Anda di halaman 1dari 9

Beberapa hari lalu Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia telah menyelesaikan pemilihan kepala

daerah, Pilkada Jakarta bisa dikatakan bukan saja pesta demokrasi pendududuk Jakarta saja, tapi sudah
menjadi pesta demokrasi rakyat Indonesia. Pilkada Jakarta yang merupakan ibu kota negara
mendapatkan perhatian lebih dari penduduk Indonesia, berbagai opini, prediksi, dan persepsi muncul
tidak hanya dari warga Jakarta yang mengikuti pilkada tetapi juga daerah lain di Indonesia, dan bahkan
dari luar negeripun para WNI antusias untuk mengikuti perkembangan pilkada Jakarta ini.

Ada apa dengan pilkada Jakarta ? mungkin pertanyaan ini terlalu lumrah dan mungkin juga anda sudah
punya jawaban masing-masing terkait pertanyaan ini. Perlu digarisbawahi jika pilkada Jakarta dari dulu
sejak awal dimulainya pemilihan kepala daerah secara langsung memang mendapat perhatian lebih dari
publik karena status Jakarta sebagai ibu kota negara, namun sepertinya ada yang perlu dicermati lagi
kenapa pilkada Jakarta kali ini begitu ramai dibanding sebelumnya.

Kalau dicermati rasanya kurang pas hanya mengatakan jika ramainya pilkada Jakarta hanya disebabkan
faktor bahwa Jakarta adalah ibu kota Indonesia, pasti ada faktor lain yang menyebabkan pilkada ini
begitu ramai di jagad perpolitikan nasional. Beberapa faktor utama munkin adalah panasnya suhu politik
di Jakarta sebelum pilkada yang diakibatkan ada beberapa pihak yang kurang setuju dengan kebijakan
gubernur petahana yang dianggap kurang pro dengan rakyat kecil serta adanya gesekan sang gubernur
dengan beberapa golongan di Jakarta.

Faktor tersebut meluncur deras sampai pilkada Jakarta dimulai dan melimpahkan electoral yang cukup
tinggi kepada lawan politik sang gubernur petahana, seperti kita ketahui Basuki Tjahadja Purnama
sebagai gubernur petahana dihadapkan pada 2 calon potensial Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies
Rasyid Baswedan sebagai lawan politiknya di pilkada Jakarta. Dan di tengah perjalanan pilkada tersebut
lagi-lagi konsentrasi public Indonesia tersedot dengan adanya isu besar nasional yang cukup
menggemparkan, isu tersebut adalah adanya dugaan penistaan agama islam yang dilakukan oleh
gubernur petahana Basuki Tjahadja Purnama.

Isu tersebut bagai bensin ditengah kobaran api yang belum padam, aksi massa pun muncul sebagai
respons atas kasus tersebut, aksi massa yang munculpun bukan sebatas warga Jakarta saja tapi juga dari
seluruh Indonesia, hal ini mungkin karena dugaan penistaan tersebut sudah menyangkut ranah
keyakinan beragama. Aksi demi aksi muncul di ibu kota dan semakin membuat panas suasana pilkada,
dan inilah salah satu faktor utama kenapa pilkada Jakarta begitu menyedot perhatian.
Isu tersebut semakin membuat persaingan sengit antar calon gubernur Jakarta, dan sekali lagi isu
tersebut menjadi limpahan electoral bagi sang lawan politik gubenrur petahana. Diluar faktor tadi ada
juga faktor 3 kekuatan politik besar yang bertempur di pilkada Jakarta ini yaitu poros Partai Demokrat,
PDI-P Dan Partai Gerindra. Dimana tentunya dalam pertarungan besar ini banyak hal yang akan menarik
perhatian nasional.

Tapi ada satu kemajuan yang dapat menjadi pembelajaran dari pilkada Jakarta kali ini. Dibalik keras dan
panasnya pilkada kali ini ada sebuah kabar baik yang akan menjadi angin segar demokrasi di Indonesia,
kabar baik tersebut adalah kualitas pemilih yang mengalami peningkatan cukup pesat.

Hal ini dapat dilihat dari fenomena ramainya rakyat menyaksikan debat para kandidat dan bahkan di
beberapa titik diadakan nonton bareng debat tersebut, bukankah ini fenomena yang unik karena
ternyata saat ini rakyat ingin tau program dari para calon gubernur supaya tidak salah pilih, pencitraan
sudah tidak laku lagi dan bahkan cara kotor lama seperti pembagian sembako dan politik uang juga tidak
sama sekali efektif di pilkada Jakarta.

Dan pembelajaran kedua yang dapat diambil adalah fakta bahwa pilkada Jakarta yang begitu panas ini
ternyata berakhir aman dan damai tanpa ada gesekan apapun, semua yang bersitegang di awal karena
berbeda pilihan kembali saling merangkul. Sikap negarawan para calon gubernur juga patut di apresiasi.

Ini seharusnya jadi titik awal buat para pemilih di berbagai daerah bahwa sudah seharusnya pemilih
menjadi cerdas dan tidak terhasut oleh isu ataupun hal-hal lainnya yang menciderai demokrasi.
Kedewasaan demokrasi seperti ini sudah seharusnya ditumbuhkan mulai saat ini dan harus diingat
negara punya agenda besar pemilihan presiden 2019, semoga saja di 2019 rakyat Indonesia sudah dapat
menerapkan penmbelajaran yang mereka dapatkan dari pilkada Jakarta.(

http://m.minangkabaunews.com/artikel-12426-pembelajaran-penting-dari-pilkada-dki-jakarta-
2017.html

Tribun Jateng
Home Semarang

OPINI

Menunggu Hasil Retorika Kampanye pada Pilkada DKI

Rabu, 19 April 2017 09:50

Menunggu Hasil Retorika Kampanye pada Pilkada DKI

tribunnews.com

Menunggu Hasil Retorika Kampanye pada Pilkada DKI Opini ditulis oleh Firstya Evi Dianastiti, Dosen
Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Islam Kendal (STIK)

Opini ditulis oleh Firstya Evi Dianastiti, Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Islam Kendal (STIK)

TRIBUNJATENG.COM - Pilkada serentak tahun 2017 telah dilaksanakan. Dari 101 daerah pelaksana
Pilkada di seluruh Indonesia, hanya DKI Jakarta yang melaksanakan Pilkada putaran kedua pada hari
Kamis, tanggal 19 April.

Oleh karena itu, wajar saja jika tingginya tensi perpolitikan di DKI Jakarta tak kunjung mereda hingga saat
ini. Demi memenangkan Pilkada, dua pasangan calon pemimpin daerah saling mengunggulkan visi, misi,
program kerja, serta janji-janji terbaik mereka pada seluruh masyarakat DKI Jakarta. Menariknya, Pilkada
DKI Jakarta tak hanya dinikmati oleh warga ibu kota semata, tetapi juga menarik perhatian hampir
seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai wadah untuk mengakomodasi para pasangan calon dalam beradu program kerja dan
memantapkan keyakinan para pemilih, minggu lalu KPU telah menyelenggarakan forum debat Pilkada
putaran kedua. Debat Pilkada itu memang sengaja disiarkan secara langsung (live) oleh stasiun televisi
nasional.Pada setiap debat, performa dasar yang selalu ramai dikomentari pendukung adalah ihwal
keterampilan berbicara para pasangan calon. Keterampilan berbicara digunakan untuk menyampaikan
kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain yang didasari oleh kepercayaan diri
untuk berbicara secara wajar, jujur, benar, dan bertanggungjawab

Firstya Evi Dianastiti, Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Islam Kendal

Firstya Evi Dianastiti, Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Islam Kendal
(TRIBUNJATENG/CETAK/BRAM)
Pada tingkat keterampilan yang lebih tinggi, keterampilan berbicara itu disebut retorika. Namun,
kemudian tidak dapat disalahkan ketika retorika yang salah satu makna dalam KBBI V adalah seni
berpidato yang muluk-muluk dan bombastis, kemudian lebih condong ke arah penafsiran negatif. Saat
mendengar istilah retorika, masyarakat lebih terbayang tentang obral janji-janji yang jamak dilakukan
oleh politisi.

Pada ranah politik, beretorika memang menjadi salah satu hal yang wajib dikuasai. Selain sebagai sarana
komunikasi efektif, kemampuan beretorika yang mumpuni menjadi senjata untuk melakukan deal-deal
politik. Tidak hanya itu, kemampuan beretorika juga merupakan salah satu cara yang digunakan untuk
mewujudkanbranding politik (political branding).

Selain menggunakan media konvensional berupa media cetak dan elektronik, branding politik dapat
diciptakan melalui media cyber. Pada media cyber, tidak hanya portal berita yang menjadi sarana, tetapi
juga media sosial yang lebih akrab dan menjangkau masyarakat secara langsung. Melalui debat Pilkada
yang disiarkan live di televisi nasional ataupun lokal, umpan balik, tanggapan, dan komentar dari
masyarakat dapat segera dengan mudah diketahui di berbagai media sosial.

Kebebasan mengutarakan pendapat melalui media sosial ini juga dapat menjadi pisau bermata dua bagi
branding politik.Kemampuan beretorika para pasangan calon saat Pilkada dapat ditanggapi berbeda oleh
masyarakat umum yang kemudian tersebar luas tanpa bisa dicegah, apakah akan menjadi senjata untuk
meyakinkan masyarakat ihwal visi misi dan program kerja, atau justru sebaliknya melemahkan
kemampuan pasangan calon dan kemudian masyarakat terlanjur menganggapnya sebagai bualan janji
semata. Pada titik inilah peran bahasa dan retorika sangat penting untuk membangun citra diri dan
persepsi sehingga timbul keyakinan pada masyarakat pemilih ihwal kualitas dan kredibilitas pasangan
calon pemimpin daerah.

Kotler (dalam Wasesa 2005:13) mengutarakan bahwa persepsi merupakan sebuah proses dimana
seseorang melakukan seleksi, mengorganisasi, dan menginterpretasi informasi-informasi yang masuk ke
dalam pikirannya menjadi sebuah gambar besar yang memiliki arti.

Bangunan persepsi realitas, dan citra terbentuk oleh kredibilitas. Jika tidak didasari informasi realitas
dengan kredibilitas yang tinggi maka hanya akan menghasilkan citra yang lemah. Informasi yang kurang
maupun tidak kredibel mengakibatkan munculnya banyak celah yang dapat dilihat oleh publik ataupun
lawan yang dapat dengan mudah mengubah citra tersebut menjadi citra yang negatif. Apabila citra
negatif telah tersemat, maneuver politik apapun yang dilakukan paslon akan terlanjur dicap sebagai
strategi pencitraan yang memang bukan hal baru di dunia politik.

Halaman selanjutnya

Halaman

12

Ikuti kami di
Add Friend

Editor: iswidodo

Sumber: Tribun Jateng

Tags Pilkada DKIPilkada Serentakopinidebatputaran kedua

Berita Terkait:OPINI

Ketidakarifan Teknologi

Kematian yang Menyelamatkan

Pembelajaran dari Karang Karimunjawa

Reformasi Perpajakan, ke Manakah Arahmu?

Membudayakan Keluarga Literasi

Loading...

berita POPULER

ahmad-dhani-kanan-dan-uang_20170320_120820.jpg

Ingat Video Ahmad Dhani Ditagih Utang Pedagang? Sebulan Berlalu yang Terjadi Mengejutkan!

2 jam lalu

penampakan-rumah-yang-disebut-sebut-ada-di-kawasan-handil-bakti-kalimantan-selatan-jadi-
viral_20170425_091611.jpg

Penampakan Rumah Abunawas di Kalsel Ini Viral. Bak Istana Dari Depan, Lihat Sampingnya, Mengejutkan

2 jam lalu

polisi-tertembak_20170424_225625.jpg

Dua Penjahat Itu Asal Kampung Begal di Lampung, Ini VIDEONYA, Satu Mati Didor Polisi

10 jam lalu

ustaz-jafar_20170425_092500.jpg

Sebelum Meninggal saat Baca Alquran, Ustaz Jafar Menolak Ajakan Salat Berjamaah Istri, Alasannya
2 jam lalu

evakuasi-pendaki-yang-tersambar-petir-di-wonosobo_20170424_071148.jpg

Proses evakuasi 11 Pendaki Gunung Prau Berlangsung Dramatis, Tiga Jenazah Telah Ddipulangkan

4 jam lalu

+ Index Populer

berita TERKINI

jennifer-dunn_20170425_115020.jpg

Pernah Dipenjara Karena Kasus Narkoba dan Pesta Seks, Artis Cantik Ini Digosipkan Rebut Suami Orang

Seleb 7 menit lalu

ahok_20170425_114149.jpg

Hakim Tegur Ahok saat Bacakan Pembelaan dan Sebu-sebut Anak TK

News 26 menit lalu

kepayon-hotplate_20170425_112623.jpg

Kamu Berhak Kenyang! Di Resto Ini Pengunjung Bisa Memilih Aneka Hot Plate dengan Harga Terjangkau

Travel 38 menit lalu

beberapa-pohon-tumbang-menutupi-jalan-di-batang_20170202_160525.jpg

Hotline Public Service

Waswas Pohon Tua di Sampangan

Public Service 51 menit lalu

warga-bersama-dinas-terkait-gotong-royong_20170425_111347.jpg

Longsor di Kaliputih, Kendal, Warga Gotong Royong Buat Jalan Darurat

Jawa Tengah 54 menit lalu

+ Index Berita

2017 TRIBUNnews.com All Right Reserved


http://jateng.tribunnews.com/2017/04/19/menunggu-hasil-retorika-kampanye-pada-pilkada-dki

http://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170411100409-516-206533/pria-berpeci-dan-senjata-
makan-tuan-di-video-kampanye-ahok/

Xxxxxxxxxxx

Branding menjadi kebutuhan utama kampanye, karena bisa menciptakan kampanye yang berbeda
dengan yang lain, serta efisien dalam penggunaan tools ataupun dana.

silih agung wasesaItulah yang dikatakan Silih Agung Wisesa, penulis buku Political Branding & Public
Relation. Secara umum, menurutnya Political Branding itu adalah bagaimana melakukan branding
sebuah aktivitas politik, baik dalam konteks partai ataupun konteks politik.

Branding membantu politisi atau partai menentukan positioning yang tepat untuk konstituen mereka,
termasuk dalam hal kampanye dan melakukan engagement, terangnya.

Lantas, apa yang harus dilakukan politisi dalam proses penciptaan political branding? Silih menjelaskan
bahwa yang harus dilakukan adalah menciptakan differential advantage dibandingkan dengan politisi
lain. Dengan berbeda, masyarakat akan menjadi paham fungsi sang politisi dalam konteks kehidupan
masyarakat.

Sudah ada beberapa politisi yang secara disiplin melakukan branding, sebut saja Jokowi, Ganjar Pranowo
dan Ridwal Kamil. Sayangnya, menurut Silih sebagian besar politisi masih latah. Satu pakai ambulan, yang
lain bikin ambulan dan sejenisnya.

Silih menambahkan bahwa branding dalam dunia politik bukan sekadar membangun citra. Branding itu
menciptakan engagement dengan efektif dan efisien terhadap masyarakat.

Membangun engagement itu dengan memberikan solusi, bukan memberikan uang. Uang bisa jadi salah
satu solusi, tapi jangka pendek, transaksional.

Ia menjelaskan, agar aktivitas komunikasi pemilu hemat, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan:
Bagaimana politisi ataupun partai bisa memberikan solusi yang dibutuhkan, dan berbeda dengan yang
diberikan oleh kompetitor.

Bagaimana menciptakan partisipasi masyarakat dalam pemilu.

Menciptakan orang ketiga yang mampu meng-endorse program-program politik mereka.

Bagi Silih, citra bisa dibangun dalam waktu singkat selama partai yang bersangkutan bisa mendalami
masalah terpendam yang ada di daerah kampanye, kemudian memberikan solusi yang interaktif. Bukan
solusi instan seperti memberi bantuan. Tapi menciptakan infrastruktur pemecahan masalah, hingga
masalah yang sama tidak terulang lagi.

Ketika ditanya berapa persentase ATL dan BTL, Silih mengatakan tidak ada perbandingan pasti antara
antara ATL (Above the line) dan BTL (Below The Line), hal itu tergantung tujuannya.

Hanya saja yang perlu diingat adalah aktivitas ATL itu sifatnya reminding atas apa yang sudah dilakukan di
lapangan. Bukan sebagai pesawat tempur yang membombardir awareness. Selain mahal, tidak efektif
juga, karena politisi belum melakukan apapun di lapangan.

Silih menyayangkan, saat ini aktivitas branding dan PR partai politik dan caleg kebanyakan masih
menggunakan cara-cara konvensional berbiaya mahal. Tidak hanya itu, penggunaan kanal digital oleh
partai politik pun terbilang lemah, kecuali beberapa capres dan politisi yang tampak sudah lebih aktif.

Silih menerangkan, meski penetrasi media digital masih kecil dalam penentuan konstituen, bukan berarti
bisa ditinggalkan. Media digital memiliki hot button publik yang bisa memengaruhi publik lain.

Nah, agar sukses memanfaatkan media sosial ini, berikut beberapa tips dari Silih:

Percakapan

Basis media sosial adalah percakapan. Penting bagi kita untuk melihat tren percakapan yang terjadi dan
yang diminati. Selama ini, kita memilih untuk melakukan blasting, sehingga yang muncul justru antipati.

Menciptakan pembicaraan

Kita harus menciptakan lahan-lahan untuk menciptakan pembicaraan. Untuk mencapai itu, komunitas
media sosial mutlak diperlukan.

Sinergi

Terakhir dan yang tak kalah penting adalah menggabungkan kegiatan offline dan online, hingga menjadi
sinergi dan interaktif satu sama lain. (Cecep Supriadi)

http://www.marketing.co.id/political-branding-sebagian-besar-politisi-masih-latah/

Anda mungkin juga menyukai