Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan kebudayaan masyarakat, membawa banyak perubahan dalam
segala segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu baik
yang sifatnya positif ataupun yang negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik,
mental, dan sosial. Manusia selalu berusaha untuk mempertahankan keseimbangan
agar selalu sehat baik fisik, mental ataupun sosial. Manusia sebagai makluk biologi-
psikologi-sosial-kultural mempunyai sejumlah kebutuhan dasar yang harus dipenuhi
dan apabila mengalami kegagalan dalam mendapatkan keutuhan tersebut, maka
akan terjadi ketidakseimbangan (Stuart and Sunnden,1991).
Seseorang akan beradaptasi terhadap ketidakseimbangan melalui mekanisme
penanganan yang dipelajari pada masa lampau. Apabila seseorang berhasil
beradaptasi dimasa lampau, berarti ia telah mempelajari efektifitas mekanisme
penangganan yang sangat berguna bagi dirinya pada saat ini dan dimasa yang akan
datang dan sebaliknya, jika adaptasi dimasa lampau tak berhasil, maka ia tak punya
mekanisme penanganan yang adekuat untuk beradaptasi terhadap kesulitan yang
lebih komplek dimasa mendatang dan bisa menyebabkan terjadinya keadaan yang
mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan jiwa atau dengan kata lain adalah
gangguan jiwa.
Salah satu tanda dan gejala gangguan jiwa adalah ungkapan marah yang mal
adaptif yang dilakukan seseorang karena gagal dalam beradaptasi dan tak punya
mekanisme penanganan yang adekuat. Ungkapan marah yang mal adaptif, salah
satunya adalah agresif, yang akan membahayakan karena dapat timbul dorongan
untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan masih terkontrol.
Marah agresif adalah suatu prilaku yang menyertai rasa marah dan
merupakan dorongan untuk bertindak baik secara kontruktif maupun destruktif dan
masih terkontrol. Pasien dengan marah agresif akan bersifat menentang, suka
membantah, bersikap kasar, kecenderungan menuntut secara terus-menerus,
bertingkah laku kasar disertai kekerasan (Stuart and Sunden,1991).
Perilaku kekerasan seperti memukul anggota keluarga / orang lain, merusak
alat rumah tangga dan marah-marah merupakan alasan utama yang paling banyak
dikemukakan oleh keluarga. Seluruh asuhan keperawatan ini dapat dituangkan
menjadi pendekatan proses keperawatan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum ?
2. Bagaimana konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT tahun
2004 ?
3. Siapa saja yang berada dilingkup rumah tangga ?

1
4. Bagaimana karakteristik Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
5. Apa jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut UU KDRT tahun 2004 ?
6. Apa tujuan penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut UU KDRT
tahun 2004 ?
7. Apa faktor resiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
8. Bagaimana penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
9. Apa saja kendala penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
10. Apa hak-hak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
11. Apa kewajiban pemerintah pada penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
12. Bagaimana peran perawat dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?
13. Bagaimana Asuhan Keperawatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui & memahami tentang konsep dasar Kekerasan
Dalam Rumah Tangga dan asuhan keperawatannya.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara umum.
b. Menjelaskan konsep Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut UU KDRT
tahun 2004.
c. Mengetahui siapa saja yang berada dilingkup rumah tangga.
d. Mengetahui karakteristik Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
e. Memahami jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut UU KDRT
tahun 2004.
f. Mengetahui tujuan penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut
UU KDRT tahun 2004.
g. Mengetahui faktor resiko Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
h. Memahami penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
i. Mengetahui kendala penanganan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
j. Mengetahui hak-hak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
k. Mengetahui kewajiban pemerintah pada penanganan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.
l. Memahami peran perawat dalam Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
m. Memahami Asuhan Keperawatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. KONSEP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA SECARA UMUM

Perilaku kekerasan dalam keluarga adalah suatu keadaan dimana seseorang


melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap perempuan
maupun anak. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kesal atau marah
yang tidak konstruktif(Stuart dan Sundeen, 1995).

Dalam suatu keluarga, konflik atau perbedaan pendapat merupakan hal yang biasa
terjadi. Jika ditilik lebih jauh, terjadinya konflik dalam hubungan antar manusia merupakan
hal yang tidak bisa dihindari. Sehingga konflik juga dapat dikatakan sebagai bentuk interaksi
sosial dengan hadil yang positif. Hal ini bisa menjadi sarana evaluasi bagi masing-masing
individu untuk memperbaiki sesuatu yaang masih kurang. Fokus dari kerangka konflik
tersebut bukan pada perbedaannya tetapi bagaimana cara mengatasi atau beradaptasi
terhadap perbedaan tersebut. Tetapi konflik bisa menjadi sesuatu yang tidak biasa lagi jika
dalam ketegangan tersebut masing-masing individu tidak dapat menahan diri dan akhirnya
terjadi kekerasan.

Keluarga merupakan kumpulan dua orang atau lebih yang saling berinteraksi satu
dengan yang lain. Konflik antara dua orang atau lebih (intersender role conflict)
kemungkinan lebih sering terjadi didalam keluarga baik diantara pasangan, orang tua
dengan anak, maupun dengan anggota keluarga yang lain. Tidak jarang pula terdengar
konflik yang berujung pada terjadinya kekerasan didalam lingkup rumah tangga.

Pada konsultasi global tahun 1993, pengertian kekerasan mulai dibahas di WHO.
Menurut WHO(1999), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan,
ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang
(masyarakat) yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar atau
trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak.
Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan
atau penyiksaan secara fisik, psikis(emosi), seksual dan kurang perhatian.

Dalam kaitan ini, pada tahun 1998, Centre of Disease Control (CDC) Atlanta dan
Komite Nasional Pencegahan Trauma Amerika Serikat menggunakan istilah kekerasan oleh
mitra dekat (intimate partner violence) yang mencakup kekerasan dalam rumah tangga.
Menurut lembaga ini, kekerasan oleh mitra dekat adalah ancaman atau penggunaan
kekerasan terhadap mitra dekat yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
kematian, trauma dan hal hal yang berbahaya. Tindakan yang dilakukan mencakup fisik,
psikologis (emosional) dan seksual yang dilakukan dalam hubungan kemitraan itu.

3
Yang dimaksud dengan mitra adalah suami atau istri, pacar, mantan istri dan mantan
pacar. Dari definisi ini dapat dikumpulkan data tentang kekerasan yang diperoleh dari survei
rutin seperti survei kriminalitas, laporan dari fasilitas kesehatan (rumah sakit dan
puskesmas) serta lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Jadi, dapat disimpulkan secara singkat bahwa tindakan kekerasan adalah suatu
keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik, baik
kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh gelisah atau amuk dimana
seseorang marah berespon terhadap suatu stressor dengan gerakan motorik yang tidak
dapat dikontrol.
Rentang Respon Marah

Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

- Asertif : Mampu menyatakan rasa marah tanpa menyakiti orang lain danmerasa
lega.
- Frustasi : Merasa gagal mencapai tujuan disebabkan karena tujuan yang
tidakrealistis.
- Pasif : Diam saja karena merasa tidak mampu mengungkapkan perasaanyang
sedang dialami.
- Agresif : Tindakan destruktif terhadap lingkungan yang masih terkontrol.
- Amuk : Tindakan destruktif dan bermusuhan yang kuat dan tidak terkontrol.

B. KONSEP KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU KDRT TAHUN 2004

Di Indonesia, pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat dengan
Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga Tahun 2004. Menurut undang-undang
ini, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancamanuntuk
melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan dalam rumah tangga juga diistilahkan dengan kekerasan domestik. Dengan
pengertian domestik ini diharapkan memang konotasinya tidak hanya terjadi dalam
hubungan suami-istri saja, tetapi jugapada setiap pihak yang ada didalam keluarga tersebut
(masih memiliki hubungan darah) atau bahkan pada seorang pekerja rumah tangga selaku
pihak yang turut dilindungi. Selama ini, sering kali terdengar informsi baik dikoran, televisi
maupun radio bahwa pembantu sering menjadi korban KDRT biasan dari suatu keluarga.

