04011181520069
LEARNING ISSUE
I. Kejang Demam
a. Definisi
Angka kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa mencapai 27%.
Angka kejadian kejang demam di Jepang mencapai 910%.
Sekitar 30% pasien akan mengalami kejang demam berulang dan kemudian
meningkat menjadi 50%, jika kejang pertama terjadi pada usia kurang dari 1
tahun.
Sekitar 935% kejang demam pertama kali adalah kompleks, lalu 25% kejang
demam kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi.
Sekitar 20%-30% kejang demam sederhana akan berkembang menjadi kejang
demam kompleks.
c. Etiologi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak dengan kenaikan suhu tubuh
(>38,5oC). Penyebab dari kejang demam ini lebih berkaitan pada etiologi yang
menyebabkan suhu anak tersebut meningkat. Hal paling sering yang menyebabkan
peningkatan suhu tubuh seorang anak adalah infeksi dan proses inflamasi, seperti
1
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
tonsilitis, infeksi saluran napas atas, otitis media dan infeksi yang disebabkan oleh
Herpes Simplex Virus 6.
e. Faktor risiko
Genetik
Pada 25%-40% kasus kejang demam, riwayat kejang demam pada keluarga positif
ditemukan. Kejang demam dapat berlanjut menjadi epilepsy pada pasien dengan
mutasi gen SCN1A, SCN1B, dan GABGR2.
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan selama intrauterine
Apabila terdapat pertumbuhan yang lambat selama masa intrauterine akan
meningkatkan risiko terjadinya kejang demam pada anak tersebut. Berat badan
lahir rendah dan umur kehamilan yang kurang dari cukup juga akan meningkatkan
terjadinya kejang demam.
Vaksinasi
Vaksinasi dapat meningkatkan risiko terjadinya kejang demam pada anak yang
megalami mutasi genetik sodium channel. Kejang demam pada anak yang
memang sudah mengalami mutasi genetik sodium channel lalu dipicu oleh
vaksinasi dinamakan Dravet Syndrome. Vaksin yang dapat memicu terjadinya
kejang demam adalah vaksin berupa whole cell diphtheria/tetanus/pertussis
(DTwP) dan measles containing vaccines. Untuk menghindari kejang demam
pada anak dengan mutasi genetik sodium channel adalah pemberian vaksin less
reactogenic diphtheria, tetanus, and a cellular pertussis (DTaP) vaccine.
2
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Metabolisme abnormal dan defisiensi
Beberapa studi mengatakan bahwa pasien dengan alkalosis respiratorius sistemik
dan pasien dengan defisiensi zinc akan meningkatkan risiko terjadinya kejang
demam.
Suhu tubuh yang tinggi
Suhu tubuh yang tinggi dapat disebabkan oleh infeksi dan proses inflamasi.
f. Patofisiologi
Menghasilkan :
LPS menstimulasi
IL-6, TNF-, IL-1ra, Suhu tubuh
makrofag
PGE-2
Metabolisme basal , kebutuhan O2
Inflamasi
Ekstabilitas neuronal glutamergic
Perubahan keseimbangan membrane sel neuron
IL-1
g. Manifestasi klinis
3
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Tatalaksana yang
Bangkitan Akut Ya
cepat dan tepat
Neurological red flags mis : trauma, penurunan GCS, dll Ya Segera rujuk ke
dokter saraf anak
Tidak
Neonatal Seizures Kejang Demam Kejang umum Kejang Parsial Intractable Seizures
Kejang Kejang
demam demam
sederhana kompleks
Tidak Imaging
perlu
imaging
4
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Bagan 2. Algoritma Diagnosis Kejang Demam
Sumber : http://www.imagingpathways.health.wa.gov.au/index.php/imaging-
pathways/paediatrics/child-with-seizure?tmpl=component&format=pdf
i. Diagnosis banding
5
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
j. Tatalaksana
6
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Menurut Konsensus Tatalaksana Kejang Demam IDAI 2016, tatalaksana kejang
demam pada anak dibagi menjadi dua bagian yaitu, tatalaksana pada saat kejang, dan
tatalaksana setelah kejang.
