Oleh:
1310070100004
Preseptor:
2017
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan case HIV Stadium
III + TB Paru Duplex + Gastroenteritis khronik . Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan case ini.
Terima kasih kepada dr. Lydia Dewi, Sp.PD selaku pembimbing kami dalam
menyelesaikan case ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
3
2.7. Penatalaksanaan ............................................................................30
BAB III. LAPORAN KASUS ..............................................................................31
BAB IV. DISKUSI KASUS .................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................46
4
DAFTAR GAMBAR
5
DAFTAR TABEL
Tabel 2. WHO clinical staging system for HIV infection and related disease in
Tabel 4. HAART ( Highly Active Antiretroviral Therapy ) golongan dan dosis ..10
Tabel 13. Etiologi diare kronik berdasarkan lokasi atau kelainan organ ..............25
Tabel 15. Gejala klinik karena defisiensi nutrien, vitamin dan elektrolit .............28
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
diagnosis dan pengobatan, sedangkan pakar dan pusat studi lain ada yang
mengusulkan lebih dari 2 minggu atau 3 minggu atau 1 bulan dan lain-
lain.5
Data divisi gastroenterologi FKUI/RSUPNCM
Jakarta menunjukkan prevalensi diare kronik sebesar 15% dari seluruh
pemeriksaan kolonoskopi selama 2 tahun (1995-1996). Diperkirakan pada
masyarakat Barat didapatkan prevalensi daire kronik 4 5%.5
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HIV
2.1.1 Definisi
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) dapat diartikan
sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.1
2.1.2 Epidemiologi
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah
merenggut lebih dari 25 juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada
tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan mencapai 33,3
juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif
, 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak.
Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah
kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-
anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang meninggal
karena AIDS.6
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh
mengesankan. Pada tahun 1990, jumlah odha baru berkisar pada angka
delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya sudah mencapai 33,2 juta
orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya disumbangkan
oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika.6
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang
ditemukan di Indonesia. Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari
kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus baru HIV/AIDS
semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui
narkotika suntik.7
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk
yang tercepat di Asia. Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi
pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalensi > 5%)
9
seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau,
Bali, Jabar dan Jawa Timur telah tergolong sebagai daerah dengan
tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of epidemic).
Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas
(generalized epidemic).8
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju
peningkatan kasus baru AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3
tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat dibanding jumlah
yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah
kumulatif kasus AIDS dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan
data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110 kasus.8
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada
Desember 2008, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah
perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada
heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan
adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun
hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS
tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 2029 tahun (50,82%),
disusul kelompok usia 3039 tahun.8
Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat
pertama jumlah kumulatif kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat
sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan 2.781 kasus,
kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-
masing jumlah kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382
kasus, dan 1.177 kasus AIDS.8
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk
hingga akhir Desember 2008 adalah sebesar 7,12 per 100.000
penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350 jiwa
10
berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan
meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang
dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542
kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata
1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus.8
2.1.3 Etiologi
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus
RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili Lentivirus.
(Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan
terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi
terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit dan
monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari
protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini
terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse
transcriptase enzyme).9
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2.
Epidemi HIV global terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe
HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang terakhir ini hanya
11
terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan
erat dengan Afrika Barat.9
2.1.4 Patogenesis
HIV menginfeksi sel dengan mengikat permukaan sel sasaran
yang memiliki reseptor membran CD4, yaitu sel T-helper (CD4+).
Glikoprotein envelope virus, yakni gp120 akan berikatan dengan
permukaan sel limfosit CD4+, sehingga gp41 dapat memperantarai
fusi membran virus ke membran sel. Setelah virus berfusi dengan
limfosit CD4+, RNA virus masuk ke bagian tengah sitoplasma CD4+.
Setelah nukleokapsid dilepas, terjadi transkripsi terbalik (reverse
transcription) dari satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan
(cDNA) untai-ganda virus. cDNA kemudian bermigrasi ke dalam
nukleus CD4+ dan berintegrasi dengan DNA dibantu enzim HIV
integrase. Integrasi dengan DNA sel penjamu menghasilkan suatu
provirus dan memicu transkripsi mRNA. mRNA virus kemudian
ditranslasikan menjadi protein struktural dan enzim virus. RNA genom
virus kemudian dibebaskan ke dalam sitoplasma dan bergabung
dengan protein inti. Tahap akhir adalah pemotongan dan penataan
protein virus menjadi segmen- segmen kecil oleh enzim HIV protease.
Fragmen-fragmen virus akan dibungkus oleh sebagian membran sel
yang terinfeksi. Virus yang baru terbentuk (virion) kemudian
dilepaskan dan menyerang sel-sel rentan seperti sel CD4+ lainnya,
monosit, makrofag, sel NK (natural killer), sel endotel, sel epitel, sel
dendritik (pada mukosa tubuh manusia), sel Langerhans (pada kulit),
sel mikroglia, dan berbagai jaringan tubuh.10
Sel limfosit CD4+ (T helper) berperan sebagai pengatur utama
respon imun, terutama melalui sekresi limfokin. Sel CD4+ juga
mengeluarkan faktor pertumbuhan sel B untuk menghasilkan antibodi
dan mengeluarkan faktor pertumbuhan sel T untuk meningkatkan
aktivitas sel T sitotoksik (CD8+). Sebagian zat kimia yang dihasilkan
sel CD4+ berfungsi sebagai kemotaksin dan peningkatan kerja
makrofag, monosit, dan sel Natural Killer (NK). Kerusakan sel T-
helper oleh HIV menyebabkan penurunan sekresi antibodi dan
gangguan pada sel-sel imun lainnya.11
Pada sistem imun yang sehat, jumlah limfosit CD4+ berkisar
dari 600 sampai 1200/ l darah. Segera setelah infeksi virus primer,
kadar limfosit CD4+ turun di bawah kadar normal untuk orang
tersebut. Jumlah sel kemudian meningkat tetapi kadarnya sedikit di
bawah normal. Seiring dengan waktu, terjadi penurunan kadar CD4+
secara perlahan, berkorelasi dengan perjalanan klinis penyakit. Gejala-
gejala imunosupresi tampak pada kadar CD4+ di bawah 300 sel/l.
12
Pasien dengan kadar CD4+ kurang dari 200/l mengalami
imunosupresi yang berat dan risiko tinggi terjangkit keganasan dan
infeksi oportunistik.10
2.1.6 Diagnosis
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap HIV. Pertama, tes ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) yang bereaksi terhadap antibodi dalam serum.
Apabila hasil ELISA positif, dikonfirmasi dengan tes kedua yang
lebih spesifik, yaitu Western blot. Bila hasilnya juga positif, dilakukan
tes ulang karena uji ini dapat memberikan hasil positif-palsu atau
negatif-palsu. Bila hasilnya tetap positif, pasien dikatakan seropositif
HIV. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan klinis dan imunologik lain
13
untuk mengevaluasi derajat penyakit dan dimulai usaha untuk
mengendalikan infeksi.10
WHO mengembangkan sebuah sistem staging (untuk
menentukan prognosis), berdasarkan dari kriteria klinis, sebagai
berikut.12
Tabel 2. WHO clinical staging system for HIV infection and
related disease in adult (15 years or older)12
Stadium 1 :
- Asimptomatik
- Limfadenopati menyeluruh
Performance scale 1 : asimtomatik, aktifitas normal
Stadium 2:
- Penurunan berat badan < 10% berat badan sebelumnya
- Manifestasi mukokutaneus minor (misal: ulserasi oral, infeksi
jamur di kuku)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Angular cheilitis
- Seboroik dermatitis
- Infeksi saluran napas atas rekuren (misal: sinusitis bakterial)
Dan/ atau Performance scale 2: simptomatik, aktivitas normal
Stadium 3:
- Penurunan berat badan > 10% dari berat badan sebelumnya
- Diare kronis tanpa sebab > 1 bulan
- Demam berkepanjangan tanpa sebab > 1 bulan
- Candidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- TB paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, pyomiositis)
Dan/atau Performance scale 3: bedrest < 50% dlm sehari 1 bulan
terakhir
Stadium 4:
- HIV wasting syndrome (penurunan bb > 10%, diare>1n bl atau
lemah lesu dan demam > 1 bln)
- Pneumonisitis carina pneumonia
- Toxoplasmosis otak
- Kriptosporidiosis dengan diare, lebih dari sebulan
- Kriptokokosis, ekstra paru
- TB ekstra paru
- Penyakit disebabkan oleh CMV
- Kandidiasis
- Mikobakteriosis atipikal
- Lymphoma
14
- Kaposi sarcoma
- HIV encephalopati
- Infeksi virus herpes lebih dari 1 bulan
- Leukoensefalopati multifokal yang progresif
- Infeksi jamur endemik yang menyebar
Dan/atau Performance scale 4 : bedrest >50% dlm sehari 1 bulan
terakhir
2.1.7 Penatalaksanaan
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dalam disembuhkan
secara total. Namun, data selama 8 tahun terakhir menunjukkan bukti
yang amat meyakinkan bahwa pengobatan dengan kombinasi beberapa
obat anti HIV (obat anti retroviral, disingkat ARV) bermanfaat
menurunkan morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. Orang
dengan HIV/AIDS menjadi lebih sehat, dapat bekerja normal dan
produktif. Manfaat ARV dicapai melalui pulihnya sistem kekebalan
akibat HIV dan pulihnya kerentanan odha terhadap infeksi
1
opportunistik.
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis,
1
yaitu :
a. Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan oat
antiretroviral (ARV)
b. Penngobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan
kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur,
tuberkulosis, hepatitis, toksoplasma, sarkoma kaposi,
limfoma, kanker serviks.
c. Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai
gizi yang lebih baik dan pengobatan pendukung lain seperti
dukungan psikososial dan dukungan agama serta juga tidur
yang cukup dan perlu menjaga kebersihan
15
Dengan pengobatan lengkap tersebut, angka kematian dapat
ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik
amat berkurang.1
16
(LPV/r)
17
Jumlah CD4 200
3
350/mm , pertimbangkan
terapi sebelum CD4
3
<200/mm .
Pada kehamilan atau TB:
Mulai terapi ARV pada Terapi ARV dimulai
3 semua ibu hamil tanpa memandang jumlah
dengan CD4 350 limfosit total
Mulai terapi ARV pada
semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB
paru atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa
4
memandang jumlah CD4
18
Tabel 6. Terapi ARV
19
2.2 TUBERKULOSIS PARU
2.2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex2. Tuberkulosis paru adalah
penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu
pneumonia yang disebabkan oleh M.tuberculosis.13
2.2.2 Etiologi
TB Paru diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis
complex. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan oleh
Robert Koch pada tahun 1882.10 Mycobacterium tuberculosis adalah
kuman penyebab TB yang berbentuk batang ramping lurus atau sedikit
bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya yang kering
dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh
secara lambat walaupun dalam kondisi optimal. Diketahui bahwa pH
optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8-8,0. Untuk
memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya
pada pH 6,8.15
M. tuberculosis tipe humanus dan bovines adalah
mikobakterium yang paling banyak menimbulkan penyakit TB pada
manusia. Basil tersebut berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati
pada air mendidih (5 menit pada suhu 80 C dan 20 menit pada suhu
20
60C), dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet (sinar
matahari). Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu
kamar dan dalam ruangan yang lembab.16
2.2.3 Patofisiologi
A. Tuberkulosis Primer
Kuman TB yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang
disebut sarang primer atau afek primer disebit sebagai fokus Ghon.
Sarang primer ini mungkin timbul di bagian di mana saja dalam paru,
berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat
peradangan pembuluh limfe menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran limfonodi di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis
regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan
mengalami salah satu nasib sebagai berikut 17 :
a. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang
Ghon, garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
c. Menyebar dengan cara:
1. Perkontinuatum
Salah satu contoh adalah epitutuberkulosis, yaitu
suatu kejadian penekanan bronkus, biasanya bronkus
lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman
tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epitutuberkulosis.17
2. Penyebaran secara bronkogen
Penyebaran secara bronkogen berlangsung baik
di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya atau
tertelan.17
3. Penyebaran secara hematogen dan limfogen
Penyebaran ini berkaitan dengan daya tahan
tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Ada beberapa
kuman yang menetap sebagai persisten atau
dormant, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat
menghentikan perkembangbiakan kuman, akibatnya
yang bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam
beberapa bulan. Bila tidak terdapat imunitas yang
21
adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan
cukup gawat seperti TB milier, meningitis TB,
Typhobacillosis landouzy. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan TB pada organ lain, misalnya tulang,
ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya.17
B. Tuberkulosis Pasca Primer (Tuberkulosis Sekunder)
Kuman yang persisten pada TB primer akan muncul
bertahun-tahun kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB
dewasa (tuberkulosis post primer = TB pasca primer = TB
sekunder). Mayoritas reinfeksi mencapai 90%. TB sekunder terjadi
karena imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, peyakit
maligna, diabetes, AIDS, gagal ginjal. TB sekunder ini dimulai
dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru (bagian
apical-posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru. TB
pasca primer juga dapat berasal dari infeksi eksogen dari usia
muda menjadi TB usia tua.18
Patogenesis dan manifestasi patologi TB paru merupakan
hasil respon imun seluler (cell mediated immunity) dan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen kuman TB.17
Perjalanan infeksi TB terjadi melalui 5 tahap.
Tahap 1: dimulai dari masuknya kuman TB ke alveoli. Kuman
akan difagositosis oleh makrofag alveolar dan umumnya
dapat dihancurkan. Bila daya bunuh makrofag rendah,
kuman TB akan berproliferasi dalam sitoplasma dan
menyebabkan lisis makrofag. Pada umumnya pada tahap
ini tidak terjadi pertumbuhan kuman.
Tahap 2: tahap simbiosis, kuman tumbuh secara logaritmik dalam
non-activated macrophage yang gagal mendestruksi
kuman TB hingga makofag hancur dan kuman TB
difagositosis oleh makrofag lain yang masuk ke tempat
radang karena faktor kemotaksis komponen komplemen
C5a dan monocyte chemoatractant protein (MPC-1).
Lama kelamaan makin banyak makrofag dan kuman TB
yang berkumpul di tempat lesi.
Tahap 3: terjadi nekrosis kaseosa, jumlah kuman TB menetap
karena pertumbuhannya dihambat oleh respon imun tubuh
terhadap tuberculin-like antigen. Pada tahap ini, delayed
type of hypersensitivity (DTH) merupakan respon imun
utama yang mampu menghancurkan makrofag yang berisi
kuman. Respon ini terbentuk 4-8 minggu dari saat infeksi.
Dalam solid caseous center yang terbentuk, kuman
22
ekstraseluler tidak dapat tumbuh, dikelilingi non-activated
makrofag dan partly activated macrofag. Pertumbuhan
kuman TB secara logaritmik terhenti, namun respon imun
DTH ini menyebabkan perluasan caseous necrosis tapi
tidak dapat berkembang biak karena keadaan anoksia,
penurunan pH dan adanya inhibitory fatty acid. Pada
keadaan dorman ini metabolism kuman minimal sehingga
tidak sensitif terhadap terapi. Caseous necrosis ini
merupakan reaksi DTH yang berasal dari limfosit T,
khususnya T sitotoksik (Tc), yang melibatkan clotting
factor, sitokin TNF-alfa, antigen reaktif, nitrogen
intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan
produk-produk yang dilepaskan kuman yang mati. Pada
reaksi inflamasi, endotel vaskuler menjadi aktif
menghasilkan molekul-molekul adesi (ICAM-1, ELAM-1,
VCAM-1), MHC klas I dan II.
Endotel yang aktif mampu mempresentasikan antigen
tuberkulin pada sel Tc sehingga menyebabkan jejas pada
endotel dan memicu kaskade koagulasi. Trombosis lokal
menyebabkan iskemia dan nekrosis dekat jaringan.
Tahap 4: respon imun cell mediated immunity (CMI) memegang
peran utama dimana CMI akan mengaktifkan makrofag
sehingga mampu memfagositosis dan menghancurkan
kuman. Activated macrophage menyelimuti tepi caseous
necrosis untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada
keadaan dimana CMI lemah, kemampuan makrofag untuk
menghancurkan kuman hilang sehingga kuman dapat
berkembang biak di dalamnya dan seanjutnya akan
dihancurkan oleh respon imun DTH, sehingga caseous
necrosis makin luas. Kuman TB yang terlepas akan masuk
ke dalam kelenjar limfe trakheobronkial dan menyebar ke
organ lain.
Tahap 5: terjadi likuifikasi caseous center dimana untuk pertama
kalinya terjadi multiplikasi kuman TB ekstraseluler yang
dapat mencapai jumlah besar. Respon imun CMI sering
tidak mampu mengendalikannya.
Dengan progresivitas penyakit terjadi perlunakan caseous
necrosis, membentuk kavitas dan erosi dinding bronkus.
Perlunakan ini disebabkan oleh enzim hidrolisis dan
respon DTH terhadap tuberkuloprotein, menyebabkan
makrofag tidak dapat hidup dan merupakan media
pertumbuhan yang baik bagi kuman. Kuman TB masuk ke
23
dalam cabang-cabang bronkus, menyebar ke bagian paru
lain dan jaringan sekitarnya.17
2.2.4 Diagnosis
Diagnosis pada TB dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis
baik dan pemeriksaan fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan
melalui pemeriksaan kultur bakteriologi, pemeriksaan sputum BTA,
radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.3
A. Gejala Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan,
yaitu gejala lokal dan sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru
maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat).3
a. Gejala respiratori :
1. Batuk 2 minggu
2. Hemoptisis
3. Dyspneu
4. Nyeri dada
b. Gejala sistemik
1. Demam
2. Gejala sistemik lain ; malaise, keringat malam, anoreksia,
dan berat badan menurun.
c. Gejala TB ekstra paru
Gejala TB ekstra paru tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi
pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah
bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis.
Pada pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.3
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang dijumpai tergantung
dengan organ yang terlibat. Pada TB paru, kelainan yang didapat
tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal)
perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali)
menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan
S2) serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara napas bronchial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-anda penarikan paru, diafragma
dan mediastinum.3
C. Pemeriksaan Bakteriologi
24
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, LCS, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi.3
Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan
ialah bila:
a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif BTA positif
b. 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali, kemudian, bila
1 kali positif, 2 kali negatif BTA positif bila 3 kali negatif
BTA negatif .4
Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan
mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD). Skala IUATLD:
- Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif
- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan.
- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
(1+)
- Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
- Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut
+++(3+).3
D. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberi gambaran bermacam-
macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan pleura
E. Pemeriksaan Penunjang Lain
a. Analisis cairan pleura
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
25
c. Pemeriksaan darah.3
2.2.5 Penatalaksanaan
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap
intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat
obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat biasanya penderita
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu sebagian
besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
pada akhir pengobatan intensif .4
Tabel 8. Jenis, sifat dan dosis OAT 4
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisisn (
R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin
(S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakterostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
26
Sedangkan kategori penggunaan OAT di Indonesia, adalah
sebagai berikut.
1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3), diberikan untuk pasien dengan
kriteria:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
27
kg + 500 mg tab Etambutol
Streptomisin
inj
3 tab 4KDT
30 54 + 750 mg 3 tab 2KDT + 3
3 tab 4KDT
kg Streptomisin tab Etambutol
inj
+ 1000 mg
55 70
Streptomisin 4 tab 4KDT 4 tab Etambutol
kg
inj
5 tab 4KDT
1000 mg 5 tab 2 KDT + 5
71 kg 5 tab 4KDT
Streptomisin tab Etambutol
inj
2.3.2 Epidemiologi
Data divisi gastroenterologi FKUI/RSUPNCM
Jakarta menunjukkan prevalensi diare kronik sebesar 15% dari seluruh
pemeriksaan kolonoskopi selama 2 tahun (1995-1996). Talley dkk
melaporkan prevalensi diare kronik pada populasi usia lanjut yaitu
antara 7% sampai dengan 14%.Diperkirakan pada masyarakat Barat
didapatkan prevalensi daire kronik 4 5%.5
2.3.3 Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh satu atau lebih dari mekanisme/
patofisiologi di bawah ini 5:
1. Diare osmotik: terjadi peningkatan osmotik isi lumen usus.
28
2. Diare sekretorik: terjadi peningkatan sekresi cairan usus.
3. Malabsorbsi asam empedu, malabsorbsi lemak: terjadi
ganggguan pembentukan micelle empedu.
4. Defek sistem pertukaran anion/transport elektrolit aktif di
enterosit: terjadi penghentian mekanisme transport ion aktif
(pada Na+-K+ATP ase) di enterosit, gangguaan absorbsi
Na+ dan air.
5. Motilitas dan waktu transit usus abnormal: terjadi motilitas
yang lebih cepat, tak teratur sehingga isi usus tidak sempat
diabsorbsi.
6. Gangguan permeabilitas usus: terjadi kelainan morfologi
usus pada membran epitel spesifik sehingga permeabilitas
mukosa usus halus dan usus besar terhadap air dan
garam/elektrolit terganggu.
7. Eksudasi cairan, elektrolit dan mukus berlebihan: terjadi
peradangan dan kerusakan mukosa usus.
2.3.4 Klasifikasi
Diare kronik dapat diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi
diatas menjadi 7 macam diare yang berbeda. Berdasarkan etiologi
infeksi atau tidak, diare kronik dapat dibagi atas infektif dan non-
infektif. Berdasarkan ada tidaknya kelainan organik pada
pemeriksaan,diare kronik dibagi atas organik dan fungsional.
Istilah organik ditujukan pada diare yang jelas ditemukan adanya
kelainan histologi dan biokimia usus, sedangkan fungsional
ditujukan pada diare karena kelainan idiopatik, diet dan gangguan
motilitas. Berdasarkan karakteristik tinya, diare kronik dapat
dibagi atas steatore, diare berdarah, dan diare dengan tinja
tidak berdarah tidak steatore. American Gastroenterological
Assosiation (AGA) menbagi diare kronik berdsarkan karakteristik
tinja juga antara lain, air(watery), inflamatorik, dan lemak (fatty).
Diare air terbagi atas sekretorik dan osmotik.5
2.3.5 Etiologi
Tabel 12 . Etiologi Diare Kronik Berdasarkan Patofisiologi 5
No Jenis diare Etiologi
1. Diare osmotik A. Eksogen
a. Makan cairan yang aktif
osmotik, sulit diabsorbsi
seperti: MgSO4, laktulosa dan
sorbitol
b. Obat obat lain (kronik):
29
antibiotik (neomycin dll), anti
kanker, anti depresan, anti
konvulsan (Valproic acid), obat
penurun kolesterol
(cholestyramine dll)
B. Endogen
a. Kongenital
- Penyakit malabsorbsi
spesifik
- Penyakit malabsorbsi
umum
b. Didapat
- Defisiensi disakaridase
pasca enteritis
- Malabsorbsi karbohidrat
dengan berbagai penyebab
(intoleransi makanan
- Insufisiensi pankreas
(alkohol
- Waktu pengosongan
lambung yang berlebihan
2. Diare A. Infeksi
sekretorik B. Neoplasma
C. Hormon dan neurotransmitter
D. Katartik
E. Kolitis mikroskopik
F. Lain-lain: Dioctyl natrium inhibitory
polypeptide,diare asam empedu
karena pasca kolesistektomi, reseksi
ileum terminal, alergi makanan,
enterokolitis iskemik
3. Malabsorbsi A. Maldigesti intraluminal
asam empedu, B. Malabsorbsi mukosa
malabsorbsi C. Obstruksi pasca mukosa
lemak D. Campuran
30
5. Motilitas dan Sindrom kolon iritable (psikogen),
waktu transit hipertiroid, diabetes mellitus dengan
usus abnormal polineuropati otonom, skleroderma,
amiloidosis,pasca reseksi lambung &
vagotomi, sindrom karsinoid, obat
prostigmin
6. Gangguan a. Penyakit seliak
permeabilitas b. Penyakit usus inflamatorik
usus c. Infeksi usus (bakteri Shigella &
Salmonella)
7. Eksudasi Kolitis ulseratif, Penyakit Crohn,
cairan, Amubiasis, Shigellosis,
elektrolit, dan Kampilobakteriasis, Yersiniasis,
mukus Enterokolitis radiasi, Candidiasis,
berlebihan Tuberculosis usus, Kanker usus, Kolitis
pseudomembran
31
a. Tinja berlemak/ Steatorea
- Penyakit pankreas : Pankreatitis kronik, karsinoma
pancreas, insufisiensi pankreas (defisiensi lipase)
- Penyakit mukosa usus halus: Spru tropik, Penyakit
Crohn, Enteritis radiasi, penyakit seliak, limfoma usus,
limfangiektasia
- Defisiensi garam empedu kualitatif dan kuantitatif
- Penyakit hati kolestatik: sirosis bilier primer, kolangitis
sklerosing, hepatitis neonatal
- Bacterial overgrowth di usus halus
- Sindrom pasca gastrektomi
- PEM
- Infeksi
b. Tinja berdarah
- Penyakit usus inflamatorik (kolitis ulseratif, Kolitis
Crohn)
- Kanker kolon dan polip kolon
- Lesi anal,dll
- Infeksi: Bakter: Shigella, Salmonella, Campylobacter,
Tuberculosis colon, Yersinia
- Parasit: Protozoa: Amuba (E. Histolytica) Giardia lambia
- Infeksi cacing: Trichuris trichiura, Schistosomiasis
- Kolitis/proktitis radiasi
- Kolitis iskemik kronik
- Efek samping obat antibiotik: kolitis pseudomembran
c. Tinja tidak berdarah dan tidak berlemak
1. Tinja cair atau seperti air (Watery stool)
- Kolitis mikroskopik (limfositik) & kolagen
- Intoleransi laktosa
- Diare karena obat
- Diare pasca reseksi usus
- Infeksi usus halus: karena jamur (Candida), bakteri (
pertumbuhan bakteri berlebihan, Salmonella dll)
- Alergi makanan
- PEM
- Defek imun primer (imunodefisiensi SigA)
2. Tinja encer/lembek
- obat eksogen (laksans)
- Infeksi usus
- Infeksi HIV dengan superimposisi patogen usus
seperti Cryptosporidium dan Isospora belli
- Gangguan motilitas:
32
- Neuropati otonom diabetik
- Tirotoksikosis atau hipertiroid
- Penyakit diverticular
- Skleloderma
- Amyloidosis
- Pasca reseksi gaster atau vagotomi
- Intoleransi makanan
- Sindrom usus iritatif (IBS/psikogen)
- Sindrom karsinoid
- Malabsorbsi karbohidrat
d. Obat-obat dan pencampur makanan
e. Pemanis(Sorbitol,fruktose),etanol, kafein
f. Insufisiensi adrenal
g. Inkontinensia fekal
h. Alergi makanan.
2.3.6 Diagnosis
A. Anamnesis
Anamnesis sangat penting dalam menegakkan diagnosis
etiologik. Dalam melakukan anamnesis, perlu ditanyakan hal-
hal seperti5 :
1. Waktu dan frekuensi diare : onset dan durasi
2. Bentuk tinja : steatorea, mengambang, campur dengan
darah
3. Keluhan lain yang menyertai diare : nyeri abdomen,
demam, mual dan muntah, penurunan berat badan,
mengedan waktu defekasi.
4. Obat : laksan, antibiotika, anti kanker, anti depresan, anti
hipertensi, anti konvulsan, penurun kolesterol, antasida, dll
5. Makanan/minuman
33
sistemik kongenital. Malabsorbsi elektrolit dan air juga
merupakan bagian dari patofisiologi diare malabsorbsi.5
Tanda-tanda steatorea (lemak berlebihan dalam tinja) yaitu
tinja berwarna muda, berbau busuk, cenderung mengambang
dan sulit dibersihkan dengan siraman air. Kadang kadang
terlihat kilauan lemak dipermukaan air. Hal ini menunjukkan
adanya maldigesti atau malabsorbsi lemak. Tinja yang
mengambang selain karena steatorea dapat juga disebabkan oleh
karena adanya produksi gas oleh bakteri.5
Tabel 15. Gejala klinik karena defisiensi nutrien, vitamin dan
elektrolit5
Gejala klinik Defisiensi
Berat badan menurun Lemak/protein/kalori
Edema/berkurang otot Protein
Kulit kering bersisik Asam lemak esensial
Anemia Besi, asam folat, vit B12
Glositis, dermatitis Asam nikotinat
Parastesia, neuropati perifer Vitamin B1 dan B12
Cenderung memar, berdarah Vit K
Buta malam Vit A
Kelemahan K+, Na+, Mg++
Tetani,nyeri tulang Kalsium
Kehilangan rambut Zinc, protein
C. Pemeriksaan tinja
1. Makroskopik : konsistensi cair, lembek atau padat.
Berlemak atau bercampur darah.
2. Mikroskopik : eritrosit, leukosit, parasit.
3. Pemeriksaan pH , pewarnaan gram, pemeriksaan darah
samar, kultur tinja, pemeriksaan osmolalitas tinja,
pengukuran kadar lemak dalam tinja, HOMTT.
4. Analisis tinja untuk mendeteksi adanya penggunaan abat
laksans sebagai penyebab diare kronik faksius perlu
dilakukan bila tidak ditemukan penyebab. Pemeriksaaan
yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan tinja adanya
phenolphthalein, emetin, bisacodyl dan metabolitnya
dengan tes kromatografi atau kimia.5
D. Pemeriksaan laboratorium lain
a. Darah : darah rutin, darah lengkap, hitung jenis, LED,
albumin serum, pemeriksaan serologis IgG terhadap
34
campylobacter jejuni, elektrolit, BUN, kreatinin, kadar
TSH, T3 dan T4 serum, kadar gastrin dalam darah, dll.
b. Urin : untuk menunjang diagnosis sindrom/ tumor
karsinoid, dapat dilakukan pemeriksaan kadar 5- HIAA urin
24 jam, metanefrin urin.5
E. Pemeriksaan lain
Beberapa negara maju atau pusat studi yang maju dimana
penghasilan masyarakat umumnya mampu, menganjurkan
memasukkan pemeriksaan BNO (foto polos abdomen), barium enema
atau follow trough dan sigmoidskopi (dengan biopsi) kedalam
pemeriksaan tahal awal. Tapi untuk negara berkembang seperti
Indonesia, secar umum pemeriksaan pemeriksaan tersebut masih
dimasukkan kedalam pemeriksaan tahap lanjutan.5
F. Pemeriksaan lanjutan
Pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan penunjang dibawah ini
tidak semua diperlukan pada diare kronik. Urutan pemeriksaan ini
tidak menggambarkan makin pentingnya pemeriksaan, tetapi
disesuaikan dengan perkiraan diagnosis yang sudah didapat pada
pemeriksaan awal. tidak semua pemeriksaan ini dapat dilakukan di
Indonesia.5
1. Pemeriksaan anatomi usus
a. Barium enema kontras ganda (Colon in loop) danBNO
b. Kolonoskopi dan ileoskopi
c. Barium follow through dan/atau Enteroclysis
d. Gastroduodeno-jejunoskopi
e. Dan lain-lain
2. Fungsi usus dan penkreas
a. Tes fungsi ileum dan jejunum
b. Tes fungsi pankreas
c. Tes schilling
d. Tes nafas (Breath test)
e. Tes kehilangan protein
f. Tes malabsorbsi asam empedu (Bile Acid Malabsorption)
g. Tes small and large bowel transit time
3. Pemeriksaan lain
a. Petanda tumor
b. Pemeriksaan thin-layer chromatography urine
c. Pemeriksaan ELISA tinja
d. Tes untuk alergi makanan gastrointestinal
35
2.3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan diare kronik ditujukan terhadap penyakit yang
mendasari. Sejumlah agen anti diare dapat digunakan pada diare
kronik. Opiat mungkin dapat digunakan dengan aman pada
keadaan gejala stabil.5
1. Loperamid : 4 mg dosis awal, kemudian 2 mg setiap
mencret. Dosis maksimum 16 mg/hari.
2. Dhypenoxylat dengan atropin : diberikan 3-4 kali per hari.
3. Kodein, paregoric : Disebabkan memiliki potensi additif,
obat ini sebaiknya dihindari. Kecuali pada keadaan diare
yang intractable. Kodein dapat diberikan dengan dosis 15-
60 mg setiap 4 jam. Paregoric diberikan 4-8 ml.
4. Klonidin : 2 adrenergic agonis yang menghambat sekresi
elektrolit intestinal. Diberikan 0,1-0,2 mg/hariselama 7 hari.
Bermanfaat pada pasien dengan diare sekretorik
kriptospdidiosis dan diabetes.
5. Octreotide : Suatu analog somatostatin yang menstimulasi
cairan instestinal dan absorbsi elektrolit dan menghambat
sekresi melalui pelepasan peptida gastrointestinal. Berguna
pada pengobatan diare sekretori yang disebabkan oleh
VIPoma dan tumor carcinoid dan pada beberapa kasus diare
kronik yang berkaitan dengan AIDS. Dosis efektif 50mg
250mg sub kutan tiga kali sehari.
6. Cholestiramin : Garam empedu yang mengikat resin,
berguna pada pasien diare sekunder karena garam empedu
akibat reseksi intestinal atau penyakit ileum. Dosis 4 gr 1
s/d 3 kali sehari.
36
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama:
Mencret sejak 6 bulan yang lalu.
2. Riwayat penyakit sekarang
Mencret sejak 6 bulan yang lalu sebelum masuk RS. Meningkat sejak
1 bulan ini dengan frekuensi > 5kali/hari. Mencret tidak bercampur
dengan ampas, berlendir dan tidak disertai darah.
Mual (-), muntah (+) setiap kali makan
Demam sejak 1 tahun yang lalu. Demam dirasakan sepanjang hari dan
menggigil.
Batuk sejak 1 tahun yang lalu. Batuk berdahak dengan dahak
berwarna kuning. Batuk disertai darah.
Pasien merasa lemas sejak 1 tahun yang lalu
Keputihan 1 tahun yang lalu selama 1 bulan setelah menjalani
hubungan dengan pacarnya. Keputihaan berwarna kuning, berbuih,
dan berbau amis.
BAK terasa panas, sering namun sedikit-sedikit
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien pernah menjalani operasi rahim 1 tahun yang lalu
1 tahun terakhir kondisi kesehatan menurun sering demam, batuk
berdarah dan mencret.
Terjadi penurunan berat badan 30 kg
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat asma disangkal
4. Riwayat penyakit keluarga
37
Tidak ada keluarga merasakan keluhan yang sama
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Riwayat asma disangkal
5. Riwayat sosial :
Merokok sejak usia 9 tahun dan sudah berhenti sejak 1 tahun yang
lalu. Pasien menghabiskan rokok 1 bungkus/hari. Indeks Brinkman
(IB) = 24 batang 25 tahun = 600. Pasien tergolong perokok berat
(600).
Minum alkohol dan narkoba disangkal
Penggunaan jarum suntik pada pembuatan tato usia 19 tahun
Pasien sudah menikah dan sudah bercerai 2 tahun yang lalu.
Pasien melakukan hubungan seksual dengan seorang pria (pacar) yang
memiliki kebiasaan berganti ganti pasangan.
Pasien mengaku telah melakukan hubungan seksual dengan pacarnya
sebanyak 2 kali sejak 1 tahun yang lalu.
Kulit
Kulit tampak kering, bersisik, turgor menurun, sianosis (-), perabaan
normal
Kepala
Ukuran normocephal
Rambut
Rambut hitam dan tidak mudah dicabut
Mata
Konjunctiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
38
Telinga
Dalam batas normal
Hidung
Dalam batas normal
Mulut
Bentuk normal, mucosa bibir kering, anemis, lidah tidak kotor
Leher
JVP (5 2 cmH2O)
Kelenjer Getah Bening
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Aksila : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Inguinal : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax :
Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus taktil meningkat sisi kiri
Perkusi : Terdengar redup pada sisi paru kiri
Auskultasi : Bronkial, Rhonki basah kasar +/- pada RIC V,
Wheezing -/+ pada RIC III
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di RIC VI 1 jari lateral linea
axillaris anterior kiri, nyeri tekan (-/-)
Perkusi : Batas jantung kiri di RIC VI linea axillaris anterior
kiri, batas jantung kanan di RIC VI linea sternalis
kanan
Auskultasi : Reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Distensi, nyeri tekan (+) pada 9 regio
Hepar
Lobus dextra : teraba 5 jari dibawah arcus costarum dextra, konsistensi
padat, permukaan licin, nyeri tekan (+)
Lobus sinistra : teraba 3 jari dibawah proc. Xiphoideus, konsistensi padat,
permukaan licin, nyeri tekan (+)
Lien
Pembesaran lien pada schuffner IV
Perkusi : Pekak
Auskultasi : BU (+) meningkat
