Anda di halaman 1dari 22

Tuberkulosis Paru dan Penatalaksanannya

Pendahuluan

Tuberkulosis paru (TB paru) telah dikenal hampir di seluruh dunia, sebagai penyakit kronis yang
dapat menurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius. Hal ini disebabkan oleh terjadinya kerusakan
jaringan paru yang bersifat permanen. Di samping proses destruksi terjadi pula secara simultan proses
restorasi atau penyembuhan jaringan paru sehingga terjadi perubahan struktural yang bersifat menetap serta
bervariasi yang menyebabkan berbagai macam kelainan faal paru.1

Indonesia berada pada tingkat ke-3 terbesar didunia dalam jumlah penderita Tuberkulosis(TB),
setelah India dan Cina. Di dunia diperkirakan penyakit ini dapat menyebabkan kematian kurang lebih 8.000
orang per hari terdaftar hampir 400 kematian yang berhubungan dengan TB setiap harinya, atau 140.000 per
tahun, dan kurang lebih juta penduduk diduga terinfeksi TB setiap tahun. Penyakit tuberkulosis paru
merupakan penyakit infeksi yang penyebarannya sangat mudah sekali, yaitu melalui batuk, bersin dan
berbicara. Penyebaran penyakit tuberkulosis paru yang sangat mudah ini, sangat rentan pada keluarga yang
anggota keluarganya sedang menderita penyakit tersebut. Penyakit dapat menular pada anggota keluarga
yang lain. Oleh karena itu, penyakit tuberkulosis harus mendapat penanganan yang tepat karena penyakit ini
menyerang tidak memandang kelompok usia produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan
rendah. Penyakit TB paru lebih banyak ditemukan di daerah miskin. Karena faktor lingkungan yang kurang
mendukung menjadi penyebab TB paru.1

Anamnesis

Pada anamnesis paru terdapat enam gejala kardinal penyakit pernapasan, yaitu batuk, sputum,
hemoptisis, nyeri dada, dispnea, dan mengi.

Batuk merupakan pengeluaran udara dengan paksa melalui glotis yang tertutup. Berikut adalah
pertanyaan yang dapat diajukan kepada pasien berkaitan dengan batuk.2

Jenis batuknya kering atau mengeluarkan sekret atau dahak? Apa warna sputumnya?
Apakah batuk disertai nyeri ataupun demam?
Sudah berapa lama menderita batuk? Apakah batuk setiap hari?
Apakah ada darah di sputum?

Sputum adalah sekresi bronkus yang berlebihan dan mungkin merupakan manifestasi peradangan dan
infeksi. Warna sputum umumnya putih atau abu-abu. Sputum warna abu-abu dijumpai pada perokok. Pada
1
infeksi warna sputum berubah menjadi kuning dan hijau. Sputum yang kental dan berkarat adalah ciri khas
pada pneumonia lobaris. Sputum merah muda berbusa menandakan edema paru. Bau pada sputum biasa
dijumpai pada abses paru atau bronkiektasis. Berikut pertanyaan yang dapat diajukan mengenai keluhan
sputum. 2

Seberapa banyak dahak yang dikeluarkan setiap hari?


Seperti apa konsistensinya cair atau kental?
Seperti apa baunya?

Jenis nyeri sistem pernapasan yang paling sering dijumpai adalah nyeri pleura karena pernapasan
pleura parietalis sangat banyak. Nyeri digambarkan bersifat lokal dan menusuk, dan diperparah oleh gerakan
yang menyebabkan kedua permukaan pleura bergesekan, misalnya bernapas dalam, batuk atau bersin.
Pertanyaan yang dapat diajukan berkaitan dengan nyeri adalah sebagai berikut. 2

Apakah terasa nyeri bila anda bernapas?


Di mana lokasi nyeri tersebut?
Seperti apa nyerinya?
Apakah nyerinya terus menerus?

Sebagian besar penyakit paru menyebabkan dispnea atau kesulitan bernapas. Derajat sesak dan
gangguan fungsional yang ditimbulkannya perlu dipastikan. Pasien sering mengeluh rasa tertekan di dada
yang dapat disebabkan oleh angina atau penyakit paru. Dapat ditanyakan apakah sesak hilang timbul atau
tidak untuk kecurigaan penyakit asma. Sesak napas dapat disebabkan oleh penyebab tunggal atau kombinasi
di bawah ini. 2

Perubahan ventilasi ke paru


Gangguan ventilasi paru
Perubahan pertukaran gas
Gangguan perfusi paru.

