Anda di halaman 1dari 25

RSCHSPRUNG DISEASE

Arifat Ladabu, Catherine Jeanianty, Junus Baan

I. PENDAHULUAN

Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan disebabkan


oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke
proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf
adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal.
Segmen yang aganglionik terbatas pada 75% penderita;pada 10%, seluruh kolon
tanpa sel-sel ganglion.

Anak yang menderita penyakit Hirschsprung sering mengalami


keterlambatan pasase mekonium. Pada bayi normal, 94 % akan mengeluarkan
mekonium dalam 24 jam pertamama kehidupannya, dibandingkan dengan hanya
6% bayi yang menderita penyakit hirschsprung. Penyakit hirschsprung , penyebab
tersering obstruksi kolon.6 Bertamnbah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus
yang aganglionik menyebabkan kadar asetilkoline tinggi. Secara histologi, tidak
didapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf
yang hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi diantara
lapisan-lapisan otot dan submukosa. Penyakit Hirschsprung mungkin disertai
dengan cacat bawaan lain termasuk sindrom Down dan sindrom Waardenburg
serta kelainan kardiovaskuler.1

Gambar 1. Gambaran colon normal dan penyakit Hirschsprung10

1
II. ANATOMI ANOREKTAL DAN FISIOLOGI SALURAN ANAL

Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior.2 (Gambar 1)

Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal15

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai
pintu
masuk
ke

bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan

2
internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar. Spinkter
ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.2 (Gambar 2 )

Gambar 2. Spinkter ani eksternal laki-laki15

Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan


medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh
a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri
hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari
a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus. (Gambar 3.)2

3
Gambar 3. Pendarahan anorektal15

Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf


simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil,
kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
(syaraf parasimpatis).(Gambar 4)2

4
Gambar 4. Innervasi daerah perineum (laki-laki)15

Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :


1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ke-3
pleksus tersebut2.(Gambar 5)

Ga
mbar 5. Skema syaraf autonom intrinsik usus15

5
Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus perhari.
Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus
halus maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tak
tercerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak di serap dan cairan.
Kolon mengekstraksi H2O dan garam dari isi lumennya.Apa yang tertinggal dan
akan dikeluarkan disebut feses(tinja). Fungsi utama usus besar adalah untuk
menyimpan tinja sebelum defekasi.

Lapisan besar otot polos longitudinal luar yang tidak mengelilingi usus besar
secara penuh. Lapisan ini terdiri dari tiga pita otot longitudinal yang terpisah,
taenia coli, yang berjalan di sepanjang usus. Taenia coli ini lebih pendek dari pada
otot polos sirkuler dan lapisan mukosa dibawahnya jika kedua lapisan ini
dibentangkan datar. Karena itu, lapisan-lapisan dibawahnya disatukan membentuk
kantung atau haustra,Haustra bukan sekedar kumpulan permanen pasif ; haustra
secara aktif berganti lokasi akibat kontraksi lapisan otot polos sirkuler.

Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak mendorong


sesuai fungsinya sebagai tempat penyimpanan dan penyerapan. Motilitas utama
kolon adalah kontraksi haustra yang di picu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot
polos kolon. Kontraksi ini, yang menyebabkan kolon membentuk haustra, serupa
dengan segmentasi usus halus tetapi terjadi jauh lebih jarang. Waktu diantara dua
kontraksi haustra dapat mencapai 30 menit, sementara kontraksi segmentasi di
usus halus berlangsung dengan frekunsi 9 sampai 12 kali permenit. Lokasi
kantung haustra secara bertahap berubah sewaktu segmen yang semula melemas
dan membentuk kantung mulai berkontraksi secara perlahan sementara untuk
membentuk kantung baru. Gerakan ini tidak mendorong isi usus tetapi secara
perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon terpajan ke mukosa
penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh refleks-refleks lokal yang
melibatkan pleksus instrinsik.

Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan
mencolok motilitas saat segmen-segmen besar kolon asendes dan traansversum

6
berkontraksi secara simultan, mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat
panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi masif ini, yang secara tepat
dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat
bahan disimpan sampai terjadi defekasi.

