Anda di halaman 1dari 35

RESPONSI KASUS INTERNA

HIV (Human Immunodeviciency Virus) dengan Tuberculosis Paru

Oleh :
Marisa Syavitri Dilaga
H1A013038

Pembimbing :
dr. I Made Windutama, Sp.PD

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

SMF INTERNA RSUD PRAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN

2017
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia.


Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis
sebagai Global Emergency Disease. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat
8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus Basil Tahan
Asam (BTA) positif. Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan
menurut regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari
seluruh kasus TB di dunia Sebagian besar kasus TB terjadi di negara berkembang. Indonesia
merupakan negara dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah Cina dan India,
diperkirakan kejadian BTA positif di Indonesia adalah 266.000 kasus tahun 1998. Sehingga
TB menempati peringkat nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia setelah
penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar
yang mengancam banyak negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Adapun di Indonesia,
Departemen Kesehatan (Depkes) RI memperkirakan ada 169.000-216.000 orang berusia 15-
49 tahun yang terinfeksi HIV pada tahun 2006.

Tuberkulosis merupakan infeksi oportunistik terbanyak yang ditemukan pada ODHA


dan penyebab kematian utama pada pengidap HIV. Angka TB pada ODHA 40 kali lebih
tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Pada tahun 2015 diestimasikan
terdapat 10.4 juta pasien TBC di dunia, dimana 11% diantaranya merupakan ODHA. Terdapat
sekitar 400.000 pasien TBC dan HIV yang meninggal dunia setiap tahunnya. Hal ini
disebabkan TB dapat merangsang HIV agar lebih cepat menggandakan diri dan memperburuk
infeksi HIV. Hal ini menyebabkan tingkat mortalitas pengidap HIV dan TB empat kali lebih
tinggi dibandingkan dengan pengidap HIV tanpa TB.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. H
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Lekong
Suku : Sasak
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
No. RM : 911195
Tanggal MRS : 07-10-2017
Tanggal Periksa : 09-10-2017

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama : Penurunan berat badan

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien rujukan puskesmas datang ke IGD RSUD Praya dengan keluhan


penurunan berat badan yang drastis sejak 3 bulan terakhir. Penurunan berat badan
disertai lemas, pasien hanya mampu berbaring. Lemas tidak hilang meskipun pasien
beristirahat. Selain itu pasien mengalami demam, demam naik-turun, mereda bila
diberikan obat penurun panas. Demam disertai keringat dingin dan tidak menggigil.
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh nafsu makannya menurun dan sakit saat
menelan dan muncul bercak putih di lidah. Pasien juga sering mual. Pada 1 bulan
terakhir, pasien mengeluh batuk, batuk kering, dahak (-), darah (-).Pasien dapat
menjadi sesak saat batuk. Pada beberapa hari terakhir pasien juga mengeluh BAB cair,
frekuensi 3-4 kali per hari, disertai bercak darah. Keluhan seperti perut kembung atau
nyeri dada disangkal oleh pasien.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien tidak memiliki keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat hipertensi, DM,
asma disangkal oleh pasien.

2
D. Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat keluarga dengan keluhan serupa disangkal. Riwayat keluarga yang


mengonsumsi OAT selama 6 bulan disangkal. Riwayat hipertensi, DM dan asma juga
disangkal.
E. Riwayat Pengobatan :
Pasien tidak pernah mendapat pengobatan OAT sebelumnya. Selama di
Puskesmas pasien mendapat pengobatan yaitu:
- IVFD RL 20 tpm
- Kotrimoksazol 2x2
- Paracetamol 3x500 mg
F. Riwayat Alergi :
Riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan disangkal.
G. Riwayat Sosial:
Pasien merupakan seorang pedagang warug di Bali, menurut anamnesa lebih
lanjut pasien bekerja di daerah yang beresiko tinggi HIV. Pasien tidak memiliki
kebiasaan merokok atau minum alkohol.

