Anda di halaman 1dari 14

BAB 1

PENDAHULUAN

Fraktur adalah hilangnya kontiunitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis,
baik yang bersifat total maupun parsial. Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma berat,
kadang-kadang trauma ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya sendiri terkena
penyakit tertentu. Juga trauma ringan yang terus menerus dapat menimbulkan fraktur.

Fraktur patologik adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang sebelumnya telah
mengalami proses patologik, misalnya tumor tulang primer atau sekunder, mieloma multipel,
kista tulang,osteomielitis, dan sebaginya. Trauma ringan saja sudah dapat menimbulkan
fraktur.

Fraktur stress disebabkan oleh trauma ringan tetapi terus menerus, misalnya fraktur
fibula pada pelari jarak jauh, fraktur tibia pada penari balet, dan sebaginya.

1
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Fraktur Femur
Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang femur
(Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur adalah fraktur
pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak
langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi
fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan
jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012) .

Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa
fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang femur
yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung dengan adanya
kerusakan jaringan lunak.

Gambar 2.1 tulang femur

2
2.2 Jenis jenis fraktur

1. Fraktur komplit: garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua

korteks tulang.

2. Fraktur tidak komplit: garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang.

3. Fraktur terbuka: bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang fraktur dengan

udara luar atau permukaan kulit.

4. Fraktur tertutup: bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur dengan udara

luar atau permukaan kulit (Rahmad, 1996).

Gambar 2.2 Jenis-jenis fraktur

3
2.3 Etiologi

Penyebab fraktur adalah trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang, dan mayoritas fraktur akibat kecelakaan lalu lintas.
Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, cidera olah raga. Trauma
bisa terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dikatakan langsung apabila terjadi benturan
pada tulang dan mengakibatkan fraktur di tempat itu, dan secara tidak langsung apabila titik
tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan (Rahmad, 1996 ). Menurut Sachdeva
(1996), penyebab fraktur dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

a. Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :
Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang
pata secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan
kerusakan pada kulit diatasnya.
Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi
benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur
klavikula.
Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang kuat.
b. Fraktur Patologik Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi pada berbagai
keadaan berikut :
Tumor tulang (jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali dan progresif.
Infeksi seperti osteomielitis : dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau
dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambat dan sakit nyeri.
Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi Vitamin D
yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh
defisiensi diet, tetapi kadang-kadang dapat disebabkan kegagalan absorbsi
Vitamin D atau oleh karena asupan kalsium atau fosfat yang rendah.
c. Secara spontan :
disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit polio
dan orang yang bertugas dikemiliteran.

4
2.4 Patofisiologi
Tulang yang mengalami fraktur biasanya diikuti kerusakan jaringan disekitarnya,
seperti di ligamen, otot tendon, persyarafan dan pembuluh darah, oleh karena itu pada kasus
fraktur harus ditangani cepat, dan perlu dilakukan tindakan operasi.
Tanda dan Gejala :

Nyeri hebat ditempat fraktur.


Tak mampu menggerakkan ekstremitas bawah.
Diikuti tanda gejala fraktur secara umum, seperti : fungsi berubah, bengkak, sepsis
pada fraktur terbuka dan deformitas.

2.5 Diagnosis
a. Anamnesis

Bila tidak ada riwayat trauma, berarti fraktur patologis. Trauma harus diperinci kapan
terjadinya, di mana terjadinya, jenisnya, berat-ringan trauma, arah trauma, dan posisi pasien
atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma). Jangan lupa untuk meneliti kembali
trauma di tempat lain secara sistematik dari kepala, muka, leher, dada, dan perut (Mansjoer,
2000).

b. Pemeriksaan Umum

Dicari kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada fraktur multipel, fraktur
pelvis, fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada fraktur terbuka yang mengalami infeksi
(Mansjoer, 2000).

c. Pemeriksaan Fisik

Menurut Rusdijas (2007), pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk fraktur


adalah:

- Look (inspeksi): bengkak, deformitas, kelainan bentuk.


- Feel/palpasi: nyeri tekan, lokal pada tempat fraktur.
- Movement/gerakan: gerakan aktif sakit, gerakan pasif sakit krepitasi.

5
d. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan adalah pencitraan


menggunakan sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan
kedudukan tulang, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi. yaitu antero posterior (AP)
atau AP lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) atau indikasi
untuk memperlihatkan patologi yang dicari, karena adanya superposisi. Untuk fraktur baru
indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan kedudukan fraktur dan karenanya perlu tampak
seluruh bagian tulang (kedua ujung persendian).

2.6 Proses Penyembuhan Fraktur


Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme alami untuk
menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan akan terjadi jika suatu fraktur
dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian besar fraktur dibebat, tidak untuk memastikan
penyatuan, tetapi untuk meringankan nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi
yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal dan mengembalikan fungsi (Smeltzer &
Bare, 2002).

Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan
jumlah gerakan di tempat fraktur. Penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai
berikut:

a. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari)


Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat
persediaan darah, akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini
kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler
sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya
(Black & Hawks, 2001).
b. Tahap radang dan proliferasi seluler (3 hari2 minggu)
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di
bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen
dikelilingi oleh jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang

6
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke
dalam daerah tersebut (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
c. Tahap pembentukan kalus (2-6 minggu)
Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam
beberapa keadaan, juga kartilago. Populasi sel juga mencakup osteoklas yang mulai
membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang
yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal
dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur menjadi lebih padat, gerakan
pada tempat fraktur semakin berkurang pada empat minggu setelah fraktur menyatu
(Black & Hawks,2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
d. Osifikasi (3 minggu-6 bulan)
Kalus (woven bone) akan membentuk kalus primer dan secara perlahanlahan diubah
menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur
lamellar dan kelebihan kalus akan di resorpsi secara bertahap. Pembentukan kalus
dimulai dalam 2-3 minggu setelah patah tulang melalaui proses penulangan
endokondrial. Mineral terus menerus ditimbun sampai tulang benar-benar bersatu
(Black & Hawks, 2001; Smeltzer & Bare,2002).
e. Konsolidasi (6-8 bulan)
Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, fibrosa yang imatur berubah
menjadi tulang lamellar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan
osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya
osteoblas mengisi celah-celah yang tersisa antara fragmen dengan tulang yang baru.
Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu sebelum tulang cukup kuat untuk
membawa beban yang normal (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk, 2011).
f. Remodeling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorpsi dan pembentukan tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk
normalnya (Black & Hawks, 2001; Sjamsuhidajat dkk 2011; Smeltzer & Bare, 2002).

7
2.7 Penatalaksanaan Fraktur
Tujuan pengobatan fraktur adalah untuk menempatkan ujung-ujung dari patah tulang
supaya satu sama lain saling berdekatan, selain itu menjaga agar tulang tetap menempel
sebagaimana mestinya. Proses penyembuhan memerlukan waktu minimal 4 minggu, tetapi
pada usia lanjut biasanya memerlukan waktu yang lebih lama. Setelah sembuh, tulang
biasanya kuat dan kembali berfungsi (Corwin, 2010).

Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan terhadap jalan napas (airway), proses pernafasan (breathing), dan sirkulasi
(circulating), apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi ,
baru lakukan amnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadinya kecelakaan
penting ditanyakan untuk mengetahui berapa lama sampai di RS, mengingat golden period 1-
6 jam , bila lebih dari 6 jam, komplikasi infeksi semakin besar. Lakukan amnesis dan
pemeriksaan fisis secara cepat , singkat dan lengkap. Kemudian, lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya kerusakan
yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses pembuatan foto (Mansjoer,
2000).

Penatalaksanaan fraktur telah banyak mengalami perubahan dalam waktu sepuluh


tahun terakhir ini. Traksi dan spica casting atau cast bracing mempunyai banyak kerugian
karena waktu berbaring lebih lama, meski pun merupakan penatalaksanaan non-invasif
pilihan untuk anak-anak. Oleh karena itu tindakan ini banyak dilakukan pada orang dewasa
(Mansjoer, 2000).

Bila keadaan penderita stabil dan luka telah diatasi, fraktur dapat dimobilisasi dengan
salah satu cara dibawah ini:

a. Traksi
Traksi adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani
kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot. Tujuan traksi adalah untuk
menangani fraktur, dislokasi atau spasme otot dalam usaha untuk memperbaiki
deformitas dan mempercepat penyembuhan. Traksi menggunakan beban untuk
menahan anggota gerak pada tempatnya. Tapi sekarang sudah jarang digunakan.
Traksi longitudinal yang memadai diperlukan selama 24 jam untuk mengatasi
spasme otot dan mencegah pemendekan, dan fragmen harus ditopang di posterior

8
untuk mencegah pelengkungan. Traksi pada anak-anak dengan fraktur femur
harus kurang dari 12 kg, jika penderita yang gemuk memerlukan beban yang lebih
besar.
b. Fiksasi interna
Fiksasi interna dilakukan dengan pembedahan untuk menempatkan piringan atau
batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Fiksasi interna merupakan
pengobatan terbaik untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai
komplikasi (Djuwantoro, 1997).
c. Pembidaian
Pembidaian adalah suatu cara pertolongan pertama pada cedera/ trauma sistem
muskuloskeletal untuk mengistirahatkan (immobilisasi) bagian tubuh kita yang
mengalami cedera dengan menggunakan suatu alat yaitu benda keras yang
ditempatkan di daerah sekeliling tulang (Anonim , 2010).
d. Pemasangan Gips atau Operasi Dengan Orif Gips
adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara keras
daerah yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips bertujuan untuk
menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat
menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang
patah tersebut (Anonim , 2010).
e. Penyembuhan Fraktur
Penyembuhan fraktur dibantu oleh pembebanan fisiologis pada tulang , sehingga
dianjurkan untuk melakukan aktifitas otot dan penahanan beban secara lebih awal.
Tujuan ini tercakup dalam tiga keputusan yang sederhana : reduksi,
mempertahankan dan lakukan latihan.

Menurut (Carter, 2003) jika satu tulang sudah patah, jaringan lunak di
sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi perdarahan yang
cukup berat dan bekuan darah akan terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan darah
akan membentuk jaringan granulasi didalamnya dengan sel-sel pembentuk tulang
primitif (osteogenik) dan berdiferensiasi menjadi krodoblas dan osteoblas.
Krodoblas akan mensekresi posfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk
lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan
meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen tulang dan menyatu.

9
Penyatuan dari kedua fragmen terus berlanjut sehingga terbentuk trebekula oleh
osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.
f. Neglected
Neglected fraktur adalah yang penanganannya lebih dari 72 jam. sering terjadi
akibat penanganan fraktur pada extremitas yang salah oleh bone setter Umumnya
terjadi pada yang berpendidikan dan berstatus sosioekonomi yang
rendahNeglected fraktur dibagi menjadi beberapa derajat, yaitu:
a. Derajat 1 : fraktur yang telah terjadi antara 3 hari -3 minggu
b. Derajat 2 : fraktur yang telah terjadi antara 3 minggu -3 bulan
c. Derajat 3 : fraktur yang telah terjadi antara 3 bulan 1 tahun
d. Derajat 4 : fraktur yang telah terjadi lebih dari satu tahun (Anonimd , 2011).

2.8 Komplikasi Fraktur Femur


Komplikasi Fraktur Femur Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam atau
lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanent
jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa komplikasi dari fraktur femur yaitu:

a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah eksterna
maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak dapat terjadi
pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena tulang merupakan organ
yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar
sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratum, dkk, 2008).
b. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk dapat
terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun. Pada saat
terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna katekolamin yang di lepaskan oleh
reaksi stres pasien akan memobilitasi asam lemak dan memudahkan terjadiya globula
lemak dalam aliran darah. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit
membentuk 15 emboli, yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil yang

10
memasok otak, paru, ginjal dan organ lain. Awitan dan gejalanya yang sangat cepat,
dapat terjadi dari beberapa jam sampai satu minggu setelah cidera gambaran khasnya
berupa hipoksia, takipnea, takikardia, dan pireksia (Suratun, dkk, 2008).
c. Sindrom kompartemen (Volkmanns Ischemia)
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan
interstisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam kompartemen osteofasial
yang tertutup. Peningkatan tekanan intra kompartemen akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi dan fungsi jaringan di dalam ruangan tersebut. Ruangan tersebut
terisi oleh otot, saraf dan pembuluh darah yang dibungkus oleh tulang dan fascia serta
otot-otot individual yang dibungkus oleh epimisium. Sindrom kompartemen ditandai
dengan nyeri yang hebat, parestesi, paresis, pucat, disertai denyut nadi yang hilang.
Secara anatomi sebagian besar kompartemen terletak di anggota gerak dan paling
sering disebabkan oleh trauma, terutama mengenai daerah tungkai bawah dan tungkai
atas (Handoyo, 2010).
d. Nekrosis avaskular tulang
Cedera, baik fraktur maupun dislokasi, seringkali mengakibatkan iskemia tulang yang
berujung pada nekrosis avaskular. Nekrosis avaskuler ini sering dijumpai pada kaput
femoris, bagian proksimal dari os. Scapphoid, os. Lunatum, dan os. Talus (Suratum,
2008).
e. Atrofi otot
Atrofi adalah pengecilan dari jaringan tubuh yang telah mencapai ukuran normal.
Mengecilnya otot tersebut terjadi karena sel-sel spesifik yaitu selsel parenkim yang
menjalankan fungsi otot tersebut mengecil. Pada pasien fraktur, atrofi terjadi akibat
otot yang tidak digerakkan (disuse) sehingga metabolisme sel otot, aliran darah tidak
adekuat ke jaringan otot (Suratum, dkk, 2008).

11
BAB 3
Standar Prosedur Operasional Cuci Tangan Bedah
(Standard Operational Procedure Surgical Scrub)
Pengertian Surgical scrub adalah cara cuci tangan bedah yang dilakukan sebelum
operasi.
Dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi dari tangan kepada pasien
selama operasi
Tujuan Sebagai acuan untuk menetapkan langkah-langkah dalam melaksanakan cuci
tangan bedah sebelum tindakan operasi dimulai
Kebijakan a. Cuci tangan dilakukan ditempat cuci tangan khusus
b. Air yang digunakan adalah air yang mengalir dan sudah teruji secara
biologis /air steril
c. Antiseptik yang digunakan adalah Chlorhexidine tanpa diencerkan
Prosedur a. Lepaskan perhiasan di tangan dan pergelangan
b. Gunakan skort plastik
c. Pastikan bagian lengan pakaian OK tidak terlalu dekat ke siku
d. Buka keran, biarkan air mengalir sejenak
e. Dengan posisi tangan lebih tinggi dari siku, alirkan air, basuh dari jari-jari
tangaan sampai pangkal siku .Sedemikian rupa sehingga seluruh permukaan
jari-jari, telapak tangan, punggung tangan, pergelangan dan lengan bawah
terbasuh dan air mengalir ke arah siku dan lakukan pada lengan yang
satunya.
f. Keluarkan Chlorhexidine secukupnya dengan siku tangan satu dan
menampungnya dengan tangan lainnya, sabun dengan gentle
g. Ambil sikat steril pada tempatnya dan sikat mulai dari kuku, jari tangan
sampai siku, seslesai sikat di biarkan jatuh di wastafel
h. Cuci dan basuh tangan dengan air dari ujung jari sampai siku dengan posisi
jari tangan tetap diatas
i. Tutup Keran air dengan siku
j. Apabila air yang digunakan bukan air steril basuh tangan dengan alkohol
70%
k. Lakukan tujuh langkah pencucian tangan sesuai prosedur
l. Seluruh proses 7 langkah tadi dilakukan selama 1 menit, bisa dibagi2 per
langkah atau langkah tadi dilakukan berulang2

12
m. Biarkan keran air terbuka dan air mengalir sepanjang proses cuci tangan
tadi
n. Dengan posisi tangan lebih tinggi dari siku, bilaslah seluruh tangan dan
lengan dengan air mengalir sedemikian rupa sehingga seluruh permukaan
terbasuh dan buih dari antiseptik terbasuh
o. Lakukan 7 langkah cuci tangan seperti diatas dengan antiseptik
chlorheksidin sekali lagi.
p. Pertahankan posisi tangan lebih tinggi dari siku, bila perlu jabatkan kedua
tangan. Posisi tangan jangan terlalu tinggi jangan terlalu dekat dengan
wajah.
q. Kenakan jas operasi dan Handschoen dengan lengan dan tangan masih
terbalur antiseptik.
Unit 1. Unit Rekam Medik
Terkait 2. Bidang Perawatan
3. Komite Keperawatan

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Appley, G. A. 2005. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi VII. Jakarta: Widya
Medika
2. Chandra, Budiman. 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: EGC.
3. Eliastham, Michael. 2008. Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta: EGC
4. Elizabeth, J. Corwin. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
5. Pearce, C. Evelyn. 2006. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
6. Mansjoer, Arief. 2003. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi III. Jakarta: Media Aesculapius.
7. Zimmerman. 2010. Diagnosis and Management of Shock, Fundamental Critical Support.
Society of Critical. USA: Care Medicine.
8. Yao, F.S.F, Artusio. 2006. Anesthesiology, Problem Oriented Patient Management. USA:
Lippincott Williams and Wilkins

14

Anda mungkin juga menyukai