Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebakaran merupakan hal yang sangat tidak diinginkan, tidak mengenal waktu, tempat
atau siapapun yang menjadi korbannya. Masalah kebakaran di sana-sini masih banyak terjadi.
Hal ini menunjukkan betapa perlunya kewaspadaan pencegahan terhadap kebakaran perlu
ditingkatkan. Kebakaran dapat dicegah dengan melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan kebakaran mulai dari perencanaan darurat kebakaran, organisasi/unit
penanggulangan kebakaran, penyediaan jalur evakuasi, penyediaan sarana dan fasilitas dalam
menghadapi kebakaran serta pembinaan dan latihan.

Kebakaran merupakan salah satu bencana yang memerlukan tindakan penanganan secara
cepat dan tepat. Semakin oepat dan tepat penanganan bencana kebakaran, maka kerugian
(baik kerugian berupa hilangnya nyawa, cederanya manusia maupun kemgian materiil) yang
timbul akibat kebakaran ini akan semakin kccil. Tidak terkecuali apabila bencana kebakaran
teriadi di rnunah sakit.

Penanganan bencana kebakaran di rumah sakit meliputi dua kegiatan besar, yaitu
kegiatan pemadaman kebakaran itu sendiri dan kegialan kedua adalah tindakan evakuasi
terhadap penghuni gedung apabila ternyata kebakaran tidak dapat Iagi diatasi. Agar kedua
kegiatan tersebut dapat berialan dengan cepat, maka semua sumber daya di rumah sakit
tersebut harus dapat berfungsi dengan baik, dengan cara penetapan masing-masing tugas dan
tanggung jawab pada sumber daya manusia yang ada, serta kesiapan dan ketersediaan sumber
daya peralatan yang memadai.

Bencana kebakaran harus dikelola dengan baik dan terencana mulai dari pencegahan,
penanggulangan dan rehabilitasi setelah terjadi kebakaran, karena kecenderungan masyarakat
selama ini hanya bereaksi setelah kebakaran terjadi bahkan bahaya kebakaran sering
diabaikan dan tidak mendapat perhatian dari sistem manajemen.

Pengelolaan bencana kebakaran juga bukan sekedar menyediakan alat pemadam atau
melakukan latihan peran kebakaran, namun diperlukan suatu program yang terencana dalam
suatu sistem manajemen kebakaran yang merupakan upaya terpadu untuk mengelola resiko
kebakaran mulai dari perecanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan tindak lanjutnya (Ramli,
2010).
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum

1.2.2. Tujuan Khusus


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Kebakaran

Kebakaran merupakan sesuatu bencana yang disebabkan oleh api atau pembakaran
tidak terkawal, membahayakan nyawa manusia, bangunan atau ekologi.
Kebakaran adalah suatu peristiwa oksidasi dengan ketiga unsur (bahan bakar, oksigen
dan panas) yang berakibat menimbulkan kerugian harta benda atau cidera bahkan sampai
kematian.

Menurut Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional (DK3N), kebakaran


adalah suatu peristiwa bencana yang berasal dari api yang tidak dikehendaki yang dapat
menimbulkan kerugian, baik kerugian materi (berupa harta benda, bangunan fisik,
deposit/asuransi, fasilitas sarana dan prasarana, dan lain-lain) maupun kerugian non
materi (rasa takut, shock, ketakutan, dan lain-lain) hingga kehilangan nyawa atau cacat
tubuh yang ditimbulkan akibat kebakaran tersebut.

Sifat kebakaran seperti dijelaskan dalam bahan training keselamatan kerja


penanggulangan kebakaran adalah terjadi secara tidak diduga, tidak akan padam apabila
tidak dipadamkan, dan kebakaran akan padam dengan sendirinya apabila konsentrasi
keseimbangan hubungan 3 unsur dalam segitiga api tidak terpenuhi lagi.

Definisi lain datang dari BNBP (2010), menurut lembaga yang berwenang terhadap
penanggulangan bencana di indonesia tersebut, bencana adalah peristiwa atau rangkaian
peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam maupun faktor manusia
sehingga mengakibtkan tibulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.

