Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

PEMANFAATAN BATUBARA SEBAGAI BAHAN BAKAR PLTU

TEKNOLOGI PEMANFAATAN BATUBARA

Disusun Oleh :
Josua Manik
Andre Susilo
Muhammad lutfillah
Eben

Program Studi Teknik Pertambangan


Fakultas Teknologi Kebumian Dan Energi
Universitas Trisakti
Jakarta
2017
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Seiring kemajuan teknologi, kebutuhan akan listrik menjadi kebutuhan
utama bagi keberlangsungan hidup manusia, tidak hanya untuk skala rumah
tangga terlebih untuk dunia perindustrian. Mengingat akan hal ini, maka PT
PLN (Persero) sebagai perusahaan negara yang bertugas menyediakan
kebutuhan listrik mencanangkan Program Percepatan Pembangunan
Pembangkit Listrik.
Dengan dibangunnya proyek PLTU ini sekaligus memanfaatkan potensi
batubara kalori rendah (low rank coal), dikarenakan batubara digunakan
sebagai bahan bakar utama PLTU. Dalam hal ini PLTU menggunakan batubara
sebagai bahan bakar, Dari penggunaan bahan bakar batubara ini, penghematan
yang bisa diperoleh dari pengurangan bahan bakar minyak (BBM) adalah
sekitar Rp 4 triliun per tahun. (Kementrian ESDM, 2007)
Batubara yang digunakan sebagai bahan bakar didatangkan dari pulau
Kalimantan dan Sulawesi dengan menggunakan kapal pengangkut batubara.
Untuk melakukan proses pembongkaran batubara dari kapal pengangkut ke
PLTU, dibutuhkan suatu pelabuhan batubara beserta fasilitas
pembongkarannya (unloading). Hal ini perlu dilakukan untuk mempermudah
kapal pengangkut batubara memasok kebutuhan PLTU yang per unitnya
mencapai 3.000 ton setiap harinya. Dengan demikian PLTU akan segera bisa
difungsikan.

I.2 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar sebagai mahasiswa Teknik
Pertambangan dapat mengetehaui manfaat dari Batubara khususnya sebagai bahan
bakat PLTU.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Batubara


Batu bara adalah salah satu bahan bakar fosil. Pengertian umumnya
adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari endapan organik,
utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan dan terbentuk melalui proses
pembatubaraan. Unsur-unsur utamanya terdiri dari karbon, hidrogen dan
oksigen. Batu bara juga adalah batuan organik yang memiliki sifat-sifat fisika
dan kimia yang kompleks yang dapat ditemui dalam berbagai bentuk. Analisis
unsur memberikan rumus formula empiris seperti C137H97O9NS untuk
bituminus dan C240H90O4NS untuk antrasit. Pembentukan batu bara
memerlukan kondisi-kondisi tertentu dan hanya terjadi pada era-era tertentu
sepanjang sejarah geologi. Zaman Karbon, kira-kira 340 juta tahun yang lalu,
merupakan masa pembentukan batu bara yang paling produktif dimana hampir
seluruh deposit batu bara (black coal) yang ekonomis di belahan bumi bagian
utara terbentuk. Pada Zaman Permian, kira-kira 270 jtl, juga terbentuk
endapan-endapan batu bara yang ekonomis di belahan bumi bagian selatan,
seperti Australia, dan berlangsung terus hingga ke Zaman Tersier (70 - 13 jtl) di
berbagai belahan bumi lain. Hampir seluruh pembentuk batubara berasal dari
tumbuhan. Jenis-jenis tumbuhan pembentuk batu bara dan umurnya menurut
Diessel (1981) adalah sebagai berikut :
Alga, dari Zaman Pre-kambrium hingga Ordovisium dan bersel tunggal.
Sangat sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
Silofita, dari Zaman Silur hingga Devon Tengah, merupakan turunan dari
alga. Sedikit endapan batu bara dari perioda ini.
Pteridofita, umur Devon Atas hingga Karbon Atas. Materi utama
pembentuk batu bara berumur Karbon di Eropa dan Amerika Utara.
Tetumbuhan tanpa bunga dan biji, berkembang biak dengan spora dan
tumbuh di iklim hangat.
Gimnospermae, kurun waktu mulai dari Zaman Permian hingga Kapur
Tengah. Tumbuhan heteroseksual, biji terbungkus dalam buah, semisal
pinus, mengandung kadar getah (resin) tinggi. Jenis Pteridospermae seperti
gangamopteris dan glossopteris adalah penyusun utama batu bara Permian
seperti di Australia, India dan Afrika.
Angiospermae, dari Zaman Kapur Atas hingga kini. Jenis tumbuhan
modern, buah yang menutupi biji, jantan dan betina dalam satu bunga,
kurang bergetah dibanding gimnospermae sehingga, secara umum, kurang
dapat terawetkan.

2.2 Tingkatan Batubara


Berdasarkan tingkat proses pembentukannya yang dikontrol oleh
tekanan, panas dan waktu, batu bara umumnya dibagi dalam lima kelas yaitu
antrasit, bituminus, sub-bituminus, lignit dan gambut.
Antrasit adalah kelas batu bara tertinggi, dengan warna hitam berkilauan
(luster) metalik, mengandung antara 86% - 98% unsur karbon (C) dengan
kadar air kurang dari 8%.
Bituminus mengandung 68 - 86% unsur karbon (C) dan berkadar air 8-
10% dari beratnya. Kelas batu bara yang paling banyak ditambang di
Australia.
Sub-bituminus mengandung sedikit karbon dan banyak air, dan oleh
karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien dibandingkan
dengan bituminus.
Lignit atau batu bara coklat adalah batu bara yang sangat lunak yang
mengandung air 35-75% dari beratnya.
Gambut, berpori dan memiliki kadar air di atas 75% serta nilai kalori yang
paling rendah.

2.3 Pembentukan Batubara


Proses perubahan sisa-sisa tanaman menjadi gambut hingga batu bara
disebut dengan istilah pembatu baraan (coalification). Secara ringkas ada 2
tahap proses yang terjadi, yakni :

Tahap Diagenetik atau Biokimia, dimulai pada saat material tanaman


terdeposisi hingga lignit terbentuk. Agen utama yang berperan dalam
proses perubahan ini adalah kadar air, tingkat oksidasi dan gangguan
biologis yang dapat menyebabkan proses pembusukan (dekomposisi) dan
kompaksi material organik serta membentuk gambut.
Tahap Malihan atau Geokimia, meliputi proses perubahan dari lignit
menjadi bituminus dan akhirnya antrasit.

2.4 Sumberdaya batubara


Potensi sumberdaya batu bara di Indonesia sangat melimpah, terutama di
Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatera, sedangkan di daerah lainnya dapat
dijumpai batu bara walaupun dalam jumlah kecil dan belum dapat ditentukan
keekonomisannya, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Papua, dan Sulawesi.
Badan Geologi Nasional memperkirakan Indonesia masih memiliki 160
miliar ton cadangan batu bara yang belum dieksplorasi. Cadangan tersebut
sebagian besar berada di Kalimantan Timur dan Sumatera Selatan. Namun
upaya eksplorasi batu bara kerap terkendala status lahan tambang. Daerah-
daerah tempat cadangan batu bara sebagian besar berada di kawasan hutan
konservasi. Rata-rata produksi pertambangan batu bara di Indonesia mencapai
300 juta ton per tahun. Dari jumlah itu, sekitar 10 persen digunakan untuk
kebutuhan energi dalam negeri, dan sebagian besar sisanya (90 persen lebih)
diekspor ke luar.
Di Indonesia, batu bara merupakan bahan bakar utama selain solar (diesel
fuel) yang telah umum digunakan pada banyak industri, dari segi ekonomis
batu bara jauh lebih hemat dibandingkan solar, dengan perbandingan sebagai
berikut: Solar Rp 0,74/kilokalori sedangkan batu bara hanya Rp
0,09/kilokalori, (berdasarkan harga solar industri Rp. 6.200/liter).
Dari segi kuantitas batu bara termasuk cadangan energi fosil terpenting
bagi Indonesia. Jumlahnya sangat berlimpah, mencapai puluhan milyar ton.
Jumlah ini sebenarnya cukup untuk memasok kebutuhan energi listrik hingga
ratusan tahun ke depan. Sayangnya, Indonesia tidak mungkin membakar
habis batu bara dan mengubahnya menjadi energis listrik melalui PLTU.
Selain mengotori lingkungan melalui polutan CO2, SO2, NOx dan CxHy cara
ini dinilai kurang efisien dan kurang memberi nilai tambah tinggi.
Batu bara sebaiknya tidak langsung dibakar, akan lebih bermakna dan
efisien jika dikonversi menjadi migas sintetis, atau bahan petrokimia lain
yang bernilai ekonomi tinggi. Dua cara yang dipertimbangkan dalam hal ini
adalah likuifikasi (pencairan) dan gasifikasi (penyubliman) batu bara.
Membakar batu bara secara langsung (direct burning) telah dikembangkan
teknologinya secara continue, yang bertujuan untuk mencapai efisiensi
pembakaran yang maksimum, cara-cara pembakaran langsung seperti: fixed
grate, chain grate, fluidized bed, pulverized, dan lain-lain, masing-masing
mempunyai kelebihan dan kelemahannya.

2.5 PRINSIP KERJA PLTU

Gambar 1. Skema pembangkitan listrik pada PLTU batubara

(Sumber: The Coal Resource, 2004)

Pada PLTU, batubara dibakar di boiler menghasilkan panas yang digunakan


untuk mengubah air dalam pipa yang dilewatkan di boiler tersebut menjadi
uap, yang selanjutnya digunakan untuk menggerakkan turbin dan memutar
generator. Kinerja pembangkitan listrik pada PLTU sangat ditentukan oleh
efisiensi panas pada proses pembakaran batubara tersebut, karena selain
berpengaruh pada efisiensi pembangkitan, juga dapat menurunkan biaya
pembangkitan. Kemudian dari segi lingkungan, diketahui bahwa jumlah emisi
CO2 per satuan kalori dari batubara adalah yang terbanyak bila dibandingkan
dengan bahan bakar fosil lainnya, dengan perbandingan untuk batubara,
minyak, dan gas adalah 5:4:3. Sehingga berdasarkan uji coba yang
mendapatkan hasil bahwa kenaikan efisiensi panas sebesar 1% akan dapat
menurunkan emisi CO2 sebesar 2,5%, maka efisiensi panas yang meningkat
akan dapat mengurangi beban lingkungan secara signifikan akibat pembakaran
batubara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teknologi pembakaran
(combustion technology) merupakan tema utama pada upaya peningkatan
efisiensi pemanfaatan batubara secara langsung sekaligus upaya antisipasi isu
lingkungan ke depannya.

Pada dasarnya metode pembakaran pada PLTU terbagi 3, yaitu pembakaran


lapisan tetap (fixed bed combustion), pembakaran batubara serbuk (pulverized
coal combustion /PCC), dan pembakaran lapisan mengambang (fluidized bed
combustion / FBC). Gambar 3 di bawah ini menampilkan jenis jenis boiler
yang digunakan untuk masing masing metode pembakaran.

Gambar 2. Tipikal boiler berdasarkan metode pembakaran


(Sumber: Idemitsu Kosan Co., Ltd)

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pemanfaatan Batu Bara Sebagai Bahan Bakar PLTU


Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang kaya akan sumber
daya alamnya. Salah satu potensi sumber daya alam yang ada di Indonesia
adalah batubara. Berdasarkan data dari hasil riset Departemen ESDM, Total
sumber daya batubara di Indonesia diperkirakan mencapai 105 miliar ton,
dimana cadangan batu bara diperkirakan 21 miliar ton. Tambang batubara
utama berlokasi di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan
Selatan. Produksi batubara meningkat sebesar 16% per tahun selama 5 tahun
terakhir. Saat ini, 75% dari total produksi batubara diekspor, terutama ke
Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Eropa.

Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah pembangkit yang


mengandalkan energi kinetik dari uap untuk menghasilkan energi listrik.
Bentuk utama dari pembangkit listrik jenis ini adalah Generator yang
dihubungkan ke turbin yang digerakkan oleh tenaga kinetik dari uap
panas/kering. Pembangkit listrik tenaga uap menggunakan berbagai macam
bahan bakar terutama batu bara dan minyak bakar serta MFO untuk start up
awal.

PLTU batubara, bahan bakar yang digunakan adalah batubara uap yang
terdiri dari kelas sub bituminus dan bituminus. Lignit juga mulai mendapat
tempat sebagai bahan bakar pada PLTU belakangan ini, seiring dengan
perkembangan teknologi pembangkitan yang mampu mengakomodasi batubara
berkualitas rendah.
Gambar 3.1 Skema PLTU Bahan Bakar Batubara

3.2 Tahapan Pembakaran dalam Pengolahan Batubara Sebagai Bahan Bakar PLTU
:
Pembakaran Lapisan Tetap
Metode lapisan tetap menggunakan stoker boiler untuk proses
pembakarannya. Sebagai bahan bakarnya adalah batubara dengan kadar abu
yang tidak terlalu rendah danberukuran maksimum sekitar 30mm. Selain itu,
karena adanya pembatasan sebaran ukuran butiran batubara yang digunakan,
maka perlu dilakukan pengurangan jumlah fine coal yang ikut tercampur ke
dalam batubara tersebut. Alasan tidak digunakannya batubara dengan kadar
abu yang terlalu rendah adalah karena pada metode pembakaran ini,
batubara dibakar di atas lapisan abu tebal yang terbentuk di atas kisi api
(traveling fire grate) pada stoker boiler.

Gambar 3.2 Stoker Boiler


Pembakaran Batubara Serbuk Coal Combustion/PCC

Pada PCC, batubara diremuk dulu dengan menggunakan coal


pulverizer (coal mill) sampai berukuran 200 mesh (diameter 74m),
kemudian bersama sama dengan udara pembakaran disemprotkan ke
boiler untuk dibakar. Pembakaran metode ini sensitif terhadap kualitas
batubara yang digunakan, terutama sifat ketergerusan (grindability), sifat
slagging, sifat fauling, dan kadar air (moisture content). Batubara yang
disukai untuk boiler PCC adalah yang memiliki sifat ketergerusan dengan
HGI (Hardgrove Grindability Index) di atas 40 dan kadar air kurang dari
30%, serta rasio bahan bakar (fuel ratio) kurang dari 2. Pembakaran
dengan metode PCC ini akan menghasilkan abu yang terdiri diri dari
clinker ash sebanyak 15% dan sisanya berupa fly ash.

Gambar 3.3 PCC Boiler

o Pembakaran Lapisan Mengambang (Fluidized Bed


Combustion/FBC)
Pada pembakaran dengan metode FBC, batubara diremuk
terlebih dulu dengan menggunakan crusher sampai berukuran
maksimum 25mm. Tidak seperti pembakaran menggunakan stoker
yang menempatkan batubara di atas kisi api selama pembakaran atau
metode PCC yang menyemprotkan campuran batubara dan udara
pada saat pembakaran, butiran batubara dijaga agar dalam posisi
mengambang, dengan cara melewatkan angin berkecepatan tertentu
dari bagian bawah boiler.

Gambar 3.4 Tipikal boiler FBC

o PFBC

Pada PFBC, selain dihasilkan panas yang digunakan untuk


memanaskan air menjadi uap untuk memutar turbin uap, dihasilkan pula
gas hasil pembakaran yang memiliki tekanan tinggi yang dapat memutar
turbin gas, sehingga PLTU yang menggunakan PFBC memiliki efisiensi
pembangkitan yang lebih baik dibandingkan dengan AFBC karena
mekanisme kombinasi (combined cycle) ini. Nilai efisiensi bruto
pembangkitan (gross efficiency) dapat mencapai 43%.
Gambar 3.5 Prinsip kerja PFBC

o Peningkatan efisiensi panas

Untuk lebih meningkatkan efisiensi panas, unit gasifikasi sebagian


(partial gasifier) yang menggunakan teknologi gasifikasi lapisan
mengambang (fluidized bed gasification) kemudian ditambahkan pada
unit PFBC. Dengan kombinasi teknologi gasifikasi ini maka upaya
peningkatan suhu gas pada pintu masuk (inlet) turbin gas
memungkinkan untuk dilakukan.

Pada proses gasifikasi di partial gasifier tersebut, konversi


karbon yang dicapai adalah sekitar 85%. Nilai ini dapat ditingkatkan
menjadi 100% melalui kombinasi dengan pengoksidasi (oxidizer).
Pengembangan lebih lanjut dari PFBC ini dinamakan dengan Advanced
PFBC (A-PFBC), yang prinsip kerjanya ditampilkan pada gambar 10 di
bawah ini. Efisiensi netto pembangkitan (net efficiency) yang
dihasilkan pada A-PFBC ini sangat tinggi, dapat mencapai 46%.
Gambar 3.6 Prinsip kerja A-PFBC

o ICFBC
Ruang pembakaran utama (primary combustion chamber) dan
ruang pengambilan panas (heat recovery chamber) dipisahkan oleh
dinding penghalang yang terpasang miring. Kemudian, karena pipa
pemanas (heat exchange tube) tidak terpasang langsung pada ruang
pembakaran utama, maka tidak ada kekhawatiran terhadap keausan
pipa sehingga pasir silika digunakan sebagai pengganti batu kapur
untuk media FBC. Batu kapur masih tetap digunakan sebagai bahan
pereduksi SOx, hanya jumlahnya ditekan sesuai dengan keperluan
saja.
Gambar 3.7 ICFBC

o IGCC

pada sistem ini terdapat alat gasifikasi (gasifier) yang digunakan


untuk menghasilkan gas, umumnya bertipe entrained flow. Yang
tersedia di pasaran saat ini untuk tipe tersebut misalnya Chevron
Texaco (lisensinya sekarang dimiliki GE Energy), E-Gas
(lisensinya dulu dimiliki Dow, kemudian Destec, dan terakhir
Conoco Phillips ), dan Shell. Prinsip kerja ketiga alat tersebut
adalah sama, yaitu batubara dan oksigen berkadar tinggi
dimasukkan kedalamnya kemudian dilakukan reaksi berupa
oksidasi sebagian (partial oxidation) untuk menghasilkan gas
sintetis (syngas), yang 85% lebih komposisinya terdiri dari H 2 dan
CO. Karena reaksi berlangsung pada suhu tinggi, abu pada
batubara akan melebur dan membentuk slag dalam kondisi meleleh
(glassy slag). Adapun panas yang ditimbulkan oleh proses
gasifikasi dapat digunakan untuk menghasilkan uap bertekanan
tinggi, yang selanjutnya dialirkan ke turbin uap.
Gambar 3.8 Tipikal IGCC

Pembangkitan Kombinasi Dengan Gasifikasi Batubara

Peningkatan efisiensi pembangkitan dengan mekanisme


kombinasi melalui pemanfaatan gas sintetis hasil proses gasifikasi
seperti pada A-PFBC, selanjutnya mengarahkan teknologi
pembangkitan untuk lebih mengintensifkan penggunaan teknologi
gasifikasi batubara ke dalam sistem pembangkitan. Upaya ini akhirnya
menghasilkan sistem pembangkitan yang disebut dengan Integrated
Coal Gasification Combined Cycle (IGCC).
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan mengenai Pemanfaatan
Batubara Sebagai Bahan Bakar PLTU dapat disimpulkan bahwa :
1. Pengertian batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar,
terbentuk dari endapan organik, utamanya adalah sisa-sisa tumbuhan
dan terbentuk melalui proses pembatubaraan.
2. Bahan bakar yang digunakan pada PLTU adalah batubara jenis
subbituminus dan bituminus.
3. Pemanfaatan batubara sebagai bahan bakar PLTU merukan solusi

yang dapat dipilih untuk menghemat penggunaan bahan bakar


minyak sebagai sumber tenaga pembangkit listrik.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.scribd.com/doc/55111505/Batubara-Sebagai-Bahan-Bakar-
PLTU. (diakases tanggal 29 April 2014)

http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2014/02/20/teknologi-
pembakaran-pada-pltu-batubara-636534.html. (diakses tanggal 29 April
2014)

http://id.wikipedia.org/wiki/Batu_bara. (diakses tanggal 29April 2014)

Anda mungkin juga menyukai