Anda di halaman 1dari 7

ARTIKEL

SEBUAH OTOBIOGRAFI
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Pendidikan Agama Katolik
Dosen Pengampu:
Dra. Fransisca Valeria Sunartini, M.Si.

Disusun oleh:
M. Arief Soerjakentjana
(134150004)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN


YOGYAKARTA
2017
SEBUAH OTOBIOGRAFI

Saya Arief, nama lengkap saya Maximillian Arief Soerjakentjana. Saya


terlahir dengan nama Muhammad Arief Soerjakentjana. Saya lahir pada hari
Sabtu, 31 Oktober 19 tahun silam di kota terbesar di Sumatera yaitu Medan. Saya
memiliki 2 kakak perempuan yang belum menikah dan sudah bekerja. Ibu saya
adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang cukup terkenal di Kota
Medan. Ayah saya sudah tiada 13 tahun yang lalu karena penyakit ginjal. Saya
memiliki darah Mongol dan Sunda (Banten), karena leluhur ibu saya berasal dari
Mongolia dan leluhur ayah saya adalah seorang Sunda Banten. Ibu dan ayah saya
berbeda keyakinan. Ibu saya seorang katolik dan ayah saya merupakan seorang
muslim, sehingga saya terlahir dan melewati masa kanak-kanak saya sebagai
seorang muslim.
Masa kanak-kanak yang saya lewati hampir tidak dapat bimbingan dari ayah
karena ayah saya sudah meninggal dunia sejak saya masih kelas 2 SD. Karena
masih begitu belia, saya tidak begitu mengerti tentang kesedihan yang mendalam
ditinggal orang yang paling dekat dengan kita. Saya baru paham benar ketika saya
sudah menjelang dewasa, ditinggal oleh salah satu anggota keluarga merupakan
kepedihan yang tidak bisa dilupakan.
Ketiadaan ayah saya juga berpengaruh terhadap kondisi keuangan keluarga
kami. Ibu saya bekerja sangat keras untuk menghidupi keluarga kami. Berbagai
cobaan dan rintangan dihadapi ibu saya dalam perjuangannya untuk memberi
kami penghidupan. Tetapi ibu saya tetap tegar, dalam doa-doanya kepada Tuhan
dia selalu mohon untuk dikuatkan, meskipun terkadang dia mengeluh dan ingin
menyerah.
Lambat laun kerja keras ibu saya terbayar oleh kami. Satu per satu, kedua
kakak saya sudah mulai meringankan bebannya dengan bekerja setelah lulus
sekolah. Sedangkan saya sendiri memilih kuliah di Pulau Jawa dengan beasiswa
yang saya dapatkan dari pemerintah. Dengan demikian, saya sudah hampir tidak
merepotkan keluarga saya.
Kembali ke cerita tentang diri saya. Saya yang sebelumnya seorang muslim
pada masa kanak-kanak saya, menjadi seorang katolik pada saya kelas 1 SMP
yang pada waktu itu saya berumur 11 tahun. Setelah melewati proses katekese di
Katedral Keuskupan Agung Medan, saya dibaptis dan menerima komuni pertama
saya pada tahun 2009 yang lalu. Saya pun memilih nama Maximillian, yang
diambil dari nama seorang santo yang berasal dari Jerman, yaitu Maximillian
Maria Kolbe. Di saat itu pula saya bangga sekali, karena yang sebelumnya saya
hanya menerima berkat dari imam, kini saya bisa mencelupkan hosti ke dalam
anggur dan menyantapnya untuk yang pertama kali.
Masa-masa saya menjadi katolik dilewati dengan jatuh bangun iman,
bahkan sampai saat ini. Saya belum pernah mengaku dosa kepada imam dan
belum menerima indulgensi penuh. Saya berbuat dosa besar, yang awalnya saya
tidak mengetahui bahwa konsekuensi dosa adalah maut, sedikit demi sedikit saya
mulai kembali memahami iman katolik saya. Lama-kelamaan saya mengetahui
bahwa dosa besar memutuskan ikatan kasih antara kita dengan Allah dan dosa
kecil memperlemah kasih. Beberapa minggu terakhir ini saya berdoa agar keadaan
membuat saya mengaku dosa kepada imam dan berharap agar saya dapat
berdamai kembali dengan Allah. Beberapa minggu terakhir ini juga saya tidak
menerima komuni dalam misa. Pun juga saya belum menerima sakramen krisma.
Dosa besar yang saya perbuat sangatlah menusuk hati saya dalam-dalam.
Begitu besar dosa saya sampai sayapun hampir tidak ingin mengingatnya. Namun
saya tetap mengharapkan pengampunan dan pendamaian kembali dengan Allah.
Saya percaya sesuai pengakuan iman, akan pengampunan dosa, karena Tuhan
Yesus sendiri yang menjadi Anak Domba Allah sudah berkorban untuk saya dan
orang-orang yang beriman kepadanya.
Kembali ke masa-masa SMP, pada masa itu saya masih acuh tak acuh
dengan iman katolik. Saya jarang mengikuti misa, bukan berarti saya tidak senang
dengan misa. Saya belum tahu apa dan bagaimana kristologi itu. Masa-masa ini
saya lewati sampai saya sudah lulus SMA. Sejak saat itu, saya mulai rajin
membaca artikel-artikel katolik, mengikuti misa meskipun gereja yang letaknya
10 km dari rumah saya dan saya tidak memiliki kendaraan pribadi. Dengan uang
saya sendiri, saya menyediakan ongkos untuk angkutan kota dalam perjalanan
saya untuk mengikuti misa di Katedral Medan.
Dalam ajaran katolik, saya sangat menyenangi teologinya yang sebenarnya
susah untuk dimengerti dan membuat saya penasaran akan maknanya. Saya juga
sangat menyenangi kesenian gereja, terutama ikonografi, lukisan, patung, dan
sebagainya. Ketika saya melihat ikonografi seperti ikon Tuhan Yesus atau Bunda
Maria, saya merinding sekaligus membuat jiwa saya damai. Bahkan saya sangat
ingin mengkoleksi salah satu ikon kudus. Hanya di kamar saya terdapat sebuah
gambar ikon Yesus Kristus yang saya tempelkan di atas jendela kamar saya.
Setelah saya lulus SMA, saya mendaftar masuk perguruan tinggi negeri
lewat jalur undangan (SNMPTN). Saya dinyatakan tidak lolos walaupun
sebelumnya saya sudah mendaraskan Novena Santo Yudas Tadeus agar saya
didoakan lolos di program studi dan universitas yang saya inginkan. Kemudian di
suatu sore teman saya datang untuk mengajak saya mencoba lagi mendaftar
masuk universitas lewat jalur tes (SBMPTN). Saya menerima ajakan teman saya
tersebut, walaupun saya memilih program studi dan universitas yang sebenarnya
tidak saya inginkan, kemudian saya belajar juga tidak intensif, namun di saat
pengumuman saya dinyatakan lolos pada program studi agroteknologi Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta. Bagaimanapun juga hati saya
gembira dan saya bersyukur sudah dinyatakan lolos meskipun saya kurang
semangat dalam ikut seleksi tersebut.
Kesulitan dan rintangan pun datang juga. Ibu saya menyatakan tidak
memiliki biaya untuk saya kuliah, apalagi di luar daerah. Hati saya sangat sedih
waktu itu. Saya terus berpikir untuk tetap kuliah. Akhirnya petunjuk Tuhan
mengantar saya kepada pendaftaran beasiswa. Dan Puji Tuhan saya dinyatakan
lolos dalam tes beasiswa tersebut.
Masa-masa kuliah pun dimulai. Saya yang baru saja pindah dari Medan
waktu itu tentu saja mengalami kejutan budaya. Awal saya berada di Jogja saya
tinggal bersama sepasang suami-istri yang berteman dengan orang yang dari
kampung halaman saya. Kedatangan saya disambut dengan hangat oleh keluarga
ini. Tetapi hal ini hanya berlangsung seminggu, sebab saya harus pindah mencari
tempat tinggal baru dan saya tidak ingin menambah beban mereka.
Akhirnya kehidupan mandiri pun dimulai. Saya pindah ke tempat temannya
seseorang yang saya kenal dari Paroki Santo Yohanes Rasul Pringwulung.
Sebelumnya saya mendatangi gereja tersebut karena saya ingin tinggal di gereja.
Saya ingin tinggal di gereja karena saya ingin menjadi pelayan (misdinar atau
akolit) dalam misa. Sayangnya tidak ada kamar yang tersedia bagi saya untuk
ditempati, namun seseorang yang saya temui waktu itu memberikan saya solusi.
Usai mengobrol, kami meninggalkan gereja tersebut dan menuju ke tempat yang
tak jauh dari situ. Setibanya disana saya dikenalkan dengan seseorang yang
bernama Timo. Lalu saya pun berbincang-bincang dengannya. Kami saling
berkenalan dan kemudian ia menceritakan kondisi kehidupannya di tempat itu. Ia
bercerita bahwa ia tinggal bersama beberapa orang dengan gangguan mental, dan
tempat yang ia tinggali tersebut merupakan bagian dari aset Kesusteran Santo
Carolus Borromeus (biasa disebut Novisiat CB). Singkat cerita ia menawarkan
saya untuk tinggal bersamanya. Sayapun setuju dan esoknya saya pindah dan
memulai kehidupan baru disana.
Hidup disana pada awalnya biasa-biasa saja, walaupun ada gangguan-
gangguan, saya menganggapnya wajar karena saya juga tinggal bersama orang
sakit jiwa. Saya hadapi hal tersebut karena saya berpikir saya juga bisa
mengembangkan jiwa sosial saya selama saya tinggal disitu. Hal inipun
berlangsung cukup lama, sekitar 1,5 tahun, yang artinya saya melewatkan 3
semester kuliah saya bersama mereka. Namun akhirnya saya pindah karena saya
memutuskan untuk mengontrak rumah bersama 3 teman saya.
Sekarang sudah 7 bulan ini saya tinggal satu rumah bersama 3 teman saya
yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Kehidupan kampus saya semakin
padat, karena saya memiliki beberapa agenda yang harus saya kerjakan. Saya
mengikuti kepanitiaan beberapa event yang diselenggarakan organisasi
kemahasiswaan, saya harus mengikuti kursus singkat legislatif dan beberapa
agenda lainnya. Berbeda dengan kehidupan kuliah saya 4 semester yang lalu yang
saya rasakan memang agak santai.
Selama saya berdomisili di Jogja, saya sudah 2 kali pulang ke kota kelahiran
saya. Pada awalnya saya berpikir kalau pulang kampung tidaklah begitu penting.
Tetapi semuanya berubah ketika saya pulang yang terakhir kali pada bulan Juli
yang lalu. Bahwa saya merasakan setiap detik, setiap menit, setiap waktu yang
berjalan sangatlah berarti ketika saya bersama keluarga saya. Saya kemudian
mengubah rencana saya untuk pulang setiap setahun sekali jika situasi dan kondisi
memungkinkan. Dan sekarang saya disini, melanjutkan kembali studi pertanian
saya dengan berharap suatu saat nanti saya bisa wisuda, saya dapat berkarya di
bidang pertanian dan membanggakan keluarga saya.
Rencana saya setelah saya menyelesaikan S1 saya adalah bekerja untuk
menabung agar saya bisa melanjutkan kuliah S2 saya di Eropa atau Amerika
Serikat. Saya juga berharap dapat melanjutkan kuliah saya sampai S3. Sejauh ini
persiapan saya masih belum matang. Saya memiliki strategi tersendiri untuk
mencapai apa yang menjadi target saya. Dan saya berdoa semoga rencana-rencana
saya direstui oleh Allah. Selain rencana yang saya susun untuk diri saya sendiri,
saya juga memiliki rencana terhadap keluarga saya. Karena saya merupakan satu-
satunya anak laki-laki dalam keluarga saya, saya merasa bahwa saya lebih
bertanggung jawab untuk menjaga ibu dan kedua kakak saya.
Sekian dulu cerita tentang hidup saya. Apapun yang saya tulis disini masih
belum cukup untuk mewakili seluruh kisah hidup saya. Saya berharap pembaca
dapat mengambil pelajaran dari otobiografi ini dan menjadi renungan yang
bermanfaat.

Bersambung

Anda mungkin juga menyukai