Anda di halaman 1dari 6

UNSUR-UNSUR PEMBENTUK WACANA

Posted on 16 Desember 2014 by Goresan Afriel

Sebagai satuan bahasa terlengkap, wacana tersusun dari untaian kalimat-kalimat yang
berkesinambungan, erat, dan kompak sesuai dengan konteks situasi. Artinya, dalam menganalisis
wacana terlibat dua unsur pokok, yakni (1) unsur internal bahasa (intralinguistik) yang berkaitan
dengan kaidah bahasa seperti sintaksis, morfologi, dan fonologi; serta (2) unsur eksternal bahasa
(ekstralinguistik), yang berkaitan dengan konteks situasi. Serasi tidaknya kaidah bahasa dan konteks
situasi dihubungkan dengan alat kewacanaan atau unsur-unsur pragmatik seperti deiksis, praduga,
implikatur.

1. UNSUR INTERNAL

Unsur internal wacana terdiri atas topik dan kalimat. Satuan bahasa yang digunakan untuk
menyatakan topik adalah kalimat.

A. Topik, Tema, Judul

Topik, tema, dan judul erat kaitannya. Topik merupakan pokok persoalan yang disampaikan. Topik
adalah pokok gagasan yang dikembangkan menjadi sebuah wacana. Dalam sebuah wacana hanya
ada sebuah topik. Ganti topik berarti ganti wacana. Untuk membentuk sebuah wacana, topik
dikembangkan dengan sebuah kalimat atau lebih.

Tema merupakan amanat utama yang ingin disampaikan oleh pembicara dalam wacana sebagai
rumusan dari topik dan menjadi dasar untuk mencapai tujuan. Tema lebih sempit dan abstrak
daripada topik. Tema merupkan topik yang dibatasi. Misalnya, topiknya ialah Bahaya Narkoba,
sedangkan temanya ialah Cara Menanggulangi Bahaya Narkoba. Judul atau titel merupakan etiket,
label, merek, atau nama yang dikenakan pada sebuah wacana. Judul berguna untuk menarik
kepenasaran pesapa terhadap persoalan yang dibicarakan. Judul merupakan slogan yang
menuangkan topik dalam bentuk yang lebih menarik. Karena itu, judul harus sesuai dan dapat
mewakili keseluruhan isi wacana, jelas, dan singkat. Judul dapat dibuat sebelum maupun sesudah
wacana selesai. Judul dapat juga bersifat simbolis. Judul besar sekali manfaatnya. Wacana yang sama
segala-galanya, jika diberi judul berbeda, akan dibayangkan atau ditafsirkan berbeda pula.

Misalnya:

Di Stasiun Kareta Api

Entah berapa lama, neng Santi menanti-nanti di sana. Tapi, belum juga datang. Selama duduk,
mukanya cemberut, tanda marah. Sebentar-sebentar melihat ke arah timur. Sementara yang
dinantikannya belum juga datang. Neng Santi kesal, mau marah tak bisa. Kemudian ia berdiri,
karena pantatnya terasa kaku. Akhirnya, ia berdiri, berjalan-jalan ke sana ke mari sambil
menggerutu.

Wacana tersebut menjelaskan bahwa seorang sedang menanti kareta api di stasiun. Tentu saja kita
tidak akan membayangkan hal lain, tetapi akan tertuju kepada kekesalan Santi karena dia menanti
kereta api yang tidak kunjung tiba. Wacana itu akan ditafsirkan berbeda apabila diberi judul yang
lain. Bandingkan wacana di atas dengan wacana berikut.

Malam Minggu

Entah berapa lama, neng Santi menanti-nanti di sana. Tapi, belum juga datang. Selama duduk,
mukanya cemberut, tanda marah. Sebentar-sebentar melihat ke arah timur. Sementara yang
dinantikannya belum juga datang. Neng Santi kesal, mau marah tak bisa. Kemudian ia berdiri,
karena pantatnya terasa kaku. Akhirnya, ia berdiri, berjalan-jalan ke sana ke mari sambil
menggerutu.

Dengan judul yang berbeda, wacana pertama berubah menjadi wacana kedua yang isinya
menjelaskan bahwa Santi sedang menantikan pacarnya yang tidak kunjung tiba. Disini membuktikan
bahwa judul wacana dapat memberikan imajinasi yang berbeda pula terhadap isi wacana.

B. Kalimat

Kalimat termasuk unit dalam wacana. Untuk memproduksi sebuah wacana, sekurang-kurangnya
digunakan satu kalimat. Hal ini dapat dipahami karena wacana secara konkret merujuk pada realitas
penggunaan bahasa yang disebut teks. Teks sebagai perwujudan konkret wacana terbentuk dari
untaian kalimat-kalimat. Sebuah kalimat diakhiri dengan intonasi final. Kalimat sering diandaikan
seperti sebuah bangunan yang terdiri atas beberapa ruang. Padahal, bisa saja sebuah kalimat hanya
terdiri atas satu kata. Namun, kalimat satu kata itu harus merupakan pengungkapan atau tuturan
pendek yang memiliki esensi sebagai kalimat (satu ruang itu harus dianggap sebuah rumah). Kalimat
pendek seperti itu sering terdapat pada dialog atau percakapan karena pada tempat dan situasi
tertentu orang cenderung bertanya jawab dengan kalimat pendek, bahkan mungkin tidak berbentuk
kalimat.

2. UNSUR EKSTERNAL

Unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak
nampak eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai
pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas konteks, implikatur, presuposisi,
referensi, dan inferensi. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu
pemahaman tentang suatu wacana.

A. Konteks

Konteks berarti yang berkenaan dengan teks, yakni benda-benda atau hal-hal yang ikut bersama teks
dan menjadi kesatuan. Menurut Brown dan Yull (1983), konteks adalah lingkungan atau keadaan
tempat bahasa digunakan. Dapat pula dikatakan bahwa konteks adalah lingkungan teks.

Konteks wacana adalah aspek-aspek internal wacana dan segala sesuatu yang secara eksternal
melingkupi sebuah wacana (Sumarlam, 2003 : 47). Konteks wacana secara garis besar dapat
dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu konteks verbal dan konteks nonverbal.

1) Konteks verbal

Konteks verbal yaitu hubungan dengan satuan bahasa yang melingkupinya contoh: kalimat-kalimat
dalam percakapan

2) Konteks nonverbal

Konteks nonverbal yaitu hubungan yang berkaian dengan hal-hal di luar bahasa. Konteks nonverbal
meliputi situasi sosial,dan budaya. Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat
dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan analogi. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: prinsip
penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal, dan prinsip analogi
(Sumarlam, 2005 : 47-54).

Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesuangguhnya yang menjadi partisipan di dalam
suatu wacana. Dalam hal ini, siapa penutur dan siapa mitra tutur sangat menentukan makna sebuah
tuturan. Prinsip penafsiran lokasional berkenaan dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya
suatu situasi (keadaan, peristiwa, dan proses) dalam rangka memahami wacana. Penafsiran
temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat
menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (peristiwa, keadaan, proses).

Prinsip analogi digunakan sebagai dasar, baik oleh penutur maupun mitra tutur, untuk memahami
makna dan mengidentifikasi maksud dari (bagian atau keseluruhan) sebuah wacana. Interensi adalah
proses yang harus dilakukan oleh komunikan (pembaca/pendengar/mitra tutur) untuk memahami
makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh komunikator
(pembicara/penulis/penutur).

Konteks wacana yang mendukung pemaknaan ujaran, tuturan, atau wacana adalah situasi
kewacanaan. Situasi kewacanaan berkaitan erat dengan tindak tutur. Sejalan dengan pandangan Dell
Hymes (1972) yang menyebut komponen tutur dengan singkatan SPEAKING.

S = setting and scene (latar dan suasana tutur)

P = participants (peserta)

E = ends (hasil)

A = act sequence (pokok tuturan)

K = key (nada tutur)

I = instrumentalities (sarana)

N = norms (norma)

G = genres (jenis)

Settings dipakai untuk menunjuk kepada aspek tempat dan waktu terjadinya tuturan,
sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis
pembicaraan. Participants adalah orang yang terlibat dalam tuturan, bisa pembicara dan pendengar,
penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. Ends merujuk pada maksud dan tujuan
tuturan. Act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Key mengacu pada nada, cara,
dan semangat di mana suatu pesan disampaikan. Instrumentalitiesmengacu pada jalur bahasa yang
digunakan seperti jalur lisan dan tulis. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang
digunakan seperti bahasa, dialek ragam, atau register. Norm mengacu pada norma atau aturan
dalam berinteraksi. Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, doa dan
sebagainya.

Keseluruhan komponen serta peranan komponen-komponen tutur yang dikemukakan oleh Hymes
dalam sebuah peristiwa berbahasa itulah yang disebut dengan peristiwa tutur (speech event).

Dalam bahasa Indonesia pun komponen tutur yang merupakan konteks kewacanaan dapat disingkat
dengan WICARA yang fonem awalnya mengacu kepada.

W = waktu, tempat, dan suasana

I = instrumen yang digunakan

C = cara dan etika tutur


A = alur ujaran dan pelibat tutur

R = rasa, nada, dan ragam bahasa

A = amanat dan tujuan tutur

Keenam komponen dalam konteks kewacaan tersebut masing-masing akan dipaparkan berikut ini.

1. Waktu, Tempat, dan Suasana

Waktu berlangsungnya komunikasi bisa siang, malam, pagi-pagi, sore hari, dsb. Pilihan kata yang
digunakan untuk masing-masing waktu tersebut tentu tidak sama. Suasanapenggunaan ujaran akan
menentukan jenis bahasanya. Bahasa dalam suasana resmi (formal) akan berbeda dengan bahasa
dalam suasana tidak resmi (informal). Tempat berlangsungnya ujaran bisa di rumah, di jalan, di
sawah, di kantor, di pasar, dsb. Karena tempatnya berbeda-beda, tentu saja bahasa yang
digunakannnya pun mempunyai variasi yang berbeda. Ekspresi bahasa sangat dipengaruhi oleh latar
belakang tempat, waktu, dan suasana pemakainya. Di mana, kapan, dan bagaimana cara
digunakannya.

2. Instrumen yang digunakan

Bahasa yang digunakan dalam komunikasi dapat berupa medium lisan maupun medium tulisan.
Meskipun begitu, untuk mengekspresikan isi hati digunakan pula sarana komunikasi nonverbal
(isyarat, kenesik). Alat yang digunakan dalam komunikasi bahasa akan menetukan jenis dan wujud
bahasanya. Pemakaian alat bantu dalam berbahasa bergantung pula pada tempat, waktu, dan
suasananya. Alat bantu komunikasi bahasa itu, antara lain, radio, TV, pengeras suara, OHV, koran,
majalah, telepon,dan surat.

3. Etika dan Cara Tutur

Cara dan etika tutur (norm) mengacu pada perilaku peserta tutur. Misalnya, diskusi yang cenderung
dua arah, setiap peserta memberikan tanggapan. Berbeda dengan kuliah atau ceramah yang
cenderung satu arah, ada norma diskusi dan norma ceramah. Berbeda pula dengan khotbah.

4. Alur Ujaran dan Pelibat Tutur

Alur ujaran merupakan wujud bahasa yang digunakan sewaktu berkomunikasi berkaitan dengan
strktur bahasa, seperti bunyi, urutan, dan konstruksi. Pelibat tutur menyangkut penyapa
(pembicara/penulis) dan pesapa (penyimak/pembaca). Berlangsungnya komunikasi bahasa antara
penyapa dan pesapa berpusat kepada objek yang dibicarakan.

5. Rasa, Nada

Rasa (feeling) merupakan sikap penyapa terhadap topik atau tema yang sedang dibicarakan. Rasa
sangat bergantung kepada pribadi penyapanya. Karena itu, rasa bersifat subjektif. Misalnya, dalam
komunikasi pemakai bahasa bisa memiliki perasaan gembira, sedih, mangkel, dan ragu-ragu. Nada
(tone) merupakan sikap penyapa terhadap pesapa-nya. Misalnya, penyapa mempunyai sikap sinis
seperti seorang guru yang mempersilakan siswanya kesiangan akan berkata:

Datangnya pagi-pagi benar, Nak?

Ujaran guru tersebut tidak mengacu ke datangnya siswa terlalu pagi, tetapi sebaliknya mengapa
datang ke sekolah terlambat atau kesiangan.

6. Amanat Tutur
Amanat tutur merupakan maksud dan tujuan yang ingin dicapai oleh penyapa. Amanat juga adalah
pesan penyapa yang sudah pesapa terima. Tujuan pembicaraan bisa bersifat informatif, interogatif,
imperatif, dan vokatif. Tujuan informatif mengharapkan agar pesapa merespon dengan perhatian
saja, tujuan interogatif mengharapkan agar pesapa merespons dengan jawaban, tujuan imperatif
mengharapkan agar pesapa merespon dengan tindakan,dan tujuan vokatif mengharapkan agar
pesapa merespon dengan perhatian.

Amanat ujaran berkaitan erat dengan isi yang dikandung oleh ujaran itu. Amanat ujaran dapat
diterima langsung oleh pesapa, dapat pula sebaliknya. Amanat ujaran mungkin langsung dipahami
oleh pesapa mungkin tidak langsung. Dalam hal ini Sering terjadi kesalahpahaman antara penyapa
dengan pesapa yang disebut miscomunication atau minsunderstanding.

B. IMPLIKATUR

Konsep implikatur pertama kali dikenalkan oleh Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna
bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk
memperhitungkan apa yang dimaksud oleh penutur berbeda dari apa yang dinyatakan secara
harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).

Contoh: Di sini panas sekali bukan?.

Pada ujaran tersebut secara implisit penutur menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan atau
jendela di buka.

c. PRESUPOSISI

George Yule (2006: 43) menyatakan bahwa praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang
diasumsikan oleh penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki
presuposisi adalah penutur bukan kalimat. Louise Cummings (1999: 42) menyatakan bahwa
praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan
linguistik tertentu.

Dari definisi praanggapan di atas dapat disimpulkan bahwa praanggapan adalah kesimpulan atau
asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami
oleh mitra tutur.

Contoh:

1. Istri pejabat itu cantik sekali

2. Mobil baru Budi sedang dicuci

Contoh (a) merupakan praduga untuk kebenaran bahwa pejabat itu mempunyai istri, sedangkan
contoh (b) merupakan praduga untuk kebenaran bahwa Budi memiliki mobil baru.

D. INFERENSI

Inferensi yaitu proses yang dilakukan oleh pesapa untuk memahami makna wacana yang tidak
diekspresikan langsung dalam wacana. Inferensi merupakan proses yang harus dilakukan oleh
pendengar atau pembicara untuk memahami maksud pembicara atau penulis. Proses pemahaman
seperti itu tidak dapat dilakukan melalui pemhaman makna secara harfiah saja, melainkan harus
didasari pula oleh pemahaman makna berdasarkan konteks sosial dan budaya.
Inferensi kewacaan diperlukan dalam memaknai wacana yang implisit atau tidak langsung mengacu
ke tujuan. Misalnya: kasus orang yang mau meminjam uang kepada tetangganya, tetapi dia tidak
malu untuk berkata langsung kepada orangnya. Meskipun ujaran itu tidak langsung menuju sasaran,
tetapi pesapa akan mengerti isi wacana berikut.

Sebenarnya malu. Tapi saya memaksakan diri datang ke sini. Itu tuh, anak saya sudah dua hari
panasnya tidak turun-turun. Sudah dikompres, tapi tetap saja. Saya tidak tahu harus bagaimana?
Entahlah..mau dibawa ke dokter, ya begitulah. Karena itu, ya, datang ke sini ini.

Anda mungkin juga menyukai