Dapat ditanyakan pertanyaan tambahan mengenani penurunan berat badan pada pasien dan riwayat
penyakit dahulu pasien. Riwayat keluhan, cedera, atau operasi dada sebelumnya perlu di tanyakan dengan
cermat. Riwayat tuberkulosis merupakan hal penting, dan perlu ditanyakan lama pengobatan atau intervensi
apa saja yang telah dilakukan. Riwayat asma, pneumonia atau batuk rejan pada masa kanak-kanak kadang
relevan dengan perkembangan gejala pada masa dewasa. Riwayat cedera dada dan pneumonia dapat
menjelaskan kelainan pada foto toraks.2

2
Riwayat pribadi dan sosial pada pasien dapat ditanyakan tentang konsumsi rokok ataupun perokok
pasif, hewan peliharaan dan pekerjaan yang dapat memicu gejala. Tanyakan juga riwayat bepergian ke suatu
tempat endemis dan daerah tempat tinggal yang endemis.2

Riwayat keluarga dan pengobatan dapat berperan penting dalam keluhan pasien. Asma memiliki
komponen herediter yang kuat. Tanyakan juga riwayat penyakit tuberkulosis pada keluarga pasien.
Tanyakan juga riwayat pasien menggunakan bronkodilator dan obat-obat tertentu seperti aspirin, OAINS,
dan penyekat-. 2

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umm pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit
yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.3

Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-
kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak
didalam, maka akan sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang
lebih dari 4cm kedalam paru sulit dinilai secara palpasi,perkusi dan auskultasi. Secara anamnesis TB paru
sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.3

Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks(puncak) paru. Bila
dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas
bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah,kasar dan nyaring . Tetapi bila
infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, suaranya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang
cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.3

Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosa yang luas sering ditemukan atrofi atau relaksasi
otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi memicu dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya.
Paru yang sehat menjadi hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan darah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan
arteri pulmonalis ( hipertensi pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Disini
akan didapatkan tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung seperti takipnea, takikardia, sianosis,
tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites dan edema.3

Bila Tuberkulosis mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura. Paru yang sakit terlihat agak
tertinggal dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi memberikan suara napas yang
lemah sampai tidak terdengar sama sekali.3

3
Dalam penilaian klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai dengan
didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif.3

Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang dibutuhkan
untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik
baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara cepat.4

1. Polymerase chain reaction (PCR)

Pemeriksaan PCR adalah teknologi yang canggih yang dapat mendeteksi DNA M.tuberculosis.
Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan kontaminasi. Cara
pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati masih memerlukan ketelitian dalam
pelaksanaanya. Akan tetapi, hasil pemeriksaan ini harus ditunjang dengan data yang lainnya.4

2. Pemeriksaan serologi , dengan berbagai metoda a.l :

a. Enzym Linked Immunosorbent assay (ELISA)

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respon humoral berupa
proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.4

b. Mycodot

Uji ini untuk mendeteksi antibodi antimikrobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomanan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat yang
berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan kedalam serum penderita dan
bila didalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dlam jumlah yang memadai,
maka akan timbul perubahan warna pada sisir.4

c. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)

Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.4

d. Pemeriksaan cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis . Interpretasi hasil analisis

4
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat,
serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.4

e. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru dengan trans bronchial lung
biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy (TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura,biopsi
kelenjar getah bening, dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan biopsi aspirasi
dengan jarum halus (BJH= Biopsi Jarum Halus). Pemeriksaaan biopsi dilakukan untuk
membantu menegakkan dagnosis,terutama pada tuberkulosis ekstra paru. 4

Diagnosis pasti infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan


paru atau jaringan di luar paru memberikan hasil berupa granuloma dengan perkejuan.

f. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan . Data ini
sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap pengobatan penderita
serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar
limfosit bisa menggambarkan biologik/daya tahan tubuh penderita, yaitu dalam keadaan
supresi /tidak. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan tuberkulosis. 4

g. Uji Tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di daerah dengan
prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi
,pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi dari uji yang dilakukan satu
bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula

Pada pleuritis tuberkulosa uji Tuberkulin kadang negatif ,terutama pada malnutrisi dan infeksi
HIV. Jika awalnya negatif mungkin dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.4

Pemeriksaan Radiologis

Pada tuberkulosis primer, hal-hal berikut dapat terlihat pada sinar-X dada:5

5
- Daerah konsolidasi pneumonik perifer (fokus Gohn) dengan pembesaran kelenjar hilus mediastinum.
Keadaan ini biasanya dapat sembuh dengan gambaran kalsifikasi.
- Daerah konsolidasi yang dapat berukuran kecil, lobaris, atau lebih luas hingga seluruh lapangan paru.
- Gambaran radiologis lain yang sering menyertai tuberkulosis paru adalah penebalan pleura (pleuritis),
massa cairan di bagian bawah paru (efusi pleura/empiema), bayangan hitam radiolusen di pinggir
paru/pleura (pneumotoraks).