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Status Gizi : Underweight
BB = 40 kg TB = 150 cm BMI = 17,8
Tanda Vital
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Frekuensi nadi : 72 x/menit, reguler, kuat angkat.
- Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler, torako-abdominal.
- Suhu aksila : 38,3 C
Status Lokalis

- Kepala
Bentuk dan ukuran : normal
Rambut : normal
3
Edema : (-)
Parese N. VII : (-)
Hiperpigmentasi : (-)
Nyeri tekan kepala : (-)
- Mata
Simetris
Alis normal
Exopthalmus : (-/-)
Ptosis : (-/-)
Nystagmus : (-/-)
Strabismus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+), hiperemia (-/-)
Sclera : ikterus (-), hiperemia (-/-), pterygium (-/-)
Pupil : Refleks pupil +/+, isokor, bentuk bulat, 3 mm,
miosis (-/-), midriasis (-/-)
Kornea : normal
Lensa : pseudopakia (-/-), keruh (-/-)
Pergerakan bola mata : normal ke segala arah

- Telinga
Bentuk : normal, simetris antara kiri dan kanan.
Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-).
Nyeri tekan tragus : (-/-)
Peradangan : (-/-)
Pendengaran : kesan normal

- Hidung
Simetris
Deviasi septum : (-/-)
Napas cuping hidung : (-)
Perdarahan : (-/-)
Sekret : (-/-)
Penciuman : kesan normal
4
- Mulut
Simetris
Bibir : sianosis (-), pucat (-), stomatitis angularis (-), ulkus (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
Lidah : leukoplakia (+)
Gigi geligi : normal
Mukosa : leukoplakia pada mukosa bukal

- Leher
Simetris
Deviasi trakea : (-)
Kaku kuduk : (-)
Pembesaran KGB : (-)
JVP : normal (5+2) cm
Otot SCM : aktif (-), hipertrofi (-)
Pembesaran tiroid : (-)

- Thorax

Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada normal simetris, barrel chest (-), retraksi (+).
2) Pergerakan dinding dada simetris
3) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-), spider naevi (-), ictus cordis
tampak.
4) Penggunaan otot bantu napas : otot SCM tidak aktif, hipertrofi otot SCM (-),
otot bantu abdomen aktif, hipertrofi otot bantu abdomen (-).
5) Tulang iga dan sela iga : pelebaran ICS (-), penyempitan ICS (-).
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula cembung simetris, fossa jugularis:
deviasi trakea (-).
7) Tipe pernapasan torako-abdominal dengan frekuensi napas 20 x/menit.

Palpasi :
1) Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), ictus cordis teraba di ICS V linea
midclavicularis sinistra, thrill (-).
2) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-), suhu normal.
3) Pergerakan dinding dada simetris
5
4) Vocal fremitus
Normal Normal

Normal Normal

Normal Normal

Perkusi :
1) Densitas
Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

2) Batas paru-jantung : Dextra ICS II linea parasternalis dekstra


Sinistra ICS V linea miclavicularis sinistra
3) Batas paru-hepar :
- Ekspirasi ICS IV
Ekskursi : 2 ICS
- Inspirasi ICS VI

Auskultasi :
1) Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).
2) Pulmo :
- Vesikuler :
+ +
+ +
+ +

- Rhonki basah :
+ +
+ +
+ +
- Wheezing :
- -

6
- -
- -

- Abdomen

Inspeksi :
1) Distensi (-)
2) Umbilikus masuk merata
3) Permukaan kulit: ikterik (-), bercak luka yang mengering (-), scar (-), massa(-),
vena kolateral (-), caput medusa (-).

Auskultasi :
1) Bising usus (+) meningkat
2) Metalic sound (-)
3) Bising aorta (-)

Perkusi :
1) Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
2) Nyeri ketok (-)
3) Shifting dullness (-)

Palpasi :
1) Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
2) Massa (-)
3) Hepar/lien/ren tidak teraba
4) Murphy sign (-)
- Ekstremitas
Ekstremitas Atas
Akral hangat : +/+
Pucat : +/+
Deformitas : -/-
Edema : -/-
Sianosis : -/-

7
Petekie : -/-
Bercak luka : -/-
Clubbing finger : -/-
Sendi : dbn
CRT : > 2 detik
Ekstremitas Bawah
Akral hangat : +/+
Pucat : +/+
Deformitas : -/-
Edema : +/+
Sianosis : -/-
Petekie : -/-
Bercak luka : -/-
Clubbing finger : -/-
Sendi : dbn
~ Genitourinaria: tidak di evaluasi

8
IV. RESUME

Pasien rujukan puskesmas datang ke IGD RSUD Praya dengan keluhan


penurunan berat badan yang drastis sejak 3 bulan terakhir. Penurunan berat badan
disertai lemas, pasien hanya mampu berbaring. Lemas tidak hilang meskipun pasien
beristirahat. Selain itu pasien mengalami demam, demam naik-turun, mereda bila
diberikan obat penurun panas. Demam disertai keringat dingin dan tidak menggigil.
Sejak 3 bulan yang lalu, pasien mengeluh nafsu makannya menurun dan sakit saat
menelan. Pasien juga sering mual. Pada 1 bulan terakhir, pasien mengeluh batuk, batuk
kering, dahak (-), darah (-). Terkadang pasien sesak saat batuk. Pada beberapa hari
terakhir pasien juga mengeluh BAB cair, frekuensi 3-4 kali per hari, disertai bercak
darah. Keluhan seperti perut kembung atau nyeri dada disangkal oleh pasien.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan TD: 100/60 mmHg, RR: 20x/menit, N:


72x/menit, T: 38,3C. Pada kepala-leher didapatkan konjungtiva anemis dan
leukoptekia pada lidah. Pada thorax didapatkan retraksi pada dinding dada dan pada
auskultasi didapatkan ronkhi pada seluruh lapang paru. Didapatkan edem pada kedua
ekstremitas bawah pasien dengan CRT > 2 detik. Sementara pada pemeriksaan status
gizi pasien termasuk dalam kategori underweight.

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
02/10/2017 07/10/2017 Nilai Rujukan
HB: 8,6g/dl HB: 8,51 g/dl HB: 12,0 16,0 g/dl
WBC: 23 x 103/t WBC: 11,9 x 103/t WBC: 4,10 10,9 x 103/t
PLT: 336 x 103/L PLT: 150 x 103/L PLT: 150 450 103/L

Pemeriksaan Kimia Klinik (11/09/2017)


Parameter Nilai Normal
GDS: 7mg/dl GDS: 70-200 mg/dl
SGOT: 318,5 IU/L SGOT: 0,0 -37 IU/L
SGPT: 34,1 IU/L SGPT: 0,0-42,0 IU/L
Kreatinin: 0,85 mg/dL Kreatinin: 0,7 1,3 mg/dL
Urea: 51,4 mg/dl Urea: 13,0-43,0 mg/dl

9
Albumin: 1,4 g/dL Albumin: 3,5 5,2 g/dL

Urin Lengkap (5/10/2017)


Parameter
Berat Jenis: 1.010
pH: 6,5
Eritrosit: 0-5
Lekosit: 5-10
Epitel sel: 1-5

Imunoserologi
Anti HIV
Reaktif

VI. ASSESMENT
- Tuberkulosis
- B20 (ODHA)
- Candidiasis oral
VII. PLANNING
Planning Diagnosis
Pemeriksaan Sputum BTA S-P-S
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan biakan sputum
Pemeriksaan CD4+
Konsul ahli gizi
Planning Terapi
IVFD RL 28 tpm
OAT-KDT
Inj Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj Omeprazole 1 amp/12 jam
Inj Dexamethasone 1 amp/12 jam
inj Ceftriaxone 1 amp/12 jam
Transfusi 2 kolf/hari

10
Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n P.O
Nystatin drop
Edukasi:
o OS dihimbau untuk minum obat secara teratur
o Kontrol ke Poliklinik Penyakit Dalam dan Paru sebelum obat habis
Planning Monitoring
Keluhan
Tanda vital
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Imunnodeficiency


Syndrome (AIDS)
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik
khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak
sel darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4
(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus. Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan orang
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Tingkat HIV dalam tubuh dan timbulnya berbagai
infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS
(Acquired Imunnodeficiency Syndrome).
Sementara AIDS merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh
menurunnya kekebalan tubuh akibat virus HIV. Sebagian besar orang yang terkena HIV,
bila tidak mendapat pengobatan, akan menunjukkan tanda-tanda AIDS dalam waktu 8-10
tahun. AIDS diidentifikasi berdasarkan beberapa infeksi tertentu yang dikelompokkan
oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) menjadi 4 tahapan stadium
klinis, dimana pada stadium penyakit HIV yang paling terakhir (stadium IV) digunakan
sebagai indikator AIDS. Sebagian besar keadaan ini merupakan infeksi oportunistik yang
apabila diderita oleh orang yang sehat, infeksi tersebut dapat diobati.
2. Epidemiologi HIV/AIDS
Kasus HIV/AIDS pertama di dunia dilaporkan pada tahun 1981. Menurut UNAIDS,
salah satu bagian dari WHO yang mengurus tentang AIDS menyebutkan bahwa perkiraan
jumlah penderita yang terinfeksi HIV/AIDS di seluruh dunia sampai dengan akhir tahun
2010 mencapai 34 juta. Dilihat dari tahun 1997 hingga tahun 2011 jumlah penderita
HIV/AIDS mengalami peningkatan hingga 21%. Pada tahun 2011, UNAIDS
memperkirakan jumlah penderita baru yang terinfeksi HIV/AIDS sebanyak 2,5 juta.
Jumlah orang yang meninggal karena alasan yang terkait AIDS pada tahun 2010 mencapai
1,8 juta, menurun dibandingkan pada pertengahan tahun 2000 yang mencapai puncaknya
yaitu sebanyak 2,2 juta. Di Indonesia, jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat dari
tahun ke tahun tetapi jumlah kasus baru yang terinfeksi HIV/AIDS relatif stabil bahkan
cenderung menurun. Menurut Laporan HIV-AIDS Triwulan II Tahun 2012, didapatkan
jumlah kasus baru HIV pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 3.892 kasus dan

12
jumlah kasus kumulatif HIV pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus.
Sedangkan kasus baru AIDS pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 1.673 kasus
dan jumlah kasus kumulatif AIDS pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 32.103 kasus.
3. Patogenesis HIV/AIDS
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang
mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun
atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel
yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4.
Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut
merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA
(Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan
mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan
berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak 15 tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window period. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2
tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.

13
4. Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit
lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
a. Manifestasi tumor
1. Sarkoma Kaposi Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini
sangat jarang menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf
serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas
dalam dan demam. 17
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paruparu
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab
kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal

14
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.
c. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
5. Diagnosis dan Stadium Klinis HIV/AIDS
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO
atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala
mayor dan satu gejala minor

Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi:


a. Stadium I
Bersifat asimptomatik, aktivitas normal dan dijumpai adanya Limfadenopati
generalisata.
b. Stadium II
Simptomatik, aktivitas normal, berat badan menurun <10%, terdapat kelainan kulit dan
mukosa yang ringan seperti Dermatitis seroboik, Prorigo, Onikomikosis, Ulkus yang
berulang dan Kheilitis angularis, Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir, adanya infeksi
saluran nafas bagian atas seperti Sinusitis bakterialis.
c. Stadium III
Pada umumnya kondisi tubuh lemah, aktivitas di tempat tidur < 50%, berat badan
menurun >10%, terjadi diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan, demam
berkepanjangan lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal, TB paru dalam 1
tahun terakhir, infeksi bakterial yang berat seperti Pneumonia dan Piomiositis.

15
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%, terjadi HIV
wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti Pneumonia
Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan,
Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks
mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata
seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru,
Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.

Selain itu, dengan menurunnya status imun terutama bila CD4 <200 sel/mm3, maka
berbagai mikroorganisme seperti virus, bakteri, protozoa cenderung tumbuh dan
berkembang biak menimbulkan infeksi sekunder. Bila CD4 semakin turun hingga <200
sel/mm3, maka selain ketiga organisme tersebut juga muncul infeksi jamur. Meskipun
demikian infeksi jamur dapat terjadi bersamaan dengan ketiganya. Berikut klasifikasi
WHO berdasarkan kadar CD4.

6. Terapi HIV/AIDS
Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada semua stadium memerlukan perawatan
paliatif dan pengobatan simtomatis untuk menghilangkan timbulnya gejala dan rasa sakit.
Pengobatan dan perawatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan
meningkatkan usia harapan hidup pada ODHA. Namun, sampai saat ini belum ditemukan
obat atau vaksin yang dapat mematikan HIV. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dilakukan
secara supportif, pengobatan infeksi oportunistik dan pengobatan antiretrovial (ARV).
Terapi supportif bertujuan untuk meningkatkan keadaan umum dari ODHA yang terdiri
dari pemberian gizi yang baik, vitamin, obat simtomatik dan dukungan psikososial agar
ODHA dapat melakukan kehidupan seoptimal mungkin. Sedangkan pengobatan
oportunistik dilakukan apabila ada infeksi oportunistik yang menyertai dan dilakukan
secara empiris, menjelaskan pemberian ARV pada ODHA dapat meningkatkan kondisi

16
kesehatannya. Infeksi penyakit oportunistik yang berat dapat disembuhkan. Penyakit yang
biasanya terjadi berulang tidak akan kambuh dan tidak perlu meminum obat profilaksis
apabila ODHA minum obat ARV secara teratur.
Penurunan kasus terjadinya sarkoma kaposi, kasus kanker, dan limfoma yang terkait
dengan HIV di karenakan pemberian obat ARV ersebut. Kasus sarkoma kaposi membaik
tanpa pengobatan khusus. Penekanan pada replikasi virus menyebabkan penurunan
produksi sitokinin dan protein virus yang dapat memperberat pertumbuhan sarkoma
kaposi. Selain itu kembalinya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat memproduksi
imun yang efektif terhadap human herpes virus yang dihubungkan dengan sarkoma
kaposi. ARV bekerja langsung menghambat enzim reserve transcriptase. Akan tetapi ARV
belum mampu membunuh HIV, obat ini hanya dapat diambil oleh partisipam di rumah
sakit rujukan VCT. Pemberian ARV mampu menurunkan HIV RNA menjadi di bawah
5000 copies/Ul dan peningkatan CD4 di atas 500cell/l. Obat ARV terdiri dari beberapa
golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse
inhibitot, dan inhobotor protease. Akan tetapi tidak semua golongan tersebut ada di
Indonesia. Terapi ARV tepat dimulai setelah seseorang didiagnosis terinfeksi HIV disertai
kondisi sebagai berikut:

7. Tuberkulosis (TB) Paru pada Imunokompromais


Risiko Infeksi TB pada Pasien Imunokompromais
Tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan terinfeksi TB.
Hanya sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko
menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya infeksi.

17
Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang
bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi
yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes mellitus tidak terkontrol, gagal
ginjal kronik, keganasan dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain
dalam jangka panjang). Dibandingkan dengan orang yang imunokompeten, risiko
terinfeksi pada pasien imunokompromais lebih besar termasuk infeksi M.tb.
Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama
hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini
jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 10%.

Gambar 4. Faktor Risiko Kejadian TB

Manifestasi Klinis TB pada Imunokompromais


Manifestasi klinis TB pada pasien imunokompromais sering kali tidak
spesifik. Gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat
badan yang signifikan (lebih dari 10%) dan gejala ekstraparu sesuai dengan organ
yang terkena misalnya TB pleura, TB perikard, TB milier, TB susunan saraf pusat dan
TB abdomen.
Diagnosis TB pada Imunokompromais
Penegakan diagnosis TB paru pada imunokompromais tidak terlalu berbeda
dengan orang imunokompeten. Penegakan diagnosis TB pada umumnya didasarkan
pada pemeriksaan mikroskopis dahak namun pada pasien imunokompromais dengan
TB seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif. Di samping itu, pada pasien
imunokompromais sering dijumpai TB ekstraparu dimana diagnosisnya sulit

18
ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan
atau histologi yang di dapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada alur diagnosis TB pada pasien imunokompromais, antara lain:
Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS
hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada pasien imunokompromais sering
memberikan hasil negatif sehingga penegakkan diagnosis TB dengan
menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes
cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya resistensi terhadap
rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada pasien imunokompromais tersebut
bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan
dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dahak
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka pasien imunokomromais yang
BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena
hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan
TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian pada pasien dengan
imunokompromais. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu
diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada pasien
imunokompromais dengan infeksi opportunistik yang mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian
antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai
pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan
fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat
memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.
Pemeriksaan foto toraks

19
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis
TB pada pasien imunokompromais dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan
bahwa gambaran foto toraks pada pasien imunokompromais umumnya tidak
spesifik terutama pada stadium lanjut. Indikasi pemeriksaan foto toraks pada pasien
imunokompromais, antara lain:
- BTA positif
Foto toraks diperlukan pada:
o Pasien sesak nafas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura)
o Pasien hemoptisis
o Pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya
- BTA negatif
Lakukan pada pasien TB paru BTA negatif
Tabel 8. Gambaran Foto Toraks Tipikal dan Atipikal

20
Gambar 5. Alur Diagnosis TB pada ODHA untuk Faskes
yang Memiliki Akses Tes Cepat TB
Keterangan:
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernafasan >30
kali/menit, demam >39oC, denyut nadi >120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolom (untuk IO lain) dengan meneruskan
alur diagnosis
2. Untuk terduga pasien TB ekstra paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
3. Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan
tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up,
namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat.

21
4. Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB
yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera
mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik
5. Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:
a. Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan
hasil tes cepat
b. Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan
terapi TB
c. Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari
penyebab yang lain

Gambar 6. Alur Diagnosis TB pada ODHA untuk Faskes


yang Sulit Menjangkau Layanan Tes Cepat TB

Keterangan:
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-
tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernafasan >30 kali/menit, demam >39oC, denyut nadi >120

22
kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. Berikan antibiotika non
fluorokuinolom (untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosis
2. Untuk terduga pasien TB ekstra paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
3. Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA (-) dan foto toraks mendukung TB maka
diberikan terapi TB dulu
4. Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap
rifampisin
5. Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA (-) dan foto toraks tidak mendukung TB
dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan
diagnosis TB.

Gambar 7. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan Rawat Jalan

23
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan
adalah sebagai berikut:
Kunjungan pertama
Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil
pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien
tersebut.
Kunjungan kedua
Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu
dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak,
lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada
kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di
Fasyankes tersebut.
Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan
apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium
klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
Kunjungan ketiga
Dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan kedua.
Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks
mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu
mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk
mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan
penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
Kunjungan keempat
Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana respons pasien pada
pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons
yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan
pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis).
Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada
pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan
pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.

24
Gambar 8. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan Sakit Berat

Tabel 5. Perbedaan TB Paru Stadium Awal dan Lanjutan Infeksi HIV

Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan
prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien
TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.

25
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja
yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan

c. MDR TB / TB kronik Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan

diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan
dilakukan pemeriksaan CD4.

Pengobatan OAT pada TB-HIV:


Tatalaksana TB pada ODHA termasuk wanita hamil prinsipnya sama seperti
pada pasien TB lainnya. Pasien TB dengan HIV (+) diberikan OAT dan ARV
dengan mendahulukan pengobatan TB untuk mengurangi angka kesakitan dan
kematian. Pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam 2-8 minggu
pertama setelah dimulainya pengobatan TB dan dapat ditoleransi baik
Penting diperhatikan dari pengobatan TB pada ODHA, apakah pasien sedang
dalam pengobatan ARV atau tidak. Bila sedang dalam pengobatan ARV,
sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas kesehatan dasar (strata 1),
rujuk pasien ke RS rujukan pengobatan ARV
Apabila pasien Tb didapati HIV (+), unit DOTS merujuk pasien ke unit HIV
atau RS rujukan ARV untuk mempersiapkan pengobatan ARV
Pengobatan ARV harus diberikan di layanan PDP yang mampu memberikan
tatalaksana komplikasi terkait HIV yaitu RS rujukan ARV. Sedangkan untuk
pengobatan TB bisa di dapat di unit DOTS yang terpisah ataupun terintegrasi
dalam unit PDP

26
Ketika kondisi pasien stabil, misalnya tidak dijumpai reaksi atau efek
samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke
Puskesmas/unit DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan ARV tetap
diberikan oleh unit HIV
Pengobatan pencegahan dengan INH (PP INH) untuk mencegah TB aktif
pada ODHA. Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi
maka PP INH yang diberikan yaitu INH dosis 300 mg/hari dan B6 dosis 25
mg/hari sebanyak 180 dosis atau 7 bulan
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) diberikan untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB
akibat infeksi opportunistik.
Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada

Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan
dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART
harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa
memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau

27
cgc 1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300
mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari)
sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang
mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB
diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam
dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida
dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan
nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai
saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
Jenis ART

28
8. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan

atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi

yang mungikin timbul adalah :


a. Batuk darah
b. Pneumotoraks
c. Luluh paru
d. Gagal napas
e. Gagal jantung
f. Efusi pleura

29
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis pada kasus ini ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk memguatkan kemungkinan diagnosis.
Pada pasien ini ditemukan gejala-gejala yang mengarah pada HIV. Berdasarkan
keluhan pasien, ditemukan 2 kriteria mayor yaitu adanya penurunan berat badan drastis
(>10%) dan demam persisten lebih dari 3 bulan serta ditemukan 1 kriteria mayor yaitu
kandidiasis oral dengan ditemukan leukopleki pada lidah pasien. Selain itu, pasien juga
bekerja di daerah yang beresiko terinfeksi HIV. Hal ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan
laboratorium uji Anti-HIV pasien yang reaktif.
Berdasarkan stadium klinisnya pasien ini terdiagnosis HIV/AIDS dengan stadium
klinis III karena kondisi tubuh pasien yang lemah, berat badan menurun >10%, demam
berkepanjangan yang lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal dan TB paru dalam
1 tahun terakhir.
Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko
berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem
kekebalan tubuh. Sehingga resiko untuk terinfeksi TB pada ODHA akan lebih besar
dibandingkan pasien imunokompeten. Pada pasien ini ditemukan diagnosis tuberkulosis yang
berdasarkan gambaran klinis dan gambaran radiologis. Pada pemeriksaan klinis ditemukan
batuk yang lebih dari 2 minggu dan ditemukan ronkhi pada lapang paru. Sementara pada
gambaran radiologis ditemukan bercak infiltrat pada apeks paru kanan dan kiri. Umumnya,
untuk mendiagnosis TB pada pasien HIV lebih sulit karena gejala yang timbul tidak dominan
dan pada pemeriksaan mikroskopis dahak seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif.
Selain itu, pada pasien imunokompromais sering dijumpai TB ekstraparu dimana
diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis,
bakteriologi dan atau histologi yang di dapat dari tempat lesi. Sehingga untuk memperkuat
diagnosa dilakukan planning diagnostik yaitu:
Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif
maka ditetapkan sebagai pasien TB.
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif

30
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada pasien imunokompromais sering memberikan hasil
negatif sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert
MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat
mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada
pasien imunokompromais tersebut bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan,
pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan
pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan sputum
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka pasien imunokomromais yang BTA
negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Terapi TB pada pasien ini diberikan OAT dan ARV dengan mendahulukan pengobatan
TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian. Hal ini disebabkan interaksi antara
ARV dan OAT yang dikonsumsi bersama-sama akan memiliki efek samping terhadap kerja
ARV dalam menekan jumlah virus dalam tubuh. Tetapi apabila ODHA sudah mengonsumsi
ARV sebelumnya maka OAT dapat diberikan dengan melanjutkan pengobatan ARV. Karena
pasien belum pernah mendapatkan pengobatan ARV, maka OAT akan diberikan terlebih
dahulu. Sementara, pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam 2-8 minggu pertama
setelah dimulainya pengobatan TB. Hal ini ditujukan terutama pada pasien dengan jumlah
CD4 dibawah 200mm3. Untuk itu diperlukan pemeriksaan kadar CD4 pada pasien. Tetapi
pada pasien ini diberikan terapi OAT untuk 6 bulan dalam kemasan FDC (Fixed Drugs
Combination) terdebih daluhu, yang nantinya akan dilanjutkan dengan pemberian ARV. OAT
yang diberikan merupakan FDC yaitu kombinasi obat dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Sejak seseorang terinfeksi HIV, terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh yang dapat
menyebabkan penurunan status gizi. Pada kasus ini, pasien dapat dikatakan mengalami
penurunan status gizi karena dari hasil perhitungan BMI, pasien termasuk dalam kategori
underweight yaitu 17.8. Selain itu, tingkat albumin pada pasien ditemukan rendah yaitu 1,4
g/dL ditambah dengan munculnya edem pada ekstremitas bawah pasien, dimana
hipoalbuminemia sebagai penanda malnutrisi karena albumin dipengaruhi oleh protein-energi
malnutrisi yang diinduksi oleh stres atau cedera, tingkat albumin yang rendah dapat
mencerminkan status gizi buruk pada tahap awal penyakit sebelum perubahan berat badan
atau penanda klinis lainnya. Sehingga pasien ini perlu dikonsulkan ke Ahli Gizi.
Selain itu, anemia sering ditemukan pada penderita malnutrisi berat. Hal ini dapat
diakibatkan karena defisiensi besi dan atau berkurangnya produksi sel eritrosit dalam adaptasi

31
terhadap kehilangan masa tubuh. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
ditemukan konjungtiva anemis dan CRT > 2 detik dengan hasil laboratorium kadar Hb 8,51
gr/dl, sehingga diperlukan transfusi untuk memperbaiki kondisi pasien.
Sebagai terapi simptomatik diberikan Paracetamol untuk mengatasi demam pasien.
Untuk mengatasi Diare diberikan rehidrasi cairan yaitu RL 28 tpm dan ranitidine untuk diare
yang disertai dengan bercak darah, Ranitidine diberikan 1 ampul per 12 jam. Kandidiasis oral
diterapi dengan nystatin drop. Pemberian antibiotik pada pasien ini untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, jenis antibiotik diberikan Ceftriaxone injeksi per 12 jam.
Beberapa infeksi oportunistik (pneumonia pneumocystis) pada penderita HIV dapat
dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis dengan Deksamethasone.
Selama perawatan keluarga penderita diberikan penyuluhan tentang terapi OAT yang
harus diminum setiap hari hingga 6 bulan, dan terapi ARV yang harus diminum seumur
hidup juga pemberian asupan makanan yang adekuat. Sebelum pulang penderita dianjurkan
agar dibawa kontrol secara teratur ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk pemantauan
Gizi, pengobatan TB dan ARV. Pasien dapat dipulangkan apabila sudah ada perbaikan klinis,
selera makan sudah baik, peningkatan berat badan, dan pasien tidak lemas. Pada pasien ini
setelah dirawat selama 4 hari kondisi klinis pasien memburuk sehingga pasien harus dirawat
di ICU.

32
BAB V
KESIMPULAN

Tuberkulosis (TB) paru merupakan infeksi opportunistik yang paling sering yang
ditemukan pada HIV dimana TB paru dan HIV saling memperburuk kondisi pasien. Angka
TB pada ODHA 40 kali lebih tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV.
Untuk itu, penatalaksanaan TB pada ODHA sama dengan penatalaksaan TB paru biasa tetapi
terapi TB dilakukan terlebih dahulu. Untuk itu pentingnya skrining HIV-TB pada pasien agar
dapat meningkatkan angka mortalitas pasien, selain itu diperlukan penyuluhan kepada
penderita HIV tentang bahaya TB pada HIV dan perlunya pengobatan dini terhadap TB pada
HIV.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pengendalian


Tuberkulosis: Indonesia Bebas Tuberkulosis. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
Dan Penyehatan Lingkungan. 2014.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk Teknis Tatalaksana Klinis Ko-
Infeksi TB-HIV. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan.
2012.
3. Sester M, et al. Risk Assessment of Tuberculosis in Immunocompromised Patients: A
TBNeT Study. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 2014;
Volume 190 Number 10: 1168-1176. [online]. Available from:
http://www.atsjournals.org/doi/abs/10.1164/rccm.201405-0967OC [Accessed on October
2017]
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
5. Corti M, Palmero D, and Eiguchi K. Respiratory Infections in Immunocompromised
Patients. Infectious Disease. 2009; 209-217. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19276812 [Accessed on October 2017]
6. Alsagaff H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.
Jakarta: Airlangga, 2002.
7. Suwitra K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing: 163 (p1035-1040)

34

Anda mungkin juga menyukai