Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS PEMBENTUKAN KOTA PRAYA PROVINSI NUSA

TENGGARA BARAT DITINJAU DARI PERSPEKTIF KAJIAN TEKNIS


SOSIAL BUDAYA DAN SOSIAL POLITIK

Oleh:
Dr. Rosdiana Parsan, M.Si.
Akhmad Zainuri

A. Latar Belakang Masalah


Salah satu isu sentral yang muncul pasca-reformasi adalah perdebatan
sistem politik relasi pemerintah pusat dan daerah, terutama terkait sistem
sentralisitik menjadi desentralisasi yang memberikan ruang "otonomi daerah"
yang lebih besar. Dengan arus desakan daerah yang ingin mendapatkan otoritas
yang lebih besar, maka Pemerintah Pusat membentuk Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan pemberlakuan Undang-
undang ini, otonomi daerah akan menjadi solusi terbaik atas persoalan keadilan
dan pemerataan antara pusat dan daerah.
Inisiatif pemekaran wilayah pada dasarnya berangkat dari adanya peluang
hukum bagi masyarakat dan daerah untuk melakukan pemekaran/ penggabungan
wilayah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga tidak mengherankan apabila ledakan
pemekaran wilayah terjadi sejak otonomi daerah digulirkan sehingga sampai saat
ini sudah mencapai 173 daerah otonom baru.
Fenomena pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru
(DOB), kemudian menjadi konsekuensi logis kebijakan desentralisasi politik
tersebut. Kebijakan pemekaran daerah, sejatinya memberikan harapan bahwa
penataan daerah (teritorial reform) akan menghasilkan peningkatan kesejahteraan
rakyat, pelayanan yang lebih baik, peningkatan kehidupan demokratis,
pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, meningkatnya keamanan dan ketertiban,
serta relasi-relasi yang harmonis antar-daerah.
Jika dibandingkan pengaturan penataan daerah pada era Orde Baru yang
merujuk UU No 5 Tahun 1974, kebijakan pemekaran daerah pasca ditetapkannya
UU No 22 Tahun 1999 mempunyai perbedaan yang signifikan. Kebijakan
pemekaran daerah pada Orde Baru, memang bersifat elitis dan memiliki karakter
sentralistis, yang perencanaan dan implementasi pemekaran lebih merupakan
inisiatif pemerintah pusat (topdown) daripada partisipasi dari bawah (buttom-up).
Sehingga, proses pemekaran daerah selain jarang terjadi juga seringkali menjadi
proses yang tertutup dan menjadi arena terbatas di kalangan pemerintah pusat.
Sedangkan dalam UU No 22 Tahun 1999 (jo UU No 23 Tahun 2014) yang secara
teknis diatur dalam PP No 129 Tahun 2000 (jo PP No 78 Tahun 2007) justru
lebih menekankan pada proses-proses politik. Ruang bagi daerah untuk
mengusulkan pembentukan DOB dibuka lebar. Dengan kebijakan yang demikian
ini, kebijakan pemekaran daerah lebih didominasi oleh proses politik daripada
proses teknokratis. Sehingga dapat dipahami bahwa produk hukum ini berdampak
pada maraknya pemekaran daerah yang tidak terbendung di seluruh Indonesia,
terutama di luar Jawa. Derasnya gelombang pemekaran daerah ini kemudian juga
berdampak pada timbulnya berbagai problem di daerah yang baru dimekarkan
tersebut, sebagaimana evaluasi Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumulo yang
menyebutkan 60 persen DOB menjadi daerah gagal.
Aspirasi pembentukan Kota Praya mulai berhembus seiring dengan mulai
bertumbuh secara aklseletarif pembangunan yang di triger dengan beroperasinya
Bandar Internasional Lombok, dimana proyeksi tumbuhnya kota baru yang kian
kompleks permasalahannya, menjadi solusi dalam rangka mendekatkan pelayanan
pemerintahan, percepatan pembangunan, dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat melalui kemandirian optimalisasi pengolahan potensi sumberdaya
yang ada.
Rencana pembentukan Kota Praya sendiri meliputi minimal 4 (empat)
kecamatan, atau dapat juga diproyeksikan 5 kecamatan, diantaranya Kecamatan
Praya sebagai wilayah utama, dan mengambil irisan wilayah Kecamatan Praya
Tengah, Praya Barat, Jonggat, Batu Kliang dan Kecamatan Kopang, dengan luas
kecamatan secara keseluruhan kisaran kurang lebih 30% dari luas Kabupaten
Lombok Tengah saat ini dengan penduduk 150.366 jiwa pada tahun 2016.
Luas wilayah menjadi salah satu faktor tuntutan pemekaran Kota Praya,
dimana Kabupaten Lombok Tengah yang memiliki wilayah seluas 1.208,39 km
persegi atau 120.839 hektar, merupakan kabupaten terluas kedua di Pulau
Lombok, di bawah Kabupaten Lombok Timur, dengan jumlah penduduk sekitar
860.209 jiwa. Kabupaten Lombok Tengah terletak pada posisi koordinat bumi
antara 824' - 857' Lintang Selatan dan 11605' - 11624' Bujur Timur,
membujur mulai dari kaki Gunung Rinjani di sebelah Utara hingga ke
pesisir pantai Kuta di sebelah Selatan dengan beberapa pulau kecil yang ada
disekitarnya..
Belajar dari daerah lain, guna menghindari kegagalan dalam ikhtiar sebagai
DOB, maka berbagai faktor bukan hanya faktor ekonomi belaka - perlu
dicermati yang dapat saja menjadi faktor diterminan keberhasilan sebuah daerah
otonom baru. Adapun faktor tersebut yaitu faktor kondisi sosial dalam suatu
masyarakat khusunya mengenai bagaimana kajian sosial budaya maupun sosial
politik di Kota Praya sendiri sesuai yang diamanatkan oleh UU PP 78 Tahun 2007
mengenai syarat maupun tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan
Daerah, karena walaupun kemampuan daerah tersebut secara ekonomi mumpuni
tapi masyarakatnya sendiri yang belum siap secara mental sosial untuk mampu
mengelola potensi itu dengan baik maka kegagalan yang akan dialami DOB yang
telah terbentuk mempunyai potensi untuk terjadi lagi di daerah yang akan
dibentuk.
Maka dari itu perlu ada sebuah perhatian yang serius terkait dengan faktor
ini khusus kepada daerah yang ingin memekarkan diri yaitu Kota Praya, karena
jangan sampai daerah yang ingin memekarkan diri itu hanya karena kemauan dari
segelintir orang yang mengatasnamakan masyarakat tanpa melihat bagaimana
sebenarnya kondisi sosial yang ada pada masyarakat tersebut, siapkah atau tidak,
mampukah atau tidak secara mentalitas sosial. Saking urgentnya hal ini, di dalam
UU Nomor 23 Tahun 2014 a quo pasal 36 menjadikan persyaratan dasar kapasitas
Daerah menjadikan parameter sosial politik, adat dan tradisi diantaranya adalah
adanya kohesivitas sosial.
Melihat maraknya fenomena daerah otonomi baru (DOB) yang gagal saat
ini pasca pemekaran, setidaknya untuk meminimalisir potensi kesalahan yang
terjadi pada DOB yang sudah ada terulang kembali pada rencana pembentukan
Kota Praya, maka dari itu dirasa perlu ada pengkajian yang bersifat prospektif
terkait dengan persyaratan dasar kapasitas Daerah khususnya berkenaan dengan
parameter sosial politik, adat dan tradisi yang dimiliki oleh Kota Praya sebagai
salah satu syarat untuk memekarkan diri dari daerah induk yaitu Kabupaten
Lombok Tengah.
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan menarik untuk dikaji dalam
penelitian ini dibingkai dengan judul : Prospektif Pembentukan Kota Praya
Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kajian Teknis Sosial Budaya Dan Sosial
Politik).
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan kelayakan
pembentukan Kota Praya dilihat dari potensi kondisi teknis sosial budaya dan
sosial politik Kota Praya jika ingin melepaskan diri dari Kabupaten Lombok
Tengah sesuai dengan PP 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
B. Tinjauan Pustaka
1. Desentralisasi dan Otonomi Daerah.
Sebagai suatu negara kesatuan yang menganut azas desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah pusat memberi keleluasaan atau
kewenangan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Perubahan kedua Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan antara lain
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi
dan daerah Provinsi itu dibagi atas daerah Kabupaten dan daerah Kota, yang
masing-masing mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-
undang.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagaimana dikutip oleh Koswara batasan
bahwa desentralisasi adalah : Decentralization refers to the transfer of
authority away from the national capital wheter by deconcentration (i.e.
delegation) to field office or by devolution to local authorities or local bodies.
Dari definisi tersebut menjelaskan bahwa terdapat proses penyerahan
(transfer) kekuasaan dari pemerintah pusat (the national capital) dengan dua
variasi yaitu (1) melalui dekonsentrasi (delegasi) kepada pejabat instansi
vertikal di daerah atau (2) melalui devolusi (pengalihan tanggung jawab)
kekuasaan pada pemeritaha yang memiliki otoritas pada daerah tertentu atau
lembaga-lembaga otonom di daerah.
Definisi lainnya yang terdapat dalam Hand Book of Public
Administration yang diterbitkan PBB mendefinisikan desentralisasi sebagai
proses penyerahan kekuasaan pemerintah berikut fungsi-fungsinya yang
dibedakan menjadi (1) dekonsentrasi yaitu kekuasaan dan fungsi pemerintahan
diberikan secara administratif kepada instansi vertikal pemerintah pusat yang
ada di daerah dan (2) devolusi yaitu kekuasaan dan fungsi pemerintahan
diberikan kepada pemerintah loka yang memiliki kekuasaan pada wilayah
tertentu dalam ikatan suatu negara sehingga terwujud daerah otonom.
Hakekat otonomi daerah adalah adanya kewenangan yang lebih besar
dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah termasuk di dalamnya
pengelolaan keuangan. Mardiasmo memberikan pendapat bahwa dalam era
otonomi daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi dari pusat, tetapi benar-
benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreativitas dalam
mengembangkan potensi yang selama era otonomi bisa dikatakan terpasung.
Pemerintah daerah diharapkan semakin mandiri, mengurangi ketergantungan
terhadap pemerintah pusat, bukan hanya terkait dengan pembiayaan, tetapi
juga terkait dengan (kemampuan) pengelolaan daerah. Terkait dengan hal itu,
pemerintah daerah diharapkan semakin mendekatkan diri dalam berbagai
kegiatan pelayanan publik guna meningkatkan tingkat kepercayaan publik.
Seiring dengan semakin tingginya tingkat kepercayaan, diharapkan tingkat
partisipasi (dukungan) publik terhadap pemerintah daerah juga semakin tinggi.
Selanjutnya Maddick menyatakan juga bahwa desentralisasi merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk membagi kekuasaan ( division of
power ). Pembagian kekuasaan secara teoritis dapat dilakukan melalui dua cara,
yakni capital division of power dan areal division of power. Capital division of
power merupakan pembagian kekuasaan sesuai dengan ajaran trias
politica dari Montesque, yakni membagi kekuasaan menjadi kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang (kekuasaan eksekutif), kekuasaan untuk membuat
undang-undang (kekuasaan legislatif) dan kekuasaan kehakiman (kekuasaan
judikatif). Sedangkan areal division of power dapat dilakukan dengan dua cara,
yakni desentralisasi dan dekonsentrasi. Desentralisasi merupakan penyerahan
kekuasaan secara legal (yang dilandasi hukum) untuk melaksanakan fungsi
tertentu atau fungsi yang tersisa kepada otoritas lokal yang secara formal diakui
oleh konstitusi. Sedangkan dekonsentrasi merupakan pendelegasian kekuasaan
untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang
berada di luar kantor pusat.
Pandangan lain mengenai pengertian desentralisasi dikemukakan
oleh Chema dan Rondinelli. Menurut mereka desentralisasi is the transfer or
delegating of planning, decision making or management authority from the
central government and its agencies to field organizations, subbordinate
units of government, semi-autonomous public coorporations, area wide or
regional authorities, functional authorities, or non governmental organizations
. Tipe desentralisasi ditentukan oleh sejauh mana otoritas atau kekuasaan
ditransfer dari pusat dan aransemen institusional (institutional
arrangement) atau pengaturan kelembagaan apa yang digunakan untuk
melakukan transfer tersebut. Dalam hal ini desentralisasi dapat berupa yang
paling sederhana yakni penyerahan tugas-tugas rutin pemerintahan hingga ke
pelimpahan kekuasaan (devolusi) untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu
yang sebelumnya dipegang oleh pemerintah pusat.
Menurut Chema dan Rondinelli selanjutnya decentralization dapat
dilaksanakan dengan dua cara, yakni dengan melakukan desentralisasi
fungsional (functional decentralization) atau dengan cara melaksanakan
desentralisasi teritorial (areal decentralization). Desentralisasi fungsional
merupakan suatu transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada lembaga-
Iembaga tertentu yang memiliki fungsi tertentu pula. Misalnya adalah
penyerahan kewenangan atau otoritas untuk mengelola suatu jalan tol dari
Departemen Pekerjaan Umum kepada suatu BUMN tertentu. Sedangkan
desentralisasi teritorial merupakan transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada
lembaga-Iembaga publik yang beroperasi di dalam batas-batas area tertentu,
seperti pelimpahan kewenangan tertentu dari pemerintah pusat kepada
pemerintah Provinsi, Kabupaten atau Kota.
Dengan demikian desentralisasi melahirkan daerah otonom. Daerah
otonom memiliki beberapa ciri, diantaranya adalah berada di luar hierarkhi
organisasi pemerintah pusat, bebas bertindak, tidak berada di bawah
pengawasan langsung pemerintah pusat, bebas berprakarsa untuk mengambil
keputusan atas dasar aspirasi masyarakat, tidak diintervensi oleh pemerintah
pusat, mengandung integritas sistem,memiliki batas-batas
tertentu (boundaries), serta memiliki identitas. ( Hoessein,1997).
Otonomi daerah menurut Emil Salim, mencakup tiga matra utama,
yaitu Pertama, matra pembagian kekuasaan mengelola pemerintah
(governmental power sharing) antara pusat dan daerah; Kedua, matra
pembagian keuangan dan personalia pemerintahan (financial and man power
sharing ) antara pusat dan daerah; Ketiga, matra pelimpahan kekuasaan politik,
adat dan budaya (political and social cultur power).
2. Pembentukan Daerah Otonomi Baru
Ternyata setelah dikaji lagi secara lebih mendalam, selain desakan atas
gelombang euphoria saat reformasi, pemicu derasnya pemekaran wilayah adalah
Dekrit Presiden pada Tahun 1959, yang segala sesuatunya harus dikembalikan
kepada UUD 1945 dan Pancasila, namun pasca reformasi muncullah UU No.
22/1999 yang lebih mencerminkan kebhinekaan ketimbang ketunggal ikaannya.
Namun dalam perkembangannya UU No. 22 Tahun 1999 ini direvisi
menjadi UU No. 32 Tahun 2004, dan terakhir diubah dengan UU Nomor 23
Tahun 2014, jelas saja berbagai desakan pemekaran wilayah semakin
membanjir di DPR, pasalnya makna desentralisasi bukan saja berkisar pada
adanya kewenangan untuk melakukan pemerintahannya sendiri, namun telah
bergeser kepada dorongan untuk memperoleh perlakuan yang lebih baik dari
pemerintah pusat maupun dari pemerintah induk. Sejatinya secara terminologi
hukum, dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 istilah pemekaran daerah dimuat pada
pasal 32 ayat (1) huruf a, merupakan bagian dari terminologi Pembentukan
Daerah.
Berdasarkan dari perspektif kewilayahan, terminologi Pemekaran
menurut Profesor Eko Budihardjo merupakan istilah yang salah kaprah karena
dalam Pemekaran wilayah yang terjadi bukan pemekaran tetapi lebih tepat
penciutan atau penyempitan wilayah. Dari perspektif kewilayahan memang
istilah Pemekaran tidak tepat digunakan mengingat dengan Pemekaran suatu
daerah justru mengalami penyempitan bukan perluasan wilayah. Dalam melihat
pemekaran daerah banyak perspektif yang bisa digunakan antara lain perspektif
hukum dan kebijakan, perpektif penataan wilayah, perpektif politik administrasi
pemerintahan, dan lain-lain yang semuanya bermuara pada wujud kemampuan
masyarakat daerah mengidentifikasi diri.
Oleh karena itu substansi dari pemekaran wilayah adalah masyarakat
memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri demi
tercapainya cita-cita bersama untuk mewujudkan masyarakat yang aman, adil,
makmur dan sejahtera.
3. Dasar Hukum Pemekaran Wilayah
a. Undang-Undang Dasar 1945
Dalam UUD 1945 tidak mengatur perihal pemekaran suatu wilayah
atau pembentukan daerah secara khusus, namun disebutkan dalam Pasal 18 B
ayat (1) bahwa, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur
dengan undang-undang, Selanjutnya, pada ayat (2) pasal yang sama
tercantum kalimat sebagai berikut : Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang diatur dalam
undang-undang.
b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 J.o Undang-undang Nomor
23 Tahun 2014.
Secara lebih khusus, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 j.o
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 mengatur ketentuan mengenai
Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Dapat dianalogikan, masalah
pemekaran wilayah juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 j.o Undang--undang Nomor 23
Tahun 2014 menentukan bahwa pembentukan suatu daerah harus ditetapkan
dengan undang-undang tersendiri. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat
(1). Kemudian, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut :
Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan
menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah,
pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan,
peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007.
Landasan yuridis selanjutnya yakni berupa pengaturan syarat teknis
dari pembentukan daerah baru diatur menurut Peraturan Pemerintah Nomor 78
Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah, dimana pembentukan suatu daerah harus meliputi
faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor-faktor,
seperti : kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik,
kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, tingkat kesejahteraan
masyarakat, rentang kendali, dan faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah.
4. Mekanisme dan Syarat-syarat Pembentukan Daerah Otonom Menurut
PP 78 Tahun 2007
Pembentukan Daerah Otonomi Baru atau pemekaran wilayah perlu
memenuhi ketentuan seperti yang dipesyaratkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 78 tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah. Sekilas sistematika persyaratan-persyaratan baik
administrasi, teknis, dan fisik tersebut, yang diperlukan tersebut dikemukakan
sebagai berikut: a) Adanya aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam
keputusan Badan Perwakilan Desa (BKD) untuk Desa dan atau Forum
Komunikasi kelurahan untuk Kelurahan, dimana aspirasi yang dituangkan dalam
keputusan ini paling sedikit 2/3 dari jumlah desa dan kelurahan yang akan
menjadi cakupan wilayah daerah yang akan dibentuk; b) Aspirasi masyarakat
ini disampaikan kepada DPRD kabupaten/kota, DPRD kab/kota dapat
memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi masyarakat tersebut
dalam bentuk keputusan, dan apabila menyetujui untuk pembentukan daerah
otonom baru maka harus dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota;
c) Apabila DPRD telah mengeluarkan keputusan tentang persetujuan untuk
pembentukan daerah otonom baru yang ditujukan kepada bupati/walikota, untuk
hal ini bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau manolak
aspirasi masyakat tersebut dalam bentuk keputusan berdasarkan hasil kajian
daerah; d) Bupati/walikota menyampaikan usulan pembentukan kabupaten/kota
kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan; e) Gubernur setelah menerima
usulan bupati/walikota tentang pembentukan daerah otonom baru dapat menolak
atau menyetujui pembentukan provinsi berdasarkan evaluasi terhadap kajian
daerah; f) Dalam hal gubernur menyetujui pembentukan provinsi baru, maka
gubernur menyampaikan usulan pembentukannya kepada DPRD Provinsi; g)
DPRD Provinsi memutuskan menyetujui atau menolak usulan pembentukan
kabupaten/kota dengan keputusan; h) Setelah DPRD Provinsi mengeluarkan
keputusan yang menyetujui pembentukan provinsi maka gubernur membuat
beberapa keputusan persetujuan yang diperlukan; i) Selanjutnya Gubernur
mengusulkan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri Negeri; j)
Menteri melakukan penelitian terhadap usulan pembentukan provinsi, yang
dilakukan oleh tim yang dibentuk menteri; k) Berdasarkan hasil penelitian
menteri menyampaikan rekomendasi usulan pembentukan daerah kepada Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) dan meminta tanggapan tertulis para
anggota DPOD pada sidang DPOD; l) Dalam hal DPOD memandang perlu
dilakukan klarifikasi dan penelitian kembali terhadap usulan pembentukan
daerah, DPOD menugaskan tim teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan
penelitian dan peninjauan lapangan; m) Berdasarkan hasil klarifikasi dan
penelitian DPOD bersidang untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
Presiden mengenai usulan pembentukan daerah; n) Menteri menyampaikan
usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran dan
pertimbangan DPOD; o) Apabila Presiden menyetujui usulan pembentukan
daerah, Menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan
daerah; p) Setelah Undang-undang pembentukan daerah diundangkan,
Pemerintah melaksanakan peresmian daerah dan melantik Penjabat kepala
daerah; q) Peresmian daerah baru dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak
diundangkannya undang-undang tentang pemebentukan daerah; r) Selain itu
masih diperlukan catatan-catatan lain yang perlu dipersiapkan sebagai berkas
persyaratan pembentukan kabupaten/kota (dukungan data).
5. Tata Cara Perhitungan Syarat Teknis Pemekaran Wilayah Menurut PP
78 Tahun 2007
Berdasarkan PP 78 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan,
Dan Penggabunagan Daerah, Kelayakan pembentukan suatu daerah dari segi
kajian teknis dapat dilihat dengan menggunakan beberapa langkah tata cara
perhitungan diantaranya nilai yang diperoleh dari pemberian skor pada
indikator-indikator yang ditetapkan sebagai kriteria kelulusan. Penilaian yang
digunakan adalah sistem skoring, untuk pembentukan daerah otonom baru terdiri
dari 2 macam metode yaitu: (1) Metode Rata-rata, dan (2) Metode Kuota.
Metode rata-rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap
calon daerah dan daerah induk terhadap besaran/nilai rata-rata keseluruhan
daerah di sekitarnya.
Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai
kuota penentuan skoring baik terhadap calon daerah maupun daerah induk.
Kuota jumlah penduduk provinsi untuk pembentukan provinsi adalah 5 kali rata-
rata jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi-provinsi sekitarnya. Kuota
jumlah penduduk kabupaten untuk pembentukan kabupaten adalah 5 kali rata-
rata jumlah penduduk kecamatan seluruh kabupaten diprovinsi yang
bersangkutan. Kuota jumlah penduduk kota untuk pembentukan kota adalah 4
kali rata-rata jumlah penduduk kecamatan kota-kota di provinsi yang
bersangkutan dan sekitarnya. Semakin besar perolehan besaran/nilai calon
daerah dan daerah induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota.
6. Teori Sosial Budaya dalam kontek Pemekaran Wilayah.
Kriteria sosial budaya dalam pembentukan daerah otonom dalam hal ini
akan dikaji melalui tiga indikator. Indikator-indikator yang digunakan adalah
rasio sarana peribadatan per 10.000 penduduk, rasio fasilitas lapangan olahraga
per 10.000 penduduk, dan jumlah balai pertemuan. Indikator tersebut digunakan
dengan asumsi bahwa aspek sosial budaya masyarakat di daerah
teraktualisasikan melalui berbagai bentuk aktivitas nyata seperti aktivitas
keagamaan, aktivitas seni, olah raga, maupun aktivitas-aktivitas lainnya. Karena
itu ketersediaan berbagai fasilitas sosial budaya tersebut dianggap dapat
mencerminkan sejauhmana kondisi sosial budaya masyarakat di daerah yang
akan dibentuk. Indikator-indikator tersebut seluruhnya mencerminkan dua hal.
Pertama, kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan berbagai sarana
dan parasarana sosial yang dibutuhkan warganya, yakni fasilitas tempat
peribadatan, tempat-tempat kegiatan sosial maupun sarana olah raga. Dalam hal
ini semakin tinggi angka rasio memperlihatkan semakin besarnya perhatian
pemda selama ini terhadap aspek sosial budaya masyarakat dan semakin
besarnya kemampuan pemda selama ini dalam menyediakan sarana dan
prasarana sosial yang dibutuhkan warganya. Kedua, kemampuan masyarakat
untuk mengakses fasilitas sosial yang tersedia, yakni tempat peribadatan, tempat
kegiatan sosial serta sarana olah raga. Dalam hal ini semakin tinggi angka rasio
memperlihatkan semakin baiknya akses masyarakat terhadap berbagai fasilitas
sosial yang tersedia, baik yang dibangun pemda maupun yang dibangun sendiri
oleh masyarakat.
7. Teori Sosial Politik dalam Konteks Pemekaran Wilayah.
Kajian pada kriteria sosial politik dalam hal ini dipusatkan pada dua
indikator, yakni partisipasi masyarakat dalam berpolitik dengan sub indikator
rasio penduduk yang ikut Pemilu legislatif terhadap jumlah penduduk yang
mempunyai hak pilih, serta indikator organisasi kemasyarakatan dengan sub
indikator jumlah organisasi kemasyarakatan. Partisipasi masyarakat dalam
berpolitik yang diukur dengan rasio penduduk yang ikut Pemilu legislative
terhadap jumlah penduduk yang mempunyai hak pilih memperlihatkan
sejauhmana kesadaran masyarakat daerah dalam berpolitik. Hal ini didasari oleh
asumsi bahwa Pemilu legislative merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan oleh warga negara dalam mengekspresikan kepentingan dan
keinginannya melalui pilihan terhadap partai politik tertentu yang mengikuti
Pemilu. Pilihan warga untuk mengikuti Pemilu dengan demikian mencerminkan
adanya kesadaran warga bahwa melalui Pemilu kemudian mereka dapat
mengemukakan aspirasinya ke tingkat yang lebih tinggi. Angka rasio yang tinggi
dengan demikian mencerminkan tingginya partisipasi masyarakat dalam
berpolitik. Sedangkan jumlah organisasi kemasyarakatan mencerminkan
banyaknya saluran yang dapat digunakan oleh masyarakat dalam
mengekspresikan kepentingan-kepentingannya. Dengan demikian indikator
tersebut juga mengindikasikan tingkat kesadaran politik masyarakat daerah
untuk turut serta berpartisipasi secara aktif dalam proses pengambilan keputusan
politik di tingkat daerah.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Aspek Sosial Budaya Lombok Tengah
Penilain terhadap faktor sosial budaya dalam PP No.78 tahun 2007 terdiri
atas 3 indikator yaitu Rasio Sarana Peribadatan per 10.000 penduduk, Rasio
Fasilitas Lapangan Olahraga per 10.000 penduduk, dan Jumlah Balai Pertemuan.
Dari ketiga indikator tersebut, data tentang jumlah balai pertemuan tidak tersedia,
namun demikian karena bobotnya kecil yaitu (1) sehingga kontribusinya terhadap
total bila ada pun juga relatif kecil.
a. Sarana Peribadatan
Berdasarkan pada jumlah tempat peribadatan di Kabupaten Lombok
Tengah memiliki tempat peribadatan sebanyak 4.040 unit sarana peribadatan
yang terdiri dari 1.322 Mesjid, 2.705 Musholla dan 2 unit Gereja dan 11 pura. Data
ini menunjukkan kecenderungan masyarakat Lombok Tengah secara sosial
budaya mampu melayani diri sendiri dan mampu mengadakan fasilitas fisik
peribadatan secara sosial, gotong royong dan kerja sama dalam membina norma-
norma dan nilai-nilai agama yang merupakan unsur-unsur dasar dari kehidupan
sosial-keagamaan.
Dalam konteks teori Sibernetika Parson, maka berdasarkan fakta sejarah
yang ada kita dapat menyimpulkan bahwa kondisi masyarakat Lombok Tengah
termasuk wilayah deklinasi yang direncanakan menjadi DOB Kota Praya - dalam
hal kepercayaan begitu memiliki rasa integritas yang tinggi hal ini disebabkan
karena adanya perlakuan sejarah yang membentuk mentalitas sosial mereka yang
mengakibatkan mayoritas mereka cenderung memiliki kesamaan tradisi dan
keyakinan sehingga memungkinkan mereka membentuk persekutuan baru yaitu
visi yang bisa lebih mempersatukan mereka, berupa konsep mempersatukan
wilayah melalui pembentukan DOB Kota Praya secara defenitif.
b. Sarana Olahraga
Dari data yang tertuang dalam situs ensiklopedia dunia
maya https://id.wikipedia.org/wiki/Praya,_Lombok_Tengah, hanya diperoleh data
yang menyebutkan jumlah lapangan Olahraga adalah 3 lapangan. Sementara itu di
situs http://centralombok.blogspot.co.id/2010/01/sarana-penunjang.html,
disebutkan fasilitas olah raga yang tersedia di Lombok Tengah adalah sebagai
berikut : 1) Lapangan Tenis Pendopo Praya; b) Lapangan Tenis PU; c) Lapangan
Tenis BRI, Praya; d) Lapangan Tenis PT. Perkebunan Kapas XXVI, Puyung; e)
Gedung Olah Raga; f) Lapangan Golf Batujai, Kecamatan Praya Barat; g)
Lapangan Umum.
Berdasarkan gambaran diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa
masyarakat Lombok Tengah memiliki prestasi yang cukup membanggakan dari
segi olahraga, meskipun dukungan fasilitas olah raga perlu perhatian lebih lanjut.
Memang syarat pembentukan daerah otonomi baru sesuai dengan amanat PP
78/2007 sangat menitikberatkan potensi sarana olahraga pada segi sosial budaya,
hal ini disebabkan karena secara psikologi sarana olahraga sangat memberi
kontribusi untuk penguatan pembangunan masyarakat dalam suatu daerah sebagai
satu kesatuan sosial.
c. Aspek Sosial Politik
Penelitian ini membatasi diri dan lebih banyak mencurahkan perhatian
pada ketentuan dalam pada PP No.78/2007. Dalam PP tersebut sub indikator yang
digunakan dalam menilai kondisi sosial politik terbagi atas atas 2 sub indikator
yaitu Rasio Jumlah Penduduk Yang Ikut Pemilu/Pilkada Terhadap Jumlah
Penduduk Yang Mempunyai Hak Pilih dan keberadaan Organisasi
Kemasyarakatan, kendati demikian analisis data sekunder dilengkapi dengan
uraian data yang berdasarkan wawancara yang terkait dengan 2 indikator ini.
1) Jumlah Penduduk yang Ikut Pemilu/Pilkada Terhadap Jumlah
Penduduk yang Mempunyai Hak Pilih.

Pada indikator ini secara substantif menitikberatkan tentang bagaimana


partisipasi politik masyarakat yang ada di Lombok Tengah. Pada dasarnya
pembentukan suatu daerah dalam hal ini mengenai pembentukan Kota Praya jika
dilihat dari segi sosial politik tentunya tidak bisa terlepas dari partisipasi politik
masyarakat di daerah tersebut, dalam hal bagaimana tingkat partisipasi
masyarakat yang ada khususnya pada rencana pembentukan DOB Kota Praya.
Partisipasi politik masyarakat Lombok Tengah cenderung menurun dari
Pemilukada Bupati Lombok Tengah Tahun 2010 sekitar 71% menjadi 61,22%
prosentase jumlah partisipan dalam proses politik pada pemilihan bupati tahun
2015 yang lalu.
Sumber : KPUD Kab. Lombok Tengah
Tingkat partisipasi politik di Pemilukada 2015 oleh pemantauan
Kementerian Dalam Negeri digolongkan masih rendah. Hal ini juga diakui oleh
Zaeroni, salah seorang Komisioner KPUD Kab. Lombok Tengah.
Sementara itu partisipasi dalam Pemilihan Kepala Desa, justru sangat
dirasakan lebih tinggi. Misalnya seperti yang dikemukan oleh Usman, SPd, Ketua
BPD Desa Bunut Baok Kecmatan Praya, bahwa ada level pemilihan Kepala Desa,
tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi bahkan hampir 90 % masyarakat
yang punya hak pilih mengikuti pemilihan. Hal ini menarik, karena menurut
Usman, para pemilih punya keterkaitan yang sifatnya lebih personal dengan
calon pemimpinnya.
Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
partisipasi politik masyarakat Lombok Tengah di tingkat Kabupaten cenderung
agak rendah, namun demikian pemilihan pada tingkat terendah dalam suatu
negara demokrasi yaitu pada notabennya pemilihan Kepala Desa cukup tinggi,
dan ini dapat dijadikan penanda bahwa nilai-nilai demokrasi cukup hidup di
tengah masyarakat akar rumput di Lombok Tengah.
2) Jumlah Organisasi Kemasyarakatan.
Organisasi kemasyarakatan merupakan lembaga sosial yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. UU No.8/1985 yang telah diganti dengan uu
Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, menempatkan
organisasi kemasyarakatan sebagai kekuatan sosial politik yang perlu dibina dan
diarahkan oleh pemerintah. Berdasarkan kapasitasnya sebagai infrastruktur politik
dan kelompok penekan, organisasi kemasyarakatan senantiasa berupaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat sebab
organisasi masyarakat memiliki kekuatan politik dan presure group. Dari segi
kuantitas, Lombok Tengah yang terdiri atas memiliki organisasi pemuda
sebanyak 87 organisasi kemasyarakatan . jumlah organisasi masyarakat yang ada
di Lombok Tengah sudah mampu mewadahi yang ada jika terbentuk DOB Kotra
Praya.
D. Kesimpulan
1. Upaya pembentukan DOB Kota Praya tidak terlepas dari bagaimana kondisi
sosial yang ada pada daerah tersebut, kondisi sosial pun meliputi kondisi
sosial budaya dan kondisi sosial politik.
2. Instrumen hukum secara normatif menetapkan aspek sosial budaya
berkenaan dengan terpenuhinya syarat (1) Rasio sarana peribadatan per
10.000 penduduk (2) Rasio fasilitas lapangan olahraga per 10.000
penduduk. (3) Jumlah balai pertemuan. Sedangkan aspek sosial politik harus
memenuhi syarat (1) Rasio penduduk yang ikut pemilu penduduk yang
mempunyai hak pilih. (2) Jumlah organisasi kemasyarakatan.
3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa aspek sosial budaya rasio sarana peribadatan telah
memenuhi indikator persyaratan, sedangkan data fasilitas olah raga dan jumlah balai pertemuan
tidak diperoleh dari berbagai dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah
maupun pihak BPS.
4. Sedangkan aspek sosial politik, mengindikasikan bahwa tingkat partisipasi
dalam pemilu yakni Rasio penduduk yang ikut pemilu penduduk yang
mempunyai hak pilih dalam dua kali perhelatan Pemilukada Bupati Lombok
Tengah mempunyai trend yang menurun. Sedangkan jumlah organisasi
kemasyarakatan sudah memenuhi persyaratan

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kab. Lombok Tengah, Lombok Tengah Dalam Angka, Tahun


2015.
Halim, Abdul, Politik Lokal, Pola, Aktor dan Alur Dramaturgi
(Perspektif Teori Powercube, Modal dan Panggung), Penerbit LP2B,
Yogyakarta, 2014.
Hossein, Benjamin, 1997. Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya
Otonomi Daerah Tingkat II, Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari
Segi Ilmu Administrasi Negara (Desentralisasi). Jakarta: LIPI Press
Piliang, Indra J. dkk, Lanskap Otonomi Daerah: Analisa Dan Kritik,
Yayasan Harkat Bangsa bekerjasama dengan European Union, Jakarta, 2007.
Jeddawi, Murtir, Pro Kontra Pemekaran Daerah: Analisis Empiris, Total
Media, Yogyakarta, 2009.
Kendra Clegg, Dari Nasionalisasi ke Lokalisasi: Otonomi Daerah di
Lombok dalam Desentralisasi Globalisasi dan Demokrasi Lokal, editor Jamil
Gunawan, LP3ES, Jakarta, 2005.
Koswara, E, Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat,
Yayasan Pariba, Jakarta, 2001
Mardiasmo, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi,
Yogyakarta 2006.
M. Zaki Mubarak, dkk, Blue Print Otonomi Daerah Di Indonesia, The
YHB Center, Jakarta, 2008.
Martin Hutabarat, Et, Al, Hukum dan Politik Indonesia : Tinjauan Analisis
Dekrit Presiden dan Otonomi Daerah, Sinar Harapan, Jakarta, 1996.
Napitupulu, Paimin, Menakar Urgensi Otonomi Daerah, Solusi atas
Ancaman Disentegrasi, PT. Alumni, Bandung 2012.
Rondonelli, Dennis A., and Shabbir G. Cheema, Decentralization and
Development, Policy Implementation in Develoving Countries, Sage Publications,
Inc. Beverly Hills, 1983.
Sufian Hamim, Sufian Hamim, dkk, Kajian Pemekaran Kabupaten
Indragiri Hilir, UNISI, 2010.
Syaukani; Afan Gaffar dan M. Ryaas Rasyid, Otonomi Daerah dalam
Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Tim Percik, Proses dan Implikasi Sosial-Politik Pemekaran; Studi Kasus
di Sambas dan Buton, Salatiga: Yayasan Percik Salatiga, Summary Paper, 2007.
Ubaedillah, A., dan Abdul Rozak (Ed.), Pendidikan Kewargaan (Civic
Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta:
ICCE UIN Jakarta, 2008.
Wasistiono, Sadu, Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah,
Penerbit Alqaprint Jatinangor, 2002.
Jurnal :
Santoso, Lukman, Problematika Pemekaran Daerah Pasca Reformasi di
Indonesia, SUPREMASI HUKUM Vol. 1, No. 2, Desember 2012
Yuwanto, Persepsi Elit Lokal Terhadap Wacana Pemekaran Daerah Di
Kabupaten Cilacap, Jurnal Politika, Vol. 6, No.2, Oktober 2015
Soetandyo Wignjosoebroto, Satu Abad Desentralisasi di Indonesia,
dalam Majalah Prisma No 3, Vol 29/ Juli 2010.
Media Online :
Arif Roesman Effendy, Pemekaran Wilayah Kabupaten/Kota,
http://dokumen.tips/documents/lilik-final-paper-on-pemekaran-wilayah-arif-
roesman.html Diunduh 4 Juni 2016, Jam 11.00 Wib.
CNNIndonesia, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150106174451-
20-22752/mendagri-60-persen-pemekaran-daerah-gagal-sejahterakan-warga/,
diunduh Jumat, 10 Juni 2016, pukul 11.10. wita.
HarianRepublika,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/03/02, /o3exr7219-jokowi-
moratorium-pemekaran-daerah-masih-berlanjut diunduh Jumat 10 Juni 2016,
Pukul 11.00 wita.
KennedyThesia, https://kennedythesia.wordpress.com/2013/07/27/konsep-
desentralisasi-dan-otonomi-daerah/, diunduh Jumat 10 Juni 2016, pk. 15.00.

Anda mungkin juga menyukai