2.2 Penyebab Kebakaran


Menurut Agus Triyono (2001), kebakaran terjadi karena manusia, peristiwa alam,
penyalaan sendiri dan unsur kesengajaan.

a. Kebakaran karena manusia yang bersifat kelalaian, seperti:


1. Kurangnya pengertian, pengetahuan tentang penanggulangan bahaya kebakaran.
2. Kurang hati-hati dalam menggunakan alat atau bahan yang dapat menimbulkan
api.
3. Kurangnya kesadaran pribadi atau tidak disiplin.
b. Kebakaran karena peristiwa alam terutama menyangkut cuaca dan gunung berapi,
seperti sinar matahari, letusan gunung berapi, gempa bumi, petir, angin dan topan.
c. Kebakaran karena penyalaan sendiri, sering terjadi pada gudang-gudang bahan kimia
dimana bahan-bahan tersebut bereaksi dengan udara, air dan juga dengan bahan-
bahan lainnya yang mudah meledak atau terbakar.
d. Kebakaran karena unsur kesengajaan, untuk tujuan-tujuan tertentu, misalnya:
1. Sabotase untuk menimbulkan huru-hara, kebanyakan dengan alasan politis.
2. Mencari keuntungan pribadi karena ingin mendapatkan ganti rugi melalui
asuransi kebakaran.
3. Untuk menghilangkan jejak kejahatan dengan cara membakar dokumen atau
bukti-bukti yang dapat memberatkannya.
4. Untuk jalan taktis dalam pertempuran dengan jalan bumi hangus.

Kebakara terjadi karena :


Penyebab kebakaran dapat bermacam-macam. Penyebab ini harus dapat diidentifikasi
pihak managemen, sehingga penyebab kebakaran dapat dicegah. Berikut beberapa
penyebab yang menimbulkan kebakaran :

a. Bahaya listrik
Kebakaran akibat listrik sering terjadi di kantor kantor dibandingkan dengan
rumah. Penyebabnya bisa berawal dari kontak/sirkuit listrik yang terlalu banyak atau
kontak yang terlalu panas, dan kabel kabel yang tidak aman. Kekurangan jumlah
stop kontak yang menyebabkan penggunaan adaptor juga akan menyebabkan
kebakaran. Bahaya listrik memerlukan electrical audit untuk mengecek kabel yang
tidak aman maupun kabel yang memiliki terlalu banyak beban.
b. Hot work
Kebakaran yang disebabkan oleh hot work sering berasal dari sumber sumber yang
tidak diperkirakan, sehingga sebaiknya perkantoran mengurangi portable heater
seperti oven, kompor dan lain lain.
c. Mesin
Mesin yang sangat panas dapat menyebabkan kebakaran, sehingga harus secara
teratur di servis. Tempat pembuangan udaranya harus selalu dibersihkan untuk
mencegah terjadinya pemanasan mesin.
d. Rokok
Merupakan salah satu penyebab kebakaran di tempat kerja. Rokok seharusnya
dilarang di daerah kerja dimana bahan bahannya mudah terbakar.
e. Cairan yang mudah terbakar
Dalam pencegahannya, cairan yang mudah terbakar seharusnya disimpan dalam
tempat yang tertutup logam. LPG juga merupakan cairan yang mudah terbakar dan
harus disimpan secara aman.
f. Bad Housekeeping
Seperti print-out komputer atau berkas berkas yang masih berserakan di atas meja,
peralatan listrik seperti komputer yang masih tersambung aliran listrik bisa saja
memicu timbulnya kebakaran. Perlu ada kebijakan kantor yang membiasakan
seluruh karyawannya untuk disiplin melakukan prosedur-prosedur pencegahan
sebelum meninggalkan ruang kerjanya pada jam pulang kantor.
g. Kebakaran yang disengaja
Merupakan usaha percobaan untuk menutupi kriminalitas atau berasal dari
perselisihan perorangan. Perusahaan dapat mencegah kebakaran yang disengaja
dengan memastikan sistem proteksi kebakaran dites secara berkala.

2.3 Klasifikasi Kebakaran


Ketika hendak melakukan perlindungan terhadap bahaya kebakaran, perlu diketahui jenis
bahaya kebakaran yang sedang terjadi berdasarkan material yang terbakar, supaya dapat
diketahui jenis pemadam apa yang yang paling tepat digunakan. Berdasarkan penjelasan
pasal 37 Peraturan Daerah Kota Bandung No.15 Tahun 2001 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Bahaya Kebakaran, terdapat 4jenis kebakaran dan bahan pemadamnya
yaitu:
1. Kebakaran biasa, yaitu kebakaran benda-benda padat kecuali logam yang mudah
terbakar (seperti kertas, kayu, pakaian)disebut jenis kebakaran kelas A.
Penanggulangannya dapat menggunakan alat pemadam pokok yaitu air, foam, CO2,
atau bubuk kimia kering.
2. Kebakaran bahan cairan yang mudah terbakar (seperti minyak bumi,gas, lemak, dan
sejenisnya) disebut jenis kebakaran kelas B. Penanggulangannya dapat menggunakan
alat pemadam lengkap yang memakai zat kimia yaitu foam, CO2, atau bubuk kimia
kering.
3. Kebakaran listrik (seperti kebocoran listrik atau konsleting, kebakaran pada alat-alat
listrik generator, motor listrik) disebut jenis kebakaran keas C. Penanggulangannya
dapat menggunakan alat pemadam jenis CO2 dan bubuk kimia kering.
4. Kebakaran logam, seperti seng, magnesium, serbuk aluminium, sodium, titanium,
disebut jenis kebakaran kelas D.

2.4 Proses Terjadinya Kebakaran

Proses perkembangan api dalam kejadian kebakaran terjadi melalui beberapa tahap
(mantra, 2005) yaitu :

1. Tahap Penyalaan/Peletusan
Tahap ini ditandai oleh munculnya api dalam ruangan yang disebabkan adanya energy
panas yang menganai material dalam ruangan.
2. Tahap Pertumbuhan
Pada tahap ini api mulai berkembang sebagai fungsi dari bahan bakar. Tahap ini
merupakan tahap yang paling tepat untuk melakukan evakuasi dan tahap dimana
sensor encegahan kebakaran atau alat pemadam mulai bekerja.
3. Tahap Flashover
Tahap ini merupakan masa trasisi antara tahap pertumbuhan dengan tahap
pembakaran penuh, dengan suhu antara 300 sampai 600 derajat celcius.
4. Tahap Pembakaran Penuh
Pada tahap ini, energy panas yang dilepaskan adalah yang paling besar. Seluruh
material dalam ruangan terbakar sehingga temperature dalam ruang adalah sebesar
1200 derajat celcius.
5. Tahap Surut
Tahap ini ditandai dengan material terbakar yang mulai habis dan temperature mulai
menurun.

2.5 Warning System


Sistem Peringatan Dini (Early Warning System) adalah serangkaian sistem yang
berfungsi untuk memberitahukan akan terjadinya kejadian alam, Sistem peringatan dini
ini akan memberitahukan terkait bencana yang akan terjadi atau kejadian alam lainnya.
Peringatan dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan memberikan
informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam keadaan kritis,
secara umum peringatan dini yang merupakan penyampaian informasi tersebut
diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya.

a. Sistem Peringatan Dini Nasional


Peringatan dini di masyarakat dapat dikembangkan dengan mengacu pada
skema peringatan yang ada pada tingkat nasional dimana sumber peringatan resmi
berasal dari
lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan peringatan.
Lembaga-lembaga tersebut adalah:
1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);
2. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bertanggung jawab untuk
memberikan peringatan dini cuaca, bencana gempabumi dan tsunami;
3. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, (PVMBG), Badan
Geologi bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini bencana Letusan
gunungapi dan gerakan tanah;
4. Kementerian Pekerjaan Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Air, bertanggung jawab untuk memberikan peringatan
bencana banjir dan kekeringan;
5. Kementerian Kehutanan bertanggung jawab untuk memberikan peringatan dini
bencana kebakaran hutan.

Skema peringatan dini bencana pada tingkat nasional dapat dilihat pada
Gambar
Peringatan dini pada tingkat masyarakat harus memiliki beberapa prinsip
sebagai berikut:
1. Tepat waktu;
2. Akurat;
3. Dapat dipertanggungjawabkan.

Suatu sistem peringatan dini akan dapat dilaksanakan jika memenuhi


ketiga syarat berikut:

1. Adanya informasi resmi yang dapat dipercaya;


2. Adanya alat dan tanda bahaya yang disepakati;
3. Ada cara/mekanisme untuk menyebarluaskan peringatan tersebut;

b. Sistem Peringatan Dini di Masyarakat

Peringatan dini masyarakat dikembangkan dengan mengacu pada skema


peringatan yang ada pada nasional yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
peringatan resmi (official warning). Hal ini diperlukan agar informasi peringatan dini
dapat diimplementasikan di masyarakat. Pada beberapa wilayah di mana tidak dapat
menerima peringatan dini bencana dari lembaga nasional, maka gejala alam akan
terjadinya bencana menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan sebagai indikasi
akan terjadinya bencana, sehingga hal tersebut dapat dijadikan dasar pengambilan
keputusan bentuk peringatan dini yang akan dikeluarkan.

Dasar pengambilan keputusan peringatan dini pada masyarakat


Dari Gambar tersebut terlihat bagaimana tanda kejadian bencana dijadikan sebagai dasar
pengambilan keputusan untuk penyebaran peringatan dini bencana setelah melalui proses
pemantuan dan deteksi bencana, dan dilakukan analisis singkat atas gejala-gejala yang
ditimbulkan untuk menghasilkan rekomendasi keputusan peringatan yang akan
dikeluarkan. Pengetahuan gejala alam akan potensi terjadinya bencana menjadi faktor
utama bagi masyarakat untuk dapat mengambil tindakan yang dibutuhkan. Pengetahuan
gejala alam ini dapat dikembangkan dari pengetahuanpengetahuan lokal yang sudah ada
diketahui secara luas tentang bagaimana suatu benjana akan terjadi. Masyarakat sangat
berperan dalam efektifitas sistem peringatan dini ini. Peran ini tercermin dari kesadaran
atau kepedulian masyarakat serta pemahaman terhadap sistem peringatan, ditambah
dengan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan terkait (tindakan
antisipatif, prosedur evakuasi dan sebagainya). Harus diperhatikan juga bahwa terlalu
banyak peringatan yang salah dapat mengakibatkan kejenuhan atas peringatan yang terus
menerus, sehingga akhirnya sistem peringatan menjadi tidak efektif lagi.
c. Pengorganisasian Peringatan Dini
Sesuai dengan prinsipnya bahwa peringatan dini harus dapat dipertanggungjawabkan,
maka pada tingkat masyarakat harus dibentuk Kelompok Peringatan Dini yang
bertanggungjawab untuk melakukan proses pemantuan gejala alam, analisis serta
mengeluarkan peringatan dini dan pelaporan. Kelompok ini dapat berada pada struktur
Kelompok Siaga Bencana di tingkat masyarakat dan dibawah pembinaan pemerintah
daerah setempat melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)

Struktur kelompok peringatan dini tingkat masyarakat


Kelompok Peringatan Dini ini terdiri dari empat tim, yaitu:

1. Tim Pemantau;
2. Tim Analisis;
3. Tim Diseminasi;
4. Tim Pelaporan.

Proses pemantauan dan analisis informasi merupakan fase pemanfaatan


informasi. Proses ini dapat dilakukan oleh individual berdasarkan masukan dari staffnya
(biasanya melalui suatu pertemuan khusus). Proses pengambilan keputusan merupakan suatu
phase kritis yang mengubah informasi jadi arahan. Kegiatan ini dilakukan oleh
individual/perseorangan yang bertanggung jawab penuh atas tindakannya, atau oleh
seseorang yang memegang tanggung jawab tertentu atas konsultasi dengan staf atau penasihat
ahlinya. Tindakan yang dilakukan berupa tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam
bentuk serangkaian arahan, baik dinamik maupun statik. Contoh arahan dinamik : SAR,
evakuasi, mobilisasi sumberdaya, peringatan/instruksi untuk masyarakat, sedangkan statik
statik bisa berupa menunggu informasi lebih lanjut/stand-by, atau tidak perlu mengambil
tindakan apa-apa.

Anggota gugus ini berasal dari perwakilan masyarakat bisa dari perwakilan tokoh
masyarakat, tokoh pemuda, ibu-ibu PKK, serta kader-kader lainnya yang memiliki latar
belakang keterampilan yang sesuai dengan tugastugas tersebut. Perwakilan masyarakat ini
yang akan menjadi kader-kader (avant-guard) di tingkat masyarakat untuk memberikan
respon pertama jika terjadi bencana.

Kelompok peringatan dini tingkat masyarakat ini harus dapat memanfaatkan dan
memaksimalkan seluruh potensi dan sumberdaya yang dimiliki, sehingga tidak akan
mengalami ketergantungan yang tinggi kepada lembaga atau pihak lainnya. Lembaga
nasional atau lembaga lainnya hanya bersifat memberikan.
Diseminasi dan Rantai Informasi Peringatan Dini

Penyebaran peringatan harus dapat dilaksanakan dengan cepat dan akurat,


maka peringatan dini yang dibangun harus memiliki jaringan informasi dan
komunikasi secara cepat. Peringatan dini bencana harus segera diaktivasi jika gejala-gejala
alam yang terjadi menunjukkan indikasi adanya potensi bencana yang lebih tinggi.
Skema peringatan dapat dilihat pada Gambar berikut:

Skema peringatan dini bencana

Sumber informasi dari peringatan bencana dapat berasal dari peringatan resmi dari
pemerintah misal dari sistem peringatan dini melalui pejabat/kantor yang disepakati
mempunyai wewenang (Stasiun BMKG, Pos Pantau Gunung Api, Pengamat Banjir dan
sebagainya), maupun dari gejala alam yang berpotensi terjadi bencana atau dari masyarakat
di tempat kejadian (misal orang yang melihat air surut setelah gempa kuat sebagai tanda
awal). Tahapan diseminasi peringatan ini adalah dengan mengaktifkan sistem
peringatan dini bencana. Mekanisme diseminasi ini harus ditetapkan dan disepakati oleh
seluruh unsur pelaksana di masyarakat dan dilegalkan secara hukum sesuai dengan
kewenangan wilayahnya. Penyebarluasan informasi ini dapat menggunakan
perangkat/peralatan yang dimiliki masyarakat dan mampu menjangkau seluruh wilayah
bahaya. Alat-alat tradisional seperti kentongan, lonceng, bedug dan sebagainya. Juga
peralatan komunikasi lain seperti telepon/telex/fax/sms/mms dan sebagainya, atau pesan
melalui jaringan internet. Radio siaran/TV, kemudian jaringan radio amatir/RAPI/HT/SSB
juga dapat melakukan fungsi pengiriman pesan. Tanda alarm seperti sirene yang sudah
disepakati bersama dapat menjadi alat penyampai pesan yang efektif dengan disosialisasikan
tanda bunyinya.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Kebakaran Hutan Di Riau Yang Mengakibatkan Banyak Kerugian

Kepulan asap membubung tinggi dari kebakaran hutan dan lahan di Kerumutan,
Kabupaten Pelalawan, Riau, Kamis (27/3/2014). Kebakaran hutan dan lahan di Riau kembali
terjadi yang membuat beberapa wilayah di Riau diselimuti kabut asap.

Kebakaran lahan gambut yang terjadi di Kepulauan Riau dan beberapa daerah di Kalimantan
membuat negara tetangga merasa terganggu, khususnya Singapura. Hal itu disebabkan oleh
pola cuaca yang tidak teratur, jika siang hari panas, malamnya turun hujan deras, Tipe iklim
Riau adalah equatorial, artinya memiliki 2 puncak musim hujan dan musim kemarau yang
panjang.

Untuk mengatasi beberapa kebakaran di hutan itu, Kementerian Kehutanan mengerahkan tim
Manggala agni untuk memadamkan titik-titik api, selain itu tim modifikasi cuaca telah
disiagakan untuk pemadaman api dari udara. Pihak kepolisian juga telah bersiap menyelidiki
jika adanya kemungkinan kesengajaan dalam kebakaran tersebut.

Jika kebakaran tidak segera di tuntaskan maka kebakaran hutan dan lahan bakal terulang
seperti tahun-tahun sebelumnya. Apalagi tahun 2015, El Nino moderate makin menguat
sehingga diperkirakan kemarau hingga November 2015, akibatnya beberapa provinsi
contohnya pelalawan masyarakatnya banyak yang mengalami sesak nafas,

Kadin riau menghitung nilai kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan di provinsi riau
sangatlah besardan juga ada peringatan agar kapal-kapal laut mulai berhati-hati, praktis hanya
transportasi darat yang masih jalan walaupun sangat lambat.

Kekhawatiran terbesar jika kondisi ini berlanjut adalah ibu hamil yang mengakibatkan
nantinya akan melahirkan anak dengan tubuh yang tidak sempurna dan kemampuan otak
yang rendah ,karena menurut dokter anak yang terkena kabut asap akan tumbuh menjadi
idiot.

Mereka bahkan sulit untuk pergi dari kepungan asap , lantaran transportasi udara setempat
dan tetangga juga bernasip sama.
El Nino merupakan naiknya suhu permukaan laut di Samudra Pasifik sekitar ekuator,
khususnya di sekitar Cile dan Peru, yang diikuti dengan turunnya suhu permukaan air di
beberapa wilayah perairan Indonesia. Dampaknya adalah terjadinya kekeringan di sejumlah
wilayah Indonesia. Upaya pemadaman tetap dilakukan dalam hal ini BNPB masih tetap
melakukan water bombing dengan mengerahkan 3 helikopter di Riau dan hujan buatan juga
masih dilakukan, sementara di Sumatra Selatan kita lakukan hujan buatan dan dua helikopter
untuk water bombing, dan upaya pemadaman juga dilakukan oleh satgas di darat

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tengah menangani 10 kasus melalui sengketa
pengadilan, yang sebagian besar merupakan kasus kebakaran lahan

Dampak yang di timbulkan

- Banyak tumbuhan tumbuhan yang terbakar

- Kerusakan harta benda yang terkena imbasnya oleh api yang cepat menyebar

- Gangguan pengelihatan / jarak pandang yang melumpuhkan transportasi udara dan laut,
hanya darat yang beroprasi tetapi sangat lambat.

- Suhu Naik karena emisi yang di timbulkan

B. Peran Perawat dalam Bencana Kebakaran pada Masyarakat

Keperawatan kesehatan masalah perkotaan merupakan bentuk pemberian asuhan


keperawatan yang berfokus pada masalah kesehatan masyarakat perkotaan. Pelayanan
keperawatan profesional ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada kelompok
risiko tinggi (Anderson & McFarlane, 2011). Pesatnya pertumbuhan kota, jumlah penduduk
yang meningkat dan keterbatasan wilayah dapat terjadi kepadatan tempat tinggal yang dapat
berisiko terjadi bencana salah satunya adalah kebakaran. Dalam LTM ini akan dibahas peran
perawat dalam bencana kebakaran pada masyarakat perkotaan.

Menurut UU RI No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulamgan Bencana, bencana merupakan


peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan karena faktor alam, faktor non alam, dan faktor
manusia yang dapat menimbulkan korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis. Menurut WHO (2002), bencana adalah kejadian yang menyebabkan
kerusakan, gangguan ekologis, hilangnya nyawa manusia, atau memburuknya derajat
kesehatan atau pelayanan kesehatan pada skala tertentu.

Tenaga kesehatan sanggat dibutuhkan dalam memberikan pelayanan dan dukungan terhadap
masyarakat yang mengalami bencana, salah satunya keterlibatan perawat. Perawat ikut serta
dalam memenuhi kebutuhan individu, kelompok dan masyarakat di saat bencana. Menurut
International Council of Nurses (2009), keterlibatan perawat dalam bencana digambarkan
perawat dengan keterampilan teknis dan pengetahuan tentang epidemiologi, fisiologi,
farmakologi dan masalah psikososial dapat membantu dalam program kesiapsiagaan bencana
serta selama bencana. Keperawatan bencana membutuhkan penerapan pengetahuan
keperawatan dasar dan keterampilan dalam lingkungan yang sulit dengan sumber daya yang
langka dan perubahan kondisi saat bencana. Keperawatan bencana menyiapkan perawatan,
advokasi, dan promosi kesehatan dalam konteks bencana. Kemampuan perawat dalam
berpikir kritis, kemampuan beradaptasi, kerja sama tim, dan kepemimpinan sangat penting
dan dan dibutuhkan untuk pengelolaan yang tepat dari korban bencana (Powers & Daily,
2010). Perawat sebagai anggota tim dapat bekerja sama dengan tim kesehatan lain, kelompok
masyarakat, lembaga pemerintah dan lembaga non-pemerintah.

Perawat komunitas memiliki peran penting dalam mencegah, mempersiapkan, menanggapi,


dan mendukung pemulihan dari bencana. Setelah pengkajian secara menyeluruh untuk faktor
risiko, perawat komunitas dapat memulai pembentukan tugas multidisiplin untuk mengatasi
pencegahan dan kesiapsiagaan bencana di komunitas. Pencegahan bencana terdiri dari
pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Allender, Rector, Warner, 2010).
1. Pencegahan primer
a. promosi kesehatan dan edukasi
meningkatkan kesadaran masyarakat dan meningkatkan persiapan masyarakat
melalui pendidikan
b. perlindungan kesehatan.
Masyarakat tahu apa yang harus dilakukan dan pergi ke tempat yang aman seperti di
rumah, tempat kerja, sekolah atau tempat umum lainnya.
2. Pencegahan sekunder
Pencegahan sekunder berfokus pada deteksi awal dan pengobatan.
3. Pencegahan tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi jumlah dan derajat kecacatan atau
kerusakan akibat dari bencana dengan rehabilitatif.

Menurut WHO dan ICN (2009), peran perawat dalam bencana dapat dimulai sejak tahap
mitigasi (pencegahan), tanggap darurat bencana, hingga tahap recovery. Kegiatan
kesiapsiagaan dan mitigasi telah menjadi prioritas utama diseluruh dunia. Kegiatan ini dapat
mengurangi risiko dan dampak bencana bagi masyarakat. Dalam hal ini perawat mempunyai
peran dalam perencanaan menangani bencana, pengembangan program ketahanan terhadap
bencana, pelatihan simulasi kesiapan menghadapi bencana, dan pendidikan tentang bencana
di masyarakat. Pada tahap tanggap bencana, kegiatan dilakukan setelah bencana selesai
setelah keadaan stabil. Pada fase ini, yang dilakukan perawat adalah tindakan penyelamatan,
memberikan perawatan darurat, melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan
tindakan pertolongan pertama dengan triase, evakuasi, dan treatment.
Setelah bencana terjadi, berlanjut pada fase pemulihan yaitu rehabiltiasi dan konstruksi
korban pasca bencana. Peran perawat pada fase pemulihan adalah pencegahan Post
Traumatic Stress Disoreder (PTSD) dengan melakukan playtherapy untuk mencegah dan
mengobati PTSD pada anak, pencegahan penyakit infeksi akibat terjadinya bencana seperti
ISPA dan pneumonia pasca erupsi gunung, penyakit kulit pasca banjir, dan luka bakar pasca
kebakaran (WHO & ICN, 2009).

Peran perawat terhadap bencana kebakaran tidak jauh berbeda dengan peran perawat bencana
secara umum. Peran perawat dalam penanganan bencana kebakaran dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya pengalaman, dan peran profesonal perawat di komunitas
(Stanhope & Lancaster, 2006). Peran perawat yang dapat dilakukan dalam bencana
kebakaran antara lain:

1. Peran perawat primer


Peran perawat primer yang dilakukan pada pra bencana, seperti:
a. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang bencana khususnya
kebakaran dengan penyuluhan dan simulasi, seperti paham mekanisme quick
responses seperti menghubungi dinas pemadam kebakaran setempat, langkah-
langkah rescue yang cepat dan tepat untuk meminimalisasi korban serta menekan
kerugian harta/benda dan meminimalisasi pengrusakan lingkungan akibat kebakaran
b. Pemetaan wilayah risiko tinggi terjadinya kebakaran
c. Melatih penanganan pertaa korban bencana kebakaran baik mengembangkan
kemampuan sendiri maupun melatih masyarakat umum agar dapat melaksanakan
penanganan pertama
d. Pelatihan pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
dengan kecurigaan fraktur tulang , perdarahan, dan pertolongan pertama luka bakar
(Nurwahyudin, 2016).

2. Peran Perawat dalam Keadaan Darurat


Kegiatan dilakukan setelah bencana selesai dan keadaan stabil. Pada fase ini, yang
dilakukan perawat adalah tindakan penyelamatan, memberikan perawatan darurat,
melakukan pengkajian secara cepat untuk memutuskan tindakan pertolongan pertama
dengan triase dan evakuasi.
Konsep triase pada saat terjadi bencana adalah pasien dengan luka ringan dan pasien luka
parah yang tidak ada harapan untuk diselamatkan, tidak diprioritaskan. Triase yang dapat
dilakukan dalam bencana kebakaran :
a. Merah
Keadaan yang mengancam kehidupan sebagian besar pasien mengalami hipoksia,
syok, trauma dada, perdarahan internal, trauma kepala dengan kehilangan kesadaran,
luka bakar yang mengenai air way
b. Kuning
Meliputi injury dengan efek sistemik namun belum jatuh ke keadaan syok karena
dalam keadaan ini sebenarnya pasien masih dapat bertahan selama 30-60 menit.
Injury tersebut antara lain fraktur tulang multipel, fraktur terbuka, cedera medulla
spinalis, laserasi, luka bakar derajat II dan III
c. Hijau
Kategori yang termasuk dalam kelompok ini adalah fraktur tertutup, luka bakar
minor, minor laserasi, kontusio, dan dislokasi.
d. Hitam
Kategori yang termasuk dalam kelompok ini adalah korban yang sudah meninggal.
Ini adalah korban bencana yang tidak dapat selamat dari bencana, ditemukan sudah
dalam keadaan meninggal (Nurwahyudin, 2016).
3. Peran Perawat pada Pasca Bencana
Peran perawat dalam fase pemulihan pada pasca bencana adalah pencegahan Post
Traumatic Stress Disoreder (PTSD) dengan melakukan intervensi psikososial. Intervensi
ini berupaya untuk mendekatkan psikologi dan psikiatri ke dalam kehidupan sehari-hari
dan memberikan layanan kepada kelompok-kelompok yang ada di masyarakat baik yang
mengalami masalah psikiatri (gangguan), yang berisiko mengalami gangguan maupun
yang sehat pasca bencana. Salah satu terapi yang dilakukan kepada individu korban
adalah psikoterapi. Model ini menggunakan teknik yang berfokus pada pemecahan
masalah untuk membantu klien menyelesaikan konflik utama yang dihadapi klien dari
dimensi fisik, psikologis, sosial kultur dan spiritual. Pendekatan yang digunakan pada
psikoterapi individu ini adalah rasional emotif yang membantu klien menghapus
pandangan hidup klien yang menyalahkan hubungan baik dengan diri sendiri, orang lain,
lingkungan atau Tuhan dan membantu klien memperoleh pandangan hidup yang lebih
rasional dalam mencari makna dan tujuan (Mundakir, 2009).

Kesimpulan dalam pembahasan ini adalah peran perawat dalam bencana sangat penting
untuk memberikan pelayanan dan dukungan bagi masyarakat yang mengalami bencana.
Perawat ikut serta dalam memenuhi kebutuhan individu, kelompok dan masyarakat di saat
bencana. Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan), tanggap darurat
bencana, hingga tahap recovery.
DAFTAR PUSTAKA

digilib.itb.ac.id/files/disk1/673/jbptitbpp-gdl-fajaresthy-33603-3-2008ta-2.pdf

http://penanggulangankrisis.kemkes.go.id/apa-itu-sistem-peringatan-dini-early-warning-
system

https://bantenprov.go.id/upload/PPID/04_Informasi_Serta_Merta/Pedoman_EWS_Masyaraka
t.pdf

Anda mungkin juga menyukai