Anda di halaman 1dari 14

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/308070432

PERANAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


DALAM MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

Presentation March 2016


DOI: 10.13140/RG.2.2.16705.97128

CITATIONS READS

0 3,451

13 authors, including:

Bambang Sulistyo
Faculty of Agriculture, University of Bengkulu
20 PUBLICATIONS 4 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Indonesian Remote Sensing Book Series View project

All content following this page was uploaded by Bambang Sulistyo on 14 September 2016.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

PERANAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS


DALAM MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR

Oleh :
Bambang Sulistyo
Guru Besar bidang Ilmu Survei dan Pemetaan / GIS dan Remote Sensing
Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Ketua Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia, Komisariat Wilayah Bengkulu
Jalan WR. Supratman, Kandang Limun, Bengkulu
Email : bambangsulistyounib@gmail.com; HP : 0813 6839 9675

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki kodrat geografis sebagai Negara kepulauan/maritim, beriklim


tropik, dengan keberagaman ekosistem, sumber daya alam, sumber daya manusia, budaya,
bahasa, suku, agama, dan bencana (multihazard). Kodrat geografis Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) merupakan modal dasar dalam pembangunan Nasional untuk mewujudkan
tata kehidupan masyarakat sejahtera, damai, aman, bahagia secara berkelanjutan.
Keberagaman potensi dan masalah yang harus dikelola oleh pemerintah bersama masyarakat
dan para stakeholder tidak dapat terlepas dari pengaruh faktor geografis seperti geologis,
geomorfologis, iklim, hidrologis, tanah, penutup lahan serta aspek sosial, budaya, dan
ekonomi masyarakat (Suratman, 2012).
Sebagai negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah khatulistiwa, di
antara Benua Asia dan Australia serta di antara Samudera Pasifik dan Hindia, berada pada
pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia merupakan wilayah teritorial yang sangat
rawan terhadap bencana alam. Disamping itu kekayaan alam yang berlimpah, jumlah
penduduk yang besar dengan penyebaran yang tidak merata, pengaturan tata ruang yang
belum tertib, masalah penyimpangan pemanfaatan kekayaan alam, keaneka ragaman suku,
agama, adat, budaya, golongan pengaruh globalisasi serta permasalahan sosial lainnya yang
sangat komplek mengakibatkan wilayah Negara Indonesia menjadi wilayah yang memiliki
potensi rawan bencana, baik bencana alam maupun ulah manusia, antara lain; gempa bumi,
tsunami, banjir, letusan gunung api, tanah Iongsor, angin ribut, kebakaran hutan dan lahan
serta letusan gunung api. Secara umum terdapat peristiwa bencana yang terjadi berulang
setiap tahun. Bahkan saat ini peristiwa bencana menjadi lebih sering terjadi dan silih berganti,
misalnya dari kekeringan kemudian kebakaran, lalu diikuti banjir dan longsor (Mendagri,
2006).
Berbasis analisis geografis dapat dipahami bahwa dibalik potensi alam di Indonesia
yang kaya dan subur, tersimpan pula risiko bencana alam dan konflik sosial. Pengelolaan
sumber daya alam selalu terkait dengan perubahan ekosistem dan dampak negatifnya pada
sosial, ekonomi, keamanan, dan kesehatan. Dengan demikian, konsep pengelolaan sumber
daya harus berwawasan lingkungan serta berbasis kearifan lokal agar kerusakan lingkungan
dan bencana dapat terkendali.
Beberapa kesalahan dalam pengelolaan pembangunan di Indonesia berdampak pada
kerusakan lingkungan dan bencana alam. Bencana alam akibat penambangan, pembalakan
hutan, permukiman di kawasan lindung, dan kegiatan lainnya telah menyebabkan terjadinya
bencana banjir, longsor, kebakaran hutan, bencana lumpur dan kekeringan. Bencana alam

1
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

lainnya seperti tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, puting beliung membuktikan bahwa
Indonesia negara multihazard yang harus disikapi dan diwaspadai. Negara Indonesia yang
memiliki aspek geosfer yang amat kompleks memerlukan informasi spasial potensi dan
masalah sumber daya dalam berbagai skala dan waktu.

MITIGASI BENCANA

BNPB (2012) mengidentifikasi bahwa secara garis besar Indonesia memiliki 13


Ancaman Bencana. Ancaman tersebut adalah : 1. Gempabumi; 2. Tsunami; 3. Banjir; 4.
Tanah Longsor; 5. Letusan Gunung Api; 6. Gelombang Ekstrim dan Abrasi; 7. Cuaca
Ekstrim; 8. Kekeringan; 9. Kebakaran Hutan dan Lahan; 10. Kebakaran Gedung dan
Pemukiman; 11. Epidemi dan Wabah Penyakit; 12. Gagal Teknologi; dan 13. Konflik Sosial.
Sampai dengan bulan Januari 2016, BNPB mencatat jumlah kejadian bencana, jumlah korban
dan jumlah dampaknya yang terjadi di Indonesia. Secara garis besar kejadian bencana banjir
menduduki peringkat pertama (31,1%), diikuti bencana perubahan iklim (20,2%), diikuti
bencana tanah longsor (16,4%), diikuti bencana kebakaran (12,8%), sedangkan kejadian
bencana lainnya rata-rata kurang dari 10% dari jumlah kejadian yang ada. Data tersebut
disajikan dalam bentuk grafik seperti disajikan pada Gambar 1 (BNPB, 2016).

Gambar 1. Grafik jumlah kejadian bencana yang terjadi di Indonesia 1 (Sumber BNPB, 2016)

Bencana alam sebagai salah satu fenomena alam dapat terjadi setiap saat, dimanapun
dan kapanpun, sehingga dapat menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan
masyarakat. Dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Republik
Indonesia, 2007). Sedangkan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Berdasarkan
definisi di atas maka potensi bencana adalah keadaan, atau kondisi alam yang memungkinkan
terjadinya bencana. Misalnya kondisi tanah yang labil dengan lereng yang curam adalah
daerah yang rawan longsor, apabila terjadi cuaca ekstrim berupa curah hujan yang tinggi
maka kemungkinan akan terjadi longsor. Peningkatan curah hujan berkorelasi positif terhadap
kelembaban tanah sebelum terjadi longsor (Ponziani et al, 2012; Lepore, 2013).

2
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Tentu saja bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami tidaklah dapat dilawan oleh
manusia, namun dengan pengetahuan yang dimilikinya, manusia dapat mengembangkan
berbagai teknologi yang dapat memprediksi dan mencegah kerugian yang terlalu besar yang
diakibatkan bencana alam tersebut. Para peneliti bencana berpendapat bahwa semua faktor
bencana berhubungan dengan tindakan manusia. Sebuah bencana tidak akan menjadi bencana
yang mematikan/merusakkan bila sebelum bencana dilakukan tindakan-tindakan pencegahan
atau antisipasi kemungkinan bencana. Mungkin sebagian orang masih berpendapat bahwa
bencana alam tidak dapat diprediksi, karena hanya Tuhan yang tahu kapan suatu bencana
alam akan terjadi. Namun, para ahli dan mereka yang peduli dengan gejala alam tidak
menyerah sampai di titik itu. Mereka percaya bahwa sebelum bencana yang lebih besar akan
terjadi, selalu diawali gejala atau tanda bencana tersebut. Artinya, semua pihak berusaha
semaksimal mungkin apabila memang terjadi bencana alam lagi diharapkan jumlah kerugian,
baik material maupun non-material, sekecil mungkin atau bahkan tidak ada sama sekali.
Hal itulah yang disebut dengan istilah mitigasi, yaitu upaya yang ditujukan untuk
mengurangi dampak dari resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun
penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No 24 Tahun
2007; PP No 21 Tahun 2008). Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi
masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana.
Berdasarkan siklus waktunya, penanganan bencana terdiri atas 4 tahapan yaitu:
Mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan
memperkecil dampak bencana. Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi.
Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan
bangunan tahan gempa, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta
memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat yang tinggal di
wilayah rawan gempa
Kesiapsiagaan merupakan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana.
Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain yang
mungkin akan terjadi. Tujuannya adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan
kerusakan sarana-sarana pelayanan umum yang meliputi upaya mengurangi tingkat
risiko, pengelolaan sumber-sumber daya masyarakat, serta pelatihan warga di wilayah
rawan bencana.
Respons merupakan upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan bencana. Tahap
ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Rencana penanggulangan bencana
dilaksanakan dengan fokus pada upaya pertolongan korban bencana dan antisipasi
kerusakan yang terjadi akibat bencana.
Pemulihan merupakan upaya mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula. Pada
tahap ini, fokus diarahkan pada penyediaan tempat tinggal sementara bagi korban serta
membangun kembali saran dan prasarana yang rusak. Selain itu, dilakukan evaluasi
terhadap langkah penanggulangan bencana yang dilakukan.
Mitigasi bencana merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan sebagai suatu titik
tolak utama dari manajemen bencana.
Ada empat hal penting dalam mitigasi bencana, yaitu :
a) Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana.
b) Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana.
c) Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul, dan
d) Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman
bencana.

3
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

PERAN SIG DALAM MITIGASI BENCANA

Dari pembahasan tentang mitigasi bencana terlihat bahwa kebutuhan untuk


memperoleh informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana sangatlah
besar. Yang menjadi tantangan terbesar adalah bagaimana mendapatkan informasi atau peta
tersebut secepat mungkin, lalu diinformasikan ke masyarakat untuk melakukan evakuasi dan
tindakan penyelamatan lainnya. Pada keadaan demikian maka kehadiran teknologi berbasis
Sistem Informasi Geografis (SIG) sangatlah berarti dan berperan.

