Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Status epileptikus (SE) merupakan masalah kesehatan umum yang diakui
meningkat akhir-akhir ini dan merupakan kasus kegawatan tersering di bidang
neurologi anak. Secara definisi, SE adalah bangkitan epilepsi yang berlangsung
terus menerus selama lebih dari tiga puluh menit tanpa diselingi oleh masa sadar.1
Status epileptikus dapat disebabkan oleh beberapa hal, tetapi penyebab
paling sering adalah penghentian konsumsi obat antikonvulsan secara tiba-tiba.
Sedangkan penyebab lainnya adalah kelainan pada jaringan otak. Kelainan ini
dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai
akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak,
cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum kelahiran), gangguan
metabolisme dan nutrisi, faktor-faktor toksik, ensefalitis, anoksia, gangguan
sirkulasi, dan neoplasma.2
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi
terus-menerus tanpa berhenti, dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat,
kesulitan bernapas dan muatan listrik di dalam otak menyebar luas. Apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani dengan segera, maka kemungkinan besar dapat
terjadi kerusakan jaringan otak permanen dan kematian.1
Di Indonesia, data mengenai status epileptikus masih belum jelas karena
SE juga berhubungan dengan epilepsi yang sampai saat ini masih belum ada
penelitian secara epidemiologi. Sedangkan data secara global sendiri
menunjukkan bahwa SE terjadi pada 10-41 kasus per 100.000 orang per tahun dan
paling sering terjadi pada anak-anak.2
Lebih dari 15% pasien dengan epilepsi memiliki setidaknya satu episode
SE. Risiko lainnya yang meningkatkan frekuensi terjadinya SE adalah usia muda,
genetik serta kelainan pada otak. Angka kematian pada penderita status
epileptikus pada dewasa sebesar 15%-20% dan 3%-15% pada anak-anak.
Kemudian, SE dapat menimbulkan komplikasi akut berupa hipertermia, edema
paru, aritmia jantung serta kolaps kardiovaskular. Sedangkan untuk komplikasi

1
jangka panjang dari SE yaitu epilepsi (20% - 40%), ensefalopati (6% -15%) dan
defisit neurologis fokal (9%-11%).3

1.2. Maksud dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan pembuatan referats ini:
1. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat memahami setiap
kasus status epileptikus secara menyeluruh.
2. Diharapkan adanya pola berpikir kritis setelah dilakukannya diskusi
referat status epileptikus ini dengan pembimbing klinik.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan
pemahaman yang didapat mengenai status epileptikus, terkait pada
kegiatan kepaniteraan.

1.3. Manfaat
1.3.1. Manfaat Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu tentang
kasus status epileptikus.

1.3.2. Manfaat Praktis


Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang
diberikan terutama dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan)
kepada pasien dan keluarganya tentang status epileptikus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut International League Againts Epilepsy (ILAE) hanya
menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama
periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara
kejang.1
Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA), status epileptikus
didefenisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang
tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang
berlangsung lebih dari 30 menit. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.1

2.2 Epidemiologi
Insidens SE pada anak diperkirakan sekitar 10 58 per 100.000 anak.
Status epileptikus lebih sering terjadi pada anak usia muda, terutama usia kurang
dari 1 tahun dengan estimasi insidens 1 per 1.000 bayi.

2.3 Etiologi1,4
Menurut DeLorenzo et al (2009) ditinjau dari penyebabnya, epilepsi
dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak
ditemukan kelainan pada jaringan otak. Diduga bahwa terdapat kelainan
atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area
jaringan otak yang abnormal.
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada
jaringan otak. Kelainan ini disebabkan karena dibawa sejak lahir atau
adanya jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir

3
atau pada masa perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera
selama/sebelum kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya
hipoglikemi, fenilketonuria, defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik
(putus alkohol, uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan
neoplasma.
DeLorenzo et al (2009) melaporkan bahwa pada pasien dibawah usia 16
tahun, penyebab paling umum adalah demam atau infeksi (36%). Pasien
dengan riwayat epilepsi sebelumnya mempunyai risiko lebih tinggi
terjadinya SE. Hal ini termasuk juga pasien yang cenderung mengalami
epilepsi berulang serta ketidakteraturan dalam meminum obat
antikonvulsan.

2.4 Perubahan Fisiologis 1,4,5,6


Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk
mencegah kejang. Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang
(Neurotransmiter eksitatori: glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi
kemampuan hambatan intrinsik (GABA) atau mekanisme hambatan intrinsik tidak
efektif.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi.
Pada fase ini terjadi:
Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
Hipertensi, hiperpireksia
Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat

2. Fase II (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi.


Pada fase ini terjadi:
Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
Depresi pernafasan
Disritmia jantung, hipotensi
Hipoglikemia, hiponatremia

4
Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

2.5 Manifestasi Klinis1,2,4,6


Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized
Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai,
hasil dari survei ditemukan kira-kira 44 sampai 74%, tetapi bentuk yang lain dapat
juga terjadi. Berikut manifestasi klinis status epileptikus:
a. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic
Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari status epileptikus yang paling sering
dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang
didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat
berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa
pemulihan kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang
melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus.

