Anda di halaman 1dari 45

MODUL PRAKTIKUM

ANALISIS KIMIA AIR DAN MAKANAN

Disusun oleh:
Muhammad Hadi Sulhan

PRODI ANALIS KESEHATAN


STIKES KARSA HUSADA GARUT
2016
DAFTAR ISI
1. Perundang-undangan tentang kualitas air................................................................... 1
2. Tekhnik Sampling Pada Air........................................................................................ 2
3. Analisa Ion Klor Aktif................................................................................................ 3
4. Analisa Ion Sulfida..................................................................................................... 4
5. Analisa TSS dan TDS................................................................................................. 5
6. Analisa Ion Nitrat....................................................................................................... 6
7. Analisa Kandungan Besi............................................................................................ 7
8. Analisa Nilai COD (Chemical Oxygen Demand)........................................................ 8
I. PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG KUALITAS AIR
Perkembangan ekonomi Indonesia yang semakin pesat menyebabkan semakin
banyaknya pabrik yang berdiri. Berdasarkn data dari BPS (Badan Pusat Statistik)
sampai tahun 2013 tercatat 23.941 pabrik dengan skala besar dan menengah. setiap
pabrik akan menghasilkan limbah tergantung dari bahan produksi yang dipakai. Limbah
yang dihasilkan apabila tidak diolah dengan baik akan menyebabkan pencemaran
lingkungan salah satunya perairan. Untuk mengendalikan tingkat pencemaran air, maka
Pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi mengeluarkan Peraturan Pemerintah
untuk mengatur kualitas air sebagai acuan untuk pabrik dalam membuang limbah ke
lingkungan. Salah satu peraturan yang dikeluarkan pemerintah adalah PP. No. 82 Tahun
2001. Peraturan pemerintah ini mngatur tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air.
Bab I berisi tentang ketentuan umum, bab II tentang pengelolaan kualitas air,
bab III tentang pengendalian pencemaran air, bab IV tentang pelaporan, bab V tentang
hak dan kewajiban, bab VI tentang persyartan pemanfaatan dan pembuangan air limbah,
bab VII Tentang pembinaan dan pengawasan, bab VIII tentang sanksi, bab IX tentang
ketentuan peralihan dan bab X tentang ketentuan penutup. Adapun isi secara lengkap
dari bab I dan seterusnya adalah sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1) Air adalah semua air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah, kecuali air
laut dan air fosil;
2) Sumber air adalah wadah air yang terdapat di atas dan di bawah permukaan tanah,
termasuk dalam pengertian ini akuifer, mata air, sungai, rawa, danau, situ, waduk, dan
muara;
3) Pengelolaan kualitas air adalah upaya pemeliharaan air sehingga tercapai kualitas air
yang diinginkan sesuai peruntukannya untuk menjamin agar kualitas air tetap dalam
kondisi alamiahnya;
4) Pengendalian pencemaran air adalah upaya pencegahan dan penanggulangan
pencemaran air serta pemulihan kualitas air untuk menjamin kualitas air agar sesuai
dengan baku mutu air;
5) Mutu air adalah kondisi kualitas air yang diukur dan atau diuji berdasarkan
parameterparameter tertentu dan metoda tertentu berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
6) Kelas air adalah peringkat kualitas air yang dinilai masih layak untuk dimanfaatkan bagi
peruntukan tertentu;
7) Kriteria mutu air adalah tolok ukur mutu air untuk setiap kelas air;
8) Rencana pendayagunaan air adalah rencana yang memuat potensi pemanfaatan atau
penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun
kuantitas-nya, dan atau fungsi ekologis;
9) Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya di dalam air;
10) Status mutu air adalah tingkat kondisi mutu air yang menunjukkan kondisi cemar atau
kondisi baik pada suatu sumber air dalam waktu tertentu dengan membandingkan
dengan baku mutu air yang ditetapkan;
11) Pencemaran air adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan
atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya;
12) Beban pencemaran adalah jumlah suatu unsur pencemar yang terkandung dalam air atau
air limbah;
13) Daya tampung beban pencemaran adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk
menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi
cemar;
14) Air limbah adalah sisa dari suatu hasil usaha dan atau kegiatan yang berwujud cair;
15) Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan atau jumlah
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang
atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan atau kegiatan;
16) Pemerintah adalah Presiden beserta para menteri dan Ketua/ Kepala Lembaga
Pemerintah Nondepartemen;
17) Orang adalah orang perseorangan, dan atau kelompok orang, dan atau badan hukum;
18) Menteri adalah menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.

Pasal 2
(1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air diselenggarakan secara
terpadu dengan pendekatan ekosistem.
(2) Keterpaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.

Pasal 3
Penyelenggaraan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dilaksanakan oleh pihak ketiga
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 4
(1) Pengelolaan kualitas air dilakukan untuk menjamin kualitas air yang diinginkan sesuai
peruntukannya agar tetap dalam kondisi alamiahnya.
(2) Pengendalian pencemaran air dilakukan untuk menjamin kualitas air agar sesuai dengan
baku mutu air melalui upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran air serta
pemulihan kualitas air.
(3) Upaya pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pada :
a. sumber air yang terdapat di dalam hutan lindung;
b. mata air yang terdapat di luar hutan lindung; dan
c. akuifer air tanah dalam.
(4) Upaya pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan
di luar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Ketentuan mengenai pemeliharaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
huruf c ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB II PENGELOLAAN KUALITAS AIR Bagian Pertama
Wewenang Pasal 5
(1) Pemerintah melakukan pengelolaan kualitas air lintas propinsi dan atau lintas batas
negara.
(2) Pemerintah Propinsi mengkoordinasikan pengelolaan kualitas air lintas
Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengelolaan kualitas air di Kabupaten/Kota.

Pasal 6
Pemerintah dalam melakukan pengelolaan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.

Bagian Kedua Pendayagunaan Air Pasal 7


(1) Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota menyusun rencana
pendayagunaan air.
(2) Dalam merencanakan pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib
memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta adat
istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat.
(3) Rencana pendayagunaan air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi potensi
pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik
kualitas maupun kuantitas dan atau fungsi ekologis.

Bagian Ketiga Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air Pasal 8


(1) Klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi 4 (empat) kelas :
a. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau
peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
b. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air,
pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau
peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
c. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air
tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut;
d. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan
tersebut.
(2) Kriteria mutu air dari setiap kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 9
(1) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 pada :
a. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Propinsi dan atau merupakan
lintas batas wilayah negara ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih wilayah Kabupaten/Kota dapat diatur
dengan Peraturan Daerah Propinsi.
c. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota .
(2) Penetapan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan berdasarkan pada
hasil pengkajian yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan atau
Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan wewenangnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk
melakukan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
(4) Pedoman pengkajian untuk menetapkan kelas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.

Bagian Keempat Baku Mutu Air, Pemantauan Kualitas Air, Dan Status Mutu
Air
Pasal 10
Baku mutu air ditetapkan berdasarkan hasil pengkajian kelas air dan kriteria mutu air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
Pasal 11
(1) Pemerintah dapat menetapkan baku mutu air yang lebih ketat dan atau penambahan
parameter pada air yang lintas Propinsi dan atau lintas batas negara, serta sumber air
yang pengelolaannya di bawah kewenangan Pemerintah.
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan
Menteri dengan memperhatikan saran masukan dari instansi terkait. Pasal 12
(1) Pemerintah Propinsi dapat menetapkan :
a. baku mutu air lebih ketat dari kriteria mutu air untuk kelas yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dan atau
b. tambahan parameter dari yang ada dalam kriteria mutu air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (2).
(2) Baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan
Daerah Propinsi.
(3) Pedoman penetapan baku mutu air dan penambahan parameter baku mutu air
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 13
(1) Pemantauan kualitas air pada :
a. sumber air yang berada dalam wilayah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota;
b. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah Kabupaten/Kota dalam satu
propinsi dikoordinasikan oleh Pemerintah Propinsi dan dilaksanakan oleh masing-
masing Pemerintah Kabupaten/Kota;
c. sumber air yang berada dalam dua atau lebih daerah propinsi dan atau sumber air
yang merupakan lintas batas negara kewenangan pemantauannya berada pada
Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat menugaskan Pemerintah Propinsi yang bersangkutan untuk
melakukan pemantauan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf c.
(3) Pemantauan kualitas air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
sekurangkurangnya 6 (enam) bulan sekali.
(4) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf b,
disampaikan kepada Menteri.
(5) Mekanisme dan prosedur pemantauan kualitas air ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 14
(1) Status mutu air ditetapkan untuk menyatakan :
a. kondisi cemar, apabila mutu air tidak memenuhi baku mutu air;
b. kondisi baik, apabila mutu air memenuhi baku mutu air.
(2) Ketentuan mengenai tingkatan cemar dan tingkatan baik status mutu air sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan pedoman penentuan status mutu air ditetapkan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
(1) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi cemar, maka Pemerintah dan
Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai dengan kewenangan masing-
masing melakukan upaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan kualitas air
dengan menetapkan mutu air sasaran.
(2) Dalam hal status mutu air menunjukkan kondisi baik, maka Pemerintah dan Pemerintah
Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing
mempertahan-kan dan atau meningkatkan kualitas air. Pasal 16
(1) Gubernur menunjuk laboratorium lingkungan yang telah diakreditasi untuk melakukan
analisis mutu air dan mutu air limbah dalam rangka pengendalian pencemaran air.
(2) Dalam hal Gubernur belum menunjuk laboratorium sebagai-mana dimaksud dalam ayat
(1), maka analisis mutu air dan mutu air limbah dilakukan oleh laboratorium yang
ditunjuk Menteri.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi perbedaan hasil analisis mutu air atau mutu air limbah dari dua atau
lebih laboratorium maka dilakukan verifikasi ilmiah terhadap analisis yang dilakukan.
(2) Verifikasi ilmiah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan
menggunakan laboratorium rujukan nasional.
BAB III PENGENDALIAN PENCEMARAN AIR Bagian
Pertama Wewenang
Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pengendalian pencemaran air pada sumber air yang lintas
Propinsi dan atau lintas batas negara.
(2) Pemerintah Propinsi melakukan pengendalian pencemaan air pada sumber air yang
lintas Kabupaten/Kota.
(3) Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pengendalian pence-maran air pada sumber air
yang berada pada Kabupaten/Kota.
Pasal 19
Pemerintah dalam melakukan pengendalian pencemaran air sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menugaskan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah
Kabupaten/Kota yang bersangkutan.
Pasal 20
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan
kewenangan masing-masing dalam rangka pengendalian pencemaran air pada sumber
air berwenang :
a. menetapkan daya tampung beban pencemaran;
b. melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar;
c. menetapkan persyaratan air limbah untuk aplikasi pada tanah;
d. menetapkan persyaratan pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
e. memantau kualitas air pada sumber air; dan
f. memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air.

Pasal 21
(1) Baku mutu air limbah nasional ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan
memperhatikan saran masukan dari instansi terkait.
(2) Baku mutu air limbah daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi dengan
ketentuan sama atau lebih ketat dari baku mutu air limbah nasional sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(3) Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar sebagai-mana dimaksud dalam
Pasal 20 huruf b, yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota
disampaikan kepada Menteri secara berkala sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(4) Pedoman inventarisasi ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Pasal 22
Berdasarkan hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3),
Menteri menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air.

Pasal 23
(1) Dalam rangka upaya pengendalian pencemaran air ditetapkan daya tampung beban
pencemaran air pada sumber air.
(2) Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali.
(3) Daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipergunakan
untuk :
a. pemberian izin lokasi;
b. pengelolaan air dan sumber air;
c. penetapan rencana tata ruang;
d. pemberian izin pembuangan air limbah;
e. penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air.
(4) Pedoman penetapan daya tampung beban pencemaran sebagai-mana dimaksud dalam
ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua Retribusi Pembuangan Air Limbah


Pasal 24
(1) Setiap orang yang membuang air limbah ke prasarana dan atau sarana pengelolaan air
limbah yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dikenakan retribusi.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota.
Bagian Ketiga Penanggulangan Darurat
Pasal 25
Setiap usaha dan atau kegiatan wajib membuat rencana penang-gulangan pencemaran
air pada keadaan darurat dan atau keadaan yang tidak terduga lainnya. Pasal 26
Dalam hal terjadi keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, maka
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib melakukan penanggulangan dan
pemulihan.

BAB IV PELAPORAN
Pasal 27
(1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui terjadinya pencemaran air, wajib
melaporkan kepada Pejabat yang berwenang.
(2) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib mencatat :
a. tanggal pelaporan;
b. waktu dan tempat;
c. peristiwa yang terjadi;
d. sumber penyebab;
e. perkiraan dampak.
(3) Pejabat yang berwenang yang menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya laporan, wajib meneruskannya kepada Bupati/Walikota/ Menteri.
(4) Bupati/Walikota/Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) wajib segera
melakukan verifikasi untuk mengetahui tentang kebenaran terjadinya pelanggaran
terhadap pengelolaan kualitas air dan atau terjadinya pencemaran air
(5) Apabila hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan telah
terjadinya pelanggaran, maka Bupati/ Walikota/Menteri wajib memerintahkan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk menanggulangi pelanggaran dan atau
pencemaran air serta dampaknya.
Pasal 28
Dalam hal penanggung jawab usaha dan atau kegiatan tidak melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan Pasal 27 ayat (5) Bupati/Walikota/Menteri
dapat melaksanakan atau menugaskan pihak ketiga untuk melaksanakannya atas beban
biaya penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang bersangkutan.
Pasal 29
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atau pihak ketiga yang ditunjuk
untuk melakukan penanggulangan pencemaran air dan pemulihan kualitas air, wajib
menyampaikan laporannya kepada Bupati/Walikota/Menteri.

BAB V HAK DAN KEWAJIBAN Bagian Pertama Hak


Pasal 30
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama atas kualitas air yang baik.
(2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status
mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran air.
(3) Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan kualitas
air dan pengendalian pencemaran air sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Bagian Kedua Kewajiban


Pasal 31 Setiap orang wajib :
a. melestarikan kualitas air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(3)
b. mengendalikan pencemaran air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (4).
Pasal 32
Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan
informasi yang benar dan akurat mengenai pelaksanaan kewajiban pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Pasal 33
Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan
informasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air.
Pasal 34
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib menyampaikan laporan tentang
penaatan persyaratan izin aplikasi air limbah pada tanah.
(2) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegitan wajib menyampaikan laporan tentang
penaatan persyaratan izin pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan
sekurangkurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan disampaikan kepada Menteri.
(4) Ketentuan mengenai pedoman pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.

BAB VI PERSYARATAN PEMANFAATAN DAN


PEMBUANGAN AIR LIMBAH Bagian Pertama
Pemanfaatan Air Limbah
Pasal 35
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan memanfaatkan air limbah ke tanah untuk
aplikasi pada tanah wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasar-kan pada hasil kajian
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan
dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
(3) Ketentuan mengenai syarat, tata cara perizinan ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan
memperhatian pedoman yang ditetap-kan oleh Menteri.
Pasal 36
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi
pada tanah.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa
mengajukan permohonan izin kepada Bupati/ Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh
pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan
bahwa pemanfaatan air limbah ke tanah untuk aplikasi pada tanah layak lingkungan,
maka Bupati/ Walikota menerbitkan izin pemanfaatan air limbah.
(6) Penerbitan izin pemanfaatan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin.
(7) Pedoman pengkajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan Keputusan Menteri.

Bagian Kedua Pembuangan Air Limbah Pasal 37


Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air
atau sumber air wajib mencegah dan menang-gulangi terjadinya pencemaran air.

Pasal 38
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang membuang air limbah ke air
atau sumber air wajib mentaati persyaratan yang ditetapkan dalam izin.
(2) Dalam persyaratan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib dicantumkan :
a. kewajiban untuk mengolah limbah;
b. persyaratan mutu dan kuantitas air limbah yang boleh dibuang ke media
lingkungan;
c. persyaratan cara pembuangan air limbah;
d. persyaratan untuk mengadakan sarana dan prosedur penanggulangan keadaan
darurat;
e. persyaratan untuk melakukan pemantauan mutu dan debit air limbah ;
f. persyaratan lain yang ditentukan oleh hasil pemeriksaan analisis mengenai dampak
lingkungan yang erat kaitannya dengan pengendalian pencemaran air bagi usaha
dan atau kegiatan yang wajib melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan;
g. larangan pembuangan secara sekaligus dalam satu saat atau pelepasan dadakan;
h. larangan untuk melakukan pengenceran air limbah dalam upaya penaatan batas
kadar yang dipersyaratkan;
i. kewajiban melakukan swapantau dan kewajiban untuk melaporkan hasil
swapantau.
(3) Dalam penetapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi air limbah
yang mengandung radioaktif, Bupati/ Walikota wajib mendapat rekomendasi tertulis
dari lembaga pemerintah yang bertanggung jawab di bidang tenaga atom. Pasal 39
(1) Bupati/Walikota dalam menentukan baku mutu air limbah yang diizinkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) didasarkan pada daya tampung beban pencemaran
pada sumber air.
(2) Dalam hal daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
belum dapat ditentukan, maka batas mutu air limbah yang diizinkan ditetapkan
berdasarkan baku mutu air limbah nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1).

Pasal 40
(1) Setiap usaha dan atau kegiatan yang akan membuang air limbah ke air atau sumber air
wajib mendapat izin tertulis dari Bupati/Walikota.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan pada hasil kajian
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan
dan Upaya Pemantauan Lingkungan.
Pasal 41
(1) Pemrakarsa melakukan kajian mengenai pembuangan air limbah ke air atau sumber air.
(2) Hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi sekurang-kurangnya :
a. pengaruh terhadap pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman;
b. pengaruh terhadap kualitas tanah dan air tanah; dan
c. pengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
(3) Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemrakarsa
mengajukan permohonan izin kepada Bupati/ Walikota.
(4) Bupati/Walikota melakukan evaluasi terhadap hasil kajian yang diajukan oleh
pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) menunjukkan
bahwa pembuangan air limbah ke air atau sumber air layak lingkungan, maka
Bupati/Walikota menerbitkan izin pembuangan air limbah.
(6) Penerbitan izin pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (5)
diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan izin.
(7) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuangan air limbah ditetapkan
oleh Bupati/Walikota dengan memper-hatikan pedoman yang ditetapkan Menteri.
(8) Pedoman kajian pembuangan air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 42
Setiap orang dilarang membuang limbah padat dan atau gas ke dalam air dan atau
sumber air.

BAB VII PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Bagian


Pertama Pembinaan
Pasal 43
(1) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan
untuk meningkatkan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan dalam
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. pemberian penyuluhan mengenai peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan pengelolaan lingkungan hidup;
b. penerapan kebijakan insentif dan atau disinsentif.
(3) Pemerintah, pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan upaya
pengelolaan dan atau pembinaan pengelolaan air limbah rumah tangga.
(4) Upaya pengelolaan air limbah rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat dilakukan oleh pemerintah Propinsi, pemerintah Kabupaten/Kota dengan
membangun sarana dan prasarana pengelolaan limbah rumah tangga terpadu.
(5) Pembangunan sarana dan prasasara sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat
dilakukan melalui kerja sama dengan pihak ketiga sesuai dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku.

Bagian Kedua Pengawasan P


asal 44
(1) Bupati/Walikota wajib melakukan pengawasan terhadap penaatan persyaratan yang
tercantum dalam izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2).
(2) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pejabat
pengawas lingkungan daerah.
Pasal 45
Dalam hal tertentu pejabat pengawas lingkungan melakukan pengawasan terhadap
penaatan persyaratan yang tercantum dalam izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Pasal 46
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pejabat pengawas lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 berwenang :
a. melakukan pemantauan yang meliputi pengamatan, pemotretan, perekaman audio
visual, dan pengukuran;
b. meminta keterangan kepada masyarakat yang berkepenting-an, karyawan yang
bersangkutan, konsultan, kontraktor, dan perangkat pemerintahan setempat;
c. membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan, antaran
lain dokumen perizinan, dokumen AMDAL, UKL, UPL, data hasil swapantau,
dokumen surat keputusan organisasi perusahaan;
d. memasuki tempat tertentu;
e. mengambil contoh dari air limbah yang dihasilkan, air limbah yang dibuang, bahan
baku, dan bahan penolong;
f. memeriksa peralatan yang digunakan dalam proses produksi, utilitas, dan instalasi
pengolahan limbah;
g. memeriksa instalasi, dan atau alat transportasi;
h. serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan atau
kegiatan;
(2) Kewenangan membuat catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c meliputi
pembuatan denah, sketsa, gambar, peta, dan atau deskripsi yang diperlukan dalam
pelaksanaan tugas pengawasan.
Pasal 47
Pejabat pengawas dalam melaksanakan tugasnya wajib memperlihat-kan surat tugas
dan atau tanda pengenal.

BAB VIII SANKSI


Bagian Pertama Sanksi Administrasi
Pasal 48
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 24
ayat (1), Pasal 25, Pasal 26, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 40,
dan Pasal 42, Bupati/Walikota berwenang menjatuhkan sanksi administrasi.

Pasal 49
Setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melanggar ketentuan Pasal 25,
Bupati/Walikota/Menteri berwenang menerap-kan paksaan pemerintahan atau uang
paksa.
Bagian Kedua Ganti Kerugian
Pasal 50
(1) Setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan atau perusakan lingkungan
hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan atau
melakukan tindakan tertentu.
(2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), hakim dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari
keterlambatan penyelesaian tindakan tertentu tersebut.
(3)
Bagian Ketiga Sanksi Pidana
Pasal 51
Barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 26, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 37, Pasal
38, Pasal 41, dan Pasal 42, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran air, diancam
dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BAB IX KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 52
Baku mutu air limbah untuk jenis usaha dan atau kegiatan tertentu yang telah
ditetapkan oleh daerah, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini.

Pasal 53
(1) Bagi usaha dan atau kegiatan yang menggunakan air limbah untuk aplikasi pada tanah,
maka dalam jangka waktu satu tahun setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini
wajib memiliki izin pemanfaatan air limbah pada tanah dari Bupati/Walikota.
(2) Bagi usaha dan atau kegiatan yang sudah beroperasi belum memiliki izin pembuangan
air limbah ke air atau sumber air, maka dalam waktu satu tahun sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah ini wajib memperoleh izin pembuangan air limbah ke air atau
sumber air dari Bupati/Walikota.

BAB X KETENTUAN PENUTUP


Pasal 54
Penetapan daya tampung beban pencemaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (3) wajib ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 55
Dalam hal baku mutu air pada sumber air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan
Pasal 12 ayat (1) belum atau tidak ditetapkan, berlaku kriteria mutu air untuk Kelas II
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini sebagai baku mutu
air.

Pasal 56
(1) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya
Peraturan Pemerintah ini, baku mutu air yang telah ditetapkan sebelumnya wajib
disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Dalam hal baku mutu air sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih ketat dari baku
mutu air dalam Peraturan Pemerintah ini, maka baku mutu air sebelumnya tetap berlaku.

Pasal 57
(1) Dalam hal jenis usaha dan atau kegiatan belum ditentukan baku mutu air limbahnya,
maka baku mutu air limbah yang berlaku di daerah tersebut dapat ditetapkan setelah
mendapat rekomendasi dari Menteri.
(2) Ketentuan mengenai baku mutu air limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Propinsi.
Pasal 58
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air yang
telah ada, tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 59
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 20
Tahun 1990 tentang Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Tahun 1990
Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3409) dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 60
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan


Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
II. TEKHNIK PENGAMBILAN SAMPEL AIR
Sistem pengambilan sampel memegang peranan sangat penting dalam
pemantauan kualitas air. Ketelitian analisis dan ketepatan sistem pengambilan
sampel akan mempengaruhi data hasil analisis. Apabila terdapat kesalahan dalam
pengambilan sampel, maka sampel yang diambil tidak representatif sehingga
ketelitian dan teknik peralatan yang baik akan terbuang percuma. Selain dari pada
itu dikhawatirkan kesimpulan yang diambil juga akan salah.
Untuk mendapatkan sampel yang baik dan representatif diperlukan
beberapa persyaratan antara lain:
A. Pemilihan lokasi yang tepat
Pemilihan lokasi sangat berpengaruh terhadap kualitas sampling yang
dilakukan. Kualitas dalam hal ini berarti apakah sampel yang diambil
representatif atau tidak. Untuk mendapatkan data yang representatif harus
diperhatikan bahwa data yang digunakan terjamin kebenarannya sehingga
dalam pemantauan kualitas air perlu dipertimbangkan pemilihan lokasi secara
berikut : Tahap pertama dalam perencanaan sistem pemantauan air adalah
pengumpulan data mengenai keadaan lingkungan serta karakteristik dan
pemanfaatan sumber air. Berdasarkan data tersebut dapat direncanakan lokasi
pengambilan sampel yang tepat sesuai dengan keperluannya. Dalam tata cara
ini diberikan suatu penuntun pemilihan lokasi yang tepat. Ada tiga dasar yang
perlu dipertimbangkan dalam pemilihan lokasi pengambilan sampel.
a) Kualitas air sebelum adanya pengaruh kegiatan manusia yaitu pada lokasi
hulu sungai yang dimaksudkan untuk mengetahui kualitas air secara
alamiah sebagai base line station.
b) Pengaruh kegiatan manusia terhadap kualitas air dan pengaruhnya untuk
pemanfaatan tertentu. Lokasi ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh
kegiatan manusia yang disebut impact station.
c) Sumber-sumber pencemaran yang dapat memasukkan zat-zat yang
berbahaya kedalam sumber air. Lokasi ini dimaksudkan untuk mengetahui
sumber penyebaran bahan-bahan yang berbahaya, sehingga dapat
ditanggulangi. Letak lokasi dapat di hulu ataupun di hilir sungai,
bergantung pada sumber dan jenis zat berbahaya tersebut apakah alamiah
ataupun buatan.
B. Penetapan frekuensi pengambilan sampel
1) Frekuensi pengambilan sampel
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi pengambilan
sampel yaitu: perubahan kualitas air, waktu pengambilan sampel dan debit
air.
a) Perubahan kualitas air
Perubahan kualitas air disebabkan oleh perubahan kadar unsur
yang masuk ke dalam air, kecepatan alir dan volume air. Perubahan
tersebut dapat terjadi sesaat ataupun secara teratur dan terus menerus
dalam suatu periode waktu. Sungai dan sumber air lainnya dapat
mengalami perubahan yang sesaat maupun yang terus menerus.
Sumber yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut dapat
secara alamiah ataupun buatan. Kedua perubahan tersebut dapat
dijelaskan dibawah ini.
i. Perubahan sesaat
Perubahan sesaat disebabkan oleh suatu kejadian yang tiba-
tiba dan seringkali tidak dapat diramalkan. Sebagai sampel
turunnya hujan lebat yang tiba-tiba akan menyebabkan
bertambahnya debit air yang diikuti oleh terbawanya bahan-
bahan pencemaran dari pengikisan di daerah sekitarnya.
Tumpahan dan bocoran dari limbah industri atau pertanian dapat
pula merubah kualitas air sesaat.
ii. Perubahan terus-menerus
Perubahan secara terus menerus setiap tahun dapat terjadi
karena turunnya hujan atau turunnya suhu yang beraturan tiap-
tiap musim. Perubahan musim akan menyebabkan terjadinya
perubahan komposisi air serta kecepatan pembersihan air secara
alamiah (self purification). Perubahan secara teratur dapat pula
terjadi setiap hari secara alamiah, misalnya perubahan pH,
oksigen terlarut, suhu dan alkaliniti. Kegiatan industri dan
pertanian pada suatu daerah dapat pula mempengaruhi kualitas air
secara teratur selama periode terjadinya kegiatan pembuangan
limbahnya. Sedangkan kegiatan domestik dapat menyebabkan
perubahan harian dan mingguan. Perubahan kualitas air yang
teratur dapat pula disebabkan oleh adanya pengaturan debit air
yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk keperluan
tertentu.
b) Waktu pengambilan sampel
Perubahan kualitas air yang terus menerus perlu
dipertimbangkan dalam penentuan waktu pengambilan sampel pada
sumber air. Sampel perlu diambil pada waktu tertentu dan periode
yang tetap sehingga data dapat digunakan untuk mengevaluasi
perubahan kualitas air, akan tetapi kualitas air pada saat tersebut
tidaklah menggambarkan kualitas air pada saat-saat yang lain. Hal ini
terjadi terutama pada kualitas air yang berubah setiap waktu. Sebagai
sampel pada Gambar 1 menunjukkan perubahan kualitas air yang
sangat ekstrim selama pengukuran selama tiga minggu.

Dari gambar tersebut , perhitungan nilai rata-rata harian adalah


6,1. Akan tetapi apabila sampel hanya diambil setiap hari keempat ,
maka nilai rata-rata menjadi 9. Sedangkan bila diambil setiap hari
pertama nilai rata-ratanya menjadi 3. Untuk mengetahui kesalahan ini
maka frekuensi pengambilan sampel setiap minggu diambil sebanyak
dua kali, sehingga diperlukan 6 kali pengambilan dalam periode tiga
minggu.
c) Debit air
Kadar dari zat-zat tertentu di dalam air dipengaruhi oleh debit
air sungai atau volume sumber air. Selama debit aliran yang kecil
dimusim kemarau, frekuensi pengambilan sampel perlu ditingkatkan
terutama pada sungai yang menampung limbah industri, domestik dan
pertanian. Pengukuran debit air diperlukan pula untuk menghitung
jumlah beban pencemaran dan diperlukan pula untuk membandingkan
kualitas air pada debit rendah dan debit besar selama periode
pemantauan.
2) Penentuan frekuensi pengambilan sampel
Untuk memperoleh data yang baik maka jumlah frekuensi
pengambilan sampel air pada suatu lokasi perlu ditentukan secara
sistematis. Guna menentukan jumlah frekuensi pengambilan sampel ini
terdapat tahapan-tahapan yang perlu diperhatikan.
a) Pengumpulan informasi
Pengumpulan informasi meliputi: i) kondisi-kondisi yang
mempengaruhi kualitas air pada suatu lokasi, misalnya sumber
pencemaran, titik pemanfaatan dan sebagainya, di samping itu
informasi ini juga diperlukan untuk menentukan titik pengambilan
sampel air; ii) data hasil analisis kualitas air yang ada dimana
informasi ini digunakan untuk membantu memperkirakan perubahan
kualitas air pada lokasi tersebut.
b) Penetapan parameter yang diperiksa
Setelah diketahui keperluan dari pemantauan yang akan
dilakukan maka ditetapkan parameter-parameter yang penting untuk
diperiksa sesuai dengan pemanfaatan airnya dan batasan kadar dari
parameter-parameter tersebut sesuai standar kualitas air setempat. Hal
ini akan mempengaruhi pemanfaatan air pada saat ini dan masa yang
akan datang.
C. Cara pengambilan sampel
Sebelum melakukan sampling perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
1) Mencuci wadah yang digunakan dengan air sampel yang akan diambil, hal
ini dimaksudkan agar tidak ada penambahan matriks pada sampel, yang
dikarenakan oleh zat-zat yang ada pada wadah
2) Isi penuh wadah dengan sampel air, hal ini dimaksudkan agar tidak ada
oksigen yang terperangkap pada wadah
3) Pada air yang mengalir, sampel diambil dari arah hulu.
4) Pada sampling air keran, air pada keran dibiarkan mengalir selama satu
menit baru dilakukan sampel.
Beberapa metode sampling yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Grab Sampling
2) Komposit Sampling
3) Kontinyu Samplig
D. Perlakuan sampel di lapangan.
Berdasarkan SNI 6989.59:2008, berikut tabel cara penyimpanan dan
pengawetan sampel parameter-parameter yang ada pada air dan air limbah:
III. ANALISIS KADAR KLOR AKTIF
A. Pendahuluan
Bermacam-macam zat kimia seperti ozon (O3), klor (Cl2), Klordioksida
(ClO2) dan proses penyinaran dengan ultraviolet digunakan untuk desinfektan
air. Dari bermacam-macam zat kimia yang disebutkan di atas, klor adalah zat
kimia yang sering digunakan untuk karena harganya yang murah dan masih
mempunyai daya desinfektan yang tahan sampai beberapa jam setelah
pembubuhan.
Selain dapat membasmi bakteri dan mikroorganisme seperti amuba,
ganggang dan lain sebagainya, klor dapat mengoksidasi ion-ion logam seperti
Fe2+ dan Mn2+ menjadi Fe3+ dan Mn4+ dan memecah molekul organis seperrti
zat warna. Selama proses tersebut klor sendiri direduksi sampai menjadi Cl-
yang tidak mempunyai daya desinfektan
B. Istilah dan definisi
1) Larutan baku klorida, Cl- larutan yang mempunyai kadar klorida, Cl- yang
diencerkan dengan air suling sampai kadar tertentu
2) Larutan blanko bebas klorida air suling yang tidak mengandung klorida
atau mengandung klorida dengan kadar lebih rendah dari batas deteksi
3) Blind sample larutan baku dengan kadar tertentu, yang dibuat oleh seorang
analis atau penyelia untuk diuji kadarnya oleh analis yang lain
4) Spike matrix contoh uji yang diperkaya menggunakan larutan baku dengan
kadar tertentu
5) Certified Reference Material (CRM) bahan standar bersertifikat yang
tertelusur ke sistem nasional atau internasional
C. Cara Uji
1) Prinsip Kerja
Senyawa klorida dalam contoh uji air dapat dititrasi dengan larutan
perak nitrat dalam suasana netral atau sedikit basa (pH 7 sampai dengan
pH 10), menggunakan larutan indikator kalium kromat. Perak klorida
diendapkan secara kuantitatif sebelum terjadinya titik akhir titrasi, yang
ditandai dengan mulai terbentuknya endapan perak kromat yang berwarna
merah kecoklatan.
2) Persiapan bahan
a) Air suling bebas klorida;
b) Larutan natrium klorida (NaCl) 0,0141 N;
1) Keringkan serbuk NaCl dalam oven pada suhu 140oC selama 2 jam,
kemudian dinginkan dalam desikator.
2) Timbang 824 mg NaCl kering, kemudian larutkan dengan air suling
bebas klorida di dalam labu ukur 1000 mL. Tepatkan sampai tanda
tera dengan air suling bebas klorida. Larutan ini mempunyai kadar
klorida 500 g Cl-/mL.
c) Kertas saring bebas klorida berukuran pori 0,45 m;
d) Larutan indikator kalium kromat (K2CrO4) 5% b/v; Larutkan 5,0 g
K2CrO4 dengan sedikit air suling bebas klorida. Tambahkan larutan
AgNO3 sampai mulai terbentuk endapan merah kecoklatan yang jelas.
Biarkan 12 jam, lalu di saring. Filtrat yang diperoleh diencerkan
dengan air suling bebas klorida hingga volume 100 mL.
e) Larutan baku perak nitrat (AgNO3) 0,0141 N; Larutkan 2,395 g
AgNO3 dengan air suling bebas klorida dalam labu ukur 1000 mL dan
tepatkan sampai tanda tera. Lakukan pembakuan dengan
menggunakan larutan NaCl 0,0141 N. Simpan di dalam botol
berwarna coklat.
f) Suspensi ammonium hidroksida; Larutkan 125 g Al(K)(SO4)2.12H2O
atau Al(NH4)(SO4)2.12H2O dalam 1000 mL air suling bebas klorida.
Panaskan 60oC dan tambahkan 55 mL NH4OH pekat secara perlahan
sambil di aduk. Biarkan selama 1 jam, pindahkan ke dalam botol dan
cuci endapannya dengan cara di tambah air suling bebas klorida, di
aduk dan dienaptuangkan. Lakukan hal tersebut secara berulang-ulang
sampai bebas klorida. Tambahkan air suling bebas klorida sampai
volume mendekati 1000 mL.
g) Indikator fenol ftalein;
h) Larutan natrium hidroksida (NaOH) 1N;
i) Larutan asam sulfat (H2SO4) 1N; dan
j) Hidrogen peroksida (H2O2) 30%.
3) Peralatan
a) Buret 50 mL atau alat titrasi lain dengan skala yang jelas
b) Labu erlenmeyer 100 mL dan 250 mL
c) Labu ukur 100 dan 1000 mL
d) Gelas ukur 100 mL
e) Pipet volume 25 mL dan 50 mL
f) Pipet ukur 10 mL
g) Gelas piala 250 mL dan 1000 mL
h) Spatula
i) Alat pengukur pH
j) Pengaduk magnet
k) Corong gelas
l) Pemanas listrik
m) Timbangan analitik
n) Gelas arloji
o) Oven
p) Botol semprot
q) Botol cokelat
r) Desikator.
4) Persiapan pengujian sampel
Pembakuan larutan perak nitrat (AgNO3) dengan NaCl 0,0141 N
a) Pipet 25 mL larutan NaCl 0,0141 N, masukkan ke dalam labu
erlenmeyer 100 mL. Buat larutan blanko menggunakan 25 mL air
suling.
b) Tambahkan 1 mL larutan indikator K2CrO4 5% b/v dan diaduk
c) Titrasi dengan larutan AgNO3 sampai terjadi warna merah kecoklatan
d) Catat volume larutan AgNO3 yang digunakan untuk contoh uji (A mL)
dan blanko (B mL)
e) Lakukan pengukuran duplo. Bila standar deviasi (SD) kadar klorida
secara duplo lebih besar dari 5%, maka dilakukan titrasi yang ketiga
f) Catat volume AgNO3 yang digunakan, kemudian dirata-ratakan.
g) Hitung normalitas larutan baku AgNO3 dengan cara sebagai berikut:
V1 x N1
N AgNO3 = VAVB

dengan pengertian:
N AgNO3 adalah normalitas larutan baku AgNO3 (mgrek/mL)
VA adalah volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi larutan NaCl (mL)
VB adalah volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi blanko (mL)
N1 adalah normalitas larutan NaCl yang digunakan (mgrek/mL)
V1 adalah volume larutan NaCl yang digunakan (mL).
5) Prosedur
a) Gunakan 100 mL contoh uji air secara duplo, masukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 250 mL. Buat larutan blanko
b) Tambahkan 1 mL larutan indikator K2CrO4 5%
c) Titrasi dengan larutan baku AgNO3 sampai titik akhir titrasi yang
ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna merah kecoklatan
dari Ag2CrO4. Catat volume AgNO3 yang digunakan.
d) Lakukan titrasi blanko, seperti langkah c) sampai dengan d) terhadap
100 mL air suling bebas klorida (titrasi larutan blanko biasanya
memerlukan 0,2 mL sampai dengan 0,3 mL larutan baku AgNO3).
e) Ulangi titrasi tersebut tiga kali (dengan titik akhir titrasi yang
konsisten), rata-ratakan volume AgNO3 yang diperoleh.
f) Buat spike matrix dengan cara sebagai berikut : Ambil 95 mL contoh
uji yang memiliki pH 7 sampai dengan pH 10, tambahkan 5,0 mL
larutan baku natrium klorida, NaCl 0,0141 N. Masukkan ke dalam
labu erlenmeyer 250 mL. Lakukan langkah 4.6 b) sampai dengan 4.6
c)
6) Perhitungan
(AB) x N x 35,450
Kadar klorida (Cl-) (mg/L) = V

Dengan pengertian:
A adalah volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi contoh uji (mL)
B adalah volume larutan baku AgNO3 untuk titrasi blanko (mL)
N adalah normalitas larutan baku AgNO3 (mgrek/mL)
V adalah volume contoh uji

IV. ANALISIS KANDUNGAN ON SULFIDA


A. Pendahuluan
Sulfida (S2-) dapat bereaksi dengan larutan iodium berlebih dalam
larutan asam, iodium yang tersisa dari larutan ditentukan jumlahnya dengan
dititrasi oleh Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) dengan menggunakan indikator
amilum. Sesuai reaksi di bawah ini:
S2- + I2 H+
S + 2I1-
I2 + 2S2O32- S4O62- + 2I1-
Blanko yang dibuat harus memiliki kondisi yang sama dengan sampel.
Konsentrasi sulfida ditentukan dengan menghitung perbedaan antara volume
Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk mentitrasi blanko dan sampel.

B. Alat
1) Buret dengan kapasitas minimal 10 mL
2) Erlemeyer 250 mL
C. Bahan
1) Asam Klorida (HCl)
2) I2 0,01 N
3) Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,01 N
4) Indikator Amilum
D. Prosedur Kerja
1) Kocok sampel yang mengandung sulfida secara keras dan kemudian
memipet secara cepat 100 mL sampel kedalam gelas erlemeyer 250 mL
2) Memipet 100 mL larutan blanko kemudian memasukkannya ke dalam gelas
erlemeyer 250 mL
3) Menambahkan 10 mL I2 0,001 N kemudian dikocok
4) Setelah menambahkan I2 dengan tanpa jeda tambahkan kembali 10 mL HCl
pekat
5) Menambahkan 3 mL indikator amilum
6) Titrasi dengan natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0,01 N
E. Perhitungan
(VAVB)
Kandungan Sulfida (S2-) = V sampel x 0,163

Dimana
VA adalah Volume Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk mentritasi blanko
VB adalah Volume Na2S2O3 yang dibutuhkan untuk mentritasi sampel
V. Menentukan Kandungan Total Suspended Solid (TSS) Secara Gravimetri
A. Pendahuluan
Cara uji untuk menentukan kadar padatan terlarut total, padatan terlarut
total yang menguap dan padatan terlarut total yang terikat dalam air dan air
limbah secara gravimetri. Dalam pengujiannya, penimbangan padatan terlarut
total tidak boleh lebih dari 200 mg.
Penguapan contoh uji yang sudah disaring dengan kertas saring berpori
2 m pada suhu 180C kemudian ditimbang sampai berat tetap.
B. Alat
1) neraca analitik
2) Cawan terbuat dari porselen atau platina atau silika
3) Oven; d) tanur yang dipakai dapat dipanaskan sampai suhu 550oC
4) Penjepit kertas saring
5) Penjepit cawan
6) Kertas Saring
7) Penangas air
8) Pipet
9) Desikator.
C. Bahan
1) Air suling
2) Kertas saring bebas abu;
D. Prosedur Kerja
1) Padatan Terlarut Total
a) Kocok contoh uji sampai homogen
b) Pipet 50 mL sampai 100 mL contoh uji, masukkan ke dalam alat
penyaring yang telah dilengkapi dengan alat pompa penghisap dan
kertas saring
c) Operasikan alat penyaringnya
d) Setelah contoh tersaring semuanya bilas kertas saring dengan air suling
sebanyak 10 mL dan dilakukan 3 kali pembilasan
e) Lanjutkan penghisapan selama kira-kira 3 menit setelah penyaringan
sempurna;
f) Pindahkan seluruh hasil saringan termasuk air bilasan ke dalam cawan
yang telah mempunyai berat tetap
g) Uapkan hasil saringan yang ada dalam cawan sehingga kering pada
penangas air
h) Masukkan cawan yang berisi padatan terlarut yang sudah kering ke
dalam oven pada suhu 1800C 20C selama tidak kurang dari 1 jam;
i) Pindahkan cawan dari oven dengan penjepit dan dinginkan dalam
desikator
j) Setelah dingin segera timbang dengan neraca analitik
k) Ulangi langkah h) sampai j) sehingga diperoleh berat tetap (catat
sebagai B gram).
2) Padatan Terlarut Total yang Menguap
a) Lanjutkan langkah 3.6 k) dengan memanaskan cawan yang berisi
padatan terlarut yang sudah ditimbang di dalam tanur pada suhu 5500C
selama 15 menit sampai 20 menit
b) Keluarkan cawan dari tanur menggunakan penjepit dan biarkan pada
suhu kamar
c) Dinginkan dalam desikator dan segera timbang dengan neraca analitik
d) Ulangi langkah a) sampai c) sehingga diperoleh berat tetap (catat
sebagai C gram)
E. Perhitungan

VI. Menentukan Kandungan Total Dissolved Solid (TDS) Secara Gravimetri


A. Pendahuluan
Analisa kuantitatif secara gravimetri adalah analisa untuk berat dari
suatu unsur yang terdapat dalam persenyawaan dengan cara memisahkan
unsure tersebut dari persenyawaan kemudian ditimbang.
TDS (Total Dissolved Solid) yaitu ukuran zat terlarut (baik zat organik
maupun zat anorganik, misalnya garam) yang terdapat pada sebuah larutan.
Total padatan terlarut adalah bahan-bahan yang terlarut dalam air yang tidak
tersaring dengan kertas sarig milliopore dengan ukuran pori 0,45 m. Padatan
ini terdiri dari senyawa-senyawa anorganik dan organik yang terlarut dalam air,
mineral, dan garam-garamnya. Penyebab utama terjadinya TDS adalah bahan
anorganik berupa ion-ion yang umum dijumpai di perairan. Sebagai contoh, air
buangan sering mengandung molekul sabun, detergen, dan surfaktan yang larut
air, misalnya pada air buangan rumah tangga dan industri pencucian.
Total padatan terlarut (Total Dissolved Solid) adalah bahn-bahan terlarut
(diameter < 10-6 mm) dan koloid (diameter < 10-6 mm sampai dengan < 10-3
mm) yang berupa senyawa kimia dan bahan-bahan lain yang tidak tersaring
pada kertas saring berdiameter 0,45 m.
B. Alat
1) Desikator
2) Kompor listrik dengan pengaturan panas 7
3) Timbangan analitik
4) Pipet volum
5) Gelas beaker
6) Penjepit
7) Pompa vakum
8) Saringan fiberglass
9) Cawan porselen
C. Bahan
1) Kertas saring dengan beberapa ukuran
2) Air suling
D. Prosedur Percobaan
1) Ditimbang 2 cawan porselin kosong satu-persatu pada neraca anlitik.
2) Disaring contoh yang sudah diukur volumenya dan telah tercampur dengan
baik melalui saringan fiberglass.
3) Alat vakum dimatikan setelah semua sampel disaring.
4) Dipipet sebanyak 25 ml masing-masing sampel.
5) Dimasukkan ke dalam cawan porselin
a) Dimasukkan Sampel Air laut Bath Ayana pada cawan porselin I
b) Dimasukkan Sampel Air Laut Bali Intercontinental Resort pada cawan
poselin II
6) Dipanaskan/ diuapkan dengan kompor listrik diseting dengan suhu 180C.
7) Dibiarkan dingin kemudian timbang.
8) Dimasukkan dalam desikator selama 10 menit dan timbang lagi.
9) Tahapan pengeringan, pendinginan dalam desikator dan penimbangan
diulangi sampai kehilangan berat kurang dari 4% dari berat awal atau 0,5
mg.
E. Perhitungan
Untuk mengetahui jumlah zat padat terlarut pada masing-masing air limbah
digunakan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
(AB)x 1000
Jumlah TDS (mg/L) = V sampel

dengan pengertian :
A adalah berat kertas saring dan residu ditambah residu kering
B adalah berat kertas saring

VII. ANALISA ION NITRAT


VIII. ANALISA ION Fe
IX. ANALISA NILAI COD (Chemical Oxygen Demand)/KEBUTUHAN
OKSIGEN KIMIAWI (KOK)
1 Ruang lingkup
Metode ini digunakan untuk pengujian kebutuhan oksigen kimiawi
(KOK) dalam air dan air limbah dengan reduksi Cr2O72- secara
spektrofotometri pada kisaran nilai KOK 100 mg/L sampai dengan 900
mg/L pada panjang gelombang 600 nm dan nilai KOK lebih kecil 100
mg/L pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 420 nm.

Metode ini digunakan untuk contoh uji air dan air limbah dan tidak
berlaku bagi air limbah yang mengandung ion klorida lebih besar dari
2000 mg/L.
2 Istilah dan definisi
2.1 larutan induk
larutan baku kimia yang dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan
untuk membuat larutan baku dengan kadar yang lebih rendah

2.2 larutan baku


larutan induk yang diencerkan dengan air suling bebas organik, dan
mempunyai nilai KOK 500 mg/L

2.3 larutan kerja


larutan baku yang diencerkan dengan air suling bebas organik, digunakan
untuk membuat kurva kalibrasi dan mempunyai kisaran nilai KOK: 0,0
mg/L; 100 mg/L ; 200 mg/L; 300mg/L; 400mg/L

2.4 larutan blanko atau air suling bebas organik


adalah air suling yang tidak mengandung organik atau mengandung
organik dengan kadar lebih rendah dari batas deteksi
2.5 kurva kalibrasi
grafik yang menyatakan hubungan kadar larutan kerja dengan hasil
pembacaan absorbansi yang merupakan garis lurus

2.6 blind sample larutan baku dengan kadar tertentu

2.7 spike matrix contoh uji yang diperkaya dengan larutan baku dengan
kadar tertentu

2.8
SRM (Standard Reference Material) bahan standar yang tertelusur ke
sistem nasional
2.9
CRM (Certified Reference Material) bahan standar bersertifikat yang
tertelusur ke sistem nasional atau internasional

3 Cara uji
3.1 Prinsip

KOK (Chemical Oxygen Demand = COD) adalah jumlah oksidan Cr2O72-


yang bereaksi dengan contoh uji dan dinyatakan sebagai mg O2 untuk tiap
1000 mL contoh uji.

Senyawa organik dan anorganik, terutama organik dalam contoh uji


dioksidasi oleh Cr2O72- dalam refluks tertutup menghasilkan Cr3+. Jumlah
oksidan yang dibutuhkan dinyatakan dalam ekuivalen oksigen (O2 mg /L)
diukur secara spektrofotometri sinar tampak. Cr2O72- kuat mengabsorpsi
pada panjang gelombang 400 nm dan Cr3+ kuat mengabsorpsi pada
panjang gelombang 600 nm.

Untuk nilai KOK 100 mg/L sampai dengan 900 mg/L ditentukan kenaikan
Cr3+ pada panjang gelombang 600 nm. Pada contoh uji dengan nilai KOK
yang lebih tinggi, dilakukan pengenceran terlebih dahulu sebelum
pengujian. Untuk nilai KOK lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L
ditentukan pengurangan konsentrasi Cr2O72- pada panjang gelombang 420
nm.

3.2 Bahan

a) Air suling bebas klorida dan bebas organik.


b) Larutan pencerna (digestion solution) pada kisaran konsentrasi
tinggi.
Tambahkan 10,216 g K2Cr2O7 yang telah dikeringkan pada suhu
150C selama 2 jam ke dalam 500 ml air suling. Tambahkan 167
mL H2SO4 pekat dan 33,3 g HgSO4. Larutkan, dan dinginkan
pada suhu ruang dan encerkan sampai 1000 mL.
c) Larutan pencerna (digestion solution) pada kisaran konsentrasi
rendah.
Tambahkan 1,022 g K2Cr2O7 yang telah dikeringkan pada suhu
150C selama 2 jam ke dalam 500 mL air suling. Tambahkan 167
mL H2SO4 pekat dan 33,3 g HgSO4. Larutkan, dan dinginkan
pada suhu ruang dan encerkan sampai 1000 mL.
d) Larutan pereaksi asam sulfat
Tambahkan serbuk atau kristal Ag2SO4 teknis ke dalam H2SO4
pekat dengan perbandingan 5,5 g Ag2SO4 untuk tiap satu kg
H2SO4 pekat atau 10,12 g Ag2SO4 untuk tiap 1000 mL H2SO4
pekat. Biarkan 1 jam sampai dengan 2 jam sampai larut, aduk.
e) Asam sulfamat (NH2SO3H).
Digunakan jika gangguan nitrit akan dihilangkan. Tambahkan 10
mg asam sulfamat untuk setiap mg NO2- N yang ada dalam
contoh uji.
f) Larutan standar kalium hidrogen phtalat , HOOCC6H4COOK
(KHP).
Gerus perlahan KHP lalu keringkan sampai berat konstan pada
suhu 110C. Larutkan 425 mg KHP ke dalam air suling, encerkan
sampai 1000 mL. Secara teori, KHP mempunyai nilai KOK
1,176 mg O2/mg KHP dan larutan ini secara teori mempunyai
nilai KOK 500 g O2/mL. Larutan ini stabil bila disimpan dalam
kondisi dingin. Hati-hati terhadap pertumbuhan biologi. Siapkan
dan pindahkan larutan dalam kondisi steril. Sebaiknya larutan ini
dipersiapkan setiap 1 minggu.

3.3 Peralatan
a) spektrofotometer sinar tampak;
b) kuvet;
c) tabung pencerna, lebih baik gunakan kultur tabung borosilikat
dengan ukuran 16 mm x 100 mm; 20 mm x 150 mm atau 25 mm
x 150 mm bertutup ulir. Atau alternatif lain, gunakan ampul
borosilikat dengan kapasitas 10 mL (diameter 19 mm sampai
dengan 20 mm);
d) pemanas dengan lubang-lubang penyangga tabung;
e) mikroburet;
f) labu ukur 50 mL, 100 mL, 250 mL, 500 mL dan 1000 mL;
g) pipet volum 5 mL, 10 mL, 15 mL, 20 mL dan 25 mL;
h) gelas piala; dan
i) timbangan analitik.

3.4 Keselamatan kerja


Perhatian Selalu gunakan pelindung wajah dan sarung tangan untuk
melindungi dari panas dan kemungkinan ledakan tinggi pada suhu
150C.

3.5 Persiapan dan pengawetan contoh uji


3.5.1 Persiapan contoh uji
a) Homogenkan contoh uji.
b) Cuci tabung refluks dan tutupnya dengan H2SO4 20% sebelum
digunakan.
c) Pipet volume contoh uji dan tambahkan larutan pencerna dan
tambahkan larutan pereaksi asam sulfat yang memadai ke
dalam tabung atau ampul, seperti yang dinyatakan dalam tabel
berikut:

Tabel 1 Contoh uji dan larutan pereaksi untuk bermacam-macam tabung


pencerna

Larutan
Contoh uji Larutan Total volume
Tabung pencerna pereaksi asam
(mL) pencerna (mL) (mL)
sulfat (mL)
Tabung kultur
16 x100 mm 2,50 1,50 3,5 7,5
20 x 150 mm 5,00 3,00 7,0 15,0
25 x 150 mm 10,00 6,00 14,0 30,0
Standar Ampul :
10 ml 2,50 1,50 3,5 7,5

d) Tutup tabung dan kocok perlahan sampai homogen.


e) Letakkan tabung pada pemanas yang telah dipanaskan pada
suhu 150C, lakukan refluks selama 2 jam.

3.5.2 Pengawetan contoh uji


Contoh uji diawetkan dengan menambahkan H2SO4 sampai pH
lebih kecil dari 2,0 dan contoh uji disimpan pada pendingin 4 oC
dengan waktu simpan 7 hari.
3.6 Persiapan pengujian
Pembuatan kurva kalibrasi
a) Optimalkan alat uji spektrofotometer sesuai petunjuk penggunaan
alat untuk pengujian KOK.
b) Siapkan setidaknya 5 larutan standar KHP ekuivalen dengan KOK
untuk mewakili kisaran konsentrasi.
c) Gunakan volume pereaksi yang sama antara contoh dan larutan
standar KHP.
d) Baca absorbansinya pada panjang gelombang 600 nm atau panjang
gelombang 420 nm. e) Buat kurva kalibrasi.

3.7 Prosedur
a) Dinginkan perlahan-lahan contoh yang sudah direfluks sampai
suhu ruang untuk mencegah terbentuknya endapan. Jika perlu,
saat pendinginan sesekali tutup contoh dibuka untuk mencegah
adanya tekanan gas.
b) Biarkan suspensi mengendap dan pastikan bagian yang akan
diukur benar-benar jernih .
c) Ukur contoh dan larutan standar pada panjang gelombang yang
telah ditentukan (420 nm atau 600 nm).
d) Pada panjang gelombang 600 nm, gunakan blanko yang tidak
direfluks sebagai larutan referensi.
e) Jika konsentrasi KOK lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L,
lakukan pengukuran pada panjang gelombang 420 nm, gunakan
pereaksi air sebagai larutan referensi.
f) Ukur absorbsi blanko yang tidak direfluks yang mengandung
dikromat, dengan pereaksi air sebagai pengganti contoh uji, akan
memberikan absorbsi dikromat awal.
g) Perbedaan absorbansi antara contoh yang direfluks dan yang
tidak direfluks adalah pengukuran KOK contoh uji.
h) Plot perbedaan absorbansi antara blanko yang direfluks dan
absorbansi larutan standar yang direfluks terhadap nilai KOK
untuk masing-masing standar.
i) Lakukan analisa duplo.

3.8 Perhitungan
Nilai KOK : sebagai mg /L O2

a) Masukkan hasil pembacaan absorbansi contoh uji ke dalam


kurva kalibrasi
b) Nilai KOK adalah hasil pembacaan konsentrasi contoh uji dari
kurva kalibrasi.

Anda mungkin juga menyukai