Anda di halaman 1dari 34

LIBRARY MANAGER

DATE SIGNATURE

DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK REFERAT


& MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2017
UNIVERSITAS HASANUDDIN

DISASTER VICTIM IDENTIFICATION

Oleh:
AINI DARAFIYAH NUGRAH H.J C 111 12 295
ARDIANTO ARSADI ALI C 111 12 303
INDAH NUR RACHMAH C 111 12 319

Pembimbing:
dr. Olfi Susan Tumbol

Supervisor:
drg. Peter Sahelangi, DFM Sp.OF

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
LEMBAR PENGESAHAN

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama/NIM : Aini Darafiyah Nugrah Hindar Jaya C 111 12 295


Ardianto Arsadi Ali C 111 12 303
Indah Nur Rachmah C 111 12 319

Judul Referat : Disaster Victim Identification

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka Kepaniteraan Klinik di Departemen


Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Universitas Hasanuddin.

Makassar, Mei 2017

Mengetahui,

Supervisor, Pembimbing,

drg. Peter Sahelangi, DFM Sp.OF dr. Olfi Susan Tumbol

ii
DISCLAIMER

Referat ini kami buat dengan mengambil dan menambahkan pembahasan


dari referat yang dibuat oleh:

1. Judul : Disaster Victim Identification


Penyusun : Akmal Hakim Abu Wahi (C11110881)
Hanafi Idris (C11108321)
Petra Leatemia (C11104230)
Supervisor : dr. Trully D Dasril, Sp.PA (K), DFM, Sp.F
Tahun : Mei 2015

2. Judul : Disaster Victim Identification


Penyusun : Reza Fauzi Mandala (C11111269)
Muhammad Hakimi Bin Kasuahdi (C11111822)
Nurul Insyira Binti Ahmad Din (C11111869)
Supervisor : drg. Peter Sahelangi, DFM Sp.OF
Tahun : September 2016

iii
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ......................................................................................... ii


Lembar Disclaimer........................................................................................... iii
Daftar Isi........................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
II. DASAR DISASTER VICTIM IDENTIFICATION ...................................... 3
III. PROSES DISASTER VICTIM IDENTIFICATION .................................... 4
III. 1 Fase TKP/Scene ................................................................................. 6
III. 2 Fase Pengumpulan Data Jenazah Post Mortem ................................. 9
III. 3 Fase Pengumpulan Data Jenazah Ante Mortem................................. 11
III. 4 Fase Analisa/Reconciliation ............................................................... 12
IV. METODE IDENTIFIKASI........................................................................ 12
IV. 1 Identifikasi Sekunder ......................................................................... 15
IV. 2 Identifikasi Primer ............................................................................. 16
V. PENUTUP ................................................................................................... 25
Daftar Pustaka .................................................................................................. 27
Lampiran .......................................................................................................... 31

iv
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION

I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap
bencana. Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa
bumi, gunung meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.1 Bencana-
bencana ini dipengaruhi oleh kondisi negara Indonesia dan masyarakat yang ada
didalamnya. Indonesia terletak pada tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Australia,
lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik sehingga di Indonesia lebih rawan terjadi
gempa bumi serta menjadikan Indonesia sebagai Ring of Fire dengan aktivitas
vulkanik yang tinggi.2,3 Bencana banjir yang sering terjadi di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh keadaan masyarakat, perubahan iklim, dan perkembangan sosial
ekonomi di Indonesia.4
Bencana yang terjadi selalu menimbulkan kondisi gawat darurat.5 Kondisi ini
dapat berakhir pada terjadinya krisis kesehatan di masyarakat yang terkena bencana.
Data yang diperoleh dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan
bahwa ada 781 korban meninggal, 2.578 korban luka berat, 152.508 korban luka
ringan, dan 357.602 pengungsi yang timbul dari total 435 bencana yang terjadi di
Indonesia.6Bencana, menurut UU No. 24 tahun 2007, dapat didefinisikan sebagai
suatu peristiwa yang mengganggu dan mengancam kehidupan masyarakat yang dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.7 International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)mendefinisikan bencana
sebagai suatu peristiwa yang terjadi tiba tiba yang mengganggu suatu komunitas
atau masyarakat yang dapat menimbulkan korban jiwa dan kerugian material dan
lingkungan yang melebihi kapasitas masyarakat itu untuk memperbaiki kerusakan
yang ditimbulkan dengan sumber daya yang ada.8 Sementara Koenig menjelaskan
bahwa bencana merupakan kondisi gawat darurat yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat dan harta bendanya serta melebihi kemampuan masyarakat untuk

1
menangani kondisi gawat darurat tersebut secara efektif.9 Secara singkat, bencana
adalah suatu peristiwa yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka
atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. Berikut data beberapa bencana yang
terjadi di Indonesia selama tahun 2002 sampai tahun 2014 awal.
Tabel 1. Data Bencana di Indonesia tahun 20022014.10
Jumlah Korban
Jenis Bencana Frekuensi Bencana
Meninggal
Banjir 4886 2678
Tanah longsor 2027 1849
Banjir disertai tanah longsor 373 1533
Kekeringan 1692 2
Puting beliung 2720 256
Gelombang pasang 234 73
Gempa bumi 145 8396
Tsunami 1 1
Gempa bumi disertai tsunami 4 174112
Gunung meletus 153 405
Kebakaran hutan 179 10
Kejadian luar biasa 94 919
Aksi teror 28 324
Hama tanaman 4 0
Kecelakaan industri 29 107
Kecelakaan transportasi 222 3716
Konflik sosial 100 2312

Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para
medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang
perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.11,12 Undang-

2
undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada
pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang
tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar
dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan
keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang
seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila
pelaku telah meninggal dunia.11

II. DASAR DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah atau definisi yang
diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat
bencana massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan
ilmiah serta mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari
dokter spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari
tulang), kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.12,13,14
DVI diperlukan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia, sebagai bagian dari
proses penyidikan, jika identifikasi visual diragukan, sebagai penunjang kepentingan
hukum (asuransi, warisan, status perkawinan) dan dapat dipertanggungjawabkan.
Prosedur DVI diterapkan jika terjadi bencana yang menyebabkan korban massal,
seperti kecelakaan bus dan pesawat, gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan
kapal laut dan aksi terorisme.Dapat diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya
dalam pencarian korban.Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan
membandingkan data ante-mortem dan post-mortem, semakin banyak yang cocok
maka akan semakin baik. 13
Penerapan prosedur DVI Interpol di Indonesia diawali dengan dilakukannya
identifikasi korban bencana massal akibat Bom Bali yang terjadi pada bulan Oktober
2002 dimana terdapat korban meninggal sebanyak 202 orang. Pada proses identifikasi
yang berjalan kurang lebih 3 bulan tersebut berhasil diidentifikasi sebesar hampir

3
99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. 13
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.Pol
Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal.15
Rujukan Hukum :16
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003

III. PROSES DISASTER VICTIM IDENTIFICATION


Penanggung jawab DVI adalah Kepolisian yang dalam pelaksanaan operasinya
dapat bekerjasama dengan berbagai pihak lintas institusi, sektoral dan fungsi. Ketua
tim dan koordinator fase berasal pihak kepolisian. Pada kasus yang lebih
mementingkan aspek penyidikan, kecepatan dan hot issues seperti pada man
madedisaster, ketua tim DVI lebih mengedepankan timnya sesuai dengan keahlian
dan pengalaman, sedangkan pada kasus yang lebih mengedepankan aspek
kemanusiaan pada natural disaster maka ketua DVI dapat melibatkan beberapa tim
dari berbagai institusi.15
Prinsip dalam bekerja bagi tim DVI adalah team work sesuai dengan
keahlian/kompetensi dan pengalaman. Masingmasing tim yang bekerja dalam
masingmasing fase mempunyai tanggung jawab, keahlian dan pengalaman yang

4
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI
fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP
dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih
berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.15
Struktur tim DVI dapat dijabarkan seperti di bawah ini, hal ini ditentukan
tergantung dari besarnya suatu bencana.
a. Tim Spesialis
Patologis forensik, odontologis forensik, ahli sidik jari, biologis/genetik
forensik, dan antropologis forensik.
b. Tim ahli lainnya yang dapat turut serta dalam proses DVI:
Fotografer, radiologis, tim interview, manajer properti, perekam scene dan
post-mortem, tim pengontrol informasi dan data, tim pengumpul dan
manajemen barang bukti, pengelola kamar mayat, penyidik, petugas logistik,
petugas penghubung, petugas orang hilang, dan ahli teknologi dan informasi.

Gambar 1. Struktur Tim Disaster Victim Identification17

Proses DVI meliputi 4 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lainnya, yang terdiri dari :17

5
Gambar 2. Proses Disaster Victim Identification17

Fase 1: Fase TKP/The Scene


Dilaksanakan oleh tim DVI unit TKP dengan aturan umum sebagai berikut: 15,16,18
a. Tidak diperkenankan seorang pun korban meninggal yang dapat dipindahkan dari
lokasi, sebelum dilakukan olah TKP aspek DVI;
b. Pada kesempatan pertama label anti air dan anti robek harus diikat pada setiap
tubuh korban atau korban yang tidak dikenal untuk mencegah kemungkinan
tercampur atau hilang;
c. Semua perlengkapan pribadi yang melekat di tubuh korban tidak boleh dipisahkan;
d. Untuk barangbarang kepemilikan lainnya yang tidak melekat pada tubuh korban
yang ditemukan di TKP, dikumpulkan dan dicatat;
e. Identifikasi tidak dilakukan di TKP, namun ada proses kelanjutan yakni masuk
dalam fase kedua dan seterusnya.
Pada prinsipnya untuk fase tindakan awal yang dilakukan di situs bencana, ada
tiga langkah utama. Langkah pertama adalah to secure atau untuk mengamankan,
langkah kedua adalah to collect atau untuk mengumpulkan dan langkah ketiga adalah
documentation atau pelabelan.18
Pada langkah to secure organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengambil langkah untuk mengamankan TKP agar TKP tidak menjadi rusak.
Langkah langkah tersebut antara lain adalah :18
1) Memblokir pandangan situs bencana untuk orang yang tidak berkepentingan
(penonton yang penasaran, wakil wakil pers, dll), misalnya dengan memasang
police line.

6
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan
dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan
area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban.18
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah ketiga langkah
tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.18

Gambar 3. Kontainer dan perbendaharaan pemeriksaan badan korban post mortem.19

7
II.1.1. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
15

1) membuat sektorsektor atau zona pada TKP;


2) memberikan tanda pada setiap sektor;
3) memberikan label orange (human remains label) pada jenazah dan potongan
jenazah, label diikatkan pada bagian tubuh / ibu jari kiri jenazah;
4) memberikan label hijau (property label) pada barangbarang pemilik yang
tercecer.
5) membuat sketsa dan foto setiap sektor;
6) foto mayat dari jarak jauh, sedang dan dekat beserta label jenasahnya;
7) isi dan lengkapi pada formulir Interpol DVI PM dengan keterangan sebagai
berikut :
a. pada setiap jenazah yang ditemukan, maka tentukan perkiraan umur, tanggal
dan tempat tubuh ditemukan, akan lebih baik apabila di foto pada lokasi
dengan referensi koordinat dan sektor TKP;
b. selanjutnya tentukan apakah jenazah lengkap/tidak lengkap, dapat dikenali
atau tidak, atau hanya bagian tubuh saja yang ditemukan;
c. diskripsikan keadaannya apakah rusak, terbelah, dekomposisi/membusuk,
menulang, hilang atau terlepas;
d. keterangan informasi lainnya sesuai dengan isi dari formulir Interpol DVI PM
8) masukkan jenazah dalam kantung jenazah dan atau potongan jenazah di dalam
karung plastik dan diberi label sesuai jenazah;
9) formulir Interpol DVI PM turut dimasukkan ke dalam kantong jenasah dengan
sebelumnya masukkan plastik agar terlindung dari basah dan robek;
10) masukkan barangbarang yang terlepas dari tubuh korban ke dalam kantung
plastik dan diberi label sesuai nomor properti;
11) evakuasi jenasah dan barang kepemilikan ke tempat pemeriksaan dan
penyimpanan jenazah kemudian dibuatkan berita acara penyerahan kolektif.

8
Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkaplengkapnya
mengenai korban.15,16,18
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut :15
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan
jenazah dan barangbarang;
c. membuat foto jenazah;
d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;
f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari
bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka
yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus
tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda
i. membuat rontgen foto jika perlu;
j. mengambil sampel DNA;
k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
l. melakukan pemeriksaan barangbarang kepemilikan yang tidak melekat di mayat
yang ditemukan di TKP;
m. mengirimkan datadata yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :18

9
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi
DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu
menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan
data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah
perubahanperubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan
jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.18,20
Datadata post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan
dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi
forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.15,17
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan
tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan,
Primary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
sertaSecondary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers.12,18,20

10
Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information
Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah.15,18
Kegiatan :15
a. menerima keluarga korban;
b. mengumpulkan datadata korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam
bencana tersebut;
c. mengumpulkan datadata korban dari instansi tempat korban bekerja,
RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokterdokter gigi
pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
d. datadata Ante Mortem gigigeligi;
datadata Ante Mortem gigigeligi adalah keterangan tertulis atau gambaran
dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang
terdekat;
sumber datadata Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik
gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembagalembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
e. mengambil sampel DNA pembanding;
f. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Datadata Ante Mortem
dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan
Negara asing (kedutaan/konsulat);
g. memasukkan datadata yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
h. mengirimkan datadata yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.

11
Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan
terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang
dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post
mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah.15,16,18
Kegiatan :15
1) mengkoordinasikan rapatrapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP,
Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan datadata korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan datadata tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit
Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
6) mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang
dikenal dan suratsurat lainnya yang diperlukan;
8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.

IV. METODE IDENTIFIKASI

Identifikasi forensik adalah suatu upaya yang dilakukan dengan tujuan


membantu penyidik dalam menentukan identitas seseorang. Identifikasi personal

12
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena
adanya kekeliruan yang dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.19
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal
adalah untuk mengenali korban dan membangun identitas setiap korban dengan
membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem.
Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante
mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat
selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan, serta akhirnya menyerahkan
kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya untuk
menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi
keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.18
Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem dan
post mortem yang didapat dari :17
- Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.
- Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran umum
dan gambaran spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti rekam medis,
bukti pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:18
a) Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian namun
terdaftar sebagai korban selamat).
b) Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit,
yaitu :
1. Bagian Korban Hilang (Missing Branch)
o Unit pengumpulan data ante mortem (Ante-mortem record unit)
o Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
o Daftar korban (Victim list)

2. Pengumpulan dan klasifikasi jenazah (Victim Recovery)

13
o Koordinator tim pemulihan (Recovery coordinator)
o Tim pencari (Search team)
o Tim dokumentasi (Photography team)
o Tim pemulihan jenazah (Body recovery team)
o Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property recovery team)
o Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue
station)
3. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch)
o Unit keamanan (Security unit)
o Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
o Unit pengumpul data post mortem (Post-mortem record unit)
o Unit pemeriksa jenazah (Body examination unit)
4. Pusat Identifikasi (Identification Centre)
o Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification center file section)
o Bagian khusus pusat identifikasi (Identification center specialized
section), terdiri atas :
a. Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b. Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print section)
c. Bagian penyelidikan barang-barang pribadi (Property section)
d. Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e. Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f. Bagian analisis DNA (DNA analysis section)
g. Badan identifikasi (Identification board)
h. Bagian pelepasan jenazah (Body release section)

Terdapat dua metode pokok dalam proses identifikasi, yaitu :


a. Metode sederhana yaitu berupa gambaran visual, kepemilikan
(perhiasan dan pakaian), dan dokumentasi.

14
b. Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology,
antropologi, dan biologi molekuler.
Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk proses
identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :
a. Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
b. Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan,
fotografi/visual)

IV.1. Metode sekunder / Identifikasi sekunder

1. Riwayat medis
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan,
etnis) dan gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka, bukti
penyakit sama halnya dengan pengangkatan organ dapat memberikan informasi
krusial mengenai riwayat medis seseorang. Operasi umum yang dapat membedakan
karakteristik individu (misal appendicectomy) dapat diperhitungkan dalam konteks
ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat pacu jantung dan alat prostetik lainnya
dapat digunakan untuk identifikasi. Tato, tahi lalat, dan kerusakan dapat menjadi
indikator pada identitas.17

2. Kepemilikan/Property
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh perhiasan,
baju, dan dokumen identitas personal). Termasuk metode identifikasi yang baik
walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin
dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat
diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model
pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan
petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. Dokumentasi

15
seperti KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan
sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas. 17

Gambar 4. Bukti dokumen

IV.2. Metode Ilmiah / Identifikasi Primer


Secara internasional telah diterama bahwa identifikasi primer merupakan metode
yang paling diandalkan dimana identifikasi dapat dikonfirmasi:17

1. Sidik Jari
Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai dalam
penentuan identitas :18
a) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari berbeda
tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama tidak ada.
b) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi empat bulan
dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai pada pola yang
sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat menyebabkan bekas luka
permanen.
c) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan
diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk kepentingan
perbandingan.

16
Gambar 5. Sidik jari

2. Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan
hukum. Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh
yang masih ada pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti
pelaku dalam kasus jenayah berdasarkan kesan gigitan pada korban dan
memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf gigi. Gigi adalah bagian tubuh
yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma, pembusukan, air, dan
api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat
dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi
merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti sidik jari dan memiliki daya
tahan terhadap dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi
yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup
yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran. 15, 21

17
Gambar 6. Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak tetapi gigi
masih dapat diidentifikasi.22

Adapun dalam melaksanakan identifikasi manusia melalui gigi, kita dapatkan


2 (dua) kemungkinan:12
a). Memperoleh informasi melalui data gigi dan mulut untuk membatasi atau
menyempitkan identifikasi. Informasi ini dapat diperoleh antara lain mengenai:
umur, jenis kelamin, ras, golongan darah, dan bentuk wajah. Dengan adanya
informasi mengenai perkiraan batas-batas umur korban misalnya, maka
pencarian dapat dibatasi pada data-data orang hilang yang berada di sekitar umur
korban. Dengan demikian penyidikan akan menjadi lebih terarah.
b). Mencari ciriciri yang merupakan tanda khusus pada korban tersebut. Disini
dicatat ciriciri yang diharapkan dapat menentukan identifikasi secara lebih
akurat dari pada sekedar mencari informasi tentang umur atau jenis kelamin.
Ciriciri demikian antara lain : misalnya adanya gigi yang dibungkus logam, gigi
yang ompong atau patah, lubang pada bagian depan biasanya dapat lebih mudah
dikenali oleh kenalan atau teman dekat atau keluarga korban.12

Forensik odontologis akan melakukan pemeriksaan terhadap gigi, gusi, bagian


lain dari kavitas oral, rahang/maxilla, dan komponen dari hidung pada wajah.
Pemeriksaan ini meliputi pencatatan data gigi (odontogram) dan rahang yang dapat

18
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan
gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan,
tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 12, 23

Kondisi pembusukan awal juga masih memungkinkan diidentifikasi melalui


proses pemeriksaan primer yang bersifat ekonomis dan efisien yaitu pemeriksaan
gigi, meskipun keluarga tidak dapat merinci kondisi gigi korban dengantepat.
Semakin lama terpapar dalam air maka proses pembusukan juga akan berlangsung
dengan cepat sehingga akan menyebabkan terbatasnya upayapemeriksaan primer.
Proses identifikasi pada konsisi harus dilakukan kombinasi pemeriksaanprimer
dengan sekunder secara cermat dan akurat. Pada kasus ini korban berikutnya
ditemukan setelah 9-29 hari setelah kejadian sehingga tidak ada satupun yang
berhasil diidentifikasi berdasarkanpemeriksaan primer yang terjangkau yaitu sidik
jari maupun gigi karena terjadi pembusukan lanjut. 20
Selain itu akibat pemanasan terjadi koagulasi protein yang menyebabkan otot
mengecil diikuti mengkerutnyakulit, termasuk pengerutan peridontal ligament
atauperiodontal membran sebagai jaringan penyanggatulang dan gigi. Hal ini akan
sulit dilakukan pada jenazah yang meninggal dengan cara tenggelam. Pada jenazah
yang meninggal dalam air pada saat proses pembusukan berlangsung disertai
dengan proses pembusukan pada maksila dan mandibula yangakan diikuti dengan
terlepasnya gigi dari tulang akibat lisis jaringan penyangga. Gigi yang terlepasakan
sulit dilakukan pemeriksaan karena sebagianbesar akan jatuh dalam air. Hal ini
pula yangmempengaruhi keberhasilan identifikasi primermelalui pemeriksaan gigi
geligi pada korbantenggelam.20

19
Gambar 7. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak AkuratAkibat Avulsi Gigi
Postmortem dan HilangnyaJaringan Lunak.20

a). Identifikasi odontologi forensik


Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:24
1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan
kraniofasial.
2. Penentuan umur dari gigi.
3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).
4. Penentuan ras dari gigi.
5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan.
6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

Penentuan Usia berdasarkan gigi


Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun.
Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang lebih baik
daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan.
Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. 22
Mineralisasi gigi dimulai saat 12-16 minggu dan berlanjut setelah bayi
lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang
mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan

20
garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line.
Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah
dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan
bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan
dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan
melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi
permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama
dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada
usia 14 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk
menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan
22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya
bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan
pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi forensik.22, 25

Gambar 8. memperlihatkan gambaran panoramic X ray pada anak-anak (a)


gambaran yang menunjukkan suatu pola pertumbuhan gigi dan perkembangan pada
usia 9 tahun (pada usia 6 tahun terjadi erupsi dari akar gigi molar atau gigi 6 tapi
belum tumbuh secara utuh). Dibandingkan dengan diagram yang diambil dari Schour
dan Massler (b) menunjukkan pertumbuhan gigi pada anak usia 9 tahun.25

Penentuan Jenis Kelamin berdasarkan gigi


-Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis
kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus

21
mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada
wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm.
Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan
jenis kelamin.25

Penentuan Ras berdasarkan gigi


Penentuan ras pada gigi dan rahang tidak dapat diandalkan, meskipun
beberapa morfologi menunjukkan statistik perbedaan dalam frekuensi antara
ras. Contoh gambaran gigi pada ras mongoloid adalah insisivus berbentuk
sekop. Insisivus pada maksila berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2
sampai 9% ras kaukasoid dan 12% ras negroid memperlihatkan adanya bentuk
seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. Dens evaginatus, aksesoris
berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras
mongoloid, Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada
20% mongoloid, lengkungan palatum berbentuk elips, serta batas bagian
bawah mandibula berbentuk lurus.25

Gambar 9. Gigi seri berbentuk sekop. 24

b). Langkah langkah penanganan aspek odontologi forensik:


- Bila rahang atas dan bawah lengkap :26
1. Pembukaan rahang bawah untuk melepaskan rahang bawah.
2. Melakukan pembersihan rahang bawah dan rahang atas.
3. Melakukan dental charting/odontogram.

22
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang
bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh :26
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya
dengan menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan
self curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-
up, dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat
memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu
memudahkan identifikasi.26

3. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex
Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa regio dari
DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang polimorfik dari
DNA ini akan menghasilkan DNA fingerprint yang dimana sekarang lebih dikenal
dengan sebutan DNA profile.DNA ini sendiri biasanya disamakan sebagai suatu
cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter yang dibutuhkan
organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi
pengaturan biologis yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang
dimana struktur dasar yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas
tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah
basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari basa nitrogen DNA, yaitu adenine,
guanine, thymine dan cytosine.27

23
Gambar 1 komponen dari moekul DNA. Molekul DNA terbentuk dari deoxynucleotida
(a): gula deoxyribosa (b) memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari empat
tipe yang berbeda dari basa nitrogen (c) melekat pada atom karbon C1, grup hidroksil
melekat pada atom karbon nomor 3, dan grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27

Genom manusia dapat didefinisikan sebagai komplemen kehidupan suatu


organisme. Genom manusia mengandung sekitar 3,2 milyar informasi yang
terorganisir ke dalam 23 kromosom manusia. Manusia pada normalnya terdiri atas
dua set kromosom. Dua set tersebut berasal dari tiap orangtua, yang memberikan 46
kromosom yang terdiri atas 22 pasang kromosom autosomal dan pasangan ke 23 ialah
kromosom X dan Y. Yang dimana pada perempuan memiliki dua kromosom X
sedangkan pria memiliki 1 kromosm X dan 1 kromosom Y.27
Bagian DNA yang mengkode dan melakukan sintesis protein disebut dengan
gen. Hal inilah yang sangat luas dipelajari karena memainkan peran yang sangat vital
paa struktur dan fungsi dari semua sel. Beberapa protein yang dikoding DNA
berbentuk polimorfik yang artinya timbul dalam beberapa bentuk, dan inilah yang
digunaan pada ilmu forensik. Sistem yang sangat diketahui dengan baik saat ini ialah
sistem golongan darah ABO.00

Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab
(usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun

24
lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum
antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah
forensik (dalam identifikasi korban bencana).25

V. PENUTUP

Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap


bencana. Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa
bumi, gunung meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan. 1 Bencana
yang terjadi selalu menimbulkan kondisi gawat darurat.5 Kondisi ini dapat berakhir
pada terjadinya krisis kesehatan di masyarakat yang terkena bencana. Umumnya
korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para medis dan tim
pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang perlu
ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.11,12 Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada
pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang
tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar
dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan
keyakinannya semasa hidup.11
Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu istilah yang diberikan
sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban meninggal akibat bencana
massal yang dapat dipertanggungjawabkan secara sah oleh hukum dan ilmiah serta
mengacu pada standar baku Interpol DVI Guideline.Tim DVI terdiri dari dokter
spesialis forensik, dokter gigi, ahli antropologi (ilmu yang mempelajari tulang),
kepolisian, fotografi, dan ahli DNA.12,13,14 Prosedur DVI diterapkan jika terjadi
bencana yang menyebabkan korban massal, seperti kecelakaan bus dan pesawat,
gedung yang runtuh atau terbakar, kecelakaan kapal laut dan aksi terorisme.Dapat
diterapkan terhadap bencana dan insiden lainnya dalam pencarian korban.Prinsip dari

25
proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-
mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. 13
Pelaksanaan DVI mencakup beberapa fase yaitu: fase TKP, fase post mortem,
fase anter mortem, fase rekonsiliasi, dan fase evaluasi. Berdasarkan standar baku dari
Interpol proses identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan
sekunder. Identifikasi primer meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi
sekunder mencakup datas medis, kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam
menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia
mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan
identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia
adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan
minimal dua secondary identifiers positif.15,18,20

26
DAFTAR PUSTAKA

1. ASEAN Inter-Parliamentary Assembly 3rd AIPA CAUCUS. Indonesias


Country Report on Disaster Response Management. Philippines; 2011.

2. US Geological Survey. Seismotectonics of the Indonesian Region [Internet].


2014 [cited on 2017 May 10]. Available from:
http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/world/indonesia/seismotectonics.php.

3. Mahul O, Gunawan I, Sitorus D, Hidayat S, Fahmi AZ, Soetono B, et al.


Indonesia: Advancing a National Disaster Risk Financing Strategy Options
for Consideration. The World Bank; 2011 Oct.

4. Hadihardaja IK, Kuntoro AA, Farid M. Flood Resilience for Risk


Management: Case Study of River Basin in Indonesia. Taiwan: APEC
Research Center for Typhoon and Society; 2013 Dec p. 169.

5. Integrated Regional Information Network. Disaster reduction and the human


cost of disaster [Internet]. IRINnews. 2014 [Cited on 2017 May 10]. Available
from:
http://www.irinnews.org/IndepthMain.aspx?reportid=62447&indepthid=14.

6. Nafsiah Mboi. Peran Tenaga Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana di


Indonesia. Studium Generale; 2014 Jun 13; Gedung RIK UI Depok.

7. Negara Republik Indonesia. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 24


tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. 2007.

8. What is a disaster? - IFRC [Internet]. [Cited on 2017 May 10]. Available

27
from: http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/about-
disasters/what-is-a-disaster/.

9. Kristi L. Koenig, Carl H. Schultz. Disaster Medicine: Comprehensive


Principles and Practices. University of Cambridge; 2010.

10. BPBD Jakarta 2002-2014,Bencana Alam di Indonesia Capai 1.093


[Internet]. [cited 2017 May 10]. Available from:
http://bpbd.jakarta.go.id/2002-2014bencana-alam-di-indonesia-capai-1- 093/.

11. Henky, Safitry O. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara
Teori dan Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences
2012; 2(1): 5-7.

12. Singh, S. Disaster Victim Identificationdalam Majalah Kedokteran Nusantara


Vol.41 (4). Medan: SMF Kedokteran Forensik FK-USU; 2008; p 254-8.

13. Anonym. Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia. Badan Nasional


Penanggulangan Bencana. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : URL:http://www.bnpb.go.id.

14. Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush
Fires Tragedy : A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police;
2011.

15. Kusumasari W, Medistianto E, dkk. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis


Kesehatan Akibat BencanaEdisi Revisi. Jakarta: Menteri Kesehatan Republik
Indonesia; 2012; p.1-151-61.

28
16. Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.

17. Disaster Victim Identification Guide. 2014. INTERPOL.

18. International Criminal Police Organization. Disaster Victim Identification


Guide. [Online] 2009. [Cited on 2017 May 10]. Available from :
URL:http://www.interpol.int/content/download/9158/68001/version/5/file/gui
de.pdf

19. Budiyanto A, Widiatmaka W, Dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta:


Bagian Kedokteran Forensik FK-UI; 1997; p.197-206.

20. Prawestiningtyas E, Algozi M. Identifikasi Forensik Berdasarkan


Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada
Dua Kasus Bencana Massal dalam Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol
XXV(2). Lab.Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang: 2009; p.87-92.

21. Acharya AB. Role of forensic odontology in disaster victim identification in


the Indian context. J Dent Specialities, 2015;3(1):89-91.

22. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.

23. Simpson, D. Guidance on Disaster Victim Identification. London: National


Policing Improvement Agency; 2011.

24. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.

29
25. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York:
CRC Press;1997.

26. Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami
Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62

27. Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014.
Yogyakarta: UNY.

30

Anda mungkin juga menyukai