabolik berat dapat mengakibatkan kerusakan kontraktilitas jantung,
vasodilatasi serebri dan koma, serta komplikasi gastrointestinal. Akan tetapi, alkalinisasi darah
yang agresif juga dapat mengakibatkan hipokalemia, asidosis SSP paradoks, dan asidosis
intraseluler karena peningkatan produksi CO2.
Beberapa studi gagal memperlihatkan perbaikan keadaan dengan pemberian bikarbonat pada
pasien KAD dengan pH darah arteri antara 6,9-7,1. Namun beberapa ahli tetap
merekomendasikan pemberian bikarbonat pada pasien dengan pH darah <>1
Pemberian bikarbonat dapat diberikan secara bolus atau intravena dalam cairan isotonik
dengan dosis 1-2 mEq/kgBB.3
Referensi:
1. Umpierrez GE, Murphy MB, Kitabchi AE. Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic
hyperosmolar syndrome. 2002[sitasi 20 Mei 2009] 15:28-36. Diunduh
dari:http://spectrum.diabetesjournals.org/cgi/content/full/15/1/28
2. Sergot PB. Hyperosmolar hyperglycemic states. Emedicine. 2008[sitasi 20 Mei 2009. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/766804-overview
3. Kitabchi AE, Fisher JN. Hyperglycemic crises:diabetic ketoacidosis (DKA) and
hyperglycemic hyperosmolar state (HHS). Dalam: Berghe GV. ed. Contemporary
Endocrinology: Acute Cause to Consequence. New York, Humana Press. 119-47.
4. Syahputra MHD. Diabetik ketoasidosis. Diunduh
dari:http://library.usu.ac.id/download/fk/biokimia-syahputra2.pdf
5. Dixon T. Potassium balance. Diunduh
dari: http://www.uhmc.sunysb.edu/internalmed/nephro/webpages/Part_D.htm
6. Rucker DW. Diabetic Ketoacidosis. Emedicine. 2008[sitasi 20 Mei 2009]. Diunduh
dari:http://emedicine.medscape.com/article/766275-overview

Anda mungkin juga menyukai