Gambar 5. Konsolidasi kavitasi pada lobus atas kiri, tuberkulosis aktif.5

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukan kuman BTA, diagnosis TB sudah
dapat dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan. Pemeriksaan ini mudah dan murah sehingga dapat dikerjakan di lapangan
(puskesmas). Tetapi kadang-kadang tidak mudah untuk mendapat sputum, terutama pasien yang tidak batuk
atau batuk non produktif. Dalam hal ini dianjurkan satu hari sebelum pemeriksaan sputum, pasien dianjurkan
minum air sebanyak +2 liter dan diajarkan melakukan refleks batuk. Dapat juga dengan memberikan
tambahan obat-obat mukolitik ekspektoran atau dengan inhalasi larutan garam hipertonik selama 20-30
menit. Bila masih sulit, sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing dan
bronchial washing atau BAL (broncho alveolar lavage). BTA dari sputum bisa juga didapat dengan cara
bilasan lambung. Hal ini sering dikerjakan pada anak-anak karena mereka sulit mengeluarkan dahaknya.
Sputum yang akan diperiksa hendaknya sesegar mungkin.3

Bila sputum sudah didapat, kuman BTA pun kadang-kadang sulit ditemukan. Kuman baru dapat
ditemukan bila bronkus yang terlibat proses penyakit ini terbuka ke luar, sehingga sputum yang mengandung
kuman BTA mudah keluar. Diperkirakan di Indonesia terdapat 50% pasien BTA positif tetapi kuman
tersebut tidak ditemukan dalam sputum mereka.3

6
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada
satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 mL sputum. Untuk pewarnaan sediaan
dianjurkan memakai cara Tan Thiam Hok yang merupakan modifikasi gabungan cara pulasan Kinyoun
Gabbet.3

Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada
anak-anak. Biasanya dipakai tes Mantoux yakni dengan menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin PPD (Purified
Protein Derivative) intrakutan berkekuatan 5TU (intermediate strength). Bila ditakutkan reaksi hebat dengan
5TU dapat diberikan dulu 1 atau 2 TU (first strength). Kadang-kadang bila dengan 5TU masih memberikan
hasil negatif dapat diulangi dengan 250TU (second strength). Bila dengan 250TU masih memberikan hasil
negatif, berarti tuberkulosis dapat disingkirkan. Umumnya tes Mantoux dengan 5TU saja sudah cukup
berarti.3

Tes tuberkulin hanya menyatakan apakah seseorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi
M. tuberculosis, M. bovis, vaksinasi BCG, dan Mycobacteria patogen lainnya. Dasar tes tuberkulin ini
adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak
(Mycobacterium tuberculose atau BCG) tubuh manusia akan mengadakan reaksi imunologi dengan
dibentuknya antibodi seluler pada permulaan dan kemudian diikuti oleh pembentukan antibodi humoral yang
dalam perannya akan menekankan antibodi seluler.3

Bila pembentukan antibodi seluler cukup misalnya pada penularan dengan kuman yang sangat
virulen dan jumlah kuman sangat besar atau pada keadaan dimana pembentukan antibodi humoral amat
berkurang (pada hipogama-globulinemia), maka akan mudah terjadi penyakit sesudah penularan.3

Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri
dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi selular dengan antigen tuberkulin. Banyak
sedikitnya reaksi persenyawaan antibodi seluler dan antigen tuberkulin amat dipengaruhi oleh antibodi
humoral, makin besar pengaruh antobodi humoral, makin kecil indurasi yang ditimbulkan.3

Berdasarkan hal-hal tersebut diatasm hasil tes Mantoux dibagi dalam: 1) Indurasi 0-5 mm
(diameternya): Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Disini peran antibodi humoral paling menonjol;
2) Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan low grade sensitivity. Disini peran antibodi selular paling
menonjol.3

7
Biasanya hampir seluruh pasien TB memberikan reaksi Mantoux yang positif (99.8%). Kelemahan
tes ini juga dapat positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain.
Negatif palsu lebih banyak ditemui daripada positif palsu.3

Hal-hal yang memberikan reaksi tuberkulin berkurang (negatif palsu) yakni:3

- Pasien baru 2-10 minggu terpajan TB


- Alergi, penyakit sistemik berat (Sarkoidosis, LE)
- Penyakit eksantematous dengan panas yang akut: morbili, cacar air, poliomielitis
- Reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit limforetikular (Hodgkin)
- Pemberian kortikosteroid yang lama, pemberian obat-obat imunosurpresi lainnya
- Usia tua, malnutrisi, uremia, penyakit keganasan

Untuk pasien dengan HIV positif, tes Mantoux + 5 mm, dinilai positif.3

Working Diagnosis

Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis (MTB) 5. Jalan masuk untuk organisme MTB adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan, dan
luka terbuka pada kulit. Sebagian besar infeksi TB menyebar lewat udara, melalui terhirupnya nukleus
droplet yang berisikan organisme basil tuberkel dari seseorang yang terinfeksi2. Bakteri ini bila sering masuk
dan terkumpul di dalam paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama pada orang dengan daya
tahan tubuh yang rendah) dan dapat menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh
sebab itulah infeksi TB dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti: paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain, meskipun demikian organ tubuh yang paling sering
terkena yaitu paru 5.
Dari uraian-uraian sebelumnya TB paru cukup mudah dikenal dari keluhan-keluhan klinis, gejala-
gejala, kelainan fisik, kelainan radiologis, sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya
tidaklah selalu mudah menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti TB paru adalah dengan menemukan Mycobacterium tuberculose dalam sputum atau jaringan
paru secara biakan. Tidak semua pasien memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena
kelainan paru yang belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.3

Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas laboratorium yang sangat
terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum

8
secara mikroskopik biasa, sudah cukup untuk memastikan diagnosis TB paru, karena kekerapan M. atypic di
Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70% saja dari seluruh kasus TB paru yang dapat
didiagnosis secara bakteriologis.3

Diagnosis TB paru masih banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan radiologis saja. Kesalahan
diagnosis dengan cara ini cukup banyak sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya
tidak diperlukan. Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberkulosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,
status bakteriologis, status radiologis dan status kemoterapi. WHO tahun 1991 memberikan kriteria pasien
TB paru:3

- Pasien dengan sputum BTA positif: (1) Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis
ditemukan BTA, sekurang-kurangnya 2x pemeriksaan, atau (2) satu sediaan sputumnya positif disertai
kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif, atau (3) satu sediaan sputumnya positif
disertai biakan yang positif.
- Pasien dengan sputum BTA negatif: (1) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopik
tidak ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologisnya sesuai dengan TB
aktif atau (2) pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama
sekali, tetapi pada biakannya positif.

Manifestasi Klinik

Keluhan-keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bermacam-macam atau malah banyak
pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan.3

Pasien TB banyak mengalami demam. Biasanya subfebril menyerupai influenza. Tetapi kadang-
kadang panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang timbul demam influenza ini, sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.3

Terjadi pula batuk yang merupakan gejala yang banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang keluar. Karena
terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit
berkembang dalam jaringan paru yakni setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula.
Sifat batuk dimulai dari batuk kering (nonproduktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif
(menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah
yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada TB terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus
dinding bronkus.3
9
Gejala lainnya adalah sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru.3

Nyeri dada agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekann kedua pleura sewaktu pasien menarik atau melepaskan
napasnya.3

Selain gejala-gejala lain diatas, ada pula gejala malaise. Penyakit TB bersifat radang yang menahun.
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus, sakit kepala,
meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang
timbul secara tidak teratur.3

Epidemiologi

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih tetap menjadi
problem kesehatan dunia yang utama. Pada bulan Maret 1993 WHO mendeklarasikan TB sebagai global
helath emergency. TB dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/3
penduduk dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 3.617.047 kasus TB yang tercatat
di seluruh dunia.3

Sebagian besar dari kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Karena penduduk yang
padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% kasus-kasus TB yang baru dan kematian yang muncul
terjadi di Asia.3

Alasan utama munculnya dan meningkatnya beban TB global ini antara lain disebabkan:3

1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada negara yang sedang berkembang tetapi juga
pada penduduk perkotaan tertentu di negara maju
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari struktur
usia manusia yang hidup
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan terutama di
negara-negara miskon
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostik, dan pengawasan kasus TB dimana
terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat
6. Adanya epidemi HIV terutama di Afrika dan Asia

10
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China dan India. Pada
tahun 1998 diperkirakan TB di China, India, dan Indonsia berturut-turut 1.828.000, 1.414.000, 591.000
kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan
survei kesehatan rumah tangga 1985 dan survei kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking nomor 3
sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%.
Sampai sekarang angka kejadian TB di Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena
masih relatif rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah di masa datang melihat semakin
meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ke tahun.3

Etiologi

Penyakit tuberkulosis paru disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang merupakan
bakteri patogen manusia yang sangat penting. Bakteri ini berbentuk batang aerob yang tidak membentuk
spora. Mikobakterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram-positif atau gram-negatif. Jika sudah
terwarnai dengan bahan celup dasar, organisme ini tidak dapat diwarnai dengan alkohol, tanpa
menghiraukan pengobatan iodin, Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan tahan asam, yaitu 95% etil
alkohol mengandung 3% asam hidroklorat dengan cepat menghilangkan warna semua bakteri kecuali
mikobakterium. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik
pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam. Mikobakterium adalah
aerob obligat yang mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan
tekanan CO2 mendukung pertumbuhan.3

Gambar 8. Mycobacterium tuberculosis dalam spesimen sputum yang sudah diproses yang diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl-Neelsen.3

Lingkungan yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah
mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya
infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang
paling sering dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang

11
mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau
berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA).3

Patofisiologi

Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran cerna (GI), dan luka
terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu inhalasi droplet yang mengandung
kuman-kuman basil tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.6

TB adalah penyakit yang dikendalikan olek respons imunitas diperantarai sel. Sel efektir adalah
makrofag dan limfosit (biasanya sel T) adalah sel imunoresponsif. Tipe imunitas seperti ini biasanya lokal,
melibatkan makrofag yang diaktifkan di tempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya. Respons ini disebut
sebagai reaksi hipersensitivitas seluler (lambat).6

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri
dari satu sampai tiga basil; gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang
besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus biasanya di bagian
bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit poliomorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh
organisme tersebut. Sesudah berhari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak ada sisa yang tertinggal atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus
memfagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju ke
kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya
membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari.6

Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju disebut
nekrosis kaseosa. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri
dari sel epiteloid dan fibroblas menimbulkan respons berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa,
membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.6

Lesi primer paru disebut fokus Gohn dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan
lesi primer disebut kompleks Gohn. Kompleks Gohn yang mengalami perkapuran ini dapat terlihat pada
orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin.6

Respons lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis adalah pencairan, yaitu bahan cair lepas ke
dalam bronkus yang berhubungan dan menimbulkan kavitas. Bahan tuberkular yang dilepaskan dari dinding

12
kavitas akan masuk ke dalam percabangan trakeobronkial. Prosis ini dapat berulang kembali di bagian lain
paru, atau basil dapat terbawa sampai ke usus.6

Walaupun tanpa pengobatan, kavitas yang kecil dapat menutup dan meninggalkan jaringan parut
fibrosis. Bila peradangan mereda, lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat dengan taut bronkus dan rongga. Bahan perkijuan dapat mengental dan tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung, sehingga kavitas penuh dengan bahan perkijuan, dan lesi mirip dengan lesi
berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau
membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif.6

Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah. Organisme yang lolos dari
kelenjar getah bening akan mencapai darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat menimbulkan
lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal sebagai penyebaran limfohematogen yang
biasanya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang biasanya
menyebabkan TB milier; ini terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak
organisme masuk ke dalam sistem vaskular dan tersebar ke organ-organ tubuh.6

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Medika Mentosa

Pengobatan TB terutama berupa pemberian obat antimikroba dalam jangka waktu lama. Obat-obat
ini juga digunakan untuk mencegah timbulnya penyakit klinis pada seseorang yang sudah terjangkit infeksi.
CDC melaporkan bahwa perhatian baru dipusatkan pada pentingnya infeksi laten TB sebagai sesuatu yang
penting dalam mengontrol dan menghilangkan TB di Amerika Serikat.7

ATS menekankan tiga prinsip dalam pengobatan TB yang berdasarkan pada: (1) regimen harus
termasuk obat-obat multiple yang sensitive terhadap mikroorganisme, (2) obat-obatan harus diminum secara
teratur dan (3) terapi obat harus dilakukan terus menerus dalam waktu yang cukup untuk menghasilkan
terapi yang paling efektif dan paling aman pada waktu paling singkat. Pada tahun 1994 CDC dan ATS
mempublikasikan petunjuk baru untuk pengobatan penyakit dan infeksi TB yaitu:7

1. Regimen obat 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin, dan pirazinamid diberikan selama 2
bulan, kemudian diikuti dengan INH dan rifampicin selama 4 bulan dalan regimen yang
direkomendasikan untuk terapi awal TB pada pasien yang terorganisme sensitive terhadap pengobatan.
Etambutol (atau streptomisin pada anak terlalu muda harus diawasi ketajaman matanya) seharusnya
termasuk dalam regimen awal hingga terdapat hasil studi kerentanan obat, paling tidak sedikit
kemungkinan terdapat resistensi obat terhadap INH kurang dari 4% resistensi primer terhadap INH

13
dalam masyarakat; pasien belum pernah mendapat pengobatan dengan obat anti TB; tidak berasal dari
negara dengan prevalensi tinggi resistensi obat, dan diketahui belum pernah terpajan dengan kasus
resistensi obat). Empat obat ini, berupa regimen 6 bulan adalah efektif bila organisme yang menginfeksi
tersebut resisten terhadap INH. Pengobatan TB mungkin memerlukan perubahan untuk orang yang
sedang mengonsumsi penghambat protease HIV. Bila dimungkinkan, kasus HIV yang berkaitan dengan
TB seharusnya dikonsultasikan dengan seorang yang ahli dalam menangani TB dan penyakit HIV.
2. INH dan rifampisin regimen 9 bulan sensitive pada orang yang tidak boleh atau tidak bisa mengonsumsi
pirazinamid. Etambutol seharusnya termasuk dalam regimen awal hingga terdapat hasil studi kerentanan
obat, paling tidak sedikit kemungkinan terhadap resistensi obat. Bila resistensi INH telah terlihat,
rifampisin dan etambutol harus diminum secara terus menerus minimal 12 bulan.
3. Mengobati semua pasien dengan DOTS (Directly Observed Therapy short course) adalah rekomendasi
utama.
4. TB resisten banyak obat yang resisten terhadap INH dan rifampisin sulit untuk diobati. Pengobatan harus
berdasarkan pada riwayat pengobatan dan hasil studi kerentanan. Dokter yang belum terbiasa dengan
pengobatan MDR TB harus bertanya pada konsultan yang ahli.
5. INH dan rifampisin regimen 4 bulan, lebih cocok bila ditambah dengan pirazinamid untuk 2 bulan
pertama, regimen ini direkomendasikan untuk orang dewasa dengan TB aktif dan untuk orang dengan
pulasan dan biakan negative, bila terdapat sedikit kemungkinan resistensi obat.

Respons terhadap pengobatan anti TB pada pasien dengan biakan sputum yang positif dinilai dengan
mengulang pemeriksaan sputum. Sediaan biakan harus diambil setiap bulan sampai hasil biakan negatif.
Pasien yang hasil biakan sputumnya negatif setelah 2 bulan pengobatan harus dilakukan sedikitnya satu kali
lagi apusan dan biakan sputum diakhir regimen terapi obat. Sputum pasien dengan MDR TB harus dibiak
setiap bulan sepanjang pengobatan. Radiografi dada pada saat akhir terapi merupakan dasar untuk
perbandingan foto dada di masa depan. Namun, pasien dengan sputum negatif sebelum pengobatan
seharusnya menjalani radiografi dada dan pemeriksaan klinis. Jarak untuk prosedur tersebut bergantung pada
keadaan klinis dan diagnosis banding.7

Tindak lanjut rutin setelah terapi tidak diperlukan pada pasien yang respons bakteriologisnya adekuat
setelah 6 hingga 9 bulan terapi dengan INH dan rifampisin. Pasien yang organismenya ternyata sensitif
terhadap pemberian obat seharusnya memberikan laporan berbagai gejala TB seperti batuk yang
berkepanjangan, demam, atau penurunan berat badan. Pada pasien dengan organisme TB yang resisten
terhadap INH dan rifampisin atau keduanya, diperlukan tindak lanjut perorangan.7

14
Tabel 1. Ringkasan panduan obat..3

Penatalaksanaan Non-medika Mentosa

Faktor penting untuk keberhasilan pengobatan adalah ketaatan pasien minum regimen obat. DOTS
(Directly Observed treatment Short Course strategy) adalah salah satu cara memastikan bahwa pasien taat
menjalankan pengobatan, Dengan DOTS, pekerja perawat kesehatan atau seseorang ditunjuk. Mengawasi
pasien menelan masing-masing dosis pengobatan TB. Langkah-langkah seperti DOTS dipilih untuk
meningkatkan ketaatan dan memastikan bahwa pasien meminum obat yang dianjurkan.7

Pasien kambuh adalah pasien yang telah menjalani terapi TB adekuat dan sudah dinyatakan sembuh
oleh dokter secara klinis, mikrobiologis maupun radiologis, kemudian pada evaluasi berikutnya terdapat
gejala klinis tuberkulosis positif (mikrobiologi positif) Terapi bedah, banyak dilakukan dalam upaya
penyembuhan pasien tuberkulosis paru yang kambuh. Pada saat ini dengan banyaknya obat-obatam bersifat
bakterisid, terapi bedah jarang sekali dilakukan terhadap pasien tuberkulosis paru.7

Indikasi terapi bedah saat ini adalah:7

- Pasien dengan sputum BTA tetap positif (persisten) setelah pengobatan diulang
- Pasien dengan batuk darah masif atau berulang
- Terapi fistula bronkopleura

15
- Drainase empiema tuberkulosis

Komplikasi

Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi
dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut:4

- Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncets arthropathy
- Komplikasi lanjut: Obstruksi jalan napas SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan
parenkim berat fibrosis paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi pada TB milier dan
kavitas TB.

Prognosis

Ketika pengobatan dengan regimen tertentu telah selesai, ditambah dengan DOT, angka kekambuhan
berkisar dari 0% hingga 14%. Di negara dengan jumlah penderita TB yang rendah, kekambuhan biasanya
terjadi 12 bulan setelah penyelesaian obat dan karena kekambuhan. Di negara dengan jumlah penderita TB
yang tinggi, kebanyakan kekambuhan setelah pengobatan yang baik adalah karena reinfeksi daripada
kekambuhan. Penanda prognosis buruk adalah keterlibatan jaringan ekstrapulmoner, penderita
immunocompromised, usia lanjut, dan riwayat pengobatan sebelumnya.4

Pencegahan

Program-program kesehatan masyarakat sengaja dirancang untuk deteksi dini dan pengobatan kasus
dan sumber infeksi secara dini. Menurut hukum, semua orang dengan TB tingkat 3 atau tingkat 5 harus
dilaporkan ke departemen kesehatan. Penapisan kelompok berisiko tinggi adalah tugas penting departemen
kesehatan lokal. Tujuan deteksi dini seseorang dengan infeksi TB adalah untuk mengidentifikasikan siapa
saja yang memperoleh keuntungan dari terapi pencegahan untuk menghentikan perkembangan TB yang aktif
secara klinis. Program pencegahan ini memberikan keuntungan tidak saja untuk seseorang yang telah
terinfeksi namun juga untuk masyarakat pada umumnya. Karena itu, penduduk yang sangat berisiko terkena
TB harus dapat diidentifikasi dan prioritas untuk menentukan program terapi obat harus menjelaskan risiko
versus manfaat terapi.4

Eradikasi TB meliputi penggabungan kemoterapi yang elektif, identifikasi kontak dan kasus serta
tindak lanjut yang tepat, penanganan orang yang terpajan pada pasien dengan TB infeksius, dan terapi
kemoprofilaktik pada kelompok-kelompok populasi yang berisiko tinggi.4

16
Differential Diagnosis

Multidrug resistant tuberculosis

TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan
isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya. TB Resistensi dapat berupa resistensi primer dan resistensi
sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT
sebelumnya. Resistensi primer ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan
resistensi sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya sensitif obat.4
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari gen
mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten terhadap salah satu jenis obat
akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan
oleh konsumsi hanya satu jenis obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu
saja yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan resistensi obat sekunder
dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi
difasilitasi oleh adanya infeksi HIV, dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol
infeksi yang tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostik. Ada beberapa hal penyebab terjadinya
resistensi terhadap OAT yaitu:4
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut
telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja
pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu berhenti, setelah
dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu
berhenti lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang
tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama,
maka penambahan (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang
resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik sehingga mengganggu
bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan.

Mekanisme Resistensi
Ungkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten secara simultan
terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi pada obat anti tuberkulosis lainnya).
17
Analisa secara genetik dan molekuler pada mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme
resistensi biasanya didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat atau oleh titrasi dari obat akibat
overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen target obat pada
individu.4
A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air sehingga mudah
untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan menghambat sintesis dinding sel asam mikolik
(struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan
oksigen seperti rekasi katase peroksidase. Mutasi mikobakterium tuberkulosis yang resisten terhadap
isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 105-106 organisme. Mekanisme resistensi
isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau
promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan
berkurangnya aktivitas katalase dan peroksidase.4
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai
bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler.Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau
menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada
kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frekuensi 1: 107 atau lebih 12. Resistensi
terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau adanya mutasi dari RNA
polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat RNA polymerase tergantung DNA dari
mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak
pada perpanjangan rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi
rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frekuensi tinggi dengan kecepatan
mutasi tinggi yaitu 10-7 sampai 10-3, dengan akibat terjadinya perubahan pada RNA polymerase. Resistensi
terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat
ikatan obat tersebut.4
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek
terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH
asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek. Obat ini
merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada
fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif
asam pyrazinoat Mekanisme resistensi. pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase

18
sehingga pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. Kebanyakan kasus resistensi
pyrazinamide ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pyrazinamidase.4
D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria.
Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat
enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang
berada di dalam dinding sel. Resistensi ethambutol pada M.tuberculosis paling sering berkaitan dengan
mutasi missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltransferase. Mutasi ini telah ditemukan
pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar
90% kasus.4
E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces griseus. Obat ini
bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menganggu fungsi ribosomal14. Pada 2/3 strain
M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu
dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl).
Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomysin ribosomal14. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl.
Mutasi pada rpsl telah diindetifikasi sebanyak 50% isolat yang resisten terhadap streptomysin dan mutasi
pada rrs sebanyak 20%15. Pada sepertiga yang lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frekuensi resistensi
mutan terjadi pada 1 dari 105 sampai 107 organisme. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap
streptomysin tidak mengalami resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin.4

Diagnosis MDR TB
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA) tetap positif
setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi negatif. Beberapa gambaran
demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB
aktif yang sebelumnya mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2)
Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi human immnodeficiency
virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB. Diagnosis TB resistensi tergantung pada
pengumpulan dan proses kultur spesimen yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika
pasien tidak dapat mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan
bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan pada laboratorium
rujukan yang memadai. Beberapa metode telah digunakan untuk deteksi resistensi obat pada TB. Deteksi
resistensi obat di masa lalu yang disebut dengan metode konvensional berdasarkan deteksi pertumbuhan
M.tuberculosis. Akibat sulitnya beberapa metode ini dan membutuhkan waktu yang lama untuk
mendapatkan hasilnya, maka belakangan ini diusulkanlah teknologi baru. Yang termasuk metode terbaru ini
19
adalah metode fenotipik dan genotipik. Pada banyak kasus, metode genotipik khususnya telah mendeteksi
resistensi rifampisin, sejak saat itu metode ini dipertimbangkan sebagai petanda TB resisten khususnya pada
suasana dengan prevalensi TB resisten tinggi. Sementara metode fenotipik, di lain sisi, merupakan metode
yang lebih sederhana dan lebih mudah diimplementasikan pada laboratorium mikrobakteriologi klinik secara
rutin.4,8
Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB, WHO guidelines
membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan efikasinya, sebagai berikut (World Health
Organization, 2008) :4,8
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat ditoleransi dengan baik. Obat
lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi digunakan kapreomisin,
viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur
negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua pasien yang sensitif
terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid), ethionamid, dan sikloserin.
Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obat-obat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan makrolid baru
(klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi data melalui uji klinis pada pasien
MDR TB masih minimal. Ada tiga cara pendekatan pembuatan regimen didasarkan atas riwayat obat TB
yang pernah dikonsumsi penderita, data drug resistance surveillance (DRS) di suatu area, dan hasil DST
dari penderita itu sendiri. Berdasarkan data di atas mana yang dipakai, maka dikenal pengobatan dengan
regimen standar, pengobatan dengan regimen standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil
DST individu penderita tersebut, dan pengobatan secara empiris yang diikuti dengan regimen yang
sesuai dari hasil DST individu penderita tersebut. Pengobatan dengan regimen standar : pembuatan
regimen didasarkan atas hasil DRS yang bersifat representative pada populasi dimana regimen tersebut
akan diterapkan. Semua pasien MDR TB akan mendapat regimen sama. Pengobatan dengan regimen
standar yang diikuti dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu penderita : awalnya semua
pasien akan mendapat regimen yang sama selanjutnya regimen disesuaikan berdasarkan hasil uji
sensitivitas yang telah tersedia dari pasien yang bersangkutan. Pengobatan secara empirik yang diikuti
dengan regimen yang sesuai dari hasil DST individu pasien : tiap regimen bersifat individualis, dibuat
berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya, selanjutnya disesuaikan setelah hasil uji sensitivitas
obat dari pasien yang bersangkutan tersedia.8

20
Extensively drug resistant tuberculosis
Extensively drug resistant tuberculosis atau XDR-TB adalah TB-MDR disertai dengan kekebalan
terhadap obat anti TB lini ke 2 yaitu golongan flurorokuinolon dan setidaknya satu obat anti TB lini kedua
suntikan seperti kanamisin, amikasin atau kapreomisin.7,8

Penatalaksanaan XDR-TB

Pengobatan XDR-TB lebih sulit karena kuman TB telah kebal terhadap OAT lini pertama maupun
lini kedua sehingga pilihan paduan OAT TB XDR sangat terbatas. Meskipun demikian di beberapa negara
yang banyak ditemukan TB XDR melaporkan keberhasilan pengobatan sebesar 50-60 % tergantung dari
seberapa berat penyakitnya, status imunitas pasien serta berapa banyak OAT lini pertama dan kedua yang
sudah tidak dapat lagi digunakan karena kuman TB telah kebal.7,8

Total drug resistant tuberculosis

Total drug resistant tuberculosis adalah suatu keadaan dimana tuberkulosis sudah resisten terhadap
semua OAT dari lini pertama dan kedua.7,8

21
Daftar Pustaka

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5.
Jilid 3. Jakarta: Internal Publishing; 2010.h.2230-69.
2. Dacre, Jane. Buku saku keterampilan klinis. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.h.80-
101.

3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI ; 2009.h.2196-9, 2230-47,
2256-7.

4. Diunduh dari http://klikpdpi.com/konsensus/Xsip/tb.pdf pada tanggal 14 Juni 2016 ; pukul 18.05.

5. Patel PR. Lecture notes: radiologi. Jakarta: Erlangga; 2006. h.32-9.


6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi ke-6. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h.784-6, 852-61.
7. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & gillman: manual farmakologi dan terapi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2011.h.742-7, 749-51
8. Adimata TY. Tuberkulosis, masalah dan perkembangannya. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia; 2008.h.61-72.

22

Anda mungkin juga menyukai