Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

PRAKTEK PROFESI

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

Oleh :

WIDYNANDA SEPTRYA

PRODI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2017
A. Pengertian
Meningioma adalah adalah tumor pada meningens, yang merupakan
selaput pelindung otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul pada
tempat yang melindungi otak dan medulla spinalis. Meningioma dapat timbul
pada tempat manapun dibagian otak maupun medulla spinalis, tetapi
umumnya terjadi di hemisfer otak semua lobusnya. Kebanyakan mengioma
bersifat jinak (benign). Mardjono, 2003)
Kraniotomi adalah mencakup pada pembukaan tengkorak melalui
pembedahan untuk meningkatkan akses pada struktur intracranial. Prosedur
ini dilakukan untuk menghilangkan tumor, mengurangi tekanan intrakranial,
mengevaluasi bekuan darah dan mengontrol haemoragi. (Brunner &
Studdarth, 2002)
Klasifikasi tumor otak
Berdasarkan jenis tumor:
a. Jinak
1. Acoustic neuroma
2. Meningioma
Sebagian besar tumor bersifat jinak, berkapsul, dan tidak
menginfiltrasi jaringan sekitarnya tetapi menekan struktur yang
berada di bawahnya. Pasien usia tua sering terkena dan perempuan
lebih sering terkena dari pada laki-laki. Tumor ini sering kali
memiliki banyak pembuluh darah sehingga mampu menyerap isotop
radioaktif saat dilakukan pemeriksaan CT scan otak.
3. Pituitary adenoma
4. Astrocytoma (grade I)
b. Malignant
1. Astrocytoma (grade 2,3,4)
2. Oligodendroglioma
Tumor ini dapat timbul sebagai gangguan kejang parsial yang dapat
muncul hingga 10 tahun.Secara klinis bersifat agresif dan
menyebabkan simptomatologi bermakna akibat peningkatan tekanan
intrakranial dan merupakan keganasan pada manusia yang paling
bersifat kemosensitif.
3. Apendymoma
Tumor ganas yang jarang terjadi dan berasal dari hubungan erat pada
ependim yang menutup ventrikel.Pada fosa posterior paling sering
terjadi tetapi dapat terjadi di setiap bagian fosaventrikularis.Tumor ini
lebih sering terjadi pada anak-anak daripada dewasa. Dua faktor
utama yang mempengaruhi keberhasilan reseksi tumor dan
kemampuan bertahan hidup jangka panjang adalah usia dan letak
anatomi tumor. Makin muda usia pasien maka makin buruk
progmosisnya.
Berdasarkan lokasi
a. Tumor supratentorial
Hemisfer otak, terbagi lagi :
1. Glioma :
a) Glioblastomamultiforme
Tumor ini dapat timbul dimana saja tetapi paling sering terjadi di
hemisfer otak dan sering menyebar kesisi kontra lateral melalui
korpuskolosum.
b) Astroscytoma
c) Oligodendroglioma
Merupakan lesi yang tumbuh lambat menyerupai astrositoma
tetapi terdiri dari sel-sel oligodendroglia.Tumor relative avaskuler
dan cenderung mengalami klasifikasi biasanya dijumpai pada
hemisfer otak orang dewasa muda.
2. Meningioma
Meningioma merupakan tumor terpenting yang berasal dari
meningen, sel-sel mesotel, dan sel-sel jaringan penyambung araknoid
dan dura.
Tumor ini umumnya berbentuk bulat atau oval dengan
perlekatanduramater yang lebar (broad base) berbatas tegas karena
adanya psedokapsul dari membran araknoid. Pada
kompartemensupratentorium tumbuh sekitar 90%, terletak dekat
dengan tulang dan kadang disertai reaksi tulang berupa hiperostosis.
Karena merupakan massa ekstraaksial lokasi meningioma disebut
sesuai dengan tempat perlekatannya pada duramater, seperti Falk
(25%), Sphenoid ridge (20%), Konveksitas (20%), Olfactory groove
(10%), Tuberculumsellae (10%), Konveksitasserebellum (5%), dan
Cerebello-Pontine angle. Karena tumbuh lambat defisit neurologik
yang terjadi juga berkembang lambat (disebabkan oleh pendesakan
struktur otak di sekitar tumor atau letak timbulnya tumor). Pada
meningioma konveksitas 70% ada di regiofrontalis dan asimptomatik
sampai berukuran besar sekali. Sedangkan di basis kranii sekitar
sellaturcika (tuberkulumsellae, planumsphenoidalis, sisi medial
sphenoid ridge) tumor akan segera mendesak saraf optik dan
menyebabkan gangguan visus yang progresif.

