DEFISIENSI IMUN
DiGEORGE SYNDROM (Thymic Aplasia)
Disusun Oleh :
Jihan Ghina Khansa
NIM : 14330011
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang Defisiensi
Imun yang menyangkut penyakit DiGeorge Syndrom ini dengan baik meskipun banyak
kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada Ibu Dra. Refdanita.Msi,.Apt dan
Lisana Sidqi Aliya.Biomed.,Apt selaku Dosen mata kuliah Imunologi Institut Sains dan
Teknologi Nasional yang telah memberikan tugas tersebut kepada kami.
Kami sangat berharap makalah tersebut dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai defisiensi imun, penyakit DiGeorge Syndrom, penyebab, dan
lain-lain.
Dan harapan kami semoga makalah tersebut dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca. Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah tersebut terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Karenanya, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan dari
pembaca demi kesempurnaan makalah tersebut.
Penyusun
1
DAFTAR PUSTAKA
BAB I .............................................................................................................................................. 4
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 4
1.3. Tujuan............................................................................................................................... 5
BAB II............................................................................................................................................. 6
2.1.4. Diagnosis............................................................................................................... 16
2
BAB III ......................................................................................................................................... 25
PEMBAHASAN ........................................................................................................................... 25
BAB IV ......................................................................................................................................... 29
5.1. Kesimpulan..................................................................................................................... 29
LAMPIRAN .................................................................................................................................. 30
3
BAB I
PENDAHULUAN
Integritas sistem imun adalah essensial untuk pertahanan terhadap infeksi mikroba dan
produk toksiknya. Defek salah satu komponen sistem imun dapat menimbulkan penyakit berat
bahkan fatal yang secara kolektif disebut penyakit defisiensi imun. Secara umum penyakit
defisiensi imun dapat dibagi menjadi kongenital dan didapat. Defisiensi imun kongenital atau
primer merupakan defek genetik yang meningkatkan kerentanan terhadap infeksi yang sering
sudah bermanifekstasi pada bayi dan anak, tetapi kadang secara klinis bar ditemukan pada usia
lebih lanjuut. Defisiensi imun didapat atau sekunder timbul akibat malnutrisi, kanker yang
menyebar, pengobatan dengan imunosupresan, infeksi sel sistem imun yang nampak jelas pada
infeksi virus HIV, yang merupakan sebab AIDS.
Pada tahun 1953 untuk oertama kali Bruton menemukan hipogamaglobulinemia pada
anak usia 8 tahun yang memiliki riwayat spesies dan artritis lutut sejak usia 4 tahun yang disertai
denganserangan-serangan otitis media, sepsis pneumokok dan pneumonia. Analisis
elektroforesis protein serum tidak menunjukkan respons imun terhadap imunisasi dengan tifoid
dan difteri. Defisiensi imun tersebut merupakan salah satu jenis defisiensi jaringan limfoid yang
dapat timbul pada pria maupun wanita dari berbagai usia dan ditentukan oleh faktor genetik atau
timbul sekunder karena faktor lain.
4
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Defisiensi imun merupakan keadaan saat fungsi sistem imun menurun atau tidak
berfungsi dengan baik yang muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun
tidak aktif dan kemampuan sistem imun untuk merespon patogen berkurang baik
pada anak-anak maupun dewasa karena respon imun dapat berkurang pada usia 50
tahun. Respon imun yang kurang baik akan terjadi juga pada pengguna Alkohol dan
narkoba. Namun kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan
defisiensi imun terjadi di negara berkembang. Diet yang kekurangan cukup protein
berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi fagosit,
konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti Zinc,
Selenium, Zat besi, Tembaga, Vitamin A, C, E, B6 dan Asam folik (Vitamin B9) juga
mengurangi respon imun.
Defisiensi imun juga dapat didapat dari Chronic Granulomatus Disease (penyakit
yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang),
misalnya seperti AIDS dan beberapa tipe kanker.
Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
A. Defisiensi Imun Kongenital Atau Defisiensi Imun Primer
Defisiensi imun Kongenital atau defisiensi imun primer disebabkan oleh kelainan
respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari sistem fagosit dan komplemen
atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit.
6
B. Defisiensi Imun Dapatan
Defisiensi imun dapatan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain infeksi virus
yang dapat merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-obat sitotoksik dan
kortikosteroid, serta akibat penyakit kanker seperti pengakit Hodgkin, Leukemia,
Myeloma, dan Limfositik kronik.
Penyakit defisiensi imun didefinisikan sebagai salah satu dari sekelompok penyakit
yang disebabkan oleh kerusakan sistem kekebalan. Gangguan imunodefisiensi
sekelompok gangguan di mana bagian dari sistem kekebalan tubuh hilang atau rusak.
Akibatnya, kemampuan tubuh untuk melawan infeksi dapat terganggu.
Gangguan fungsi sistem imun yang umum yang biasanya ditemukan dalam keadaan
difesiensi imun diantara adalah :
7
Fagosit Infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaan biasa
mempunyai virulensi rendah, infeksi bakteri piogenik
Komplemen Infeksi bakteri, autoimunitas
Disfungsi
Sel B Gamopati monoclonal
Sel T Peningkatan sel Ts yang menimbulkan infeksi dan
penyakit limpoproliferatif
Fagosit Hipersensitivitas, beberapa penyakit autoimun
Komplemen Edem angioneurotik akibat tidak adanya inhibitor
esterase C1
Penyakit imun dapat ditimbulkan oleh karena tidak adanya fungsi spesifik defisiensi
imun atau aktivitas yang berlebihan (hipersensitivitas).
Defisiensi imun terdiri atas sejumlah penyakit yang menimbulkan kelainan satu atau
lebih sistem imun.
Defisiensi Imun
Defisiensi Sel B Defisiensi Sel T
Infeksi bakterial rekuren Infeksi virus, jamur dan protozoa berat
Agamaglobulinemia Bruton Sindrom bare lymphocyte
(gangguan perkembangan sel B) (tidak ada MHC-II)
Variasi umum hipogamaglobulinemia Sindrom Omerin
(gangguan diferensiasi sel plasma) (gangguan pengaturan ulang gen TCR)
Sindroma hiper-IgM Sindrom DiGeorge
(gangguan pengalihan kelas) (aplasia timus)
Defisiensi Sel Fagosit Defisiensi Komplemen
Infeksi bakteri rekuren Infeksi bakteri rekuren
(gangguan klirens kompleks imun)
Penyakit granulomatosa kronik Defisiensi C1, C2, atau C4
(tidak ada respiratory burst) (gangguan klirens kompleks imun)
Defisiensi adhesi leukosit Defisiensi C3 atau C5
(tidak ada ekstravasasi PMN ke jaringan) (hambatan jalur alternatif dan klasik)
Sindrom Chediak-Hedashi C6, C7, C8, atau C9
(gangguan fungs mikrotubulus dan fungsi (gangguan oembentukan dan fungsi
fagosom/lisosom yang berhubungan) MAC)
8
Pembagian Defisiensi Imun
Defisiensi Imun Nonspesifik
A. Defisiensi Komplemen
Defisiensi komplemen kongenital
Defisiensi komplemen fisiologik
Defisiensi komplemen didapat
B. Defisiensi Interferon dan Lisozim
Defisiensi interferon kongenital
Defisiensi interferon dan lisozim didapat
C. Defisiensi Sel NK
Defisiensi kongenital
Defisiensi didapat
D. Defisiensi Sistem Fagosit
Defisiensi kuantitatif
Defisiensi kualitatif
Defisiensi Imun Spesifik
A. Defisiensi Kongenital atau Primer
B. Defisiensi Imun Fisiologik
Kehamilan
Usia tahun pertama
Usia lanjut
C. Defisiensi Didapat atau Sekunder
Malnutrisi
Infeksi
Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah
Penyinaran
Penyakit berat
Kehilangan Ig/Leukosit
Stress
Agamaglobulinemia dengan timoma
D. AIDS
9
A. Defisiensi Imun Nonspesifik
1. Defisiensi Komplemen
Definisi komplemen berhubungan dengan oeningkatan insidens infeksi dan
penyakit autoimun seperti LES. Komponen komplemen diperlukan untuk
membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun dan
eliminasi kompleks antigen antibodi. Defisiensi komplemen dapat menimbulkan
akibat seperti infeksi bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap
penyakit autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
10
3. Defisiensi Sel NK
a. Defisiensi Kongenital
Defisiensi sel NK kongenital telah ditemukan pada penderita dengan
osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan kekerapan
auto antibodi biasanya meningkat.
b. Defisiensi Didapat
Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi.
a. Defisiensi Kuantitatif
Penurunan produksi neutrofil dapat disebabkan oleh pemberian depresan
sumsum tulang, leukimia, kondisi genetik yang menimbulkan defek dalam
perkembangan semua sel progenitor dalam sumsum tulang termasuk
prekursor mieloid.
Peningkatan destruksi neutrofil dapat merupakan fenomena autoimun akibat
pemberian obat tertentu (kuinidin, oksasilin).
b. Defisiensi Kualitatif
Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis,
menelan atau memakan dan membunuh mikroba intraselular.
11
B. Defisiensi Imun Spesifik
Gangguan dalam sistem imun spesifik dapat terjadi kongenital, fisiologik dan didapat.
a. Kehamilan
Keadaan ini mungkin dioerlukan untuk kelangusngan hidup fetus yang
merupakan allograft dengan antigen paternal. Hal tersebut antara lain
disebabkan karena terjadinya peningkatan aktivitas sel Ts atau efek supresif
faktor humoral yang dibentuk trofoblast. Wanita hamil memproduksi Ig yang
meningkat atas pengaruh estrogen. IgG diangkut melewati plasenta oleh
reseptor Fc pada akhir hamil 10 minggu.
12
b. Usia Tahun Pertama
Sistem imun pada anak usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih
belum matang. Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi,
semuanya berupa sel naif yang tidak memberikan respond yang adekuat
terhadap antigen. Antibodi janin disintesis pada awal minggu ke 20, tetapi
kadar IgG dewasa baru dicapai pada usia beberapa bulan pertama, bayi
tergantung dari IgG ibu.
Susu ibu juga merupakan proteksi pada usia dini dan mencegah infeksi paru
dan saluran cerna. Bayi yang mendapat minuman botol, 60x lebih berisiko
untuk menderita pneumonia pada usia 3 bulan pertama. Bayi prematur lebih
mudah mendapat infeksi oleh karena lebih sedikit menerima imunoglobulin
ibu selama akhir-akhir kehamilan.
c. Usia Lanjut
Golongan usia lanjut lebih sering mendapatkan infeksi dibanding usia muda.
Hal ini disebabkan oleh karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang
menurun. Akibat involsi timus, jumlah sel T naif dan kurang. Jumlah sel T
memori meningkat tetapi semakin sulit untuk berkembang. Terutama sel
CD8+ dan sel Th 1 sangat menurun, diduga oleh karena aktivitas apoptosis.
Pada usia lanjut, imunitas humoral juga menurun yang terlihat dari perubahan
dalam kualitas respons antibodi yang mengenai :
Spesifisitas antibodi dari autoantigen asing
Isotipe antibodi dari IgG dan IgM
Afinitas antibodi dari tinggi menjadi rendah
Hal ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan sel T untuk menginduksi
pematangan sel B. Disamping itu terjadi penurunan produksi sel B dalam
sumsum tulang yang mengurangi kemajemukan sel B, namun sel B yang
sudah tua masih menunjukkan respons terhadap mikroba seumur hidup.
13
C. Defisiensi Imun Didapat atau Sekunder
Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit yang dapat terjadi akibat
infeksi HIV, malnutrisi, terapi sitotoksik dan lainnya. Defisiensi imun sekunder dapat
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oportunistik.
Faktor faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder, diantaranya
adalah :
1. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan defisiensi imun. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan
respons limfosit terhadap antigen dan mitogen menurun. Hal yang sama dapat
terjadi setelah imunisasi. Pada beberapa rupa keadaan, infeksi virus dan bakteri
14
dapat menekan sistem imun. Kehilangan imunitas seluler terjadi pada penyakit
campak, mononukleosis, hepatitis virus, sifilis, bruselosis, lepra, TBC milier dan
parasit.
3. Penyinaran
Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedang dosis rendah
dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
4. Penyakit Berat
Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang
jaringan limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multipel, leukimia, dan
limfosarkoma. Uremia dapat menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi
imun. Gagal ginjal dan diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang
mekanismenya belum jelas. Imunoglobulin juga dapat menghilang melalui usus
pada diare.
15
5. Kehilangan Imunoglobulin
Defisiensi imunoglobulin dapat terjadi karena tubuh kehilangan protein yang
berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik terjadi
kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedang IgM tetap
normal. Pada doare dan luka bakar terjadi kehilangan protein.
2.1.4. Diagnosis
16
B. Pemeriksaan In Vitro
Sel B dapat dihitung dengan flow cytrometry yang menggunakan antibodi terhadap
CD19, CD20, dan CD22. Sel T dapat dihitung dengan flow cytrometry yang
menggunakan antibodi monoklonal terhadap CD23 atau CD2, CD5, CD7, CD4, dan
CD8. Penderita dengan defisiensi sel T hanya hiporeaktif atau tidak reaktif terhadap
tes kulit dengan antigen tuberkulin, kandida, trikofiton, streptokinase/streptodornase
dan virus parotitis. Produksi sitokinnya berkurang bila dirangsang dengan PHA atau
mitogen nonspesifik yang lain.
Tes in vitro dilakukan dengan uji fiksasi komplemen dan fungsi bakterisidal, reduksi
NBT atau stimulasi produksi superoksida yang memberikan nilai enzim oksidatif
yang berhubungan dengan fagositosis aktif dan aktivitas bakterisidal.
2.1.5. Pengobatan
A. Tujuan Pengobatan
Diberikan kepada penderita dengan defisiensi Ig tertentu (tidak pada defisiensi IgA).
C. Pemberian Sitokin
Pemberian infus sitokin seperti II-2, GM-CSF, M-CSF dan IFN- kepada subyek
dengan penyakit tertentu.
17
D. Transfusi
Diberikan dalam bentuk neutrofil kepada subjek dengan defisiensi fagosit dan
pemberian limfosit autologus yang sudah menjalani transfeksi dengan gen adenosin
deaminase (ADA) untuk mengobati ACID.
E. Transplantasi
Transplantasi timus fetal atau stem cell dari sumsum tulang dilakukan untuk
memperbaiki kompetensi imun.
F. Obat Antivirus
Terapi ini menggunakan kombinasi tiga obat yang terdiri atas protease inhibitor
dengan dua inhibitor reverse transcriptase yang terpisah. Hal itu digunakan untuk
menurunkan kadar RNA virus dalam plasma menjadi sangat rendah untuk lebih dari
satu tahun. Perlu oengamatan terhadap kemungikinan terjadinya resistensi. Resistensi
terhadap indibitor protease dapat terjadi setelah pemberian beberapa hari. Resistensi
terhadap zidovudin dapat terjadi setelah pemberian beberapa bulan. Untuk resistensi
terhadap zidovudin, diperlukan tiga sampai empat mutasi dalam reverse transcriptase
virus, tetapi satu mutasi saja sudah dapat menimbulkan resistensi terhadap inhibitor
protease.
G. Vaksinasi
18
H. Terapi Genetik
Terapi gen somatik menunjukkan harapan dalam terapi penyakit genetik. Prosedur
tersebut antara lain dilakukan dengan menyisipkan gen normal ke populasi yang
terkena penyakit. Hasil sementara menunjukkan bahwa limfosit T perifer mempunyai
kemampuan terbatas untuk berploriferasi. Untuk pengobatan jangka panjang akan
diperlukan penyisipan gen ke sel asal sumsum tulang yang pleunpoten. Namun hal
tersebut masih sulit untuk dilakukan dan diperlukan studi lebih lanjut.
19
Pengobatannya ialah transplantasi dengan timus fetal. Perbaikan terjadi dengan
timbulnya sel T satu minggu kemmudian. Timus fetal yang digunakan hendaknya
tidak lebih tua dari 14 minggu agar dapat menghindari reaksi GVH yang terjadi bila
limfosit matang diberikan ke donor yang imunodefisiensi. Prognosisnya buruk bila
tidak diobati.
DiGeorge sindrom ini disebabkan oleh hilangnya sebagian kromosom 22. Setiap
orang memiliki dua salinan kromosom 22, salah satu warisan dari orang tua masing-
masing. Kromosom ini diperkirakan berisi 500 hingga 800 gen.
Jika seseorang memiliki sindrom DiGeorge, satu salinan kromosom 22 tersebut tidak
ada yang segmennya diperkirakan mencakup 30 sampai 40 gen. Banyak dari gen ini
belum jelas diidentifikasi dan tidak dipahami dengan baik. Daerah kromosom 22
yang hilang dalam sindrom DGeorge dikenal sebagai 22q11.2. Sejumlah kecil orang-
orang dengan sindrom DGeorge memiliki penghapusan lebih pendek di daerah yang
sama dari kromosom 22.
Penghapusan gen dari kromosom 22 biasanya terjadi secara acak dalam sperma ayah
atau pada telur ibu, atau mungkin terjadi sangat dini selama perkembangan janin.
Oleh karena itu, penghapusan terjadi di semua atau hampir semua sel dalam tubuh
sewaktui janin berkembang.
Bagian-bagian dari kromosom 22 dihapus dalam sindrom DiGeorge yang berperan
dalam pengembangan beberapa sistem tubuh. Oleh karena itu, terdapat beberapa
gangguan yang dapat menyebabkan kesalahan selama perkembangan janin.
20
timus dalam sistem kekebalan. Pada anak-anak dengan sindrom DiGeorge, kelenjar
timus mungkin kecil atau hilang, menyebabkan fungsi imun yang buruk dan sering
mengalami infeksi berat.
B. Hypoparathyroidism.
Keempat kelenjar paratiroid berbentuk oval, kelenjar butir-of-padi-ukuran yang
terletak di leher Anda. Kelenjar ini mempertahankan kadar yang tepat dari kalsium
dan fosfor dalam tubuh Anda dengan mematikan atau menjalankan sekresi hormon
paratiroid (PTH). Sindrom DiGeorge dapat menyebabkan kelenjar paratiroid lebih
kecil dari normal yang mengeluarkan PTH terlalu sedikit (hypoparathyroidism).
Hypoparathyroidism menyebabkan kadarnya rendah dan kadar kalsium fosfor tinggi
dalam darah.
C. Cacat jantung bawaan.
Sindrom DiGeorge sering menyebabkan cacat jantung yang mengakibatkan
kekurangan pasokan darah kaya oksigen bagi tubuh. Cacat ini mungkin termasuk
lubang antara ruang bawah jantung (cacat septum ventrikel), hanya satu saluran
besar, yang seharusnya dua saluran, menyebabkan jantung keluar (arteriosus trunkus),
dan kombinasi dari empat struktur jantung abnormal (tetralogi Fallot).
D. Sumbing langit-langit.
Kondisi umum dari sindrom DiGeorge adalah sumbing - celah (sumbing) di langit-
langit mulut. Lainnya, kurang terlihat kelainan langit-langit yang mungkin juga hadir
dapat membuat sulit untuk menelan atau menghasilkan suara tertentu dalam
bicaranya.
E. Facial fitur.
Sejumlah fitur wajah tertentu mungkin hadir dalam beberapa orang dengan sindrom
DiGeorge. Ini mungkin termasuk kecil, set telinga rendah; set mata lebar; mata
berkerudung, sebuah wajah yang relatif panjang, atau alur pendek atau datar di bibir
atas.
F. Masalah belajar.
Kesehatan perilaku dan mental. Penghapusan 22q11.2 dapat menyebabkan masalah
dengan perkembangan dan fungsi otak, sehingga bermasalah dalam belajar, sosial,
perkembangan atau perilaku. Keterlambatan dalam perkembangan anak berbicara dan
21
kesulitan belajar yang umum. Sejumlah anak-anak dengan sindrom DiGeorge
mengalami gangguan, seperti gangguan attention-deficit/hyperactivity, autisme atau
gangguan autisme yang terkait. Kemudian dalam kehidupan orang-orang dengan
sindrom DiGeorge akan meningkatkan risiko masalah kesehatan mental, termasuk
depresi, gangguan kecemasan, skizofrenia dan gangguan kejiwaan lainnya.
G. Masalah lain.
Sejumlah besar kondisi medis dapat dikaitkan dengan gejala DiGeorge. Ini termasuk
gangguan pendengaran, penglihatan, fungsi ginjal yang rendah dan bertubuh relatif
pendek dibanding anggota keluarganya.
2.2.4. Gejala
Tanda dan gejala sindrom Digeorge dapat bervariasi secara signifikan di jenis dan
tingkat keparahan, tergantung pada sistem tubuh yang terpengaruh dan seberapa
parah cacat yang terjadi. Beberapa tanda dan gejala mungkin jelas pada saat lahir,
tetapi padaorang lain mungkin tidak muncul sampai kemudian pada masa bayi atau
anak usia dini.
Tanda dan gejala dapat mencakup beberapa kombinasi :
A. Kulit kebiruan karena sirkulasi darah kaya oksigen yang buruk sebagai hasil dari
jantung bawaan.
B. Masalah pernapasan
C. Bergerak-gerak atau kejang di sekitar mulut, tangan, lengan atau tenggorokan
D. Sering mengalami infeksi
E. Gangguan bentuk wajah tertentu, seperti dagu yang tak berkembang, telinga yang
rendah, mata yang besar atau alur sempit di atas bibir
F. Celah di atap mulut mereka (sumbing) atau masalah langit-langit lainnya
G. Pertumbuhan yang tertunda
H. Kesulitan makan dan masalah pencernaan
I. Kegagalan dalam pertambahan berat badan
J. Perkembangan yang tertunda
22
K. Kemampuan berbicara yang teertunda
L. Masalah perilaku.
Diagnosis sindrom DiGeorge didasarkan terutama pada tes laboratorium yang dapat
mendeteksi hilangnya kromosom 22. Dokter mungkin akan melakukan beberapa tes
jika kombinasi masalah medis atau kondisi menunjukkan diagnosis sindrom
DiGeorge.
Karena cacat jantung tertentu yang umumnya terkait dengan sindrom DiGeorge,
kehadiran cacat jantung sendiri mungkin akan memaksa dokter untuk melakukan tes
laboratorium untuk hilangnya kromosom 22.
Dalam beberapa kasus, seorang anak dapat memiliki kombinasi dari kondisi yang
menunjukkan sindrom DiGeorge, tapi uji laboratorium tidak menunjukkan hilangnya
pada kromosom 22. Meskipun kasus-kasus ini merupakan tantangan diagnostik untuk
dokter, koordinasi perawatan untuk mengatasi semua, masalah medis, perkembangan
atau perilaku mungkin akan sama.
Meskipun tidak ada obat untuk sindrom ini, perawatan biasanya dapat memperbaiki
masalah yang kritis, seperti jantung bawaan atau tingkat rendah kalsium. Masalah
kesehatan lainnya dan perkembangan kesehatan, mental atau masalah perilaku dapat
ditangani atau dipantau seperlunya.
Perawatan dan terapi untuk sindrom ini termasuk intervensi untuk :
A. Hipoparatiroidisme.
Hipoparatiroidisme biasanya dapat dikelola dengan suplemen kalsium dan suplemen
vitamin D.
B. Fungsi kelenjar timus yang terbatas.
Jika anak Anda mempunyai beberapa fungsi timat, infeksi mungkin seringkali terjadi,
tetapi tidak selalu parah. Infeksi ini biasanya berupa pilek dan infeksi telinga yang
23
umumnya dirawat selama tumbuh. Kebanyakan anak-anak dengan fungsi timat yang
terbatas mengikuti jadwal vaksin normal. Untuk kebanyakan anak-anak dengan
gangguan moderat timus, fungsi sistem kekebalan tubuh membaik seiring dengan
usia.
C. Disfungsi timus yang parah.
Jika penurunan timus parah atau tidak memilki timus, anak Anda berada pada risiko
sejumlah infeksi berat. Perawatan membutuhkan transplantasi jaringan timus, sel-sel
khusus dari sumsum tulang atau melawan penyakit sel-sel darah tertentu.
D. Langit-langit sumbing.
Kelainan lainnya dari langit-langit dan bibir biasanya dapat diperbaiki melalui
pembedahan.
E. Cacat jantung.
Kebanyakan Cacat jantung yang terkait dengan sindrom ini memerlukan operasi
untuk memperbaiki jantung dan meningkatkan pasokan darah yang kaya akan
oksigen.
F. Perawatan kesehatan mental.
Pengobatan mungkin direkomendasikan jika anak Anda didiagnosis kemudian
dengan attentions-defisit/hyperactivity disorder (ADHD), depresi, skizofrenia, atau
24
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Pendahuluan
Sindrom DiGeorge pertama kali dijelaskan pada tahun 1968 sebagai imunodefisiensi
primer akibat perkembangan abnormal kantong faring ketiga dan keempat selama kehidupan
embrio. Hal ini ditandai dengan hipokalsemia akibat hipoparatiroidisme, defek jantung, dan
hipoplasia thymus atau aplasia. Kejadiannya adalah 1: 3000 kelahiran hidup dan, meski memiliki
frekuensi tinggi, sedikit yang diketahui tentang sejarah dan perkembangan alaminya. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kesulitan diagnostik dan banyaknya nama yang digunakan untuk
menggambarkannya, seperti velocardiofacial, Shprintzen, DiGeorge, dan CATCH 22
Syndromes, serta anomali wajah kontraksi. Semua mewakili kondisi genetik yang sama,
penghapusan kromosom 22q11.2, yang mungkin memiliki beberapa ekspresi klinis.
Empat belas pasien dengan DGS dievaluasi (8 laki-laki). Usia rata-rata adalah 8y10m
(8m - 18y11m). Semua pasien memenuhi kriteria inklusi berikut: jumlah sel T yang beredar kecil
atau normal, jumlah sel B yang beredar normal, jumlah sel B yang normal, tingkat
imunoglobulin serum normal atau rendah, hipoparatiroidisme, defek konotransktor, kelainan
wajah, dan penghapusan 22q11.2 atau 10p. Pasien dirujuk dari Unit Genetik dan Instituto
melakukan Coraca~o Rumah Sakit das Cl'nicas dari Universidade de Sa'o Paulo (HC-FMUSP),
Sa~o Paulo, Brasil. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etika untuk institusi di mana dilakukan,
dan semua pasien dan kontrol menandatangani sebuah informed consent untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini.
25
3.3. Evaluasi Klinis
Tingkat serum triiodothyronine (T3), thyroxin (T4), tiroksin bebas (FT4), TSH, dan
antibodi tiroid (tiroglobulin dan peroksidase) diukur. Hormon paratiroid, ion atau kalsium total,
dan kadar fosfor juga diukur. Semua pasien memiliki jumlah darah lengkap, dan nilai Komans-
Bitter digunakan sebagai referensi untuk limfosit.
Delapan pasien memiliki mikrodelesi dalam 22q11.2, hanya dapat dideteksi oleh IKAN
(Fluoresensi In Situ Hybridization), sebuah teknik yang mengintegrasikan penggunaan
sitogenetika klasik dengan genetika molekuler, dengan menggunakan probe DNA yang diberi
label dengan bahan fluoresensi yang mengidentifikasi daerah tertentu. dari genom Dua
digunakan sebagai probe untuk analisis ini: N25 (yang hibridisasi pada D22S75, yang berada di
wilayah yang biasanya dihapus di SD22q11) dan TUPLES 1 (yang mengikat TUPLES gen dan
bagian dari DNA yang terletak di dekat ujungnya ).
Kehilangan heterozigositas yang terdeteksi oleh penanda ini dapat digunakan sebagai alat
diagnosis yang sebenarnya pada pasien yang dicurigai SD22q11. Gioli-Pereira dkk., Meneliti
SNP (polimorfisme nukleotida tunggal) yang berada di 22q11.2, pada populasi Brasil,
menemukan bahwa penanda ini efisien untuk menentukan hilangnya heterozigositas hingga
92,9% kasus. Lima pasien (IGBS, MASS, ASI, CSS dan TPS) dirujuk dari Instituto do Coraca~
26
o, mutasi mereka telah terdeteksi oleh teknik SNPs mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh
Gioli-Pereira dkk.
3.6. Hasil
Tabel 1 menunjukkan data klinis dan laboratorium mengenai kriteria diagnostik. Satu
pasien (ABARS) tidak mengalami penghapusan 22q11.2. Dia termasuk dalam penelitian ini
karena dia memenuhi kriteria lain pada saat diagnosis: hypocalcemia, dimorfisme wajah, dan
limfopenia, menurut Notarangelo dkk.
Kelainan jantung terisolasi atau kombinasi adalah temuan yang paling sering, dan 12
pasien (86%) terpengaruh dengan distribusi yang diikuti: 5 memiliki tetralogi Fallot; 5 defek
septum ventrikel (3 terisolasi dan 2 berhubungan dengan defek septum atrium); 1 transposisi
terisolasi dari kapal besar; 1 gangguan lengkung aorta yang terkait dengan defek septum; 1
truncus arteriosus berhubungan dengan defek septum; dan 1 atresia paru. Hanya 4 pasien yang
tidak perlu menjalani koreksi bedah dari malformasi ini.
Sebelas pasien (85,7%) memiliki dimorfisme wajah, dan yang paling umum adalah cacat
oral, sendiri atau kombinasi. Mikrostomia ditemukan pada 64,3% (9/14) pasien, dan 57,2%
(8/14) mengalami defek palatum, micrognathia, dan perawakan pendek. Jenggot memanjang
diamati pada 50% pasien; profil wajah lurus, kelainan gigi dan heliks telinga terlipat pada 42,8%
27
(14/6); hiperelorisme pada 35,8% (14/5); dan strabismus pada 21,5% (14/3). Seorang pasien
memiliki kaki kawin bawaan, yang dikoreksi secara operasi sebelum penelitian ini.
Tujuh pasien memiliki infeksi berulang, terutama pneumonia, dan hanya satu di
antaranya yang terbebas dari penyakit jantung yang bisa menjelaskan infeksi paru-paru. Sebagian
besar infeksi terjadi pada tahun pertama kehidupan, sebelum operasi jantung. Saat ini, tidak
satupun dari mereka memiliki infeksi.
28
BAB IV
5.1. Kesimpulan
A. Defisiensi imun terjadi akibat kegagalan satu atau lebih sistem imun. Penyakit defisiensi
imun ditimbulkan defek kongenital atau didapat dari limfosit, fagosit dan mediator
imunitas nonspesifik dan spesifik.
B. Defisiensi imun primer ditemukan pada waktu lahir, sekunder atau didapat timbul karena
berbagai sebab setelah lahir.
C. Definisi sel B ditandai oleh infeksi bakteria dengan kapsel rekuren, Defisiensi sel T
ditandai oleh infeksi rekuren virus, jamur atau protozoa.
D. Kelainan DiGeorge / DiGeorge Anomaly adalah gangguan kekurangan system kekebalan
tubuh bawaan yang mana tidak adanya kelenjar thymus atau tidak terbentuk ketika lahir.
5.2. Saran
Penulis menunjukkan perlunya kecurigaan DiGeorge Syndrom pada semua pasien yang
mengalami cacat jantung, kelainan wajah (terkait atau tidak dengan hipokalsemia), dan gangguan
imunologis karena walaupun frekuensi DiGeorge Syndrom tinggi, sedikit pasien dengan
diagnosis yang dikonfirmasi ditindak lanjuti.
29
LAMPIRAN
30