Ketika makanan masuk ke lambung terjadi refleks gastrokolon yang di


perantarai dari lambung ke kolon oleh gastrin dan saraf otonom ekstrinsik, yang
menjadi pemicu utama gerakan massa di kolon. Refleks gastroileum
memindahkan isi usus halus yang masih ada ke dalam usus besar, dan refleks
gastrokolon mendorng isi kolon kedalam rektum, memicu refleks defekasi.

Ketika gerakan massa di kolon mendorong tinja ke dalam rektum, peregangan


yang terjadi di rektum merangsang resepto regang di dinding rectum, memicu
refleks defekasi. Refleks ini menyebabkan sfingter ani internus ( yaitu otot polos)
melemas dan rektum dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani
eksternus(yaitu otot rangka) juga melemas maka terjadi defekasi. Karena otot
rangka, stingfer ani eksternus berada di bawah kontrol volunter. Peregangan awal
dinding rektum disertai oleh timbulnya rasa ingin buang air besar. Jika keadaan
tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan stingfer ani eksternus secara
sengaja dapat mencegah defekasi meskipun refleks defekasi telah aktif. Jika
defekasi ditunda maka dinding rektum yang semula teregang secara perlahan
melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa
berikutnya mendorong lebih banyak tinja ke dalam rektum dan kembali
meregangkan rektum serta memicu refleks defekasi. Selama periode inaktivitas,
kedua stingfer tetap berkontraksi untuk menjamin kontinensia tinja.

Jika defekasi terjadi maka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunter yang
melibatkan kontraksi otot abdomen dan ekspirasi paksa dengan glotis tertutup
secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang
membantu mendorong tinja.

Jika defekasi ditunda terlalu lama maka dapat terjadi konstipasi (sembelit).
Ketika isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H2O yang diserap dari

7
tinja meningkatkan sehingga tinja menjadi kering dan keras. Variasi normal
frekuensi defekasi diantara individu berkisar dari setiap makan hingga sekali
seminggu. Ketika frekuensi berkurang melebihi apa yang normal bagi yang
bersangkutan maka dapat terjadi konstipasi. Gejalanya seperti rasa tidak nyaman
di abdomen, nyeri kepala tumpul, hilangnya nafsu makan disertai mual , dan
depresi mental. Berbeda dari anggapan umum, gejala-gejala ini tidak disebabkan
oleh toksin yang diserap dari bahan tinja yang tertahan. Meskipun metabolisme
bakteri menghasilkan bahn-bahan yang mungkin toksik di kolon namun bahan-
bahan ini normalnya mengalir melalui sistem porta dan disinkirkan oleh hati
sebelum dapat mencapai sirkulasi sistemik. Gejala-gejala yang berkaitan dengan
konstipasi disebabkan oleh distensi berkepanjang usus besar, terutama rektum;
gejala segera hilang setelah peregangan mereda.

Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan


konstipasi mencakup(1) mengabaikan keinginan untuk buang air besar;(2)
berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat;(3)
obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor lokal atau spasme kolon;dan(4)
gangguan refleks defekasi,misalnyakarena cedera jalur-jalur saraf yang terlibat.14

III. EPIDEMIOLOGI

Penyakit Hirschsprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang


paling sering pada neonatus, dengan insidens keseluruhan 1 : 5.000 kelahiran
hidup. Laki-laki lebih banyak dibanding perempuan ( 4 : 1 ), dan ada kenaikan
insidens keluarga pada penyakit segmen panjang 2
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta,
maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
Hirschsprung.2

IV. ETIOLOGI

8
Etiologi dari Hirschsprung berkembang dari abnormalitas seluller dan
molekuler dari sistem nervus enteric(ENS). Ketiadaan sel-sel ganglion pada
lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric (Auerbach) pada usus
bagian distal merupakan tanda patologis untuk Hirschsprungs disease.Hal ini
disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal
dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan.

Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis


menuju saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan kearah
distal. Pada minggu ke lima kehamilan sel-sel saraf tersebut akan mencapai
esofagus, pada minggu ke tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya mencapai kolon
pada minggu ke dua belas. Proses migrasi mula pertama menuju ke dalam pleksus
Auerbach dan selanjutnya menuju kedalam pleksus submukosa Meissneri.
Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini maka akan
menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah penyakit
Hirschsprung.

Berdasar pada segmen kolon yang aganglionik, penyakit Hirschsprung dibagi


menjadi Hirschsprung short segmen bila segmen aganglionik tidak melebihi batas
atas sigmoid dan Hirschsprung long segmen bila segmen aganglionik melebihi
sigmoid.8

V. PATOFISIOLOGI

Dalam Penyakit Hirschsprung terdapat absensi ganglion Meissner dan


ganglion Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani ke arah
proksimal dengan panjang yang bervariasi. Tujuh puluh sampai delapan puluh
persen terbatas di daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitar 5%
kurang dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.

9
Absensi ganglion Meissner dan Aurbach mengakibatkan usus yang
bersangkutan tidak bekerja normal. Peristalsis tidak mempunyai daya dorong,
tidak propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam proses evakuasi
feses atau pun udara. Penampilan klinis penderita sebagai gangguan pasase usus.
Tiga tanda khas: pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan
distensi abdomen.Penampilan makroskopik. Bagian usus yang tidak berganglion
terlihat spastik, lumen terlihat kecil. Usus di bagian proksimalnya, disebut daerah
transisi, terlihat mulai melebar lagi dan umumnya mengecil kembali mendekati
kaliber lumen usus normal.11

Pada penyakit Hirschprung, kolon mulai dari paling distal sampai pada bagian
usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatis intramural. Bagian kolon yang aganglionik ini tidak dapat
mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun,
membentuk megakolon. Hirschprung segmen pendek, daerah aganglionik
meliputi rectum sampai sigmoid merupakan kelainan terbanyak , yang disebut
hirschprung klasik. Hirschprung segmen panjang, daerah aganglionik meluas
lebih tinggi dari sigmoid Bila mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik
total8

Aganglionis kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian


penyakit Hirschsprung. Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena,
dan berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik
(Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan
berkurangnya peristaltik usus dan fungsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai
perkembangan penyakit ini tidak diketahui.

Sel ganglion enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama


perkembangan normal, neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke
7 usia gestasi dan akan sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi.
Kemungkinan salah satu etiology Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi

10
sel neuroblast ini dalam jalurnya menuju usus bagian distal. Migrasi neuorblas
yang normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblas dalam bertahan,
berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal. Distribusi
komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan
neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik, komponen tersebut adalah
fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor neurotrophic.
Sebagai tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik
menunjukkan bahwa bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan
elektrofisiologi, hal ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada
perkembangan penyakit Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker
yang menghubungkan antara saraf enterik dan otot polos usus, juga telah
dipostulat menjadi faktor penting yang berkontribusi.
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal
(Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini
terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi,
sekresi, motilitas, dan aliran darah.

Motilitas yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia


ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi
mendominasi. Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali
ekstrinsik utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini
menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi.
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan
sehingga kontrol intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan
ekstrinsik. Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali
dibandingkan innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem
kolinergik, mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya
kendali saraf intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan

11
ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak terkoordinasi,
dan pada akhirnya, obstruksi fugsional.13

VI. DIAGNOSIS
A. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala klinis penyakit hirschsprung biasanya mulai pada saat lahir


dengan terlambatnya pengeluaran mekonium dalam waktu 48 jam setelah lahir.
Penyakit hirschsprung harus dicurigai apabila seorang bayi cukup bulan (penyakit
ini tidak biasa terjadi pada bayi kurang bulan ) yang terlambat mengeluarkan tinja.
Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi selanjutnya
memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan hipoproteinemia
karena enteropati pembuang-protein sekarang adalah tanda yang kurang sering
karena penyakit hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal perjalanan
penyakit. Bayi yang minum ASI tidak dapat menampakkan gejala separah bayi
yang minum susu formula.

Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian proksimal usus


besar dan perut menjafi kembung. Karena usus besar melebar, tekanan di dalam
lumen meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan perintang mukosa
terganggu. Statis memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan
enterokolitis (Clostridium difficile, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis)
dengan disertai sepsis dan tanda-tanda obstruksi usus besar. Pengenalan dini
penyakit hirschsprung sebelum serangan enterokolitis sangat penting untuk
menurun kan morbiditas dan mortalitas.

Penyakit hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus dibedakan dari penyebab perut kembung lain dan konstipasi kronis dari tabel

dibawah. Riwayat seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang semakin berat yang mulai pada umur minggu-minggu pertama.

Massa tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut.tetapi pada pemeriksaan rektum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar mungkin akan

seperti butir kecil, seperti pita atau konsistensi cair, tidak ada tinja yang besar. Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan

biasanya disertai dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk.Serangan intermitten obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan

12
mungkin disertai nyeri dan demam. 1

Tabel Membedakan Tanda-tanda Hirschsprung dan konstipasi fungsional

VARIABLE FUNGSIONAL(Didapat) HIRSCHSPRUNG DISEASE


Riwayat
Mulai
Setelah umur 2 thn Saat lahir
konstipasi
Enkopresis Lazim Sangat jarang
Gagal tumbuh Tidak lazim Mungkin
Enterokolitis Tidak Mungkin
Nyeri perut Lazim Lazim
Pemeriksaan
Perut
Jarang Lazim
Kembung
Penambahan
Jarang Lazim
BB Jelek
Tonus Anus Normal Normal
Pemeriksaan
Tinja di ampula Ampula Kosong
Rektum
Laboratorium
Manometri Rektum mengembang karena Tak ada sfingter atau relaksasi
Anorektal relaksasi sfinter interna paradoks atau tekanan naik
Tidak ada sel gangglion,
Biopsi Rektum Normal Pewarnaan acetylcholinesterase
meningkat
Jumlah tinja banyak , tidak ada Daerah peralihan, pengeluaran
Barium enema
daerah peralihan tertunda (>24 hr)

B. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
1. Foto polos abdomen

13
Foto polos abdomen dapat memperlihatkan loop distensi usus
dengan penumpukan udara di daerah rektum. Pemeriksaan radiologi
merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung 9,17

Hirscprung disease. Frontal abdominal radiograf ditandai dengan dilatasi usus


kecil tanpa gas di rectum 18

14
2. Foto Kolon Barium Enema
Pada pemeriksaan barium enema, segmen yang terlihat biasanya memiliki
diameter yang normal (zona transisional) namun tampak menyempit , karena
terdapat pelebaran kolon diatansnya. Retensi barium setelah pemeriksaan
merupakan gambaran yang khas.5
Segera dilakukan pada neonatus dengan gejala :
a. Keterlambatan pengeluaran mekonium
b. Disertai abdomen distensi
c. Muntah hijau
Tanda-tanda khas pada pemeriksaan barium enema PH, didapatkan
gambaran :
a) Segmen sempit dari sfinkter ani dengan panjang tertentu,
b) Segmen transisional yang spastik (terlihat sebagai saw-toothed
outline yang tidak beraturan)
c) Segmen yang berdilatasi 3

15
Gambar Hirschsprungs disease.Kelainan ini disebabkan tidak adanya sel
pleksus myenteric dalam usus distal. Barium enema menunjukkan segmen
menyempit dalam rektum dan ditandai dengan dilatasi kolon sigmoid dan colon
descending 4

Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik di bagian atas


rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending colon, DC =
descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.16

16
Gambar Pemeriksaan double kontras barium enema tampak dilatasi bagian atas
dari rektum dan rectosigmoid junction yang terisi massa feses (pada anak
panah).16

Penyebab utama penyakit Hirschsprung pada neonatus tertundanya


muntah mekonium. Ketika penyakit hirschsprung ditegakkan secara klinis barium
enema dapat membantu menegakkan diagnosis . Setiap anak yang di duga
memiliki penyakit hirschsprung harusnya memeriksa biopsi dubur untuk
menetukan ada atau tidaknya sel ganglion.7

3. CT Scan

Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya
terbatas pada bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan
pada penderita dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang
dilakukan ke atas bayi, iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu
studi, didapatkan pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk
menentukan letak zona transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang
didapatkan juga sesuai dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi
rektum. 16

17
CT scan secara transversal pada wanita umur 31 tahun dengan HG usus
melebar karena feses colon ascendens (AC) dibandingkan usus dengan colon
descendens tidak dilatasi (DC) dengan zona transisi dari proksimal kolon
descendens.

Gambar Foto CT scan dengan kontras potongan transversal tampak dilatasi bagian
proksimal rektum serta bagian rektosigmoid yang terisi massa feses. 16

18
Gambar Foto CT scan kontras potongan transversal. Tampak zona transisi dan
penyempitan di bagian distal rektum.16

C. MANOMETRI ANOREKTAL

Manometri Anorektal mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon


dikembangkan di rektum. Pada individu normal, penggembungan rektum
mengawali refleks penurunan tekanan sfingter interna. Pada penderita penyakit
Hirschsprung, tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan paradoks karena
rektum dikembungkan. Ketepatan uji diagnostik ini lebih dari 90%, tetapi secara
teknis sulit pada bayi muda. Respons normal pada evaluasi manometri ini
menyingkirkan diagnosis penyakit Hirschsprung; hasil meragukan atau respons
sebaliknya membutuhkan biopsi rektum.

19
Gambar perbandingan manometri anorektal normal dan penyakit hirschsprung 12

D. BIOPSI-ISAP REKTUM

Biopsi-Isap Rektum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari linea


dentata untuk menghindari daerah normal hipoganglionosis di pinggir usus.
Biopsi harus mengandung cukup sampel submukosa untuk mengevaluasi adanya
sel ganglion. Biopsi dapat diwarnai untuk asetilkolinesterase, untuk
mempermudah interpretasi. Penderita dengan aganglionosis menunjukkan banyak
sekali berkas saraf hipertrofi yang terwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan
tidak ada sel ganglion.1

VII. DIAGNOSIS BANDING

Banyak kelainan usus dengan penampilan klinik obstruksi yang menyerupai


Penyakit Hirschsprung seperti atresia ileum, mekonium ileus, dan sebagainya

VIII. PENATALAKSANAAN

a. Pengobatan medis
Tujuan umum dari pengobatan ini mencakup 3 hal utama: (1) untuk
menangani komplikasi dari penyakit Hirschsprung yang tidak terdeteksi, (2)

20
sebagai penatalaksanaan sementara sebelum operasi rekonstruktif definitif
dilakukan, dan (3) untuk memperbaiki fungsi usus setelah operasi rekonstruksi
1) Penatalaksanaan komplikasi diarahkan pada penyeimbangan cairan
dan elektrolit, menghindari distensi berlebihan, dan mengatasi
komplikasi sistemik, seperti sepsis. Maka dari itu, hydrasi
intravena, dekompressi nasogastrik, dan jika diindikasikan,
pemberian antibiotik intravena memiliki peranan utama dalam
penatalaksanaan medis awal.
2) Pembersihan kolon, yaitu dengan melakukan irigasi dengan rectal
tube berlubang besar dan cairan untuk irigasi.
3) Cairan untuk mencegah terjadinya ketidakseimbangan elektrolit.
4) Irigasi colon secara rutin dan terapi antibiotik prophylaksis telah
menjadi prosedur untuk mengurangi resiko terjadinya enterocolitis.
5) Injeksi BOTOX pada sphincter interna terbukti memicu pola
pergerakan usus yang normal pada pasien post-operatif.13

b. Penanganan operatif

Bila diagnosis sudah ditegakkan, pengobatan definitif adalah operasi. Pilihan-


pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera mungkin setelah
diagnosis ditegakkan atau melakukan kolostomi sementara dan menunggu sampai
bayi berumur 6-12 bulan untuk melakukan operasi definitif.

Ada tiga pilihan dasar operasi. Prosedur bedah pertama yang berhasil, yang
diuraikan oleh Swenson, adalah memotong segmen yang tidak berganglion dan
melakukan anastomosis usus besar proksimal yang normal dengan rektum 1-2 cm
di atas garis batas. Operasi ini secara teknis sulit dan mengarah pada
pengembangan dua prosedur lain. Duhamel menguraikan prosedur untuk
menciptakan rektum baru, dengan menarik turun usus besar yang berinervasi
normal ke belakang rektum yang tidak berganglion. Rektum baru yang dibuat
pada prosedur ini mempunyai setengah aganglionik anterior dengan sensasi
normal dan setengah ganglionik posterior dengan propulsi normal. Prosedur

21
endorectal pullthrough yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa
rektum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi normal ke
lapisan otot yang terkelupas tersebut., dengan demikian memintas usus yang
abnormal dari sebelah dalam.

Pada penyakit Hirschsprung segmental yang ultra pendek, segmen yang tanpa
ganglion hanya sebatas pada sfingter interna. Gejala-gejala klinisnya sama dengan
gejala-gejala pada anak konstipasi fungsional. Sel ganglion mungkin terdapat
pada biopsi isap rektum, tetapi motilitas rektum akan tidak normal. Eksisi
pengupasan mukosa otot rektum, termasuk sfingter anus interna, merupakan
tindakan diagnostik dan terapeutik.

Penyakit Hirschsprung segmen panjang yang melibatkan seluruh kolon dan


sebagian usus halus merupakan masalah yang sulit. Pemeriksaan motilitas rektum
dan biopsi isap rektum akan menunjukkan adanya tanda-tanda penyakit
Hirschsprung, tetapi pemeriksaan radiologis akan sulit diinterpretasi karena tidak
ditemukan daerah peralihan. Luasnya daerah aganglionosis dapat ditentukan
secara akurat dengan biopsi pada saat laparotomi.

Bila seluruh kolon aganglionik, sering bersama dengan panjang ileum


terminal, anastomosis ileum anus merupakan terapi pilihan, dengan masih
mempertahankan bagian kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah
penyerapan air, sehingga membantu tinja menjadi keras. Operasi Duhamel adalah
yang terbaik untuk aganglionis kolon total. Kolon kiri tetap ditinggalkan sebagai
reservoir, dan tidak perlu menganastomosis kolon kiri ini pada usus halus.1

IX. PROGNOSIS

Prognosis penyakit hirschsprung yang diterapi dengan bedah umumnya


memuaskan; sebagian besar penderita berhasil mengeluarkan tinja (kontinensia).
Masalah pascabedah meliputi enterokolitis berulang, striktur, prolaps, abses,
perianal, dan pengotoran tinja 1

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, dkk. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2.2000.
Jakarta: EGC.
2. Budi Irwan. Pengamatan Fungsi Anorektal Pada Penderita Penyakit
Hirscsprung Pasca Operasi Pull-Through . [cited 2012 3 november];
Available from: http://repository.usu.ac.id/
3. Arun Kumar Gupta and Bhuvnesh Guglani . Imaging of Congenital
Anomalies of the Gastrointestinal Tract . Indian J Pediatr. 2005; 72
(5) : 403-414]
4. Mettler,Essentials of Radiology, 2nd ed.2005 Elsevier.hal 697
5. Pradip R. Patel. Radiologi Edisi Kedua.2005.Jakarta.hal 242-243
6. M. William S. Pedoman Klinis Pediatri.2005. Jakarta
7. R. de Bruyn. Hirschsprung's disease and malrotation of the mid-gut.
An uncommon association. 1982. British Journal of Radiology.
554-557.
8. Ramanath N.Haricharan. Hirschsprung disease. Seminars in Pediatric
Surgery (2008). University of Alabama at Birmingham
9. J._Haller .Paediatric Radiology 3rd Edition .2005.Newyork.hal 144
10. Michelle Badash, MS, Hirschsprung's disease [cited 2012 3 november]
;Available from :http://www.empowher.com/media/reference/hirschspr
ung-s-disease
11. Sjamsuhidajat, R., de Jong, W.2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi
2.Jakarta: Hipokrates
12. N.E. Diamant, M.A. Kamm, A. Wald, W.E. Whitehead, AGA technical
review on anorectal testing techniques [cited 2012 3
november]; Available from: http://www.sciencedirect.com/science/arti
cle/pii/S0016508599701952

23
13. Steven L Lee. Hirschsprung Disease. [cited 2012 3 november];
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/178493-
overview
14. Lauralee Sherwood. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Jakarta:
EGC 2001;688-692.
15. Netter, Frank Henry,MD,2006.Atlas of Human Anatomy.
Sauners/Elsevier.
16. Kim H.J, Kim A.Y, Lee C.W, et al. Hirschprung disease and
hypoaganglionosis in adults: radiological findings and differentiation.
[online] May 2008 [cited 6.november.2012], Available from:
www.radiology.rsna.org.
17. Porambo,Albert, Hirschsprung disease. [cited 2012 6 november];
Available from: http://rad.usuhs.edu/medpix/include/medpix_image.ph
p3?imageid=9036
18. Skaba R. Historic milestones of Hirschsprung's disease cited 2012 6
november];Available from: http://thehealthscience.com/showthread.ph
p?169365-Hirschsprung-Disease-Imaging.

HIRSCHSPRUNG DISEASE

Arifat Ladabu, Catherine Jeanianty, Junus Baan

Ladabu, Arifat, Hirschsprung disease. [cited 2017 19 Maret];


Available from:

24
25

Anda mungkin juga menyukai