Oleh :
Marisa Syavitri Dilaga
H1A013038
Pembimbing :
dr. I Made Windutama, Sp.PD
TAHUN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. H
Usia : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Lekong
Suku : Sasak
Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang
No. RM : 911195
Tanggal MRS : 07-10-2017
Tanggal Periksa : 09-10-2017
II. ANAMNESIS
Pasien tidak memiliki keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat hipertensi, DM,
asma disangkal oleh pasien.
2
D. Riwayat Penyakit Keluarga :
Status Generalis
Keadaan Umum : lemah
Kesadaran : compos mentis
GCS : E4V5M6
Status Gizi : Underweight
BB = 40 kg TB = 150 cm BMI = 17,8
Tanda Vital
- Tekanan darah : 100/60 mmHg
- Frekuensi nadi : 72 x/menit, reguler, kuat angkat.
- Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler, torako-abdominal.
- Suhu aksila : 38,3 C
Status Lokalis
- Kepala
Bentuk dan ukuran : normal
Rambut : normal
3
Edema : (-)
Parese N. VII : (-)
Hiperpigmentasi : (-)
Nyeri tekan kepala : (-)
- Mata
Simetris
Alis normal
Exopthalmus : (-/-)
Ptosis : (-/-)
Nystagmus : (-/-)
Strabismus : (-/-)
Edema palpebra : (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+), hiperemia (-/-)
Sclera : ikterus (-), hiperemia (-/-), pterygium (-/-)
Pupil : Refleks pupil +/+, isokor, bentuk bulat, 3 mm,
miosis (-/-), midriasis (-/-)
Kornea : normal
Lensa : pseudopakia (-/-), keruh (-/-)
Pergerakan bola mata : normal ke segala arah
- Telinga
Bentuk : normal, simetris antara kiri dan kanan.
Liang telinga (MAE) : normal, sekret (-/-), serumen (-/-).
Nyeri tekan tragus : (-/-)
Peradangan : (-/-)
Pendengaran : kesan normal
- Hidung
Simetris
Deviasi septum : (-/-)
Napas cuping hidung : (-)
Perdarahan : (-/-)
Sekret : (-/-)
Penciuman : kesan normal
4
- Mulut
Simetris
Bibir : sianosis (-), pucat (-), stomatitis angularis (-), ulkus (-)
Gusi : hiperemia (-), perdarahan (-).
Lidah : leukoplakia (+)
Gigi geligi : normal
Mukosa : leukoplakia pada mukosa bukal
- Leher
Simetris
Deviasi trakea : (-)
Kaku kuduk : (-)
Pembesaran KGB : (-)
JVP : normal (5+2) cm
Otot SCM : aktif (-), hipertrofi (-)
Pembesaran tiroid : (-)
- Thorax
Inspeksi :
1) Bentuk dan ukuran dada normal simetris, barrel chest (-), retraksi (+).
2) Pergerakan dinding dada simetris
3) Permukaan dinding dada: scar (-), massa (-), spider naevi (-), ictus cordis
tampak.
4) Penggunaan otot bantu napas : otot SCM tidak aktif, hipertrofi otot SCM (-),
otot bantu abdomen aktif, hipertrofi otot bantu abdomen (-).
5) Tulang iga dan sela iga : pelebaran ICS (-), penyempitan ICS (-).
6) Fossa supraklavikula dan infraklavikula cembung simetris, fossa jugularis:
deviasi trakea (-).
7) Tipe pernapasan torako-abdominal dengan frekuensi napas 20 x/menit.
Palpasi :
1) Posisi mediastinum : deviasi trakea (-), ictus cordis teraba di ICS V linea
midclavicularis sinistra, thrill (-).
2) Nyeri tekan (-), benjolan (-), krepitasi (-), suhu normal.
3) Pergerakan dinding dada simetris
5
4) Vocal fremitus
Normal Normal
Normal Normal
Normal Normal
Perkusi :
1) Densitas
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Auskultasi :
1) Cor : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).
2) Pulmo :
- Vesikuler :
+ +
+ +
+ +
- Rhonki basah :
+ +
+ +
+ +
- Wheezing :
- -
6
- -
- -
- Abdomen
Inspeksi :
1) Distensi (-)
2) Umbilikus masuk merata
3) Permukaan kulit: ikterik (-), bercak luka yang mengering (-), scar (-), massa(-),
vena kolateral (-), caput medusa (-).
Auskultasi :
1) Bising usus (+) meningkat
2) Metalic sound (-)
3) Bising aorta (-)
Perkusi :
1) Timpani (+) pada seluruh lapang abdomen
2) Nyeri ketok (-)
3) Shifting dullness (-)
Palpasi :
1) Nyeri tekan
- - -
- - -
- - -
2) Massa (-)
3) Hepar/lien/ren tidak teraba
4) Murphy sign (-)
- Ekstremitas
Ekstremitas Atas
Akral hangat : +/+
Pucat : +/+
Deformitas : -/-
Edema : -/-
Sianosis : -/-
7
Petekie : -/-
Bercak luka : -/-
Clubbing finger : -/-
Sendi : dbn
CRT : > 2 detik
Ekstremitas Bawah
Akral hangat : +/+
Pucat : +/+
Deformitas : -/-
Edema : +/+
Sianosis : -/-
Petekie : -/-
Bercak luka : -/-
Clubbing finger : -/-
Sendi : dbn
~ Genitourinaria: tidak di evaluasi
8
IV. RESUME
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah Lengkap
02/10/2017 07/10/2017 Nilai Rujukan
HB: 8,6g/dl HB: 8,51 g/dl HB: 12,0 16,0 g/dl
WBC: 23 x 103/t WBC: 11,9 x 103/t WBC: 4,10 10,9 x 103/t
PLT: 336 x 103/L PLT: 150 x 103/L PLT: 150 450 103/L
9
Albumin: 1,4 g/dL Albumin: 3,5 5,2 g/dL
Imunoserologi
Anti HIV
Reaktif
VI. ASSESMENT
- Tuberkulosis
- B20 (ODHA)
- Candidiasis oral
VII. PLANNING
Planning Diagnosis
Pemeriksaan Sputum BTA S-P-S
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan biakan sputum
Pemeriksaan CD4+
Konsul ahli gizi
Planning Terapi
IVFD RL 28 tpm
OAT-KDT
Inj Ranitidine 1 amp/12 jam
Inj Omeprazole 1 amp/12 jam
Inj Dexamethasone 1 amp/12 jam
inj Ceftriaxone 1 amp/12 jam
Transfusi 2 kolf/hari
10
Paracetamol 3 x 500 mg p.r.n P.O
Nystatin drop
Edukasi:
o OS dihimbau untuk minum obat secara teratur
o Kontrol ke Poliklinik Penyakit Dalam dan Paru sebelum obat habis
Planning Monitoring
Keluhan
Tanda vital
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad malam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
12
jumlah kasus kumulatif HIV pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 86.762 kasus.
Sedangkan kasus baru AIDS pada triwulan kedua (April-Juni 2012) sebanyak 1.673 kasus
dan jumlah kasus kumulatif AIDS pada Januari 1987- Juni 2012 sebanyak 32.103 kasus.
3. Patogenesis HIV/AIDS
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit T helper yang
mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah pusat dan sel utama yang terlibat
secara langsung maupun tidak langsung dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun
atau menghilangnya sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel
yang berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel Limfosit T4.
Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus masuk ke dalam target dan
melepaskan bungkusnya kemudian dengan enzim reverse transkriptase virus tersebut
merubah bentuk RNA (Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA
(Deoxyribonucleic Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan
mengandung bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel dan
berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang
diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi sehingga ada kesempatan untuk
berkembang dalam tubuh penderita tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4
sampai pada jumlah tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi
adalah waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai menunjukkan
gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat terdeteksi dengan pemeriksaan
laboratorium kurang lebih 3 bulan sejak 15 tertular virus HIV yang dikenal dengan masa
window period. Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala
klinis pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian penderita
memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6 minggu setelah terinfeksi.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk. Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa
gejala). Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat hanya sekitar 2
tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus HIV akan
menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh yang rusak akan
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan hilang, sehingga penderita akan
menampakkan gejala-gejala akibat infeksi oportunistik.
13
4. Manifestasi Klinis HIV/AIDS
Tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada penderita AIDS umumnya sulit
dibedakan karena bermula dari gejala klinis umum yang didapati pada penderita penyakit
lainnya. Secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru h. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
a. Manifestasi tumor
1. Sarkoma Kaposi Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini
sangat jarang menjadi sebab kematian primer.
2. Limfoma ganas Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf
serta dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
b. Manifestasi oportunistik
1. Manifestasi pada Paru
a. Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas
dalam dan demam. 17
b. Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paruparu
tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30% penyebab
kematian pada AIDS.
c. Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d. Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan cepat
menyebar ke organ lain di luar paru.
2. Manifestasi gastrointestinal
14
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan >10% per bulan.
c. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis yang biasanya
timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang umum adalah ensefalitis,
meningitis, demensia, mielopati, neuropati perifer.
5. Diagnosis dan Stadium Klinis HIV/AIDS
Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO
atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidemiologi dibuat
apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-kurangnya didapatkan dua gejala
mayor dan satu gejala minor
15
d. Stadium IV
Pada umumnya kondisi tubuh sangat lemah, aktivitas ditempat tidur >50%, terjadi HIV
wasting syndrome, semakin bertambahnya infeksi opurtunistik seperti Pneumonia
Pneumocystis carinii, Toksoplasmosis otak, Diare Kriptosporidiosis lebih dari 1 bulan,
Kriptosporidiosis ekstrapulmonal, Retinitis virus sitomegalo, Herpes simpleks
mukomutan >1 bulan, Leukoensefalopati multifocal progresif, Mikosis diseminata
seperti histopasmosis, Kandidiasis di esophagus, trakea, bronkus, dan paru,
Tuberkulosis di luar paru, Limfoma, Sarkoma Kaposi, serta Ensefalopati HIV.
Selain itu, dengan menurunnya status imun terutama bila CD4 <200 sel/mm3, maka
berbagai mikroorganisme seperti virus, bakteri, protozoa cenderung tumbuh dan
berkembang biak menimbulkan infeksi sekunder. Bila CD4 semakin turun hingga <200
sel/mm3, maka selain ketiga organisme tersebut juga muncul infeksi jamur. Meskipun
demikian infeksi jamur dapat terjadi bersamaan dengan ketiganya. Berikut klasifikasi
WHO berdasarkan kadar CD4.
6. Terapi HIV/AIDS
Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) pada semua stadium memerlukan perawatan
paliatif dan pengobatan simtomatis untuk menghilangkan timbulnya gejala dan rasa sakit.
Pengobatan dan perawatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan
meningkatkan usia harapan hidup pada ODHA. Namun, sampai saat ini belum ditemukan
obat atau vaksin yang dapat mematikan HIV. Sehingga pengobatan HIV/AIDS dilakukan
secara supportif, pengobatan infeksi oportunistik dan pengobatan antiretrovial (ARV).
Terapi supportif bertujuan untuk meningkatkan keadaan umum dari ODHA yang terdiri
dari pemberian gizi yang baik, vitamin, obat simtomatik dan dukungan psikososial agar
ODHA dapat melakukan kehidupan seoptimal mungkin. Sedangkan pengobatan
oportunistik dilakukan apabila ada infeksi oportunistik yang menyertai dan dilakukan
secara empiris, menjelaskan pemberian ARV pada ODHA dapat meningkatkan kondisi
16
kesehatannya. Infeksi penyakit oportunistik yang berat dapat disembuhkan. Penyakit yang
biasanya terjadi berulang tidak akan kambuh dan tidak perlu meminum obat profilaksis
apabila ODHA minum obat ARV secara teratur.
Penurunan kasus terjadinya sarkoma kaposi, kasus kanker, dan limfoma yang terkait
dengan HIV di karenakan pemberian obat ARV ersebut. Kasus sarkoma kaposi membaik
tanpa pengobatan khusus. Penekanan pada replikasi virus menyebabkan penurunan
produksi sitokinin dan protein virus yang dapat memperberat pertumbuhan sarkoma
kaposi. Selain itu kembalinya kekebalan tubuh menyebabkan tubuh dapat memproduksi
imun yang efektif terhadap human herpes virus yang dihubungkan dengan sarkoma
kaposi. ARV bekerja langsung menghambat enzim reserve transcriptase. Akan tetapi ARV
belum mampu membunuh HIV, obat ini hanya dapat diambil oleh partisipam di rumah
sakit rujukan VCT. Pemberian ARV mampu menurunkan HIV RNA menjadi di bawah
5000 copies/Ul dan peningkatan CD4 di atas 500cell/l. Obat ARV terdiri dari beberapa
golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse
inhibitot, dan inhobotor protease. Akan tetapi tidak semua golongan tersebut ada di
Indonesia. Terapi ARV tepat dimulai setelah seseorang didiagnosis terinfeksi HIV disertai
kondisi sebagai berikut:
17
Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh sehingga yang
bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi
yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes mellitus tidak terkontrol, gagal
ginjal kronik, keganasan dan penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain
dalam jangka panjang). Dibandingkan dengan orang yang imunokompeten, risiko
terinfeksi pada pasien imunokompromais lebih besar termasuk infeksi M.tb.
Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama
hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini
jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 10%.
18
ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis, bakteriologi dan
atau histologi yang di dapat dari tempat lesi. Ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan pada alur diagnosis TB pada pasien imunokompromais, antara lain:
Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu
Pagi Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS
hasilnya positif maka ditetapkan sebagai pasien TB.
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada pasien imunokompromais sering
memberikan hasil negatif sehingga penegakkan diagnosis TB dengan
menggunakan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes
cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat mengetahui adanya resistensi terhadap
rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada pasien imunokompromais tersebut
bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan, pemeriksaan tes cepat dilakukan
dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan dahak
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka pasien imunokomromais yang
BTA negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena
hal ini dapat membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Pemberian antibiotik sebagai alat bantu diagnosis tidak direkomendasi lagi
Penggunaan antibiotik dengan maksud sebagai alat bantu diagnosis seperti alur
diagnosis TB pada orang dewasa dapat menyebabkan diagnosis dan pengobatan
TB terlambat sehingga dapat meningkatkan risiko kematian pada pasien dengan
imunokompromais. Oleh karena itu, pemberian antibiotik sebagai alat bantu
diagnosis tidak direkomendasi lagi. Namun antibiotik perlu diberikan pada pasien
imunokompromais dengan infeksi opportunistik yang mungkin disebabkan oleh
infeksi bakteri lain bersama atau tanpa M.tuberculosis. Jadi, maksud pemberian
antibiotik tersebut bukanlah sebagai alat bantu diagnosis TB tetapi sebagai
pengobatan infeksi bakteri lain. Jangan menggunakan antibiotik golongan
fluorokuinolon karena memberikan respons terhadap M.tuberculosis dan dapat
memicu terjadinya resistensi terhadap obat tersebut.
Pemeriksaan foto toraks
19
Pemeriksaan foto toraks memegang peranan penting dalam membantu diagnosis
TB pada pasien imunokompromais dengan BTA negatif. Namun perlu diperhatikan
bahwa gambaran foto toraks pada pasien imunokompromais umumnya tidak
spesifik terutama pada stadium lanjut. Indikasi pemeriksaan foto toraks pada pasien
imunokompromais, antara lain:
- BTA positif
Foto toraks diperlukan pada:
o Pasien sesak nafas (pneumotoraks, efusi perikard atau efusi pleura)
o Pasien hemoptisis
o Pasien yang dicurigai terdapat infeksi paru lainnya
- BTA negatif
Lakukan pada pasien TB paru BTA negatif
Tabel 8. Gambaran Foto Toraks Tipikal dan Atipikal
20
Gambar 5. Alur Diagnosis TB pada ODHA untuk Faskes
yang Memiliki Akses Tes Cepat TB
Keterangan:
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya
yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda berikut: frekuensi pernafasan >30
kali/menit, demam >39oC, denyut nadi >120 kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak
dibantu. Berikan antibiotika non fluorokuinolom (untuk IO lain) dengan meneruskan
alur diagnosis
2. Untuk terduga pasien TB ekstra paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
3. Pemeriksaan mikroskopis tetap dilakukan bersamaan dengan tes cepat TB dengan
tujuan untuk mendapat data dasar pembanding pemeriksaan mikroskopis follow up,
namun diagnosis TB berdasarkan hasil pemeriksaan tes cepat.
21
4. Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) tetapi menunjukkan gejala klinis TB
yang menetap atau bahkan memburuk, maka ulangi pemeriksaan tes cepat sesegera
mungkin dengan kualitas sputum yang lebih baik
5. Pada ODHA terduga TB dengan hasil MTB (-) dan foto toraks mendukung TB:
a. Jika hasil tes cepat ulang MTB (+) maka diberikan terapi TB sesuai dengan
hasil tes cepat
b. Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis kuat maka diberikan
terapi TB
c. Jika hasil tes cepat ulang MTB (-) pertimbangan klinis meragukan cari
penyebab yang lain
Keterangan:
1. Lakukan pemeriksaan klinis untuk Lakukan pemeriksaan klinis untuk melihat tanda-
tanda bahaya. Tanda-tanda bahaya yaitu bila dijumpai salah satu dari tanda-tanda
berikut: frekuensi pernafasan >30 kali/menit, demam >39oC, denyut nadi >120
22
kali/menit, tidak dapat berjalan bila tidak dibantu. Berikan antibiotika non
fluorokuinolom (untuk IO lain) dengan meneruskan alur diagnosis
2. Untuk terduga pasien TB ekstra paru, lakukan pemeriksaan klinis, pemeriksaan
penunjang bakteriologis, histopatologis, dan pemeriksaan penunjang lainnya.
3. Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA (-) dan foto toraks mendukung TB maka
diberikan terapi TB dulu
4. Tes cepat TB bertujuan untuk konfirmasi MTB dan mengetahui resistensi terhadap
rifampisin
5. Pada ODHA terduga TB dengan hasil BTA (-) dan foto toraks tidak mendukung TB
dilanjutkan dengan pemeriksaan Tes cepat TB yang bertujuan untuk menegakkan
diagnosis TB.
23
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada alur diagnosis TB pada ODHA rawat jalan
adalah sebagai berikut:
Kunjungan pertama
Pemeriksaan mikroskopis dahak harus dikerjakan pada kunjungan pertama. Jika hasil
pemeriksaan dahak BTA positif maka pengobatan TB dapat diberikan kepada pasien
tersebut.
Kunjungan kedua
Jika hasil pemeriksaan dahak BTA negatif maka pada kunjungan kedua perlu
dilakukan pemeriksaan lain, misalnya foto toraks, ulangi pemeriksaan mikroskopis dahak,
lakukan pemeriksaan biakan dahak dan pemeriksaan klinis oleh dokter. Pemeriksaan pada
kunjungan kedua ini sebaiknya dilakukan pada hari kedua dari kunjungan pasien di
Fasyankes tersebut.
Hasil pemeriksaan dari kunjungan kedua ini sangat penting untuk memutuskan
apakah pasien tersebut perlu mendapat pengobatan TB atau tidak. Penentuan stadium
klinis HIV harus dikerjakan dan pemberian PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
Kunjungan ketiga
Dilakukan secepat mungkin setelah ada hasil pemeriksaan pada kunjungan kedua.
Pasien yang hasil pemeriksaannya mendukung TB (misalnya gambaran foto toraks
mendukung TB) perlu diberi OAT. Pasien dengan hasil yang tidak mendukung TB perlu
mendapat antibiotik spektrum luas (jangan menggunakan golongan fluorokuinolon) untuk
mengobati infeksi bakteri lain atau pengobatan untuk PCP. Juga perlu dilakukan
penentuan stadium klinis HIV dan PPK harus diberikan sesuai pedoman nasional.
Kunjungan keempat
Pada kunjungan ke empat ini haruslah diperhatikan bagaimana respons pasien pada
pemberian pengobatan dari kunjungan ketiga. Untuk pasien yang mempunyai respons
yang baik (cepat) terhadap pengobatan PCP atau pengobatan dengan antibiotik, lanjutkan
pengobatannya untuk menyingkirkan terdapatnya juga TB (superimposed tuberculosis).
Bagi pasien yang mempunyai respons yang kurang baik atau tidak baik pada
pengobatan PCP atau pengobatan pneumonia karena bakteri lainnya, perlu dilakukan
pemeriksaan ulang untuk TB baik secara klinis maupun pemeriksaan dahak.
24
Gambar 8. Alur Diagnosis TB Paru pada ODHA dengan Sakit Berat
Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV diindikasikan
untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin. Pada daerah dengan
prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya diindikasi pada pasien
TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga berhubungan dengan HIV dan pada
pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
25
Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB paru tertentu saja
yang memerlukan uji HIV, misalnya:
a. Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b. Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
diagnosis TB paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan
dilakukan pemeriksaan CD4.
26
Ketika kondisi pasien stabil, misalnya tidak dijumpai reaksi atau efek
samping obat, tidak ada interaksi obat maka pasien dapat dirujuk kembali ke
Puskesmas/unit DOTS untuk meneruskan OAT sedangkan ARV tetap
diberikan oleh unit HIV
Pengobatan pencegahan dengan INH (PP INH) untuk mencegah TB aktif
pada ODHA. Jika pada ODHA tidak terbukti TB dan tidak ada kontraindikasi
maka PP INH yang diberikan yaitu INH dosis 300 mg/hari dan B6 dosis 25
mg/hari sebanyak 180 dosis atau 7 bulan
Pengobatan pencegahan dengan kotrimoksasol (PPK) diberikan untuk
mengurangi angka kesakitan dan kematian pada ODHA dengan atau tanpa TB
akibat infeksi opportunistik.
Saat pemberian obat pada koinfeksi TB-HIV harus memperhatikan jumlah
limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada
Keterangan:
a. Saat mengawali ART harus didasarkan atas pertimbangan klinis sehubungan
dengan adanya tanda lain dari imunodefisiensi. Untuk TB ekstraparu, ART
harus diberikan secepatnya setelah terapi TB dapat ditoleransi, tanpa
memandang CD4
b. Sebagai alternatif untuk EFV adalah: SQV/r (400/400 mg 2 kali sehari atau
27
cgc 1600/200 1 kali sehari), LPV/r (400/400 mg 2 kali sehari) dan ABC (300
mg 2 kali sehari)
c. NVP (200 mg sehari selama 2 minggu diikuti dengan 200 mg 2 kali sehari)
sebagai pengganti EFV bila tidak ada pilihan lain. Rejimen yang
mengandung NVP adalah d4T/3TC/NVP atau ZDV/3TC/NVP
d. Paduan yang mengandung EFV adalah d4T/3TC/EFV dan ZDV / 3TC / EFV
e. Kecuali pada HIV stadium IV, mulai ART setelah terapi TB selesai
f. Bila tidak ada tanda lain dari imunodefisiensi dan penderita menunjukkan
perbaikan setelah pemberian terapi TB, ART diberikan setelah terapi TB
diselesaikan
Interaksi obat TB dengan ARV (Anti Retrovirus)
Pemakaian obat HIV/AIDS misalnya zidovudin akan meningkatkan
kemungkinan terjadinya efek toksik OAT
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan
nukleosida, kecuali Didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam
dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida
Interaksi dengan OAT terutama terjadi dengan ART golongan nonnukleotida
dan inhibitor protease. Rifampisin jangan diberikan bersama dengan
nelfinavir karena rifampisin dapat menurunkan kadar nelfinavir sampai 82%.
Rifampisin dapat menurunkan kadar nevirapin sampai 37%, tetapi sampai
saat ini belum ada peningkatan dosis nevirapin yang direkomendasikan
Jenis ART
28
8. KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa komplikasi
29
BAB IV
PEMBAHASAN
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang untuk memguatkan kemungkinan diagnosis.
Pada pasien ini ditemukan gejala-gejala yang mengarah pada HIV. Berdasarkan
keluhan pasien, ditemukan 2 kriteria mayor yaitu adanya penurunan berat badan drastis
(>10%) dan demam persisten lebih dari 3 bulan serta ditemukan 1 kriteria mayor yaitu
kandidiasis oral dengan ditemukan leukopleki pada lidah pasien. Selain itu, pasien juga
bekerja di daerah yang beresiko terinfeksi HIV. Hal ini diperkuat dengan hasil pemeriksaan
laboratorium uji Anti-HIV pasien yang reaktif.
Berdasarkan stadium klinisnya pasien ini terdiagnosis HIV/AIDS dengan stadium
klinis III karena kondisi tubuh pasien yang lemah, berat badan menurun >10%, demam
berkepanjangan yang lebih dari 1 bulan, terdapat Kandidiasis orofaringeal dan TB paru dalam
1 tahun terakhir.
Tuberkulosis dapat terjadi kapanpun saat perjalanan infeksi HIV. Risiko
berkembangnya TB meningkat secara tajam seiring dengan semakin memburuknya sistem
kekebalan tubuh. Sehingga resiko untuk terinfeksi TB pada ODHA akan lebih besar
dibandingkan pasien imunokompeten. Pada pasien ini ditemukan diagnosis tuberkulosis yang
berdasarkan gambaran klinis dan gambaran radiologis. Pada pemeriksaan klinis ditemukan
batuk yang lebih dari 2 minggu dan ditemukan ronkhi pada lapang paru. Sementara pada
gambaran radiologis ditemukan bercak infiltrat pada apeks paru kanan dan kiri. Umumnya,
untuk mendiagnosis TB pada pasien HIV lebih sulit karena gejala yang timbul tidak dominan
dan pada pemeriksaan mikroskopis dahak seringkali diperoleh hasil dahak BTA negatif.
Selain itu, pada pasien imunokompromais sering dijumpai TB ekstraparu dimana
diagnosisnya sulit ditegakkan karena harus didasarkan pada hasil pemeriksaan klinis,
bakteriologi dan atau histologi yang di dapat dari tempat lesi. Sehingga untuk memperkuat
diagnosa dilakukan planning diagnostik yaitu:
Pemeriksaan mikroskopis langsung
Pemeriksaan mikroskopik dahak dilakukan melalui pemeriksaan dahak Sewaktu Pagi
Sewaktu (SPS). Apabila minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya positif
maka ditetapkan sebagai pasien TB.
Pemeriksaan tes cepat Xpert MTB/Rif
30
Pemeriksaan mikroskopis dahak pada pasien imunokompromais sering memberikan hasil
negatif sehingga penegakkan diagnosis TB dengan menggunakan tes cepat dengan Xpert
MTB/Rif perlu dilakukan. Pemeriksaan tes cepat dengan Xpert MTB/Rif juga dapat
mengetahui adanya resistensi terhadap rifampisin, sehingga penatalaksanaan TB pada
pasien imunokompromais tersebut bisa lebih tepat. Jika fasilitas memungkinkan,
pemeriksaan tes cepat dilakukan dalam waktu yang bersamaan (paralel) dengan
pemeriksaan mikroskopis.
Pemeriksaan biakan sputum
Jika sarana pemeriksaan biakan dahak tersedia maka pasien imunokomromais yang BTA
negatif, sangat dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan biakan dahak karena hal ini dapat
membantu untuk konfirmasi diagnosis TB.
Terapi TB pada pasien ini diberikan OAT dan ARV dengan mendahulukan pengobatan
TB untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian. Hal ini disebabkan interaksi antara
ARV dan OAT yang dikonsumsi bersama-sama akan memiliki efek samping terhadap kerja
ARV dalam menekan jumlah virus dalam tubuh. Tetapi apabila ODHA sudah mengonsumsi
ARV sebelumnya maka OAT dapat diberikan dengan melanjutkan pengobatan ARV. Karena
pasien belum pernah mendapatkan pengobatan ARV, maka OAT akan diberikan terlebih
dahulu. Sementara, pengobatan ARV sebaiknya dimulai segera dalam 2-8 minggu pertama
setelah dimulainya pengobatan TB. Hal ini ditujukan terutama pada pasien dengan jumlah
CD4 dibawah 200mm3. Untuk itu diperlukan pemeriksaan kadar CD4 pada pasien. Tetapi
pada pasien ini diberikan terapi OAT untuk 6 bulan dalam kemasan FDC (Fixed Drugs
Combination) terdebih daluhu, yang nantinya akan dilanjutkan dengan pemberian ARV. OAT
yang diberikan merupakan FDC yaitu kombinasi obat dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.
Sejak seseorang terinfeksi HIV, terjadi gangguan sistem kekebalan tubuh yang dapat
menyebabkan penurunan status gizi. Pada kasus ini, pasien dapat dikatakan mengalami
penurunan status gizi karena dari hasil perhitungan BMI, pasien termasuk dalam kategori
underweight yaitu 17.8. Selain itu, tingkat albumin pada pasien ditemukan rendah yaitu 1,4
g/dL ditambah dengan munculnya edem pada ekstremitas bawah pasien, dimana
hipoalbuminemia sebagai penanda malnutrisi karena albumin dipengaruhi oleh protein-energi
malnutrisi yang diinduksi oleh stres atau cedera, tingkat albumin yang rendah dapat
mencerminkan status gizi buruk pada tahap awal penyakit sebelum perubahan berat badan
atau penanda klinis lainnya. Sehingga pasien ini perlu dikonsulkan ke Ahli Gizi.
Selain itu, anemia sering ditemukan pada penderita malnutrisi berat. Hal ini dapat
diakibatkan karena defisiensi besi dan atau berkurangnya produksi sel eritrosit dalam adaptasi
31
terhadap kehilangan masa tubuh. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada pasien
ditemukan konjungtiva anemis dan CRT > 2 detik dengan hasil laboratorium kadar Hb 8,51
gr/dl, sehingga diperlukan transfusi untuk memperbaiki kondisi pasien.
Sebagai terapi simptomatik diberikan Paracetamol untuk mengatasi demam pasien.
Untuk mengatasi Diare diberikan rehidrasi cairan yaitu RL 28 tpm dan ranitidine untuk diare
yang disertai dengan bercak darah, Ranitidine diberikan 1 ampul per 12 jam. Kandidiasis oral
diterapi dengan nystatin drop. Pemberian antibiotik pada pasien ini untuk mencegah
terjadinya infeksi sekunder, jenis antibiotik diberikan Ceftriaxone injeksi per 12 jam.
Beberapa infeksi oportunistik (pneumonia pneumocystis) pada penderita HIV dapat
dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis dengan Deksamethasone.
Selama perawatan keluarga penderita diberikan penyuluhan tentang terapi OAT yang
harus diminum setiap hari hingga 6 bulan, dan terapi ARV yang harus diminum seumur
hidup juga pemberian asupan makanan yang adekuat. Sebelum pulang penderita dianjurkan
agar dibawa kontrol secara teratur ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk pemantauan
Gizi, pengobatan TB dan ARV. Pasien dapat dipulangkan apabila sudah ada perbaikan klinis,
selera makan sudah baik, peningkatan berat badan, dan pasien tidak lemas. Pada pasien ini
setelah dirawat selama 4 hari kondisi klinis pasien memburuk sehingga pasien harus dirawat
di ICU.
32
BAB V
KESIMPULAN
Tuberkulosis (TB) paru merupakan infeksi opportunistik yang paling sering yang
ditemukan pada HIV dimana TB paru dan HIV saling memperburuk kondisi pasien. Angka
TB pada ODHA 40 kali lebih tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV.
Untuk itu, penatalaksanaan TB pada ODHA sama dengan penatalaksaan TB paru biasa tetapi
terapi TB dilakukan terlebih dahulu. Untuk itu pentingnya skrining HIV-TB pada pasien agar
dapat meningkatkan angka mortalitas pasien, selain itu diperlukan penyuluhan kepada
penderita HIV tentang bahaya TB pada HIV dan perlunya pengobatan dini terhadap TB pada
HIV.
33
DAFTAR PUSTAKA
34