Definisi, Komponen dan Sub Sistem di dalam SIG


Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang sering
disingkat dengan SIG adalah suatu komponen yang terdiri dari perangkat keras, perangkat
lunak, data geografis dan sumberdaya manusia yang bekerja bersama secara efektif untuk
memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola, memanipulasi,
mengintegrasikan, menganalisa, dan menampilkan data dalam suatu informasi berbasis
geografis. SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data pada suatu titik
tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya memetakan hasilnya. Data
yang akan diolah pada SIG merupakan data spasial yaitu sebuah data yang berorientasi
geografis dan merupakan lokasi yang memiliki sistem koordinat tertentu, sebagai dasar
referensinya. Sehingga aplikasi SIG dapat menjawab beberapa pertanyaan seperti; lokasi,
kondisi, trend, pola dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG dari sistem
informasi lainnya.
Sistem Informasi Geografi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
mengelola dan menganalisis data spasial (Aronoff, 1989). Saat ini SIG bukan saja digunakan
untuk mengolah data fisik spasial, tetapi juga data sosial ekomoni bereferensi geografis
(Martin, 1996). Dalam hubungannya dengan penentuan kawasan rawan bencana, SIG dapat
digunakan untuk menentukan daerah atau lokasi dimana rawan bencana kemungkinan terjadi.
Dalam hal ini digunakan analisis query spatial dan analisis tumpangsusun peta melalui sistem
pembobotan (Demers, 1997; Borrough, 1988).
Dilihat dari definisinya, SIG adalah suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen
yang tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Memiliki perangkat keras komputer beserta dengan
perangkat lunaknya belum berarti bahwa kita sudah memiliki SIG apabila data geografis dan
sumberdaya manusia yang mengoperasikannya belum ada. Sebagaimana sistem komputer
pada umumnya, SIG hanyalah sebuah alat yang mempunyai kemampuan khusus. Kemampuan
sumberdaya manusia untuk memformulasikan persoalan dan menganalisa hasil akhir sangat
berperan dalam keberhasilan sistem SIG.
Komponen utama SIG terdiri atas:
1. Hardware, yang terdiri dari komputer, GPS, printer, plotter, dan lain-lain. Dimana
perangkat keras ini berfungsi sebagai media dalam pengolahan/pengerjaan SIG, mulai dari
tahap pengambilan data hingga ke produk akhir baik itu peta cetak, CD, dan lain-lain.
2. Software, merupakan sekumpulan program aplikasi yang dapat memudahkan kita dalam
melakukan berbagai macam pengolahan data, penyimpanan, editing, hingga layout,
ataupun analisis keruangan.
3. Brainware, dalam istilah Indonesia disebut sebagai sumberdaya manusia merupakan
manusia yang mengoperasikan hardware dan software untuk mengolah berbagai macam
data keruangan (data spasial) untuk suatu tujuan tertentu.
4. Data Spasial, merupakan data dan informasi keruangan yang menjadi bahan dasar dalam
SIG. Data ataupun realitas di dunia/alam akan diolah menjadi suatu informasi yang
terangkum dalam suatu sistem berbasis keruangan dengan tujuan-tujuan tertentu.

4
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Selain ke-empat komponen tersebut, beberapa Penulis menambahkan Metode


sebagai salah satu komponen di dalam SIG.
Tingkat keberhasilan dari suatu kegiatan SIG dengan tujuan apapun itu sangat
tergantung dari keempat (atau kelima) komponen ini. Jika salah satu komponen tersebut
bermasalah, maka output yang dihasilkan juga akan bermasalah.
Manfaat utama penggunaan SIG dengan komputer dibandingkan dengan metode
pembuatan peta tradisional dan masukan data manual atau informasi manual, adalah
memperkecil kesalahan manusia, kemampuan mamanggil kembali peta tumpangsusun dari
simpanan data SIG secara cepat, dan menggabungkan tumpangsusun tersebut. Teknologi yang
digunakan dalam SIG memperluas penggunaan peta, model-model kartografik dan statistik
spasial dengan memberikan kemampuan analisis, tidak hanya tersedia untuk pengembangan
model medan komplek dan pengujian masalah bentang lahan serta masalah penggunaan
lahan.
Subsistem dalam SIG yaitu meliputi 1. pengumpulan dan pemasukan data; 2.
Manajemen data atau pembentukan data dasar; 3. analisis; dan 4. penerapan dan keluaran
(Short, 1992).

Pemasukan Data
Pemasukan data ke dalam SIG dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu : scanning
(pelarikan atau penyiaman); digitasi; dan tabulasi.
a. Scanning (pelarikan atau penyiaman), yaitu proses pengubahan data grafis kontinu
menjadi data grafis diskret yang terdiri atas sel-sel penyusun gambar (pixel). Proses
scanning dapat dilakukan dari wahana dengan jarak tertentu dari obyek, misalnya satelit
atau pesawat udara; atau dapat juga dilakukan melalui scanner dari suatu gambar analog,
misalnya peta. Format datanya berbentuk raster.
b. Digitasi, yaitu proses pengubahan data grafis analog menjadi data grafis digital, dalam
format vektor, menggunakan digitizer.
c. Tabulasi, yaitu sebagai informasi dari peta atau kawasan yang dimasukkan.
Didalam kegiatan yang melibatkan SIG, biasanya tahap pemasukan data merupakan
tahap yang banyak memakan waktu, yaitu hampir 70 % dari alokasi waktu kegiatan SIG
(Sulistyo, 2011).

Manajemen Data
Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan, pengaktifan, penyimpanan
kembali dan pencetakan semua data yang diperoleh dari masukan data. Efisiensi manajemen
data ditentukan oleh efisiensi sistem untuk melaksanakan operasi-operasi itu. Pada tahap ini
dilakukan penyusunan basis data, standarisasi data, kontrol kualitas, dan lain sebagainya.

Manipulasi Dan Analisis Data


Salah satu kemampuan utama SIG adalah dalam manipulasi dan analisis data (spasial)
untuk memperoleh informasi baru. SIG bukan hanya melakukan manipulasi dan analisis data
secara cepat dan efisien, untuk menggantikan fungsi yang sebenarnya dapat dilakukan pula
secara manual; melainkan justru menawarkan kemungkinan-kemungkinan baru yang
sebelumnya tidak terpikirkan tanpa bantuan komputer. Beberapa fasilitas yang biasa terdapat
pada paket SIG untuk manipulasi dan analisis data : a. Penyuntingan untuk pemutakhiran
data; b. Interpolasi Spasial; c. Tumpangsusun Peta dan d. Pemodelan.

5
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Keluaran
Keluaran utama dari suatu kegiatan SIG adalah informasi spasial baru. Informasi ini
perlu untuk disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) supaya dapat dimanfaatkan dalam
kegiatan operasional. Penyajiannya perlu memperhatikan aspek kartografi sedemikian rupa
sehingga pengguna peta akan dengan mudah dapat membaca dan menggunakannya. Informasi
baru juga dapat disajikan dalam bentuk tidak tercetak (soft copy) untuk tujuan analisis lebih
lanjut.

Peta Bencana Berbasis SIG adalah suatu sistem yang diaplikasikan untuk
memperoleh, menyimpan, menganalisa dan mengelola data yang terkait dengan atribut, yang
secara spasial mengacu pada keadaan bumi. Dalam kondisi yang khusus sistem komputer
yang handal dalam mengintegrasikan, menyimpan, mengedit, menganalisa, membagi data
menampilkan informasi geografi yang diacu. Pada kondisi yang lebih umum, SIG adalah cara
yang memudahkan pengguna untuk membuat query secara interaktif, menganalisa informasi
spasial dan mengedit data. SIG adalah ilmu yang mengkombinasikan antara penerapan
dengan sistem. SIG adalah suatu alat yang dapat mendukung penetapan keputusan dalam
semua fase siklus bencana. Dengan kata lain SIG adalah suatu kata yang menjelaskan tentang
semua jenis item dari data yang hendaknya mempunyai tingkat keakuratan yang tinggi
terhadap suatu lokasi. Pada awalnya fokus dari SIG adalah terutama pada respon bencana.
Dengan perubahan paradigma aturan manajemen bencana telah berkembang secara cepat.
Proses harus berjalan menjadi suatu kejadian yang mengalir dari penyiapan hingga mitigasi,
perencanaan hingga prediksi dan kedaruratan hingga perbaikan. Tiap-tiap aktivitas diarahkan
menghasilkan keberhasilan penanganan bencana. Aturan yang dikembangkan termasuk cara
yang diambil dalam mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dan sejumlah keahlian
tergambarkan dari berbagai area yang berbeda. SIG dapat bertindak sebagai antar muka antara
semua ini dan dapat mendukung semua fase siklus manajemen bencana. SIG dapat diterapkan
untuk melindungi kehidupan, kepemilikan dan infrastuktur yang kritis terhadap bencana yang
ditimbulkan oleh alam; melakukan analisis kerentanan, kajian multi bencana alam, rencana
evakuasi dan perencanaan tempat pengungsian, mengerjakan skenario penanganan bencana
yang tepat sasaran, pemodelan dan simulasi, melakukan kajian kerusakan akibat bencana dan
kajian keutuhan komunitas korban bencana. Karena SIG adalah teknologi yang tepat guna
yang secara kuat merubah cara pandang seseorang secara nyata dalam melakukan analisis
keruangan. SIG menyediakan dukungan bagi pemegang keputusan tentang analisis
spasial/keruangan dan dalam rangka untuk mengefektifkan biaya. SIG tersedia bagi berbagi
bidang organisasi dan dapat menjadi suatu alat yang berdaya guna untuk pemetaan dan
analisis. Penghindaran bencana dapat dimulai dengan mengidentifikasi resiko yang
ditimbulkan dalam suatu area yang diikuti oleh identifikasi kerentanan orang-orang, hewan,
struktur bangunan dan asset terhadap bencana. Pengetahuan tentang kondisi fisik, manusia
dan kepemilikan lainnya berhadapan dengan resiko adalah sangat mendesak. SIG berdasarkan
pemetaan tematik dari suatu area kemudian ditumpangkan dengan kepadatan penduduk,
struktur yang rentan, latar belakang bencana, informasi cuaca dan lain lain akan menetukan
siapakah, apakah dan mengetahui lokasi mana saja yang paling beresiko terhadap bencana.
Kapabilitas SIG dalam pemetaan bencana dengan informasi tentang daerah sekelilingnya
membuka trend gerografi yang unik dan pola spasial yang mempunyai kejelasan visual, akan
lebih dapat dipahami dan membantu mendukung proses pembuatan keputusan. Penggunaan
SIG dalam rentang manajemen resiko bencana dari pembuatan basis data, inventori, overlay
SIG yang paling sederhana hingga tingkat lanjut, analisis resiko, analisis untung rugi, proses
geologi, statistik spasial, matriks keputusan, analisis sensitivitas, proses geologi, korelasi, auto

6
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

korelasi dan banyak peralatan dan algoritma untuk pembuatan keputusan spasial yang
komplek lainnya.
SIG dapat digunakan dalam penentuan wilayah yang menjadi prioritas utama untuk
penanggulangan bencana berikut penerapan standar bangunan yang sesuai, untuk menentukan
besarnya jaminan keselamatan terhadap masyarakat dan bangunan sipil, untuk
mengidentifikasi sumber bencana, pelatihan dan kemampuan yang dimiliki secara spesifik
terhadap bahaya yang dijumpai dan untuk mengidentifikasi area yang terkena banjir serta
relokasi korban ke tempat yang aman. Daerah yang paling rentan terhadap bencana menjadi
prioritas utama dalam melakukan tindakan mitigasi. Semua langkah-langkah yang diambil
bertujuan untuk menghindari bencana ketika diterapkan, langkah yang berikutnya adalah
untuk bersiap-siap menghadapi situasi jika bencana menyerang. SIG untuk kesiapsiagaan
bencana adalah efektif sebagai sarana untuk menentukan lokasi sebagai tempat perlindungan
di luar zone bencana, mengidentifikasi rute pengungsian alternatif yang mendasarkan pada
skenario bencana yang berbeda, rute terbaik ke rumah sakit di luar zona bencana itu,
spesialisasi dan kapasitas rumah sakit dan lain lain. SIG dapat memberikan suatu perkiraan
jumlah makanan, air, obat, kedokteran dan lain lain misalnya untuk penyimpanan barang atau
logistik

ANALISIS SIG DALAM PENENTUAN LOKASI RAWAN LONGSOR

Kejadian bencana tanah longsor di Indonesia, seperti telah disebutkan pada awal
makalah ini, menduduki peringkat 3. Berikut ini diberikan, walaupun secara ringkas, contoh
tahap-tahap analisis untuk memperoleh Peta Lokasi Rawan Longsor.
Longsor merupakan perpindahan massa tanah secara alami sehingga termasuk dalam
kategori erosi. Perbedaan dengan jenis erosi lainnya adalah bahwa longsor terjadi dalam
waktu singkat dan dalam volume yang besar (Arsyad, 2000). Pengangkutan massa tanah
terjadi sekaligus, sehingga tingkat kerusakan yang ditimbulkan juga besar. Suatu daerah
dinyatakan memiliki potensi longsor apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) lereng cukup
curam, 2) memiliki bidang luncur berupa lapisan di bawah permukaan tanah yang semi
permeabel dan lunak, dan 3) terdapat cukup air untuk menjenuhi tanah di atas bidang luncur
tersebut. Jika syarat tersebut dimiliki, maka pada umumnya kejadian longsor hanya tinggal
menunggu agen pemicunya yaitu curah hujan dan gempa bumi.
Untuk menyusun Peta Lokasi Rawan Longsor idealnya mendasarkan pada survei
lapangan atau survei terestris yang dilakukan pada semua lokasi rawan longsor. Namun
demikian cara tersebut sangat tidak efektif, tidak efisien, memerlukan waktu yang lama,
memerlukan tenaga survei yang banyak dan memerlukan biaya yang besar. Sebagai gantinya
maka dibuatlah suatu model lokasi rawan longsor. Model merupakan penyederhanaan dari
realita. Model penentuan lokasi rawan longsor berarti mencoba melibatkan semua parameter
penyebab terjadinya rawan longsor didalam analisis sedemikian rupa sehingga diperoleh
lokasi rawan longsor.
Di Indonesia ada beberapa model dalam penentuan lokasi rawan longsor yang sudah
dikembangkan, diantaranya yang dikembangkan oleh Kementerian Pertanian, oleh
Kementerian Pekerjaan Umum, oleh Kementerian Kehutanan, oleh UGM dan oleh Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi.
Dalam contoh analisis lokasi rawan longsor di bawah ini digunakan model yang
dikembangkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Penentuan daerah
kerawanan tanah longsor dilakukan berdasarkan lima parameter yaitu curah hujan, penutupan
lahan, geologi, kemiringan lereng dan jenis tanah. Masing-masing parameter tersebut

7
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

dilakukan pembobotan atau pemberian nilai yang mempunyai pengaruh terhadap terjadinya
tanah longsor. Semakin besar nilai bobot yang diberikan artinya semakin memiliki kepekaan
terhadap terjadinya tanah longsor. Kelima peta tersebut ditumpangsusunkan (overlay) dan
dilakukan penghitungan skor kumulatif, sehingga didapatkan peta penyebaran daerah rawan
longsor seperti disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram Alir Analisis Penentuan Lokasi Rawan Longsor


Setelah semua data spasial dimasukkan ke dalam komputer dalam bentuk peta digital,
kemudian dilakukan pemasukan data atribut dan pembobotan pada setiap parameter.
Parameter-parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat kerawanan adalah penutupan
lahan (landcover), jenis tanah, topografi, curah hujan dan geologi (batuan induk). Derajat dan
panjang lereng adalah unsur yang mempengaruhi terjadinya longsor. Semakin tinggi derajat

8
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

lereng maka akan memberikan bahaya rawan longsor yang lebih tinggi, sehingga diberi nilai
bobot yang paling tinggi.
Pemberian skor dan pengkelasan lereng dapat dibagi dalam lima kelas yang disajikan
dalam Tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi dan Skor Faktor Kemiringan Lereng


No Kemiringan Lereng ( dalam % ) Keterangan Skor
1 0,00 - 8,00 Datar 1
2 8,01 - 15,00 Landai 2
3 15,01 - 25,00 Miring 3
4 25,01 - 45,00 Curam 4
5 45,01 atau lebih Sangat curam 5
Sumber: Nicholas and Edmunson (1975) dalam Purnamasari (2007)

Pemberian skor kerawanan tanah longsor untuk masing-masing kelas jenis tanah
didasarkan pada ciri morfologi tanah berupa tekstur tanah (pasir, debu dan lempung) dan sifat
permeabilitasnya yang disajikan pada Tabel 2. Selain itu dipengaruhi juga oleh tingkat
kepekaan tanah terhadap erosi yang dapat menyebabkan longsor, yang disajikan pada Tabel 3.
Jenis tanah yang memiliki potensi untuk terjadinya longsor terutama bila terjadi hujan adalah
jenis tanah yang kurang padat dalam hal ini adalah tanah yang mempunyai tekstur pasir dan
tanah lempung atau tanah liat dengan ketebalan lebih dari 2,5m. Selain itu tanah ini sangat
rentan terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek terkena air dan pecah ketika hawa
terlalu panas. Air permukaan yang meresap ke dalam lapisan tanah yang mempunyai tekstur
pasir akan mempercepat kondisi tanah tersebut menjadi jenuh air dan menjadi labil serta pada
kemiringan lereng yang relatif curam akan mempermudah terjadinya tanah longsor.
Pemberian skor dan pembagian kelas jenis tanah disajikan pada Tabel 4.

Tabel 2 Sifat-sifat permeabilitas jenis tanah


No Jenis tanah Tekstur Permeabilitas
1 Aluvial Liat; pasir < 50% Rendah
2 Glei Humik Lempung hingga liat Rendah
3 Latosol Liat, tetap dari atas hingga Tinggi
ke bawah
4 Andosol Lempung hingga debu Tinggi
5 Litosol Aneka Aneka
6 Regosol Pasir, kadar liat < 40% Tinggi
Sumber: Soepraptohardjo (1961)

Tabel 3 Tingkat kepekaan tanah terhadap erosi


Kelas Jenis Tanah Keterangan
1 Aluvial, Glei, Planosol, hidromorf kelabu Tidak peka
2 Latosol Kurang peka
3 Brown forest soil, non calcicbrown, mediteran Agak peka
4 Andosol, laterit, grumusol, podsol, podsolic Peka
5 Regosol, litosol, organosol, renzina Sangat peka
Sumber: Rahim, (2000)

9
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Tabel 4 Pembagian kelas jenis tanah


Kelas Jenis Tanah Skor
1 Aluvial 1
2 Asosiasi latosol coklat latosol kekuningan, asosiasi latosol 2
merah latosol coklat kemerahan, kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan asosiasi latosol
coklat latosol kemerahan
3 Asosiasi latosol coklat regosol 3
4 Andosol, podsolik merah kekuningan, asosiasi andosol 4
regosol, podsolik kekuningan dan podsolik merah
5 Regosol 5
Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006)

Pada dasarnya ada dua tipe hujan pemicu terjadinya longsoran, yaitu hujan deras yang
mencapai 70 mm hingga 100 mm per hari dan hujan kurang deras namun berlangsung terus
menerus selama beberapa jam hingga beberapa hari yang kemudian disusul dengan hujan
deras sesaat (1-2 jam) (Subhan, 2006). Faktor curah hujan yang mempengaruhi terjadinya
tanah longsor, mencakup terjadinya peningkatan curah hujan (tekanan air pori bertambah
besar, kandungan air dalam tanah naik dan terjadi pengembangan lempung dan mengurangi
tegangan geser, lapisan tanah jenuh air), rembesan air yang masuk dalam retakan tanah serta
genangan air. Adanya pengaruh curah hujan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gerakan
tanah sehingga daerah yang mempunyai curah hujan yang tinggi relatif akan memberikan
bahaya gerakan tanah yang lebih tinggi. Penentuan skor dan pembagian kelas intensitas curah
hujan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Klasifikasi intensitas curah hujan


Kelas Intensitas (mm / tahun ) Keterangan Skor
1 2.000 2.500 Sangat Lembab 1
2 2.500 3.000 Basah 2
3 > 3.000 Sangat Basah 3
Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006)

Pengetahuan tentang penggunaan lahan dan penutupan lahan penting untuk berbagai
kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan bumi dalam hal
ini adalah pemetaan. Istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di
permukaan bumi sedangkan istilah penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia
pada bidang lahan tertentu (Lillesand, et al, 2004). Karena keterbatasan data maka pada
penelitian ini digunakan data penutupan lahan. Pengaruh penutupan lahan terhadap terjadinya
gerakan tanah longsor merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan, dimana
penutupan lahan yang langsung berhubungan dengan kemungkinan menyebabkan terjadinya
tanah longsor diberikan nilai bobot yang paling tinggi sedangkan daerah yang masih tertutup
oleh hutan bila terkena gerakan tanah akan memberikan bahaya yang paling rendah sehingga
dalam pembobotannya diberikan nilai bobot yang paling rendah. Ada beberapa pustaka yang
digunakan untuk menentukan skoring parameter penutupan lahan yaitu menurut Subhan
(2006), Febriana (2004), Alhasanah (2006) dan hasil wawancara dengan beberapa ahli di
Balai Penelitian Tanah (2006). Penutupan lahan dibagi kedalam enam kelas dengan nilai
skoring dapat dilihat pada Tabel 6.

10
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Tabel 6 Kelas penutupan lahan


No Tipe penggunaan lahan Skor
1 Awan dan bayangan awan 0
2 Hutan / vegetasi lebat dan badan-badan air 1
3 Kebun campuran / semak belukar 2
4 Perkebunan dan sawah irigasi 3
5 Kawasan industri dan permukiman / perkampungan 4
6 Lahan-lahan kosong 5

Faktor geologi yang memicu terjadinya suatu longsor ditentukan oleh struktur batuan
dan komposisi mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan erosi dan longsor yang
dicirikan dengan jenis batuan. Jenis batuan yang menyusun suatu daerah mempunyai tingkat
bahaya yang berbeda satu sama lain. Berdasarkan besar butirnya, batuan yang berbutir halus
pada umumnya mempunyai bahaya terhadap gerakan tanah yang lebih tinggi, sedangkan bila
dilihat dari kekompakannya maka batuan yang kompak dan masif lebih kecil kemungkinan
terkena gerakan tanah. Pengkelasan jenis batuan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Pengkelasan jenis batuan


No Jenis batuan Skor
1 Bahan Aluvial (Qav, Qa, a) 1
2 Bahan Volkanik-1 (Qvsl, Qvu, Qvcp, Qvl, Qvpo, Qvk, Qvba) 2
3 Bahan Sediment-1 (Tmn, Tmj) 3
4 Bahan Volkanik-2 (Qvsb, Qvst, Qvb, Qvt) dan bahan Sediment-2 (Tmb, 4
Tmbl, Tmtb)
Sumber: Balai Penelitian Tanah (2006)

Cara untuk mengetahui sebaran daerah rawan tanah longsor dapat dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak SIG, seperti ArcView 3.3, ArcGIS, MapInfo. Dengan
melakukan analisis tumpangsusun (map overlay) peta-peta tematik yang merupakan
parameter fisik penentu daerah rawan longsor, yaitu peta kelas lereng, peta geologi, peta jenis
tanah, peta curah hujan dan peta penutupan lahan. Penentuan tingkat daerah rawan longsor
diperoleh dari pengolahan dan penjumlahan bobot nilai dari masing-masing parameter.
Sehingga akan menghasilkan bobot nilai baru yang merupakan nilai potensi rawan longsor
setelah parameter-parameter tersebut ditumpangsusunkan (overlay).
Nilai skor kumulatif untuk menentukan tingkat daerah rawan longsor diperoleh
melalui model pendugaan sedangkan pemberian bobot untuk menentukan tingkat daerah
rawan longsor disesuaikan dengan faktor dominan atau faktor terbesar penyebab terjadinya
tanah longsor. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana (2004) Curah hujan
merupakan faktor dominan penyebab terjadinya bencana longsor sehingga nilainya lebih
tinggi dari parameter lainnya. Curah hujan memiliki bobot sebesar 30% dari total
pembobotan, sedangkan tanah dan geologi memiliki bobot yang sama yaitu 20% dan 15%
merupakan bobot yang diberikan untuk faktor penggunaan lahan dan kemiringan lereng.
Model pendugaan tersebut dapat dilihat sebagai berikut (Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, 2004):

Skor Kumulatif = (30% x Faktor Curah Hujan) + (20% x Faktor Tanah) +


(20% x Faktor Geologi) + (15% x Faktor Penggunaan
Lahan + (15% x Faktor Kemiringan Lereng)

11
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Berdasarkan hasil skor kumulatif maka daerah rawan (potensial) tanah longsor
dikelompokkan ke dalam tiga kelas, yaitu (i) sangat rawan; (ii) rawan; dan (iii) kurang rawan.
Dengan skor kelas kerawanan:
1. Kurang rawan ( 2,5)
2. Rawan ( 2,6 3,6)
3. Sangat rawan ( 3,7)

Jika hasil analisis tersebut ditumpangsusunkan pada Peta Administrasi, maka akan
diperoleh informasi lokasi rawan longsor pada masing-masing kecamatan beserta luasnya.
Informasinya dapat disajikan dalam bentuk tabel, sedangkan distribusinya secara spasial dapat
disajikan pada Peta Lokasi Rawan Longsor.
Dalam kaitannya dengan mitigasi bencana tanah longsor, maka setelah diperoleh Peta
Lokasi Rawan Longsor tersebut, maka langkah selanjutnya adalah:
1. Menyebarluaskan peta tersebut pada masyarakat, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
2. Memberikan sosialisasi kepada masyarakat dan memberikan penyuluhan dan
penjelasan tentang kemungkinan bahaya yang terjadi dan pemberian saran-saran
tindakan untuk mengurangi dampaknya. Termasuk mengadakan pelatihan
penanggulangan bencana kepada warga di wilayah rawan bencana.

PENUTUP

Peranan Sistem Informasi Geografis dalam mitigasi bencana sangatlah besar. SIG
berperan baik pada saat sebelum, selama atau sesudah terjadinya bencana. Dengan SIG
analisis pemodelan yang terkait dengan penyediaan peta dan informasi secara digital dapat
dilakukan secara cepat, efektif dan efisien. Dengan SIG penanganan bencana akan dapat lebih
terlaksana dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Alhasanah. 2006. Pemetaan dan Analisis Daerah Rawan Tanah Longsor Serta Upaya
Mitigasinya Menggunakan Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus Kecamatan
Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat).
Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Aronoff, Stanley. 1989. Geographic Information Systems, A Management Perspective.
Ottawa Canada.
Arsyad S. 2000. Konservasi Tanah dan Air, IPB Press
Balai Penelitian Tanah. 2006. Penyusunan Decision Support System (DSS), Laporan akhir
(tidak dipublikasikan).
BNPB, 2016, Data dan Informasi Bencana Indonesia, http://dibi.bnpb.go.id/ diakses pada 17
Maret 2016
BNPB. 2012. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02
Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta.
Burrough, P.A. 1988. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources
Assessment. Oxford University Press, New York.
Demers, Michael N. 1997. Fundamental of Geographic Information Systems. John Wiley &
Sons, Inc.

12
Seminar Nasional Mitigasi Bencana Dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah, Bengkulu, 28 Maret 2016

Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:


47/Permentan/OT.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan
Pegunungan. BB Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian Nomor:
47/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan
Pegunungan. Jakarta
Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2004. Manajemen Bencana Tanah
Longsor. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/22 /0802.htm. diakses 17 Maret
2016
Effendi, R. S. 2002. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian Lingkungan
Hidup, Bumi Aksara. Jakarta.
Febriana, I. 2004. Identifikasi dan Pemetaan Kawasan Rawan Bencana Tanah Longsor
dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
(Studi Kasus Di Kawasan Gunung Mandalawangi dan sekitarnya, Kabupaten Garut,
Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan. Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
Lepore, C., Arnone, E., Noto, L. V., Sivandran, G., & Bras, R. L. (2013). Physically based
modeling of rainfall-triggered landslides: a case study in the Luquillo forest, Puerto Rico.
Hydrology and Earth System Sciences, 17(9), 3371-3387
Lillesand, T.M., Kiefer, R.W., and Chipman, J., 2004, Remote Sensing ang Image
Interpretation (5 ed.), John and Wiley Sons, New York
Martin R. Degg. 1996. A Database of Historical Earthquake Activity in the Middle East.
Transactions of the Institute of British Geographers, New Series, Vol. 15, No. 3. Great
Britain: Blackwell Publishing
Martin, David. 1996. Geographic Information Systems, Sosioeconomic Applications.
Routledge, London and New York.
Mendagri, 2006, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 33 Tahun 2006 tentang Pedoman
Umum Mitigasi Bencana
Ponziani, F., Pandolfo, C., Stelluti, M., Berni, N. Brocca, L. & Moramarco, T. (2012).
Assessment of rainfall thresholds and soil moisture modeling for operational
hydrogeological risk prevention in the Umbria region (Central Italy). Landslides, 9(2),
229-237
Purnamasari. D. C. 2007. Aplikasi Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis dalam
Evaluasi Daerah Rawan Longsor di Kabupaten Banjarnegara (Studi Kasus di Gunung
Pawinihan dan Sekitarnya, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten
Banjarnegara). Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata.
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor
Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana
Short, N.M., 1982. The Landsat Tutorial Workbook, NASA, Washington, DC
Soepraptohardjo, M. 1961. Jenis-jenis Tanah di Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah. Bogor.
Subhan. 2006. Identifikasi dan Penentuan Faktor-faktor Utama Penyebab Tanah Longsor di
Kabupaten Garut, Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Sulistyo, B., 2011, Pemodelan Spasial Lahan Kritis Berbasis Raster di DAS Merawu
Kabupaten Banjar Negara melalui Intergrasi Citra Landsat ETM+ dan Sistem Informasi
Geografis, Disertasi pada Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Suratman, 2012, Manajemen Bencana Berbasis Informasi Geografis Untuk Mewujudkan
Kehidupan Masyarakat Yang Harmonis Dengan Alam Di Indonesia, Seminar Nasional
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

13

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai