Ari Matea
10.2012.464
Email: mateaari3@gmail.com
Pendahuluan
Aspek Medikolegal
Pada skenario, dari sudut pandang medikolegal dimana berpusat dalam suatu pelayanan
medis dan standar operasional dalam bidang hukum peran dokter dapat dikaitkan dalam. Pasal 267
KUHP yang berbunyi
1. Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau
tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama 4
tahun
2. Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang ke dalam rumah
sakit jiwa atau untuk menahannya disitu, dijatuhkan pidana penjara paling lama 8 tahun 6
bulan
3. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat
keterangan palsu itu seolah olah isinya sesuai dengan kebenaran.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap
dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Ada dua macam etika
yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia
terutamanya apabila menyangkut ilmu profesi kedokteran yang berhadapan dengan pasien yaitu
etika deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku
manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika
deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang prilaku atau sikap
yang mau diambil. Etika normative, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola
prilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan
yang akan diputuskan.
Kode Etik Kedokteran Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban
terhadap pasien, kewajiban terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya,
Kode Etik Kedokteran Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran
Internasional. Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-
prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan
dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau
tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian
disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam
membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis. Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran, keputusan
hendaknya mempertimbangkan Etika Profesi Kedokteran. Etika adalah disiplin ilmu yang
mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan atau perbuatan seseorang individu
atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk, benar-salah dari sisi moral tersebut
menggunakan pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang
paling banyak dianut orang adalah teori deontologi dan teleologi. Deontologi mengajarkan bahwa
baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya itu sendiri sedangkan teleologi
mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat hasil atau akibatnya. Deontologi
lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teologi lebih kearah
penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat. Kaidah dasar (prinsip)
Etika / Bioetik adalah aksioma yang mempermudah penalaran etik. Prinsip-prinsip itu harus
spesifik. Pada praktiknya, satu prinsip dapat dibersamakan dengan prinsip yang lain. Tetapi pada
beberapa kasus, karena kondisi berbeda, satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk
digunakan dengan mengorbankan prinsip yang lain. Keadaan terakhir disebut dengan prima facie.
Konsil Kedokteran Indonesia, dengan mengadopsi prinsip etika kedokteran barat, menetapkan
bahwa, praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral (sering disebut kaidah
dasar etika kedokteran atau bioetika), juga prima facie dalam penerapan praktiknya.
Sifat hubungan dokter dan pasien di jaman sekarang sudah dikoreksi oleh para ahli etika
kedokteran menurut pengalaman menjadi hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan
kepercayaan), yaitu hubungan yang menitikberatkan nilai-nilai keutamaan (virtue etchics).
Sehingga dibuatlah suatu aturan etika dalam dunia kedokteran yang dikenal sebagai bioetik.
Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan etik
diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) dan beberapa rules dibawahnya. Dalam profesi
kedokteran dikenal 4 prinsip moral utama, yaitu prinsip otonomi, prinsip moral yang menghormati
hak hak pasien, terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Prinsip moral
inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed consent. Prinsip Beneficence: Prinsip moral
yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya
dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih
besar daripada sisi buruknya (mudharat). Prinsip Non Maleficence: Prinsip moral yang melarang
tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai primum non nocere
atau above all do no harm.. Prinsip Justice: Prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam mendistribusikan sumber daya (Distributive Justice). Sedangkan aturan/rules
derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka), privacy (menghormati hak privasi
pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien), dan fidelity (loyalitas dan menjaga janji)
Fitness to be Detained
Didalam KUHAP dijelaskan mengenai unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam melakukan
suatu penahanan, yaitu unsur yuridis, berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, penahanan
hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau
percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana sbb: tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; tindak pidana yang dimaksud dalam Pasal 282 ayat
(3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonantie (pelanggaran
terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471),
Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 UU Tindak Pidana Imigrasi (UU No. 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran
Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal
48 UU Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Memenuhi syarat Pasal 21 ayat (1) KUHAP, terdapat dua unsur yang penting didalam Pasal
21 ayat (1) KUHAP yang dapat dijadikan alasan penahanan terhadap seorang tersangka atau
terdakwa, yaitu adanya unsur diduga keras bahwa tersangka atau terdakwa telah melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup; dan adanya unsur kekhawatiran bahwa tersangka
atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi
tindak pidana. Adapun bunyi dari Pasal 21 ayat (1) KUHAP, adalah Perintah penahanan atau
penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Dalam hukum pidana di Amerika Serikat ada konsep "unfit to stand trial" yang
artinya si terdakwa, karena penyakit fisik atau penyakit jiwa, tidak sanggup
turut serta dalam mempertahankan dirinya dalam proses pengadilan atau waktu
dia diadili. Seorang terdakwa dinyatakan unfit to stand trial oleh seorang
hakim kalau menurut seorang ahli (dokter kalau penyakit fisik, psikolog
klinis atau psikiater kalau penyakit jiwa) dikemukakan dengan jelas bahwa si
terdakwa tidak mempunyai kesanggupan untuk berkomunikasi yang relevan dengan
pengacara dia sendiri, tidak mengetahui atau tidak memahami (atau tidak punya
kesanggupan mengetahui dan memahami) tuduhan2 terhadap dirinya, prosedur2
pengadilan, akibat2 diadili, dan fungsi atau peranan mereka yang turut serta dalam
pengadilan (Misalnya sudah kehilangan kemampuan untuk mengetahui apa kerja
seorang hakim, atau apa artinya dia dituduh korupsi). Tidak dapat (atau tidak mempunyai
kesanggupan) mengingat dan mengemukakan kejadian2, termasuk tingkah laku dia sendiri, yang
meyebabkan adanya tuduhan2 pada dirinya (misalnya si terdakwa, karena penyakit fisik atau jiwa,
sudah kehilangan kemampuan untuk memahami mengapa dia dituduh korupsi, atau tidak tahu
dimana dan apa perbuatan dia waktu kejahatan itu terjadi). Tidak sanggup mengikuti atau menuruti
peraturan tata sopan dsb yang harus ditunjukan dipengadilan; tidak mempunyai kesanggupan
untuk mengetahui siapa dirinya, dimana dia berada, mengapa dia ada dipengadilan, dsb.
Seandainya seorang ahli ilmu jiwa klinis melaporkan dan memberi kesaksian
ahli yang mengatakan siterdakwa tetap unfit to stand trial dan dikira tidak
akan fit dalam waktu satu tahun,dan seandainya hakim berkesimpulan sama
setelah mendengar kedua belah pihak disuatu sidang atau hearing, maka salah
satu dari tiga kemungkinan terjadi: 1. Terdakwa dibebaskan dari semua tuduhan
dan bisa pulang; 2. Terdakwa harus tinggal dirumah sakit jiwa tidak lebih
lama dari hukuman seandainya dia bersalah; 3. Berdasarkan bukti2 yang ada,
pengadilan menyatakan terdakwa bersalah atau tidak; kalau dianggap bersalah
dia harus tinggal dirumahsakit jiwa, kalau tidak dia bebas pulang. Suatu aspek atau sisi yang amat
penting dalam pemeriksaan atau evaluasi unfitness to stand trial ialah penentuan apakah terdakwa
malingering, atau berpura2 sakit dan dengan sukses telah menimbulkan gejala2 suatu
penyakit dalam dirinya, hanya untuk menghindari pengadilan atau menghindari masuk penjara.
Karena pemeriksaan malingering itu termasuk bidang psikologi klinis dan pskiatri, pengadilan di
Amerika sering menunjuk seorang psikolog klinis (atau forensic clinical psychologist) atau
pskiater (forensic psychiatrist) untuk menentukan apakah seorang terdakwa itu fit atau unfit to
stand trial.
Berdasarkan sudut pandang hukum yang terkait seorang tahanan selain berhak
mendapatkan berbagai macam hak dalam masa tahanannya, ia juga memperoleh pelayanan dalam
bidang kesehatan jika orang tersebut sedang dalam berada pada masa tahanan berlangsung seperti
yang terdapat pada PPRI no 58 / 1999 pasal 21 paragraf 4 tentang Pelayanan Kesehatan dan
Makanan. Dari peraturan tersebut disinggung peran dokter diperlukan oleh seorang tahanan dalam
menjalani masa hukumannya. Pasal 21, (1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak, (2) Pada setiap RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS
disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya, seorang dokter
dan tenaga kesehatan lainnya. (3) Dalam hal RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang
LAPAS belum ada tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan
dapat minta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat.
Memperhatikan semakin banyak tersangka/terdakwa perkara pidana umum maupun khusus) yang
mengajukan ijin berobat ke luar negari dengan berbagai alasan dan ternyata ijin berobat ke luar
negari banyak disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh tersangka/terdakwa untuk menghindari
proses penyidikan, penuntutan atau eksekusi putusan Pengadilan: Mengingat Pasal 33 Undang-
undang No.5 I Tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dan untuk mengantisipasi hal-hal diatas, dengan
ini diberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Pada prinsipnya seorang tersangka/terdakwa perkara tindak pidana (umum/ khusus) yang
perkaranya sedang dalam proses penyidikan atau penuntutan tidak diijinkan untuk berobat ke luar
negeri, arena rumah sakit rumah sakit di Indonesia pada umumnya telah dapat mengobati semua
jenis penyakit. Ijin berobat ke luar negeri hanya dapat diberikan terhadap kondisi-kondisi dan jenis
penyakit tertentu yang belum dapat diobati di rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.
2. Ijin berobat ke luar negeri bagi tersangka/terdakwa hanya dapat diberikan oleh Jaksa Agung RI.,
setelah memenuhi syarat-syarat tertentu.
3. Ijin berobat ke luar negeri harus diajukan oleh tersangka/terdakwa atau keluarganya setelah
mendapatkan rekomendasi dari Dokter sepesialis penyakit yang bersangkutan, dan dilengkapi
surat keterangan resmi dari Rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk untuk dapat memberikan
rujukan guna berobat ke luar negeri (Rumah Sakit Umum Pusat Cipto MangunKusumo Jakarta)
dengan penjelasan bahwa rumah sakit di Indonesia belum dapat memberikan pelayanan medis /
pengobatan terhadap penyakit yang diderita oleh tersangka/terdakwa.
4. Ijin berobat ke luar negeri diajukan kepada Jaksa Agung Ri, melalui jalur berjenjang (Kejaksaan
Negeri, Kejaksaan Tinggi , Jaksa Agung Muda yang bersangkutan) dengan menjelaskan nama dan
alamat lengkap rumah sakit di luar negeri yang akan merawat tersangka/terdakwa agar sewaktu-
waktu dapat dihubungi.
5. Harus ada jaminan dari tersangka/terdakwa dan keluarganya bahwa tersangka/terdakwa yang
bersangkutan akan segera kembali ke Indonesia setelah rumah sakit yang bersangkutan
memberikan keterangan bahwa tersangka/terdakwa dapat dirawat kembali di Indonesia.
6. Kejaksaan yang menangani perkara tersangka/terdakwa yang berobat ke luar negeri wajib
memantau dan meminta perkembangan hasil pengobatan tersangka/terdakwa dari rumah sakit di
luar negeri yang bersangkutan, sekurang kurangnya I (satu) bulan sekali, dan meminta penjelasan
masih perlu atau tidaknya tersangka/terdakwa dirawat di rumah sakit tersebut. Laporan hasil
pemantauan dikirim setiap bulan kepada Jaksa Agung RI., tembusan kepada Jaksa Agung Muda
Intelijen dan Jaksa Agung Muda yang bersangkutan.