Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia sebagai Negara agraris dengan sumber daya yang melimpah

tentu dapat menunjang kesejahteraan rakyatnya jika dikelola dan diatur

dengan baik. Berdasarkan hal tersebut dibuatlah Undang-undang nomor 5

tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang memuat

Asas-asas maupun dasar meliputi pengaturan hak atas tanah dan sebagainya.

Sekalipun tidak hanya berisi peraturan tentang tanah saja namun

mengatur tentang Bumi, Air, Ruang angkasa dan kekayaan alam, namun yang

menurut penulis sangat vital untuk dikaji adalah mengenai Bumi, Air, dan

kekayaan Alamnya karena menurut penulis merupakan hal yang tidak bisa

dipisahkan dari kehidupan Bangsa Indonesia.

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai Hukum Agraria, terlebih

dahulu kita perlu untuk mengetahui sejarah-sejarah terbentuknya UUPA agar

tidak terjadi salah persepsi ataupun ruang lingkup berfikir dalam mengkaji

UUPA. Berdasarkan hal tersebut penulis membuat makalah ini yang berjudul

Sejarah Hukum Agraria.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah sejarah Hukum Agraria sebelum lahirnya UUPA?

2. Bagaimanakah sejarah Hukum Agraria setelah lahirnya UUPA?

1
1.3 TUJUAN PENULISAN

Mengetahui secara mendetil Sejarah Hukum Agraria yang berlaku di

Indonesia Sebelum dan Setelah lahirnya UUPA.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Hukum Agraria

Dari segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2

(dua), yaitu :

1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan

berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960;

dan

2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.

Dari konsideran UUPA di bawah kata menimbang, dapat diketahui

beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut

1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun

berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian

dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan

negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta

pembangunan semesta;

2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya

hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;

3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian

hukum.

2.2 Sebelum Berlakunya UUPA Nomor 5 tahun 1960

3
Beberapa ketentuan hukum agraria pada masa kolonial beserta ciri dan

sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Sebelum tahun 1870.

a. Pada masa VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie).

VOC didirkan pada tahun 1602 1799 sebagai badan

perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara

pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan

dan pemilikan tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi.

Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas

rakyat Indonesia yang ditetapkan oleh VOC, antara lain :

1). Contingenten.

Pajak hasil atas tanah pertanian harus diserahkan kepada

penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan sebgaian

dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.

2). Verplichte leveranten.

Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan

para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh hasil panen

dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara

sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benar-benar tidak bisa

berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka

hasilkan.

3). Roerendiensten.

Keijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan

4
kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian.

b. Masa Pemerintahan Gubernur Herman Willem Daendles(1800-1811).

Awal dari perubahan struktur penguasaan dan pemilikan tanah

dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah partikelir.

Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat

Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda

sendiri. Tanah itulah yang kemudian disebut tanah partikelir. Tanah

partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak

istimewa.

Yang membedakan dengan tanaheigendom lainnya ialah adanya

hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut

landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan, misalnya :

a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta

memberhentikan kepala-kepala kampung/desa

b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang

pengganti kerja paksa dari penduduk;

c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa

uang maupun hasil pertanian dari penduduk;

d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar;

e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;

f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong

rumput untuk keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk

5
menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya.

c. Masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Rafles (1811-1816).

Pada masa Rafles semua tanah yang berada di bawah kekuasaan

government dinyatakan sebagai eigendom government. Dengan dasar

ini setiap tanah dikenakan pahaj bumi.

Dari hasil penelitian Rafles, pemilikan tanah-tanah di daerah

swapraja di Jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sedang

rakyat hanya sekedar memakai dan menggarapnya. Karena kekuasaan

telah berpindah kepada Pemerintah Inggris, maka sebagai akibat

hukumnya adalah pemilikan atas tanah-tanah tersebut dngna sendirinya

beralih pula kepa Raja Inggris. Dengan demikian, tanah-tanah yang

dikuasai dan digunakan oleh rakyat itu bukan miliknya, melainka milik

Raja Inggris. Oleh karena itu, mereka wajib memberikan pajak tanah

kepada Raja Inggris, sebagaimana sebelumnya diberikan kepada raja

mereka sendiri.

Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat

dijelaskan sebagai berikut :

a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada petani pemilik tanah,

tetapi ditugaskan kepada kepala desa. Para kepala desa diberi

kekuasaan utnuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh

6
tiap petani.

b. Kepala desa diberikan kekuasaan penuh untuk mengadakan

perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. Jika hal itu

diperlukan guna memperlancar pemasukan pajak tanah. Dapat

dikurangi luasnya atau dapat dicabut penguasaannya, jika petani

yang bersangkutan tidak mau atau tidak mempu membayar pajak

tanah yang ditetapkan baginya, tanah yang bersangkutan akan

dinerika kepada petani lain yang sanggup memenuhinya.

c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikan hukum yang mengatur tentang

pemilikan tanah rakyat sebagai besarnya kekuasaan kepal desa.

Seharusnya luas pemilikan tanahlah yang menentukan besarnya

pajak yang harus dibayar, tetapi dalam praktik pemungutan pajak

tanah itu justru berlaku yang sebaliknya. Besarnya sewa yang

sanggup dibayarlah yang menentukan luas tanah yang boleh dikuasai

seseorang.

d. Masa Pemerintahan Gubernur Johanes van den Bosch.

Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal van den Bosch menetapkan

kebijakan pertanhan yang dikenal dengan sistem Tanam Paksa

atauCultuur Stelsel.

Dalam sistem tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam

suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak

lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional paa waktu itu. Hasil

pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa

7
mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak

mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu

seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu

tahun.

Adanya monopoli pemerintah dengan sistem tanam paksa dalam

lapangan pertanian telah membatasi modal swasta dalam lapangan

pertanian besar. Di samping pada dasarnya para penguasa itu tidak

mempunyai tanah sendiri yang cukup luas dengan jaminan yang kuat

guna dapat mengusahakan dan mengelola tanah dengan waktu yang

cukup lama. Usaha yang dilakukan oleh pengusaha swasta pada waktu

itu adalah menyewa tanah dari negara. Tanah-tanah yagn biasa disewa

adalah tanah-tanah negara nyang masih kosong.

2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah administratif Belanda).

a. Agrarische Wet(A W).

Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische Wet yang merupakan pokok

penting dari hukum agraria dan semua peraturan pelaksanaan yang

dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum agraria barat.

Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai respon

terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam

bidang pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat

atas tanahnya harus dijamin.

AW ininmerupakan undnag-undang di negeri Belanda, yang

8
diterbitkan pada tahun 1870, dengan diundangkan dalam S.1870-55.

dimasukkannya ke Indonesia, dengan memasukkan Pasal 62 RR, yang

pada mulanya terdiri dari 3 ayat, dengan penambahan 5 ayat tersebut

sehingga Pasal 62 RR menjadi 8 ayat, yakni ayat 4 sampai dengan ayat 8.

pada akhirnya Pasal 62 RR ini menjadi Pasal 51 IS.

Terbentuknya AW merupakan upaya desakan dari para kalangan

pengusaha di negeri Belanda yang karenan keberhasilan usahanya

mengalami kelebihan modal, karenanya memerlukan bidang usaha baru

untuk menginvestasikannya. Dengan banyaknya persediaan tana hutan di

jawa yang belum dibuka, para pengusaha itu menuntut untuk

diberikannya kesempatan membuka usaha di bidang perkebunan besar.

Sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang berkembang dituntut

pengantian sisten monopoli negara dan kerja paksa dalam melaksanakan

cultuur stelse, dengna sisitem persaingan bebasa dan sistem kerja bebas,

berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.

Tuntutan untuk mengakihiri sistem tanam paksa dan kerja paksa

dengan tujuan bisnis tersebut, sejalan dengan tuntutan berdasarkan

pertimbangan kemanusiaan dari golongan lein di negeri Belanda, yang

mellihat terjadinya penderitaan yang sangat hebat di kalangan petani

Jawa, sebagai akibat penyalah gunaan wewenang dalam melaksanakan

cuktuur stelsel oleh para pejabat yang bersangkutan.

Dari itu jelaslah tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka

kmeungkinan dan memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha

9
swasta agar dapat berkembang di Hindi Belanda.

Selain itu AW juga bertujuan untuk :

A. Memperhatikan perusahaan swasta yang bermodal besar dengan jalan :

1). Memberikan tanah-tanah negara dengan hak Erfacht yang berjangka

waktu lama, sampai 75 tahun.

2). Untuk memberikan kemungkinan bagi para pengusaha untuk

menyewakan tanah adat/rakyat.

B. Memperhatikan kepentigan rakyat asli, dengan jalan :

1). Melindungi hak-hak tanah rakyat asli.

2). Memberikan kepada rakyat asli untuk memperoleh hak tanah baru

(Agrarische eigendom).

Untuk pelaksanaan AW tersebut, maka diatur lebih lanjut dalam

berbagai peraturan dan keputusan, diantaranya dalam Agrarische Besluit.

b. Agrarische Besluit(A B).

Ketentuan-ketentuan AW pelaksanaannya diatur lebih lanjuta dalam

peraturan dan keputusan. Salah satu keputusan yang paling penting adalah

apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit (KB), yang kemudian dikenal

dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118.

AB terdiri dari tiga bab, yaitu ;

1). Pasal 1-7 tentang hak atas tanah;

2). Pasal 8-8b tentang pelepasan tanah;

3). Pasal 19-20 tentang peraturan campuran.

Dalam Pasal 1 AB tersebut dimuat satu pernyataan yang asas yang

10
sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan hukum tanah

administratif Hindi Belanda. Asas tersebut dinilai sebagai kurang

menghargai, bahkan memperkosa hak-hak rakyat atas tanah yang

bersumber pada hukum adat.

Dinyatakan dalam Pasal 1 AB tersebut :

Behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde

wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet anderen

reght van eigendom wordt bewezen, domein van de staat is.

Jika diterjemahkan :

Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan 3

Agrarische Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah yang pihak

lain tidak dapar membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein

negara (milik) negara.

AB hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan

dalam Pasal 1 AB tersebut, yang dikenal sebagai Domein Verklaring

(Pernyataan Domein) semulanjuga berlaku untuk Jawa dan Madura saja.

Tetapi kemudian pernyataan domein tersebut diberlakukan juga untuk

daerah pemerintahan langsung di luar Jawa dan Madura, dengan suatu

ordonansi yang diundangkan dalam S.1875-119a.

Maksud dari adanya pernyataan domein itu adalah untuk memberikan

ketegasan sehingga tidak ada keragu-raguan, bahwa satu-satunya penguasa

yang berwenang untuk memberikan tanah-tanah kepada pihak lain adalah

Pemerintah. Dengan adanya pernyataan domein, maka tanah-tanah di Hindi

11
Belanda dibagi menjadi dua jenis, yaitu :

1).Vrijlands Domein atau tanah negara bebas, yaitu tanah yang di atasnya

tidak ada hak penduduk bumi putera.

2).Onvrijlands Domein atau tanah negra tidak bebas, yaitu tanah yang di

atasnya ada hak penduduk maupun desa.

Dalam praktiknya, pernyataan domein mempunyai dua fungsi, yakni :

1). Sebagai landasan hukum bagi pemerintah kolonial untuk dapat

memberikan tanah dengan hak-hak barat seperti yang diatur dalam

KUHPerdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, dan hak erfacht.

2). Untuk keperluan pembuktian pemilikan, yaitu apabila negara berperkara,

maka negara tidak pelu membuktikan hak eigendomnya atas tanah,

tetapi piha lainlah yang wajib membuktikan haknya.

Untuk diketahui bahwa hak rakyat Indonesia atas tanahnya adalah

berdasarkan hukum adat, sedangkan dalam hukum adat tidak adak ketentuan

hukum yang sama dengan Pasal 570 BW, maka denga sekaligus semua tanah

dari rakyat Indonesia termasuk menjadi tanah negara (domein negara).

Yang tidak termasuk tanah negara, menurut Pemerintah Hindia Belanda,

adalah tanah-tanah seperti di bawah ini :

1). Tanh-tanah daerah swapraja;

2). Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain;

3). Tanah-tanah partikulir;

4). Tanah-tanah eigendom agraria (Agrarische eigendom).

12
c. Erfacht Ordonantie.

Mengenai pemberian hak erfacht kepada para pengusaha tersebut,

menurut AW harus diataur dalam ordonansi. Maka daka dalam

pelaksanaannya dijumpai berbagai peraturan mengenai hak erfacht, yaitu :

A.Untuk Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja

1).Agrarische Besluit (S.1870-118) Pasal 9 sampai dengan 17;

2).Ordonansi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali

mengalami perubahan , terakhir dalam tahun 1913 disusun kembali

dan diundangkan dalam S.1913-699.

B.Untuk luar Jawa dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja

semula ada beberapa ordonansi yang mengatur hal-hal mengenai

pemberian hak erfacht yang berlaku di daerah-daerah tertentu,

1). S.1874f untuk Sumatera.

2). S.1877-55 untuk keresidenan Manado.

3). S.1888-58 utnuk daerah Zuider-en Oosteradeling Borneo.

Dalam tahun 1914 diundangkan satu ordonansi utnuk semua daerah

pemerintahan langsung di luar Jawa dan dimuat dalam S.1914-367

Ordonansi yang baru itu dikenal dengan sebutan Erfachtordonantie

Buitengewesten. Semua ordonansi yang lama ditarik kembali kecuali

Pasal 1-nya masing-masing.

Untuk daerah-daerah swapraja luar Jawa diatur dalam S.1910-61

dengan sebutan erfachtordonantie Zelfbesturende. Landschappen

Buitengewesten. Berlakunya di masing-masing swaprajamenurut

13
petunjuk Gubernur Jenderal.

Sebelum adanya ordonansi itu di daerah-daerah swapraja di luar

Jawatidak diberikan hakerfacht, melainkan hak konsesi untuk perusahaan

kebun besar.Persewaan tanah rakyat kepada perusahaan kebun besar

diatur pula dengan ordonansi, yang telah mengalami perubahan-

perubahan menjadi :

1). Grondhuurordonantie (S.1918-88), yang berlaku di Jawa danMadura,

kecuali Surakarta dan Yogyakarta;

2).Vordtenlands Groondhuur Reglement (S.1918-20), yang berlaku

didaerah swapraja Surakarta dan Yogyakarta.

d. Agrarische Eigendom.

Agrarische eigendom adalah suatu koninklijk besluit tertanggal 16

April 1872, Nomor : 29, mengenai hak agrarische eigendom.

Yang dimaksud dengan Agrarische eigendom adalah suatu hak yang

bertujuan untuk memberikan kepada orang-orang Indonesia/pribumi,nsuatu

hak yang kuat atas sebidang tanah. Agrarische eigendom ini, dalam praktik

untuk membedakan hak eigendom sebgaimana yang dimaksud dalam BW.

Agrarische eigendom diatur dalam Pasal 51 ayat (7) I.S., diatur lebih

lanjut dalam Pasal 4 AB kemudian diatur lebih lanjut dalam KB tanggal 16

April 1872 Nomor : 29 (S. 1872-117) dan S. 1837-38. berdasarkan KB

tersbut, tata cara memperoleh Agrarische eigendom dijelaskan di bawah ini,

yaitu :

14
1). Apabila seseorang Indonesia asli (=bumi putera) berkeinginan agar hak

milik atas tanahnya, dirubah menjadi Hak Agrarische eigendom, maka

pemohonannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

setempat, agar ia ditetapkan sebagai pemiliknya. Inilah yang disebut :

uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht. Ini hanya mungkin

apabila tanahnya diluar sengketa, artinya tanpa berperkara dengan pihak

lain.

2). Untuk ini semua sebelumnya diadakan pengumuman, di desanya yang

bersangkutan untuk memberi kesempatan kepada pihak ketiga yang

merasa berkepentigan akan mengajukan keberatan-keberatan terhadap

permohonan uitwijzing van erfelijk individucel gebbruikrecht di atas.

3). Dengan berlandaskan keputusan ketua pengadilan negeri tersebut, maka

agrarische eigendom dapat diberikan kepada pemohon oleh bupati yang

bersangkutan bertindak untuk dan atas nama pemberian gubernur

jenderal.

4).Agrarische eigendom yang telah diperoleh dari bupati tersebut, maka

Agrarische eigendom tersebut harus didafatarkan menurut peraturan

sebagaimana dimuat dalam S.1873-38, dan kepada pemiliknya akan

mendapat surat tanda bukti hak.

5). Setiap peralihan hak, pembebanan degnan hypotheek, harus didaftarkan

di Kantor Pengadilan Negeri.

Tujuan adanya Agrarische eigendom sebetulnya bertujuan untuk

memberikan kepada orang-orang Indonesia asli dengan semata hak yang

15
kuat, yang pasti karena terdaftar dan haknya dapat dibebani dengan

hypotheek. Tetapi dalam praktiknya kesempatan untuk menggantikan hak

miliknya dengan menjadi Agrarische eigendom tidak banyak dipergunakan

3. Sesudah Tahun 1942.

Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :

A.Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan

pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;

B. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;

C. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan

liar;

D. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;

E. Kerusakan fisik tanah karena politik bumihangus dan penggunaan tanah

melampaui batas kemampuannya.

Pada masa penjajahan tersebut di atas keadaan hukum agraria Indonesia

menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum adat daerah setempat antara

lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat komunal, bersifat tunai dan

bersifat langsung. Sedangakan mengenaihak atas tanah mengenal peristilahan

yang lain ;

A. Hak persekutuan atas tanah yaitu hak ulayatl;

B. Hak perorangan atas tanah :

1) Hak milik, hak yayasan;

2) Hak wenang pilih, hak mendahulu;

16
3) Hak menikmati hasil;

4) Hak pakai;

5) Hak imbal jabatan;

6) Hak wenang beli.

Pada masa kolonial ini tanah-tanah hak adat tidak terdaftar, kalaupun

ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran pajak yang telah dibayar oleh

pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan sebagai pembuktian hak.

4. Hukum Agraria Masa Kemerdekaan Sampai Tahun 1960.

Diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia mengakibatkan bangsa

Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan sendiri. Pada masa itu pendudukan

tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang sangat komplek karena

masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah perkebunan dalam

waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.

Sejak pengakuan keadulatan oleh Belanda atas negara Indonesia, barulah

pemerintah mulai menata kembali pendudukan tanah oleh rakyat dengan

melakukan hal-hal berikut

A. Mendata kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang

mengusahakan tanah-tanah perkebunan untuk usaha pertanian. Di daerah

Malang luasnya tanah perkebunan 20.000 Ha. pendudukan oleh rakyat

seluas 8.000 Ha. Daerah Kediri luas tanah perkebunan 23.000 Ha.

pendudukan oleh rakyat seluas 13.000 Ha. dan menurut perkiraan dari

luas tanah perkebunan di Jawa yang seluas 200.000 Ha. telah diduduki

17
rakyat seluas 80.000 Ha.

B. Pendudukan tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan

lambat laun akan menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang

produksi yang penting bagi negara serta memperlambat pesatnya kemajuan

produksi hasil-hasil perkebunan yang sangat diperlukan. Sebagian tanah

perkebunan yang terletak di daerah pegunungan sehingga taidak cocok

untuk usaha pertanian, untuk itu perlu ditertibkan.

C. Pemakian tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan

tersebut dikuatirkan akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.

D. Pemakaian tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan

ketegangan dan kekeruhan yang membahayakan keamanan dan ketertiban

umum.

Untuk itu, maka dikeluarkanlah Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954

tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat.

Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai berikut :

A. Tahap pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu

dapat dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik

perkebunan dengan rakyat/penggarap;

B. Tahap kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1

(satu) tidak berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah

perkebunan tersbut akan mengambil kebijakan sendiri dengan

memperhatikan :

1) Kepentingan rakyat dan kepentingan penduduk, letak perkebunan

18
yangbersangkutan;

2) Kedudukan perusahaan perkebunan di dalam susunan perekonomuian

negara. Agar pelaksanaan dari keputusan tersebut dapat berjalan dengan

sebaik-baiknya, maka diatur ketentuan sebagai berikut :

a.Kemungkinan pencabutan dan pembatalan hak atas tanah perkebunan

milik para pengusaha, baik sebagian meupun seluruhnya, jika

mereka dengan sengaja menghalangi upaya penyelesaian;

b.Ancaman hukum terhadap mereka yang melanggar atau menghalangi;

c.Ancaman hukuman terhadap mereka yang tidak dengan seizin pemilik

perkebunan, masih terus memakai tanah perkebunan sesudah

tuntutan ini diberlakukan;

d.Ketentuan tentang harus mengadakan pengosongan.

Untuk mencegah pendudukan kembali tanah perkebunan oleh rakyat,

maka pemerintah megeluarakan perarturan tentang larangan pendudukan tanah

tanpa izin yang berhak yaitu Undang-undang Nomor : 51 Prp. Tahun 1960.

Selain ketentuan dia atas, dalam upaya menata kembali hukum

pertanahan pemerintah telah membuat kebijakan dengan mengeluarkan

peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

1. Undang-undang Nomor : 19 Tahun 1956 tentang : Penentuan Perusahaan

Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi.

2. Undang-undang Nomor : 28 Tahun 1956 tentang : Pengawasan Terhadap

Pemindahan Hak Atas Tanah Perkebunan.

3. Undang-undang Nomor : 29 Tahun 1956 tentang : Peraturan Pemerintah dan

19
Tindakan-tindakan Mengenai Tanah Perkebunan.

4. Ketentuan lain yang menyangkut pemakaian tanah-tanah milik warga negara

Belanda yang kembali ke negerinya

2.3 Sejarah Hukum Agraria Setelah Lahirnya UUPA

Sejarah Penyusunan UUPA.

Perjalaanan panjang dalam uapaya perancangan UUPA dilakukakan oleh

Lima Panitia rancangan, yaitu Panitia Agraria Yogyakarta, Panitia Agraria Jakarta,

Panitia Rancangan Soewahjo, Panitia Rancangan Soenarjo, dan Rancangan

Sadjarwo.

A. Dasar Hukum.

Panitia ini dibentuk dengan Penetapan Presiden Nomor : 16 Tahun 1948

tanggal 21 Mei 1948, berkedudukan di Yogyakarta diketuai oleh Sarimin

Reksodihardjo, Kepala Bagian Agraria Kementerian Agraria. Panitia ini

bertugas anatara lain :

1) Memberikan pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai

hukum tanah pada umumnya;

2) Merencanakan dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agararia

Republik Indonesia;

3) Merencanakan peralihan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama

tentang tanah yang tidak sesuai lagi dengan kedudukan Republik Indonesia

sebagai negara yang merdeka;

4) Menyelidiki soal-soal lain yang berkenaan dengan hukum tanah.

B. Asas-asas yang Menjadai Dasar Hukum Agraria Indonesia.

20
Asas-asas yang akan merupakan dasar- dasar Hukum Agraria yang baru, yaitu :

1) Meniadakan asas domein dan pengakuan adanya hak ulayat;

2) Mengadakan peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang

dapat dibebani hak tanggungan;

3) Mengadakan penyelidikan terutama di negara tetangga tentang kemungkinan

pemberian hak milik atas tanah kepaa orang asing;

4) Perlu diadakan penetapan luas minimum pemilikan tanah bagi para petani

kecil untuk dapat hidup layak untuk Jawa 2 hektar;

5) Perlu adanya penetapan luas maksimum pemilikan tanah yang siusulkan

untuk pulau Jawa 10 hektar, tanpa memandang macamnya tanah, sedang di

luar Jawa masih diperlukan penelitian lebih lanjut;

6) Perlu diadkan regidsrasi tanah milik dan hak-hak lainnya

UUPA mempunyai du substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama, tidak

memberlakukan lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua,

membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan

berlakunya UUP, maka terjadilah perubahan yang fundamental pada hukum

agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanhan. Perubahan yang

fundamental ini mengenai struktur perangkat hukum, konsepsi yang mendasari

maupun isinya.

UUPA juga merupakan undang-undang yang melakukan pembaruan

agraria karena di dalamnya memuata program yang dikenal dengan Panca

Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :

1) Pembaharuan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi

21
nasioanl dan pemberian jaminan kepastian hukum;

2) Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;

3) Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur.

4) Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-

hubungan hukum yangberhubungan dengan penguasaan tanah dalam

mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian dikenal

dengan program landreform;

5) Perncanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya serta penggunaan secara terencana, sesuai dengan

daya dukung dan kemampuannya.

Sebagai undang-undang nasional, UUPA memiliki sifat nasional material

dan formal. Sifat nasional material berkenaan dengan substansi UUPA.

Sedangkan nasional formal berkenaan dengan pembentukan UUPA.

Dengan dindangkannya Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960, maka

dengan demikian Indonesia memiliki hukum agraria baru yang bersifat

nasional yan tentunya lepas dari sifat-sifat kolonial dan disesuaikan dengan

pribadi dan jiwa bangsa Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat.

ORDE LAMA

Sebagaimana disebut sebelumnya, peraturan mengenai redistribusi tanah

telah diawali dengan Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

redistribusi tanah pertanian. Secara historis, Orde Lama telah menempatkan

landreform sebagai kebijakan revolusioner dalam pembangunan semestanya.

22
Bahwa syarat pokok untuk pembangunan tata perekonomian adalah antara lain

pembebasan berjuta-juta kaum tani dan rakyat pada umumnya dari pengaruh

kolonialisme, imperialisme, feodalisme dan kapitalisme dengan melaksanakan

landreform menurut ketentuan hukum nasional Indonesia, seraya meletakkan

dasar-dasar bagi industrialisasi, terutama industri dasar dan industri berat yang

harus diusahakan dan dikuasai negara. TAP MPRS RI Nomor II/MPRS/1960 dan

Manifesto Politik menyebut tiga landasan filosofis pembangunan pada masa ini

yaitu: anti penghisapan atas manusia oleh manusia (Iexploitation de I homme

per I homme); kemandirian ekonomi; dan anti kolonialisme, imperialisme,

feodalisme dan kapitalisme dengan landreform sebagai agenda pokoknya.

Demikian juga dari jumlah Peraturan Perundang-Undangan bidang Hukum

Pertanahan Periode 1960-1966, sebagian besar dari keseluruhan peraturan

perundang-undangan yang diterbitkan pada masa ini adalah tentang landreform

dan pengurusan hak atas tanah15. Tampak jelas bahwa era pemerintahan ini

meletakkan isu agraria sebagai pokok bidang yang harus segera diprioritaskan.

Landreform sebagai bagian mutlak daripada revolusi Indonesia adalah basis

pembangunan semesta yang berdasarkan prinsip bahwa tanah sebagai alat

produksi tidak boleh dijadikan sebagai alat penghisapan.

Menurut Utrecht, landreform merupakan strategi politik agraria yang

dilatarbelakangi oleh perseteruan beberapa kepentingan, terutama kepentingan

para petani tak bertanah melawan kepentingan para tuan tanah16. Kepentingan

dari dua golongan ini muncul pula di tingkat elite kenegaraan, dimana terbentuk

tiga golongan yaitu golongan radikal yang mengusulkan pembagian tanah

23
berdasar prinsip tanah bagi mereka yang benar-benar menggarapnya.

Sedangkan mereka yang memiliki tanah luas adalah telah melakukan penghisapan

terhadap manusia lainnya. Golongan ini terdiri dari PKI, PNI dan Partai Murba.

Golongan kedua adalah golongan konservatif yang terdiri dari Partai-partai Islam

dan sebagian PNI. Inti dari pendapat golongan ini adalah penolakan dilakukannya

pembatasan atas luas pemilikan tanah dan tuduhan pemilikan tanah luas sebagai

penghisapan. Sedangkan golongan ketiga adalah golongan yang kompromis

terhadap kedua golongan lainnya. Mereka menerima pendapat golongan radikal

tetapi dengan penerapan yang bertahap. Dalam golongan inilah Soekarno dan

Sadjarwo (Menteri Agraria) sebagai dua tokoh penting dalam perumusan UUPA

menjadi anggotanya.

Pelaksanaan program ini ditandai dengan program pendaftaran tanah

berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, untuk mengetahui dan

memberi kepastian hukum tentang pemilikan dan penguasaan tanah. Kemudian

penentuan tanah-tanah berlebih (melebihi batas maksimum pemilikan) yang

selanjutnya dibagi-bagikan kepada sebanyak mungkin petani tidak bertanah.

Termasuk juga pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang

Perjanjian Bagi Hasil.

Tetapi ketiga program tersebut mengalami hambatan sebagaimana dikatakan

oleh Sadjarwo bahwa kelemahan administrasi yang tidak sempurna yang

menyulitkan redistribusi tanah; dan kurangnya dukungan baik itu dari rakyat,

organisasi petani, organisasi politik, tokoh-tokoh dan panitia landreform sendiri.

Hal ini kemudian menyebabknan terjadinya aksi sepihak, baik itu oleh petani yang

24
lapar tanah maupun tuan tanah18. Akibat banyaknya aksi sepihak ini,

dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan

Landreform.

Sehingga dapat dikatakan bahwa program landreform sebagai awalan

pelaksanaan tujuan tersebut, pada penerapannya mengalami kegagalan19. Hal itu

karena :

1. Kelambanan praktek-praktek pemerintah dalam pelaksanaan Hak Menguasai

Negara;

2. Tuntutan organisasi dan massa petani yang ingin meredistribusikan tanah secara

segera sehingga kemudian timbul aksi sepihak;

3. Unsur-unsur anti landreform yang melakukan berbagai mobilisasi kekuatan

tanding dan siasat mengelak dari dan untuk menggagalkan landreform;

4. Terlibatnya unsur kekerasan antara kedua pihak yaitu yang pro dan kontra

landreform. Konflik ini bahkan memuncak dan menimbulkan konflik yang

lebih besar di dalam konflik elite politik yang berujung pada peristiwa Gerakan

30 September 1965 dan jatuhnya rezim Orde Lama.

Akan halnya hasil dari program landreform masa inimenurut Utrecht

adalah diredistribusikannya sekitar 450.000 hektar, yaitu sejak program ini

dicanangkan pertama kalinya hingga akhir tahun 1964. Perinciannya adalah tahap

I sejumlah 296.566 hektar dan tahap II sejumlah 152.502 hektar karena tahap II

ini belum selesai. Pembagian ini terutama baru dilaksanakan di Pulau Jawa,

Madura, Bali dan Nusa Tenggara. Sedangkan tanah kelebihan yang telah

ditentukan adalah 337.445 hektar.

25
ORDE BARU

Berbeda dengan Orde Lama, pemerintahan Soeharto ini memfokuskan

pembangunan pada pertumbuhan ekonomi, dan memulai kebijakan pembangunan

ekonominya dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967

tentang Penanaman Modal Asing untuk menarik investasi asing dalam

pengelolaan sumber daya alam. Terjadi denasionalisasi (privatisasi) perusahaan

asing pada tahun 1967 yang sebelumnya telah dinasionalisasi oleh pemerintahan

Soekarno pada tahun 1958.Hal ini dengan alasan kondisi perekonomian yang

kritis dan defisit sebagai peninggalan Orde Lama. Bahkan sebelumnya dilakukan

negosiasi penjadwalan ulang atas utang-utang luar negeri sekaligus mengajukan

pinjaman-pinjaman baru.

Stigma PKI atau subversif sering dicapkan kepada orang-orang atau

organisasi-organisasi yang tidak se-ide dengan rezim ini sehingga terjadi

pembekuan gerakan-gerakan revolusioner. Sebagaimana landreform yang

merupakan salah satu kebijakan Orde Lama yang populis, dianggap sebagai

produk PKI sehingga dihentikan secara total. Bahkan perebutan kembali tanah-

tanah yang semula dientukan sebagai tanah kelebihandan karenanya menjadi

objek redistribusi tanahdilakukan oleh sejumlah tuan tanah.

Kebijakan landreform pada masa ini hanya sebagai masalah tehnis, atau

sebagai program rutin birokrasi pembangunan. Rezim ini menghapus peraturan

perundang-undangan yang menjadi pokok landreform, terutama dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 yang menghapus Undang-Undang tentang

Pengadilan Landreform dan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil yang secara

26
sosiologis tidak diberlakukan pada era ini.

Konsepsi hukum agraria Orde Lama yang cenderung populis sebagaimana

dalam UUPA, diganti dengan konsepsi yang berorientasi pada pembangunan

ekonomi. Landreform yang menjadi program pokok Orde Lama dalam

pemerataan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat menjadi terabaikan.

Kebijakan pertanahan Orde Baru lebih ditujukan pada pemusatan penguasaan atas

tanah dan pembangunan ekonomi yaitu dengan peningkatan produksi pertanian

sehingga tercapai swasembada pangan (melalui Revolusi Hijau) dan bahkan

ekspor hasil pertanian ke sejumlah negara lain.

Dari data yang diperoleh pada Sensus Pertanian yang dilakukan tahun 1993,

didapatkan data penguasaan tanah pertanian sebagai berikut: (1) 22, 41% dari

19.713.806 rumah tangga tani hanya menguasai tanah seluas 0,25 sampai 0,49

hektar lahan pertanian; (2) 48,61% memguasai lahan lebih dari 0,5 hektar. Tetapi

terdapat perincian yang menunjukkan ketimpangan yang tajam dalam penguasaan

dan pemilikan tanah pertanian tersebut, yaitu: (1) 8.726.343 atau 48,54% dari

keseluruhan rumah tangga tani hanya menguasai 13,6% dari keseluruhan lahan

pertanian; (2) 217.720 atau 1,21% dari keseluruhan rumah tangga tani menguasai

1.457.477,46 hektar atau 9,44% dari keseluruhan lahan pertanian yang ada. Dari

data tersebut, berarti kelompok pertama hanya menguasai lahan pertanian rata-rata

seluas 0,24 hektar, sedangkan kelompok kedua rata-rata penguasaannya adalah

sekitar 22,174 hektar . Data tersebut menunjukkan ketimpangan penguasaan tanah

pada rezim ini yang didominasi oleh para pemilik modal. Demikian juga dalam

hal penguasaan akan hutan dan sumber daya agraria lainnya.

27
Selain itu, dalam hal pendaftaran tanah, rezim ini juga kemudian mengganti

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 menjadi Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang dinilai banyak pihak

merupakan agenda Bank Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya di

Indonesia. Berbeda dengan produk Orde Lama yang bertujuan untuk kepentingan

penataan penguasaan tanah melalui landreform, produk hukum Orde Baru tentang

pendaftaran tanah ini adalah demi yang disebut kepastian hukum dari pemilikan

hak atas tanah melalui sertifikat.

Perbedaan lainnya adalah jika UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10

Tahun 1961 lebih mendasarkan pada pendaftaran tanah dengan stelsel negatif.

Bahwa apa-apa yang terdaftar tidak secara otomatis dan mutlak menjamin

kebenaran akan pemilikan tanah. Sebaliknya dalam stelsel positif, apa-apa yang

terdaftar merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Dalam stelsel negatif, orang

yang sebenarnya berhak atas tanah dapat mengajukan gugatan pada pengadilan

atas tanah miliknya meskipun tanah tersebut telah didaftarkan sebagai hak orang

lain. Dalam peraturan yang baru disebutkan bahwa masih digunakan stelsel

negatif sesuai dengan UUPA. Tapi diakomodir juga stelsel positif, yang

diimbangi dengan upaya untuk meningkatkan kebenaran dari data yang terdaftar

itu.

Ketika ini dikaitkan dengan LAP (Proyek Administrasi Pertanahan) yang

mengatakan:

...permasalahan tanah selama ini terletak pada sistem administrasi yang

pluralistik yang dimiliki masyarakat adat... terlihat bahwa peraturan ini bertujuan

28
untuk menciptakan homogenitas administrasi pertanahan akan memudahkan

kepentingan bisnis untuk memperoleh tanah yang selama ini dimiliki masyarakat

adat secara komunal. Dan inilah yang kemudian dinilai banyak pihak semakin

mengeliminir keberadaan tanah ulayat.

Hasil redistribusi tanah yang didapat pada Juni 1998 adalah dari 1.397.167

hektar yang menjadi objek landreform, baru diredistribusikan sejumlah 787.931

hektar (56,4%) yang diterima oleh sejumlah 1.267.961 rumah tangga tani.

ORDE REFORMASI

Seiring dengan perubahan konstelasi politik, alam demokrasi yang semakin

menguat, dan dilaksanakannya sistem desentralisasi, maka semangat pembaruan

agraria juga menggema dan kemudian melahirkan Ketetapan MPR Nomor IX

Tahun 2001 yang merekomendasikan dilakukannya pembaruan atau revisi

terhadap UUPA. Beberapa peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan

sumber daya alam (agraria) dikeluarkan sejak dilakukannya reformasi

pemerintahan di tahun 1998. Baik itu yang kemudian dinilai merupakan langkah

maju maupun yang justru dinilai mundur dari substansi peraturan-peraturan

sebelumnya.

Landreform kembali masuk dalam program penting pembaruan agraria,

yaitu disebutkan dalam pasal 5 TAP MPR RI No. IX/MPR/2001 bahwa salah satu

arah kebijakan pembaruan agraria adalah:

29
- melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah oleh rakyat;

- menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan

registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah

secara komprehensif dan sisematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

Selanjutnya pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,

redistribusi tanah pun kembali diagendakan. Berdasarkan catatan Kompas,

pembagian 8,15 juta hektar lahan ini akan dilakukan pemerintah tahun 2007

hingga 2014. Diperkirakan, 6 juta hektar lahan akan dibagikan pada masyarakat

miskin. Sisanya 2,15 juta hektar diberikan kepada pengusaha untuk usaha

produktif yang melibatkan petani perkebunan. Tanah yang di bagian ini tersebar di

Indonesia, dengan prioritas di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi Selatan. Tanah

itu berasal dari lahan kritis, hutan produksi konversi, tanah telantar, tanah milik

negara yang hak guna usahanya habis, maupun tanah bekas swapraja.

30
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Sejarah hukum agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua) :

1. Hukum agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan

berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960;

dan

2. Hukum Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.

Dari konsideran UUPA di bawah kata menimbang, dapat diketahui

beberapa ciri dari hukum agraria kolonial pada huruf b, c dan d, sebagai berikut

1. Hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun

berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian

dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan

negara di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta

pembangunan semesta;

2. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya

hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;

3. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian

hukum.

3.2 SARAN

31
Hukum agrarian memuat segala dasar-dasar tentang ha katas tanah, Bumi, air,

dan kekayaan alam serta ruang angkasa. Otomatis akan dibutuhkan dalam

berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Mempelajari dasar-dasar Agraria bukan hanya diperuntukkan untuk yang

berjurusan ilmu hukum saja karena sejatinya Hukum Agraria akan diterapkan

dalam kehidupan seluruh masyarakat tanpa terkecuali. Oleh karena itu tidak ada

salahnya untuk mempelajari UUPA sekalipun bukan seorang mahasiswa hukum

32
DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Noer, 1999, Petani&Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria di

Indonesia, kerjasama Insist Press, KPA dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Harsono, Boedi, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-

Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan,

Jakarta;

Ismail, Nurhasan, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu

Pendekatan Ekonomi-Politik, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Parlindungan, AP., 1991, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria,

Mandar Maju, Bandung;

Pembagian Lahan agar Hati-hati: Ada yang Dijual atau Digadaikan, Kompas 30

Januari 2007.

Simarmata, Ricardo, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di

Indonesia, UNDP Regional Centre in Bangkok;

Sumardjono, Maria SW, 1998, Kewenangan Negara untuk Mengatur dalam

Konsep Penguasaan Tanah oleh Negara, dalam Pidato Pengukuhan Jabatan

Guru Besar pada Fakultas Hukum UGM, tanggal 14 Februari 1998 di

Yogyakarta;

-------, 2001, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, edisi

revisi, Kompas, Jakarta;

Suseno, Frans Magnis, 1993, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Kanisius, Yogyakarta;

33
Tjondronegoro, Sediono MP. &Gunawan Wiradi, 1984, Dua Abad Penguasaan

Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa,

Yayasan Obor Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta;

Wignjosoebroto, Soetandyo, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional:

Dinamika Sosio-Politik Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press,

Jakarta;

34

Anda mungkin juga menyukai