Kemangi adalah hibrida antarspesies antara dua spesies selasih, Ocimum basilicum danO.
americanum. Ia dikenal juga sebagai O. basilicum var. anisatum Benth. Aroma khasnya berasal
dari kandungan sitral yang tinggi pada daun dan bunganya. Masyarakat Minangkabau
menggunakan tumbuhan sejenis kemangi yang dinamakan dengan ruku-ruku yang di dalam
Bahasa Thailand disebut sebagai bai kra pao. Ruku-ruku biasanya digunakan untuk memasak
gulai ikan dan asam padeh (asam pedas).
- Alat
1. Spatula
2. Baskom
3. Pisau
4. Tabung reaksi
5. Rak tabung
6. Gelas bekker
7. Pipet
8. Centrifuge
9. Gelas piala
10. Mikroskop
11. Object glass
12. Cover glass
- Bahan
1. Daaun Kemangi
2. Aqudes
3. Garam
4. Larutan garam (NaCl jenuh)
5. Larutan NaOH 0,2%
Langkah Kerja
timbang NaOH sebanyak 0,4 dan kemudian larutkan pada 200 ml aquadest. NaOH tersebut tidak
jenuh sehingga BJ larutan NaOH 0,2 % lebih kecil dari pada BJ telur cacing dan telur cacing
dapat mengendap
- Daun kemangi dipisahkan dari batangnya
- Masukkan kedalam baskom
- Tuangkan NaCl samlai terendam sempurna
- Diaduk terus selama 15 30 menit
- Ambil larutan kemudian pindahkan ke gelas piala
- Tunggu 1 jam
- Buang lapisan atas
- Bagian bawah dipindahkan ke tabung centrifuge (2500 Rpm/10 Menit )
- Buang bagian atas
- Bagian bawah dihomogenkan, ambil dengan pipet letakkan di object glass
- Tutup dengan cover glass
- Periksa di mikroskop di pembesaran 10x 40x
Hasil Pengamatan
Untuk Metode Floating
Pada pemeriksaan dengan metode floating tidak ditemukan adanya telur cacing dari Ascaris
lumbricoides pada kemangi, maka hasilnya adalah ( - ) negative.
Kesimpulan
- Sayuran adalah makan penunjang yang baik bagi manusia. Tapi hal ini dapat menyebabkan
penyakit jika penggunaanya tidak bersih, karena sayuran tumbuh di tanah yang mudah
terkontaminasi
- Telur cacing mudah dijumpai di sayuran sayuran yang dijual karena belum dibersihkan, dan
pada pemeriksaan telur cacing Ascaris lumbricoides pada kemangi dinyatakan positif telur
cacing dibuahi dan tidak dibuahi, dan terdapat pula artefak cacing.
- Cacing Ascaris lumbricoides kebanyakan menyerang anak anak karena kurang terjanya
kebersiha
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu tentang parasit telah lama menunjukan peran pentingnya dalam bidang kedokteran
hewan dan manusia namun masih banyak penyakit baik pada hewan dan manusia yang
merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terjadinya
urbanisasi yang tidak diimbangi sarana dan prasarana, telah menambah banyaknya dearah kumuh
di perkotaan. Makin berkurangnya air bersih, pencemaran air dan tanah menciptakan kondisi
lingkungan fisik yang memungkinkan perkembangan vektor dan sumber infeksi termasuk oleh
penyakit parasitik.
Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tinggi prevelansinya terutama pada
penduduk di daerah tropik seperti di Indonesia, dan merupakan masalah yang cukup besar bagi
bidang kesehatan masyarakat. Hal ini dikarenakan Indonesia berada dalam kondisi geografis
dengan temperatur dan kelembaban yang sesuai, sehingga kehidupan cacing ditunjang oleh
proses daur hidup dan cara penularannya.
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan pengalaman dalam membedakan sifat sebagai
spesies, parasit, kista, telur, larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk
pseudoparasit dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga bergantung
pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan hidup maupun sediaan
yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung dari jenis parasitnya, untuk cacing
atau protozoa usus maka bahan yang akan di periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit
darah dan jaringan dengan cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis.
Feses adalah sisa hasil pencernaan dan absorbsi dari makanan yang kita makan yang
dikeluarkan lewat anus dari saluran cerna.Jumlah normal produksi 100 200 gram / hari. Terdiri
dari air, makanan tidak tercerna, sel epitel, debris, celulosa, bakteri dan bahan patologis, Jenis
makanan serta gerak peristaltik mempengaruhi bentuk, jumlah maupun konsistensinya dengan
frekuensi defekasi normal 3x per-hari sampai 3x per-minggu.
