Anda di halaman 1dari 31

STRUMA

1. Definisi

Struma adalah istilah untuk pembesaran kelenjar tiroid / gondok (Dr.Hendra

T.Laksman ) Struma Nodusa adalah struma yang tanpa disertai hipertiroidisme (

Mansjoer 1999 : 589 ).

Struma adalah suatu pembengkakan pada leher oleh karena pembesaran

kelenjar tiroid. Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh kurangnya diet

iodium yang dibutuhkan untuk produksi hormon tiroid.

Kelainan glandula tyroid dapat berupa gangguan fungsi seperti tiritosikosis

atau perubahan susunan kelenjar dan morfologinya, seperti penyakit tyroid noduler.

Berdasarkan patologinya, pembesaran tyroid umumnya disebut struma (De Jong &

Syamsuhidayat, 1998).

Struma adalah perbesaran kelenjar tiroid yang menyebabkan pembengkak-

an di bagian depan leher (Dorland, 2002).

Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara

klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme (Sri

Hartini, Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, hal. 461, FKUI, 1987).

Struma Nodusa atau struma adenomathosa adalah struma yang ditemukan di

daerah pegunungan kerena difisiensi yodium (Syamsu Hidayat,1997 : 934)

2. Klasifikasi

Menurut Brunner & Suddarth (2001) :

Berdasarkan Fisiologisnya

Berdasakan fisiologisnya struma dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Eutiroidisme

Eutiroidisme adalah suatu keadaan hipertrofi pada kelenjar tiroid yang

disebabkan stimulasi kelenjar tiroid yang berada di bawah normal sedangkan


kelenjar hipofisis menghasilkan TSH dalam jumlah yang meningkat. Goiter

atau struma semacm ini biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali

pembesaran pada leher yang jika terjadi secara berlebihan dapat

mengakibatkan kompresi trakea.

b. Hipotiroidisme

Hipotiroidisme adalah kelainan struktural atau fungsional kelenjar tiroid

sehingga sintesis dari hormon tiroid menjadi berkurang. Kegagalan dari

kelenjar untuk mempertahankan kadar plasma yang cukup dari hormon.

Beberapa pasien hipotiroidisme mempunyai kelenjar yang mengalami atrofi

atau tidak mempunyai kelenjar tiroid akibat pembedahan/ablasi radioisotop

atau akibat destruksi oleh antibodi autoimun yang beredar dalam sirkulasi.

Gejala hipotiroidisme adalah penambahan berat badan, sensitif terhadap

udara dingin, dementia, sulit berkonsentrasi, gerakan lamban, konstipasi, kulit

kasar, rambut rontok, mensturasi berlebihan, pendengaran terganggu dan

penurunan kemampuan bicara. Gambar penderita hipotiroidisme dapat

terlihat di bawah ini.

c. Hipertiroidisme

Dikenal juga sebagai tirotoksikosis atau Graves yang dapat

didefenisikan sebagai respon jaringan-jaringan tubuh terhadap pengaruh

metabolik hormon tiroid yang berlebihan. Keadaan ini dapat timbul spontan
atau adanya sejenis antibodi dalam darah yang merangsang kelenjar tiroid,

sehingga tidak hanya produksi hormon yang berlebihan tetapi ukuran kelenjar

tiroid menjadi besar. Gejala hipertiroidisme berupa berat badan menurun,

nafsu makan meningkat, keringat berlebihan, kelelahan, leboh suka udara

dingin, sesak napas. Selain itu juga terdapat gejala jantung berdebar-debar,

tremor pada tungkai bagian atas, mata melotot (eksoftalamus), diare, haid

tidak teratur, rambut rontok, dan atrofi otot. Gambar penderita hipertiroidisme

dapat terlihat di bawah ini.

Berdasarkan Klinisnya

Secara klinis pemeriksaan klinis struma toksik dapat dibedakan menjadi

sebagai berikut :

a. Struma Toksik

Struma toksik dapat dibedakan atas dua yaitu struma diffusa toksik dan

struma nodusa toksik. Istilah diffusa dan nodusa lebih mengarah kepada perubahan

bentuk anatomi dimana struma diffusa toksik akan menyebar luas ke jaringan lain.

Jika tidak diberikan tindakan medis sementara nodusa akan memperlihatkan

benjolan yang secara klinik teraba satu atau lebih benjolan (struma multinoduler

toksik).
Struma diffusa toksik (tiroktosikosis) merupakan hipermetabolisme karena

jaringan tubuh dipengaruhi oleh hormon tiroid yang berlebihan dalam darah.

Penyebab tersering adalah penyakit Grave (gondok eksoftalmik/exophtalmic goiter),

bentuk tiroktosikosis yang paling banyak ditemukan diantara hipertiroidisme lainnya.

Perjalanan penyakitnya tidak disadari oleh pasien meskipun telah diiidap

selama berbulan-bulan. Antibodi yang berbentuk reseptor TSH beredar dalam

sirkulasi darah, mengaktifkan reseptor tersebut dan menyebabkan kelenjar tiroid

hiperaktif.

Meningkatnya kadar hormon tiroid cenderung menyebabkan peningkatan

pembentukan antibodi sedangkan turunnya konsentrasi hormon tersebut sebagai

hasilpengobatan penyakit ini cenderung untuk menurunkan antibodi tetapi bukan

mencegah pembentukyna. Apabila gejala gejala hipertiroidisme bertambah berat dan

mengancam jiwa penderita maka akan terjadi krisis tirotoksik. Gejala klinik adanya

rasa khawatir yang berat, mual, muntah, kulit dingin, pucat, sulit berbicara dan

menelan, koma dan dapat meninggal.

b. Struma Non Toksik

Struma non toksik sama halnya dengan struma toksik yang dibagi menjadi

struma diffusa non toksik dan struma nodusa non toksik. Struma non toksik

disebabkan oleh kekurangan yodium yang kronik. Struma ini disebut sebagai simple

goiter, struma endemik, atau goiter koloid yang sering ditemukan di daerah yang air

minumya kurang sekali mengandung yodium dan goitrogen yang menghambat

sintesa hormon oleh zat kimia.

Apabila dalam pemeriksaan kelenjar tiroid teraba suatu nodul, maka

pembesaran ini disebut struma nodusa. Struma nodusa tanpa disertai tanda-tanda

hipertiroidisme dan hipotiroidisme disebut struma nodusa non toksik. Biasanya tiroid

sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada

saat dewasa. Kebanyakan penderita tidak mengalami keluhan karena tidak ada

hipotiroidisme atau hipertiroidisme, penderita datang berobat karena keluhan


kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Namun sebagian pasien mengeluh

adanya gejala mekanis yaitu penekanan pada esofagus (disfagia) atau trakea (sesak

napas), biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam

nodul.

Struma non toksik disebut juga dengan gondok endemik, berat ringannya

endemisitas dinilai dari prevalensi dan ekskresi yodium urin. Dalam keadaan

seimbang maka yodium yang masuk ke dalam tubuh hampir sama dengan yang

diekskresi lewat urin. Kriteria daerah endemis gondok yang dipakai Depkes RI

adalah endemis ringan prevalensi gondok di atas 10 %-< 20 %, endemik sedang 20

% - 29 % dan endemik berat di atas 30 %.

Berdasarkan morfologinya :

a. Struma Hyperplastica Diffusa

Suatu stadium hiperplasi akibat kekurangan iodine (baik absolut ataupun

relatif).Defisiensi iodine dengan kebutuhan excessive biasanya terjadi selama

pubertas, pertumbuhan, laktasi dan kehamilan. Karena kurang iodine kelenjar

menjadi hiperplasi untuk menghasilkan tiroksin dalam jumlah yang cukup banyak

untuk memenuhi kebutuhan supply iodine yang terbatas. Sehingga terdapat vesikel

pucat dengan sel epitel kolumner tinggi dan koloid pucat. Vaskularisasi kelenjar juga

akan bertambah. Jika iodine menjadi adekuat kembali (diberikan iodine atau

kebutuhannya menurun) akan terjadi perubahan di dalam struma koloides atau

kelenjar akan menjadi fase istirahat.

b. Struma Colloides Diffusa

Ini disebabkan karena involusi vesikel tiroid. Bila kebutuhan excessive akan

tiroksin oleh karena kebutuhan yang fisiologis (misal, pubertas, laktasi, kehamilan,

stress, dsb.) atau defisiensi iodine telah terbantu melalui hiperplasi, kelenjar akan

kembali normal dengan mengalami involusi. Sebagai hasil vesikel distensi dengan

koloid dan ukuran kelenjar membesar.


c. Struma Nodular

Biasanya terjadi pada usia 30 tahun atau lebih yang merupakan sequelae dari

struma colloides. Struma noduler dimungkinkan sebagai akibat kebutuhan excessive

yang lama dari tiroksin. Ada gangguan berulang dari hiperplasi tiroid dan involusi

pada masing-masing periode kehamilan, laktasi, dan emosional (fase kebutuhan).

Sehingga terdapat daerah hiperinvolusi, daerah hiperplasi dan daerah kelenjar

normal. Ada daerah nodul hiperplasi dan juga pembentukan nodul dari jaringan tiroid

yang hiperinvolusi.

Tiap folikel normal melalui suatu siklus sekresi dan istirahat untuk

memberikan kebutuhan akan tiroksin tubuh. Saat satu golongan sekresi, golongan

lain istirahat untuk aktif kemudian. Pada struma nodular, kebanyakan folikel berhenti

ambil bagian dalam sekresi sehingga hanya sebagian kecil yang mengalami

hiperplasi, yang lainnya mengalami hiperinvolusi (involusi yang berlebihan/mengecil).

3. Etiologi

a. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium

yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari

25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.

b. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit

tiroid autoimun

c. Goitrogen :

- Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,

expectorants yang mengandung yodium

- Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol

berasal dari tambang batu dan batubara.

- Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels

kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

d. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid


e. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak

mengakibatkan nodul benigna dan maligna (Lee, 2004) .

4. Faktor resiko

Gondok dapat menyerang siapa saja. Gondok dapat terjadi pada saat

kelahiran dan terjadi kapan saja sepanjang hidup, walaupun lebih sering terjadi

setelah usia 50 tahun. Beberapa faktor risiko umum munculnya gondok adalah :

Kurangnya diet yodium. Orang-orang yang tinggal di daerah dimana yodium sulit

didapatkan beresiko tinggi gondok.

Jenis kelamin. Perempuan lebih rentan mengalami gangguan tiroid daripada

laki-laki.

Usia lanjut. Umur di atas 50 tahun atau lebih berisiko lebih tinggi terkena

gondok.

Riwayat medis. Riwayat pribadi atau keluarga yang menderita penyakit

autoimmune meningkatkan risiko gondok.

Kehamilan dan menopause. Masalah tiroid lebih sering terjadi setelah kehamilan

dan menopause.

Obat tertentu. Beberapa obat termasuk immunosuppressants, obat jantung

Amiodarone dan lithium obat psikiatri meningkatkan risiko gondok.

Terpapar radiasi. Risiko meningkat jika seseorang menjalani perawatan radiasi

ke leher atau dada atau terkena radiasi di fasilitas nuklir (Long&Barbara, 1996).

5. Patofisiologi

Terlampir

6. Manifestasi klinis

Berdasarkan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, maka tanda dan gejala pasien

struma adalah : (Price & Sylvi, 1998)


a. Status Generalis (umum)

1) Tekanan darah meningkat (systole)

2) Nadi meningkat

3) Mata : Exophtalamus

a) Stellwag sign : jarang berkedip

b) Von Graefe sign : palpebra mengikuti bulbus okuli waktu melihat ke

bawah.

c) Morbius sign : sukar konvergensi

d) Jeffroy sign : tak dapat mengerutkan dahi.

e) Rossenbach sign : tremor palpebra jika mata ditutup.

4) Hipertoni simpatis : kulit basah dan dingin, tremor

5) Jantung : takikardi

b. Status Lokalis : Regio Colli Anterior

1) Inspeksi : benjolan, warna, permukaan, bergerak waktu menelan

2) Palpasi : permukaan, suhu

a) Batas atas kartilago tiroid

b) Batas bawah incisura jugularis

c) Batas medial garis tengah leher

d) Batas lateral m.sternokleidomastoid

c. Gejala Khusus

1) Struma kistik

a) Mengenai 1 lobus

b) Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan

c) Kadang multilobularis

d) Fluktuasi (+)

2) Struma Nodusa

a) Batas jelas

b) Konsistensi : kenyal sampai keras


c) Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarsinoma tiroidea

3) Struma Difusa

a) Batas tidak jelas

b) Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek.

4) Struma vaskulosa

a) Tampak pembuluh darah (biasanya arteri), berdenyut

b) Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa

c) Kelenjar getah bening : Paratracheal Jugular Vein.

7. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi

Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita

yang berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit

terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan

beberapa komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau

noduler kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi

pada permukaan pembengkakan.

Palpasi

Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk

duduk, leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan

meraba tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk

penderita.

b. Pemeriksaan Medis

Tes Fungsi Hormon

Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara

tes-tes fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total

tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin


bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik

aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.

Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi

tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada

di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini

dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit

tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur

kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.

Foto Rontgen leher

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan

atau menyumbat trakea (jalan nafas).

Ultrasonografi (USG)

Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan

tampak di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan

kemungkinan adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu

pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG

antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan karsinoma.

Sidikan (Scan) tiroid

Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama

technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah.

Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu

selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan

ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.

Biopsi Aspirasi Jarum Halus

Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu

keganasan. Biopsi aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan

bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat


memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu

teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang kurang baik atau

positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

Pemeriksaan Lain

Tes fungsi paru dapat dilakukan bila ada gejala klinis kompresi

trachea. Perubahan karakteristik kompresi trachea ekternal asimptomatik

dapat dideteksi dengan flow-volume loop tracings. Laringoscop direct dapat

juga digunakan untuk mengetahui kompresi trachea.

Penilaian Resiko Keganasan

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik

penyakit tiroid jinak , tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan

kanker tiroid :

- Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusi jinak.

- Riwayat keluarga dengan tiroiditis hashimoto atau penyakit tiroid autoimun,

- Gejala hipo atau hipertiroidisme

- Nyeri berhubungan dengan nodul

- Nodul lunak, mudah degerakan

- Multinodul tanpa nodul yang dominant ,dan konsistensi sama.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan

kearah keganasan tiroid:

- Umur < 20 tahun atau > 70 tahun

- Gender laki- laki

- Nodul disertai disfagi ,serak atau obstruksi jalan napas

- Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu bulan )

- Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak anak atau dewasa

- Riwayat keluarga kanker tiroid meduler

- Nodul yang tunggal ,berbatas tegas , keras, irregular dan sulit digerakan
- Paralysis pita suara

- Temuan limpadenofati servikal

- Metastasis jauh ( paru-paru ),DLL


8. Penatalaksanaan medis

Operasi/Pembedahan

Pembedahan menghasilkan hipotiroidisme permanen yang kurang sering

dibandingkan dengan yodium radioaktif. Terapi ini tepat untuk para pasien

hipotiroidisme yang tidak mau mempertimbangkan yodium radioaktif dan tidak

dapat diterapi dengan obat-obat anti tiroid. Reaksi-reaksi yang merugikan yang

dialami dan untuk pasien hamil dengan tirotoksikosis parah atau kekambuhan.

Pada wanita hamil atau wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (suntik

atau pil KB), kadar hormon tiroid total tampak meningkat. Hal ini disebabkan

makin banyak tiroid yang terikat oleh protein maka perlu dilakukan pemeriksaan

kadar T4 sehingga dapat diketahui keadaan fungsi tiroid.


Pembedahan dengan mengangkat sebagian besar kelenjar tiroid,

sebelum pembedahan tidak perlu pengobatan dan sesudah pembedahan akan

dirawat sekitar 3 hari. Kemudian diberikan obat tiroksin karena jaringan tiroid

yang tersisa mungkin tidak cukup memproduksi hormon dalam jumlah yang

adekuat dan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan struma dilakukan 3-4

minggu setelah tindakan pembedahan.40

Yodium Radioaktif

Yodium radioaktif memberikan radiasi dengan dosis yang tinggi pada

kelenjar tiroid sehingga menghasilkan ablasi jaringan. Pasien yang tidak mau

dioperasi maka pemberian yodium radioaktif dapat mengurangi gondok sekitar

50 %. Yodium radioaktif tersebut berkumpul dalam kelenjar tiroid sehingga

memperkecil penyinaran terhadap jaringan tubuh lainnya. Terapi ini tidak

meningkatkan resiko kanker, leukimia, atau kelainan genetik35 Yodium radioaktif

diberikan dalam bentuk kapsul atau cairan yang harus diminum di rumah sakit,

obat ini ini biasanya diberikan empat minggu setelah operasi, sebelum

pemberian obat tiroksin.5

Pemberian Tiroksin dan obat Anti-Tiroid

Tiroksin digunakan untuk menyusutkan ukuran struma, selama ini diyakini

bahwa pertumbuhan sel kanker tiroid dipengaruhi hormon TSH. Oleh karena itu

untuk menekan TSH serendah mungkin diberikan hormon tiroksin (T4) ini juga

diberikan untuk mengatasi hipotiroidisme yang terjadi sesudah operasi

pengangkatan kelenjar tiroid. Obat anti-tiroid (tionamid) yang digunakan saat ini

adalah propiltiourasil (PTU) dan metimasol/karbimasol

9. Komplikasi

Penyakit jantung hipertiroid

Gangguan pada jantung terjadi akibat dari perangsangan berlebihan pada

jantung oleh hormon tiroid dan menyebabkan kontraktilitas jantung meningkat


dan terjadi takikardi sampai dengan fibrilasi atrium jika menghebat. Pada

pasien yang berumur di atas 50 tahun, akan lebih cenderung mendapat

komplikasi payah jantung.

Oftalmopati Graves

Oftalmopati Graves seperti eksoftalmus, penonjolan mata dengan

diplopia, aliran air mata yang berlebihan, dan peningkatan fotofobia dapat

mengganggu kualitas hidup pasien sehinggakan aktivitas rutin pasien

terganggu.

Dermopati Graves

Dermopati tiroid terdiri dari penebalan kulit terutama kulit di bagian atas

tibia bagian bawah (miksedema pretibia), yang disebabkan penumpukan

glikosaminoglikans. Kulit sangat menebal dan tidak dapat dicubit.

10. Pencegahan

Menurut Susan Martin (1998) pencegahan struma antara lain :

Pencegahan Primer

Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk

menghindari diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat

dilakukan untuk mencegah terjadinya struma adalah :

a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku

makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium

b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut

c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah

dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk

menghindari hilangnya yodium dari makanan


d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini

memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena

dapat terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan

dengan yodida diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan

dalam air yang mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.

e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah

endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua

pria berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan

menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis

pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.

f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3 tahun

sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc dan

untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu

penyakit, mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh dan

menghambat progresifitas penyakit.

Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier bertujuan untuk mengembalikan fungsi mental,

fisik dan sosial penderita setelah proses penyakitnya dihentikan. Upaya yang

dapat dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Setelah pengobatan diperlukan kontrol teratur/berkala untuk memastikan

dan mendeteksi adanya kekambuhan atau penyebaran.

b. Menekan munculnya komplikasi dan kecacatan

c. Melakukan rehabilitasi dengan membuat penderita lebih percaya diri, fisik

segar dan bugar serta keluarga dan masyarakat dapat menerima

kehadirannya melalui melakukan fisioterapi yaitu dengan rehabilitasi fisik,

psikoterapi yaitu dengan rehabilitasi kejiwaan, sosial terapi yaitu dengan


rehabilitasi sosial dan rehabilitasi aesthesis yaitu yang berhubungan

dengan kecantikan.
THYROIDECTOMY

1. Definisi
Tiroidektomi adalah sebuah operasi yang melibatkan operasi pemindahan
semua atau sebagian dari kelenjar tiroid. Tindakan bedah terutama dilakukan pada
kanker tiroid, dapat juga diindikasikan pada pembesaran jinak kelejar tiroid bila sudah
menyebabkan penekanan pada trakea, esophagus dengan keluhan sesak nafas, rasa
tercekik dan gangguan menelan.
Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan tiroidektomi yang biasa
digunakan :
Tiroidektomi : pengangkatan kelenjar tiroid.
Lobektomi : pengangkatan satu lobus kelenjar tiroid.
Ismolobektomi : pengangkatan satu lobus kelenjar tiroid beserta isthmusnya.

Subtotal tiroidektomi: mengangkat sebagian besar tiroid kedua lobus (kiri-kanan)


dengan menyisakan jaringan tiroid masing-masing 24 gram.

Near total tiroidektomi: ismolobektomi dekstra dgn subtotal lobektomi sinistra dan
sebaliknya, sisa jaringan tiroid masing-masing 12 gram.
Total tiroidektomi: pengangkatan seluruh kelenjar tiroid.

2. Klasifikasi
Tiroidektomi terbagi atas :
1. Tiroidektomi total
Tiroidektomi total, yaitu mengangkat seluruh kelenjar tiroid. Klien yang menjalani
tindakan ini harus mendapat terapi hormone pengganti yang besar dosisnya
beragam pada setiap individu dan dapat dipengaruhi oleh usia, pekerjaan, dan
aktifitas.
2. Tiroidektomi subtotal
Tiroidektomi subtotal, yaitu mengangkat sebagian kelenjar tiroid. Lobus kiri atau
kanan yang mengalami pembesaran diangkat dan diharapkan kelenjar yang masih
tersisa masih dapat memenuhi kebutuhan tubuh akan hormon-hormon tiroid
sehingga tidak diperlukan terapi penggantian hormon.

3. Indikasi Tiroidektomi
Tiroidektomi pada umumnya dilakukan pada :
1. Penderita dengan tirotoksikosis yang tidak responsif dengan terapi
medikamentosa atau yang kambuh
2. Tumor jinak dan ganas tiroid
3. Gejala penekanan akibat tonjolan tumor
4. Tonjolan tiroid yang mengganggu penampilan seseorang
5. Tonjolan tiroid yang menimbulkan kecemasan seseorang

4. Kontraindikasi
Kontraindikasi tiroidektomi yaitu : Inoperable tumor (sudah ekstensi ke struktur organ
lain: trachea, esofagus, dll).
5. Teknik Operasi
1. Posisi penderita telentang, leher ekstensi dg ganjal bantal dibawah pundak
penderita, posisi meja sedikit head up, dg sudut 20 derajat (reverse
Trendelenburg).
2. Kepala diletakkan diatas donut baloon, yakinkan posisi dagu sejajar dg long axis
tubuh pada garis median.
3. Desinfeksi lapangan operasi dg batas lateral: tepi depan m.trapezius, batas atas:
bibir bawah, batas bawah: kosta 3.
4. Dibuat marker untuk insisi dg menggunakan silk 2-0 pada lipatan kulit leher 2 jari
diatas sternal notch (atau 1 cm dibawah kartilago krikoid), memanjang sampai ke tepi
anterior sternokleidomastoid.

5. Insisi kulit, subkutis dan platysma, sekaligus menjadi satu flap, untuk mencegah
perdarahan, edema, dan perlengketan pasca operasi.

6. Klem lurus (5 bh) pada dermis untuk traksi. Pertama kali flap atas.Diseksi dapat
dikerjakan secara tumpul, atau secara tajam menggunakan kauter atau skalpel.
7. Diseksi tumpul dengan jari atau kassa pada batas
platysma dengan loose areolar tissue dibawahnya, tepat
superfisial dari vena jugularis anterior. Diseksi dilakukan ke arah kaudal (sampai
sternal notch) dan kranial (sampai terlihat cartilago tiroidea) dan dibuat flap yang
difiksasi ke kain drapping.

8. Insisi fascia coli superficialis secara vertikal pada garis


tengah strap muscle
hingga batas bawah
sampai level sternal
notch, batas atasnya
sampai cartilago tiroid.
9. Diseksi tumpul pertengahan strap muscles
sampai fascia colli profunda.

10. Strap muscle (m.sternohyoid dan m.sternotiroid) diretraksi ke kiri dan ke kanan.
11. Dilakukan pemisahan kelenjar tiroid pada cleavage plane (antara kel.tiroid dengan
m.sternokleidomastoideus).
12. Pada tumor yang besar dapat dilakukan pemotongan strap muscle secara horizontal
di 1/3 proksimalnya (seproksimal mungkin) setelah sebelumnya v.jugularis anterior
diligasi.

13. Dilakukan diseksi tumpul dan tajam mulai


dari tiroid di bagian tengah dengan mengidentifikasi
v.tiroid media.

14. Vena tiroid media diligasi dan dipotong.


15. Profunda dari vena ini, kelj. Paratiroid & RLN dapat diidentifikasi.

16. Diseksi dilanjutkan ke pool bawah dg mengidentifikasi arteri dan vena tiroidea
inferior, juga harus diidentifikasi dan preservasi n.rekuren laringeus yang terletak di
daerah sulkus trakeo-esofageal, umumnya berjalan diantara bifurcatio arteri tiroidalis
inferior.
17. Ligasi a. tiroidea inferior distal dari suplai ke paratiroid.

18. Vena tiroidea inferior pada pool bawah tiroid diligasi dg silk 2/0 pada 2 tempat dan
dipotong diantaranya.
19. Untuk melakukan subtotal lobektomi maka dengan menggunakan klem lurus dibuat
markering pada jar tiroid diatas n.rekuren dan kel.paratiroid atas bawah dan
jaringan tiroid disisakan sebesar satu ruas jari kelingking penderita ( 6-8 gram).
20. Identifikasi arteri dan vena tiroidea superior pada pool atas tiroid, kemudian dibuat 2
(3) ligasi pada pembuluh darah tadi dan dipotong diantaranya, yang diligasi betul-
betul hanya pembuluh darah saja.
21. Untuk hindari cedera n. laringeus superior : hindari kauter & diseksi dari medial ke
lateral.
22. Kelenjar paratiroid dilepaskan dari kel.tiroid, sambil dipreservasi arteri yang
memperdarahinya.
23. Diseksi dilanjutkan kearah isthmus (pada cleavage plane), ligamentum Berry dan
isthmus diklem dan dipotong.
24. Perhatian : a & v kecil (laryngeal inferior) yang biasanya menembus posterior lig.
Berry sisi cranial / pada lokasi RLN memasuki m. krikotiroid pressure / Gelfoam.

25. Dilakukan penjahitan omsteking (jahit ikat) CCG 3-0 (continuous interlocking) pada
jaringan tiroid yang diklem tadi.
26. Kontrol perdarahan, terutama dilihat pada vasa tiroidea superior.
27. Setelah klj. Tiroid terangkat inspeksi apakah kelj. Paratiroid ikut terangkat.
28. Cuci dg NaCl fisiologis (Shah : irigasi luka dengan Bacitracin sol.)
29. Posisi leher dikembalikan dg mengambil bantal dibawah pundak penderita.
30. Evaluasi ulang, rawat perdarahan.
31. Pasang drain Penrose (Shah) melalui celah pada luka atau Redon no.12 yang
ditembuskan ke kulit searah dg tepi sayatan luka operasi, kemudian difiksasi dg silk
3/0.
32. Kalau kelenjar paratiroid terambil, sebelum menutup luka operasi kelenjar paratiroid
ditanam (replantasi) pada m. SCM, strap muscles atau otot lengan bawah. Dipotong-
potong setebal 1 mm dan ditanamkan dalam kantong-kantong secara terpisah.
33. Strap muscle diaproksimasikan dengan jahitan interrupted CCG 3-0.
34. Platysma didekatkan dan dijahit interrupted dg chromic 3/0.
35. Kulit dijahit secara subkutikular dgn benang sintetis 4/0.
36. Luka operasi ditutup dg kassa steril.
37. Pada waktu ekstubasi, perhatikan keadaan pita suara dg melihat laring
menggunakan laringoskop, adakah parese / asimetri pada korda vokalisnya.

6. Evaluasi Pasca Bedah


1. Drain diobservasi produksinya, bila dalam 1 jam pertama produksinya > 100 cc atau
apabila sampai timbul gangguan nafas maka perlu disiapkan re-open untuk
eksplorasi dan hemostasis
2. Bila produksi < 10 cc / 24 jam, serous, drain bisa dilepas
3. Rawat luka pada hari ke-3 (atau pada saat lepas drain), evaluasi infeksi nosokomial.
4. Penderita boleh pulang sehari setelah lepas drain.
5. Angkat jahitan hari ke-7, evaluasi infeksi nosokomial.
6. Pemberian Tyrax ( Tiroksin ) dilakukan pada
pasien yang dilakukan total tiroidektomi selama
hidupnya, dengan tujuan sebagai terapi substitusi dan
supresi TSH endoen. Diberikan tiap pagi sebelum
aktifitas, dengan dosis 1,6 2,2 micro gram/kg
BB/hari. atau 100 micro gram/hari dalam bentuk
tablet.

7. Komplikasi Tiroidektomi
1. Perdarahan. Resiko ini minimum tetapi harus hati-hati dalam mengamankan
hemostasis. Perdarahan selau mungkin terjadi setelah tiroidektomi. Bila ini timbul
biasanya ini adalah suatu kedaruratan bedah, yang perlu secepat mungkin dilakukan
dekompresi leher dan mengembalikan pasien ke kamar operasi.
2. Masalah terbukanya vena besar dan menyebabkan embolisme udara. Dengan
tindakan anestesi mutakhir, ventilasi tekanan positif intermiten dan teknik bedah
yang cermat, bahaya ini harus minimum dan cukup jarang terjadi.
3. Trauma pada nervus laryngeus recurrens. Ia menimbulkan paralisis sebagian atau
total (jika bilateral) laring. Pengetahuan anatomi bedah yang adekuat dan kehati-
hatian pada operasi seharusnya mencegah cedera pada saraf ini atau pada nervus
laryngeus superior.
4. Memaksa sekresi glandula dalam jumlah abnormal ke dalam sirkulasi dengan
tekanan. Hal ini dirujuk pada throtoxic storm, yang sekarang jarang terlihat karena
persiapan pasien yang adekuat menghambat glandula tiroid overaktif pada pasien
yang dioperasi karena tirotoksikosis.
5. Sepsis yang meluas ke mediastinum. Perhatian bagi hemostasis adekuat saat
operasi dilakukan dalam kamar operasi berventilasi tepat dengan peralatan yang
baik dan ligasi yang dapat menghindari terjadinya infeksi.
6. Hipotiroidisme pasca bedah. Perkembangan hipotiroidisme setelah reseksi bedah
tiroid jarang terlihat saat ini. Ini dilakukan dengan pemeriksaan klinik dan biokimia
yang tepat pasca bedah.

Konsep Asuhan Keperawatan Pre Dan Post Tiroidektomi

1. Pre Tiroidektomi
a. Pengkajian
1. Aktivitas / latihan
Insomnia, sensitivitas meningkat, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan
berat,atrofi otot, frekuensi pernafasan meningkat, takipnea, dispnea.
2. Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, diare.
3. Koping / pertahanan diri
Mengalami ansietas dan stres yang berat, baik emosional maupun fisik, emosi labil,
depresi.
4. Nutrisi dan metabolic
Mual dan muntah, suhu meningkat diatas 37,4C.Pembesaran tiroid, edema non-
pitting terutama di daerah pretibial, diare atau sembelit.
5.Kognitif dan sensori
Bicaranya cepat dan parau, bingung, gelisah, koma, tremor pada tangan, hiperaktif
reflek tendon dalam (RTD), nyeri orbital, fotofobia, palpitasi, nyeri dada (angina).
6. Reproduksi / seksual
Penurunan libido, hipomenorea, menorea dan impoten.

b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Ansietas berhubungan dengan perubahan dalam status kesehatan ditandai
dengan insomnia, depresi, gelisah, frekuensi pernafasan meningkat.

Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan ansietas
berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang, dan
selalu menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas, konsentrasi, dan koping.
Kriteria Hasil :
o Pengendalian-Diri terhadap ansietas: tindakan personal untuk menghilangkan
atau mengurangi perasaan khawatir,tegang atau perasaan tidak tenang akibat
sumber yang tidak dapat diidentifikasi.
o Konsentrasi: Kemampuan untuk focus pada stimulus tertentu.
o Koping: tindakan personal untuk mengatasi stressor yang membebani sumber-
sumber individu.
Intervensi
a. Kaji untuk faktor budaya (misalnya,konflik nilai) yang menjadi penyebab
ansietas.
b. Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk reaksi fisik,
setiap hari.
c. Pada saat ansietas berat, damping pasien, bicara dengan tenang dan berikan
ketenangan serta rasa nyaman.
d. Berikan obat untuk menurunkan ansietas, jika perlu.

2. Gangguan menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis ditandai dengan


pembesaran tiroid.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pasien akan
menoleransi ingesti makanan tanpa tersedak atau aspirasi.
Kriteria Hasil :
o Pencegahan aspirasi: tindakan pribadi untuk mencegah pengeluaran cairan
dan partikel padat ke dalam paru.
o Status menelan: penyaluran cairan/partikel padat dari mulut ke lambung.
Intervensi
a. Pantau tingkat kesadaran, refleks batuk, refleks muntah dan
kemampuan menelan.
b. Posisikan pasien tegak lurus 90 atau setegak mungkin.
c. Ajarkan pasien untuk menggapai partikel makanan di bibir atau di pipi
menggunakan lidah.
d. Konsultasikan dengan ahli gizi tentang makanan yang mudah ditelan.

2. POST TIROIDEKTOMI
a. Pengkajian
Pengkajian pada pasien bedah saat kembali ke unit terdiri atas :
1. Respirasi : Kepatenan jalan napas, Kedalaman, Frekuensi, Bunyi napas
2. Sirkulasi :
o Tanda-tanda vital : T/D, suhu, nadi
o kondisi kulit : dingin, basah
o sianotis
3. Neurologi : tingkat respons, neurosensori, fungsi bicara, kualitas dan tonasi
4. Drainase
o Mengantisipasi perdarahan: Perhatikan cairan drainase yang keluar khususnya
24 jam pertama pasca operasi.
o Inspeksi balutan luka
1. Kenyamanan
Tipe nyeri dan lokasi
Mual dan muntah
Perubahan posisi yang dibutuhkan
2. Keselamatan : Kebutuhan akan pagar tempat tidur; Peralatan diperiksa untuk
fungsi yang baik

b. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan


1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas
ditandai dengan perubahan frekuensi napas dan perubahan irama napas.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pasien akan
mempunyai irama dan frekuensi pernapasan dalam rentang normal.
Kriteria Hasil :
Menunjukkan pembersihan jalan napas yang efektif, yang dibuktikan oleh
pencegahan aspirasi; status pernapasan; kepatenan jalan napas; dan status
pernapasan : ventilasi tidak terganggu.
Intervensi :
a. Kaji frekuensi pernapasan, kedalaman, dan upaya pernapasan.
b. Auskultasi bagian dada anterior dan posterior untuk mengetahui penurunan
atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan.
c. Ajarkan pasien untuk membebat/mengganjal luka insisi pada saat batuk.
Rasional: Langkah ini dilakukan untuk menghindari gerakan yang bisa
menyebabkan luka insisi berdarah.
d. Rundingkan dengan ahli terapi pernapasan, jika perlu.

3. Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera (edema pasca operasi)


ditandai dengan indikasi nyeri yang dapat diamati; melaporkan nyeri secara verbal.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan tingkat nyeri paada 3 atau kurang (dengan skala 0-10) dan
memperlihatkan teknik relaksasi secara individual yang efektif untuk mencapai
keamanan.
Kriteria hasil :
o Pengendalian Nyeri : Tindakan individu untuk mengendalikan nyeri.
o Tingkat Nyeri : Keparahan nyeri yang dapat diamati atau dilaporkan.
Intervensi :
a. Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi, karakteristik,
awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan
factor presipitasinya.
b. Lakukan perubahan posisi, masase punggung, dan relaksasi.
c. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya, teknik relaksasi
seperti imajinasi, musik yang lembut, relaksasi progresif).
d. Kelola nyeri pascabedah awal dengan pemberian opiate yang terjadwal
(misalnya, setiap 4 jam selama 36 jam).

3. infeksi ditandai dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat:


kerusakan integritas kulit (adanya tindakan tiroidektomi).
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...x24 jam diharapkan pasien dan
keluarga akan terbebas dari tanda dan gejala infeksi.
Kriteria hasil :
o Penyembuhan Luka: Primer : Tingkat regenerasi sel dan jaringan setelah
penutupan luka secara sengaja.
o Keparahan Infeksi : Tingkat keparahan infeksi dan gejala terkait.
Intervensi
a. Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,
penampilan luka, sekresi, penampilan urine, suhu kulit, lesi kulit, keletihan, dan
malaise).
b. Kaji factor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi.
c. Instruksikan untuk menjaga hygiene personal untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi.
d. Berikan terapi antibiotik, bila diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA

Gardjito, Widjoseno et al (editor). 1997. Sistem Endokrin, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Hal.

925-945. Penerbit EGC. Jakarta

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, volume 2, Jakarta: EGC

Hartini. 1987. Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, Jakarta: FKUI Syaifudin. 2002.

Widya Medika Guyton, C. Arthur, (1991), Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit,

Missisipi; Departemen of Physiology and Biophysis, Jakarta: EGC

Junadi, Purnawan, (2000), Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke III, Jakarta: FKUI

Long, Barbara C, (1996), Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta: EGC

Price, Sylvia A, (1998). Patofisiologi, jilid 2, Jakarta: EGC Tucker

Susan Martin(1998), Standar Perawatan Pasien, Jakarta: EGC

Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai