Anda di halaman 1dari 8

SEJARAH HUKUM LAUT INDONESIA

Wilayah Perairan Indonesia dimulai pengaturannya sejak jaman penjajahan Belanda melalui Territoriale
Zee en Marietieme Kringen Ordonnantie (TZMKO) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda
pada tahun 1939, TZMKO adalah Ordonansi (undang-undang) tentang Laut Teritorial dan Lingkungan
Maritim Indonesia yang menetapkan antara lain, bahwa Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut yang
membentang ke arah laut sampai jarak tiga mil-laut dari garis air rendah (laagwaterlijn) pulau-pulau atau
bagian pulau yang merupakan wilayah daratan (grondgebied) Indonesia.

Pernyataan Pemerintah Indonesia tentang Wilayah Perairan Indonesia yang dikeluarkan pada tanggal 13
Desember 1957 yang menetapkan antara lain bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau Indonesia adala bagian yang wajar dari wilayah daratan di mana Indonesia
memiliki kedaulatan penuh (konsep kewilayahan sebagaimana dituangkan dalam Deklarasi Djuanda
dikenal sebagai Wawasan Nusantara, laut teritorial Indonesia adalah suatu jalur yang lebarnya 12 mil-laut
dihitung dari pangkal lurus berupa garis-garis pasang surut yang menghubungkan titik-titik terluar pada
pulau-pulau terluar Indonesia).

Setelah Indonesia memperoleh kemerdekaannya, sebagian dari ketentuan-ketentuan TZMKO yang


berhubungan dengan penetapan wilayah perairan dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia (UU No. 4/Prp./1960), yang
merubah cara penarikan garis pangkal dan lebar laut teritorial Indonesia.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut tersebut didasarkan pada ketentuan-ketentuan


hukum International sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi-Konvensi Jenewa tentang Hukum Laut tahun
1958.

Pada akhir tahun 1982, 119 negara anggota PBB telah menyepakati suatu perjanjian baru yang mengatur
tentang pelbagai kegiatan di laut dalam bentuk satu perjanjian international yang komprehensif yang
dikenal dengan sebagai United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982). Selain
memperkuat sebagian dari ketentuan-ketentuan Konvensi-Konvensi Hukum Laut 1958, Konvensi ini juga
memuat ketentuan-ketentuan tentang hal-hal yang baru seperti konsep ZEE dan asas Negara Kepulauan,
serta menetapkan batas-batas baru bagi Laut Teritorial dan Landas Kontinen.

Pada tanggal 31 Desember 1985 Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 melalui pengundangan UU
No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS
1982). Sebagai pelaksana lebih lanjut dari ratifikasi ini, pada 1996, pmerintah mencabut UU No.
4/Prp./1960, dan menggantinya dengan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang lebih
disesuaikan dengan ketentua-ketentuan UNCLOS 1982.
UU No. 6 tahun 1996 ini kemudian dilengkapi dengan PP No. 61 Tahun 1998 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di Laut Natuna, yang merubah garis pangkal untuk
daerah tersebut sehngga menutup hampir seluruh perairan disekitar Kepulauan Riau.

SEJARAH UNCLOS III (1973-1982)

Konferensi PBB pertama tentang hukum laut bertemu di Jenewa dari 24 Februari-29 April 1958.
Sebanyak 86 negara yang diwakili pada diskusi. Untuk sebagian besar apa yang dicapai adalah kodifikasi
praktek adat pada waktu itu. Ada upaya untuk berlayar ke dalam air unchartered (sehingga-untuk-
berbicara), tapi sedikit kemajuan telah dibuat. Ketidakmampuan UNCLOS I untuk menyelesaikan beberapa
masalah menjengkelkan, termasuk khususnya lebar laut teritorial, menyebabkan UNCLOS kedua pada
tahun 1960 dan akhirnya pada UNCLOS III, yang berlangsung dari Desember 1973 sampai Desember 1982.
Kesepakatan yang dicapai selama UNCLOS I dirangkum dalam empat konvensi berikut:
1. Konvensi tentang High Seas
2. Konvensi tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
3. Konvensi tentang Landas Kontinen
4. Konvensi tentang Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Alam Hayati Laut Tinggi.
Pada tahun 1960 digelar UNCLOS II dengan tujuan untuk penyempurnaan hasil-hasil yang telah
dicapai UNCLOS I, konvensi ini digelar dari tanggal 17 sampai 26 April 1960. Namun UNCLOS II tidak
menghasilkan perjanjian internasional. Konferensi ini sekali lagi gagal memperbaiki luasnya seragam untuk
wilayah atau membangun konsensus tentang hak-hak nelayan berdaulat. namun UNCLOS II gagal dalam
pencapaian tujuannya yaitu penyempurnaan UNCLOS I. Kegagalan ini sudah barang tentu menimbulkan
kekecewaan pada masyarakat internasional pada umumnya karna sikap arogan Negara-Negara maritim
yang besar dan maju dalam bidang teknologi.
Sementara itu UNCLOS III dimulai dari tahun 1973 ke 1982. UNCLOS III membahas isu-isu dibeli
di konferensi sebelumnya. Lebih dari 160 negara berpartisipasi dalam konvensi 9 tahun, yang akhirnya
mulai berlaku pada tanggal 14 November 1994, 21 tahun setelah pertemuan pertama UNCLOS III dan satu
tahun setelah ratifikasi oleh negara keenam puluh. Pertama enam puluh ratifikasi hampir semua negara-
negara berkembang.
Hal utama dari konvensi ini adalah permasalahan maritim zones- laut teritorial, zona tambahan,
zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, laut tinggi, wilayah laut-tidur internasional dan perairan
kepulauan. Konvensi juga membuat ketentuan untuk lewatnya kapal, perlindungan lingkungan laut,
kebebasan penelitian ilmiah, dan eksploitasi sumber daya.
Setelah di sahkannya Konferensi ketiga (UNCLOS III) yang sekarang dikenal sebagai Konvensi
PBB tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) yang ditandatangani
oleh 119 Negara di Teluk Montego Jamaika tanggal 10 Desember 1982. Bagi sebuah Negara UNCLOS
1982 membagi laut menjadi tiga jenis atau zona maritime yaitu:
1. Laut yang merupakan bagian dari wilayah kedaulatan yaitu ( di laut teritorial, laut pedalaman)
2. Laut yang bukan merupakan wilayah kedaaulatannya namun negara tersebut memiliki hak-hak yurisdiksi
terhadap aktifitas-altifitas tertentu yaitu ( di zona tambahan dan zona ekonomi esklusif)
3. Laut yang berada di luar dua di atas ( artinya bukan termasuk wilayah kedaulatannya dan bukan wilayah
yurisdiksi) namun negara tersebut memiliki kepentingan ( yaitu laut bebas).
Di dalam UNCLOS 1982 selain mengatur mengenai batas-batas maritim juga mengatur hak-hak
dan kewajiban Negara pantai yang yang harus dipatuhi oleh Negara di Dunia, terhadap Negara pantai dapat
menegakkan peraturan perundang-undangannya seperti yang telah disampaikan dalam Konvensi Hukum
Laut Internasional (UNCLOS III) dalam pasal 73.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), juga disebut Konvensi Hukum Laut atau Hukum
perjanjian Laut, adalah perjanjian internasional yang dihasilkan dari Konferensi Perserikatan Bangsa ketiga
United pada Hukum Laut (UNCLOS III), yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan 1982. Hukum
Konvensi Laut mendefinisikan hak dan tanggung jawab negara dalam penggunaan lautan di dunia,
menetapkan pedoman untuk bisnis, lingkungan, dan pengelolaan sumber daya alam kelautan. Konvensi
menyimpulkan pada tahun 1982 menggantikan tempat 1.958 perjanjian.

UNCLOS diberlakukan pada tahun 1994, setahun setelah Guyana menjadi negara ke-60 untuk
menandatangani perjanjian itu. Hingga saat ini 160 negara dan Uni Eropa telah bergabung dalam Konvensi.
Sementara Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menerima instrumen ratifikasi dan aksesi dan
PBB menyediakan dukungan untuk pertemuan negara-negara pihak pada Konvensi, PBB tidak memiliki
peran operasional langsung dalam pelaksanaan Konvensi. Ada, bagaimanapun, peran yang dimainkan oleh
organisasi-organisasi seperti Organisasi Maritim Internasional, Komisi Penangkapan Ikan Paus
Internasional, dan Otoritas Dasar Laut Internasional (yang terakhir yang dibentuk oleh Konvensi PBB).

TINDAK PIDANA PERIKANAN


Dalam hal penegakan hukum termasuk penegakan hukum bagi pelaku IUU Fishing, UNCLOS 1982 secara
garis besar membedakan wilayah laut dua kategori, yaitu wilayah laut di bawah kedaulatan dan wilayah
laut dimana suatu negara memiliki yurisdiksi. Kawasan laut yang tunduk dibawah kedaulatan suatu negara
pantai/kepulauan adalah perairan pedalaman dan laut teritorial atau perairan kepulauan dan laut teritorial.
Sedangkan kawasan laut dimana suatu negara pantai/kepulauan memiliki hak berdaulat dan yurisdiksi
adalah ZEE dan Landas Kontinen.

Wilayah ZEE mempunyai status hukum yang sui generis (unik/berbeda). Keunikan tersebut terletak pada
eksistensi hak dan kewajiban negara pantai dan negara lain atas ZEE. Berbeda dengan di laut teritorial,
dimana negara pantai mempunyai kedaulatan, di ZEE negara pantai hanya mempunyai hak berdaulat. Hak
berdaulat tersebut terbatas pada eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan baik sumber daya hayati
maupun non-hayati.

Di dalam UNCLOS 1982 disebutkan hak dan yurisdiksi negara pantai di ZEE meliputi: (1) eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya kelautan (hayati-non hayati); (2) membuat dan memberlakukan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan; (3)
pembangunan pulau buatan dan instalasi permanen lainnya; (4) mengadakan penelitian ilmiah kelautan;
dan (5) perlindungan lingkungan laut. Sedangkan kewajiban negara pantai ZEE meliputi: (1) menghormati
eksistensi hak dan kewajiban negara lain atas wilayah ZEE; (2) menentukan maximum allowable catch
untuk sumber daya hayati dalam hal ini perikanan; dan (3) dalam hal negara pantai tidak mampu memanen
keseluruhan allowable catch, memberikan akses kepada negara lain atas surplus allowable catch melalui
perjanjian sebelumnya untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya kelautan terutama sumber daya
perikanan dengan tujuan konservasi.
UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang illegal fishing muncul bersama-sama
dalam kerangka IUU (Illegal, Unreporterd and Unregulated) fishing practices pada saat diselenggarakannya
forum CCAMLR (Commision for Conservation of Artarctic Marine Living Resources) pada 27 Oktober
7 Nopember 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok :

1. Illegal fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara
atau tidak memiliki ijin dari negara tersebut;
2. Unregulated fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak
mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut; dan
3. Unreported fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang
tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.
Praktek IUU Fishing terjadi baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan maupun di ZEE.
Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal
berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut,
UNCLOS 1982 mengatur secara umum baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE
suatu negara.

Penegakan Hukum Di Laut yang Tunduk Di Bawah Kedaulatan.


Jika pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara pantai terjadi di laut teritorial atau
perairan pedalaman atau perairan kepulauan suatu negara, maka sesuai dengan kedaulatan yang diberikan
oleh Pasal 2 UNCLOS 1982, negara pantai dapat memberlakukan semua peraturan hukumnya bahkan
hukum pidananya terhadap kapal tersebut. Asalkan pelanggaran tersebut membawa dampak bagi negara
pantai atau menganggu keamanan negara pantai sebagaimana ditentukan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS
1982. Akan tetapi jika unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 27 (1) UNCLOS 1982 ini tidak terpenuhi,
maka negara pantai tidak dapat menerapkan yurisdiksi pidananya terhadap kapal tersebut. Luasnya
kewenangan Negara pantai untuk menegakan hukumnya bagi kapal asing yang melanggar hukum di laut
territorial, perairan pedalaman atau perairan kepulauan ini (memenuhi ketentuan pasal 27 ayat 1), adalah
perwujudan dari yurisdiksi teritorialitas.

Penegakan Hukum di ZEE.


Pasal 27 (5) UNCLOS 1982 selanjutnya merujuk kepada Bab IX (Pelestarian dan Perlindungan Lingkungan
Laut) dan Bab. V tentang ZEE. Dalam hal pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan negara
pantai yang berkaitan dengan eksplorasi, eksploitasi, konsevasi dan pengelolaan sumberdaya perikanan
Negara pantai dapat melakukan tindakan penegakan hukum.

Bertalian dengan penegakan hukum negara pantai di ZEE diatur dalam pasal 73 UNCLOS 1982 yang
menentukan :

1. Negara pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi,
konservasi dan pengelolaan sumber daya hayati di zona ekonomi ekskluisf mengambil tindakan
sedemikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses pengadilan,
sebagaimana diperlukan untuk menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang
ditetapkannya sesuai dengan ketentuan Konvensi ini.
2. Kapal-kapal yang ditangkap dan awaknya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang
jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
3. Hukuman negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian
sebalik-nya antara negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
4. Dalam hal penangkapan atau penahanan kapal asing negara pantai harus segera memeberitahu kepada
negara bendera kapal melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap
hukuman yang kemudian dijatuhkan.
Jadi berdasarkan Pasal 73 UNCLOS 1982, jika kapal asing tidak mematuhi peraturan perundang-undangan
perikanan negara pantai di ZEE, negara pantai dapat menaiki, memeriksa, menangkap dan melakukan
proses pengadilan atas kapal tersebut dan memberitahu negara bendera kapal. Akan tetapi kapal dan awak
kapal yang ditangkap tersebut harus segera dilepaskan dengan reasonable bond (uang jaminan yang layak)
yang diberikan kepada negara pantai. Hukuman yang dijatuhkan tidak boleh dalam bentuk hukuman badan
yaitu penjara.

PULAU

Pulau adalah sebidang tanah yang lebih kecil dari benua dan lebih besar dari karang, yang dikelilingi air.
Kumpulan beberapa pulau dinamakan pulau-pulau atau kepulauan (bahasa Inggris: archipelago).
Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional tahun 1982 (UNCLOS 82) pasal 121 mendefinisikan
pulau (Ingg.: island) sebagai "daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di
atas muka air pada saat pasang naik tertinggi". Dengan kata lain, sebuah pulau tidak boleh tenggelam
pada saat air pasang naik. Implikasinya, ada empat syarat yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai
'pulau', yakni[1]:

memiliki lahan daratan


terbentuk secara alami, bukan lahan reklamasi
dikelilingi oleh air, baik air asin (laut) maupun tawar
selalu berada di atas garis pasang tinggi.
Dengan demikian, gosong pasir, lumpur ataupun karang, yang terendam air pasang tinggi, menurut
definisi di atas tak dapat disebut sebagai pulau. Begitupun gosong lumpur atau paparan lumpur yang
ditumbuhi mangrove, yang terendam oleh air pasang tinggi, meskipun pohon-pohon bakaunya selalu
muncul di atas muka air[1].
Pulau memiliki sebutan bermacam-macam di Indonesia. Bentuk tidak bakunya adalah pulo. Kata
pinzaman dari bahasa Sanskerta juga kerap digunakan, nusa. Di lepas pantai timur Jawa orang menyebut
pulau kecil sebagai gili.
Di Indonesia, secara definisi, pulau kecil merupakan pulau yang mempunyai luasan kurang atau sama
dengan 10.000 km.[2]
Zona-zona Yurisdiksi dalam Hukum Laut Internasional

Menurut UU RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konveksi Hukum Laut Internasional (
UNCLOS 1982), zona-zona yurisdiksi wilayah perairan Indonesia meliputi :

a. Perairan Pedalaman

1) Wilayah Perairan Indonesia meliputi Perairan, Perairan Kepulauan dan Laut Teritorial.

a) Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari garis air rendah
dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis penutup mulut sungai, teluk dan pelabuhan.

b) Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis pangkal
lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

c) Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkap Kepulauan
Indonesia.

2) Kewenangan.

Indonesia mempunyai kedaulatan di perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta ruang
udara di atas perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial serta dasar laut dan tanah
dibawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Semua peraturan perundang-
undangan Indonesia diberlakukan sepenuhnya di perairan pedalaman, sedangkan di perairan kepulauan
dan laut teritorial pelaksanaannya harus memperhatikan ketentuan-ketentuan Hukum Laut Internasional
dan Hukum Internasioal lainnya.

3) Hak bagi pengguna laut diperairan Indonesia.

a) Hak lintas damai di perairan Indonesia

b) Hak lintas alur laut kepulauan di ALKI.

c) Hak lintas transut di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (Selat Malaka dan Selat
Singapura).

d) Hak akses dan komunikasi sesuai perjanjian bilateral.

b. Zona Tambahan

1) Zona tambahan adalah zona yang berbatasan dengan laut territorial yang lebarnya 24 mil lau diukur dari
garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur.

2) Kewenangan

Mencegah terjadinya/memproses secara hukum atas pelangaran peraturan perundang-undangan yang


berkenaan dengan kepabeanan, fiscal, imigrasi dan sanitasi.
3) Hak bagi pengguna laut.

Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah laut.

c. ZEE

1) ZEEI adalah suatu area laut di luar dan berdampingan dengan laut territorial Indonesia yang lebarnya
200 mil laut diukur dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur.

2) Kewenangan

a) Hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan
alam, baik hayati maupun nonhayati (termasuk usaha perikanan), dari perairan di atas dasar laut dan dari
dasar laut dan tanah di bawahnya serta berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi di zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin.

b) Yurisdiksiberkaitan dengan pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah
kelautan serta perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.

c) Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan berkaitan dengan yurisdiksi di ZEEI antara lain :

(1) Melindungi dan mengamankan sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEEI.

(2) Melindungi dan mengamankan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi maupun alat-alat lainnya dalam
rangka kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati maupun non hayati di ZEEI.

(3) Mengawasi dan menindak kegiatan penangkapan ikan tanpa izin.

(4) Mencegah perbuatan yang dapat menimbulkan pencemaran laut.

(5) Mencegah riset ilmiah kelautan tanpa izin.

3) Hak bagi pengguna laut.

Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah
laut.

d. Landas Kontinen.

1) Landas Kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah di bawah permukaan
laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratnya hingga
pinggiran luat tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 mill laut dari garis pangkal darimana lebar laut
territorial diukur. Batas luar landas kontinen tidak boleh melebihi 350 mil laut dari garis pangkal atau
hingga jarak 200 mil dalam hal tepi landas kontinen lebarnya kurang dari 200 mil.

2) Kewenangan Negara pantai atas Landas Kontinen adalah sebagai berikut :

a) Mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi dan eksplorasi sumber kekayaan alam di Landas
Kontinen.
b) Negara pantai mempunyai hak eksklusif untuk mengizinkan dan mengatur kegiatan dalam rangka
mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber kekataan alam di Landas Kontinen ngara pantai tersebut.

3) Hak bagi pengguna laut.

Hak kebebasan pelayaran dan penerbangan internasional serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa bawah
laut.

e. Laut Lepas.

1) Laut lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), Laut
Teritorial, Perairan Kepulauan atau Perairan Pedalam suatu Negara.

2) Kewenangan.

Di laut lepas setiap Negara harus mencegah, menindak dan bekerjasama untuk menumpas perbuatan-
perbuatan yang diatur dalam UU RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982, meliputi :

a) Perompakan/pembajakan
b) Perdagangan manusia
c) Penyairan gelap
d) Kapal tanpa bendera/kebangsaan
e) Narkotika dan bahan psikotropika
f) Terorisme di laut

3) Hak bagi pengguna laut

Kebebasan di laut lepas meliputi kebebasan berlayar, pnerbangan, memasang pipa/kabel di bawah laut,
kebebasan membangun pulau buatan/instansi lainnya, menangkap ikan, kebebasan riset ilmiah kelautan,
dengan memperhatikan ketentuan yang tercantum dalam UU RI Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi
UNCLOS 1982 dan Hukum Internasional lainnya

Anda mungkin juga menyukai