b. Tumor infratentorial
1. Schwanomaakustikus
2. Tumor metastasisc
Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5 % 10 % dari seluruh
tumor otak dan dapat berasal dari setiap tempat primer.Tumor primer
paling sering berasal dari paru-paru dan payudara.Namun neoplasma
dari saluran kemih kelamin, saluran cerna, tulang dan tiroid dapat
juga bermetastasis ke otak.
3. Hemangioblastoma
Neoplasma yang terdiri dari unsur-unsur vaskulerembriologis yang
paling sering dijumpai dalam serebelum.

B. Etiologi
Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah trauma,
kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari meningioma
mengalami trauma. Pada beberapa kasus ada hubungan langsung antara
tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga
disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah trauma.
Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti yang menunjukkan
adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Penyebab tumor masih sangat sedikit yang diketahui. Meningioma
sedikit lebih banyak pada wanita. Neurofibroma. Neurilema dan glioma
sering berhubungan dengan neurofibromatosis. Sementara itu
neurofibromatosis tergolong pada kelainan perkembangan dari
neuroektoderm dan mesoderm yang disebut fakomatosa. Contoh fakomatosa
lain misalnya tuberosklerosis yang selalu disertai peningkatan insidensi
tumor otak.
Radiasi merupakan satu faktor untuk timbulnya tumor otak. Trauma,
infeksi dan toksin belum dapat dibuktikan sebagai penyebab timbulnya tumor
otak. Tetapi bahan insdustri tertentu seperti nitrosourea adalah karsinogen
yang paten, setidak tidaknya pada kelinci percobaan. Limfoma lebih sering
terdapat pada mereka yang mendapat imunosupresan seperti pada
transplantasi ginjal, sumsum tulang dan pada AIDS.
Dilaporkan juga bahwa meningioma ini sering timbul pada akhir
kehamilan, mungkin hal ini dapat dijelaskan atas dasar adanya hidrasi otak
yang meningkat pada saat itu. Para ahli tidak memastikan apa penyebab
tumor meningioma, namun beberapa teori telah diteliti dan sebagian besar
menyetujui bahwa kromoson yang jelek yang meyebabkan timbulnya
meningioma. Faktor-faktor terpenting sebagai penyebab meningioma adalah
trauma, kehamilan, dan virus. Pada penyelidikan dilaporkan 1/3 dari
meningioma mengalami trauma, Pada beberapa kasus ada hubungan langsung
antara tempat terjadinya trauma dengan tempat timbulnya tumor. Sehingga
disimpulkan bahwa penyebab timbulnya meningioma adalah trauma.
Beberapa penyelidikan berpendapat hanya sedikit bukti yang
menunjukkan adanya hubungan antara meningioma dengan trauma.
Teori lain menyatakan bahwa virus dapat juga sebagai penyebabnya.
Pada penyelidikan dengan light microscope ditemukan virus like inclusion
bodies dalam nuclei dari meningioma. Tetapi penyelidikan ini kemudian
dibantah bahwa pemeriksaan electron misroscope inclusion bodies ini adalah
proyeksi cytoplasma yang berada dalam membran inti.