5
b. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada
periode kedua.

c. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)


Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik.

d. Status Epileptikus Mioklonik


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris serta diikuti dengan
tingkat kesadaran yang memburuk.

e. Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran
secara mendadak.

f. Status Epileptikus Non Konvulsif


Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status

6
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis.

g. Status Epileptikus Parsial Sederhana


a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu
jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki
pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi
dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran
tidak terganggu. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan
adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.

h. Status Epileptikus Parsial Kompleks


Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode.
Dapat terjadi otomatisme (gerak tidak disadari), gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan.

2.6 Diagnosis 2,4,7


Anamnesis
Perhatikan lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat
kesadaran diantara kejang, riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang
dalam keluarga, demam, riwayat persalinan, tumbuh kembang, penyakit
yang sedang diderita, riwayat epilepsi, dan gangguan metabolit.

7
Pemeriksaan fisik
o Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah
etiologi kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda
dehidrasi maupun tanda-tanda hipoksia.
o Pemeriksaan neurologi meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala,
ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik,
refleks fisiologis dan patologis.

Pemeriksaan Penunjang
a. Imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi
struktural di otak
b. EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat
mungkin jika pasien mengalami gangguan mental
c. Pungsi lumbal, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS
atau perdarahan subarachnoid.

2.7 Penatalaksanaan5,6,7
Tatalaksana pada status epileptikus adalah memanajemen jalan napas dan
pernapasan, stabilisasi hemodinamik, terminasi kejang dan penghentian kejang
berulang.
Status epileptikus pada anak merupakan suatu kegawatan yang
mengancam jiwa dengan resiko terjadinya gejala sisa neurologis. Makin lama
kejang berlangsung makin sulit menghentikannya, oleh karena itu tatalaksana
kejang umum yang lebih dari 5 menit adalah menghentikan kejang dan mencegah
terjadinya status epileptikus.

8
2.8 Prognosis6
Gejala sisa lebih sering terjadi pada SE simtomatis; 37% menderita defisit
neurologis permanen, 48% disabilitas intelektual. Sekitar 3-56% pasien yang
mengalami SE akan mengalami kembali kejang yang lama atau status epileptikus
yang terjadi dalam 2 tahun pertama. Faktor risiko SE berulang adalah; usia muda,
ensefalopati progresif, dan sindrom epilepsi. Angka kematian bayi dan anak
akibat SE saat ini cenderung mengalami penurunan, hal ini kemungkinan
disebabkan oleh penanganan yang lebih baik dan ketersediaan fasilitas ruang
intensif yang semakin memadai.

9
BAB III
KESIMPULAN

Status epileptikus adalah keadaan dimana terjadinya dua atau lebh rangkaian
kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas
kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Status epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang neurologi
anak yang harus segera ditangani karena dapat menyebabkan kerusakan saraf
dan otak yang dapat menyebabkan kematian.
Benzodiazepine telah menjadi terapi lini pertama untuk status epileptikus.
Meskipun pengobatan awal menggunakan benzodiazepine efektif pada
sejumlah besar pasien, banyak kasus kejang yang membutuhkan pengobatan
lanjutan.
Penanganan status epileptikus bukan hanya sebatas menghentikan kejang,
akan tetapi juga harus mengidentifikasikan penyakit yang mendasari, dimana
hal ini penting untuk menentukan prognosisnya.

10
DAFTAR PUSTAKA

1. Ismael, Sofyan dkk. 2016. Rrekomendasi Penatalaksanaan Status


Epileptikus. Edisi Pertama. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta.
2. Guyton, Artur C. 1987. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke 5. EGC. Jakarta : 148
168.
3. Hadi S. 2011. Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit
UNDIP Semarang : 55 63.
4. Pardede, Sudung O dkk. 2013. Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat
Darurat pada Anak. Edisi Pertama. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
FKUI-RSCM.
5. Lowenstein DH. 2001. Seizures and Epilepsy. Harrisons Principles of
Internal Medicine 15th Edition. McGraw-Hill
6. Kliegman. 2008. Treatment of Epilepsy. Textbook of Pediatrics.
Philadelphia. Suandres Elsevier.
7. Paul E. Mark, MD, FCCP. 2010. The Management of Status Epilepticus.
CHEST

11

Anda mungkin juga menyukai