Tatalaksana saat kejang
a. Diazepam rectal 0,5-0,75 mg/kgBB atau,
5 mg untuk anak dengan berat badan < 12 kg,
10 mg untuk anak dengan berat badan >12 kg.
Apabila kejang belum berhenti, ulangi dengan cara dan dosis yang sama
dengan interval 5 menit. Bila masih belum berhenti, segera ke rumah sakit
untuk diberikan diazepam intravena.
b. Diazepam intravena 0,2-0,5 mg/kgBB dengan kecepatan 2 mg/menit atau
selama 3-5 menit dengan dosis maksimal 10 mg.
Tatalaksana setelah kejang
a. Profilaksis intermiten hanya diberikan pada saat anak demam
Diazepam oral : 0,3 mg/kgBB/hari
Diazepam rectal : 0,5 mg/kgBB/hari
Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor
risiko di bawah ini:
o Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
o Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
o Usia <6 bulan
o Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
o Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.
b. Profilaksis rumatan
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Asam valproat : 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
Fenobarbital : 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
c. Tidak perlu profilaksis
7
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Berdasarkan Konsensus Tatalaksana Kejang Demam IDAI 2016, edukasi yang dapat
diberikan kepada orang tua pasien adalah sebagai berikut,
1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang efektif,
tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
- Pencegahan kejang demam yang pertama tentu dengan usaha menurunkan suhu
tubuh apabila anak demam. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan obat
penurun panas, misalnya parasetamol atau ibuprofen. Hindari obat dengan bahan
aktif asam asetilsalisilat, karena obat tersebut dapat menyebabkan efek samping
serius pada anak. Pemberian kompres air hangat (bukan dingin) pada dahi, ketiak,
dan lipatan siku juga dapat membantu.
- Sebaiknya orangtua memiliki termometer di rumah dan mengukur suhu anak saat
sedang demam. Pengukuran suhu berguna untuk menentukan apakah anak benar
mengalami demam dan pada suhu berapa kejang demam timbul.
- Pengobatan jangka panjang hanya diberikan pada sebagian kecil kejang demam
dengan kondisi tertentu. (www.idai.or.id)
l. Komplikasi
Epilepsi
Peluang anak dengan riwayat kejang demam untuk menderita epilepsy adalah
sebesar 1,5%. Peluang tersebut dapat meningkat menjadi 2,5% apabila anak
tersebut berusia kurang dari 12 bulan pada saat bangkitan pertama.
Anak dengan riwayat kejang demam tidak berisiko tinggi untuk mengalami
kerusakan otak permanen, kecuali kejang tersebut berlangsung selama 30 menit
atau lebih. Tetapi, salah satu studi menyatakan bahwa, anak dengan riwayat
kejang demam sebelumnya, tidak sebaik anak yang tidak ada riwayat kejang
demam sebelumnya dalam hal prestasi, kepribadian, kebiasaan, dan memori.
8
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
m. Prognosis
Kematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Umumnya, prognosis
dari kejang demam adalah baik, tidak menganggu kognitif, sebagian besar tidak
berkembang menjadi epilepsy, terutama saat kejang demam tersebut dapat diatasi
dengan cepat.
Pada kejang demam, apabila kejang tersebut tidak ditatalaksana dengan baik, akan
meningkatkan risiko gangguan kognitif seperti,
- Kelainan neurologi atau perkembangan
- Kejang tanpa demam setelah episode kejang demam
n. SKDI
4A
DAFTAR PUSTAKA
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Konsensus Tatalaksana Kejang Demam 2016.
[Internet]. [cited 4 Sepetember 2017] Available from :
http://www.idai.or.id/professional-resources/guideline-consensus/konsensus-
penatalaksanaan-kejang-demam
9
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Seinfeld, Syndi dkk. 2013. Recent Research on Febrile Seizures: A Review.
Richmond: Virginia Commonwealth University
ANALISIS MASALAH
10
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
mengaktifkan sel Th. Melalui penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yang
diaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthma
dan membentuk IgE.
IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan
basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel
tersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofag
dan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah.
Bila seseorang yang sudah rentan terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen
yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada
permukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++ ke
dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses
degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyai
sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECF-A),
Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihat
oleh mediator tersebut ialah obstruksi oleh histamin.
Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas,
dan sekresi mukus. Sekresi mukus yang berlebihan menyebabkan pilek
11
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
c) Bagaimana algoritma penegakan diagnosis Kejang demam? Reni dimas
Jawab :
Tatalaksana yang
Bangkitan Akut Ya
cepat dan tepat
Neurological red flags mis : trauma, penurunan GCS, dll Ya Segera rujuk ke
dokter saraf anak
Tidak
Neonatal Seizures Kejang Demam Kejang umum Kejang Parsial Intractable Seizures
Kejang Kejang
demam demam
sederhana kompleks
Tidak Imaging
perlu
imaging
12
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
13
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Karena rigiditas nuchae yang nyata mengindikasikan iritasi meningeal,
pemeriksa harus membedakannya dari bentuk rigiditas servikal
lainnya. Dengan rigiditas nuchae yang nyata, leher hanya melawan
fleksi. Leher bergerak bebas melalui rotasi dan ekstensi, karena
gerakan ini tidak meregangkan meninges, medula spinalis, dan nerve
root. Untuk menunjukkan rigiditas hanya mempengaruhi otot nuchae,
lakukan dua hal berikut ini:
o Tempatkan tangan anda pada dahi pasien. Secara pasief gulingkan
kepala pasien dari satu sisi ke sisi lainnya untuk menunjukkan
rotasi kepala yang bebas meski ada resistensi terhadap fleksi
o Kemudian angkat bahu pasien untuk membiarkan kepala jatuh ke
arah belakang, menguji kebebasan ekstensi
o Rigiditas servikal berrarti ada resistensi apapun terhadap gerakan
leher ke segala arah. Sebaliknya, rigiditas nuchae secara khusus
berarti resistensi terhadap fleksi leher, yaitu rigiditas bagian
belakang leher
14
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
3) Brudzinski kontralateral
Cara pemeriksaan
o Salah satu tungkai pasien diangkat dengan sikap lurus di sendi
lutut dan fleksi di sendi panggul, lutut kemudian difleksikan
Reaksi abnormal: tungkai kontralateral timbul gerakan fleksi di sendi
lutut
4) Kernig sign
Cara pemeriksaan
o Pasien berbaring lurus di tempat tidur
o Kaki fleksi pada pangkal paha dengan lutut dalam keadaan fleksi
o Kemudian usahakan ekstensi lutut
o Ulangi untuk sisi yang lain
Interpretasi hasil :
o Lutut lurus tanpa kesulitan: normal
o Resistensi terhadap pelurusan lutut: Kernigs signbilateral
mengindikasikan iritasi meningeal; jika unilateral, mungkin terjadi
pada radikulopati (bandingkan dengan straight leg raising)
15
RENI WAHYU NOVIANTI
04011181520069
Refleks Tendon Dalam
- Klonus adalah kontraksi-relaksasi otot yang ritmik, cepat dan involunter. Klonus
merupakan tanda kelainan neurologis, terutama lesi upper motor neuron
- Klonus pergelangan kaki dapat diperiksa dengan melakukan dorsofleksi cepat
pada pergelangan kaki. Akan terjadi klonus otot-otot betis.
- Klonus patella dapat diperiksa dengan mendorong patella ke arah kaki dengan
cepat.
16