C. Patofisiologi
Patofisiologi terjadinya meningioma sampai saat ini masih belum jelas.
Kaskade eikosanoid diduga memainkan peranan dalam tumorogenesis dan
perkembangan edema peritumoral. Dari lokalisasinya Sebagian besar
meningioma terletak di daerah supratentorial. Insidens ini meningkat
terutama ada daerah yang mengandung granulatio Pacchioni. Lokalisasi
terbanyak pada daerah parasagital dan yang paling sedikit pada fossa
posterior.
Tumor otak menyebabkan timbulnya ganguan neurologik progresif.
Gejala-gejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan
pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan penderita. Gejala-gejala sebaiknya
dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Gangguan neurologik pada tumor
otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor : gangguan fokal akibat
tumor dan kenaikan tekanan intra kranial. Gangguan fokal terjadi apabila
terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau infasi langsung
pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Disfungsi terbesar
terjadi pada tumor infiltratif yang tumbuh paling cepat (glioblastoma
multiforma).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh
menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada
umumnya bermanifestasi sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin
dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang
sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompresi, infasi, dan perubahan suplai darah kejaringan otak. Bebrapa tumor
membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga
memperberat gangguan neurologis fokal.
Meningioma juga berhubungan dengan hormon seks dan seperti halnya
faktor etiologi lainnya mekanisme hormon sex hingga memicu meningioma
hingga saat ini masih menjadi perdebatan. Pada sekitar 2/3 kasus meningioma
ditemukan reseptor progesterone. Tidak hanya progesteron, reseptor hormon
lain juga ditemukan pada tumor ini termasuk estrogen, androgen, dopamine,
dan reseptor untuk platelet derived growth factor. Beberapa reseptor hormon
sex diekspressikan oleh meningioma. Dengan teknik imunohistokimia yang
spesifik dan teknik biologi molekuler diketahui bahwa estrogen diekspresikan
dalam konsentrasi yang rendah. Reseptor progesteron dapat ditemukan dalam
sitosol dari meningioma. Reseptor somatostatin juga ditemukan konsisten
pada meningioma.
Pada meningioma multiple, reseptor progesteron lebih tinggi
dibandingkan pada meningioma soliter. Reseptor progesteron yang
ditemukan pada meningioma sama dengan yang ditemukan pada karsinoma
mammae. Jacobs dkk (10) melaporkan meningioma secara bermakna tidak
berhubungan dengan karsinoma mammae, tapi beberapa penelitian lainnya
melaporkan hubungan karsinoma mammae dengan meningioma.
Meningioma merupakan tumor otak yang pertumbuhannya lambat dan
tidak menginvasi otak maupun medulla spinalis. Stimulus hormon merupakan
faktor yang penting dalam pertumbuhan meningioma. Pertumbuhan
meningioma dapat menjadi cepat selama periode peningkatan hormon, fase
luteal pada siklus menstruasi dan kehamilan.

D. Manifestasi Klinis
Menurut lokasi tumor:
a. Lobus Frontalis
Gangguan mental / gangguan kepribadian ringan: depresi, bingung,
tingkah laku aneh, sulit memberi argumentasi/menilai benar atau tidak,
hemipresis, ataksia, dan gangguan bicara.
b. Kortekpresentalis Posterior
Kelemahan/kelumpuhan pada otot-otot wajah, lidah dan jari
c. Lobus parasentralis
Kelemahan/kelumpuhan pada ekstremitas bawah
d. Lobus Oksipitalis
Kejang, gangguan penglihatan
e. Lobus Temporalis
Tinnitus, halusinasi pendengaran, afasiasensorik, kelumpuhan otot wajah
f. Lobus Parietalis
Hilang fungsi sensorik, kortikalis, gangguan lokasi sensorik, gangguan
penglihatan.
g. Cerebellum
Papiloedema, nyeri kepala, gangguan motorik, hipotonia,
hiperekstremitassendi
Tanda dan Gejala Umum:
a. Nyeri kepala berat pada pagi hari, semakib bertambah bila batuk atau
membungkuk
b. Kejang
c. Tanda-tanda peningkatan tekanan intra cranial: pandangan kabur, mual,
muntah, penurunan fungsi pendengaran, perubahan tanda-tanda vital,
afasia.
d. Perubahan kepribadian
e. Gangguan memori
f. Gangguan alam perasaan
Menurut Brunner dan Studdarth (2000) gejala-gejala yang ditimbulkan pada
klien dengan craniotomy antara lain:
a. Penurunan kesadaran, nyeri kepala hebat, dan pusing
b. Bila hematoma semakin meluas akan timbul gejala deserbrasi dan
gangguan tanda vital an fungsi pernafasan.
c. Terjadinya peningkatan TIK setelah pembedahan ditandai dengan muntah
proyektil, pusing, dan peningkatan tanda-tanda vital.
E. Komplikasi
a. Edema serebral
b. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
c. Syok hipovolemik
d. Hydrocephalus
e. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
f. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis
g. Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar trombo phlebitis timbul bila darah tersebut lepas dari
dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke
paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki
post operasi, ambulatif dini.
h. Infeksi
i. Infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam setelah operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapylococus aureus,
organisme garam positif stapylococus mengakibatkan pernanahan, untuk
menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka
dengan memperhatikan aseptic dan antiseptic.
j. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi
luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab
dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu
pembedahan.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan pada klien dengan post craniotomy
meliputi hal-hal yang dibawah ini:
a. Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X, CT scan atau MRI dapat dengan
cermat mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler,
dan perubahan jaringan otak. Untuk mengetahui adanya infark/iskemia
jangan dilakukan pada 24-72 jam setelah injuri.
b. Angiografi serebral
Menunjukkan anomaly sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak
sekunder menjadi oedema, perdarahan, trauma.
c. EEG berkala
Electroencephalogram (EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan
aktivitas elektrik otak.
d. Foto rontgen, mendeteksi perdarahan struktur tulang (fraktur) perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
e. PET (Post Emission Tomograph), mendeteksi perubahan aktivitas
metabolism otak
f. Kadar Elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intracranial
g. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
h. Analisa Gas Darah
Adalah suatu test diagnostic untuk menentukan status respirasi. Status
respirsi dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah
oksigenasi dan status asam basa.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan meningioma tergantung dari lokasi dan ukuran tumor itu


sendiri. Terapi meningioma masih menempatkan reseksi operatif sebagai
pilihan pertama. Beberapa faktor yang mempengaruhi operasi removal massa
tumor ini antara lain lokasi tumor, ukuran dan konsistensi, vaskularisasi dan
pengaruh terhadap sel saraf, dan pada kasus rekurensi, riwayat operasi
sebelumnya dan atau radioterapi. Lebih jauh lagi, rencana operasi dan
tujuannya berubah berdasarkan faktor resiko, pola, dan rekurensi tumor.
Tindakan operasi tidak hanya mengangkat seluruh tumor tetapi juga termasuk
dura, jaringan lunak, dan tulang untuk menurunkan kejadian rekurensi.

Rencana preoperatif

Pada pasien dengan meningioma supratentorial, pemberian antikonvulsan


dapat segera diberikan, deksametason diberikan dan dilindungi pemberian H2
antagonis beberapa hari sebelum operasi dilaksanakan. Pemberian antibiotik
perioperatif digunakan sebagai profilaksis pada semua pasien untuk organisme
stafilokokkus, dan pemberian cephalosporin generasi III yang memiliki
aktifitas terhadap organisem pseudomonas, serta pemberian metronidazol
(untuk organisme anaerob) ditambahkan apabila operasi direncanakan dengan
pendekatan melalui mulut, sinus paranasal, telinga, atau mastoid.

Klasifikasi Simptom dari ukuran reseksi pada meningioma intracranial12 :

Grade I : Reseksi total tumor, perlekatan dural dan tulang abnormal

Grade II : Reseksi total tumor, koagulasi dari perlekatan dura

Grade III : Reseksi total tumor, tanpa reseksi atau koagulasi dari
perlekatan dura atau mungkin perluasan ekstradural ( misalnya sinus yang
terserang atau tulang yang hiperostotik)

Grade IV : Reseksi parsial tumor

Grade V : Dekompresi sederhana (biopsy)

Radioterapi

Penggunaan external beam irradiation pada meningioma semakin banyak


dipakai untuk terapi. External beam irradiation dengan 4500-6000 cGy
dilaporkan efektif untuk melanjutkan terapi operasi meningioma reseksi
subtotal, kasus-kasus rekurensi baik yang didahului dengan operasi
sebelumnya ataupun tidak. Pada kasus meningioma yang tidak dapat dioperasi
karena lokasi yang sulit, keadaan pasien yang buruk, atau pada pasien yang
menolak dilakukan operasi, external beam irradiation masih belum
menunjukkan keefektifitasannya. Teori terakhir menyatakan terapi external
beam irradiation tampaknya akan efektif pada kasus meningioma yang agresif
(atyppical, malignan), tetapi informasi yang mendukung teori ini belum banyak
dikemukakan.

Efektifitas dosis yang lebih tinggi dari radioterapi harus dengan


pertimbangan komplikasi yang ditimbulkan terutama pada meningioma. Saraf
optikus sangat rentan mengalami kerusakan akibat radioterapi. Komplikasi lain
yang dapat ditimbulkan berupa insufisiensi pituitari ataupun nekrosis akibat
radioterapi 12.
Radiasi Stereotaktik

Terapi radiasi tumor menggunakan stereotaktik pertama kali diperkenalkan


pada tahun 1960an menggunakan alat Harvard proton beam. Setelah itu
penggunaan stereotaktik radioterapi ini semakin banyak dilakukan untuk
meningioma. Sumber energi yang digunakan didapat melalui teknik yang
bervariasi, yang paling sering digunakan adalah sinar foton yang berasal dari
Co gamma (gamma knife) atau linear accelerators (LINAC) dan partikel berat
(proton, ion helium) dari cyclotrons. Semua teknik radioterapi dengan
stereotaktik ini dapat mengurangi komplikasi, terutama pada lesi dengan
diameter kurang dari 2,5 cm 12. Steiner dan koleganya menganalisa pasien
meningioma yang diterapi dengan gamma knife dan diobservasi selama 5
tahun. Mereka menemukan sekitar 88% pertumbuhan tumor ternyata dapat
dikontrol. Kondziolka dan kawan-kawan memperhitungkan pengontrolan
pertumbuhan tumor dalam 2 tahun pada 96 % kasus. Baru-baru ini peneliti
yang sama melakukan studi dengan sampel 99 pasien yang diikuti selama 5
hingga 10 tahun dan didapatkan pengontrolan pertumbuhan tumor sekitar 93 %
kasus dengan 61 % massa tumor mengecil. Kejadian defisit neurologis baru
pada pasien yang diterapi dengan stereotaktik tersebut kejadiannya sekitar 5 %.

Kemoterapi
Modalitas kemoterapi dengan regimen antineoplasma masih belum banyak
diketahui efikasinya untuk terapi meningioma jinak maupun maligna.
Kemoterapi sebagai terapi ajuvan untuk rekuren meningioma atipikal atau
jinak baru sedikit sekali diaplikasikan pada pasien, tetapi terapi menggunakan
regimen kemoterapi (baik intravena atau intraarterial cis-platinum, decarbazine
(DTIC) dan adriamycin) menunjukkan hasil yang kurang memuaskan
(DeMonte dan Yung), walaupun regimen tersebut efektifitasnya sangat baik
pada tumor jaringan lunak. Laporan dari Chamberlin pemberian terapi
kombinasi menggunakan cyclophosphamide, adriamycin, dan vincristine dapat
memperbaiki angka harapan hidup dengan rata-rata sekitar 5,3 tahun.
Pemberian obat kemoterapi lain seperti hydroxyurea sedang dalam penelitian.
Pertumbuhan sel pada meningioma dihambat pada fase S dari siklus sel dan
menginduksi apoptosis dari beberapa sel dengan pemberian hydroxyurea. Dan
dilaporkan pada satu kasus pemberian hydroxyurea ini memberikan efek pada
pasien-pasien dengan rekurensi dan meningioma yang tidak dapat direseksi.
Pemberian Alfainterferon dilaporkan dapat memperpanjang waktu terjadinya
rekurensi pada kasus meningioma yang agresif. Dilaporkan juga terapi ini
kurang menimbulkon toksisitas dibanding pemberian dengan kemoterapi.

Pemberian hormon antogonis mitogen telah juga dilakukan pada kasus


dengan meningioma. Preparat yang dipakai biasanya tamoxifen (anti estrogen)
dan mifepristone (anti progesteron). Tamoxifen (40 mg/m2 2 kali/hari selama 4
hari dan dilanjutkan 10 mg 2 kali/hari) telah digunakan oleh kelompok
onkolologi Southwest pada 19 pasien dengan meningioma yang sulit dilakukan
reseksi dan refrakter. Terdapat pertumbuhan tumor pada 10 pasien, stabilisasi
sementara pertumbuhan tumor pada 6 pasien, dan respon minimal atau parsial
pada tiga pasien.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Identitas Pasien dan Penanggung Jawab
Nama
Jenis kelamin
Usia
Status
Agama
Alamat
Pekerjaan
Pendidikan
Bahasa
Suku bangsa
Dx Medis
Sumber biaya
Riwayat keluarga
Genogram
Keterangan genogram
Status kesehatan
Status kesehatan saat ini
- Keluhan Utama (saat MRS dan saat ini)
- Alasan MRS dan perjalanan penyakit saat ini
- Upaya yang dilakukan untuk mengatasinya
Status kesehatan masa lalu
- Penyakit yang pernah dialami
- Pernah dirawat
- Alergi
- Kebiasaan (merokok/kopi/alcohol atau lain lain yang merugikan
kesehatan)
Riwayat penyakit keluarga
Diagnosa Medis dan Therapi

Pemeriksaan Fisik Head to Toe


Periksa adanya lesi, perdarahan, laserasi, memar, maupun hematom.
Observasi adanya gigi yang tanggal maupun gigi palsu. Cek adanya
fraktur pada daerah servikal, dada, pelvis, tulang belakang, dan
ekstremitas.

B. Pengkajian Fungsional Gordon


1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Adanya riwayat keluarga dengan tumor, adanya riwayat terpapar
radiasi berlebih. Adanya masalah visual hilang ketajaman
penglihatan dan diplobia. Adanya kecanduan alkohol, perokok
berat, gangguan kepribadian/halusinasi.
2. Pola nutri metabolik
Adanya penurunan nafsu makan, adanya mual muntah selama fase
akut. Kehilangan sensasi pada lidah, pipi dan tenggorokan. Adanya
kesulitan menelan.
3. Pola eliminasi
Perubahan pola berlemih, dan buang air besar. Bising usus negatif.
4. Pola aktifitas dan latihan
Gangguan tonus otot, terjadinya kelemahan otot, gangguan tingkat
kesadaran. Resiko trauma karena epilepsi. Hemiparise, ataksia.
Merasa mudah lelah, kehilangan sensasi.
5. Pola tidur dan istirahat
Susah untuk tidur dan istirahat
6. Pola persepsi kognitif dan sensori
Pusing, sakit kepala, kelemahan, tinitus, afasia motorik, hilangnya
rangsangan sensorik kontralateral. Gangguan rasa pengecapan,
penciuman dan penglihatan. Penurunan kesadaran sampai koma.
7. Pola persepsi dan konsep diri
Perasaan tidak berdaya dan putus asa. Emosi labil dan sulit untuk
mengekspresikan diri.
8. Pola peran dan hubungan
Masalah bicara. Ketidak mampuan dalam berkomunikasi
(kehilangan komunikasi verbal/ bicara pelo)
9. Reproduksi dan seksualitas
Adanya gangguan seksualitas dan penyimpangan seksualitas
10. Pola mekanisme koping dan toleransi terhadap stres
Adanya perasaan cemas, takut, tidak sabar atau pun marah.
Perasaan tidak berdaya dan putus asa. Mudah tersinggung.
11. Pola nilai dan kepercayaan
Agama yang dianut, apakah kegiatan ibadah terganggu dengan
sakit.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan integritas
jaringan otak, hipoksemia (dampak dari anestesi), edema cerebral, area
pembedahan di sekitar medulla oblongata atau pons.
2. Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan edema jaringan
cerebral, penurunan perfusi sistemik atau hilangnya perfusi cerebral karena
embolus atau sumbatan aliran darah cerebral.
3. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan tonus otot
sensori, kerusakan neuromuskular akibat perdarahan otak.
4. Gangguan rasa nyaman: nyeri berhubungan dengan tindakan invasif
(craniotomy) dan luka insisi yang buruk.
5. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan, kerusakan
neuromuskular (akibat perdarahan otak).
6. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif, penurunan tingkat
kesadaran, lama dan tipe tindakan pembedahan.
D. Rencana Keperawatan

DIAGNOSA TUJUAN DAN INTERVENSI


NO. KEPERAWATAN
KEPERAWATAN KRITERIA HASIL
1. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji frekuensi,
nafas berhubungan keperawatan selama 3 x 24 kedalaman, keteraturan
dengan gangguan jam, pola nafas dapat pernafasan dan ekspansi
integritas jaringan efektif dengan kriteria dada
otak, hipoksemia hasil: 2. Kaji bunyi nafas setiap
(dampak dari 1. Oksigenasi yang 2-4 jam
anestesi), edema adekuat dapat 3. Evaluasi nilai AGD
cerebral, area dipertahankan sesuai kebutuhan
pembedahan di sekitar 2. Menunjukkan jalan 4. Gunakan oksimetri yang
medulla oblongata nafas yang paten (irama tersedia untukmemantau
atau pons. dan frekuensi dalam saturasi oksigen dan
rentang normal: 18-25 pantau CO2
x/menit tanpa ada suara 5. Pertahankan
nafas tambahan) hiperventilasi jika
3. Tanda-tanda vital diperlukan ventilator
dalam rentang normal: mekanik
TD: 120/80 - 130/90 6. Waspada terhadap
mmHg dampak obat-obat
HR: 60-100 x/menit depresan
RR: 18-25 x/menit 7. Lakukan suction sesuai
t: 36-37 oC kebutuhan, berikan
hiperventilasi sebelum
prosedur dilakukan
2. Gangguan perfusi Setelah dilakukan tindakan 1. Ukur TIK dengan akurat
jaringan cerebral keperawatan selama 3 x 24 dan pantau hasil
berhubungan dengan jam, gangguan perfusi pengukuran secara
edema jaringan jaringan cerebral dapat kontinyu
cerebral, penurunan teratasi dengan kriteria 2. Tinggikan bagian kepala
perfusi sistemik atau hasil: tempat tidur 15o - 30o
hilangnya perfusi 1. Tingkat kesadaran sepanjang waktu
cerebral karena meningkat (GCS > 9) 3. Gunakan sistem
embolus atau 2. Tidak ada tanda-tanda pengkajian neurologi
sumbatan aliran darah peningkatan tekanan secara konsisten, misal
cerebral. itrakranial ( 15 skala koma Glasglow
mmHg) 4. Evaluasi hal-hal berikut
3. Tekanan darah dalam setiap 1 jam:
rentang normal (120/80 a. Tingkat kesadaran
130/90 mmHg) b. Ukuran pupil, reaksi
pupil terhadap cahaya
c. Kesamaan pupil
d. Gerakan ekstremitas
e. Beri sedikit stimlasi
untuk mendapatkan
reaksi pasien
f. Kesesuaian respon
pasien terhadap
lingkunagan atau
stimulasi
g. Ada tidaknya refleks
refleks
h. Semua gerakan
involunter seperti
kejang, kedutan atau
fungsi motorik
asimetris
i. Tekanan darah
j. Frekuensi dan irama
jantung
k. Frekuensi dan irama
pernafasan
l. Parameter
hemodinamik
5. Hindari peningkatan
tekanan intrathoraks,
batuk, muntah dan
valsava manuver
6. Jika ventilasi dikontrol
oleh ventilator mekanik,
pertahankan PCO2 yang
rendah (18-25) untuk
mencegah vasodolatasi
cerebral
7. Berikan obat
kontikosteroid sesuai
instruksi dokter
8. Beri diuretik yang
menurunkan volume
jaringan (seperti manitol)
sesuai instruksi dokter
3. Gangguan persepsi Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kesadaran klien
sensori berhubungan keperawatan selama 3 x 24 2. Pantau perubahan
dengan penurunan jam, gangguan persepsi orientasi klien
kesadaran (tonus otot sensori dapat teratasi 3. Catat adanya perubahan
sensori), kerusakan dengan kriteria hasil: spesifik yang terjadi pada
neuromuskular akibat 1. Kesadaran mulai klien
perdarahan otak membaik 4. Berikan stimulasi yang
2. Tingkat kesadaran bermanfaat bagi klien
meningkat (GCS > 9)
4. Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan 1. Jelaskan dan bantu klien
nyaman: nyeri keperawatan selama 3 x 24 dengan tindakan pereda
berhubungan dengan jam, nyeri dapat teratasi nyeri nonfarmakologi dan
tindakan invasif dengan kriteria hasil: invasif
(craniotomy) dan luka 1. Klien tidak gelisah 2. Ajarkan teknik relaksasi:
insisi yang buruk 2. Secara subyektif teknik-teknik untuk
melaporkan nyeri menurunkan ketegangan
berkurang otot rangka, yang dapat
3. Dapat mengidentifikasi menurunkan intensitas
aktivitas yang dapat nyeri dan tingkatkan
menurunkan skala nyeri relaksasi masase
3. Anjurkan istirahat bila
terasa nyeri dan berikan
posisi yang nyaman
4. Kolaborasi pemberian
analgesik
5. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji derajat imobilisasi
fisik berhubungan keperawatan selama 3 x 24 pasien
dengan kelemahan, jam, gangguan mobilitas 2. Ubah posisi pasien secara
kerusakan fisik dapat teratasi dengan teratur
neuromuskular (akibat kriteria hasil: 3. Bantu pasien untuk
perdarahan otak) 1. Mempertahankan posisi melakukan latihan
yang optimal rentang gerak
2. Mempertahankan 4. Sokong kepala dan badan
kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang sakit
6. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Gunakan teknik steril
berhubungan dengan keperawatan selama 3 x 24 yang ketat selama
tindakan invasif, jam, resiko infeksi dapat pemantauan TIK dan
penurunan tingkat teratasi dengan kriteria pertahankan sistem
kesadaran, lama dan hasil: drainase ventrikuler
tipe tindakan 1. Tidak terjadi infeksi eksternal
pembedahan nosokomial 2. Lakukan dressing dengan
2. Jumlah leukosit dalam teknik steril
batas normal (4,8-10,8 3. Kaji gejala-gejala infeksi
x 103/l) SSP
4. Berikan antibiotik sesuai
pesanan
5. Pantau dan catat adanya
kebocoran CSS dari
hidung, telinga atau
daerah tempat pemasaran
pemantauan TIK
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien


Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Denizot, Y., Armas, R., Durand, K., Robert, S., JacquesMoreau, J., dan Caire, F.
2009. Analysis of Several PLA2 mRNA in HumanMeningiomas. Artikel
Online: Hindawi Publishing Corporation Mediators of Inflammation
Volume 2009, Article ID 689430, 8 pages
Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.

Herdman, T. Heather. 2011. NANDA International : Diagnosa Keperawatan ;


Definisi dan Klasifikasi 2012 2014. Jakarta: EGC

Hudak, Carolyn M. 2010. Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi: 6


Volume 2. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Jilid 2. Jakarta: FKUI

Mardjono, M. & Sidharta, P. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Fakultas


Kedokteran Universtas Indonesia

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Nurarif, H.A. & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Media Action
Publishing

Pierce dan Borley. 2006. Ilmu Bedah, Edisi 3. Jakarta: Penerbit Erlangga

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit, Edisi:
6 Volume 2. Jakarta: EGC

Reeves, C. J. 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba Medika

Smeltzer, S.C. 2010. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner-Suddarth Edisi 8.


Jakarta: EGC

Weiner, Howard L. 2001. Buku Saku Neurolologi. Jakarta: EGC

Widagdo, Wahyu. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Trans Info Media
PATHWAYS Pembedahan Craniotomy

Prosedur operasi invasif Perdarahan otak Prosedur anestesi

Aliran darah ke Penekanan pada sumsum


Luka insisi buruk Kerusakan
otak saraf pusat (SSP)
(stimulasi nyeri) neuromuskuler
Trauma
jaringan
Mengaktivasi Gangguan Penurunan suplay Penekanan pusat Penekanan pada sistem
reseptor nyeri metabolisme O2 ke otak pernafasan cardiovaskuler
Paralitis Penurunan tonus
otot sensori
Melalui sistem Penurunan Asam Penurunan kerja Penurunan Cardiac
Hipoksia jaringan
saraf asceden kelembaban luka laktat organ pernafasan Output (COP)
reseptor nyeri Kelemahan Perubahan
Infasi bakteri pergerakan persepsi sensori Oedem Penurunan
Penurunan RR Suplai darah
sendi otak ekspansi paru berkurang
Merangsang thalamus &
korteks serebri
Kontraktur

Resiko Infeksi Gangguan perfusi Ketidakadekuatan Penurunan aliran


jaringan suplai O2 darah
Muncul Gangguan
sensasi nyeri mobilitas fisik
Pola nafas
tidak efektif
Gangguan rasa
nyaman: nyeri

Anda mungkin juga menyukai