Anda di halaman 1dari 23

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hematologi
Pada umumnya, darah terdiri dari dua komponen utama, yaitu: (1) 55%
adalah sel plasma, cairan matriks ekstraselular yang mengandung zat-zat terlarut,
dan (2) 45% adalah unsur yang diedarkan yang terdiri dari sel dan fragmen-
fragmen sel. Pada umumnya, sekitar 99% dari unsur yang diedarkan merupakan
sel darah merah (eritrosit), kurang dari 1% adalah sel darah putih (leukosit) dan
platelet. (Tortora, 2009).

2.2. Hematopoiesis
Hematopoiesis adalah proses dan perkembangan sel darah. Pada masa
embrio dan fetus, proses ini melibatkan beberapa organ, yaitu hati, limpa, timus,
getah bening, dan sumsum tulang. Akan tetapi, setelah fetus dilahirkan sampai
dewasa, proses ini hanya melibatkan sumsum tulang dan sedikit peran dari getah
bening. (Dorland, 2012)
Sumsum tulang adalah jaringan lunak, berongga, dan terletak pada bagian
dalam dari tulang tengkorak, tulang skapula, tulang rusuk, tulang panggul, dan
tulang belakang. Semua jenis sel darah diproduksi di sumsum tulang. Sumsum
tulang terbentuk dari sejumlah kecil stem sel darah, sel pembentuk darah, sel
lemak, dan jaringan yang membantu pertumbuhan sel darah (American Cancer
Society, 2013).
Pembentukan sel darah dimulai dari sel punca yang disebut sebagai
pluripoten stem sel / hemositoblas. Sel ini mempunyai kapasitas untuk merubah
diri menjadi berbagai macam tipe sel. Stem sel ini terdiri dari mieloid stem sel dan
limfoid stem sel. Perkembangan awal dari mieloid stem sel hingga menjadi sel
darah merah (eritrosit), patelet, monosit, neutrofil, eosinofil, dan basofil terjadi di
sumsum tulang merah. Berbeda dengan limfoid stem sel (limfosit T, limfosit B,
dan sel NK), perkembangan awalnya sama dengan mieloid stem sel. Akan tetapi,
penyempurnaan sel ini terjadi pada jaringan limfatik (Tortora, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.1. Komponen cairan darah ( Tortora; Bryan, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2. Hematopoesis (Komorniczak, 2011).

Selama hematopoesis, stem sel mieloid berdiferensiasi menjadi sel


progenitor. Akan tetapi, beberapa stem sel mieloid dan stem sel limfoid
berkembang secara langsung menjadi sel. Sel sel progenitor dikenal sebagai
colony- forming units (CFUs), yaitu: CFU-E yang menghasilkan sel eritrosit,
CFU-Meg menghasilkan megakariotik yang merupakan sumber platelet,
sedangkan CFU-GM yang menghasilkan granulosit (terutama neutrofil) dan
monosit. Sel ini juga disebut sebagai sel prekursor (sel blas). Secara keseluruhan,
pembelahan sel ini akan berkembang sesuai dengan sel pembentuknya.
Contohnya, monoblas akan berkembang menjadi monosit, eosinofil mieloblas
berkembang menjadi eosinofil, begitu juga selanjutnya (Tortora, 2009).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.3 Perkembangan sel darah (Tortora, 2009)

Universitas Sumatera Utara


2.3. Leukemia Limfoblastik Akut
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari
sumsum tulang, ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih. Pengaturan sel
leukosit yang terganggu menyebabkan proliferasi sel leukosit menjadi tidak
teratur dan tidak terkendali. Keadaan ini menyebakan fungsi sel leukosit menjadi
tidak normal, sehingga fungsi-fungsi lain dari sel darah normal juga terganggu
hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia akut
juga dibagi atas leukemia limfoblastik akut (LLA) dan leukemia mieloblastik akut
(LMA) (Perwono dan Ugrasena, 2010). Leukemia Limfoblastik Akut (Acute
Lymphoblastic Leukemia) disebut juga sebagai Acute Lymphatic Leukemia
(American Cancer Association, 2013).

2.3.1. Klasifikasi
Menurut WHO (2008), klasifikasi dilakukan berdasarkan sitogenik dan
karakteristik molekulernya (Tabel 2.1), sedangkan menurut French-American-
British (FAB), klasifikasi LLA berdasarkan morfologi (Tabel 2.2) dapat dibagi
menjadi 3, yaitu:
A. L1: terdiri dari sel-sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin homogen, anak
inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
B. L2: pada jenis ini sel limfoblas lebih besar, tetapi ukurannya bervariasi,
kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
C. L3: terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin berbercak,
banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik dan bervakuolisasi
(Perwono dan Ugrasena, 2010).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Klasifikasi LLA berdasarkan WHO (Lanzkowsky,2011).
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B tidak spesifik
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B dengan kelainan genetik
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan
translokasit(9;22)(q34;q11.2); BCR-ABL 1
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan translokasi
t(v;11q23); penyusunanan ulang MLL
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan translokasi
t(12;21)(p13;q22) TEL-AML 1 (ETV6-RUNX1)
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan hiperdiploid
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan hipodiploid
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan translokasi
t(5;14)(q31;32) IL3-IGH
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-B, dengan translokasi
t(1;19)(q23;p13.3); TCF 3-PBX 1
Leukemia limfoblastik/ limfoma prekursor sel-T

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2. Gambaran sitologi dari tipe LLA berdasarkan klasifikasi FAB
(Imbach,2005).
L1 L2 L3

Ukuran dari Kecil, seragam Besar, Berubah- Sedang sampai


blas ubah sangat besar,
seragam

Jumlah Sedikit Berubah-ubah Sedang


sitoplasma
Sitoplasmik Sedang Berubah-ubah Sangat
basofilia
Sitoplasmik Berubah-ubah Berubah-ubah Menonjol
vacuoles
Nukleus Teratur, sekali-kali Tidak teratur, Teratur, tidak
membelah, kromatin membelah, membelah,
yang homogen kromatin yang kromatin yang
heterogen monoton
Nukleous 0-1, tidak menonjol 1 atau lebih, 2-5, menonjol
menonjol
Nukleat/ rasio Tinggi Rendah Rendah
sitoplasma

2.3.2. Faktor Resiko


Menurut American Cancer Society (2013), hanya beberapa faktor resiko
yang telah diketahui dari LLA, yaitu:
A. Paparan Radiasi
Paparan radiasi yang tinggi merupakan faktor resiko untuk kedua tipe
leukemia akut. Orang yang terpapar radiasi pada musibah bom di Jepang
mempunyai resiko tinggi terkena leukemia akut, biasanya dalam 6 hingga 8 tahun.

Universitas Sumatera Utara


B. Zat Kimia
Resiko LLA meningkat dengan paparan zat kimia berupa benzene dan
obat kemoterapi tertentu.
C. Infeksi Virus
Infeksi virus tertentu seperti HTLV-1 dapat menyebabkan LLA, tetapi
jarang terjadi tipe yang seperti itu. Di Afrika, virus juga dihubung-hubungkan
dengan terjadinya LLA , yaitu virus yang menyebabkan mono (mononucleus)
yang disebut sebagai Epstein Barr Virus atau EBV.
D. Sindrom yang diwariskan (Inherited Syndromes)
Sindrom adalah kumpulan dari tanda dan gejala yang secara bersamaan
menimbulkan masalah. Sindrom-sindrom tertentu tampaknya meningkatkan
resiko terjadinya LLA. Adapun sindrom-sindrom tersebut adalah:
- Down Syndrome
- Klinefelter Syndrome
- Fanconi Anemia
- Bloom Syndrome
- Ataxia-Telangiectasia
- Neurofibromatosis
E. Ras atau etnik
LLA lebih sering pada ras kulit putih dibandingkan dengan Afrika-
Amerika, tetapi mekanismenya masih belum jelas.
F. Jenis kelamin
LLA lebih sering diderita anak laki-laki daripada perempuan. Namun,
mekanismenya masih belum jelas.
G. Kembar Identik dengan LLA
Apabila salah satu dari pasangan kembar identik menderita LLA, maka hal
ini akan meningkatkan resiko pada pasangan kembarnya pada awal kehidupan.

2.3.3. Patogenesis
Leukemia merupakan istilah untuk beberapa jenis penyakit yang berbeda
dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda. Mulai dari penekanan sumsum

Universitas Sumatera Utara


tulang yang berat seperti pada leukemia akut sampai kepada penyakit dengan
perjalanan penyakit yang lambat dan gejala ringan (indolent) seperti pada
leukemia kronik. Pada dasarnya efek patofisiologi berbagai macam leukemia akut
mempunyai kemiripan, tetapi berbeda dengan leukemia kronik (Perwono dan
Ugrasena, 2010).
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya adalah asal mula
gugus sel (clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenik dan morfologi,
kegagalan diferensiasi, petanda sel dan perbedaan biokimia terhadap sel normal
(Perwono dan Ugrasena, 2010).
LLA adalah hasil dari kegagalan genetik pada saat pembentukan sel
darah, yaitu pada jalur pembentukan sel-T atau sel-B. Kegagalan ini disebabkan
adanya mutasi yang menyebabkan pembentukan sel darah baru tanpa batas. Sel
pada LLA ini telah disusun ulang struktur pembelahan immunoglobulin / reseptor
gen pada sel-T-nya. Gambaran molekul antigen-reseptor yang mengalami
diferensiasi pada hubungan permukaan sel glikoprotein yang secara besar-besaran
merekapitukasi sel progenitor limfosit yang belum matang pada permulaan
perkembangan sel-T dan sel-B normal (Pui et al., 2008).

2.3.4. Gejala Klinis


Gejala klinis LLA, yaitu:
A. Gejala sistemik yang sering ditemukan
- Demam (60%)
- Lemah, letih (50%)
- Pucat (40%) (Lanzkowsky,2011).
B. Efek hematologi sebagai pengaruh dari invasi dari sumsum tulang
- Anemia: menyebabkan pucat, mudah lelah, takikardi, dispnea, dan kadang-
kadang dapat menyebabkan Congestive Heart Failure.
- Neutropenia: menyebabkan demam, ulserasi mukosa bukal, serta infeksi.
- Trombositopenia: menyebabkan peteki, purpura, dan mudah memar, pendarahan
dari membrane mukosa dan pendarah dalam (contoh: pendarahan intracranial)
(Lanzkowsky,2011).

Universitas Sumatera Utara


Pada 1-2% pasien LLA, gejala utama yang ditemukan adalah pansitopenia,
sehingga terjadi kesalahan diagnosa menjadi anemia aplastik atau kegagalan
sumsum tulang (hanya 5% yang menggambarkan anemia aplastik) dan akhirnya
berkembang menjadi LLA. Pada kasus ini dapat digambarkan sebagai berikut:
- Pansitopenia atau sitopenia tunggal.
- Sumsum tulang yang hiposelular.
- Tidak ditemukan hepatosplenomegali.
- Diagnosa dari leukemia 1-9 bulan setelah onset dari gejala (Lanzkowsky,2011).
C. Manifestasi Klinis yang timbul dari invasi sistem limfoid
- Limfadenopati: kadang-kadang muncul dengan limfadenopati mediastinum yang
besar (bulky mediastinal lymphadenopathy).
- Splenomegali.
- Hepatomegali (Lanzkowsky,2011).
D. Manifestasi klinis dari invasi ekstramedula
i. Sistem Saraf Pusat
Ditemukan kurang dari 5% anak LLA dengan gejala seperti ini pada
diagnosa awal. Ditemukan dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Tanda dan gejala peningkatan tekanan intrakranial (contoh: sakit kepala, muntah
di pagi hari, papiledema, kelumpuhan bilateral N VI).
- Tanda dan gejala gangguan parenkim (contoh, tanda neuron fokal: hemiparesis,
kelumpuhan saraf kranial, kejang, gangguan cerebral, seperti ataxia, dysmetria,
hypotonia, hiperflexia).
- Sindrom Hipotalamus (polifagia dengan penambahan berat badan, hirsutism, dan
perubahan tingkah laku).
- Diabetes Insipidus (gangguan pada pituitary bagian posterior).
- Kloroma pada saraf spinal (sangat jarang pada LLA) dapat ditemukan dengan
sakit punggung, sakit pada tungkai, kebas-kebas, Sindrom Brown- Sequard, dan
gangguan spinter pada kandung kemih dan usus.
- Pendarahan otak adalah sebagai komplikasi dari LLA. Hal ini disebabkan oleh:
leukostasis pada pembuluh darah otak, menyebabkan leukotrombi, tersumbat,

Universitas Sumatera Utara


dan pendarahan; trombositopenia dan koagulopati juga berperan dalam
pendarahan otak (Lanzkowsky, 2011).

Tabel 2.3. Gambaran klinis dan laboratorium pada LLA (Pizzo,2006;


Lanzkowsky,2011).
Gejala Klinis dan Pemeriksaan Laboratorium Persentasi Pasien
Gejala klinis dan pemeriksaan fisik:
Demam 61
Pendarahan ( peteki atau purpura) 48
Nyeri tulang 23
Limfadenopati 50
Splenomegali 63
Hepatospenomegali 68
Gambaran laboratorium
Hitung leukosit (mm3)
<10.000 53
10.000-49.000 30
>50.000 17
Hemoglobin (g/dl)
<7.0 43
7.0-11.0 45
>11.0 12
3
Hitung trombosit (mm )
<20.000 28
20.000-99.000 47
>100.000 25
Morfologi limfoblas
L1 84
L2 15
L3 1

Universitas Sumatera Utara


ii. Sistem Perkemihan
a. Gangguan pada testis
- Biasanya ditemukan pembesaran testis yang tidak disertai nyeri.
- Terjadi pada 10-23% laki-laki saat pertengahan perjalanan dari 13 bulan setelah
didiagnosa.
- 10-33% laki-laki menjalani biopsi bilateral (wedge biopsies).
- Faktor resiko dari gangguan pada testis termasuk: sel -T LLA, leukositosis saat
terdiagnosa (>20.000/mm3), ditemukan tumor mediastinum, hepatomegali dan
limfadenopati (sedang-berat), dan trombositopenia (<30.000/mm3).
b. Gangguan pada ovarium (jarang ditemukan)
c. Priapism (jarang ditemukan)
Disebabkan oleh gangguan pada saraf sakral atau terjadi obstruksi
mekanik pada corpora cavernosa dan vena dorsalis oleh infiltrat leukemik atau
oleh koagulasi dari platelet yang terjadi karena sel darah yang mengandung
banyak leukosit di corpora cavernosa.
d. Gangguan pada ginjal
Pada gangguan ginjal dapat ditemukan hematuria (Lanzkowsky, 2011).
iii. Sistem Pencernaan
Gangguan yang tersering adalah terjadinya pendarahan. Pendarahan
disebabkan oleh infiltrat leukemik padasaluran cerna biasanya tidak terdeteksi
sampai stadium akhir, ketika necrotizing enteropathy telah terjadi. Daerah yang
paling sering terserang adalah caecum (usus besar) (Lanzkowsky, 2011).
iv. Tulang dan Sendi
Gejala ini telah dijumpai pada awal perjalanan penyakit. Sekitar 25%
pasien LLA mengalami nyeri tulang dan sendi. Kejadian ini sebagai hasil dari
infiltrasi leukemik langsung pada periosteum, penyumbatan tulang, atau
penyebaran ke celah sumsum tulang oleh sel leukemik. Pada radiologi dapat
ditemukan:
- Lesi dari osteolotik pada celah medulari dan cortex.
- Tampak pita radiolusen yang transversal pada metafiseal dengan peningkatan
densitas (growth arrest lines).

Universitas Sumatera Utara


- Pembentukan tulang baru pada bagian subperiosteal (Lanzkowsky, 2011).
v. Kulit
Umumnya ditemukan pada neonatus (Lanzkowsky, 2011). Selain dijumpai
tanda-tanda pendarahan pada neonatus, dapat pula dijumpai makulopapular pada
kulit yang mengalami infiltrasi sehingga berwarna merah gelap (leukemia kutis)
(Imbach, 2001).
vi. Jantung
Setengah hingga dua pertiga pasien ditemukan gangguan jantung pada saat
dilakukan otopsi, tetapi pasien yang mengeluhkan gangguan jantung tidak
melebihi 5% kasus. Pemeriksaan patologi ditemukan adanya infiltrasi leukemik
dan pendarahan pada bagian miokardium ataupun perikardium (Lanzkowsky,
2011).
vii. Paru-paru
Jarang ditemukannya gangguan. Gangguan paru yang mungkin ditemukan
karena disebabkan oleh infiltrasi leukemik atau pendarahan paru (Lanzkowsky,
2011).

2.3.5. Diagnosis
Pendekatan diagnosis:
A. Anamnese
Dokter akan menanyakan beberapa pertanyaan tentang tanda dan gejala,
penyakit terdahulu, faktor resiko, serta sudah berapa lama keluhan dirasakan oleh
anak (American Cancer Society, 2013). Gejala klinis yang ditanyakan berupa
demam, lemah, letih, tidak bersemangat, pucat (penurunan kadar Hb), gusi
berdarah, mimisan, memar, nyeri tulang, sakit kepala di pagi hari, muntah, tanda
neurologi fokal (cranial nerve palsies, hemiparesis, pusing) maupun menstruasi
yang memanjang (Imbach, 2005).
B. Pemeriksaan Fisik
i. Inspeksi
- Mata: dapat ditemukan konjungtiva palpebra inferior pucat, papil edem dan
pendarahan pada retina.

Universitas Sumatera Utara


- Hidung: dapat ditemukan ada tidaknya pendarahan.
- Rongga mulut: dapat ditemukan gusi yang berdarah maupun ulserasi mukosa
yang dapat disertai infeksi. Infeksi biasanya disebabkan oleh jamur, bakteri
maupun virus. Infeksi jamur Candida albicans (oral thrush) sering ditemukan
pada saat diagnosa. Infeksi bakteri yang sering ditemukan disebabkan oleh
Streptococcus viridans (S. mitis, S. sanguis, S. hominis), sedangkan infeksi virus
adalah Herpes Simplex Virus (HSV) (Smith dan Hann, 2006)
- Leher: pemeriksaan vena jugularis externa. Ada tidaknya peningkatan tekanan
vena jugularis (Sindroma Vena Cava Superior) (Imbach, 2005).
- Extremitas superior: dapat ditemukan pucat pada kuku dan telapak tangan.
Selain itu, dapat ditemukan juga pembengkakan pada sendi (Imbach, 2005).
- Secara keseluruhan tubuh: ditemukan petekie, purpura, dan mudah memar.
ii. Palpasi
Meraba ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening (umumnya di
daerah cervical dan inguinal) (Simone et al., 2011) dan pembesaran organ.
Pembesaran organ, umumnya pada hepar (kanan) dan spleen (kiri) (American
Cancer Society, 2013). Pada anak laki-laki sering ditemukan adanya pembesaran
testis yang tidak disertai dengan nyeri (Lanzkowsky, 2011).
iii. Perkusi
Perkusi yang dilakukan di rongga dada, dapat ditemukan beberapa
kelainan berupa tamponade jantung dan efusi pleura/ perikardium (Imbach,

2005).
C. Pemeriksaan Laboratorium
i. Status hematologi
- Hemoglobin
Nilai Hb yang rendah menunjukan perjalanan leukemia yang masih
panjang, sedangkan nilai Hb yang tinggi menunjukan proliferasi leukemia yang
tinggi (Lanzkowsky, 2011). Selain perubahan nilai Hb, juga ditemukan juga
penurunan jumlah retikulosit pada pasien LLA (Imbach, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Menurut Teuffel et al. (2008), pasien dengan kadar Hb yang tinggi (Hb
8g/dl) pada saat terdiagnosa dapat meningkatkan resiko outcome yang buruk,
jika dibandingkan dengan pasien yang mempunyai kadar Hb yang lebih rendah
(Hb < 8g/dl). Hal ini dikarenakan pada leukemia sel-T prekursor sering
ditemukan kadar Hb yang lebih tinggi pada saat terdiagnosa dibandingkan
leukemia sel-B prekursor. Akan tetapi, diantara sesama anak-anak dengan
leukemia sel-T prekursor, kadar Hb yang rendah pada saat terdiagnosa dapat
meningkatkan resiko outcome yang buruk, jika dibandingkan dengan pasien yang
mempunyai kadar Hb yang lebih tinggi.
Kadar Hb pada saat terdiagnosa bukan merupakan faktor resiko yang
mandiri karena kadar Hb tidak dapat dipakai sebagai stratifikasi terhadap uji
klinis. Hubungan anemia dengan prognosis mungkin hanya sebatas kepentingan
informasi biologikal dalam menjamin investigasi lebih lanjut (Teuffel et al.,
2008).
- Leukosit
Jumlah leukosit dapat meningkat, normal, maupun menurun. Jumlah
leukosit> 50.000/l menunjukkan prognosis buruk (Lanzkowsky, 2011). Menurut
Gustafsson et al. (2000) dalam Kanerva (2001), pada anak-anak dengan jumlah
leukosit > 50.000/l, umumnya beresiko tinggi terhadap kekambuhan penyakit,
sehingga memerlukan pengobatan yang intensif. Jumlah leukosit yang
meningkat, umumnya ditemukan sel blas. Jumlah leukosit > 100.000/ l
limfoblas sudah banyak dijumpai dan telah terjadi viseromegali (Imbach, 2005).
Jumlah leukosit pada saat terdiagnosa sangat berhubungan dengan tingkat
kelangsungan hidup. Kelompok anak dengan jumlah leukosit yang tinggi
(50.000/l) mempunyai tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah. Hal
yang tidak dapat diduga adalah outcome dari kelompok dengan jumlah leukosit
yang rendah (<30.000/l) juga menunjukan hasil yang buruk jika dibandingkan
dengan jumlah leukosit yang menegah (Yanada et al., 2006). Akan tetapi, pada
pasien leukemia sel-T dengan jumlah leukosit yang < 10.000/l pada saat
terdiagnosa mempunyai perjalanan penyakit yang lebih buruk dibanding pasien

Universitas Sumatera Utara


dengan jumlah leukosit antara 10.000/l - 50.000/l (Pullen et al., 1999; Yanada
et al., 2006).
- Hapusan darah tepi
Pada pemeriksaan hapusan darah tepi sering ditemukannya sel blas. Pada
kondisi tertentu seperti pada pasien leukopenia, hanya ditemukan sedikit hingga
tidak ditemukannya sel blas. Biasanya, apabila leukosit melebihi 10.000/mm3, sel
blas ditemukan berlimpah-limpah. Eosinofil jarang ditemukan pada anak-anak
LLA (Lanzkowsky, 2011).
Menurut Patte et al. (2001), Reiter et al. (1999), Reiter et al. (1992) dalam
Kanerva (2001), L3 pada LLA juga disebut sebagai Burkitts leukemia. Secara
klinis, karakteristiknya mempunyai perkembangan yang pesat dan biasanya terjadi
lisis tumor. Pengobatan dilakukan secara intensif, tetapi hanya dalam waktu yang
singkat. Dengan strategi seperti ini, outcome dari pasien anak ini adalah baik.
L2 pada LLA tidak mempunyai hubungan apapun dengan faktor prognotik
lain yang sifatnya berlawanan. Pada median dari leukosit yang rendah dan
hiperdiploidi yang umumnya terdapat pada kelompok L2. Leukemia sel-T sedikit,
tetapi tidak mutlak, berhenti pada gambaran L2. Sel blas L2 lebih resisten
terhadap pengobatan anti-kanker dibandingkan sel blas L1. Faktor prognotik
buruk ditemukan hanya pada pasien kelompok L2 dengan leukosit <50.000/l,
tetapi tidak pada kelompok jumlah leukosit 50.000/ l yang dapat diperdebatkan
sesuai dengan variasi acak dibandingkan interaksi nyata. Selain itu, tidak
ditemukannya perbedaan dalam outcome antara pasien LLA antara L1 dan L2
pada saat jumlah leukosit >50.000/l pada saat terdiagnosa (Kanerva, 2001).
- Trombosit
92% dari pasien LLA mempunyai kadar trombosit di bawah normal.
Pendarahan yang serius ( sistem pencernaan atau intrakranial ) terjadi pada
platelet dibawah 20.000/ mm3 (Lanzkowsky, 2011).
Jumlah platelet merupkan faktor prognosis yang mandiri. Jumlah platelet
dapat menggambarkan luas dari infiltrasi sel leukemik pada sumsum tulang.
Outcome pada pasien dengan jumlah platelet pada saat terdiagnosa >50.000/mm3

Universitas Sumatera Utara


lebih baik daripada pasien dengan jumlah platelet yang lebih rendah (Simone et
al., 1975).
Menurut Hirt et al. (1997a), Hirt et al. (1997b) dan Pyesmany et al. (1999)
dalam Kanerva (2001), anak-anak dengan jumlah leukosit yang tinggi pada saat
terdiagnosa mempunyai perjalanan penyakit yang cepat dengan kecepatan
proliferasi yang tinggi terhadap sel blas. Pada pasien ini dapat ditemukan kadar
Hb dan platelet yang mendekati kadar normal. Sebaliknya, anak-anak dengan
jumlah leukosit yang rendah dapat ditemukan kadar Hb dan platelet yang rendah
juga. Hal ini menunjukkan perkembangan yang lambat, sehingga memerlukan
waktu yang panjang dalam mengganggu produksi dari prekursor normal sel darah.
Kebanyakan dari pasien LLA ditemukan leukosit yang berlebihan,
keterbatasan sel darah merah, dan platelet yang tidak mencukupi. Terlihat leukosit
yang berupa sel blas. Pemeriksaan laboratorium juga digunakan untuk melihat
seberapa bagus pengobatan tersebut (American Cancer Society, 2013).
ii. Analisa kimia darah
Tujuan dilakukannya pemeriksaan analisa kimia darah adalah untuk
mengetahui seberapa kerusakan yang terjadi, seperti fungsi ginjal (elektrolit,
urea), asam urat, fungsi hati, dan tingkatan immunoglobulin.
Pada pasien LLA umumnya terjadi peningkatan terhadap kadar serum
asam uratnya, derajat peningkatan ini mencerminkan tingkat keparahannya.
Peningkatan kadar asam urat ini terjadi pada pasien dengan tanda-tanda
peningkatan jumlah leukosit dan penyakit ekstramedular yang meluas. Disfungsi
dari ginjal juga dapat terjadi diantara pasien hiperuricemia. Kadar serum laktat
dehidrogenase umumnya juga meningkat, peningkatan ini mencerminkan tingkat
keparahan tumor (Rudolph et.al., 2003).
Variasi dari ketidaknormalan elektrolit yang berhubungan dengan
kalsium, fosfat, dan kalium, hal ini mungkin harus menjadi perhatian untuk
pasien yang baru didiagnosa LLA. Hiperkalsemia merupakan hasil dari
berlebihnya sel leukemik yang menginfiltrasi ke tulang., hiperfosfatemia sebagai
hasil dari penghancuran sel tumor yang berlebihan, sedangkan hiperkalemia
disebabkan oleh berlebihnya sel leukemik yang lisis (Rudolph et.al., 2003).

Universitas Sumatera Utara


Penurunan imunoglobulin pada serum saat didagnosa ditemukan pada 30%
anak LLA dan hal ini mengarah ke prognosis yang buruk (Rudolph et.al., 2003).
iii. Profil koagulasi: ditemukannya penurunan faktor koagulasi
Gangguan koagulasi berat bukan merupakan tanda dan ciri khas LLA
(Rudolph et al., 2003). Penurunan faktor koagulasi yang umumnya terlibat adalah
hipofibrinogen, faktor V, IX dan X (Lanzkowsky, 2011).
D. Tes sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang dan biopsi digunakan untuk mendapatkan sampel
sumsum tulang . Tes ini bertujuan untuk menegakkan apakah seseorang menderita
LLA atau tidak. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk melihat seberapa
bagus pengobatan yang diberikan (American Cancer Society, 2013).

Gambar 2.4. Aspirasi Sumsum Tulang (National Cancer Institute, 2014).

Universitas Sumatera Utara


Panel A Panel B

Gambar 2.5. LLA sel blas (Leukemia & Lymphoma Society, 2014).

Panel A adalah gambaran sel dari perkembangan sumsum tulang sehat.


Tampak gambaran yang bervariasi dari sumsum normal. Panel B adalah gambaran
sel dari pasien LLA. Tampak gambaran dengan karakteristik sama tanpa variasi
tertentu dari sel blas leukemi (Leukemia & Lymphoma Society, 2014).
Sumsum tulang umumnya digantikan oleh 80%-100% sel blas.
Megakariosit umumnya tidak ditemukan. Seseorang diduga leukemia apabila
sumsum tulang dipenuhi lebih dari 5% sel blas. Tanda dari leukemia akut adalah
adanya sel blas. Sumsum tulang dapat diperiksa dengan cara histochemistry,
immunophenotyping, dan sitogenik.

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.6. Pungsi Lumbal (National Cancer Institute, 2014).

2.3.6. Pengobatan
Penanganan leukemia pada anak meliputi penanganan kuratif dan
penanganan suportif. Penanganan suportif meliputi pengobatan penyakit lain
yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi, yaitu transfusi
darah/trombosit, pemberian antibiotik, pemberian anti-jamur, pemberian obat
untuk meningkatkan granulosit, pemberian nutrisi yang tepat, dan pendekatan
psikososial (Perwono dan Ugrasena, 2010).
Penanganan kuratif bertujuan untuk menyembukan leukemianya yang
berupa kemoterapi (Perwono dan Ugrasena, 2010). Menurut American Cancer
Society (2013), kemoterapi merupakan terapi yang dilakukan dalam tiga tahap,
yaitu:
A. Tahap Induksi
Tujuan dari terapi ini adalah untuk mencapai remisi komplit hematologi,
yaitu eradikasi sel leukemia yang dapat dideteksi secara morfologi dalam darah
dan sumsum tulang sehingga kembalinya hematopoesis normal.
B. Tahap Konsolidasi

Universitas Sumatera Utara


Terapi ini biasanya diberikan dalam siklus empat hingga enam bulan.
Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah sel leukemia yang masih tersisa.
C. Tahap Maintenance.
Terapi ini diberikan sekitar dua-tiga tahun. Pada anak-anak terapi ini
memperpanjang disease free survival.
Selain kemoterapi, transplantasi sumsum tulang mungkin memberikan
kesempatan untuk sembuh, khususnya bagi anak-anak dengan leukemia sel-T
yang setelah relaps mempunyai prognosis yang buruk dengan terapi sitostatika
konvensional.

2.3.7. Masa Remisi


Tujuan utama pengobatan LLA adalah agar tercapainya remisi.
Pencapaian remisi penting dalam menentukan kelangsungan hidup yang lebih
lama (Leukemia & Lymphoma Society, 2014). Remisi komplit dapat dilihat dari
hasil laboratorium dan gejala klinis leukemia yang menghilang berupa demam dan
nyeri tulang. Selain itu, tidak ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb>12g/dl tanpa transfusi, jumlah
granulosit 500/l, jumlah trombosit >75.000/l, dan tidak ditemukannya sel blas
dalam pemeriksaan hapusan darah (Lanzkowsky, 2011). Pada aspirasi sumsum
tulang didapatkan jumlah sel blas <5% dari sel berinti. Jumlah leukosit >3.000/ l
dengan hitung jenis leukosit normal dan pemerikaan cairan serebrospinal normal
(Perwono dan Ugrasena, 2010).

2.3.8. Prognosis
Keberhasilan pengobatan leukemia semakin meningkat setiap tahunnya.
Beberapa faktor yang mempengaruhi prognotik LLA adalah:
- Jumlah leukosit awal (saat diagnosis LLA ditegakkan), mungkin merupakan
faktor prognostik yang bermakna tinggi. Ditemukan adanya hubungan linear
antara jumlah leukosit awal dan perjalanan pasien LLA pada anak, yaitu bahwa
pasien dengan jumlah leukosit >50.000 ul mempunyai prognostik buruk.

Universitas Sumatera Utara


- Fenotip imunologis (immunophenotype) dari limfoblas saat didiagnosa berperan
sebagai faktor prognostik. Leukemia sel-B (L3 pada klasifikasi FAB denga
antibodi kappa dan lambda pada permukaan sel blas) diketahui merupakan
faktor prognosis yang buruk. Dengan adanya protokol spesifik untuk sel-B,
prognosisnya semakin membaik. Sel-T leukemia juga mempunyai prognosis
yang jelek, dan merupakan resiko tinggi. Dengan terapi yang intensif, sel-T
leukemia murni tanpa faktor prognostik buruk yang lain, mempunyai prognosis
yang sama dengan leukemia sel pre-B. LLA sel-T diatasi dengan protokol
resiko tinggi.
- Pasien dengan jumlah platelet pada saat terdiagnosa >50.000/mm3 lebih baik
daripada pasien dengan jumlah platelet yang lebih rendah (Simone et al., 1975).
Selain itu, jumlah platelet >100.000/ l pada akhir pengobatan induksi juga ikut
menentukan kelangsungan hidup lebih lama (Perwono dan Ugrasena, 2010).
- Kadar Hb pada saat terdiagnosa bukan merupakan faktor resiko yang mandiri.
8g/dl) pada saat terdiagnosa dapat memiliki
Kadar Hb yang tinggi (Hb
prognosis lebih buruk, jika dibandingkan dengan pasien yang mempunyai
kadar Hb yang lebih rendah (Hb < 8g/dl). Hal ini dikarenakan pada leukemia
sel-T prekursor sering ditemukan kadar Hb yang lebih tinggi pada saat
terdiagnosa dibandingkan leukemia sel-B prekursor (Teuffel et al., 2008). Akan
tetapi, apabila kadar Hb pada akhir induksi tidak mencapai Hb>12g/dl tanpa
transfusi menunjukan prognosis yang kurang baik (Perwono dan Ugrasena,
2010). Hubungan anemia dengan prognosis mungkin hanya sebatas kepentingan
informasi biologikal dalam menjamin investigasi lebih lanjut (Teuffel et al.,
2008).
- Keberhasilan pengobatan dapat diukur dari jumlah sel blas pada pemeriksaan
darah tepi setelah 1 minggu terapi prednisone dimulai. Adanya sisa sel blas pada
sumsum tulang pada induksi hari ke 7 atau 14 menunjukkan prognosis buruk.
- Ditemukannya hubungan antara usia pasien pada saat didiagnosa LLA dan hasil
pengobatan. Pasien dengan usia dibawah 18 bulan atau diatas 10 tahun
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan pasien yang berusia
direntang tersebut. Khususnya pasien yang berusia dibawah 1 tahun atau bayi

Universitas Sumatera Utara


dibawah 6 bulan mempunyai prognosis paling buruk. Hal ini dikatakan karena
mereka mempunyai kelainan biomolekuler tertentu. Leukemia bayi berhubungan
dengan gene re-arrangement pada kromosom 11q23 seperti t (4;11) atau t
(11;19) dan jumlah leukosit yang tinggi.
- Jenis kelamin juga mempengaruhi prognosis. Dari berbagai hasil penelitian,
didapatkan bahwa sebagian besar menyimpulkan bahwa anak laki-laki
mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan dengan anak perempuan. Hal
ini disebabkan gangguan pada testis pada kejadian leukemia sel-T yang tinggi,
hiperleukositosis, dan organomegali serta massa mediastinum pada anak laki-
laki. Penyebab kejadian ini belum diketahui secara pasti, tetapi diketahui pula
ada perbedaan metabolism pada merkaptopurin dan metotreksat.
- Kelainan jumlah kromosom juga mempengaruhi prognosis. LLA hiperploid (>
50 kromosom ) yang biasa ditemukan pada 25% kasus mempunyai prognosis
yang baik. LLA hipodiploid ( 3-5% ) memiliki prognosis intermediate seperti t
(1;19). Translokasi t (9;22) pada 5% anak atau t (4;11) pada bayi berhubungan
dengan prognosis buruk (Perwono dan Ugrasena, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai