Anda di halaman 1dari 3

Dalam pengertian modern, istilah fikih telah mengalami pergeseran makna, dari sekadar kumpulan

hukum yang bersifat cabang menjadi sebuah kumpulan nilai, kaidah, dan prinsip dalam beragama.

Khusus di Indonesia, pengertian ini, misalnya tampak dari produk ijtihad yang dihasilkan Majelis Tarjih
Muhammadiyah. Ada fikih antikorupsi, fikih tata kelola organsisasi, fikih ulil amri, fikih kebencanaan,
fikih air, dan yang paling baru, fikih anak.

Pengertian fikih dalam nomenklatur tersebut bukan sekadar kumpulan tentang halal-haram korupsi,
organisasi, ulil amri, kebencanaan, air atau anak, melainkan ia lebih dari itu mencakup nilai, kaidah, juga
prinsip beragama dalam melihat persoalan-persoalan tersebut.

Dalam pembacaan Syamsul Anwar (ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah) terhadap berbagai literatur
fikih dan usul fikih, ia sampai pada simpulan, hukum Islam itu terdiri atas norma-norma berjenjang.

Ada tiga lapis norma dalam hukum Islam, yaitu (1) peraturan-peraturan hukum konkret, (2) asas-asas
umum, dan (3) nilai-nilai dasar. Nilai-nilai dasar hukum Islam adalah nilai-nilai dasar agama Islam itu
sendiri, karena hukum Islam berlandaskan nilai-nilai dasar Islam.

Dari nilai-nilai dasar itu diturunkan asas-asas umum hukum Islam. Kemudian dari asas umum itu
diturunkan peraturan hukum konkret. Peraturan hukum konkret inilah yang kita kenal hari ini sebagai
produk fikih (dalam pengertian yang belum diperluas), atau yang oleh orang awam sering diidentikkan
dengan peraturan hitam-putih agama.

Dengan kata lain, kita dapat mengatakan, suatu peraturan hukum konkret itu berlandaskan kepada atau
dipayungi oleh asas umum dan asas umum itu pada gilirannya berlandaskan kepada atau dipayungi oleh
nilai dasar.

Nilai dasar agama dapat kita temukan dalam teks-teks keagamaan, baik secara harfiah maupun implisit.
Sebagai contoh, nilai dasar persamaan.

Dari nilai dasar ini dapat diturunkan asas umum hukum Islam dalam kehidupan politik bahwa laki-laki
dan perempuan mempunyai hak politik yang sama. Dari asas umum 'kesamaan hak politik lelaki dan
perempuan' ini diturunkan peraturan konkret bahwa boleh hukumnya perempuan menjadi presiden.

Perluasan makna fikih membuka jalan bagi kita untuk memberikan pemecahan bagi suatu masalah, baik
ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun lain-lain melalui pendekatan agama secara lebih luwes dan
fleksibel -- tidak kaku dan hitam-putih.

Dengan mengaplikasikan apa yang disebut Syamsul Anwar sebagai teori pertingkatan norma itu, kita
dapat mengubah paradigma fikih yang selama ini selalu dikesankan hitam-putih, menjadi lebih
'berwarna' dan variatif.

Paradigma fikih baru itu pula yang perlu kita terapkan dan kita jadikan asas dalam gaya berkehidupan
kita hari ini dalam media sosial. Media sosial hari ini telah menjadi dunia baru bagi masyarakat untuk
berkomunikasi dan mencari informasi.

Kemajuan teknologi telah membawa kita pada fenomena baru dalam berinteraksi, menggunakan media
sosial yang dapat menghubungkan satu orang dengan orang lain di tempat berbeda. Tidak jarang sebuah
informasi menyebar sangat cepat dalam hitungan tak sampai menit.

Dunia baru bernama media sosial telah merobek sekat-sekat budaya dan geografis dengan amat bebas.
Sayangnya, kebebasan ini acap kali tidak dibarengi akurasi, ketelitian, integritas, dan keadilan dalam
penyampaian berita.

Kita tentu sangat gerah setiap kali membuka media sosial hari ini, yang menyuguhkan fitnah-fitnah dari
orang yang tidak bertanggung jawab. Belum lagi jika ada berita hoax yang disebarkan untuk mencari
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.

Ini merupakan konsekuensi kebebasan yang disuguhkan media sosial. Tapi, tentu sebagai orang
beragama dan orang Indonesia yang masih memegang erat adat ketimuran, kebebasan semacam itu
kebablasan dan mengancam salah satu prinsip Pancasila, yaitu persatuan bangsa.

Di sinilah kemudian pendekatan agama perlu dilakukan untuk melihat dan pada gilirannya, memberikan
pedoman dalam berkehidupan di media sosial. Suara agama dalam penyelesaian masalah masih cukup
efektif.

Karena ia diyakini masih menjadi sumber pengarahan tingkah laku yang harus dipedomani. Fikih media
sosial dalam hal ini dapat diterjemahkan menjadi sumber pengarahan tingkah laku masyarakat sebagai
solusi keagamaan dalam menghadapi masalah tersebut.

Fikih ini nantinya berisikan nilai, prinsip, dan kaidah tentang bagaimana seharusnya kita memanfaatkan
dan menggunakan media sosial sebagai dunia baru kita.

Sebagai permulaan barangkali dapat kita awali dari bagaimana etika dan prinsip dalam menerima,
sekaligus menyebarkan suatu informasi. Misalnya saja, kita dapat mengambil nilai dasar tabayun yang
secara eksplisit digambarkan Alquran pada surah al-Hujurat ayat 6.

Dari nilai dasar itu dapat diturunkan asas umum dalam kehidupan komunikasi media sosial berupa
'transparansi dan klarifikasi berita'. Dari asas umum ini, pada gilirannya diturunkan menjadi peraturan
konkret tentang larangan menyebarkan suatu berita sebelum diketahui validitas sumbernya.

Setelah nilai dasar tabayun, kita dapat menggali lebih banyak lagi nilai dasar Islam yang dapat dijadikan
acuan, seperti prinsip keadilan sebagai dasar untuk membuat asas umum dalam menerima informasi
secara berimbang, prinsip ukhuwah sebagai dasar asas umum kesopanan dan kesantunan dalam
berdiskusi, dan lain sebagainya.

Rumusan fikih media sosial itu tentu tidak boleh disusun secara sembarangan. Tulisan ini hanya
pemantik untuk mewacanakan pentingnya pedoman dalam menjalani kehidupan baru di media sosial
yang rawan fitnah dan caci-maki.

Fitnah dan caci-maki itu telah terbukti terjadi hari ini. Jika suasana tak sehat itu terus dibiarkan,
dikhawatirkan akan berujung pada kemudaratan yang jauh lebih besar, tidak hanya bagi satu dua orang,
tetapi bagi kita semua.

Organsisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan NU sebagai representasi penjaga dan pengawal moral
umat dapat menjadi pelopor membuat fikih media sosial. Jika telah terealisasi, insya Allah fikih tersebut
dapat menjadi kompas umat untuk menjalani kehidupan baru: kehidupan media sosial.

Anda mungkin juga menyukai