Pemeriksaan feses ( tinja ) adalah salah satu pemeriksaan laboratorium yang telah lama
dikenal untuk membantu klinisi menegakkan diagnosis suatu penyakit. Meskipun saat ini telah
berkembang berbagai pemeriksaan laboratorium yang modern , dalam beberapa kasus
pemeriksaan feses masih diperlukan dan tidak dapat digantikan oleh pemeriksaan lain.
Pengetahuan mengenai berbagai macam penyakit yang memerlukan pemeriksaan feses , cara
pengumpulan sampel yang benar serta pemeriksan dan interpretasi yang benar akan menentukan
ketepatan diagnosis yang dilakukan oleh klinisi.
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun
larva infektif. Pemeriksaan ini juga dimaksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing
parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya (Gandahusada.dkk, 2000). Pemeriksaan feses
dapat dilakukan dengan metode kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dilakukan dengan
metode natif, metode apung, metode harada mori, dan Metode kato. Metode ini digunakan untuk
mengetahui jenis parasit usus, sedangkan secara kuantitatif dilakukan dengan metode kato untuk
menentukan jumlah cacing yang ada di dalam usus. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit
adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang
penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara
melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala
ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya
berdasarkan pada gejalaklinik kurang dapat dipastikan. Misalnya, infeksi yang disebabkan oleh
cacing gelang (Ascaris lumbricoides). Infeksi ini lebih bamyak ditemukan pada anak-anak
yangsering bermain di tanah yang telah terkontaminasi, sehingga mereka lebih mudahterinfeksi
oleh cacain-cacing tersebut. Biasanya hal ini terjadi pada daerah di mana penduduknya sering
membuang tinja sembarangan sehingga lebih mudah terjadi penularan. Pengalaman dalam hal
membedakan sifat berbagai spesies parasit, kista, telur, larva, dan juga pengetahuan tentang
bentuk pseudoparasit dan artefak yang dikira parasit, sangat dibutuhkan dalam
pengidentifikasian suatu parasit.
B. Tujuan
A. Macam-macam
Pemeriksaan telur cacing pada feses, terdapat dua macam cara pemeriksaan, yaitu secara
kualitatif dan kuantitatif.
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat,
tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya. Cara pemeriksaan ini
menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin 2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan
untuk lebih jelas membedakan telur-telur cacing dengan kotoran disekitarnya.
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang
didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati.
Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya
didasarkan atas berat jenis larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan
dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan
ini hanya berhasil untuk telur-telurNematoda, Schistostoma, Dibothriosephalus, telur yang
berpori-pori dari familiTaenidae, telur-telur Achantocephala ataupun telur Ascaris yang infertil.
1. Metode Natif
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit pada seseorang yang diperiksa
fesesnya.
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing parasit usus untuk infeksi ringan.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit usus pada seseorang yang diperiksa
fesesnya.
Maksud : Mengetahui adanya telur cacing Enterobius vermicularis pada anak yang
berumur 1 10 tahun.
5. Metode Kato
Maksud : Menemukan adanya telur cacing parasit dan menghitung jumlah telur.
Tujuan : Mengetahui adanya infeksi cacing parasit dan untuk mengetahui berat ringannya
infeksi cacing parasit usus
C. Dasar Teori
Kecacingan merupakan salah satu mikroorgisme penyebab penyakit dari kelompok
helminth (cacing), membesar dan hidup dalam usus halus manusia, Cacing ini terutama tumbuh
dan berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan lembab dengan sanitasi yang
buruk. Terutamanya pada anak-anak. Cacing-cacing tersebut adalah cacing gelang, cacing
cambuk dan cacing tambang dan cacing pita.
Alat:
1. Penyaring teh
2. Tabung reaksi
3. Rak tabung
4. Gelas ukur
6. Object glass
7. Cover glass
8. Mikroskop
9. Beaker glass
Bahan:
E. Cara Kerja
Praktikum kali ini menggunakan metode kualitatif yaitu metode apung tanpa sentrifugasi,
adapun cara kerja pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
2. Tuangkan NaCl 33% jenuh kedalam beaker glass sebanyak 100 ml.
3. Campurkan 100 ml NaCl jenuh dengan 10 gram tinja kemudian diaduk sehingga larut.
7. Selanjutnya letakkan preparat pada meja spesimen kemudian amati menggunakan mikroskop.
BAB III
1. Hasil
B. Pembahasan
B.1. Percobaan 1
Dari percobaan yang kami lakukan dengan menggunakan metode Apung seperti pada
tabel diatas, dapat diketahui bahwa telur Ascaris lumbricoides diperoleh hasil pemeriksaan
positif, sedangkan pada telur selain Ascaris lumbricoides diperoleh hasil negatif sehingga anak
tersebut menderita Ascariasis.
Gambar Telur Ascaris lumbricoides
Berdasarkan pemeriksaan feses dengan metode apung yang telah dilakukan, ditemukan
telur cacing Ascaris lumbricoides fertil pada feses anak SD kelas 2 bernamaDiok. Telur tersebut
memiliki ciri-ciri berbentuk oval, memiliki dinding ysng terdiri dari tiga lapis. Lapisan terluar
telur memiliki permukaan yang tidak rata, bergerigi, warnanya kecoklat-coklatan karena pigmen
empedu, lapisan ini dinamakan lapisan albuminoid. Lapisan tengah berupa lapisan
kitin sedangkan lapisan dalam berupa membran vitelin.Ciri-ciri yang telah disebutkan sesuai
dengan ciri-ciri telur Ascaris lumbricoides yang fertil, sehingga Diok dinyatakan positif
terinfeksi parasit Ascaris lumbricoides.
Ascaris lumbricoides adalah cacing parasit usus yang ukurannya paling besar. Biasa
disebut dengan cacing gelang yang hidup di vili duodenum dan jejunum. Jika di dalam telur
cacing dalam feses, berarti ada cacing dewasa yang hidup di usus Diok. Jumlah telur yang
ditemuakan pada spesimen didapatkan sekitar 8 butir dalam beberapalapang pandang,
berarti Diok berada pada stadium infeksi sangat ringan. Menurut pemaparan ibu dari Diok, gejala
yang dirasakan Diok diantaranya yaitu kurang nafsu makan, sehingga jarang buang air
besar. Walaupun masih dalam tahap ringan Diokharus segera mendapatkan pengobatan yang
tepat agar infeksi tidak berlanjut pada tahap sedang.
Pengobatan yang bisa diberikan untuk penderita yaitu dengan obat piperasin, pirantel
pamoat, albendazol dan mebendazol. Pengobatan dari Ascaris lumbricoides ini termasuk pada
obat yang mudah diterima masyarakat karena pemakaiannya sederhana, efek sampingnya minim
dan harganya termasuk murah. Jika tidak segera diobati cacing bisa lebih banyak bereproduksi
dan telur cacing pada feses dapat mencemari lingkungan.
Infeksi cacing Ascaris lumbricoides pada Diok ini dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, meliputi kebersihan rumah, lantai yang masih terbuat dari tanah dapat menjadi tempat
transmisi dari telur cacing tersebut. Tanahnya lembab dan sedikit basah sehingga memungkinkan
telur dapat tumbuh dengan baik. Kurangnya frekuensi cuci tangan sebelum dan sesudah makan
atau buang air besar. Diok juga suka bermain tanah di sekitar rumah semisal saat bermain
kelereng, sehingga sangat memungkinkan telur cacing tertelan saat makan makanan ringan
tanpa mencuci tangan
Infeksi oleh parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Diagnosis
yang berdasarkan gejala klinik saja kurang dapat dipastikkan, segingga harus dengan bantuan
pemeriksaan labolatorium. Bahan yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasit, untuk cacing
atau protozoa usus maka bahan yang diperiksa adalah tinja. Identifikasi terhadap kebanyakkan
telur cacing dapat dilakukan dalam bebrapa hari setelah tinja dikeluarkan.
Oleh karena itu Untuk dapat mengatasi infeksi cacing secara tuntas, maka upaya
pencegahan dan terapi merupakan usaha yang sangat bijaksana dalam memutus siklus
penyebaran infeksinya. Pemberian obat anti cacing secara berkala setiap 6 bulan dapat pula
dikerjakan. Menjaga kebersihan diri (Ian lingkungan serta sumber bahan pangan adalah
merupakan sebagian dari usaha pencegahan untuk menghindari dari infeksi cacing.
Memasyarakatkan cara-cara hidup sehat, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar, dimana
usia ini merupakan usia yang sangat peka untuk menanamkan dan memperkenalakan kebiasaan-
kebiasaan baru.
Budayakan kebiasaan dan perilaku pada diri sendiri, anak dan keluarga untuk mencuci tangan
sebelum makan. Kebiasaan akan terpupuk dengan baik apabila orangtua meneladani. Dengan
mencuci tangan makan akan mengeliminir masuknya telur cacing ke mulut sebagai jalan masuk
pertama ke tempat berkembang biak cacing di perut kita.
Pakailah alas kaki jika menginjak tanah. Jenis cacing ada macamnya. Cara masuknya pun
beragam macam, salah satunya adalah cacing tambang (Necator
americanus ataupun Ancylostoma duodenale). Kedua jenis cacing ini masuk melalui larva cacing
yang menembus kulit di kaki, yang kemudian jalan-jalan sampai ke usus melalui trayek saluran
getah bening. Kejadian ini sering disebut sebagai Cutaneus Larva Migran.
Gunting dan bersihkan kuku secara teratur. Kadang telur cacing yang terselip di antara kuku
Anda dan selamat masuk ke usus Anda dan mendirikan koloni di sana.
Jangan buang air besar sembarangan dan cuci tangan saat membasuh. Setiap kotoran baiknya
dikelola dengan baik, termasuk kotoran manusia. Di negara kita masih banyak warga yang
memanfaatkan sungai untuk buang hajat. Dengan perilaku ini maka kotoran-kotoran ini akan liar
tidak terjaga, sehingga mencemari lingkungannya. Dan, jika lingkungan sudah cemar, penularan
sering tidak pandang bulu. Orang yang sudah menjaga diri sebersih mungkin sekalipun masih
dapat dihinggapi parasit cacing ini.
Bertanam atau Berkebunlah dengan baik. Ambillah air yang masih baik untuk menyiram
tanaman. Agar air ini senantiasa baik maka usahakan lingkungan sebaik mungkin. Menjaga alam
ini termasuk bagian dalam merawat kesehatan.
Pedulilah dengan lingkungan, maka akan dapat memanfaatkan hasil yang baik. Jika air yang
digunakan terkontaminasi dengan tinja manusia, bukan tidak mungkin telur cacing bertahan pada
kelopak-kelopak tanaman yang ditanam dan terbawa hingga ke meja makan.
Cucilah sayur dengan baik sebelum diolah. Cucilah sayur di bawah air yang mengalir.
Hati-hatilah makan makanan mentah atau setengah matang, terutama di daerah yang
sanitasinya buruk.
Buanglah kotoran hewan hewan peliharaan kesayangan Anda seperti kucing atau anjing pada
tempat pembuangan khusus.
Pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan, terutama bagi Anda yang risiko
tinggi terkena infestasi cacing ini, seperti petani, anak-anak yang sering bermain pasir, pekerja
kebun, dan pekerja tambang (orang-orang yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.
Jika penyakit kecacingan ini sudah menjangkit sebaiknya dilakukan pengobatan dengan
cara penanganan untuk mengatasi infeksi cacing dengan obat-obatan merupakan pilihan yang
dianjurkan. Obat anti cacing Golongan Pirantel Pamoat (Combantrin dan lain-lain) merupakan
anti cacing yang efektif untuk mengatasi sebagian besar infeksi yang disebabkan parasit
cacing. Intervensi berupa pemberian obat cacing ( obat pirantel pamoat 10 mg / kg BB dan
albendazole 10 mg/kg BB ) dosis tunggal diberikan tiap 6 bulan pada anak untuk mengurangi
angka kejadian infeksi ini pada suatu daerah .Paduan yang serasi antara upaya prevensi dan
terapi akan memberikan tingkat keberhasilan yang memuaskan, sehingga infeksi cacing secara
perlahan dapat diatasi secara maksimal, tuntas dan paripurna.
B.2. Percobaan 2
Percobaan kedua ini setelah diamati dari berbagai lapang pandang, pada sampel feses
tidak ditemukan adanya telur cacing, atau dapat dikatakan bahwa Nesa tidak terinfeksi cacing
parasit atau adanya kemungkinan terjadi kesalahan dalam Praktikum Pemeriksaan Feses ini.
Kesalahan pada pengambuilan sampel feses, yaitu kesalahan manusia/hospes, apakah diambil
pada tempat pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, apakah tercampur dengan urin
atau yang lainnya.
Kesalahan penyimpanan feses, yaitu kesalahan pada tempat yang digunakan sebagai tempat
penyimpanan feses. Baik dari faktor suhu maupun kondisi ruangan yang tidak steril. Selain itu
juga waktu antara pengambilan sampel feses dengan waktu dilakukannya Pemeriksaan yang
terlalu lama juga dapat mempengaruhi hasil dari Pemeriksaan atau Praktikum ini.
1. Keterbatasan alat-alat praktikum, yaitu jumlah alat yang digunakan untuk praktikum yang
kurang memadai, sehingga kelompok kami hanya melakukan Pemeriksaan dengan satu
metode yaitu metode apung tanpa sentrifugasi sedangkan kelompok yang lain melakukan
dengan dua metode yaitu metode apung dengan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi.
2. Karena bahan yang digunakan pada Praktikum adalah feses, maka Praktikan harus menahan
bau yang menyengat yang ditimbulkan dari feses tersebut.
B.3. Percobaan 3
Percobaan ketiga setelah diamati dari berbagai lapang pandang, diperoleh hasil
negatif (tidak ditemukan telur cacing). Hasil negatif pada metode yang dilaksanakan dapat
disebabkan antara lain :
1. Sampel tinja yang diperoleh dari orang yang sehat (tidak terinfeksi cacing parasit).
2. Kurang ketelitian dan kecerobohan praktikan dalam melakukan praktikum. Misalnya pada
metode apung, saat larutan feses didiamkan pada tabung reaksi, tabung reaksi goyang
sehingga telur yang sudah terapung mengendap lagi.
3. Kurangnya pemahaman praktikan pada bentuk morfologi telur maupun larva cacing parasit.
4. Praktikan kurang paham tentang urutan kerja pada masing-masing metode.
5. Pada saat diambil fesesnya, cacing belum bertelur sehingga tidak ditemukan telur pada feses.
Identifikasi parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa dengan
mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah dipulas. Hal yang
menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari bermacam-macam parasit tetapi
perbedaan individual tidak memungkinkan membedakan spesies hanya dengan melihat besarnya.
Tinja sebagai bahan pemeriksa harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering
bebas dari urine. Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa
hari setelah tinja dikeluarkan (Kurt, 1999).
IV. PENUTUP
A. Kesimpulan
Percobaan pertama yaitu sampel feses dari Diok positif terinfeksi cacing parasit
usus Ascaris lumbricoides berdasarkan pengamatan morfologi telur cacing dari sampel feses
segar. Pemeriksaan tersbut dilakukan dengan cara metode apung (flotation metodhe).
Percobaan kedua dan ketiga yaitu masing-masing dari sampel feses Nesa dan Nurdin
diperoleh hasil negatif terinfeksi cacing.
Metode apung (Floating method) adalah metode dengan menggunakan larutan NaCl
jenuh atau larutan gula atau larutan gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur
sehingga telur akan mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan
feses yang mengandung sedikit telur.
Kelebihan dari metode ini adalah baik untuk semua jenis telur baik untuk infeksi berat
dan ringan. Telur yang ditemukan terpisah dari kotoran.
Kekurangan dari metode ini adalah penggunaan feses banyak dan memerlukan waktu
yang lama sehingga perlu ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
B. Saran
Semua anggota keluarga hendaknya menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari, diantaranya sebagai berikut : Membuat jamban keluarga,
meningkatkan higiene perseorangan, tidak buang air besar di sembarang tempat, tidak
menggunakan tinja sebagai pupuk, perbaiki sanitasi lingkungan dan rajin mencuci tangan.
Bagi para praktikan supaya lebih memperhatikan prosedur penelitian yang telah
ditetapkan. Selain itu, para praktikan di tekankan untuk menjaga kebersihan agar tak ada
penularan lanjutan dari telur yang ditemukan.
DAFTAR PUSTAKA
Hardidjaja, Pinardi & TM. 1994. Penuntun Laboratorium Parasitologi Kedokteran. FKUI, Jakarta.
Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume . Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Neva, F.A. and H.W.Brown. 1994. Basic Clinical Parasitology, Appleton and Lange, New York,
Noble, R.N. 1961. An Illustrated Laboratory Manual of parasitology, Burgess Publishing, Minnesota.
Soejoto dan Soebari. 1996. Parasitologi Medik Jilid 3 Protozoologi dan Helmintologi.EGC, Solo.