Anda di halaman 1dari 17

1

PENERAPAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR


(STUDI KASUS IUPHHK-HA PT SARI BUMI KUSUMA)

Disusun Oleh:

I Gusti Ayu Kusuma Wardani/E451170091

Dosen Pembimbing:

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R MS

PROGRAM STUDI SILVIKULTUR TROPIKA


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar
menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,
Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 23 September 2017

Penulis
3

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR ii
PENDAHULUAN 1
Latar belakang 1
Tujuan 2
PEMBAHASAN 2
Sistem tebang pilih tanam jalur (TPTJ) di lahan kering dan basah 3
Kondisi umum areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma 3
Luas areal IUPHHK-HA dan letak geografis 4
Kondisi iklim 4
Tutupan lahan 4
Konfigurasi lahan 5
Aksesibilitas 5
Hidrologi 5
Demografi 6
Dampak penerapan silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur terhadap
kelestarian kesuburan tanah dalam menunjang kelestarian pengelolaan 7
Kualitas pertumbuhan meranti pada sistem TPTJ di areal kerja
PT Sari Bumi Kusuma 9
Dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ terhadap
Potensi karbon dalam tanah di hutan alam tropika 10
SIMPULAN 12
SARAN 12
DAFTAR PUSTAKA 12
4

DAFTAR TABEL

1 Kelas kelerengan areal kerja PT Sari Bumi Kusuma 5


2 Kelas ketinggian areal kerja PT Sari Bumi Kusuma 5
3 Jumlah penduduk desa dalam dan sekitar areal kerja PT Sari Bumi
Kusuma wilayah Kabupaten Seruyan dan Katingan 6
4 Jumlah penduduk desa dalam dan sekitar areal kerja PT Sari Bumi
Kusuma wilayah Kabupaten Melawi 6
5 Potensi karbon di hutan primer dan areal TPTJ 10

DAFTAR GAMBAR

1 Skema sistem silvikultur TPTJ 3


2 Peta administrasi dan areal kerja PT Sari Bumi Kalimantan Tengah 4
3 Perkembangan DBH pada tipe naungan 1,2, dan 3 9
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luas hutan hujan tropis Indonesia mengalami penurunan baik secara kualitas maupun
kuantitas. Departemen Kehutanan (2007) menyebutkan bahwa laju kerusakan hutan di
Indonesia mencapai 2,1 juta ha/tahun, sedangkan Forest Watch Indonesia bahkan
memberikan angka 2-2,4 juta ha/tahun. Penurunan ini berdampak pada (1) penurunan
produksi kayu dari IUPHHK (HPH), (2) penurunan industri kehutanan dan penyerapan
tenaga kerja dan (3) menurunnya daya dukung ekologi (keanekaragaman hayati, obat-obatan
dan pangan; berkurangnya penyerapan karbon dan fungsi-fungsi lain yang berkaitan dengan
penjagaan terhadap keseimbangan ekologi). Kinerja IUPHHK kurang menggembirakan
karena jumlahnya mengalami penurunan sebesar 40,3% dari tahun 1994/1995 hingga 2006
(Departemen Kehutanan, 2007). Konsekuensi logis dari penurunan jumlah IUPHHK yang
beroperai adalah terjadinya penurunan produksi kayu dan luas kawasan hutan yang dikelola,
yaitu masing-masing sebesar 47-82% dan 6- 33,7% dari tahun 1999 hingga tahun 2006.
Penurunan potensi hutan ini akan berdampak negatif terhadap kelangsungan
kelestarian pengelolaan hutan di Indonesia. Upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan
hujan tropis di Indonesia telah dilakukan diantaranya dengan dikeluarkannya sistem
pengelolaan hutan yang didasarkan pada: Sistem Tebang Pilih Tanam Tanam Jalur dengan
penerapan teknik silvikultur intensif (TPTJ-SILIN). Teknik SILIN didasarkan oleh tiga pilar
IPTEK, yaitu (1) pemuliaan pohon, (2) manipulasi lingkungan dan (3) pengendalian hama
penyakit (Departemen Kehutanan 2009 & Soekotjo 2007). Sistem TPTJ-SILIN diharapkan
mampu menjembatani antara kepentingan ekonomi dan ekologi dalam pengeloaan hutan.
Kepentingan ekonomi ditandai dengan produktifitas hutan yang tinggi, sedangkan
kepentingan ekologis ditandai dengan menyisakan sekitar 85% dari total kawasan hutan
untuk dipertahankan sebagai kawasan hutan alam yang berfungsi untuk menjaga
keseimbangan ekosistem. Perwujudan dari kedua aspek pengelolaan di atas adalah dengan
pemilihan jenis-jenis tanaman indegenous yang prospektif yang dikemas dalam teknologi
SILIN.
Kegiatan penanaman pengayaan dilakukan dengan penanaman jalur (line
planting) mengakibatkan beberapa hambatan diantaranya adalah adanya semai yang ternaung
oleh cabang dari pohon yang ada di luar jalur tanam yang tidak ditebang (jalur antara),
sehingga penting dilakukan analisis terkait kondisi pertumbuhan meranti di areal TPTJ.
Efisiensi penerapan TPTJ terhadap kondisi tanah dan cadangan karbon di areal bekas
tebangan juga penting untuk dikaji agar dapat dilakukan evaluasi terkait sistem yang
diterapkan

Tujuan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menganalisis penerapan sistem


silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma
di Kalimantan Tengah terhadap aspek kondisi tanah, kondisi pertumbuhan meranti,
dan dampak penebangan terhadap simpanan karbon hutan.
2

PEMBAHASAN

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) di Lahan Kering


dan Basah

Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) adalah sistem silvikultur
yang dirancang sebagai alternatif dari sistem tebang habis yang digunakan untuk
pembangunan hutan tanaman industri (HTI), dimana pada sistem TPTJ terdapat area
hutan alam yang disisakan diantara jalur-jalur tanamnya. Penerapan sistem silvikultur
TPTJ dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hutan dengan
cara membangun hutan tanaman yang produktif. Kegiatan pembinaan hutan dalam
sistem silvikultur TPTJ meliputi pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan
perlindungan yang dilakukan secara berkesinambungan (Suparna dan Purnomo
2004). Skema sistem TPTJ ditunjukkan oleh (Gambar 1).
Sistem TPTJ dapat diaplikasikan di lahan basah maupun kering. Pada lahan
basah TPTJ hanya bisa diterapkan pada hutan mangrove, namun sistem ini dominan
diaplikasikan pada lahan kering. Penetuan sistem silvikultur yang diterapkan di
berbagai areal harus mempertimbangkan berbagai aspek agar tujuan yang diinginkan
dapat tercapai. Tujuan TPTJ adalah meningkatkan produktivitas hutan alam tegakan
tidak seumur melalui tebang pilih dan memanfaatkan ruang tumbuh dalam jalur untuk
meningkatkan riap dalam rangka memperoleh panenan yang lestari. Sasaran TPTJ
adalah pada hutan alam produksi bekas tebangan di areal IUPHHK atau KPHP.
Selanjutnya Suparna dan Purnomo (2004) menyatakan bahwa melalui penerapan
sistem TPTJ ada beberapa hal penting yang dapat dicapai, yaitu:

1. Peningkatan produktivitas dalam pengertian bahwa dengan penurunan batas


diameter tebang 40 cm maka produksi kayu per hektar yang diperoleh akan
lebih besar. Melalui sistem TPTJ, areal bekas tebangan TPTI dapat
dibudidayakan tanpa harus menunggu 35 tahun, sehingga untuk tebangan
berikutnya dapat diperoleh tanaman dari dalam jalur maupun tanaman dalam
jalur antara.
2. Penurunan limit diameter tebangan mengasilkan ruang tumbuh yang
memungkinkan untuk penanaman jenis meranti di dalam jalur.
3. Melalui penanaman dalam jalur, kegiatan pemerikasaan tanaman di lapangan
akan lebih efisien, murah, dan mudah.
4. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja dalam lingkungan sekitar hutan
melalui program penanaman dan pemeliharaan yang dilakukan secara intensif.
5. Pengamanan areal hutan alam bekas tebangan dari perladangan berpindah dan
perambahan, karena secara umum terdapat adat berupa penghormatan
terhadap areal yang sudah ditanami
6. Menggunakan bibit dari jenis terpilih sehingga produktivitasnya meningkat.
7. Keanekaragaman hayati tetap terjaga dengan adanya jalur antara.
3

Gambar 1 Skema sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)

Sistem silvikultur TPTJ didefinisikan sebagai sistem silvikultur hutan alam


yang mengharuskan adanya penanaman pada hutan pasca penebangan secara jalur,
yaitu 25 meter antar jalur dan jarak tanam 5 meter dalam jalur serta jalur tanam dibuat
selebar 3 meter yang merupakan jalur bebas naungan dan harus bersih dari pohon-
pohon yang menaungi dan pada jalur tidak boleh dilewati alat berat, kecuali pada
pinggir jalur sebelum adanya tanaman, sedangkan jalur antara selebar 22 meter yang
merupakan tegakan alam. Tanpa memperhatikan cukup tidaknya anakan alam yang
tersedia dalam tegakan tinggal, sebanyak 80 anakan pohon dari suku
Dipterocarpaceae harus ditanam per hektar untuk menjamin kelestarian produksi
pada rotasi berikutnya. Pada sistem silvikultur TPTJ pohonpohon yang ditebang
adalah pohon-pohon komersil yang berdiameter 40 cm ke atas (Suparna dan
Purnomo 2004).

Kondisi Umum Areal IUPHHK-HA PT Sari Bumi Kusuma

Luas Areal IUPHHK dan Letak Geografis

Berdasarkan letak geografis, areal PT. Sari Bumi Kusuma Blok S Seruyan dan
Katingan terletak pada posisi 0036-0110 lintang selatan dan 11139-11225
bujur timur (Gambar 2). Luas areal kerja total PT. Sari Bumi Kusuma adalah 146.700
ha berdasarkan SK Menhut No. 201/Kpts-II/1998 tanggal 27 Februari 1998. Penataan
ruang areal kerja dibagi menjadi luas total kawasan produksi efektif yaitu 124.983 ha,
kawasan lindung adalah 9.407 ha, dan areal tidak efektif seluas 13.210 ha.
4

Gambar 2 Peta administrasi dan areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma Kalimantan
Tengah

Kondisi Iklim

Areal konsesi hutan PT. Sari Bumi kusuma unit seruyan termasuk wilayah
yang memiliki curah hujan yang tinggi. Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan
Ferguson, areal konsesi termasuk tipe iklim A (sangat basah, Q=11.11%). Curah
hujantahunan sebesar 2835 mm pertahun dengan hari hujan 136 hari pertahun. Suhu
rata-rata pada waktu pagi hari sebesar 25.2C dan pada sore hari 35.2C, sedangkan
kelembaban udara rata-rata sebesar 98% pada pagi hari dan 57% pada sore hari.

Tutupan Lahan

Tutupan lahan berdasarkan penafsiran citra Landsat Tahun 2007 terdiri dari
areal berhutan primer 4.507 ha, berhutan bekas tebangan 110.002 ha, belukar tua
25.389 ha, belukar muda 5674 ha, dan areal tertutup awan 2.028 ha. Tipe hutan pada
areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma termasuk tipe hutan hujan tropika basah yang
didominasi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae yaitu Shorea leprosula, Shorea
pervifolia, Shorea Johorensis, Shorea stenoptera, Shorea pinanga, Shorea
platyclados, dan Vatica resak, sedangkan jenis lain Nondipterocarpaceae antara lain
Acacia mangium, Gmelina arborea, Eusyderoxylon zwageri, dan Peronema
canescent.
5

Konfigurasi Lahan

1. Lereng: luas masing-masing kelas lerengan di areal PT. Sari Bumi Kusuma Blok
Seruyan hasil analisis peta kontur yang diperoleh dari citra Alos Palsar
tertera pada tabel 1.
Tabel 1 Kelas Kelerengan Areal Kerja PT Sari Bumi Kusuma
No Kelas kelerengan Luas (Ha)
1 Datar (0-8%) 113446.90
2 Landai (8-15%) 22445.70
3 Agak curam (15-25%) 10855.90
4 Curam (25-40%) 845.90
5 Sangat curam (>40%) 5.60
Jumlah 147600.00

2. Ketinggian: luas masing-masing kelas ketinggian di areal PT. Sari Bumi Kusuma
Blok Seruyan hasil analisis peta contur yang diperoleh dari citra Alos
Palsar dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2 Kelas Ketingian Areal Kerja PT Sari Bumi Kusuma


No Ketinggian (mdpl) Luas (Ha)
1 0-200 78212.22
2 200-400 58049.44
3 400-600 8973.22
4 600-800 2055.52
5 800-1044 309.60
Jumlah 147600.00

Aksesibilitas

Untuk mencapai areal kerja PT. Sari Bumi Kusuma Blok S. Seruyan dapat
dilakukan melalui jalur Pontianak Nanga Pinoh Lokasi IUPHHK. Dari Pontianak
Nanga Pinoh dapat ditempuh melalui jalan darat selama lebih kurang 10 jam dan
dilanjutkan dari Nanga Pinoh ke logpond sekitar 2 jam atau bila menggunakan
speedboat melalui sungai Melawi waktu tempuhnya selama 1.5 jam.

Hidrologi

Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, areal PT. Sari Bumi Kusuma
Blok Seruyan tergolong beriklim tipe A dengan curah hujan rata-rata 282.33 mm/bln
dan rata-rata hari hujan 12.08 hari. Suhu rata-rata bulanan masingmasing berkisar
antara 22-28C pada malam hari dan 30-33C pada siang hari. Bulan kering adalah
bulan Juni sampai September. Kelembaban nisbi di areal kerja IUPHHK berkisar
antara 85-95 %. Kelembaban nisbi terkecil terjadi pada bulan September dan terbesar
6

pada bulan Juli dan Desember. Kecepatan dan arah angin di wilayah kerja PT. Sari
Bumi Kusuma berkisar antara 7-9 knot dengan kecepatan ngina terbesar terjadi
pada bulan Agustus dan Desember. Dalam areal terdapat dua daerah aliran sungai
yang cukup besar yaitu Das Katingan dan Das Seruyan.

Demografi

Areal PT. Sari Bumi Kusuma Blok Seruyan termasuk ke dalam Kabupaten
Katingan dan Kabupaten Seruyan. Dalam areal PT. Sari Bumi Kusuma terdapat 7
desa dan 2 desa disekitar yang masuk wilayah Kabupaten Katingan Dan Seruyan
Propinsi Kalimantan Tengah yang dilakukan pembinaan secara kontinyu dengan
kondisi sebagai kependudukan seperti pada tabel 3.

Tabel 3 Jumlah Penduduk Desa Dalam dan Sekitar Areal Kerja PT. Sari Bumi
Kusuma Wilayah Kabupaten Seruyan dan Katingan
No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Riam batang 113 136 149.00
2 Tb. Teberau 76 136 212.00
3 Tb. Karuai 285 266 551.00
4 Tj Batik 75 76 151.00
5 Tb. Kaburai 164 139 303.00
6 Kiham Batang 116 113 229.00
7 Tj. Paku 224 231 455.00
8 Tb. Kejame 235 230 465.00
9 Rangan Kawit 160 153 313.00
Jumlah 1448 1480 2928

Selain itu ada beberapa desa di luar kawasan yang masuk ke dalam wilayah
Kabupaten Melawi Propinsi Kalimantan Barat yang berada disekitar areal terutama
sepanjang jalan masuk areal. Adapun kondisi kependudukan desa-desa tersebut
adalah seperti pada tabel 4.

Tabel 4 Jumlah Penduduk Desa di Luar Areal Kerja PT. Sari Bumi Kusuma Wilayah
Kabupaten Melawi
No Desa Laki-laki Perempuan Jumlah
1 Sungkup 128 274 402.00
2 Ancana 24 27 51.00
3 Belahan Ella 290 272 562.00
4 Ng. Siyai 157 149 306.00
5 Ng. Apat 98 89 187.00
6 Landau mumbung 140 156 296.00
Jumlah 837 967 1804
Sumber: Murti AP 2011.
7

Dampak Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Terhadap


Kelestarian Kesuburan Tanah Dalam Menunjang Kelestarian Pengelolaan
Hutan

PT. Sari Bumi Kusuma (SBK) merupakan salah satu pemegang Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) di Kabupaten Seruyan,
Kalimantan Tengah. Jenis pohon yang dimanfaatkan oleh PT. SBK adalah meranti
(Shorea leprosula). Dalam upaya menjamin Sustainable Forest Management (SFM),
PT. SBK menerapkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Menurut
data hasil penelitian Indeks Stabilitas Agregat pada plot penelitian secara keseluruhan
tergolong dalam kategori rendah (67.44-74.72 %), hasil tersebut diduga disebabkan
oleh bentuk kontur yang bergelombang, curah hujan yang tinggi, serta perubahan
vegetasi yang disebabkan oleh pengelolaan hutan, ketiga hal tersebut dapat
mempengaruhi Stabilitas Agregat, kemudian didukung oleh jenis tanah pada plot
penelitian, yaitu: podsolik merah kuning (Pamoengkas 2006).
Tanah podsolik merah kuning merupakan jenis tanah yg memiliki aktifitas
lempung yang rendah dan kemampuan memegang air yang rendah (Notohadiprawiro
2006), sehingga bila dihubungkan dengan tiga faktor lainya dapat menyebabkan
peningkatan proses pencucian dan aliran permukaan (run off), hal tersebut dapat
menyebabkan fenomena yang berdampak terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan Stabilitas Agregat, seperti: kehilangan lapisan atas (lapisan organik)
yang berfungsi sebagai perekat lebih cepat, serta liat (inorganik) yang juga berfungsi
sebagai perekat, perubahan susunan tekstur, serta pemadatan tanah yang
menyebabkan penyempitan pori tanah, sehingga kapasitas tanah untuk menyerap air
menjadi berkururang dan menyebabkan peningkatan aliran permukaan
(Hardjowigeno 2003). Fenomena-fenomena tersebut menyebabkan kondisi tanah
menjadi mudah berubah-ubah atau labil, sehingga berpengaruh terhadap
perkembangan Stabilitas Agregat pada plot penelitian.
Menurut Hardjowigeno (2003) Bobot Isi merupakan perbandingan antara
berat tanah kering (termasuk udara dan air) dengan volume tanah, nilai Bobot Isi pada
tanah-tanah di daerah tropis berkisar anatara 1-1.6 gr/cm3 (Soepardi 1983). Hasil
analisis sifat fisik tanah Bobot Isi berkisar antara 0.99-1.18 gr/cm3. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa Bobot isi tanah di loksai penelitian masih termasuk dalam
selang kategori normal untuk tanah berlempung di daerah tropis. Nilai Bobot Isi
terendah (0.99 gr/cm3) di petak umur tanam 4 dan 5 tahun pada kedalaman 0-20 cm
dapat disebabkan oleh adanya perbedaan susunan tekstur dari tanah pada plot
penelitian, pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Soepardi (1983), bahwa Bobot
Isi tanah dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusunnya seperti liat, pasir,
lempung, debu, air, udara, dan lain lain. Perbedaan-perbedaan susunan tektur tanah
pada plot penelitian dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang sama seperti yang
mempengaruhi Indeks Stabilitas Agregat, akan tetapi data hasil penelitian
menunjukkan adanya peningkatan Bobot Isi, hal tersebut menunjukan bahwa dengan
kondisi seperti pada plot penelitian pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur TPTJ
dapat meningkatkan sifat fisik tanah Bobot Isi setelah pemanenan hutan.
8

Hasil analisis Stabilitas Agregat dan Bobot Isi menunjukkan bahwa faktor
lingkungan sangat berpengaruh terhadap parameter tersebut, hal yang sama pun
mempengaruhi parameter sifat kimia tanah C-Organik dan NTotal. Berdasarkan tabel
penilaian kriteria sifat kimia tanah (Hardjowigeno 2003), hasil analisis kimia tanah
pada seluruh plot penelitian menunjukan nilai C-organik dan N-Total yang rendah,
hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya perbedaan komposisi penyusun dari bahan-
bahan organik tersebut, didukung dengan kondisi kelerengan yang bergelombang,
serta kondisi tajuk yang tidak kontinyu, sehingga menciptakan iklim mikro yang tidak
seragam yang berpengaruh terhadap laju dekomposisi dari bahan-bahan organik
tersebut. Perbedaan laju dekomposisi, curah hujan yang tinggi, kelerengan yang
bergelombang, serta jenis tanah dengan sifat lempung yang beraktifitas rendah dan
kemampuan memegang air rendah menyebabkan bahan organik tanah pada plot
penelitian tidak terdistribusi secara merata dan mudah mengalami pencucian,
sehingga menyebabkan jumlahnya menjadi sedikit dalam tanah (Notohadiprawiro
2006).
Pengamatan sifat biologi tanah menunjukan bahwa nilai dari parameter C-
Biomassa Mic bersifat fluktuatif, hal tersebut disebabkan oleh distribusi dari bahan
organik pada plot penelitian tidak merata, serta komposisi dari bahan organik yang
berbeda-beda dan adanya perbedaan laju dekomposisi yang disebabkan oleh kondisi
fisik dari plot pengambilan sampel. Pada plot penelitian umur tanam 1, 2, 4, 5, 8, dan
9 tahun menunjukkan nilai C-Biomassa Mic yang tinggi, hal tersebut dapat
diasumsikan bahwa pada plot pengambilan sampel sedang terjadi pelapukan bahan-
bahan organik yang masih segar. Pada plot penelitian terdapat juga C-Biomassa Mic
dengan nilai yang rendah (umur taman 3, 6, dan 7 tahun), hal tersebut dapat
disebabkan pada saat pengambilan sampel tanah di titik-titik pengamatan kondisi
bahan organiknya sudah dalam keadaan tidak segar, sehingga mikroorganisme sulit
mendapatkan energi, hal tersebut menyebabkan aktifitasnya menurun. Kemungkinan
lain yang dapat menjadi penyebab hasil pengamatan sifat biologi tanah pada plot
penelitian bersifat fluktuatif ialah sifat dari mikroorganisme tanah tersebut. Aktifitas
mikroorganisme pada saat lingkungan kering dapat berbeda dengan pada saat
lingkungan basah atau dengan kata lain aktiftasnya sebelum dan sesudah terjadi hujan
dapat berbeda.
Perhitungan nilai kualitas tanah pada plot penelitian hanya dilakukan pada
kedalaman 0-20 cm, hal tersebut dikarenakan kedalaman 0-20 cm merupakan
kedalaman efektif bagi pertumbuhan akar-akar dari semai, sedangkan pengambilan
data 20-40 cm dimaksudkan sebagai pembanding. Berdasarkan perhitungan yang
dikembangkan oleh Pamoengkas (2006) kualitas tanah pada plot penelitian bersifat
fluktuatif, sedangkan bila dikategorikan berdasarkan nilai batas ambang (Pamoengkas
2006), nilai kualitas tanah pada plot penelitian berkisar antara kategori rendah hingga
sedang. Jika dirata-ratakan maka nilai rata-rata tersebut termasuk dalam kategori
sedang (4.332).
Hasil penelitian menunjukan adanya peningkatan nilai kualitas tanah pada
kawasan yang diterapkan sistem silvikltur TPTJ dibandingkan dengan nilai kualitas
tanah pada hutan primer di kawasan IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma yang
tergolong dalam kategori rendah (2.023) (Pamoengkas 2006) dan penelitian
9

Pamoengkas (2006) pada kawasan TPTJ IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma kelas
umur tanam 1-5 tahun juga mendapatkan hasil rata-rata nilai kualitas tanah yang
rendah (2.940). Dari hasil-hasil tersebut dapat dilihat bahwa penerapan sistem
silvikultur TPTJ dapat memberikan peningkatan terhadap kondisi tanah pada lokasi
penelitian, walaupun data hasil penelitian menunjukkan peningkatan nilai kualitas
tanah, akan tetapi peningkatan tersebut tidak bisa diartikan sebagai suatu kemajuan,
hal tersebut dikarenakan kondisi tanah pada lokasi penelitian belum tentu sesuai
dengan kebutuhan ekologis dari ekosistem hutan primer.

Kualitas Pertumbuhan Meranti Pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Di


Areal Kerja IUPHHK-HA PT. Sari Bumi Kusuma

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiyatno (2011),


terhadap nilai rata rata riap DBH/tahun dan riap tinggi/tahun menunjukkan nilai yang
bervariasi dengan kisaran riap tinggi sebesar 24.67-39.15% dan riap DBH sebesar
26.59-36.11%. Hal ini disebabkan karena adanya variasi tipe naungan, jenis, dan
genetik dari vegetasi penyusun plot pengamatan. Penanaman dengan model jalur
mengakibatkan variasi naungan terbentuk dalam jalur tanam. Variasi ini disebabkan oleh
penaungan yang disebabkan oleh cabang pohon-pohon yang letaknya di jalur antara (di luar
jalur tanam yang tidak ditebang pada saat pembukaan jalur tanam/ penyiapan lahan). Tingkat
naungan yang terbentuk adalah antara kisaran Tipe naungan 1-3 untuk masing-masing plot
pengamatan.

Gambar 3 Perkembangan DBH pada tipe naungan 1,2 dan 3

Perbaikan Tipe Naungan 1 ke 2 dan Tipe Naungan 1 ke 3, masing-masing akan


meningkatkan pertumbuhan DBH antara 17-69% dan 20-96%. Sedangkan pada variabel
tinggi Perbaikan Tipe Naungan 1 ke 2 dan Tipe Naungan 1 ke 3, masing-masing akan
meningkatkan pertumbuhan tinggi antara 18-22% dan 18-33% (Gambar 3). Hal ini
menunjukkan bahwa perbaikan tipe naungan lebih mempengaruhi perkembangan variabel
DBH dibandingkan dengan tinggi. Yap (1991) menyarankan pembukaan tajuk penaung
dilakukan pada saat enam bulan setelah penanaman karena dipterocarpa merupakan jenis
tanaman yang membutuhkan naungan pada saat pertumbuhan awalnya. Keadaan ini sangat
bertolak belakang dengan capaian yang dihasilkan oleh penelitian ini dan Appanah and
Weinland (1993) dalam Soekotjo (2011), bahwa pembukaan ruang yang optimal sejak awal
penyiapan lahan tipe naungan 4 akan mengurangi gangguan dari pohon penaung yang ada di
sekitar tanaman pokok. Keadaan ini juga sejalan dengan hasil perkembangan tanaman pada
10

uji keturunan dan uji jenis yang dibuka sejak penyiapan lahan akan meningkatkan
pertumbuhan sebesar 78,7% dan 48,9% dibandingkan PUP-2 (Tipe Naungan 2).
Pertumbuhan tanaman merupakan suatu proses biokimia yang terjadi secara
simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan DBH semakin meningkat
dengan bertambahnya umur tanaman pada fase awal pertumbuhan, sedangkan pertumbuhan
tinggi amper i stabil. Nilai KV yang tinggi dalam masing-masing plot pengamatan juga
dapat disebabkan oleh variasi jenis yang terdapat dalam plot pengamatan masih terdiri dari
beberapa jenis, sehingga jenis juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi variasi
pertumbuhan. Disamping faktor naungan, tingginya variasi DBH dan tinggi pada plot
pengamatan disebabkan juga karena materi penanaman masih menggunakan materi
penanaman campuran (bulking) dari hutan alam. Untuk itu upaya penyeragaman
pertumbuhan dapat dilakukan dengan memilih pohon-pohon plus yang telah teruji dari uji
keturunan dari masing-masing jenis di atas.

Dampak Pemanenan Kayu dan Perlakuan Silvikultur Tebang Pilih Tanm Jalur
(TPTJ) Terhadap Potensi Karbon Dalam Tanah Di Hutan Alam Tropika

Hasil penelitian menunjukkan Kandungan karbon dalam serasah hancur


diseluruh plot penelitian berkisar antara 0.7172.291 ton C/ha, dengan cadangan
karbon dalam serasah hancur tertinggi di hutan primer (2.291 ton C/ ha) dan terendah
di ABT0 (Tabel 5). Cadangan karbon dalam serasah hancur di hutan primer memiliki
perbedaan yang nyata dengan cadangan karbon dalam serasah hancur di areal bekas
tebangan TPTJ (ABT0, ABT2, ABT3, dan ABT4). Nilai kandungan karbon dalam
akar, kandungan karbon dalam tanah menunjukan tidak memiliki perbedaan yang
nyata antara hutan primer dengan areal TPTJ.

Tabel 5 Potensi karbon di hutan primer dan areal TPTJ


Serasah C Tanah
Plot penelitian Serasah segar Akar Total C (Ton C/ha)
hancur 0-20 cm 20-40 cm
Hutan primer 6.103 2.291 11.302 64.982 38.054 122.734
ABT0 2.412 0.717 7.203 44.84 46.048 102.221
ABT2 3.866 1.013 5.852 48.158 34.467 93.358
ABT3 4.705 0.939 10.544 79.754 40.019 135.963
ABT4 5.583 1.67 8.35 74.229 41.697 131.531
Total C (Ton/H) 22.670 6.633 43.252 311.965 200.287 584.809
Sumber: Almulqu AA 2011.
Keterangan:
ABT0 = Areal bekas tebangan 0 tahun
ABT2 = Areal bekas tebangan 2 tahun
ABT3 = Areal bekas tebangan 3 tahun
ABT4 = Areal bekas tebangan 4 tahun

Tabel 5 menunjukkan bahwa cadangan karbon dalam serasah segar pada areal
bekas tebangan (0, 2, 3, 4 tahun) TPTJ dan hutan primer berkisar antara 2,4126,103
ton C/ha. Cadangan karbon serasah segar di areal bekas tebangan 4 tahun lebih tinggi
dibandingkan dengan areal bekas tebangan 0, 2 dan 3 tahun TPTJ, yaitu sebesar
13.988%, 7.576%, dan 3.875%. Cadangan karbon dalam serasah segar memiliki
kecenderung an meningkat dengan bertambahnya umur areal bekas tebangan. Hasil
11

analisis menunjukkan bahwa cadangan karbon dalam serasah segar di hutan primer
memiliki perbedaan yang nyata dengan cadangan karbon dalam serasah segar pada
areal bekas tebangan TPTJ (ABT0, ABT2, ABT3, dan ABT4).
Kontribusi cadangan karbon dalam akar dari seluruh kelas diameter terhadap
cadangan karbon dalam akar di hutan primer adalah seimbang, di mana di setiap kelas
diameter akar memiliki proporsi dengan rata-rata 2,42 ton/ha. Namun proporsi ini
menurun menjadi 1,06 ton/ha pada areal bekas tebangan tahun untuk jalur tanam.
Karena semakin kecilnya kontribusi dari setiap kelas diameter akar dan tidak
ditemukannya akar pada kelas diameter >5 cm. Peningkatan terjadi pada areal bekas
tebangan 0 tahun untuk jalur antara jika dibandingkan dengan cadangan karbon dalam
akar di hutan primer, walaupun cadangan karbon dalam akar dari kelas diameter 25
cm tidak di temukan. Peningkatan kembali terjadi pada areal bekas tebangan 2 tahun
untuk jalur tanam dengan rata-rata proporsi kontribusi dari setiap kelas diameter akar
adalah 1,86 ton/ha dengan kontribusi terbesar berasal dari cadangan karbon dalam
akar pada diameter >5 cm. Adanya penurunan kontribusi dari setiap kelas diameter
cadangan karbon dalam akar pada areal bekas tebangan 2 tahun untuk jalur antara,
menyebabkan penurunan pula terhadap cadangan karbon dalam akar untuk plot
tersebut yaitu menjadi sebesar 1,5 ton/ha.
Pada areal bekas tebangan 3 tahun memiliki kecenderungan peningkatan
cadangan karbon dalam akar, baik pada jalur tanam maupun jalur antara. Cadangan
karbon dalam akar pada setiap kelas diameter menunjukkan adanya peningkatan
kontribusi terhadap kandungan karbon dalam akar pada plot ini, namun peningkatan
kandungan karbon dalam akar tersebut ternyata tidak meningkatkan cadangan karbon
dalam akar pada areal bekas tebangan 3 tahun untuk jalur tanam yaitu sebesar 1,63
ton/ha. Karena terjadinya penurunan cadangan karbon dalam akar dari kelas diameter
<0,5 cm, 0,52 cm dan 25 cm memiliki kecenderungan meningkat dengan
bertambahnya umur areal TPTJ, terutama pada jalur tanam. Kandungan karbon dalam
akar sebagian besar berasal dari hutan primer, kemudian di ikuti ABT3, ABT4,
ABT0, dan ABT2. Kandungan karbon dalam akar memberikan pengaruh yang
signifikan akibat dari kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ.
Terutama untuk akar dengan diameter < 0,5 cm dan 0,52 cm pada jalur tanam. Akar
tersebut ternyata memberikan proporsi perkembangan akar yang cukup besar untuk
jumlah total cadangan karbon dalam akar.
Biomassa akar akan meningkat dengan meningkatnya umur areal bekas
tebangan, sampai ABT3. Bahkan peningkatan biomassa yang terjadi telah melebihi
biomassa akar di ABT4. Hal ini berarti bahwa pada areal bekas tebangan 3 tahun
untuk jalur antara, merupakan lebar jalur pertumbuhan akar mencapai angka
maksimal. Cadangan karbon pada areal bekas tebangan TPTJ berkisar antara
76,065%110,778%, cadang an karbon pada areal TPTJ terendah berasal dari ABT2
(76, 065%) dan cadangan karbon tertinggi pada ABT3 (110,778%). Persentase
cadangan karbon ini memiliki pola yang tidak konsisten seiring dengan meningkatnya
umur areal bekas tebangan TPTJ, di mana penurunan cadangan karbon terjadi sampai
pada ABT2 namun kemudian meningkat kembali pada ABT3 dan ABT4. Bahkan
peningkatannya melebihi cadangan karbon pada hutan primer. Peningkatan ini
mengindikasikan adanya potensi pengembalian cadangan karbon ke tingkat yang
12

amper sama, bahkan melebihi cadangan karbon di hutan primer. Kandungan karbon
dalam serasah hancur yang memiliki perbedaan yang nyata dengan kisaran antara
0.7172.291 ton C/ha.
Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur TPTJ tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap potensi kandungan karbon dalam akar dan tanah pada
kedalaman 02 cm dan kandungan karbon tanah pada kedalaman 2040 cm. Potensi
kandungan karbon dalam akar berkisar antara 5.85211.302 ton C/ha, 44.84079.754
ton C/ha untuk kandungan karbon tanah pada kedalaman 020 cm dan 34.46746.048
ton C/ha untuk kandungan karbon tanah pada kedalaman 2040 cm. Terjadi
perubahan kandungan karbon secara nyata di areal bekas tebangan TPTJ
dibandingkan dengan hutan primer (kandungan karbon dalam serasah segar dan
cadangan karbon dalam serasah hancur), kecuali untuk kandungan karbon dalam akar
dan tanah pada kedalaman 020 cm serta cadangan karbon tanah pada kedalaman 20
40 cm.
SIMPULAN

Potensi tiap pertumbuhan meranti pada sistem jalur di areal TPTJ untuk riap
diameter sekitar 1,72 cm/tahun dan riap tinggi sekitar 1,75 cm/tahun, lebih tinggi dari
pertumbuhan umum di hutan alam yang hanya sekitar sekitar 0,5 cm/tahun. Kualitas
tanah pada areal Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) IUPHHK/HA PT. Sari Bumi
Kusuma terbagi menjadi dua kategori nilai kualitas tanah yaitu kategori sedang dan
rendah. Kelas umur tanaman pada areal Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ)
IUPHHK/HA PT. Sari Bumi Kusuma yang tergolong dalam kategori sedang yaitu
kelas umur tanaman 1, 2, 4, 5, 8, dan 9 tahun, sedangkan yang tergolong dalam
kategori rendah yaitu kelas umur tanaman 3, 6, dan 7 tahun. Sistem silvikultur TPTJ
memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan karbon di areal bekas
tebangan dibandingkan hutan primer.

SARAN

Dengan penggunaan system TPTJ degradasi hutan jauh lebih rendah dari
TPTI biasa. Dalam kurun waktu 20 tahun diperkirakan kondisi hutan sudah kembali
seperti hutan alam sehingga penggunaan TPTJ perlu dipraktekkan untuk
meningkatkan produksi kayu dan meningkatkan cadangan karbon di hutan Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Almulqu AA. 2011. Dampak pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur tebang pilih
tanam jalur (TPTJ) terhadap potensi karbon dalam tanah di hutan alam tropika
(Studi kasus di areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK) PT Sari
Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah. Jurnal widyariset 14(3).
Departemen Kehutanan. 2007. Buku statistik kehutanan Indonesia Tahun 2006.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Peraturan direktur jenderal bina produksi kehutanan
nomor : P.9/VI/BPHA/ 2009, tentang pedoman pelaksanaan sistem silvikultur
13

dalam areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan produksi.
Departemen Kehutanan. Jakarta.
Murti AP. 2011. Kualitas Tanah Pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur
(TPTJ) di Areal Kerja IUPHHK/HA Sari Bumi Kusuma Provinsi Kalimantan
Tengah [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Notohadiprawira T. 2006. Ultisol, Fakta dan Implikasi Pertanianya.
Http://ugm.ac.id/files/notohadiprawiro/hDXa17zA/ilmutanah%20htn%20li
nd.htm. [18 November 2010].
Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (Studi Kasusdi Areal HPH PT. Sari
Bumi Kusuma, Kalimantan Tengah) [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Soekotjo et al. 2011. Pertumbuhan meranti (Shorea spp.) pada sistem tebang pilih
tanam jalur dengan teknik silvikultur intensif (TPTJ-SILIN). Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam 8(4):373-383.
Soepardi G.1983. Sifat dan Ciri Tanah (Edisi revisi). Bogor: Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Suparna N. 2005. Meningkatkan produktivitas kayu dari hutan alam dengan
penerapan silvikultur intensif di PT Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan-Kalteng.
Dalam E. B. Hardiyanto (Eds). Peningkatan Produktifitas Hutan: Peran
Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalam
Mendukung Rehabilitasi Hutan. Seminar Nasional. Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada dan International Timber Trade Organization.
Yogyakarta. pp. 30-48.
Yap SK. 1991. The use of Dipterocarps species in artificial regeneration problem and
possible solutions. In Soerianegara, I., S.S. Tjitrosomo, R.C.Umaly dan I.
Umboh (eds). Fourth Round-Table Conference on Dipterocarps. Biotrop
Special Publication No.41. Bogor. Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai