Disampaikan pada Perkuliahan Hukum Pidana
Kamis, 7 April 2016
Mardjono Reksodiputro1
Pengantar
Tulisan ini akan mencoba memberikan selayang-pandang perjalanan
sejarah hukum pidana kita. Baik hukum pidana materiil maupun hukum
acara pidana (hukum pidana formil). Tentu untuk sebagian makalah ini saya
harus memakai memori/ingatan saya dan tentu akan bersifat subyektif
dalam komentar saya terhadap perjalanan sejarah tersebut. Tulisan ini juga
akan bersifat lebih deskriptif daripada analitis dan karena itu juga masih
memerlukan perbaikan berdasarkan pertanyaan dan kritik yang akan
diajukan.
WvS HB ini diundangkan dalam tahun 1915 dengan Staatsblad No.732 tetapi
mulai berlaku 1 Januari 1918, dan karena itu jangan kita lupakan umurnya
sudah hampir 100 tahun (satu abad!). Menurut saya adalah sangat
mengherankan bahwa terjadi kelambatan yang sangat besar dalam
membicarakan Rancangan 1983 KUHP Nasional yang secara resmi
disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada bulan Maret
1993 (lebih dari 20 tahun yang lalu!) dan disusun oleh suatu Tim yang resmi
diangkat Pemerintah RI mulai tahun 1983 (jadi telah dikerjakan selama 10
tahun!).
2. periode mulai tahun 1873, dimana terdapat dua KUHPidana, yaitu untuk
golongan Bumiputera dan Timur Asing, dan yang lain untuk golongan
Eropah. Ini dikenal sebagai sistem dualisme;
WvS yang ditulis dalam bahasa Belanda adalah yang sah merupakan
undang-undang otentik yang berlaku bagi rakyat Indonesia sejak
kemerdekaan kita dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan sejumlah
perubahan (yang kurang signifikan?) dalam periode 1942 1945 (periode
pemerintahan militer Jepang di Indonesia) dan dalam tahun 1945 1950
4
Jadi WvS Hindia Belanda ini (S 1915-732 yang berlaku mulai 1 Jan 1918), oleh
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan berlaku di Republik Indonesia
ini kemudian dipertegas dengan UU No.1/1946, menjadi berlaku untuk
seluruh wilayah RI dan nama resmi WvS Ned-Indie menjadi WvS saja.
Kemudian pada masa RIS (periode adanya Lembaga Konstituante di
Bandung) diterbitkan UU No.73/1958, untuk menegaskan kembali berlakunya
UU No.1/1946 untuk seluruh wilayah RI. Setelah adanya Dekrit Presiden
Sukarno 1959, untuk kembali kepada UUD 1945 dan dibubarkannya
Lembaga Konstituante, maka dengan UU No.1/1960 dikukuhkan kembali
bahwa WvS (KUHP) berlaku untuk seluruh wilayah RI (namun selalu patut
diingat bahwa WvS ini teksnya masih dalam bahasa Belanda!).
Yang aneh adalah yang dipergunakan dalam praktek hukum dan dalam
pendidikan hukum adalah terjemahan tidak resmi (atau tidak disahkan) dari
undang-undang otentik berbahasa Belanda.Ada berbagai terjemahan WvS
menjadi KUHP3 dan juga buku tentang hukum pidana yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, dan inilah yang menjadi rujukan para praktisi dan teoritisi
hukum pidana di Indonesia. Meskipun sejumlah kritik dari kalangan hukum
sudah sering diajukan, namun belum ada tanggapan Pemerintah kita
tentang anomali ini. Juga Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di
bawahnya tidak meresahkan kemungkinan salah atau beda tafsir dalam
teks bahasa Indonesia terhadap teks bahasa Belanda. Saya tidak tahu
apakah ada Negara lain (Malaysia?) yang juga demikian, undang-undang
masih dalam bahasa asli dari pemerintah jajahan (misalnya bahasa Inggris),
tetapi pengadilannya dan sistem hukumnya memakai terjemahan tidak
resmi (tidak disahkan).
2 Teks bahasa Belanda yang berlaku sampai sekarang dapat dibaca dalam buku
3 Ada beberapa terjemahan WvS menjadi KUHP yang dipergunakan oleh berbagai
pihak di Indonesia, di kalangan akademisi banyak dipergunakan terjemahan Prof.Moeljatno,
gurubesar Hukum Pidana di FH-UGM (1960-an). Di UI dan di PTIK/AHM tahun 1950-an beredar
Diktat Perkuliahan Prof.Satochid Kartanegara, gurubesar Hukum Pidana UI/PTIK/AHM yang
memuat teks-teks KUHP dalam bahasa Belanda dan terjemahannya tetapi Prof. Satochid
selalu memakai teks Belanda dalam perkuliahannya. Terjemahan KUHP yang terbaru adalah
dari Prof. Andi Hamzah dengan Edii Revisi-nya tahun 2008.
5
Adapun catatan saya ini, bukanlah mengada-ada hal yang kecil. Menurut
saya dalam dunia hukum, maka bahasa adalah utama. Argumentasi hukum
dibuat dalam tulisan dan bahasa Indonesia, dan hakim (atau pihak lawan
advokat atau JPU) akan menafsirkan dan memberi argumentasi-kontra.
Bagaimana melakukan hal ini dengan hukum pidana materiil (KUHP 1918)
yang mempunyai berbagai terjemahan dari WvS-HB?
4 Secara resmi R-KUHP ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tanggal 11 Des 2012 ke DPR namun karena ada pergantian anggota DPR dan pergantian
Presiden, maka menurut saya secara efektif baru tahun 2014 diterima oleh DPR baru dan
tahun 2015 menjadi program Presiden Joko Widodo karena itu saya namakan R-KUHP 2014.
6
Namun, usul ini tidak diterima, karena akan mengubah seluruh sistematika
dari Buku II (KUHP1918 sekarang mengenal 31+10 Bab/Kategori dan 570
Pasal; R-KUHP 2000 mengenal 32 Bab/Kategori dan 645 Pasal; serta R-KUHP
2014 memakai 36 Bab/Kategori dan 756 Pasal).
Sekarang dalam tahun 2016, masih saja kita belum mempunyai KUHP
Nasional. Padahal setelah 10 tahun Panitia menyusunnya (1982 1992) dan
menyerahkannya kepada Pemerintah, diperlukan 20 tahun untuk rancangan
tersebut sampai kepada DPR (1993 2012). Sungguh lambat sekali cara
kerja para petinggi sarjana hukum Indonesia!
dapat dipertahankan. Hanya saja, isi Bab XXXII tersebut masih harus
disesuaikan dengan pikiran di atas.
Jepang masuk di Indonesia (Hindia Belanda) pada bulan Maret 1942, kurang
lebih satu tahun setelah HIR 1941 berlaku. Melalui Undang-undang No.1 Drt
tahun 1951, maka HIR 1941 ini dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.
Sekarang dalam tahun 2016 (25 tahun setelah berlakunya KUHAP 1981), akan
dibicarakan di DPR Rancangan KUHAP Nasional Yang Telah Diperbaharui (R-
KUHAP). Namun, masih saja ada kritik tajam tentang pembaruan yang
diajukan, yang mungkin akan memperlambat pengesahan undang-undang
ini.
6 R-KUHAP ini juga disampaikan ke DPR oleh Presiden SBY pada Desember 2012 tetapi
baru efektif tahun 2014,dan tahun 2015 menjadi program Presiden Jokowi karena itu saya
namakan R-KUHAP 2014.
11
Catatan saya tentang KUHAP 1981 dapat dibaca antara lain dalam buku
saya tahun 2007, yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan
Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, diterbitkan oleh Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia.