Anda di halaman 1dari 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Semanggi Air (Marsilea Crenata)

Semanggi atau paku bernama ilmiah Marsilea crenata adalah tanaman

yang termasuk kedalam famili Marsiliaceae. Merupakan tumbuhan dengan daun

berdiri sendiri atau dalam berkas, menjari berbilang 4, tangkai daun panjang dan

tegak, panjang 2-30 cm, anak daun menyilang, berhadapan, berbentuk baji bulat

telur, gundul atau hampir gundul, dengan panjang 3-22 cm dan lebar 2-18 cm, urat

daun rapat berbentuk kipas, pada air yang tidak dalam muncul diatas air. Biasanya

di temukan di sawah, selokan dan genangan air dangkal (Sugiman, 2013).

Klasifikasi dan identifikasi semanggi air (Marsilea crenata) menurut

Haenk (1825) diacu dalam Afriastini (2003), adalah sebagai berikut:

Klasifikasi

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Divisi : Pteridophyta (paku-pakuan)

Kelas : Pteridopsida

Ordo : Salviniales

Famili : Marsileaceae

6
7

Genus : Marsilea

Spesies : Marsilea crenata

Gambar 2.1 Semanggi air (Afriastini, 2003)

Semanggi air (dapat dilihat pada gambar 2.1) merupakan tumbuhan air

yang banyak terdapat di lingkungan air tawar seperti, sawah, kolam, danau, dan

sungai. Tumbuhan ini biasanya tumbuh dengan jenis-jenis tumbuhan air lainnya

seperti exeng kecil, genjer, rumput air, serta teki alit dll. Tumbuhan ini memiliki

beberapa nama seperti jukut calingcingan (Sunda), tapak itek (Malaysia), upat-

upat (Filipina), chutul phnom (Kamboja), pak vaen (Laos), phak waen (Thailand),

dan water clover fern (Inggris). Tumbuhan ini sering dianggap sebagai hama pada

tanaman padi namun memiliki nilai kegunaan yang beraneka ragam (Afriastini,

2003).

Tumbuhan Marsilea crenata adalah sekelompok paku air (Salviniales) dari

marga Marsilea yang di Indonesia mudah ditemukan di pematang sawah atau tepi

saluran irigasi. Morfologi tumbuhan marga ini khas, karena bentuk entalnya yang

menyerupai payung yang tersusun dari empat anak daun yang berhadapan. Akibat
8

bentuk daunnya ini, nama Semanggi dipakai untuk beberapa jenis tumbuhan

dikotil yang bersusunan daun serupa, seperti klover. Semua anggotanya

heterospor,memiliki dua tipe spora yang berbeda kelamin. Daun tumbuhan ini

(biasanya Marsilea crenata) biasa dijadikan bahan makanan yang dikenal sebagai

pecel semanggi, khas dari daerah Surabaya. Semanggi air (Marsilea crenata)

diketahui mengandung fitoestrogen (estrogen tumbuhan) yang berpotensi

mencegah osteoporesis. Tumbuhan ini juga berpotensi sebagai tumbuhan

bioremediasi, karena mampu menyerap logam berat Cd dan Pb. Habitat tumbuhan

ini pada tempat yang terkena sinar matahari atau agak rindang pada dataran

rendah hingga ketinggian 3000 m dpl. Bagian tanaman yang digunakan adalah

seluruh bagian tumbuhan. Kandungan kimia berupa minyak atsiri; saponin; zat

samak (Sugiman, 2013).

Semanggi air (Marsilea crenata) merupakan salah satu jenis tumbuhan air

(Johnson, 2011). Kandungan mineral pada daun dan tangkai semanggi air adalah

kalium, fosfor, besi, natrium, kalsium, seng, dan tembaga. Semanggi air juga

memiliki kandungan fitokimia seperti alkaloid, steroid, flavonoid, karbohidrat,

gula pereduksi, dan asam amino (Nurjanah dan Abdullah, 2012).

2.2 Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder

yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman (Rajalakshmi dan S.

Narasimhan, 1985). Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik

dengan struktur kimia C6-C3-C6 (Dapat dilihat pada gambar 2.2) (Madhavi et al.,
9

1985; Maslarova, 2001). Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A,

satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung

oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke

dalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran digunakan untuk membedakan

posisi karbon di sekitar molekulnya (Cook dan S. Samman, 1996).

Gambar 2.2 Struktur kimia C6-C3-C6 (Abdi et al., 2010)

Flavonoid terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida, gugusan gula

bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid adalah

golongan senyawa fenol terbesar sebagai kandungan khas tumbuhan hijau (zat

warna alami yang disebut antosianin). Flavonoid ada di seluruh bagian tanaman

termasuk pada daun dan tangkai (Kristiono, 2009).

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa aromatik yang

termasuk polifenol dan mengandung antioksidan. Zat antioksidan adalah suatu zat

yang dapat menghambat atau memperlambat proses oksidasi. Flavonoid sebagai

antioksidan berperan dalam menghambat berbagai bentuk ROS sehingga dapat

mencegah stres oksidatif pada sel (Brunetti et al., 2013).


10

2.3 Fitoestrogen

1. Pengertian Fitoestrogen

Fitoestrogen adalah estrogen lemah yang didapatkan pada tanaman. Istilah

fitoestrogen berhubungan dengan beberapa kelas senyawa kimia seperti flavones,

flavanones, isoflavones, coumestans, dan lignans. Bila dikonsumsi, fitoestrogen

dapat menstabilkan kadar hormon dalam tubuh karena memiliki struktur yang

mirip dengan estrogen endogen, tetapi memberikan efek campuran antara efek

estrogenik dan efek anti-estrogenik (Raharjo, 2009).

Menurut Hideki et al., (2003), Fitoestrogen adalah zat yang terdapat pada

tumbuhan dan biji-bijian dengan struktur kimianya mirip estrogen, mempunyai

efek estrogenik lemah dan bekerja pada reseptor estrogen. Fitoestrogen berasal

dari kata fito yang berarti tanaman dan estrogen karena memiliki struktur dan

aktifitas biologik menyerupai estrogen. Fitoestrogen merupakan tumbuhan yang

bersifat non steroid dan berkhasiat serupa hormon estrogen. Tumbuhan golongan

fitoestrogen ini disamping banyaknya manfaat dalam pengunaanya juga tidak

terlepas dari efek samping yang khususnya disebabkan oleh terganggunya sistem

hormon endokrin dengan masuknya zat yang berikatan dengan hormon estrogen

endogen tersebut. Sebagai contoh pengunaan Genistein pada masa pranatal

dilaporkan bersifat karsinogenik terhadap uterus dari tikus. Data pada binatang

umumnya sangat tergantung pada waktu pengunaan, khususnya saat-saat bayi

binatang yang dilahirkan dapat menimbulkan efek samping yang tidak

dikehendaki. Selain dari pada itu masalah gangguan reproduksi juga banyak
11

ditemukan pada pemeriksaan laboratorium dari binatang percobaan, tumbuh-

tumbuhan yang biasa dimakan binatang dan kelompok binatang ganas yang

mengunakan atau memakan tumbuhan golongan fitoestrogen dalam jumlah yang

banyak.

2. Jenis Fitoestrogen

Jenis fitoestrogen adalah isoflavones, coumestans, dan lignans. Isoflavones

terutama ditemukan dalam tumbuhan polong, kacang-kacangan seperti kacang

kedelai, buncis, kacang panjang, daun semanggi dan produk kedele ( termasuk

susu, tahu, tempe, miso, tauco) (Suparman, 2003). Nilai konsumsi fitoestrogen

yang dikonsumsi dapat dipengaruhi oleh sistem pengolahan makanan-makanan

yang mengandung fitoestrogen. Fitoestrogen dapat tercuci dalam air selama

pengolahan seperti dalam minuman yang diperoleh saat kopi atau daun teh

direbus dalam air (Thompson et al., 2006).

Menurut Suparman (2003), Enterodiol dan Enterolactone merupakan hasil

metabolisme dari lignan tumbuh-tumbuhan yaitu Matairesinol dan

Sekoisolarisiresinol. Enterodiol dibentuk dengan cara dehidroksilasi dan

demetilasi sekoisolarisiresinol oleh mikroflora usus, sedangkan enterolactone

selain dibentuk dari matairesinol juga dibentuk dengan oksidasi

sekoisolarisiresinol oleh mikroflora lumen usus.

3. Efek Estrogenik Fitoestrogen

Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen juga memiliki 2 gugus

OH/Hidroksil yang berjarak 11,0-11,5 AO pada intinya, sama persis dengan inti
12

estrogen sendiri. Para peneliti sepakat bahwa jarak 11 AO dan gugus OH inilah

yang menjadi struktur pokok suatu substrak agar mempunyai efek estrogenik

yakni memiliki afinitas untuk menduduki reseptor estrogen. Efek estrogenik akan

muncul bila berikatan dengan reseptor estrogen tersebut. Namun ternyata afinitas

fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan

estrogen dan diperlukan jumlah yang besar fitoestrogen untuk memperoleh efek

yang memadai seperti estrogen. Fitoestrogen bersifat estrogenik terhadap

metabolisme tulang, arteria koronaria, metabolisme lipoprotein, dan otak, tetapi

bersifat antiestrogenik terhadap endometrium dan glandula mamae (Suparman,

2003)

Cara kerja fitoestrogen meniru (mimic) aktivitas hormon estrogen dalam

tubuh. Estrogen adalah hormon yang berfungsi sebagai molekul sinyal. Prosesnya

dimulai dari masuknya molekul estrogen melalui darah kedalam sel dari

bermacam-macam jaringan target estrogen. Didalam sel, molekul estrogen

mencari reseptor estrogen (RE) untuk berintegrasi. RE mengandung tempat

spesifik (spesific site) dimana hanya estrogen atau molekul lain yang berhubungan

erat seperti fitoestrogen dapat mengikatnya. Sekali berada intraseluler, molekul

estrogen mengikat reseptor protein dan membentuk suatu ikatan ligand-hormone

receptor complex (ligand adalah molekul yang mengikat protein pada tempat

spesifik). Peristiwa ini dimungkinkan karena molekul estrogen dan reseptornya

mempunyai bentuk sama untuk berikatan ibarat kunci yang sesuai dengan

lubangnya. Ikatan tersebut memicu proses seluler yang spesifik, menghidupkan

gen spesifik. Gen ini akan memicu pembentukkan protein untuk metabolism sel.
13

Salah satu responnya yaitu perkembangan uterus untuk persiapan terjadinya

kehamilan atau pencegahan kehilangan massa tulang (Suparman, 2003).

2.4 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses penarikan komponen senyawa yang

diinginkan dari suatu bahan dengan cara pemisahan satu atau lebih komponen dari

suatu bahan yang merupakan sumber komponennya. Pada umumnya ekstraksi

akan semakin baik bila permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan

pelarut semakin luas. Dengan demikian, semakin halus serbuk simplisia maka

akan semakin baik ekstraksinya. Selain luas bidang, ekstraksi juga dipengaruhi

oleh sifat fisik dan kimia simplisia yang bersangkutan (Ahmad, 2006).

Proses pemisahan senyawa dari simplisia dilakukan dengan menggunakan

pelarut tertentu sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Pemisahan

senyawa berdasarkan kaidah like dissolved like yang artinya suatu senyawa akan

larut dalam pelarut yang sama tingkat kepolarannya. Bahan dan senyawa kimia

akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Kepolaran suatu

pelarut ditentukan oleh besar konstanta dieletriknya, yaitu semakin besar nilai

konstanta dielektrik suatu pelarut maka polaritasnya semakin besar. Menurut

Ahmad (2006) beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut

antara lain:

1. Selektifitas, yaitu pelarut hanya melarutkan komponen target yang diinginkan

dan bukan komponen lain.


14

2. Kelarutan, yaitu kemampuan pelarut untuk melarutkan ekstrak yang lebih besar

dengan sedikit pelarut.

3. Toksisitas, yaitu pelarut tidak beracun.

4. Penguapan, yaitu pelarut yang digunakan mudah diuapkan.

5. Ekonomis, yaitu harga pelarut relatif murah.

Menurut Ahmad (2006), proses dari ekstraksi dapat dilakukan dengan

bermacam-macam metode tergantung dari tujuan ekstraksi, jenis pelarut yang

digunakan dan senyawa yang diinginkan. Metode ekstraksi yang paling sederhana

adalah maserasi. Maserasi merupakan perendaman bahan dalam suatu pelarut.

Metode ini dapat menghasilkan ekstrak dalam jumlah banyak serta terhindar dari

perubahan kimia senyawa-senyawa tertentu karena pemanasan.

Secara umum metode ekstraksi dibagi dua macam yaitu ekstraksi tunggal

dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah melarutkan bahan yang akan

diekstrak dengan satu jenis pelarut. Kelebihan dari metode ini yaitu lebih

sederhana dan tidak memerlukan waktu yang lama, akan tetapi rendemen yang

dihasilkan sangat sedikit. Adapun metode ekstraksi bertingkat adalah melarutkan

bahan atau sampel dengan menggunakan dua atau lebih pelarut. Kelebihan dari

metode ekstraksi bertingkat ini ialah dapat menghasilkan rendemen dalam jumlah

yang besar dengan senyawa yang berbeda tingkat kepolarannya. Ekstraksi

bertingkat dilakukan secara berturut-turut yang dimulai dari pelarut non polar

berupa kloroform, selanjutnya pelarut semipolar berupa etil asetat dan dilanjutkan

dengan pelarut polar seperti metanol atau etanol (Sudarmadji dkk., 2007).
15

2.5 Tikus Putih (Ratus Norvegicus)

Tikus putih yang memiliki nama ilmiah Ratus novergicus adalah hewan

coba yang sering dipakai untuk penelitian. Hewan ini termasuk hewan nokturnal

dan sosial. Salah satu faktor yang mendukung kelangsungan hidup tikus putih

dengan baik ditinjau dari segi lingkungan adalah temperatur dan kelembaban.

Temperatur yang baik untuk tikus putih yaitu 19C23C, sedangkan kelembaban

40-70 % (Wolfenshon dan Lloyd, 2013). Data taksonomi tikus (dapat dilihat pada

tabel 2.1) yang sudah diketahui menurut Sugiyanto (1995), yaitu :

Tabel 2.1 Klasifikasi Tikus Putih (Ratus norvegicus) (Sugiyanto, 1995)

Taksonomi Tikus Putih

Kingdom Animalia

Filum Chordata

Klas Mamalia

Ordo Rodensia

Famili Muridae

Subfamili Murinae

Genus Rattus

Spesies Norvegicus

Data tentang fisiologi tikus putih (Rattus norvegicus, L.) menurut Bivin,

Crawford dan Brewer (1979), Ringler dan Dabch (1979), Carr dan Krantz (1949),

Mitruka dan Rawnsley (1981) dalam Smith (1988) antara lain:


16

Jangka hidup : 2-3 tahun, ada yang dapat hidup selama 4 tahun

Produksi ekonomi : 1 tahun

Kehamilan : 20-22 hari

Umur saat disapih : 21 hari

Umur ketika dewasa : 40-60 hari

Berat lahir : 5-6 gram

Volume darah : 57-70 ml/gr

Sel darah merah : 7,2-9,6 x 106/mm3

Sel darah putih : 5,0-13,0 x 106/mm3

Trombosit : 150-460 x 103/mm3

2.6 Trombositopenia

Trombositopenia atau defisiensi trombosit, merupakan keadaan dimana

trombosit dalam sistim sirkulasi jumlahnya dibawah normal (150.000-350.000/l

darah) (Guyton dan Hall, 2007). Trombositopenia biasanya dijumpai pada

penderita anemia, leukemia, infeksi virus dan protozoa yang diperantarai oleh

sistem imun (Human Infection Virus, demam berdarah dan malaria).

Trombositopenia juga dapat terjadi selama masa kehamilan, pada saat tubuh

mengalami kekurangan vitamin B12 dan asam folat, dan sedang menjalani

radioterapi dan kemoterapi (Hoffbrand dkk., 2007).


17

Trombositopenia disebabkan oleh beberapa hal antara lain adalah

kegagalan produksi trombosit, peningkatan konsumsi trombosit, distribusi

trombosit abnormal, dan kehilangan akibat dilusi. Penggunaan obat-obat tertentu

juga dapat menyebabkan trombositopenia, salah satunya adalah kotrimoksazol.

Suatu mekanisme imunologis sebagai penyebab sebagian besar trombositopenia

yang diinduksi obat (Hoffbrand,dkk., 2007). Selain dari mekanisme tersebut, pada

penelitian sebelumnya kotrimoksazol digunakan sebagai obat untuk membuat

trombositopenia pada hewan uji mencit (Astukara, 2008).

Mekanisme sumbat trombosit sangat penting untuk menutup kerusakan

kecil pada pembuluh darah yang sangat kecil, trombosit berperan penting dalam

proses ini. Pada pasien trombositopenia terdapat perdarahan baik kulit seperti

patekia atau perdarahan mukosa mulut. Hal ini mengakibatkan hilangnya

kemampuan tubuh untuk melakukan mekanisme homeostatis secara normal

(Guyton dan Hall, 2007).

2.7 Trombopoetin

Thrombopoietin (TPO) dengan sinonim megakaryocyte-derived growth

factor (MDGF) merupakan hematopoietic growth factor yang berperan penting

dalam trombopoisis dan megakariositopoisis normal (Wendling et al., 1998).

Thrombopoietin disintesa terutama di hati dan seluruhnya dieskresikan,

diperkirakan jumlah produksi TPO oleh hati antara 62-100%. Jumlah produksi

yang lebih sedikit ditemukan pada ginjal, otak dan testis. Thrombopoietin bekerja

pada sel progenitor hematopoitik dengan meningkatkan pool sel yang


18

bertanggung jawab terhadap pertumbuhan sel megakariosit dan turunannya (Kuter

et al., 2007).

Pada uji invitro pembentukan koloni unit megakariosit yang dilakukan

oleh Wendling et al., (1998), TPO berdampak terhadap proliferasi sel progenitor

megakariosit, dan memiliki berbagai efek terhadap megakariosit matang, antara

lain meningkatkan jumlah sel dan ukuran megakariosit, dan meningkatkan

ekskpresi marker spesifik permukaan trombosit. Secara invivo menurut

Khaushansky et al., (2010), TPO meningkatkan jumlah trombosit tikus 4 kali

lipat, 3-5 hari setelah pemberian. Sedangkan pada manusia pemberian TPO pada

sukarelawan yang sehat terjadi peningkatan jumlah trombosit 5 hari setelah

pemberian dan mencapai puncak setelah 12-14 hari (Kuter et al., 2007).

Thrombopoietin berikatan dengan reseptornya dan mengaktifkan jalur

JAK (Janus Kinase) dan STAT (Signal Transuducer and Activator of

Transcription) yang selanjutnya menstimulasi pertumbuhan megakariosit dan

produksi trombosit. Pada keadaan fisiologis, TPO secara konstan diproduksi dan

memasuki sirkulasi, ketika TPO berikatan dengan reseptor TPO di megakariosit

dan trombosit, kemudian TPO akan masuk dan dihancurkan. Pada situasi dimana

produksi trombosit menurun atau massa megakariosit menurun, kadar TPO

disirkulasi akan meningkat dalam usaha untuk meningkatkan produksi trombosit.

Tidak ada sistem sensor oleh massa trombosit sebagaimana massa eritrosit

mengatur produksi eritropoitin oleh ginjal (Kuter et al., 2007). Studi

eksperimental trombositopenia diinduksi kemoterapi pada binatang

mengindikasikan terdapatnya hubungan terbalik antara jumlah trombosit di


19

sirkulasi dengan kadar TPO. Hal ini mendukung konsep bahwa trombosit

berikatan dengan trombopoetin (Folman, 2008).

2.8 Trombosit

1. Pengertian Trombosit

Trombosit adalah sel darah yang berperan penting dalam hemostatis.

Trombosit melekat pada lapisan endotel pembuluh darah yang robek (luka)

dengan membentuk plug trombosit. Trombosit tidak mempunyai inti sel,

berukuran 1-4, dan sitoplasmanya berwarna biru dengan granula ungu

kemerahan (Kiswari, 2014).

Trombosit merupakan devirat dari megakariosit, berasal dari fragmen-

fragmen sitoplasma megakariosit. Granula trombosit mengandung faktor

pembekuan darah, adenosin difosfat (ADP) dan adenosin trifosfat (ATP), kalsium

serotonin, serta katekolamin. Sebagian besar diantaranya berperan dalam

merangsang mulainya proses pembekuan darah. Umur trombosit sekitar 10 hari

(Kiswari, 2014).

2. Pembentukan Trombosit

Trombosit berasal dari fragmentasi sitoplasma megakariosit, suatu sel

muda besar yang berada dalam sumsum tulang. Megakariosit matang ditandai

oleh proses replikasi endomiotik inti dan makin besarnya volume plasma,

sehingga pada akhirnya sitoplasma menjadi granular dan terjadi pelepasan

trombosit. Setiap megakariosit mampu menghasilkan 3000-4000 trombosit, waktu

dari diferensiasi stem cell sampai dihasilkan trombosit memerlukan waktu sekitar
20

10 hari. Umur trombosit pada darah perifer adalah 7-10 hari (Kiswari, 2014).

Jumlah trombosit pada tikus putih normal sebesar 150-460x103/mm3 (Smith dan

Mangkoewidjojo, 1988).

3. Fungsi Trombosit

Fungsi utama trombosit adalah pembentukan sumbat mekanik selama

respons hemostasis normal terhadap cedera vaskular. Tanpa trombosit, dapat

terjadi kebocoran darah spontan melalui pembuluh darah kecil. Reaksi trombosit

berupa adhesi, sekresi, agregasi, dan fusi serta aktivitas prokoagulannya sangat

penting untuk fungsinya (Putra, 2012).

2.9 Limpa

Limpa adalah organ limfoid sekunder yang berfungsi sebagai tempat

memproduksi limfosit, menyaring dan menghancurkan sel darah merah yang tua

dan rusak, menjerat benda asing, menghancurkan bakteri dan virus dan pada masa

fetal, limpa adalah hematopoiesis aktif (Samuelson, 2007).

Struktur utama limpa terdiri atas dua bagian. Satu bagian untuk

penyimpanan eritrosit dan penjeratan antigen, yang disebut pulpa merah. Satu

bagian lagi untuk mekanisme tanggap kebal, yaitu pulpa putih. Keterkaitan antara

pulpa merah dan pulpa putih didasarkan atas penyebaran pembuluh darahnya.

Pembuluh yang masuk ke limpa berjalan memasuki limpa berjalan mengikuti

trabekula muskularis memasuki daerah fungsionalnya. Segera setelah

meninggalkan trabekula, tiap arteriol dikelilingi oleh limfoid yang disebut

Periarteriolar Limfoid Sheat (PALS). Arteriol ini bermuara secara langsung atau
21

tidak langsung, ke dalam sinus yang menyalurkan ke venula limpa. Di sekitar

PALS tersebar folikel primer yang kaya akan sel limfosit B. Jika terjadi

rangsangan antigen, folikel ini membentuk folikel sekunder menjadi germinal

center. Setiap folikel kelilingi oleh selapisan sel limfosit T yang disebut zona

mantel. Pulpa putih dan pulpa merah dipisahkan oleh sinus pembatas, yaitu suatu

selubung retikulum dan satu zona pembatas yang terdiri atas sel fibroblastik

reticulum (Tizard, 2004).

Gambar 2.3 Gambaran Histologi Limpa Normal (a) Arteri trabekularis;


(b) Vena Centralis; (c) pulpa putih; (d) folikel limfoid sekunder; dam arah panah
menunjukkan pulpa merah (Vaughan, 2002).
Menurut Matheos (2013), gambaran histologik yang sesuai dengan limpa

normal (dapat dilihat pada gambar 2.3), yaitu pulpa merah (pulpa rubra) yang

terdiri dari sel makrofag, sel plasma, dan elemen darah; dan pulpa putih (pulpa

alba) yang terdiri dari limfosit yang tersusun padat di dalamnya dan arteri sentralis

pada bagian tengahnya. Menurut Wangko (2008), Limpa mengandung banyak

makrofag dan merupakan tempat pembentukan limfosit aktif dan antibodi.


22

Adanya kontak erat antara sel-sel ini dalam sirkulasi darah sangat berperan dalam

per-tahanan tubuh terhadap mikroorganisme, partikel asing, sel abnormal dan

dalam mengeluarkan eritrosit tua atau abnormal. Jadi, limpa merupakan organ

penting tem-pat sel imun berkonfrontasi dengan mikroba asing dan filter darah

yang sangat efektif.

Menurut Ganong (2008), sepertiga trombosit darah tersimpan pada limpa,

yaitu pada pulpa merah limpa. Menurut Steiniger (2006), Pulpa merah limpa

(dapat dilihat pada gambar 2.4) terdiri dari splenic cord dan splenic sinusoid.

Splenic cord juga dapat dikatakan sebagai bagian yang terbuka dalam sirkulasi

limpa, yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang berisi limfosit, sel plasma,

makrofag, granulosit, sel darah merah dan trombosit.

Gambar 2.4 Gambaran histologi pulpa pada limpa Splenic Sinusoid (SS);
Central Arteria (CA); Marginal Zone (MZ); Pulpar Vein (PV); Splenic Nodule
(SN); Pulpa Merah (RP); dan Pulpa Putih (WP) (Krstic, 1991).

Menurut Krstic (1991), pulpa merah terdiri dari :


23

Splenic sinusoid. Sinusoid limpa terdiri dari pembuluh darah yang terjalin

dengan jaringan ikat. Fungsi dari splenic sinusoid ini sebagai kapiler yang

membawa darah. Hubungan antara kapiler ini melalui saluran-saluran kolateral

yang didukung dengan sel retikular dan reticular fibers (RF).

Splenic Cord. Merupakan corda yang ada pada limpa. terdiri dari sinus-sinus

yang fungsinya menyerupai vena dan berisi darah serta saluran jaringan limpa.

Merupakan jaringan terbanyak pada retikulosit selain splenic sinusoid.

Zona Marginal. Zona marginal terletak diantara pulpa merah dan putih, terdiri

atas sinusoid dan kapiler. Sel-sel yang terdapat pada zona marginal diantaranya

makrofag, sel plasma, sel T dan B.

Menurut Kiswari (2014), ada empat tugas utama limpa yang berhubungan

dengan viabilitas eritrosit dan kemampuan imunologis.

Reservoir. Sebagai reservoir atau penyimpanan. Limpa berfungsi sebagai

pelabuhan dari sepertiga massa trombosit yang beredar dan sepertiga dari

massa granulosit yang dapat dimobilisasi ke dalam sirkulasi perifer bila

diperlukan. Apabila limpa pecah atau terkena trauma, sejumlah besar trombosit

tumpah ke dalam sirkulasi perifer, hal ini menyebabkan terjadinya kerentanan

terhadap aktivitas pembekuan, karena trombosit berfungsi sebagai katalis untuk

hemostasis.

Filtrasi. Limpa memiliki mekanisme unik, yaitu inspeksi untuk setiap eritrosit

dan trombosit yang mengalami kelainan. Eritrosit tua yang telah kehilangan

elastisitas dan deformabilitasnya, yaitu pada hari-hari terakhir masa hidupnya,


24

akan difagosit oleh limpa. Bilirubin, zat besi, dan produk samping globin

dilepaskan ke dalam plasma dan sirkulasi setelah proses penghancuran, yang

kemudian akan didaur ulang. Eritrosit dengan benda inklusi (Howell Jolly

body, Heinz body, Pappenheimer body, dll) secara selektif akan dilisis tanpa

merusak integritas eritrosit normal yang masuk kembali ke dalam sirkulasi.

Salah satu peran penting limpa adalah peran imunologi, yaitu sebaga organ

limfoid sekunder terbesar. Limpa berperan penting dalam mendukung aktivitas

fagositik pada proses enkapsulasi organisme, misalnya Haemophilus

influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Limpa

menyediakan opsonizing antibody, yaitu zat yang mempengaruhi kapsul pada

permukaan bakteri. Setelah bakteri dalam keadaan tidak berkapsul, maka lebih

rentan terhadap sistem fagositik retikuloendotelial (RES) dan kurang mampu

untuk menyebabkan infeksi pada hospes. Tanpa adanya limpa yang berfungsi

dengan baik, maka dapat menyebabkan konsekuensi serius, termasuk kematian,

terhadap individu yang terinfeksi. Meskipun benar bahwa prosedur plenoktomi

mungkin memberikan manfaat hematologi untuk pasien yang memiliki

masalah limpa, namun individu yang tidak memiliki limpa akan memiliki

resiko lain, seperti yang telah diuraian sebelumnya. Sebagai organ dari sistem

hematopoetik, limpa memiliki fleksibilitas dan kemampuan yang sangat besar.

Jika diputuskan untuk melakukan pengambilan limpa dan harus berhati-hati

dalam menangani pasien yang tidak mempunyai limpa.


25

2.10 Pengaruh Flavonoid (Isoflavon) Terhadap Trombosit

Flavonoid dapat mengalami modifikasi berupa hidroksilasi, metoksilasi,

alkilasi, dan glikosilasi yang merupakan faktor penting dan berperan terhadap

tingginya bioaktivitas. Flavonoid bersifat polar karena mempunyai sejumlah

gugus hidroksil ataupun mengikat gula, oleh karena itu flavonoid umumnya larut

dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol. Flavonoid dapat digunakan

sebagai antioksidan. Antioksidan adalah senyawa yang melindungi sel terhadap

efek kerusakan oleh oksigen reaktif. Flavonoid juga dapat mempengaruhi

kenaikan jumlah trombosit dan memiliki bioaktivitas sebagai anti kanker, anti

virus, anti bakteri, anti peradangan dan anti alergi (Sudaryono, 2011).

Menurut Sudaryono (2011), pernah dilakukan penelitian pada daun jambu

biji dalam meningkatkan kadar trombosit. Daun jambu biji mengandung

kuersentin (dari golongan flavonoid) yang dapat menaikkan jumlah trombosit

karena terkandung asam amino serin dan threonin yang mampu membentuk

trombopoetin yang berfungsi dalam proses maturasi megakariosit menjadi

trombosit. Trombopoetin merupakan hormon yang diproduksi oleh hati, dapat

menstimulasi pembentukan trombosit. Trombopoetin berkaitan dengan trombosit

yang bersirkulasi dalam darah. Jika jumlah trombosit dalam darah cukup, maka

jumlah trombopoetin dalam serum tetap rendah, tetapi jika jumlah trombosit

menurun, maka jumlah trombopoetin bebas yang bersirkulasi lebih banyak dan

dapat meningkatkan produksi trombosit oleh sumsum tulang belakang.


26

Menurut Damayanti (2013), pemberian ekstrak etanol daun ubi jalar

(mengandung flavonoid) pada berbagai dosis menunjukkan peningkatan jumlah

trombosit yang berbeda secara bermakna. Pemberian ekstrak dosis 25 mg/kg BB

dan 50 mg/kg BB tidak menunjukkan peningkatan jumlah trombosit yang berbeda

bermakna dibandingkan kelompok kontrol positif, namun tedapat perbedaan

bermakna pemberian ekstrak dosis 100 mg/kg BB dibandingkan kontrol positif.

Hal ini menunjukan bahwa ekstrak etanol daun ubi jalar dengan dosis 25

mg/kgBB dan 50 mg/kgBB memiliki aktivitas peningkatan jumlah trombosit yang

sebanding dengan kontrol positif dan ekstrak dosis 100 mg/kg BB memberikan

aktivitas peningkatan jumlah trombosit yang lebih tinggi dibandingkan kontrol

positif (kuersetin). Hal tersebut diduga karena tidak hanya senyawa kuersetin

yang memiliki aktivitas dalam meningkatkan jumlah trombosit tetapi juga

senyawa golongan flavonoid dan tanin yang mampu bekerja secara sinergis dalam

meningkatkan jumlah trombosit. Flavonoid dan tanin diduga memiliki aktivitas

meningkatkan trombosit melalui mekanisme rangsangan terhadap GM-CSF dan

IL-3 yang dapat memicu pembentukan sel megakariosit serta memiliki efek dapat

memperkuat limpa. Namun untuk membuktikan aktivitasnya beserta mekanisme

kerja senyawa tersebut, diperlukan penelitian yang lebih lanjut menggunakan

fraksi ataupun isolat.

Menurut Zahroh (2013), buah kurma yang memiliki kandungan flavonoid

(isoflavon) yang tinggi dapat menghambat aktivitas enzim hialuronidase dalam

sumsum tulang. Asam hialuronat yang tidak mengalami penguraian

(Depolimerisasi) ini akan berikatan dengan reseptor CD4 dan menstimulasi


27

pelepasan IL-6, selanjutnya IL-6 akan merangsang proliferasi dan mempercepat

proses maturasi megakariosit sehingga produksi trombosit meningkat dalam

darah.

2.11 Pengaruh Flavonoid (Isoflavon) Terhadap Megakariosit Limpa

Isoflavon merupakan fitoestrogen alami yang bekerja sama dengan

hormon estrogen di dalam tubuh. Menurut penelitian yang dilakukan oleh George

et al., (1983), pemberian injeksi estrogen sebanyak 0,2 mg dapat meningkatkan

jumlah megakariosit pada limpa dan sumsum tulang dibandingkan dengan

pemberian progesteron dan testosteron yang tidak berbeda nyata dengan kontrol.

Peningkatan megakariosit juga terjadi selain pada perlakuan injeksi estrogen,

tetapi juga terdapat pada tikus yang bunting. Peningkatan hormon estrogen terjadi

seiring dengan peningkatan umur kebuntingan.

Gambar 2.5 Gambaran Histopatologi Megakariosit pada Pulpa Merah


Limpa Tikus yang diinduksi Estrogen (a) hari ke-0; (b) hari ke-35; (c) hari ke-150
(George et al., 1983)
28

Menurut Sudaryono (2011), pemberian flavonoid (isoflavon) padat

mempengaruhi peningkatan trombosit serta megakariosit. Menurut George et al.,

(1983) Peningkatan megakariosit dan trombosit terjadi pada limpa dan sumsum

tulang. Peningkatan megakariosit dapat distimulasi oleh trombopoetin bebas.

Menurut Wendling et al., (1998), trombopoetin (TPO) dengan sinonim

megakaryocyte-derived growth factor (MDGF) merupakan hematopoietic growth

factor yang berperan penting dalam trombopoisis dan megakariositopoisis normal.

Flavonoid (isoflavon) akan mempengaruhi peningkatkan trombopetin bebas yang

akan menstimulasi peningkatan megakariosit.

Anda mungkin juga menyukai