Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 2017


UNIVERSITAS HASANUDDIN

INFEKSI PADA KEHAMILAN MALARIA

OLEH :
Muh. Ridho Akbar (C 111 12 065)

PEMBIMBING:
dr. Stefanus

KONSULEN:
Dr. Johnsen, Sp. OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017

1
A. PENDAHULUAN
Infeksi malaria, yang sebagian besar tersebar di daerah tropis, merupakan
penyakit yang berpotensi mengancam jiwa. Malaria adalah penyakit protozoa
yang disebarkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina aktif. Protozoa
penyebab malaria adalah genus Plasmodium yang dapat menginfeksi manusia
maupun serangga. Nama malaria mulai dikenal sejak zaman kekaisaran Romawi,
dan berasal dari kata Italia malaria atau udara kotor dan disebut juga demam
Romawi. Diduga penyakit ini berasal dari Afrika dan menyebar mengikuti
gerakan migrasi manusia melalui pantai Mediterania, India dan Asia Tenggara.1,2
Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dinegara-negara seluruh dunia, baik didaerah tropis maupun sub tropis, terutama
di negara berkembang termasuk Indonesia. Saat ini diperkirakan minimal terjadi
300 juta kasus malaria akut dan 280 juta orang sebagai carrier di dunia setiap
tahunnya yang menyebabkan kematian lebih dari l juta usia dewasa dan 3 juta
anak. Sekitar 90% dari penyakit ini terjadi di Afrika, terutama menyerang balita.
Malaria adalah penyebab kematian utama anak balita di Afrika (20%) dan sekitar
10% dari kematian akibat seluruh penyakit di benua tersebut.1,3
Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin,
tidak terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Malaria dalam
kehamilan merupakan masalah obstetrik, sosial dan medis yang membutuhkan
penanganan multidisipliner dan multidimensional. Wanita hamil merupakan
kelompok usia dewasa yang paling tinggi berisiko terkena penyakit ini dan
diperkirakan 80% kematian akibat malaria di Afrika terjadi pada ibu hamil dan
anak balita. Di Afrika, kematian perinatal akibat malaria diperkirakan terjadi
sebanyak 1500 kasus/hari. Di daerah-daerah endemik malaria, 2040% bayi
yang dilahirkan mengalami berat lahir rendah.1,3,4
Di Indonesia, sejumlah daerah-daerah tertentu, yaitu daerah rawa dan
pantai juga merupakan daerah endemis malaria. Di daerah endemik, malaria
diperkirakan bertanggung jawab atas 20% dari berat badan lahir rendah (BBLR)
bayi dan faktor resiko terbesar pada mortalitas bayi.1,5

2
Oleh karena itu malaria juga merupakan masalah kesehatan di Indonesia.
Berdasarkan hal-hal diatas terlihat bahwa malaria selama kehamilan perlu
mendapat perhatian khusus dalam memahami diagnostik dan penanganan malaria
pada ibu hamil untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas untuk ibu dan
janinnya.1,3

B. EPIDEMIOLOGI
Setiap spesies Plasmodium memiliki daerah endemik tertentu walaupun
seringkali memiliki geografi yang saling tumpang tindih. Infeksi malaria tersebar
pada lebih dari 100 negara di benua Afrika, Asia, Amerika Selatan, Amerika
Tengah, Hispaniola, India, Timur Tengah dan daerah Oceania dan Kepulauan
Caribia. Lebih dari 1,6 triliun manusia terpapar oleh malaria dengan dugaan
morbiditas 200-300 juta dan mortalitas lebih dari 1 juta pertahun. Beberapa daerah
yang bebas malaria yaitu Amerika Serikat, Canada, negara di Eropa (kecuali
Rusia), Israel, Singapura, Hongkong, Japan, Taiwan, Korea, Brunei dan Australia.
Negara tersebut terhindar dari malaria karena vektor kontrolnya yang baik.
Walaupun demikian, di negara tersebut makin banyak dijumpai kasus malaria
yang diimpor karena pendatang dari negara malaria atau penduduknya
mengunjungi daerah-daerah malaria.2,4

Gambar 1. Peta Penyebaran Infeksi Malaria (Diambil dari Kepustakaan 7)


Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Malariae umumnya dijumpai
pada semua negara dengan malaria. Di Afrika, Haiti dan Papua Nugini umumnya
Plasmodium Falciparum. Adapun Plasmodium Vivax banyak di Amerika Latin. Di
Amerika Selatan, Asia Tenggara, negara Oceania dan India umumnya

3
Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Vivax. Plasmodium Ovale biasanya
hanya di Afrika.4
Di Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah
sampai ke Utara, Maluku, Irian Jaya dan dari Lombok sampai Nusa Tenggara
Timur serta Timor Timur merupakan daerah endemis malaria dengan Plasmodium
Falciparum dan Plasmodium Vivax. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari
Lampung, Riau, Jambi, dan Batam kasus malaria cenderung meningkat.4
C. ETIOLOGI
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang masuk ke dalam tubuh manusia, ditularkan oleh nyamuk
Anopheles betina. 4,6

Gambar 2. Plasmodium spp. (Diambil dari Kepustakaan 6)

Empat species Plasmodium penyebab malaria pada manusia adalah: 2,4,6


1. Plasmodium vivax. Spesies ini cenderung menginfeksi sel-sel darah merah
yang muda (retikulosit), dengan demikian menyebabkan tingkat parasitemia
yang lebih rendah. Kira-kira 43% dari kasus malaria di seluruh dunia
disebabkan oleh Plasmodium vivax. Dari semua pasien yang terinfeksi P.
vivax, 50% gejala berulang dalam beberapa minggu sampai 5 tahun setelah
gejala awal. Ruptur limpa mungkin berhubungan dengan infeksi sekunder P.
vivax, yakni splenomegaly yang merupakan hasil sekuestrasi sel darah merah.
2. Plasmodium malariae. Mempunyai kecenderungan untuk menginfeksi sel-sel
darah merah yang tua. Seseorang yang terinfeksi jenis Plasmodium ini
biasanya tetap asimptomatik untuk jangka waktu yang jauh lebih lama
dibandingkan orang yang terinfeksi P. vivax dan P. ovale. Kekambuhan
biasanya terjadi pada penderita P. malariae dan berhubungan dengan sindrom
nefrotik yang mungkin akibat dari pengendapan kompleks antigen-antibodi di
glomerulus.

4
3. Plasmodium ovale. Predileksinya dalam sel-sel darah merah mirip dengan
Plasmodium vivax (menginfeksi sel-sel darah muda) walaupun gejalanya lebih
ringan karena parasitemianya lebih ringan. P. ovale sering sembuh tanpa
pengobatan. Ada juga seorang penderita terinfeksi lebih dari satu spesies
Plasmodium secara bersamaan.
4. Plasmodium falciparum yang sering menjadi malaria cerebral dengan angka
kematian yang tinggi. Merozoitnya menginfeksi sel darah merah dari segala
usia (baik muda maupun tua) sehingga menyebabkan tingkat parasitemia jauh
lebih tinggi dan cepat (> 5% sel darah merah terinfeksi). Spesies ini menjadi
penyebab 50% malaria di seluruh dunia. Sekuestrasi merupakan sifat khusus
dari P. falciparum. Selama berkembang dalam 48 jam, parasit terebut
melakukan proses adhesi yang menyebabkan sekuestrasi parasit pada
pembuluh darah kecil. Karena hal tersebut, hanya bentuk awal yang dapat
dilihat pada darah tepi sebelum sekuestrasi berlangsung, hal ini merupakan
petunjuk diagnostik penting seorang pasien terinfeksi P. falciparum.
Sekuestrasi parasit dapat menyebabkan perubahan status mental dan bahkan
koma. Selain itu, sitokin dan parasitemia berkontribusi pada organ target.
Gangguan pada organ target dapat berlangsung sangat cepat dan secara khusus
melibatkan sistem saraf pusat, paru-paru, dan ginjal.
Malaria pada manusia hanya dapat ditularkan oleh nyamuk Anopheles
betina. Terdapat lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia, dan hanya sekitar 67
spesies yang terbukti mengandung sporozoit dan dapat menularkan ke manusia.
Di setiap daerah dimana terjadi transmisi malaria biasanya hanya ada satu atau
paling banyak 3 spesies Anopheles yang menjadi vektor penting. Di Indonesia
telah ditemukan 24 spesies.6

Gambar 3. Anopheles Betina (Diambil dari kepustakaan 8)

5
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah
Plasmodium Falciparum dan Plasmodium Vivax atau campuran keduanya,
sedangkan Plasmodium Malariae hanya ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan
Plasmodium ovale ditemukan di Papua. Morfologi spesies Plasmodium dapat
dibedakan dari pemeriksaan apusan darah. P. falciparum dibedakan dari jenis
Plasmodium lainnya oleh tingkat parasitemia dan bentuk gametosit yang
menyerupai pisang.2,6
D. PATOGENESIS PENYAKIT MALARIA
1. Siklus Hidup Aseksual Plasmodium
Sporozoit infeksius dari kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina
masuk ke dalam darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Dalam waktu
tiga puluh menit, parasit tersebut memasuki sel-sel parenkim hati dan dimulai
stadium eksoeritrositik dari daur hidupnya. Di dalam sel hati, parasit tumbuh
menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit (10.000-30.000 merozoit,
tergantung spesiesnya) . Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit
keluar dengan bebas, sebagian di fagosit. Oleh karena prosesnya terjadi
sebelum memasuki eritrosit maka disebut stadium preeritrositik atau
eksoeritrositik yang berlangsung selama 2 minggu. Pada P. Vivax dan P. Ovale,
sebagian tropozoit hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada
yang menjadi bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit dapat tinggal
didalam hati sampai bertahun-tahun. Pada suatu saat bila imunitas tubuh
menurun, akan menjadi aktif sehingga dapat menimbulkan relaps
(kekambuhan).1,9
Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah.
Parasit tampak sebagai kromatin kecil, dikelilingi oleh sitoplasma yang
membesar, bentuk tidak teratur dan mulai membentuk tropozoit, tropozoit
berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon
matang dan membelah banyak menjadi merozoit. Dengan selesainya
pembelahan tersebut sel darah merah pecah yang menyebabkan penderita
demam. Selanjutnya merozoit, pigmen dan sisa sel keluar dan memasuki
plasma darah. Parasit memasuki sel darah merah lainnya untuk mengulangi

6
siklus skizogoni. Beberapa merozoit memasuki eritrosit dan membentuk skizon
dan lainnya membentuk gametosit yaitu bentuk seksual (gametosit jantan dan
betina) setelah melalui 2-3 siklus skizogoni darah.1,2,9

2. Siklus Hidup Seksual Plasmodium


Siklus aseksual terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk anopheles
betina menghisap darah yang mengandung gametosit. Gametosit yang bersama
darah tidak dicerna. Pada makrogamet (jantan) kromatin membagi menjadi 6-8
inti yang bergerak ke pinggir parasit. Dipinggir ini beberapa filamen dibentuk
seperti cambuk dan bergerak aktif disebut mikrogamet. Pembuahan terjadi
karena masuknya mikrogamet kedalam makrogamet untuk membentuk zigot.
Zigot berubah bentuk seperti cacing pendek disebut ookinet yang dapat
menembus lapisan epitel dan membran basal dinding lambung. Ditempat ini
ookinet membesar dan disebut ookista. Didalam ookista dibentuk ribuan
sporozoit dan beberapa sporozoit menembus kelenjar liur nyamuk dan bila
nyamuk menggigit/menusuk manusia maka sporozoit masuk kedalam darah
dan mulailah siklus preeritrositik.1,9

Gambar 4. Siklus Seksual Plasmodium (Diambil dari kepustakaan 8)

P. falciparum dapat menyebabkan malaria serebral, edem paru, anemia


dan gangguan ginjal. Hal tersebut akibat kemampuan menginfeksinya yang
hebat dengan melekat dan bertahan pada dinding sel endotel dan menyebabkan

7
obstruksi vaskular. Ketika sel darah merah terinfeksi P. falciparum, organisme
tersebut menghasilkan protein yang berikatan dengan sel endotelial. Hal
tersebut menyebabkan sel darah merah menyumbat pembuluh darah di
berbagai bagian tubuh menyebabkan kerusakan mikrovaskuler dan
memperberat kerusakan yang ditimbulkan parasit.8

Gambar 5. Siklus hidup Plasmodium (Diambil dari Kepustakaan 2)

E. RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI MALARIA


Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler oleh limfosit T dan
imunitas humoral oleh limfosit B. Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T
helper (CD4+) dan sitotoksik (CD8+), sedangkan berdasarkan sitokin yang
dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1 (menghasilkan IFN dan TNF) dan
subset Th-2 (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL10). Sitokin tersebut berperan
mengaktifkan imunitas humoral. CD4+ berfungsi sebagai regulator membantu
produksi antibodi dan aktivasi fagosit lain sedangkan CD8+ berperan sebagai
efektor langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit
dengan menghasilkan IFN.4,6
Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B
yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini
CD4+. Selanjutnya sel T akan berdiferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2. Sel Th-2
akan menghasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan Ig oleh limfosit B.

8
Ig tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag. Sel Th-1
menghasilkan IFN dan TNF yang mengaktifkan komponen imunitas seluler
seperti makrofag dan monosit serta sel NK.6
F. MALARIA DALAM KEHAMILAN
Di daerah endemik malaria, wanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit
malaria dibandingkan wanita tidak hamil. Kemudahan infeksi itu terjadi karena
kekebalan yang menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan
prevalensi densitas parasit malaria berat. Laporan dari berbagai negara
menunjukan insidens malaria pada wanita hamil umumnya cukup tinggi, dari El
vador 55,75% yaitu 63 kasus dari 113 wanita hamil; dari berbagai tempat
bervariasi antara 2-76%. Adapun kematian ibu hamil akibat malaria di benua
Afrika mencapai puluhan ribu tiap tahunnnya, 8-14 % ibu hamil melahirkan bayi
dengan berat badan yang rendah, selain itu 3-8% mengalami kematian janin dalam
rahim.3,6
Di Indonesia sendiri, angka kesakitan penyakit ini masih cukup tinggi
terutama di daerah Indonesia Timur. Di daerah endemis malaria masih sering
terjadi letusan kejadian luar biasa (KLB) malaria. Di daerah Timika, 20% ibu
hamil yang melahirkan positif malaria. Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 2001, 70 juta penduduk tinggal di daerah endemik malaria
dan 56,3 juta penduduk diantaranya tinggal pada daerah endemik malaria sedang
sampai tinggi dengan 15 juta kasus malaria klinis dan 43 ribu di antaranya
meninggal. Dari data-data yang lain, jumlah penderita malaria cenderung
mengalami kenaikan pertahunnya. Tahun 2006, wabah malaria dinyatakan sebagai
Kejadian Luar Biasa (KLB) di 7 provinsi, 7 kabupaten, 7 kecamatan, dan 10 desa
dengan jumlah penderita mencapai 1.107 orang, 23 di antaranya meninggal.
Tahun berikutnya (2007) KLB terjadi di 8 provinsi, 13 kabupaten, 15 kecamatan,
dan 30 desa, dengan jumlah penderita mencapai 1.256 orang dan mengakibatkan
74 penderitanya meninggal dunia.10
Penyakit malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling
mempengaruhi. Perubahan fisiologis pada kehamilan dan perubahan patologis
akibat malaria mempunyai efek sinergis pada kondisi masing-masing, sehingga
semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil, janin maupun dokter yang

9
menanganinya. Malaria pada kehamilan dapat disebabkan oleh keempat spesies
Plasmodium, tetapi Plasmodium falciparum merupakan parasit yang dominan dan
mempunyai dampak paling berat terhadap morbiditas dan mortalitas ibu dan
janinnya. Pengaruh malaria selama kehamilan membahayakan hasil kehamilan
yang melibatkan ibu dan janin. Gejala dan komplikasi malaria selama kehamilan
berbeda-beda tergantung pada intensitas dan berhubungan langsung dengan
tingkat imunitas ibu hamil.3,4,11

1. Pengaruh pada Ibu


Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan
tergantung pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria
dan paritas dimana gejala malaria akan lebih berat pada primigravida dan
menurun seiring jumlah paritas karena kekebalan pada ibu telah dibentuk dan
meningkat.3
Perempuan dewasa yang belum pernah terkena parasit dalam jumlah
banyak (tinggal di daerah epidemik atau transmisi malaria rendah), seringkali
menjadi sakit bila terinfeksi oleh parasit pertama kali. Ibu hamil yang tinggal
di daerah dengan transmisi rendah mempunyai resiko 2 sampai 3 kali lipat
untuk menjadi sakit yang berat dibandingkan dengan perempuan dewasa
tanpa kehamilan. Kematian ibu hamil biasanya diakibatkan oleh penyakit
malarianya sendiri atau akibat langsung anemia yang berat. Masalah yang
biasa timbul pada kehamilannnya adalah meningkatnya kejadian berat bayi
lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat, infeksi malaria dan
kematian janin.4,6
Pada daerah dengan transmisi malaria sedang sampai tinggi,
kebanyakan ibu hamil telah mempunyai kekebalan yang cukup karena telah
sering mengalami infeksi. Gejala biasanya tidak khas untuk penyakit malaria.
Yang paling sering adalah berupa anemia berat dan ditemukan parasit dalam
plasentanya. Janin biasanya mengalami gangguan pertumbuhan dan selain itu
menimbulkan gangguan pada daya tahan neonatus.4,6

2. Pengaruh pada Janin

10
Seorang ibu yang terinfeksi parasit malaria, parasit tersebut akan
mengikuti peredaran darah sehingga akan ditemukan pada plasenta bagian
maternal. Bila terjadi kerusakan pada plasenta, barulah parasit malaria dapat
menembus plasenta dan masuk ke sirkulasi darah janin sehingga terjadi
malaria kongenital. Beberapa peneliti menduga hal ini terjadi karena adanya
kerusakan mekanik, kerusakan patologi oleh parasit, fragilitas dan
permeabilitas plasenta yang meningkat akibat demam akut dan akibat infeksi
kronis.3
Kekebalan ibu berperan menghambat transmisi parasit ke janin. Oleh
sebab itu pada ibu-ibu yang tidak kebal atau dengan kekebalan rendah terjadi
transmisi malaria intra-uretrin ke janin walaupun mekanisme transplasental
dari parasit ini masih belum diketahui.3
Abortus, kematian janin, bayi lahir mati dan prematuritas dilaporkan
terjadi pada malaria berat dan resiko ini meningkat sampai tujuh kali,
walaupun apa yang menyebabkan terjadinya kelainan tersebut diatas juga
masih belum diketahui. Malaria maternal dapat menyebabkan kematian janin
karena terganggunya transfer makanan secara transplasental, demam yang
tinggi (hiperpireksia) atau hipoksia karena anemia. Kemungkinan lain adalah
Tumor Necrosis Factor (TNF) yang dikeluarkan oleh makrofag bila di
aktivasi oleh antigen merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan
berbagai kelainan pada malaria, antara lain demam, kematian janin dan
abortus.11,12
Umumnya infeksi pada plasenta lebih berat daripada darah tepi.
Kortmann (1972) melaporkan bahwa plasenta dapat mengandung banyak
eritrosit yang terinfeksi (sampai 65%), meskipun pada darah tepi tidak
ditemukan parasit. Hal ini mungkin terjadi karena plasenta merupakan tempat
parasit berkembang biak, seperti pada kapiler alat dalam lainnya.11,12,13
Pada semua daerah, malaria maternal dapat dihubungkan dengan
berkurangnya berat badan lahir, terutama pada kelahiran anak pertama. Hal
ini mungkin akibat gangguan pertumbuhan intra-uretrin, persalinan prematur
atau keduanya akibat berkurangnya transfer makanan dan oksigen dari ibu ke

11
janin. Namun patofisiologi pertumbuhan lambat intra-uretrin pada malaria
adalah multifaktor.11,13
Insidens malaria plasenta dipengaruhi oleh paritas ibu yaitu lebih
tinggi pada primipara (persalinan pertama) dan makin rendah sesuai dengan
peningkatan paritas ibu. Demikain pula berat badan lahir dipengaruhi oleh
paritas ibu, ini dapat diterangkan bahwa pada multigravida kekebalan pada
ibu telah dibentuk dan meningkat.5,13

G. IMUNITAS WANITA HAMIL YANG TERINFEKSI MALARIA


Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta
sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut mengalami
supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistem imun baik humoral
maupun seluler selama kehamilan sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai
"benda asing" di dalam tubuh ibu. Supresi sistem imun selama kehamilan
berhubungan dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormon progesteron yang
meningkat selama kehamilan berefek menghambat aktifasi limfosit T terhadap
stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam
menghambat respon imun.6
H. HISTOPATOLOGI
Malaria pada kehamilan dipastikan dengan ditemukannya parasit malaria
di dalam:4
- Darah maternal
- Darah plasenta/melalui biopsi.

Pada wanita hamil yang terinfeksi malaria, eritrosit berparasit dijumpai di


plasenta sisi maternal dari sirkulasi tetapi tidak di sisi fetal, kecuali pada penyakit
plasenta. Pada infeksi aktif, plasenta terlihat hitam atau abu-abu dan sinusoid
padat dengan eritrosit terinfeksi. Secara histologis ditandai oleh sel eritrosit
berparasit dan pigmen malaria dalam ruang intervilli plasenta, monosit
mengandung pigmen, infiltrasi mononuklear, simpul sinsitial (syncitial knotting),
nekrosis fibrinoid, kerusakan trofoblas dan penebalan membrana basalis
trofoblas.6

12
Gambar 6. Histologi Plasenta Penderita Malaria yang Menunjukkan Bentuk Cincin-cincin
yang Berimpah/Parasitemia Plasmodium falciparum (Diambil dari kepustakaan 12)

Prevalensi malaria plasenta lebih tinggi pada primigravida dibandingkan


multigravida. Penyebaran malaria ke janin diperkirakan dicegah karena adanya
adhesi par asit ke kondroitin sulfat A yang ada dalam plasenta. Oleh karena itu,
jumlah parasit dalam plasenta jumlahnya lebih besar ditemukan dibandingan
dalam darah perifer. Namun sawar plasenta tidak mampu mencegah transmisi
malaria sepenuhnya, terutama jika terdapat perlukaan plasenta yang dicetuskan
selama persalinan atau telah ada infeksi lain sebelumnya.12
Bila terjadi nekrosis sinsitiotrofoblas, kehilangan mikrovilli dan penebalan
membrana basalis trofoblas akan menyebabkan aliran darah ke janin berkurang
dan akan terjadi gangguan nutrisi pada janin. Lesi bermakna yang ditemukan
adalah penebalan membrana basalis trofoblas, pengurusan mikrovilli fokal
menahun. Bila villi plasenta dan sinus venosum mengalami kongesti dan terisi
eritrosit berparasit dan makrofag, maka aliran darah plasenta akan berkurang dan
ini dapat menyebabkan abortus, lahir prematur, lahir mati ataupun berat badan
lahir rendah.6

I. GAMBARAN KLINIS
Gejala utama infeksi malaria adalah demam yang diduga berhubungan
dengan proses skizogoni (pecahnya merozoit/skizon) dan terbentuknya sitokin dan
atau toksin lainnya. Pada daerah hiperendemik sering ditemukan penderita dengan
parasitemia tanpa gejala demam. Gambaran karakteristik dari malaria ialah
demam periodik, anemi dan splenomegali. Sering terdapat gejala prodromal
seperti malaise, sakit kepala, nyeri pada tulang/otot, anoreksi dan diare ringan.
Namun sebenarnya efek klinik malaria pada ibu hamil lebih tergantung pada

13
tingkat kekebalan ibu hamil terhadap penyakit itu sedangkan kekebalan terhadap
malaria lebih banyak ditentukan dari tingkat transmisi malaria tempat wanita
hamil tinggal/berasal, yang dibagi menjadi 2 golongan besar:6
1. Stable transmission/transmisi stabil, atau endemik (contoh: Afrika Sub-
Sahara). Orang-orang di daerah ini terus-menerus terpapar malaria karena
sering menerima gigitan nyamuk infektif setiap bulannya. Kekebalan terhadap
malaria terbentuk secara signifikan.
2. Unstable transmission/transmisi tidak stabil, epidemik atau non-endemik
(contoh: Asia Tenggara dan Amerika Selatan). Orang-orang di daerah ini
jarang terpapar malaria dan hanya menerima rata-rata < 1 gigitan nyamuk
infektif/tahun.
Wanita hamil (semi-imun) di daerah transmisi stabil/endemik tinggi akan
mengalami peningkatan parasite rate (pada primigravida di Afrika parasite rate
pada wanita hamil meningkat 3040% dibandingkan wanita tidak hamil),
peningkatan kepadatan (densitas) parasitemi perifer, serta menyebabkan efek
klinis lebih sedikit, kecuali efek anemi maternal sebagai komplikasi utama yang
sering terjadi pada primigravida. Anemia tersebut dapat memburuk sehingga
menyebabkan akibat serius bagi ibu dan janin.6
Sebaliknya di daerah tidak stabil/non-endemik/endemik rendah yang
sebagian besar populasinya merupakan orang-orang non-imun terhadap malaria,
kehamilan akan meningkatkan risiko penyakit maternal berat, kematian janin,
kelahiran prematur dan kematian perinatal. Ibu hamil yang menderita malaria
berat di daerah ini memiliki risiko fatal lebih dari 10 kali dibandingkan ibu tidak
hamil yang menderita malaria berat di daerah yang sama.6

J. DIAGNOSIS MALARIA PADA KEHAMILAN


Gambaran klinik malaria pada wanita non-imun (di daerah non-endemik)
bervariasi dari Malaria ringan tanpa komplikasi (uncomplicated malaria) dengan
demam tinggi, sampai Malaria berat (complicated malaria) dengan risiko tinggi
pada ibu dan janin (maternal mortality rate 20-50 % dan sering fatal bagi janin).
Sedangkan gambaran klinik malaria pada wanita di daerah endemik sering tidak

14
jelas, mereka biasanya memiliki kekebalan yang semi-imun, sehingga tidak
menimbulkan gejala, misal demam dan tidak dapat didiagnosis klinik.6
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis
1. Malaria klinis ringan/tanpa komplikasi
Pada anamnesis:1,4
- Harus dicurigai malaria pada seseorang yang berasal dari daerah endemis
malaria dengan demam akut dalam segala bentuk, dengan/tanpa gejala-
gejala lain.
- Adanya riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria dalam 2 minggu
terakhir.
- Riwayat tinggal di daerah malaria .
- Riwayat pernah mendapat pengobatan malaria.
Pada pemeriksaan fisik:6
- Suhu > 37,5oC
- Dapat ditemukan pembesaran limpa
- Dapat ditemukan anemi
- Gejala klasik malaria khas terdiri dari 3 stadium yang berurutan, yaitu
menggigil (15-60 menit), demam (2-6 jam), berkeringat (2-4 jam).
Di daerah endemis malaria, pada penderita yang telah mempunyai
imunitas terhadap malaria, gejala klasik di atas tidak timbul berurutan,
bahkan tidak semua gejala tersebut dapat ditemukan. Selain gejala klasik di
atas, dapat juga disertai gejala lain/gejala khas setempat, seperti lemas, sakit
kepala, mialgia, sakit perut, mual/muntah, dan diare.1,4,6
2. Malaria klinis berat/dengan komplikasi
Malaria berat/severe malaria/complicated malaria adalah bentuk
malaria falsiparum serius dan berbahaya, yang memerlukan penanganan
segera dan intensif. Oleh karena itu, pengenalan tanda-tanda dan gejala-
gejala malaria berat sangat penting bagi unit pelayanan kesehatan untuk
menurunkan mortalitas malaria. Beberapa penyakit penting yang mirip
dengan malaria berat adalah meningitis, ensefalitis, septikemi, demam
tifoid, infeksi viral, dll. Hal ini menyebabkan pemeriksaan laboratorium
sangat dibutuhkan untuk menambah kekuatan diagnosis. WHO
mendefinisikan Malaria berat sebagai ditemukannya P. falciparum bentuk

15
aseksual dengan satu atau beberapa komplikasi/manifestasi klinik berat,
yaitu:4,6
- Gangguan kesadaran sampai koma (malaria serebral)
- Anemi berat (Hb < 5 g%, Ht < 15 %)
- Hipoglikemi (kadar gula darah < 40 mg%)
- Udem paru/ARDS
- Jaundice (bilirubin > 3 mg%)
- Kejang umum berulang ( > 3 kali/24 jam)
- Asidosis metabolik
- Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan asam-basa.
- Perdarahan abnormal dan gangguan pembekuan darah.
- Hemoglobinuri
- Kelemahan yang sangat (severe prostration)
- Hiperparasitemi
- Hiperpireksi (suhu > 40oC)
Malaria falciparum tanpa komplikasi (uncomplicated) dapat menjadi
berat(complicated) jika tidak diobati secara dini dan semestinya. Semua
wanita hamil yang menderita malaria harus diskrining HIV sebagai
koinfeksi malaria dan karena HIV meningkatkan kematian bayi secara
signifikan.4,12

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan mikroskopik masih merupakan yang terpenting pada
penyakit malaria karena selain dapat mengidentifikasi adanya parasit, juga dapat
mengidentifikasi jenis Plasmodium secara tepat sekaligus juga dapat menghitung
jumlah parasit sehingga derajat parasitemi dapat diketahui. Pada umumnya apusan
darah tepi dan tebal harus dilakukan. Jika apusan darah awal negatif, spesimen
baru harus diperiksa dalam interval 6 jam. Diantara pasien malaria, 57%
terinfeksi lebih dari satu spesies Plasmodium.1,2,9
Pemeriksaan dengan mikroskop:4,6
- Pewarnaan Giemsa pada sediaan apusan darah untuk melihat parasit
- Pewarnaan Acridin Orange untuk melihat eritrosit yang terinfeksi
- Pemeriksaan Fluoresensi Quantitative Buffy Coat (QBC)
Pemeriksaan apusan darah tebal dan tipis dipuskesmas/lapangan/rumah
sakit digunakan untuk menentukan nilai ambang parasit dan mengetahui
kepadatan parasit (terutama penderita rawat inap) pada sediaan darah. Identifikasi

16
pemeriksaan ini sangat bergantung pada pengalaman ahli mikroskopi yang
mengetahui morfologi parasit.1,9

Gambar 7. Merozoit pada Darah Perifer. Beberapa merozoit telah berpenetrasi ke


membran eritrosit dan memasuki sel (Diambil dari kepustakaan 2)

Gambar 8. Bentuk Trofozoit (kiri), Skizon Matur dalam Eritrosit (kanan)


(Diambil dari kepustakaan 2)

Metode diagnostik yang lain adalah:6


- Deteksi antigen HRP II dari parasit dengan metode Dipstick test
- Tes radio immunologik (RIA)
- Tes immuno enzimatik (ELISA)
Para wanita hamil yang tinggal di daerah yang banyak terdapat malaria
berada dalam risiko tinggi dan risiko tersebut bahkan semakin besar dalam dua
bulan setelah mereka melahirkan. Di masa lalu, kita sering menduga bahwa
peningkatan kepekaan terhadap malaria pada para wanita hamil akan berakhir
seiring dengan terjadinya kelahiran. Ternyata dibandingkan dengan setahun
sebelum mereka hamil, para wanita memiliki kemungkinan sekitar 4 kali lebih
besar untuk terjangkit malaria dalam 60 hari setelah melahirkan.6

17
K. KOMPLIKASI MALARIA DALAM KEHAMILAN
1. Anemia
Menurut defini WHO, anemia dalam kehamilan adalah bila kadar
hemoglobin (Hb) < 11 g/dL. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan
kadar Hb dalam darah hubungannya dengan parasetimia, terbesar terjadi pada
primigravida dan berkurang sesuai dengan peningkatan paritas. 3 Malaria dapat
menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal ini disebabkan:1,2
1. Hemolisis eritrosit yang terinfeksi parasit
2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
3. Penekanan hematopoeisis
4. Peningkatan klirens sel darah merah oleh limpa
5. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat yang mampu
memperberat anemia.
Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara
usia kehamilan 16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat
memperberat anemia ini. Brabin (1990) menyatakan bahwa makin besar ukuran
limpa makin rendah nilai Hb-nya, dan anemia yang terjadi pada trimester I
kehamilan sangat menentukan apakah wanita tersebut akan melahirkan bayi
dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan pertumbuhan maksimal
janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan. Seiring dengan
berlangsungnya infeksi, parasit tersebut dapat menyebabkan trombositopenia.
Laporan WHO menyatakan bahwa anemia berpengaruh terhadap morbiditas ibu
hamil dan secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian ibu dengan
meningkatnya angka kematian kasus yang disebabkan oleh pendarahan setelah
persalinan.1,2,3
Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas
maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pasca
persalinan secara tidak langsung akibat perubahan hemodinamik. Transfusi yang
terlalu cepat, khususnya whole blood dapat menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler dan edema paru berat.4,6

18
2. Hipoglikemia
Mekanisme terjadinya hipoglikemi sangat kompleks dan belum diketahui
secara pasti. Komplikasi hipoglikemia lebih sering ditemukan pada wanita hamil
daripada yang tidak hamil. Diduga pada wanita hamil terjadi perubahan
metabolisme karbohidrat yang cenderung menyebabkan terjadinya hipoglikemia,
terutama trimester akhir kehamilan. Selain itu, parasit memperoleh energinya
hanya dari glukosa dan organisme tersebut memetabolisme 7075 kali lebih
cepat sehingga menyebabkan hipoglikemia dan asidosis laktat serta pada wanita
hamil terjadi peningkatan fungsi sel B pankreas terhadap stimulus sekresi
(misalnya guinine) sehingga pembentukan insulin bertambah.2,3
Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap
asimtomatik dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia juga
menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dll.
Akan tetapi sebagian pasien dapat menunjukkan tingkah laku yang abnormal,
kejang, penurunan kesadaran, pingsan, bahkan sampai koma yang hampir
menyerupai gejala malaria serebral. Bila sebelumnya penderita sudah dalam
keadaan koma karena malaria serebral maka komanya akan lebih dalam lagi.
Penderita ini bila diinjeksikan glukosa atau diinfus dengan dekstrosa maka
kesadarannya akan pulih kembali, tetapi karena hiperinsulinemi, keadaan
hipoglikemi dapat kambuh dalam beberapa hari. Oleh karena itu semua wanita
hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya yang mendapat terapi
quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam sekali dan sebaiknya
monitor kadar gula darah harus konstan dilakukan.1,3
Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis
dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat.
Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-
tanda yang spesifik.4,6
3. Edema paru akut
Mekanisme terjadinya edema paru masih belum diketahui secara pasti,
kemungkinan terjadi karena autotransfusi darah post-partum yang penuh dengan
sel darah merah yang terinsfeksi. Keadaan edema paru akut bisa ditemukan saat

19
pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam perawatan.
Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3 dan setelah persalinan.1,3
Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan
adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat
meningkatkan risiko mortalitas. Gejalanya mula-mula frekuensi pernafasan
meningkat, kemudian terjadi dispneu dan penderita dapat meninggal dalam waktu
beberapa jam.3
4. Imunosupresi
Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang
terjadi menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria
sendiri dapat menekan respon imun. Perubahan hormonal selama kehamilan
menurunkan sintesis imunoglobulin.Penurunan fungsi sistem retikuloendotelial
adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan hilangnya
imunitas didapat terhadap malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi
malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi.
Pasien juga lebih sering mengalami demam paroksismal dan relaps.1,13
Infeksi sekunder (infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan
pneumonia algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan
karena imunosupresi ini.1,13
5. Gagal Ginjal
Hemoglobinuri (blackwater fever) merupakan kondisi urin yang
berwarna gelap akibat hemolisis sel darah merah dan parasitemia yang hebat dan
sering merupakan tanda gagal ginjal.2

6. Risiko Terhadap Janin


Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam,
insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain dapat
menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P. falciparum
dapat menimbulkan masalah bagi janin, akan tetapi jenis infeksi P. falciparum
lebih serius (dilaporkan insidensinya mortalitasnya l5,7% vs 33%). Akibatnya
dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim,

20
insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan
lahir rendah dan gawat janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental
ke janin dapat menyebabkan malaria kongenital.1,14
7. Malaria kongenital
Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5%
kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta
dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun
dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar
quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari kadarnya dalam plasma ibu
sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin.
Keempat spesies plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang
lebih sering adalah P. malariae. Neonatus dapat menunjukan adanya demam,
iritabilitas, masalah minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis
dapat ditegakkan dengan melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau
tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu pascanatal. Diferensial
diagnosisnya adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella,
Toksoplasmosis dan sifilis.1

L. PENANGANAN MALARIA SELAMA KEHAMILAN


1. Pencegahan Transmisi
a) Kemoprofilaksis
Kesadaran akan resiko menderita malaria pada ibu hamil sangat
penting. WHO dan CDC merekomendasikan bahwa wanita hamil jangan
bepergian ke wilayah endemik malaria. Kemoprofilaksis dapat mengurani
anemia pada ibu dan menambah berat badan lahir terutama pada kelahiran
pertama. Resiko malaria dan konsekuensi bahayanya tidak meningkat
selama kehamilan kedua pada wanita yang menerima kemoprofilaksis
selama kehamilan pertama. Pemberian obat profilaksis selama kehamilan
dianjurkan untuk megurangi resiko transmisi diantaranya dengan
pemberian klorokuin basa 5 mg/kgBB (2 tablet) sekali seminggu, tetapi
untuk daerah yang resisten, klorokuin tidak dianjurkan pada kehamilan
dini, namun dapat diganti dengan meflokuin. Obat lain yang sering

21
digunakan untuk profilaksis adalah kombinasi sulfadoksin-pirimetamin
dengan dosis digunakan dosis 1 tablet perminggu, tetapi tidak dianjurkan
untuk trimester pertama karena pirimetamin dapat menyebabkan
teratogenik.1,3,6,12
Pemberian profilaksis pada ibu hamil di atas 20 minggu dapat
megurangi malaria falciparum sampai 85% dan malaria vivax sampai
100%. Profilaksis klorokuin menurunkan infeksi plasenta yang
asimptomatik menjadi 4% bila dibandingkan tanpa profilaksis sebanyak
19%.1,5,13
b) Mengurangi Kontak dengan Vektor
Pemakaian kelambu, insektisida, atau keduanya dinilai efektif
untuk menurunkan jumlah kasus malaria pada ibu hamil dan neonatus
khususnya densitas tinggi, insidens klinis dan mortalitas malaria.
Penelitian di Afrika menunjukkan bahwa pemakaian kelambu setiap
malam menurunkan kejadian berat badan lahir rendah atau bayi prematur
sebanyak 25%. Adapun pada wanita hamil di Thailand dilaporkan bahwa
pemakaian kelambu efektif dalam mengurangi anemia maternal dan
parasitemia densitas tinggi. Kelambu sangat disarankan terutama pada
kehamilan dini dan bila memungkinkan selama kehamilan.1,3,5,13
c) Vaksinasi
Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen
protektif pada ketiga permukaan stadium parasit malaria yang terdiri dari
sporozoit, merozoit, dan gametosit. Sampai saat ini belum ditemukan
vaksin yang aman dan efektif untuk penanggulangan malaria.
Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru
muncul dan perlu pertimbangan yang kompleks. Tiga hal yang perlu
dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah malaria
selama kehamilan, yaitu:3
a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan
b. Tahap siklus hidup parasit
c. Waktu pemberian vaksin

22
2. Terapi Malaria
Pemberian obat anti malaria tergantung pada diagnosis dini dan
pengobatan klinis segera. Kecuali pada wanita yang tidak kebal, efektifitas
kemoterapi pada wanita hamil tampa kurang memuaskan arena pada wanita
dengan imun infeksi berlangsung tanpa gejala. Pada wanita dengan kekebalan
rendah, walaupun dilakukan diagnosis dini dan pengobatan segera ternyata
belum dapat mencegah perkembanagan anemia pada ibu dan juga
berkurangnya berat badan lahir bayi. Obat-obat antimalaria yang sering
digunakan tidak merupakan kontraindikasi bagi perempuan hamil. Beberpa
obat anti malaria yang lebih baru memiliki aktivitas antifolat sehingga secara
teoritis dapat berperan menyebabkan anemia megaloblastik dan kecacatan
pada kehamilan dini. Akan tetapi, perlu dipikirkan pada daerah dengan
resisten klorokuin, kesehatan ibu adalah yang utama sehingga pemakaian obat
yang efektif membunuh parasit tetap dianjurkan bila kondisi ibu
memburuk.1,3,513
Antimalaria dalam kehamilan:1,5,13,14
Semua trimester : quinine: Artesunate/artemether/arteether
Trimester dua : mefloquine; pyrimethamine/sulfadoxine
Trimester tiga : sama dengan trimester 2
Kontraindikasi : primaquine; tetracycline; doxycycline; halofantrine
Obat anti malaria pilihan untuk malaria berat adalah:14
Lini pertama : artemisisn parenteral (+ amidokuin + primakuin)
Lini kedua : kina parenteral ( + primakuin + doksisiklin/tetrasiklin)

Lini Pertama15
a) Artesunat injeksi untuk penggunanan di rumah sakit atau puskesmas
perawatan. Sediaan 1 ampul berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dalam
0,6 ml natrium bikarbonat 5% diencerkan dalam 3-5 ml dextrose 5%.
Pemberian secara bolus intravena selama 2 menit. Loading dose 2,4 mg/kgBB

23
I.V setiap hari sampai hari ke 7. Bila penderita sudah dapat minum obat
diganti dengan artesunat oral.
b) Artemeter untuk penggunaan lapangan atau puskesmas.
Sediaan : 1 ampul berisi 80 mg artemeter. Pemberian secara
intramuskularselama 5 hari. Dosis dewasa 160 mg (2ampul) I.M pada hari ke-
1 diikuti 80 mg (1 ampul) I.M pada hari ke-2 sampai ke-5.

Lini Kedua15
a) Kuinin (Kina) per infus (drip) : kina 25% dosis 10 mg/kgBB atau 1 ampul
(2ml =500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose dalam NaCL dalam 8 jam,
diulang setiap 8 jam dengan dosis yang sama samapi penderita bisa minum
obat atau dengan dosis yang sama diberikan selama 4 jam kemudian tanpa
obat selam 4 jam. Demikian 3 kali dalam 24 jam, sampai penderita dapat
minum obat.
b) Obat kina maksimum diberikan per infus selama 3 hari. Kalau belum bisa
minum dilanjutkan personde (NGT) sampai 7 hari. Dosis maksimum per hari
2.000 mg. Bila sudah dapat minum dilanjutkan dengan kina tablet dengan
dosis 10 mg/kgBB/kali, 3 kali sehari.

3. Penanganan Komplikasi Malaria


a) Edem paru akut1,15
Pemberian cairan yang dimonitor dengan ketat; tidur dengan posisi
setengah duduk, pemberian oksigen, diuretik dan pemasangan ventilator
bila diperlukan.
b) Hipoglikemia1,15
Dekstrosa 25-50%, 50-100 cc i.v., dilanjutkan infus dekstrosa 10%. Bila
sebabnya adalah kelebihan cairan, dapat diberikan glukagon 0,5-l mg
intramuskuler. Glukosa darah harus dimonitor setiap 4-6 jam untuk
mencegah rekurensi hipoglikemia.
c) Anemia1,15
Harus di berikan transfusi bila kadar hemoglobin <5 g%. Anemia yang
signifikan (Hb <7-8gr%) harus ditangani dengan transfusi darah.

24
Sebaiknya diberikan packed red cells daripada whole blood untuk
mengurangi tambahan volume intravaskuler.
d) Gagal Ginjal1,15
Gagal ginjal dapat terjadi pre prenal karena dehidrasi yang tidak terdeteksi
atau renal karena parasitemia berat. Penanganannya meliputi pemberian
cairan yang seksama, diuretik dan dialisa bila diperlukan.
e) Syok septikemia1,15
Infeksi bakterial sekunder seperti infeksi saluran kemih, pneumonia dll,
sering menyertai kehamilan dengan malaria. Sebagian dari pasien-pasien
tersebut dapat mengalami syok septikemia, yang disebut algid malaria.
Penanganannya adalah dengan pemberian cephalosporin generasi ketiga,
pemberian cairan, monitoring tanda-tanda vital dan intake-output.
f) Transfusi ganti1,15
Transfusi ganti diindikasikan pada kasus malaria falciparum berat untuk
menurunkan jumlah parasit. Darah pasien dikeluarkan dan diganti dengan
packed sel. Tindakan ini terutama bermanfaat pada kasus parasitemia
yang sangat berat (membantu membersihkan) dan impending odema paru
(membantu menurunkan jumlah cairan).

4. Penanganan saat persalinan


Anemia, hipoglikemia, edema paru dan infeksi sekunder akibat
malaria pada kehamilan aterm dapat menimbulkan masalah baik bagi ibu
maupun janin. Malaria falciparum berat pada kehamilan aterm menimbulkan
risiko mortalitas yang tinggi. Distres maternal dan fetal dapat terjadi tanpa
terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring yang baik, bahkan
untuk wanita hamil dengan malaria berat sebaiknya dirawat di unit perawatan
intensif. 1,15
Malaria falciparum merangsang kontraksi uterus yang menyebabkan
persalinan prematur. Frekuensi dan intensitas kontraksi tampaknya
berhubungan dengan tingginya demam. Gawat janin sering terjadi dan
seringkali tidak terdeteksi. Oleh karena itu perlu dilakukan monitoring

25
terhadap kontraksi uterus dan denyut jantung janin untuk menilai adanya
ancaman persalinan prematur dan takikardia, serta bradikardia atau deselerasi
lambat pada janin yang berhubungan dengan kontraksi uterus karena hal ini
menunjukkan adanya gawat janin. Harus diupayakan segala cara untuk
menurunkan suhu tubuh dengancepat, baik dengan kompres, pemberian
antipiretika seperti parasetamol, dll. 1,14
Pemberian cairan denagn seksama juga merupakan hal penting. Hal
ini disebabkan baik dehidrasi maupun overhidrasi harus dicegah karena kedua
keadaan tadi dapat membahayakan baik bagi ibu maupun janin. Pada kasus
parasitemia berat, harus dipertimbangkan tindakan transfusi ganti. 1,15
Bila diperlukan, dapat dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan. Kala II harus dipercepat dengan persalinan buatan bila terdapat
indikasi pada ibu atau janin. Seksio sesarea ditentukan berdasarkan indikasi
obstetrik. 1,15

26
REFERENSI

1. Sulaeman J, Pribadi A. Demam Dalam Kehamilan dan Persalinan: Malaria


Dalam Kehamilan. Dalam: Ilmu Kandungan. Edisi IV. Jakarta: PT. Bina
Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p. 634-642.

2. Bruce LJ, Chwatt. Malaria and pregnancy. England: British Medical Journal;
1983. Volume 286. p.1457-458.

3. Chahaya I. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan. Available from


www.Usudigitallibrary.pdf. Last update in 2003. Accesed on 16 March, 2013.

4. Harijanto, N Paul. Malaria. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III.
Edisi IV. Jakarta: 2007. p. 1732-44.

5. Rijken MJ Rijken JA Papageorghiu AT etc. Malaria in pregnancy: the


difficulities in measuring birthweight. England: BJOG An International
Journal of Obstetric and Gynecology; 2011. p.671-77.

6. Suparman E., Suryawan A. Malaria pada Kehamilan. [online]. 2004 [Cited


2011 December 1]. Available from:
http://www.majour.maranatha.edu/index.php/pdf. Accesed on April12, 2013.

7. Wolf JE. Treatment and Prevention of Malaria : An Update . [online]. 2002


[Cited 2012 November 20]. Available from: http://www.turner-
white.com/pdf. Accesed on March 23, 2013

8. Knirsch DGH. The Malaria. In: Parasitic Disease. 5th Ed. USA: Apple Trees
Productions L.L.C.NY; 2007. p:5068.

9. Perez EV, Jorge. Malaria . [online]. 2012 [Cited 2012 November 20].
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/221134-overview.
Accesed on March 23, 2013.

10. Marwiyah T. Kehamilan Patologi. Available from:


http://dosenkebidanan.blogspot.com. Last update on November 26, 2012.
Accesed on April 18, 2013.

11. Ukaga CN, Nowke BEB, et al. Placental malaria in Owerri, Imo State, south-
eastern Nigeria. [online]. 2007 [Cited 2012 November 20]. Available from:
http://www.bioline.org.br. Accesed on March 23, 2013.

12. Krishnan S, Cheripalli P, Tangella K. Placental Malaria . [online]. 2009 [Cited


2012 November 20]. Available from: http://www.turner-white.com. Accesed
on March 23, 2013.

27
13. Bardaji A, Sigauque B, Sanz S, et al. Impact of Malaria at the End of
Pregnancy on Infant Mortality and Morbidity. USA Journal of Infectious
Disease; 2011. p.691-99. Available from:
majour.maranatha.edu/index.php/jurnal.../pdf. Accesed on March 23, 2013.
6th
14. Hanretty KP. Obstetric Illustrated. Ed. British: Crurchill Livingstone; 2003.
p.152-55.

15. Surya I.G.P .Penyakit Infeksi : Infeksi Malaria. Ilmu Kandungan Edisi IV.
Jakarta : P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo; 2012. p912-17.

28

Anda mungkin juga menyukai