DATE SIGNATURE
Oleh:
AINI DARAFIYAH NUGRAH H.J C 111 12 295
ARDIANTO ARSADI ALI C 111 12 303
INDAH NUR RACHMAH C 111 12 319
Pembimbing:
dr. Olfi Susan Tumbol
Supervisor:
drg. Peter Sahelangi, DFM Sp.OF
Mengetahui,
Supervisor, Pembimbing,
ii
DISCLAIMER
iii
DAFTAR ISI
iv
DISASTER VICTIM IDENTIFICATION
I. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi terhadap
bencana. Beberapa bencana yang sering terjadi di Indonesia antara lain banjir, gempa
bumi, gunung meletus, tsunami, longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan.1 Bencana-
bencana ini dipengaruhi oleh kondisi negara Indonesia dan masyarakat yang ada
didalamnya. Indonesia terletak pada tiga lempeng tektonik yaitu lempeng Australia,
lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik sehingga di Indonesia lebih rawan terjadi
gempa bumi serta menjadikan Indonesia sebagai Ring of Fire dengan aktivitas
vulkanik yang tinggi.2,3 Bencana banjir yang sering terjadi di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh keadaan masyarakat, perubahan iklim, dan perkembangan sosial
ekonomi di Indonesia.4
Bencana yang terjadi selalu menimbulkan kondisi gawat darurat.5 Kondisi ini
dapat berakhir pada terjadinya krisis kesehatan di masyarakat yang terkena bencana.
Data yang diperoleh dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan
bahwa ada 781 korban meninggal, 2.578 korban luka berat, 152.508 korban luka
ringan, dan 357.602 pengungsi yang timbul dari total 435 bencana yang terjadi di
Indonesia.6Bencana, menurut UU No. 24 tahun 2007, dapat didefinisikan sebagai
suatu peristiwa yang mengganggu dan mengancam kehidupan masyarakat yang dapat
disebabkan oleh faktor lingkungan maupun faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya korban jiwa, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.7 International
Federation of Red Cross and Red Crescent Societies (IFRC)mendefinisikan bencana
sebagai suatu peristiwa yang terjadi tiba tiba yang mengganggu suatu komunitas
atau masyarakat yang dapat menimbulkan korban jiwa dan kerugian material dan
lingkungan yang melebihi kapasitas masyarakat itu untuk memperbaiki kerusakan
yang ditimbulkan dengan sumber daya yang ada.8 Sementara Koenig menjelaskan
bahwa bencana merupakan kondisi gawat darurat yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat dan harta bendanya serta melebihi kemampuan masyarakat untuk
1
menangani kondisi gawat darurat tersebut secara efektif.9 Secara singkat, bencana
adalah suatu peristiwa yang tidak diharapkan, yang dapat menimbulkan korban luka
atau meninggal dengan jumlah cukup banyak. Berikut data beberapa bencana yang
terjadi di Indonesia selama tahun 2002 sampai tahun 2014 awal.
Tabel 1. Data Bencana di Indonesia tahun 20022014.10
Jumlah Korban
Jenis Bencana Frekuensi Bencana
Meninggal
Banjir 4886 2678
Tanah longsor 2027 1849
Banjir disertai tanah longsor 373 1533
Kekeringan 1692 2
Puting beliung 2720 256
Gelombang pasang 234 73
Gempa bumi 145 8396
Tsunami 1 1
Gempa bumi disertai tsunami 4 174112
Gunung meletus 153 405
Kebakaran hutan 179 10
Kejadian luar biasa 94 919
Aksi teror 28 324
Hama tanaman 4 0
Kecelakaan industri 29 107
Kecelakaan transportasi 222 3716
Konflik sosial 100 2312
Umumnya korban yang hidup telah banyak dapat diatasi oleh tim medis, para
medis dan tim pendukung lainnya. Namun berbeda bagi korban yang sudah mati yang
perlu ditangani secara khusus dengan membentuk tim khusus pula.11,12 Undang-
2
undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah memberikan amanat kepada
pemerintah dan masyarakat untuk melakukan upaya identifikasi terhadap mayat yang
tidak dikenal. Identifikasi korban mati dilakukan untuk memenuhi hak korban agar
dapat dikembalikan kepada keluarga dan dikubur secara layak sesuai dengan
keyakinannya semasa hidup. Ada dampak hukum dengan meninggalnya seseorang
seperti waris, asuransi, serta pada kasus kriminal maka akan dapat dihentikan apabila
pelaku telah meninggal dunia.11
3
99% yang teridentifikasi secara positif melalui metode ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan. 13
Penatalaksanaan korban mati mengacu pada Surat Keputusan Bersama
Menteri Kesehatan dan Kapolri No. 1087/Menkes/SKB/IX/2004 dan No.Pol
Kep/40/IX/2004 Pedoman Pelaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana
Massal.15
Rujukan Hukum :16
a. UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
b. UU No.2 tahun 2002 tentang Polri
c. UU No.23 tentang kesehatan
d. PP No.21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
e. Resolusi Interpol No.AGN/65/RES/13 year 1996 on Disaster Victim
Identification
f. MOU Depkes RI-Polri tahun 2004
g. MOU Depkes RI-Polri tahun 2003
4
berbeda yang menjadi pertimbangan bagi seorang ketua tim DVI. Misalnya tim DVI
fase I diperuntukkan bagi tim yang telah terlatih dan mempunyai pengalaman di TKP
dibandingkan dengan seorang dokter forensik/dokter gigi forensik yang lebih
berkompeten di DVI fase 2 untuk memeriksa jenasah.15
Struktur tim DVI dapat dijabarkan seperti di bawah ini, hal ini ditentukan
tergantung dari besarnya suatu bencana.
a. Tim Spesialis
Patologis forensik, odontologis forensik, ahli sidik jari, biologis/genetik
forensik, dan antropologis forensik.
b. Tim ahli lainnya yang dapat turut serta dalam proses DVI:
Fotografer, radiologis, tim interview, manajer properti, perekam scene dan
post-mortem, tim pengontrol informasi dan data, tim pengumpul dan
manajemen barang bukti, pengelola kamar mayat, penyidik, petugas logistik,
petugas penghubung, petugas orang hilang, dan ahli teknologi dan informasi.
Proses DVI meliputi 4 fase, dimana setiap fasenya mempunyai keterkaitan satu
dengan yang lainnya, yang terdiri dari :17
5
Gambar 2. Proses Disaster Victim Identification17
6
2) Menandai gerbang untuk masuk ke lokasi bencana.
3) Menyediakan jalur akses yang terlihat dan mudah bagi yang berkepentingan.
4) Menyediakan petugas yang bertanggung jawab untuk mengontrol siapa saja yang
memiliki akses untuk masuk ke lokasi bencana.
5) Periksa semua individu yang hadir di lokasi untuk menentukan tujuan kehaditan
dan otorisasi.
6) Data terkait harus dicatat dan orang yang tidak berwenang harus meninggalkan
area bencana
Pada langkah to collect organisasi yang memimpin komando DVI harus
mengumpulkan korban korban bencana dan mengumpulkan properti yang terkait
dengan korban yang mungkin dapat digunakan untuk kepentingan identifikasi
korban.18
Pada langkah documentation organisasi yang memimpin komando DVI
mendokumentasikan kejadian bencana dengan cara memfoto area bencana dan
korban kemudian memberikan nomor dan label pada korban.Setelah ketiga langkah
tersebut dilakukan maka korban yang sudah diberi nomor dan label dimasukkan ke
dalam kantung mayat untuk kemudian dievakuasi.18
7
II.1.1. Rincian yang harus dilakukan pada saat di TKP adalah sebagai berikut:
15
8
Fase 2 : Fase pengumpulan data jenazah Post Mortem/ The Mortuary
Pengumpulan data post-mortem atau data yang diperoleh paska kematian
dilakukan oleh post-mortem unit yang diberi wewenang oleh organisasi yang
memimpin komando DVI. Pada fase ini dilakukan berbagai pemeriksaan yang
kesemuanya dilakukan untuk memperoleh dan mencatat data selengkaplengkapnya
mengenai korban.15,16,18
Kegiatan pada fase 2 sebagai berikut :15
a. Menerima jenazah/potongan jenazah dan barang bukti dari unit TKP;
b. Mengelompokkan kiriman tersebut berdasarkan jenazah utuh, tidak utuh, potongan
jenazah dan barangbarang;
c. membuat foto jenazah;
d. mengambil sidik jari korban dan golongan darah;
e. melakukan pemeriksaan korban sesuai formulir interpol DVI PM yang tersedia;
f. melakukan pemeriksaan terhadap property yang melekat pada mayat;
g. Pemeriksaan antropologi forensik : pemeriksaan fisik secara keseluruhan, dari
bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, tatto hingga cacat tubuh dan bekas luka
yang ada di tubuh korban.
h. Pemeriksaan odontologi forensik : bentuk gigi dan rahang merupakan ciri khusus
tiap orang ; tidak ada profil gigi yang identik pada 2 orang yang berbeda
i. membuat rontgen foto jika perlu;
j. mengambil sampel DNA;
k. menyimpan jenasah yang sudah diperiksa;
l. melakukan pemeriksaan barangbarang kepemilikan yang tidak melekat di mayat
yang ditemukan di TKP;
m. mengirimkan datadata yang telah diperoleh ke unit pembanding data.
Data data hasil pemeriksaan tersebut kemudian digolongkan ke dalam data
primer dan data sekunder sebagai berikut :18
9
1) Primer (sidik jari, profil gigi, DNA)
2) Sekunder (visual, fotografi, properti jenazah, antropologi, medis)
Di dalam menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi
DVI Indonesia mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu
menentukan identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI
Indonesia adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau
didukung dengan minimal dua secondary identifiers positif. Selain mengumpulkan
data pasca kematian, pada fase ini juga sekaligus dilakukan tindakan untuk mencegah
perubahanperubahan paska kematian pada jenazah, misalnya dengan meletakkan
jenazah pada lingkungan dingin untuk memperlambat pembusukan.18,20
Datadata post mortem diperoleh dari tubuh jenazah berdasarkan pemeriksaan
dari berbagai keahlian antara lain dokter ahli forensik, dokter umum, dokter gigi
forensik, sidik jari, fotografi, DNA dan ahli antropologi forensik.15,17
Dalam melakukan proses tersebut terdapat bermacam-macam metode dan
tehnik identifikasi yang dapat digunakan. Namun demikian Interpol menentukan,
Primary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Fingerprints
2) Dental Records
3) DNA
sertaSecondary Indentifiers yang terdiri dari :
1) Medical
2) Property
3) Photography
Prinsip dari proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data Ante
Mortem dan Post Mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik.
Primary Identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan
Secondary Identifiers.12,18,20
10
Fase 3: Fase pengumpulan data jenazah Ante Mortem/Ante Mortem Information
Retrieval
Pada fase ini dilakukan pengumpulan data mengenai jenazah sebelum
kematian. Data ini biasanya diperoleh dari keluarga jenazah maupun orang yang
terdekat dengan jenazah.15,18
Kegiatan :15
a. menerima keluarga korban;
b. mengumpulkan datadata korban semasa hidup seperti foto dan lain-lainnya yang
dikumpulkan dari keluarga terdekat yang kehilangan anggota keluarganya dalam
bencana tersebut;
c. mengumpulkan datadata korban dari instansi tempat korban bekerja,
RS/Puskesmas/Klinik, dokter pribadi, dokter yang merawat, dokterdokter gigi
pribadi, polisi (sidik jari), catatan sipil, dll;
d. datadata Ante Mortem gigigeligi;
datadata Ante Mortem gigigeligi adalah keterangan tertulis atau gambaran
dalam kartu perawatan gigi atau keterangan dari keluarga atau orang yang
terdekat;
sumber datadata Ante Mortem tentang kesehatan gigi diperoleh dari klinik
gigi RS Pemerintah, TNI/Polri dan Swasta; lembagalembaga pendidikan
Pemerintah/TNI/Polri/Swasta; praktek pribadi dokter gigi.
e. mengambil sampel DNA pembanding;
f. apabila diantara korban ada warga Negara asing maka Datadata Ante Mortem
dapat diperoleh melalui perantara Set NCB Interpol Indonesia dan perwakilan
Negara asing (kedutaan/konsulat);
g. memasukkan datadata yang ada dalam formulir Interpol DVI AM;
h. mengirimkan datadata yang telah diperoleh ke Unit Pembanding Data.
11
Fase 4 : Fase Analisa/Reconciliation
Pada fase ini dilakukan pembandingan data post mortem dengan data ante
mortem. Ahli forensik dan profesional lain yang terkait dalam proses identifikasi
menentukan apakah temuan post mortem pada jenazah sesuai dengan data ante
mortem milik korban yang dicurigai sebagai jenazah. Apabila data yang dibandingkan
terbukti cocok maka dikatakan identifikasi positif atau telah tegak. Apabila data yang
dibandingkan ternyata tidak cocok maka identifikasi dianggap negatif dan data post
mortem jenazah tetap disimpan sampai ditemukan data ante mortem yang sesuai
dengan temuan post mortem jenazah.15,16,18
Kegiatan :15
1) mengkoordinasikan rapatrapat penentuan identitas korban mati antara Unit TKP,
Unit Post Mortem dan Unit Ante Mortem;
2) mengumpulkan datadata korban yang dikenal untuk dikirim ke Rapat
Rekonsiliasi;
3) mengumpulkan datadata tambahan dari Unit TKP, Unit Post Mortem dan Unit
Ante Mortem untuk korban yang belum dikenal;
4) membandingkan data Ante Mortem dan Post Mortem;
5) check and Recheck hasil Unit Pembanding Data;
6) mengumpulkan hasil identifikasi korban;
7) membuat sertifikat identifikasi, surat keterangan kematian untuk korban yang
dikenal dan suratsurat lainnya yang diperlukan;
8) publikasi yang benar dan terarah oleh Unit Rekonsiliasi sangat
membantunmasyarakat untuk mendapatkan informasi yang terbaru dan akurat.
12
sering merupakan suatu masalah dalam kasus pidana dalam penyidikan karena
adanya kekeliruan yang dapat berakibat fatal dalam proses peradilan.19
Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal
adalah untuk mengenali korban dan membangun identitas setiap korban dengan
membandingkan dan mencocokkan hasil ante mortem dan post mortem.
Permasalahan yang dapat terjadi adalah tantangan untuk mendapatkan informasi ante
mortem dan post mortem sebagai perbandingan. Dengan identifikasi yang tepat
selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan, serta akhirnya menyerahkan
kepada keluarganya. Proses identifikasi sangat penting bukan hanya untuk
menganalisis penyebab bencana tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi
keluarga dengan adanya kepastian identitas korban.18
Identifikasi yang akurat dapat dicapai dengan mencocokkan data ante mortem dan
post mortem yang didapat dari :17
- Bukti sirkumtansial : kepemilikan seperti baju, perhiasan, dan isi kantung.
- Bukti fisik yang didukung oleh pemeriksaan luar (contohnya gambaran umum
dan gambaran spesifik) dan pemeriksaan dalam (contohnya bukti rekam medis,
bukti pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan laboratorium).
Untuk mengidentifikasi korban bencana diperlukan dua macam data:18
a) Data orang hilang (contohnya orang yang berada di tempat kejadian namun
terdaftar sebagai korban selamat).
b) Data dari jenazah yang ditemukan di tempat kejadian
Dalam mengidentifikasi korban, DVI Interpol membentuk beberapa tim atau unit,
yaitu :
1. Bagian Korban Hilang (Missing Branch)
o Unit pengumpulan data ante mortem (Ante-mortem record unit)
o Unit pendataan berkas ante mortem (Ante-mortem files unit)
o Daftar korban (Victim list)
13
o Koordinator tim pemulihan (Recovery coordinator)
o Tim pencari (Search team)
o Tim dokumentasi (Photography team)
o Tim pemulihan jenazah (Body recovery team)
o Tim pemulihan barang-barang pribadi (Property recovery team)
o Tempat administrasi dan penyimpanan sementara jenazah (Morgue
station)
3. Bagian Kamar Mayat (Mortuary Branch)
o Unit keamanan (Security unit)
o Unit transportasi jenazah (Body movement unit)
o Unit pengumpul data post mortem (Post-mortem record unit)
o Unit pemeriksa jenazah (Body examination unit)
4. Pusat Identifikasi (Identification Centre)
o Bagian administrasi berkas identifikasi (Identification center file section)
o Bagian khusus pusat identifikasi (Identification center specialized
section), terdiri atas :
a. Bagian penyelidikan data dokumentasi (Photography section)
b. Bagian penyelidikan sidik jari (Finger print section)
c. Bagian penyelidikan barang-barang pribadi (Property section)
d. Bagian penyelidikan medis (Medical section)
e. Bagian penyelidikan gigi geligi (Dental section)
f. Bagian analisis DNA (DNA analysis section)
g. Badan identifikasi (Identification board)
h. Bagian pelepasan jenazah (Body release section)
14
b. Metode ilmiah yaitu berupa sidik jari, serologi, odontology,
antropologi, dan biologi molekuler.
Khusus pada korban bencana massal, berdasarkan standar Interpol untuk proses
identifikasi pada DVI telah ditentukan metode identifikasi yang dipakai yaitu :
a. Metode identifikasi primer (sidik jari, gigi geligi, DNA)
b. Metode identifikasi sekunder (data medis, kepemilikan,
fotografi/visual)
1. Riwayat medis
Deskripsi personal yang berisi data umum (umur, jenis kelamin, tinggi badan,
etnis) dan gambaran penbeda spesifik. Penemuan medis seperti bekas luka, bukti
penyakit sama halnya dengan pengangkatan organ dapat memberikan informasi
krusial mengenai riwayat medis seseorang. Operasi umum yang dapat membedakan
karakteristik individu (misal appendicectomy) dapat diperhitungkan dalam konteks
ini. Nomor unik yang ditemukan pada alat pacu jantung dan alat prostetik lainnya
dapat digunakan untuk identifikasi. Tato, tahi lalat, dan kerusakan dapat menjadi
indikator pada identitas.17
2. Kepemilikan/Property
Kategori ini termasuk semua hal yang ditemukan pada jenazah (contoh perhiasan,
baju, dan dokumen identitas personal). Termasuk metode identifikasi yang baik
walaupun tubuh korban telah rusak atau hangus. Initial yang terdapat pada cincin
dapat memberikan informasi siapa si pemberi cincin tersebut, dengan demikian dapat
diketahui pula identitas korban. Sedangkan dari pakaian, dapat diperoleh model
pakaian, bahan yang dipakai, merek penjahit, label binatu yang dapat merupakan
petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut dan tentunya identitas korban. Dokumentasi
15
seperti KTP, SIM, Paspor, kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya merupakan
sarana yang dapat dipakai untuk menentukan identitas. 17
1. Sidik Jari
Ada tiga alas an mengapa sidik jari menjadi indikator yang dapat dipakai dalam
penentuan identitas :18
a) Sidik jari unik; kongruensi absolut antara jembatan papilar pada jari-jari berbeda
tiap individu atau pada jari yang berbeda pada orang yang sama tidak ada.
b) Sidik jari tidak berubah; jembatan papilar terbentuk pada usia gestasi empat bulan
dan tidak berubah sampai mati. Mereka akan tumbuh kembai pada pola yang
sama saar luka kecil. Beberapa luka berat dapat menyebabkan bekas luka
permanen.
c) Sidik jari dapat diklasifikasikan; karena itu mereka bisa diidentifikasi dan
diregistrasi secara sistematis dan dapat diakses secara muda untuk kepentingan
perbandingan.
16
Gambar 5. Sidik jari
2. Odontologi
Odontologi forensik adalah cabang kedokteran gigi yang terlibat dengan
hukum. Keahlian dalam bidang ini diperlukan dalam mengenal pasti bagian tubuh
yang masih ada pada post-mortem dengan memeriksa gigi korban, mengenal pasti
pelaku dalam kasus jenayah berdasarkan kesan gigitan pada korban dan
memperkirakan usia korban berdasarkan radiograf gigi. Gigi adalah bagian tubuh
yang paling keras dan yang paling tahan terhadap trauma, pembusukan, air, dan
api. Penentuan identifikasi forensik berdasarkan pemeriksaan primer masih dapat
dilakukan dengan pemeriksaan gigi geligi yaitu pada jenazah terbakar karena gigi
merupakan medium yang tidak mudah rusak seperti sidik jari dan memiliki daya
tahan terhadap dekomposisi dan panas. Gigi merupakan suatu sarana identifikasi
yang dapat dipercaya, khususnya bila rekam dan foto gigi pada waktu masih hidup
yang pernah dibuat masih tersimpan dengan baik. Pemeriksaan gigi ini menjadi
amat penting apabila mayat sudah dalam keadaan membusuk atau rusak, seperti
halnya kebakaran. 15, 21
17
Gambar 6. Pada suhu yang tinggi, walaupun tubuh telah rusak tetapi gigi
masih dapat diidentifikasi.22
18
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X dan pencetakan
gigi dan rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan,
tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. 12, 23
19
Gambar 7. Pemeriksaan Primer Gigi Tidak AkuratAkibat Avulsi Gigi
Postmortem dan HilangnyaJaringan Lunak.20
20
garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line.
Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah
dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan
bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan
dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan
melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi
permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama
dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada
usia 14 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk
menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat
digunakan untuk penentuan perkembangan gigi. Penentuan usia antara 15 dan
22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya
bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan
pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini
dapat digunakan untuk aplikasi forensik.22, 25
21
mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada
wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm.
Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan
jenis kelamin.25
22
4. Melakukan rontgen foto pada seluruh gigi geligi di rahang atas dan rahang
bawah.
5. Pencabutan gigi molar 1 atas atau bawah untuk pemeriksaan DNA.
6. Melakukan pemotretan dengan ukuran close-up
7. Melakukan perbandingan data dental antemortem dengan post mortem
8. Proses rekonsilasi untuk penentuan identifikasi.
- Pada rahang yang tidak utuh :26
Melakukan rekonstruksi bentuk rahang serta susunan gigi geliginya
dengan menggunakan wax/malam. Kenudian diperkuat dengan menggunakan
self curing acrylic. Lalu melakukan pencetakan, dilakukan pemotretan close-
up, dan pengembalian pada jenazah.Tujuan rekonstruksi diharapkan dapat
memperoleh gambaran perkiraan raut wajah korban untuk membantu
memudahkan identifikasi.26
3. DNA
DNA adalah materi genetik yang membawa informasi yang dapat diturunkan.
Di dalam sel manusia DNA dapat ditemukan di dalam inti sel dan di dalam
mitokondria. Konsep dari identifikasi DNA pertama kali diperkenalkan oleh Alex
Jeffreys pada tahun 1985 yang dimana ia menemukan bahwa beberapa regio dari
DNA sangatlah bervariasi antara individu. Analisa dari regio yang polimorfik dari
DNA ini akan menghasilkan DNA fingerprint yang dimana sekarang lebih dikenal
dengan sebutan DNA profile.DNA ini sendiri biasanya disamakan sebagai suatu
cetak biru sebuah kehidupan dan membawa informasi herediter yang dibutuhkan
organiseme terebut untuk melakukan fungsinya.Molekul yang membawa informasi
pengaturan biologis yang fundamental ini sebenarnya sederhana secara relatif. Yang
dimana struktur dasar yang membangun DNA ini yaitu nukleotida yang tersusun atas
tiga grup kimiawi yang berbeda: sebuah gula (deoxyribosa), grup fosfat dan sebuah
basa nitrogen. Ada 4 tipe yang berbeda dari basa nitrogen DNA, yaitu adenine,
guanine, thymine dan cytosine.27
23
Gambar 1 komponen dari moekul DNA. Molekul DNA terbentuk dari deoxynucleotida
(a): gula deoxyribosa (b) memiliki lima atom karbon (dari C1 hingga C5); satu dari empat
tipe yang berbeda dari basa nitrogen (c) melekat pada atom karbon C1, grup hidroksil
melekat pada atom karbon nomor 3, dan grup fosfat melekat pada atom karbon C5.27
Hampir semua sampel biologis dapat dipakai untuk tes DNA, seperti buccal swab
(usapan mulut pada pipi sebelah dalam), darah, rambut beserta akarnya, walaupun
24
lebih dipilih penggunaan darah dalam tabung (sebanyak 2 ml) sebagai sumber DNA.
Tes DNA dilakukan dengan berbagai alasan seperti persoalan pribadi dan hukum
antara lain; tunjangan anak, perwalian anak, adopsi, imigrasi, warisan dan masalah
forensik (dalam identifikasi korban bencana).25
V. PENUTUP
25
proses identifikasi ini adalah dengan membandingkan data ante-mortem dan post-
mortem, semakin banyak yang cocok maka akan semakin baik. 13
Pelaksanaan DVI mencakup beberapa fase yaitu: fase TKP, fase post mortem,
fase anter mortem, fase rekonsiliasi, dan fase evaluasi. Berdasarkan standar baku dari
Interpol proses identifikasi mencakup dua metode yaitu identifikasi primer dan
sekunder. Identifikasi primer meliputi sidik jari, gigi geligi, dan DNA. Identifikasi
sekunder mencakup datas medis, kepemilikan, dan visual/fotografi. Di dalam
menentukan identifikasi seseorang secara positif, Badan Identifikasi DVI Indonesia
mempunyai aturan-aturan atau syarat identifikasi yang tepat, yaitu menentukan
identitas seseorang secara positif berdasarkan Identification Board DVI Indonesia
adalah didukung minimal salah satu primaryidentifiers positif atau didukung dengan
minimal dua secondary identifiers positif.15,18,20
26
DAFTAR PUSTAKA
27
from: http://www.ifrc.org/en/what-we-do/disaster-management/about-
disasters/what-is-a-disaster/.
11. Henky, Safitry O. Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara
Teori dan Kenyataan. Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences
2012; 2(1): 5-7.
14. Jennet K. Disaster Victim Identification- Learning from the Victoria Bush
Fires Tragedy : A Winston Churchill Travel Fellowship. Merseyside Police;
2011.
28
16. Anonym. DVI Indonesia. [Online] 2011. [Cited on 2017 May 10]. Available
from : http://www.dvi-indonesia.com/index.php?id=7.
22. Dix J. Color Atlas Of Forensic Pathology. New York: CRC Press; 2000.
24. Stimson P, Mertz C. Forensic Dentistry. New York: CRC Press; 1997.
29
25. Eckert, W. Introduction To Forensic Sciences : Second Edition. New York:
CRC Press;1997.
26. Beauthier J, Valck E, et all. Mass Disaster Victim Identification: The Tsunami
Experience in The Open Forensic Science Journal 2. Belgium:2009; p.54-62
27. Pertiwi KR. Penerapan Teknologi DNA dalam Identifikasi Forensik. 2014.
Yogyakarta: UNY.
30