39
Ekstremitas
a. Superior
Inspeksi : kulit tampak kering,bersisik, edema (-/-), sianosis
(-/-)
Palpasi : Perabaan dingin, pulsasi a. Radialis kuat angkat
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Refleks biceps + ++
Refleks triceps + ++
Refleks brachioradialis + ++
b. Inferior
Inspeksi : kulit tampak kering,bersisik, edema (-/-), sianosis
(-/-), tato pada kaki kiri
Palpasi : Perabaan dingin, pulsasi a. Femoralis, a. Tibialis
anterior, a. Dorsalis pedis kuat angkat
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Refleks patella + ++
Refleks cremaster + ++
Refleks achilles + ++
3.4 Laboratorium
Darah rutin
Hb : 8.2 g/dL
Ht : 26.9 %
Leukosit : 10.440 mm3
Trombosit : 407.000 mm3
Pemeriksaan faal ginjal
Ureum : 20,5 mg/dl
Creatinin :0,56 mg/dl
GDR : 83 mg%
40
3.5 Diagnosis kerja
Diagnosa primer : Gastroenteritis Khronik e.c HIV/AIDS
Diagnosa sekunder :
Tb Paru Duplex
HIV/AIDS stadium III
3.6 Terapi
Non medikamentosa
Bedrest
Banyak minum
Diet MLDL
Medikamentosa
IVFD NaCL 0,9% 8j/kolf
Inf cifrofloxaxin 2 x 200 cc
Ranitidin 2 x 50 mL
New diatab 3 x1
Ambroxol 3 x 30 mg
PCT 3 X 500 mg
Oralit
GG 3x1
3.8 Prognosis
Dubia ad malam
BTA
Cek faal hepar
Planning monitoring :
Pasang cateter
Pantau TTV
3.9 Follow up
Tanggal Subject Objektif Assessment Planing
Senin, 8 Demam (+) KU : Tampak Gastroenteriti Planning
Mei Batuk sakit berat s Khronik e.c diagnostik :
41
2017 berdahak Kes : CMC HIV/AIDS Cek BTA
Nafsu TD : 70/60 mmHg Tb Paru Terapi
makan (-) N D: 100 x/menit Duplex IVFD RL
Makan (-) NF : 24 xmenit HIV/AIDS 8j/kolf
minum (+) S : 37.5 stadium III Cefotaxime 2
Mual (+) Pemeriksaan faal x 500 mg
muntah (+) hepar Inj ranitidin 2
lemas (+) Bilirubin tot x 50 ml
BAB cair 3x :0,7 mg/dl Ambroxol 3 x
BAK biasa SGOT : 11,0 30 mg
U/L PCT 3 X 500
SGPT : 13,1 mg
u/L New diatab 3
Total PROT x1
:4,46 g/dl Oralit
Albumin : 1,38 Transfusi 3
g/dl ktg PRC 1/hr
Globulin : 3,08 1 sisa
g/dl GG 3x 100 mg
HBs Ag : Diet
negatif Diet MLDL
Anti HCV :
negatif Planning
BTA : (-) monitoring
Pantau TTV
Balance cairan
Planning Edukasi
Bedrest
42
Kesan :
TB Paru dengan suspek bulla
Suspek nodular di lapangan atas paru kiri
Opasitas bulat dilapangan bawah hemitoraks bilaterl (relatif simetris)
masih mungkin papilla mammae
Tanggal Subject Objektif Assessment Planing
Selasa , Pusing (-) KU : Tampak sakit Gastroenterit Planning
9 Mei Sakit perut sedang is Khronik diagnostik :
2017 (+) Kes : CMC e.c Cek CD4
Badan terasa TD : 90/60 mmHg HIV/AIDS Cek BTA
letih N D: 86 x/menit Tb Paru
nafsu NF : 24 x/menit Duplex Planning terapi :
makan (-) S : 36,8 HIV/AIDS Transfusi PRC
stadium III 3 ktg I/hari
sisa 1 ktg
Albumin 20%
100 cc
Cefofloxacin 2
x 500 mg
Ranitidin 2 x
20 ml
Cotrimoksazol
2 x960 mg
Domperidon 3
x 10 mg
PCT 3 X 500
43
mg
New diatab
3x1
GG 3x 100 mg
Diet
Diet MS+ML
Planning
monitoring
Pantau ttv
Pantau urine
Planning Edukasi
Bedrest
44
ktg PRC 1/hr -
1 sisa
GG 3x 100 mg
Diet :
ML TKTP +MS
TKTP
Planning
monitoring
Pantau TTV
Balance cairan
Planning Edukasi
Tirah baring
45
2 x960 mg
Diet :
ML TKTP +MS
TKTP
Planning
monitoring
Pantau TTV
Balance cairan
Planning Edukasi
Bedrest
46
Eritrosit : -
Trombosit : - Planning Edukasi
Bedrest
Sputum sewaktu :
+++
Sputum pagi :
+++
Sputum sewaktu :
++
47
Pirazinamid
1x750
Diet :
ML
Planning
monitoring
Pantau TTV
Balance cairan
Planning Edukasi
Bedrest
Diet :
48
ML TKTP +MS
TKTP
Planning
Pantau TTV
Balance cairan
Planning Edukasi
Tirah baring
Diet :
ML TKTP +MS
TKTP
49
Planning
Pantau TTV
Balance cairan
Planning Edukasi
Bedrest
50
BAB IV
DISKUSI KASUS
51
DAFTAR PUSTAKA
52
14. Crofton, J., Horne, N., Miller, F. 2002. Tuberkulosis Klinis 2nd ed.
Jakarta: Widya Medika
15. Misnadiarly. 2006. Pemeriksaan Laboratorium Tuberkulosis dan
Mikobakterium Atipik. Jakarta: Dian Rakyat
16. Alsagaff, H. Abdul M. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:
Airlangga University Press
17. Hasan, H. 2010. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: Airlangga University Press
18. Amin, Z. Asril B. 2009. Tuberkulosis Paru, dalam: Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
19. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. Panduan Tatalaksana Klinis
Infeksi HIV pada orang Dewasa dan Remaja edisi ke-2, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan 2007.
53