Anda di halaman 1dari 12

BEBERAPA CATATAN

UNTUK PERJALANAN SEJARAH


HUKUM PIDANA INDONESIA
Prof. Mardjono Reksodiputro


Disampaikan pada Perkuliahan Hukum Pidana
Kamis, 7 April 2016

Beberapa Catatan Untuk Perjalanan Sejarah


Hukum Pidana Indonesia

Mardjono Reksodiputro1

Pengantar
Tulisan ini akan mencoba memberikan selayang-pandang perjalanan
sejarah hukum pidana kita. Baik hukum pidana materiil maupun hukum
acara pidana (hukum pidana formil). Tentu untuk sebagian makalah ini saya
harus memakai memori/ingatan saya dan tentu akan bersifat subyektif
dalam komentar saya terhadap perjalanan sejarah tersebut. Tulisan ini juga
akan bersifat lebih deskriptif daripada analitis dan karena itu juga masih
memerlukan perbaikan berdasarkan pertanyaan dan kritik yang akan
diajukan.

Uraian singkat di bawah ini dibagi dua:


1) berhubungan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
yang dimulai dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie
1918; dan
2) tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
dimulai dengan Het Herziene Indonesisch Reglement 1941.

Wetboek van Strafrecht (WvS-HB) untuk Hindia Belanda

WvS HB ini diundangkan dalam tahun 1915 dengan Staatsblad No.732 tetapi
mulai berlaku 1 Januari 1918, dan karena itu jangan kita lupakan umurnya
sudah hampir 100 tahun (satu abad!). Menurut saya adalah sangat
mengherankan bahwa terjadi kelambatan yang sangat besar dalam
membicarakan Rancangan 1983 KUHP Nasional yang secara resmi
disampaikan kepada Menteri Kehakiman Ismail Saleh pada bulan Maret
1993 (lebih dari 20 tahun yang lalu!) dan disusun oleh suatu Tim yang resmi
diangkat Pemerintah RI mulai tahun 1983 (jadi telah dikerjakan selama 10
tahun!).

Sebelum adanya WvS pemerintah Hindia Belanda membiarkan daerah-


daerah swapraja memakai hukum adat sebagai sumber langsung hukum
pidana. Tetapi memang disamping itu terdapat pula strafrecht voor de

1 Gurubesar Emeritus Fakultas Hukum Universitas Indonesia Ketua Program Studi


Magister Ilmu Hukum Universitas Pancasila Jakarta Mantan Dekan Fakultas Hukum UI (1984 -
1990) Mantan Sekretaris/Ketua Konsorsium Ilmu Hukum (1990-2000) Mantan Sekretaris Komisi
Hukum Nasional (2000-2014) - Dosen di Program Magister Hukum UI dan Universitas Pancasila.
3

Inheemsche groepen, namun yang hanya berlaku apabila secara tegas


dinyatakan demikian (voor zoover het uitdrukkelijk tooepasselijk is verklaard).
Dan dalam kenyataannya yang dinyatakan secara tegas berlaku adalah
perbuatan-perbuatan yang dalam hukum adat tidak ada persamaannya
(geen aequivalent). Keadaan ini berlaku sampai tahun 1873, karena pada
waktu itu mulai berlaku KUHPidana untuk golongan Bumiputera dan Timur
Asing dan ada pula KUHPidana untuk golongan Eropah (yang terakhir ini
sudah berlaku sejak tahun 1866).

Secara umum dan sederhana kita dapat simpulkan bahwa semasa


Indonesia dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda, terdapat tiga periode
berbeda dalam politik hukum pidana di Indonesia:

1. periode sampai tahun 1873, dimana golongan Bumiputera masih dapat


tunduk kepada hukum pidana yang bersumber langsung pada hukum
adat; dengan ketentuan bahwa untuk hal-hal tertentu (umumnya yang
berhubungan dengan tatakelola pemerintahan dan perdagangan
hasil bumi yang dikuasai pemerintah), secara tegas (uitdrukkelijk)
dinyatakan berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan hukum pidana untuk golongan-golongan bumiputera
(strafrecht voor de Inheemsche groepen);

2. periode mulai tahun 1873, dimana terdapat dua KUHPidana, yaitu untuk
golongan Bumiputera dan Timur Asing, dan yang lain untuk golongan
Eropah. Ini dikenal sebagai sistem dualisme;

3. periode mulai tahun 1918, dimana ada sistem unifikasi dalam


KUHPidana, yaitu berlakunya Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-
Indie dalam tahun 1918, yang berlaku untuk semua golongan
penduduk: Bumiputera (Indonesia), Timur Asing (Tionghoa dan Arab)
dan Eropah (termasuk Jepang dan yang dipersamakan sebagai
golongan Eropah). KUHPidana/WvS H-B ini, berdasarkan asas
konkordansi, adalah serupa dengan WVS di Belanda yang mulai
berlaku September 1886 di Belanda.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP- RI) 1918 untuk RI

WvS yang ditulis dalam bahasa Belanda adalah yang sah merupakan
undang-undang otentik yang berlaku bagi rakyat Indonesia sejak
kemerdekaan kita dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan sejumlah
perubahan (yang kurang signifikan?) dalam periode 1942 1945 (periode
pemerintahan militer Jepang di Indonesia) dan dalam tahun 1945 1950
4

(periode perang kemerdekaan Republik Indonesia), maka WvS ini tetap


berlaku2

Jadi WvS Hindia Belanda ini (S 1915-732 yang berlaku mulai 1 Jan 1918), oleh
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dinyatakan berlaku di Republik Indonesia
ini kemudian dipertegas dengan UU No.1/1946, menjadi berlaku untuk
seluruh wilayah RI dan nama resmi WvS Ned-Indie menjadi WvS saja.
Kemudian pada masa RIS (periode adanya Lembaga Konstituante di
Bandung) diterbitkan UU No.73/1958, untuk menegaskan kembali berlakunya
UU No.1/1946 untuk seluruh wilayah RI. Setelah adanya Dekrit Presiden
Sukarno 1959, untuk kembali kepada UUD 1945 dan dibubarkannya
Lembaga Konstituante, maka dengan UU No.1/1960 dikukuhkan kembali
bahwa WvS (KUHP) berlaku untuk seluruh wilayah RI (namun selalu patut
diingat bahwa WvS ini teksnya masih dalam bahasa Belanda!).

Yang aneh adalah yang dipergunakan dalam praktek hukum dan dalam
pendidikan hukum adalah terjemahan tidak resmi (atau tidak disahkan) dari
undang-undang otentik berbahasa Belanda.Ada berbagai terjemahan WvS
menjadi KUHP3 dan juga buku tentang hukum pidana yang ditulis dalam
bahasa Indonesia, dan inilah yang menjadi rujukan para praktisi dan teoritisi
hukum pidana di Indonesia. Meskipun sejumlah kritik dari kalangan hukum
sudah sering diajukan, namun belum ada tanggapan Pemerintah kita
tentang anomali ini. Juga Mahkamah Agung dan jajaran pengadilan di
bawahnya tidak meresahkan kemungkinan salah atau beda tafsir dalam
teks bahasa Indonesia terhadap teks bahasa Belanda. Saya tidak tahu
apakah ada Negara lain (Malaysia?) yang juga demikian, undang-undang
masih dalam bahasa asli dari pemerintah jajahan (misalnya bahasa Inggris),
tetapi pengadilannya dan sistem hukumnya memakai terjemahan tidak
resmi (tidak disahkan).

2 Teks bahasa Belanda yang berlaku sampai sekarang dapat dibaca dalam buku

kumpulan peraturan Engelbrecht,1989 De Wetboeken, Wetten en Verordeningen, Benevens de


Grondwet van de Republiek Indonesie (Di dalam jilid ini dicantumkan undang-undang,
peraturan-peraturan, ordonansi-ordonansi, dan lain-lainl, dari zaman Hindia Belanda yang
masih berlaku sampai sekarang), P.T. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta., halaman 1223 1310.

3 Ada beberapa terjemahan WvS menjadi KUHP yang dipergunakan oleh berbagai
pihak di Indonesia, di kalangan akademisi banyak dipergunakan terjemahan Prof.Moeljatno,
gurubesar Hukum Pidana di FH-UGM (1960-an). Di UI dan di PTIK/AHM tahun 1950-an beredar
Diktat Perkuliahan Prof.Satochid Kartanegara, gurubesar Hukum Pidana UI/PTIK/AHM yang
memuat teks-teks KUHP dalam bahasa Belanda dan terjemahannya tetapi Prof. Satochid
selalu memakai teks Belanda dalam perkuliahannya. Terjemahan KUHP yang terbaru adalah
dari Prof. Andi Hamzah dengan Edii Revisi-nya tahun 2008.
5

Adapun catatan saya ini, bukanlah mengada-ada hal yang kecil. Menurut
saya dalam dunia hukum, maka bahasa adalah utama. Argumentasi hukum
dibuat dalam tulisan dan bahasa Indonesia, dan hakim (atau pihak lawan
advokat atau JPU) akan menafsirkan dan memberi argumentasi-kontra.
Bagaimana melakukan hal ini dengan hukum pidana materiil (KUHP 1918)
yang mempunyai berbagai terjemahan dari WvS-HB?

Rancangan KUHP Nasional versi 2014 (berada di DPR-RI)

Sekarang pada awal tahun 2016 di DPR sedang dibicarakan


Konsep/Rancangan KUHP Nasional kita. Rancangan ini diajukan secara resmi
oleh Pemerintah pada tahun 2014 (karena itu selanjutnya dalam makalah ini
dinamakan R-KUHP 2014)4. Seperti telah dijelaskan sebelumnya naskah R-
KUHP yang pertama diserahkan pada tahun 1993 kepada Menteri
Kehakiman Ismail Saleh, sehingga naskah ini sampai di DPR 21 tahun setelah
resmi diterima dari Panitia Penyusunan Rancangan KUHP, dengan ketua Prof.
R. Soedarto, SH (1982-1986), Prof. Mr. Roeslan Saleh (1986-1987) dan Prof.
Mardjono Reksodiputro (1987-1993).

R-KUHP versi 2014, tentu telah memuat berbagai perubahan dibanding R-


KUHP 1993. Karena saya hanya mengikuti perkembangan Rancangan
tersebut sampai tahun 2000 (ada naskah resmi R-KUHP 1999/2000), dan
selanjutnya hanya berdasarkan perkembangan di media massa, maka
pemahaman saya juga akan terbatas dan memerlukan penelitian lebih
lanjut. Namun beberapa perubahan yang sangat mendasar dibanding WvS
1918, akan saya sampaikan di bawah ini. Sebagian catatan di bawah ini
diambil dari buku saya (MR,2007, Pembaharuan Hukum Pidana Kumpulan
Karangan Buku Keempat, Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia).

Kesepakatan umum yang diambil dalam Buku I dan Buku II


Sejumlah pokok pikiran yang kemudian dijabarkan lebih lanjut adalah sbb:

Beberapa asas dalam Buku I:


1) Dihapuskannya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran;
2) Dipergunakannya istilah tindak pidana untuk strafbaarfeit;
3) Pengertian bentuk-bentuk kesalahan dalam dolus dan culpa
ditegaskan maknanya:

4 Secara resmi R-KUHP ini disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
tanggal 11 Des 2012 ke DPR namun karena ada pergantian anggota DPR dan pergantian
Presiden, maka menurut saya secara efektif baru tahun 2014 diterima oleh DPR baru dan
tahun 2015 menjadi program Presiden Joko Widodo karena itu saya namakan R-KUHP 2014.
6

4) Pertanggungjawaban pidana korporasi dicantumkan;


5) Dicantumkan adanya kurang kemampuan bertanggungjawab
(verminderde toerekeningsvatbaarheid);
6) Tetap mengakui asas legalitas, namun memberi tempat pada hukum
pidana adat/delik adat dengan pidana pemenuhan kewajiban
adat;
7) Pidana mati diakui sebagai pidana yang bersifat khusus dan selalu
diancamkan secara alternatif;
8) Pidana pokok ditambah dengan pidana tutupan, pidana
pengawasan, dan pidana kerja sosial;
9) Dalam sistem pemidanaan diperkenalkan pidana denda dengan
kategori dan double track system (sistem dua jalur), yaitu adanya
tindakan (maatregel), disamping pidana (straf);
10) Dicantumkan ketentuan tentang tujuan pemidanaan dan pedoman
pemidanaan bagi hakim (straftoemetingsleidraad).

Beberapa jenis tindak pidana baru dalam Buku II


1) Melalui Buku I (asas-asas) dikenal delik adat dalam rumusan
berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa menurut
adat setempat seseorang patut dipidana, walaupun perbuatan
tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan;
2) Tindak pidana terhadap keamanan negara dari bahaya komunisme, ini
merupakan delik terhadap negara dan pemerintahan;
3) Tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, ini
merupakan delik terhadap ketertiban sosial;
4) Tindak pidana terhadap penyelenggaraan peradilan, ini merupakan
delik contempt of court;
5) Tindak pidana terhadap pencemaran lingkungan, ini merupakan delik
membahayakan keamanan orang dan barang;
6) Tindak pidana komputer, ini dapat merupakan fraud by computer
manipulation computer espionage software piracy computer
sabotage unauthorized access dan secara umum dapat
dikategorikan sebagai computer related economic crimes;

Dalam usaha menyederhanakan sistematika dalam Buku II, maka saya


pernah mengajukan usul untuk membagi delik-delik dalam 7 (tujuh) bab
atau kategori besar, yaitu:
1. Tindak pidana terhadap negara dan pemerintahan;
2. Tindak pidana terhadap ketertiban sosial;
3. Tindak pidana terhadap kejujuran;
4. Tindak pidana terhadap harta benda atau barang;
5. Tindak pidana terhadap rasa susila;
7

6. Tindak pidana terhadap keamanan dan kebebasan orang;


7. Tindak pidana terhadap pelayaran dan penerbangan.

Namun, usul ini tidak diterima, karena akan mengubah seluruh sistematika
dari Buku II (KUHP1918 sekarang mengenal 31+10 Bab/Kategori dan 570
Pasal; R-KUHP 2000 mengenal 32 Bab/Kategori dan 645 Pasal; serta R-KUHP
2014 memakai 36 Bab/Kategori dan 756 Pasal).

Sekarang dalam tahun 2016, masih saja kita belum mempunyai KUHP
Nasional. Padahal setelah 10 tahun Panitia menyusunnya (1982 1992) dan
menyerahkannya kepada Pemerintah, diperlukan 20 tahun untuk rancangan
tersebut sampai kepada DPR (1993 2012). Sungguh lambat sekali cara
kerja para petinggi sarjana hukum Indonesia!

Sepanjang pengetahuan saya, ada beberapa krtitik tajam yang akan


menghambat jalannya diskusi di DPR tentang R-KUHP.

1. Tentang akan berlakunya delik adat


Salah satu keberatan yang diajukan dalam tahun 1980-an adalah
bahwa delik adat tidak tertulis, bagaimana prosedurnya menentukan
ada- tidaknya suatu perbuatan yang harus dianggap sebagai delik
adat? Dan bagaimana juga cara pengaduannya ke Kepolisian, bila
tidak ada rumusan tertulis. Jawaban Panitia pada waktu itu adalah a.l.:
kalau pemerintah Hindia Belanda mau memberi perhatian kepada
delik adat dan kemudian melalui UU No.1 Drt 1951 dipertegas kembali,
maka sepantasnya hal ini juga wajib dilakukan dalam R-KUHP.
Pemerintah Hindia-Belanda dahulu meminta Kepala-kepala Adat untuk
turut menentukan delik-adat dan sanksinya, dengan cara meminta
mereka mendampingi Majelis Hakim Pengadilan Negeri. Apakah hal itu
tidak dapat dilakukan dalam masyarakat kita yang telah merdeka?
Apabila ada kendala dalam melaporkan delik-adat ke Kepolisian,
apakah tidak dapat prosedur dilakukan oleh Kepala-Adat langsung ke
Pengadilan? Kita telah mengakui adanya masyarakat multi-kultural
Indonesia dan adanya pluralisme hukum, maka adalah kewajiban kita
untuk mencari solusi dalam masalah ini.

2. Tentang adanya pasal-pasal yang dianggap akan melemahkan


kebebasan menyampaikan pendapat (terutama Pers)
Dewan Pers pernah mengemukakan dalam media massa bahwa R-
KUHP 1993 bertentangan dengan era kebebasan pers Negara
demokrasi, karena banyaknya pasal-pasal (ada sekitar 40-an?) yang
dapat menjerat pers dalam tugasnya memberi informasi kepada
8

publik. Sepanjang pemeriksaan saya, maka semua pasal yang


dituduhkan sebagai melemahkan kebebasan pers, sebenarnya
ditujukan kepada pelaku manusia yang menyebarkan fitnah, kabar
bohong atau menyerang kehormatan. Apabila Dewan Pers ingin agar
pasal-pasal ini dikecualikan bagi lembaga pers, maka menurut saya
caranya adalah dengan atau dalam undang-undang:
a) membuat prosedur, bahwa dalam hal yang dilaporkan adalah
individu atau lembaga Pers, maka harus dilalui dahulu pelaporan
kepada dan keputusan Dewan Pers; dan

b) Dewan Pers menerbitkan Pedoman agar jelas yang dimaksud


dengan trial by the press dan berita untuk kepentingan umum
(public interest).

3. Tentang bab khusus Korupsi yang dianggap sebagai bencana


terhadap legitimasi adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Dalam R-KUHP 2014, terdapat Bab XXXII dengan judul Tindak Pidana
Korupsi (berisi 14 Pasal). Bab ini tidak ada dalam R-KUHP 1993 maupun
dalam R- KUHP 1999/2000, jadi dimasukkan oleh Panitia-panitia
Penyusun Rancangan KUHP antara tahun 2000 2014. R-KUHP 2014 ini
telah beredar diantara kalangan akademisi dan pejabat penegak
hukum (kepolisian, kejaksaan, & KPK) dan pejabat Pengadilan sebelum
tahun 2013. Namun, baru tahun 2014 mulai diperdebatkan bahwa
masuknya Bab ini adalah untuk membubarkan KPK. Adapun
argumentasinya secara singkat adalah sbb: KPK dibentuk khusus untuk
menangani masalah korupsi yang sudah sangat mengkhawatirkan di
Indonesia. Korupsi adalah tindak pidana khusus (bijzondere delict),
dengan adanya delik dalam KUHP, maka delik akan menjadi delik
umum (algemeen delict), dan karena itu KPK tidak berhak lagi
menanganinya dan harus dinyatakan bubar. Pendapat yang berbeda
menyatakan bahwa dengan mengikuti pendapat di kalangan hukum
pidana Belanda, maka pendapat umum kalangan hukum pidana
Indonesia adalah bahwa untuk hukum pidana (materiil dan formil) kita
menganut asas kodifikasi (untuk menyusun peraturan per-uu-an pidana
yang konsisten dan koheren/bertalian secara logis). Adanya delik
umum sebagai delik pokok untuk korupsi (perbuatan curang,
penyuapan, kejahatan dalam jabatan) tidak meniadakan keperluan
adanya peraturan perundang-undangan khusus tentang korupsi. Berarti
UU Korupsi di luar KUHP masih dapat dipertahankan dan sekaligus
tentunya adanya UU khusus Tindak Pidana Pemberantasan Korupsi
yang membentuk KPK dan UU tentang Pengadilan Khusus Korupsi juga
9

dapat dipertahankan. Hanya saja, isi Bab XXXII tersebut masih harus
disesuaikan dengan pikiran di atas.

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Hindia Belanda

HIR ini diundangkan dengan Staatsblad 1941 No.44, terjemahan yang


dipergunakan adalah Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui atau
Reglemen Indonesia 1941 saja. Reglemen ini dimulai pada tahun 1846 dan
diundangkan dengan S.1948-57 untuk mulai berlaku 1 Mei 1848. Diperbaharui
dengan S.1926-559 dan terakhir dengan S.1941-44. Reglemen ini mengatur
tentang kepolisian, hukum acara perdata dan hukum acara pidana dan
berlaku untuk orang Indonesia dan Golongan Timur Asing di Jawa dan
Madura. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura berlaku peraturan lain
(tetapi serupa) bernama Rechtsreglement Buitengewesten (Reglemen
Daerah Luar) dengan S.1927-227 dan untuk golongan Eropah berlaku
Reglement Op De Rechtsvordering (Reglemen Hukum Acara) dengan
S.1847-52. Gambaran sederhana dan singkat di atas, hanya ingin
menunjukkan adanya dualisme dalam hukum acara, antara golongan
Eropah dengan golongan Bumiputera dan Timur Asing serta antara daerah
Jawa Madura dengan daerah luar Jawa dan Madura.

Keadaan ini berangsur-angsur berubah pada masa pendudukan militer


Jepang dan kemudian setelah pemerintah dapat menyatukan seluruh
Indonesia. Perhatian kita adalah hanya pada HIR yang kemudian pada
tahun 1981 telah berubah total menjadi KUHAP. Adapun HIR 1941 adalah
versi terakhir hukum acara pidana Hindia Belanda yang merupakan
pembaruan dari IR tahun 1926, sebagai jawaban atas kritik-kritik yang
diajukan oleh sarjana-sarjana hukum Belanda terhadap tatacara
menangkap dam menahan warga desa yang dicurigai melalukan
kejahatan. Kepala Desa yang merupakan kepanjangan tangan polisi
kolonial sering melakukan perbuatan sewenang-wenang dalam menangkap
dan menahan warganya.5
5 Sistem pemerintahan pamong praja kolonial adalah sebagai berikut: Dibawah
Gubernur Jenderal (yang mewakili Raja Belanda di Indonesia) terdapat para Residen, Asisten
Residen dan Kontrolir yang semuanya orang Belanda (totok atau campuran/indo). Di bawah
ini baru terdapat pamong praja Indonesia, mulai Regent (Bupati), Patih, Wedana, Asisten
Wedana dan terakhir Kepala Desa. Cara pemerintahan ini yang dinamakan indirect rule
dengan mempergunakan administrator bumiputera untuk memerintah rakyat dengan
pejabat-pejabat Belanda dalam posisi-posisi strategis sebagai pengawas. Dan dari Kepala
Desa sampai Residen, semua mempunyai kewenangan kepolisian (De uitoefening van de
politie Pasal 1, 2, 3 HIR 1941).
10

Jepang masuk di Indonesia (Hindia Belanda) pada bulan Maret 1942, kurang
lebih satu tahun setelah HIR 1941 berlaku. Melalui Undang-undang No.1 Drt
tahun 1951, maka HIR 1941 ini dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah
Republik Indonesia.

Menurut saya usaha pemerintahan Hindia Belanda untuk memperbaiki


sistem peradilan pidana di Indonesia, melalui HIR1941 tidak dapat terlaksana,
karena masuknya pemerintahan militer Jepang. Aparat sistem peradilan
pidana Indonesia pada waktu masuknya militer Jepang masih memakai
semangat kolonial IR 1926. Hal ini ditambah dengan sistem peradilan
pemerintahan militer Jepang yang dikenal sangat keras dan bengis.
Sehingga pada waktu awal kemerdekaan kita, sistem peradilan Indonesia
ditangani oleh aparat petugas yang dididik dengan semangat IR 1926 dan
semangat militer fasis Jepang (dengan polisi militer dan Kempetai-nya).
Antara tahun 1945 1981 (selama 36 tahun), inilah budaya SPP kita masih
bercirikan semangat kolonial dan kempetai. Keadaan inilah yang dikritik
dalam Seminar Hukum Ke-II yang diselenggarakan oleh LPHN (Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional) di Universitas Diponegoro, Semarang tanggal
27 30 Desember 1968.Dalam seminar ini para Advokat yang tergabung
dalam PERADIN (Persatuan Advokat Indonesia) mengeluhkan bagaimana
parahnya pelanggaran hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana
dan ditujukan kepada perlakuan aparat hukum dalam jaman Indonesia
Merdeka kepada rakyatnya sendiri. Perjuangan untuk mempunyai hukum
acara pidana Nasional baru berhasil 13 tahun kemudian dengan KUHAP
1981. Bagi saya ini, sekali lagi, ini menunjukkan bagaimana lambatnya para
petinggi sarjana hukum Indonesia bekerja untuk memperbaharui hukumnya,
dari berciri kolonial menjadi berciri nasional yang menghormati hak asasi
manusia!

Rancangan KUHAP Nasional versi 2014 (berada di DPR-RI)6

Sekarang dalam tahun 2016 (25 tahun setelah berlakunya KUHAP 1981), akan
dibicarakan di DPR Rancangan KUHAP Nasional Yang Telah Diperbaharui (R-
KUHAP). Namun, masih saja ada kritik tajam tentang pembaruan yang
diajukan, yang mungkin akan memperlambat pengesahan undang-undang
ini.

6 R-KUHAP ini juga disampaikan ke DPR oleh Presiden SBY pada Desember 2012 tetapi

baru efektif tahun 2014,dan tahun 2015 menjadi program Presiden Jokowi karena itu saya
namakan R-KUHAP 2014.
11

Catatan saya tentang KUHAP 1981 dapat dibaca antara lain dalam buku
saya tahun 2007, yang berjudul Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan
Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, diterbitkan oleh Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia.

Adapun kritik tajam yang saya maksud di atas adalah:


1. Tentang kewenangan Jaksa-Penuntut Umum (JPU)
Salah satu kelemahan pada KUHP 1981 adalah bahwa kurang jelas
terlihat adanya Sistem Peradilan Pidana Yang Terpadu (Integrated
Criminal Justice System). Desain prosedur SPP ini terlihat terkotak-kotak
yang didasarkan pada pendapat bahwa setiap sub-sistem dalam SPP
ini seolah-olah mandiri dan memegang monopoli atas wewenangnya.
Asas pembagian kewenangan diartikan sebagai separation
(pemisahan yang menimbulkan persaingan) dan bukan distribution
(pembagian suatu tugas bersama dalam SPP). Setelah JPU memeriksa
dan menyetujui Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik, maka
dia wajib membawa dan mempertahankan BAP tersebut di sidang
Pengadilan. Sebenarnya ada dua asas yang bertolak-belakang dalam
proses ini: 1) Semua tindak pidana yang cukup bukti, wajib di bawa ke
sidang pengadilan, kecuali kepentingan umum menghendaki
penutupan perkara; dan 2) Hanya apabila kepentingan umum
menghendakinya, maka setiap tindak pidana tertentu yang cukup
buktinya, wajib diselesaikan di sidang pengadilan.Baik dalam asas
pertama dan kedua, JPU diberi kesempatan menilai perlunya suatu
tindak pidana diteruskan ke siding pengadilan. Menurut saya, dalam
pelaksanaan KUHAP 1981 sekarang, maka JPU diposisikan hanya
sebagai kurir pembawa BAP dan yang kemudian bertugas
mempertahankannya di muka sidang pengadilan.

2. Tentang Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP)


Konsep HPP ini dalam rancangan sebelumnya dinamakan Hakim
Komisaris, mengikuti istilah yang dipergunakan dalam hukum pidana
Belanda.Sebenarnya HPP ini sudah diusulkan dalam rancangan
pertama KUHAP 1981 (pemrakarsa adalah Prof. Umar Senoadji sebagai
Menteri Kehakiman), tetapi ditolak oleh pihak Kepolisian dan pihak
Kejaksaan, karena dianggap akan melakukan intervensi pada
wewenang mereka masing-masing, yaitu penyidikan dan penyusunan
dakwaan. Maksud proses ini adalah untuk mengawasi agar
penyidikan dan penuntutan tidak dilakukan dengan sewenang-
wenang, dan hanya yang benar-benar cukup bukti dan diperlukan
untuk kepentingan umum dibawa ke sidang pengadilan. KUHAP 1981
memakai lembaga pra-peradilan, meskipun secara harafiah hanya
12

dalam hal penangkapan dan penahanan. Namun menurut saya


meskipun tersangka tidak ditangkap/ditahan, dia berhak meminta
hakim pra-peradilan memeriksa apakah memang ada cukup bukti
menyatakannya sebagai Tersangka. Mengapa? Karena status
tersangka akan berakibat adanya berbagai pembatasan HAM yang
dapat dilakukan pada dirinya dan hartanya (tidak dapat ke luar
negeri, siap untuk diperiksa setiap waktu, penggeledahan, penyitaan).
Konsep dasarnya adalah mencegah kesewenang-wenangan Penyidik
dan JPU, yang berasumsi subyektif terhadap Tersangka.

Jakarta, 7 April 2016


Disampaikan Sebagai Kuliah Tamu
Pada Sekolah Tinggi Hukum Indonesia JENTERA

Anda mungkin juga menyukai