4
C. LINGKUP RUMAH TANGGA
Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1):
1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri)
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan) dsb
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut (Pekerja Rumah Tangga)

D. KARAKTERISTIK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KELUARGA)


1. Isolasi Sosial
Anggota keluarga merahasiakan kekerasan dan sering kali tidak mengundang orang
lain datang kerumah mereka atau tidak mengatakan kepada orang lain apa yang terjadi.
Anak dan wanita yang mengalami penganiayaan sering kali diancam oleh penganiaya
bahwa mereka akan lebih disakiti jika mengungkapkan rahasia tersebut.
Anak-anak mungkin diancam bahwa ibu, saudara kandung atau hewan peliharaan
mereka kan dibunuh jika orang diluar keluarga mengetahui penganiayaan tersebut.
Mereka ditakuti agar mereka menyimpan rahasia atau mencegah orang lain mencampuri
urusan keluarga yang pribadi.

2. Kekuasaan dan Kontrol


Anggota keluarga yang mengalami penganiayaan hampir selalu berada dalam posisi
berkuasa dan memilki kendali terhadap korban, baik korban adalah anak, pasangan, atau
lansia. Penganiaya bukan hanya menggunakan kekuatan fisik terhadap korban, tetapi
juga kontrol ekonomi dan sosial.
Penganiaya sering kali adalah satu-satunya anggota keluarga yang membuat
keputusan, mengeluarkan uang, atau diijinkan untuk meluangkan waktu diluar rumah
dengan orang lain.
Penganiaya melakukan penganiayaan emosional dengan meremehkan atau
menyalahkan korban dan sering mengancam korban. Setiap indikasi kemandirian atau
ketidakpatuhan anggota keluarga, baik yang nyata atau dibayangkan, biasanya
menyebabkan peningkatan prilaku kekerasan (singer at al, 1995).

3. Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan yang lain


Ada hubungan antara penyalahgunaan zat terutama alkohol dengan kekerasan dalam
keluarga. Hal ini tidak menunjukkan sebab dan akibat-alkohol tidak menyebabkan
individu menjadi penganiaya sebalik, penganiaya juga cenderung menggunakan alkohol
atau obat-obatan lain. 50-90% pria yang memukul pasangannya dalam rumah tangga
juga memiliki riwayat penyalahgunaan zat.

5
Jumah wanita yang mengalami penganiayaan dan mencari pelarian dengan
menggunakan alkohol mencapai 50 %. Akan tetapi, banyak peneliti yakin bahwa alkohol
dapat mengurangi inhibisi dan membuat perilaku kekerasan lebih intens atau sering
(denham, 1995).
Alkohol juga disebut sebagai faktor dalam kasus pemerkosaan terhadap pasangan
kencan atau pemerkosaan oleh orang yang dikenal. CDCs division of violence prevention
melaporkan bahwa studi mengidentifikasi penggunaan alkohol atau obat yang berlebihan
yang dikaitkan dengan penganiayaan seksual.

4. Proses transmisi antargenerasi


Berarti bahwa pola prilaku kekerasan diteruskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya melalui model peran dan pembelajaran sosial (humphreeys, 1997;tyra, 1996).
Transmisi antargenerasi menunjukkan bahwa kekerasan dalam keluarga merupakan
suatu pola yang dipelajari. Misalnya, anak-anak yang menyaksikan kekerasan dalam
keluarga akan belajar dari melihat orang tua mereka bahwa kekerasan ialah cara
menyelesaikan konflik dan bagian integral dalam suatu hubungan dekat. Akan tetapi
tidak semua orang menyaksikan kekerasan dalam keluarga menjadi penganiaya atau
pelaku kekerasan ketika dewasa sehingga faktor tunggal ini saja tidak menjelaskan
perilaku kekerasan yang terus ada.

E. JENIS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU KDRT TAHUN 2004


1. Kekerasan Fisik
Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, keadaan sakit atau luka berat pada fisik.
Memukul dengan menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi dengan
mudah dari hasil visum.
Kekerasan fisik meliputi perilaku seperti mendorong, menolak, menampar, merusak
barang atau benda-benda berharga,keras dan tajam, meninggalkan pasangan di tempat
yang berbahaya, menolak untuk memberikan bantuan saat pasangan sakit atau terluka,
menyerang dengan senjata, dan sebagainya. Berikut ini ada beberapa pembagian dari
kekerasan fisik itu sendiri :
a. Kekerasan Fisik Berat
Kekerasan ini berupa penganiayaan berat seperti menendang, memukul,
melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan
lain yang dapat mengakibatkan :
a) Cedera berat.
b) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari.
c) Pingsan.
d) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau
yang menimbulkan bahaya mati.
e) Kehilangan salah satu panca indera.
f) Mendapat cacat.

6
g) Menderita sakit lumpuh.
h) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih.
i) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.
j) Kematian korban.
b. Kekerasan Fisik Ringan.
Kekerasan ini berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan
lainnya yang mengakibatkan :
a) Cedera ringan.
b) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat.

2. Kekerasan Psikis/Psikologis/Emosional
Perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Kekerasan psikologis atau emosional meliputi semua tindakan yang berdampak pada
kesehatan mental dan kesejahteraan pasangan, seperti: menghina, kritik yang terus
menerus, pelecehan, menyalahkan korban atas segala sesuatunya, terlalu cemburu atau
posesif, mengucilkan dari keluarga dan teman-teman, intimidasi dan penghinaan.
Kekerasan Psikis terbagi 2 secara umum meliputi :
a. Kekerasan Psikis Berat.
Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, perendahan
dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial, tindakan dan
atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik, yang
masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu
atau beberapa hal berikut :
1) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau kesemuanya
berat dan atau menahun.
2) Gangguan stress pasca trauma.
3) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi
medis.
4) Depresi berat atau destruksi diri.
5) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia
dan atau bentuk psikotik lainnya.
6) Bunuh diri.
b. Kekerasan Psikis Ringan.
Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan,
perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial,
tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan
fisik yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa
salah satu atau beberapa hal di bawah ini :

7
1) Ketakutan dan perasaan terteror.
2) Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak.
3) Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual.
4) Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa
indikasi medis)
5) Fobia.

3. Kekerasan Ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawata, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Kekerasan ekonomi termasuk pasal 9 yang meliputi berbagai tindakan yang
dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti:
melarang pasangan mereka untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan pekerjaan,
membuat pasangan mereka harus meminta uang untuk setiap pengeluaran, membatasi
akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan keuangan
keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan. Kekerasan ekonomi terbagi 2 secara
umum, meliputi :
a. Kekerasan Ekonomi Berat.
Tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa :
1) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
2) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
3) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan
atau memanipulasi harta benda korban.
b. Kekerasan Ekonomi Ringan.
Kekerasan ini berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban
tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan
dasarnya.
1) Gabungan dari berbagai kekerasan sebagaimana disebutkan di atas baik fisik,
psikologis, maupun ekonomis.
2) Faktor-faktor yang mendorong terjadinya tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

4. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh pelaku
seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban dipaksa untuk
melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan
seksual yang tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa pelindung serta untuk
tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.Dalam KUHP disebut delik kesusilaan namun
di KUHP tidak dikenal kekerasan seksual terhadap istri.

8
Kekerasan seksual terbagi atas 2 secara umum, meliputi :

a. Kekerasan Seksual Berat, berupa :


1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual,
mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa
muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban
tidak menghendaki.
3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan.
4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau
tujuan tertentu.
5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
b. Kekerasan Seksual Ringan. Kekerasan ini berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, ejekan dan julukan dan atau secara non
verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan
atau menghina korban.

Undang-undang KDRT mengenal kekerasan seksual terhadap istri (marital rape). Hal
ini akan terlihat janggal karena kerangka yang dipakai adalah perkainan sebagai satu
bentuk yang melegitimasi apapun bentuk interaksi antara suami dan istri. Sebagai
contoh, anggapan yang menyatakan bahwa dalam suatu hubungan suami istri tidak ada
perkosaan, karena seorang istri hukumnya wajib untuk melayani suami, jika tidak ada
yang namanya kekerasan ataupun paksaan. Hal itulah yang sebenarnya menarik untuk
kemudian dilihat kembali karena ternyata menimbulkan banyak perbedaan.
Pembuktian dalam UU KDRT tidak hanya (mau) melihat pembuktian dalam Kitab
Undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu, UU KDRT tidak hanya mengatur hukum
materilnya saja, tetapi juga mengatur hukum acaranya kecuali jika ada hal-hal tertentu
yang tidak diatur dalam UU KDRT maka akan menggunakan KUHAP.
UU KDRT memungkinkan satu alat bukti (keterangan saksi atau alat buti lainnya)
sebagai pembuktian yang dirasa cukup. Namun, hal ini perlu didiskusikan lebih lanjut
karena masih mengundang perdebatan, terutama dari pihak aparat penegak hukum.
Untuk itu, perlu segera dicari jalan keluar terhadap masalah pembuktian inti ditengah
keterbatasan alat bukti dengan tidak menghilangkan kaidah-kaidah hukum yang ada
(V.Reyna,2007).

9
Untuk kasus kekerasan terhadap perempuan, misalnya kasus perkosaan, maka
penanganannya harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat perkosaan merupakan
kasus yang sensitif. Sebelum melaporkan kasus perkosaan yang terjadi dalam rumah
tangga, maka terlebih dahulu harus ada pembicaraan dengan korban yang bersangkutan.
Artinya, harus ada proses konseling terlebih dahulu terutama jika perkosaan tersebut
telah berlangsung selama bertahun tahun yang tentunya akan berdampak secara
psikologis kepada korban.
Setelah perkosaan tersebut dilakporkan ke polisi, tentu akan ada yang namanya
beban pembuktian. Polisi akan mengajukan surat untuk visum agar korban diperiksa
dirumah sakit untuk mengetahui apakah dengan perlakuan yang sudah dialami korban
telah mengakibatkan kerusakan vagina korban. Dalam kasus-kasus kekerasan seksual,
yang dilihat tidak hanya kerusakan dari alat vital korban saja, tapi juga dampak traumatis
yang ditimbulkan terhadap korban. Hal inilah yang menjadikan tantangan tersendiri bagi
perawat keluarga untuk berperan sebagai advokat, konselot dan pendamping bagi
korban.
Selain itu,perlu juga dipikirkan keselamatan korban (terutama jika korban tinggal
satu rumah dengan pelaku). Mungkin perlu disediakan rumah aman (shelter) kepada
korban KDRT sehingga memungkinkan si korban atau saksi untuk sementara waktu
tinggal disitu sambil melakukan konseling terus menerus. Pendirian rumah aman ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa ketika kasus tersebut dilaporkan dan kemudian
ditindaklanjuti sampai diputus oleh pengadilan bagi korban umumnya akan tetap
meninggalkan persoalan-persoalan yang menyangkut psikis yang harus diselesaikan.
Selain rumah aman yang didirikan, seorang perawat juga perlu membuka unit untuk
kelompok dan anak korban kekerasan berupa Ruang Pelayanan Khusus(RPK) yang berada
di tingkatan kepolisian daerah (Polda).

F. TUJUAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA MENURUT UU KDRT TAHUN


2004
1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga.
2. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
3. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
4. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

G. FAKTOR RESIKO TERJADINYA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Pada langkah ini, dikumpulkan data dan fakta mengapa hal itu lebih mudah terjadi pada
orang tertentu (sebagai korban dan pelaku) dibandingkan orang lain, faktor apa yang
meningkatkan kejadian dan faktor apa yang menurunkan kejadian.

10
Beberapa faktor pencetus terjadinya kekerasan adalah sebagai berikut.
1. Faktor Masyarakat
a. Kemiskinan.
b. Urbanisasi yang terjadi disertai kesenjangan pendapatan diantara penduduk kota.
1) Masyarakat keluarga yang ketergantungan obat.
2) Lingkungan dengan frekuensi atau tingkat kekerasan dan kriminalitas yang
tinggi.
2. Faktor Keluarga
a. Adanya anggota keluarga yang sakit dan membutuhkan bantuan terus menerus,
misalnya anak dengan kelainan mentan dan orang lanjut usia (lansia).
b. Kehidupan keluarga yang kacau, tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak
menghargai peran wanita.
c. Kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga.
d. Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas.
3. Faktor individu
Di Amerika Serikat, mereka yang mempunyai resiko lebih besar mengalami kekerasan
dalam rumah tangga ialah sebagai berikut.
a. Wanita yang lajang, bercerai atau ingin bercerai.
b. Berumur 17-28 tahun.
c. Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat tersebut.
d. Sedang hamil.
e. Mempunyai partner dengan sifat kecemburuan yang tinggi.

H. PENANGANAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Dalam kaitan kekerasan dalam rumah tangga, selama ini yang banyak dilakukan di
Indonesia adalah upaya pendampingan korban. Hal ini dilakukan oleh organisasi non-
pemerintah seperti Kalyanamitra, Rumah Ibu, Rifka Anisa dll. Kegiatan tersebut terutama
pada pendampingan korban kekerasan yang dari segi kesehatan masyarakat termasuk
pencegahan sekunder khususnya pada pencegahan pada pencegahan cacat. Kegiatan
lainnya yang dapat dilakukan secara singkat dapat dilihat pada Gambar 8-1 (Stark dan
Flitcraft, 1998;WHO,1997;Surjadi dan Handayani,1999).

11
Gambar 8-1 Lima tingkat pencegahan masalah kekerasan dala rumah tangga.

Kegiatan yang dilakukan dapat di bedakan atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

Pencegahan primer, terdiri atas promosi kesehatan dan pencegahan khusus.


Pencegahan sekunder, terdiri atas diagnosis dini, pengobatan segera dan pembatasan
cacat.
Pencegahan tersier, merupakan kegiatan rehabilitasi terhadap korban, anak dan pelaku.

I. KENDALA PENANGANAN KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


1. Kendala yang berhubungan dengan budaya atau tradisi yang meliputi :
a. Tradisi pemingitan (seclusion)
b. Tradisi pengucilan dalam bidang tertentu (exclusion)
c. Feminisme wanita (rendah hati-modest, taat-submissive)
2. Korban kurang paham bahwa perbuatan pelaku merupakan tindakan pidana.
3. Tenggang waktu antara kejadian dengan saat pelaporan korban ke polisi cukup lama,
sehingga bekas lupa atau hasil visum et repertum tidak dapat mendukung.

12
4. Korban merasa pelaku adalah tulang punggung keluarga, sehingga apabila dilaporkan
maka tidak akan ada yang membiayai diri dan anak-anaknya.

J. HAK-HAK KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


1. Mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
advokat dan lemaga sosial.
2. Mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya.
3. Mendapatkan penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan dan privasi
korban.
4. Mendapatkan pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum.
5. Mendapatkan pelayanan bimbingan rohani.

K. KEWAJIBAN PEMERINTAH PADA PENANGANAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


1. Merumuskan kebijakan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
2. Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga.
3. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga.
4. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam
rumah tangga serta menetapkan standar akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

L. PERAN PERAWAT PADA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


Berdasarkan berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia, patut diakui seorang
perawat baik dalam praktik perorangan yang dilaksanakannya maupun sebagai perawat
yang bekerja dipusat kesehatan masyarakat mempunyai kesempatan dan dituntut untuk
memberikan pelayanan yang berkualitas bagi kliennya.
Seorang perawat diharapkan mampu menerapkan pendekatan keperawatan dengan
melakukan tindakan pencegahan dan kesehatan masyarakat pada praktik yang dilakukannya
terhadap klien dan keluarganya. Untuk itu, perilaku perawat sebagai perawat yang
bertanggung jawab dengan mendampingi keluarga agar menjadi keluarga yang sehat
merpuakan salah satu upaya yang dapat dipandang ikut memberikan kontribusi pada upaya
mencapai kesehatan bagi keluarga dan masyarakat.
Perawat puskesmas yang jumlahna cukup besar didaerah perkotaan dapat memberikan
bantuan yang bermakna bagi kesehatan keluarga dan masyarakat yang dilayaninya dan lebih
jauh lagi dapat diharapkan iut mengatasi masalah kesehatan perkotaan ditingkat keluarga
dan perorangan.
Selain itu, bagi perawat puskesmas prinsip pencegahan dan upaya perumusan masalah,
identifikasi faktor resiko dan protektif, serta melakukan intervensi dan perluasan intervensi
merupakan siklus kegiatan yang mencakup dan mengisis program kesehatan masyarakat
yang dikelolanya.

13
Secara umum, peran perawat dalam kasus KDRT di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurkan segera
lakukan pemeriksaan visum)
2. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman serta motivasi bagi
korban.
3. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisisan dan penetapan perintah perlindungan diri dari pengadilan.
4. Mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal aternatif (ruang
pelayanan khusus)
5. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisisan, dinas sosial, serta lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
6. Sosialisasi Undang-Undangn KDRT kepada keluarga dan masyarakat.

14
ASUHAN KEPERAWATAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A. Pengkajian
Pengkajian adalah sekumpulan tindakan yang digunakan oleh perawat untuk
mengukur keadaan klien (keluarga) dengan menangani norma-norma kesehatan keluarga
maupun sosial, yang merupakan system terintegrasi dan kesanggupan keluarga untuk
mengatasinya. (Effendy, 1998)

Pengumpulan data dalam pengkajian dilakukan dengan wawancara, observasi, dan


pemeriksaan fisik dan studi dokumentasi. Pengkajian asuhan keperawatan keluarga
menurut teori/model Family Centre Nursing Friedman (1988), meliputi 7 komponen
pengkajian yaitu :

a. Data Umum

1) Identitas kepala keluarga

2) Komposisi anggota keluarga

3) Genogram

4) Tipe keluarga

5) Suku bangsa

6) Agama

7) Status sosial ekonomi keluarga

b. Aktifitas rekreasi keluarga

1) Riwayat dan tahap perkembangan keluarga

2) Tahap perkembangan keluarga saat ini

3) Tahap perkembangan keluarga yang belum terpenuhi

4) Riwayat keluarga inti

5) Riwayat keluarga sebelumnya

c. Lingkungan

1) Karakteristik rumah

2) Karakteristik tetangga dan komunitas tempat tinggal

3) Mobilitas geografis keluarga

4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat

5) System pendukung keluarga

15
d. Struktur keluarga

1) Pola komunikasi keluarga

2) Struktur kekuatan keluarga

3) Struktur peran (formal dan informal)

4) Nilai dan norma keluarga

e. Fungsi keluarga

1) Fungsi afektif

2) Fungsi sosialisasi

3) Fungsi perawatan kesehatan

f. Stress dan koping keluarga

1) Stressor jangka panjang dan stressor jangka pendek serta kekuatan keluarga

2) Respon keluarga terhadap stress

3) Strategi koping yang digunakan

4) Strategi adaptasi yang disfungsional

g. Pemeriksaan fisik

1) Tanggal pemeriksaan fisik dilakukan

2) Pemeriksaan kesehatan dilakukan pada seluruh anggota keluarga

3) Aspek pemeriksaan fisik mulai dari vital sign, rambut, kepala, mata, mulut, THT,
leher, thoraks, abdomen, ekstremitas atas dan bawah, system genetalia

4) Kesimpulan dari hasil pemeriksaan fisik

h. Harapan keluarga

1) Terhadap masalah kesehatan keluarga

2) Terhadap petugas kesehatan yang ada

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. koping keluarga tidak efektif b/d Ketidakmaampuan keluarga dalam mengatasi masalah

16
C. INTERVENSI

1. koping keluarga tidak efektif b/d Ketidakmaampuan keluarga dalam mengatasi masalah
Setelah dilakukan tindakan keperawatan di harapkan koping keluarga menjadi efektik
dengan criteria hasil:
Individu akan mencari bantuan untuk mengatasi perilaku aniaya yang terjadi.
Intervensi :
a. Bina hubungan yang akrab
Lakukan wawancara secara terpisah,tunjukkan sikap empati.
Jangan beranggapan bahwa anda tahu apa yang dibutuhkan klien
Tanyakan, apa yang dapat saya bantu ?
Hindari menunjukkkan kekagetan atas penjelasan klien
b. Evaluasi kemungkinan bahaya bagi korban dan orang lain
Kaji penganiayaan fisik yang sesungguhnya terjadi
Kaji system pendukung
Kaji penggunaan alcohol
c. Kaji faktor yang menghalangi korban mencari bantuan
Keyakinan pribadi
Kurangnya pengetahuan
Kurang nya kemandirian dalam keuangan
d. Dorong klien membuat keputusan
e. Kaji faktor resiko yang terkait dengan tindakan pembunuhan dan perilaku bunuh
diri
f. Berikan informasi rujukan
g. Dokumentasikan temuan yang didapat dan bicarakan tentang kemungkinan
penggunaan jasa pengadilan dimasa datang
h. Lakukan penyuluhan kesehatan jika diindikasikan

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Tindakan kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan fisik, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Jadi kekerasan
dalam rumah tangga dapat terbagi 4, meliputi :Kekerasan Fisik merupakan perbuatan yang
mengakibatkan rasa sakit, keadaan sakit atau luka berat pada fisik. Memukul dengan
menggunakan alat tubuh atau alat bantu dan bisa dideteksi dengan mudah dari hasil visum,
Kekerasan Psikis/Psikologis/Emosional merupakan perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak
berdaya dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, Kekerasan Ekonomi merupakan
setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal
menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib
memberikan kehidupan, perawata, atau pemeliharaan kepada orang tersebut serta
Kekerasan Seksual yakni kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh pelaku seringkali
diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang
tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa pelindung serta untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.

Faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga meliputi
:Faktor Masyarakat, Faktor Keluarga dan Faktor individu. Adapun peran perawat pada
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yakni :

1. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesi (anjurkan segera lakukan
pemeriksaan visum)
2. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberi rasa aman serta motivasi bagi
korban.
3. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan perlindungan
dari kepolisisan dan penetapan perintah perlindungan diri dari pengadilan.
4. Mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal aternatif (ruang pelayanan
khusus)
5. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban
dengan pihak kepolisisan, dinas sosial, serta lembaga sosial yang dibutuhkan korban.
6. Sosialisasi Undang-Undangn KDRT kepada keluarga dan masyarakat

18
DAFTAR PUSTAKA

Friedman. 1998. Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC.

http://books.google.co.id/books?id=LKpz4vwQyT8C&pg=PT237&dq=asuhan+keperawatan+
KDRT&hl=id&sa=X&ei=t0mwUfXhMoK4rgeq94HQCw&ved=0CDIQ6AEwAQDiakses
tanggal 6 Juni 2013, 15:45 WIB.

http://www.scribd.com/doc/137144528/Askep-KdrtDiakses tanggal 6 Juni 2013, 15:00 WIB.

Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi I, Jakarta : EGC, 1999

Lynda Jual Carpenito.2009.Asuhan Keperawatan Teori Dan Aplikasi.Jakarta.EGC.

Makhfudli, Fendi. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Reyna, V. 2007. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. http://www.fh.ui.ac.id,diakses tanggal


15 juni 2008.

Stuart GW, Sundeen, Principles and Practice of Psykiatric Nursing (5 th ed.). St.Louis Mosby
Year Book, 1995

Stuart, Gail Wiscarz. 1998. Buku Saku Kperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah


Tangga.

19

Anda mungkin juga menyukai