Gambar 1. Metabolisme obat fase I dan II. Substansi hidrofobik diubah menjadi metabolit
adetoksified, produk yang dapat larut dalam air sehingga dapat diekskresi. Metabolisme fase I juga
mengkonversi beberapa obat menjadi metabolit aktif atau metabolit intermediet yang toksik. 1
Hasil reaksi fase I dapat bersifat sangat reaktif atau metabolit toksik. Produk fase II
biasanya bersifat inaktif , tetapi masih dapat merusak hepatosit. Konjugasi dengan glutation
1
merupakan proses detoksifikasi electron dan radikal bebas. Bila metabolit toksik ini
berikatan dengan protein intraseluler atau membran sel, dapat menyebabkan kematian
hepatosit. Kerusakan protein pada membran kanalikuli empedu dapat mempengaruhi
produksi empedu yang akhirnya menimbulkan kolestasis. Perubahan fungsi glikoprotein P,
pompa ekskresi garam empedu dan kanalikuli transporter yang berkontribusi pada ekskresi
obat dan metabolitnya, merupakan mekanisme lain penyebab drug induced liver injury. Bila
metabolit toksik berikatan dengan DNA dapat menyebabkan mutasi atau karsinogenesis dan
teratogenesis.1
2
Hepatosit pada zona 3 asinus Rappaport mempunyai konsentrasi sitokrom P450
tertinggi, sehingga sangat berpotensi memproduksi metabolit toksik. Nekrosis zona
hepatoseluler menunjukkan bahwa produksi metabolit toksik mempunyai peran penting
pada pathogenesis hepatotoksisitas. Metabolit toksik merupakan unsur kimia dengan masa
hidup pendek tetapi sangat reaktif yang biasanya tidak terdeteksi pada plasma. 3
Drug induiced injury juga melibatkan sel hepar selain hepatosit, seperti sel duktus
biliaris, sel stelata hati atau sel endotel. Kerusakan sel pada duktus bilier dapat mengganggu
aliran empedu dan menyebabkan kolestasis. 1
Sitotoksisitas dapat mempunyai efek lain selain kematian sel. Kerusakan yang
bersifat non letal seperti gangguan sintesis lipid atau protein dan produksi energi. Kerusakan
transporter pada membran kanalikuli empedu dapat mempengaruhi produksi empedu.
Akumulasi lemak pada hepatosit dapat menjadi kelanjutannya samapi terjadi fatty liver.
Kerusakan hepar lebih lanjut dapat menjadi sirosis. Perfusi vaskuler ke hepar juga dapat
dipengaruhi seperti veno-oklusif disease (VOD). Hepatotoxicity dapat menjadi transformasi
neoklastik. Drug induced liver disease seringkali bergejala seperti proses hepatitis, kadang
disertai symptom non spesifik seperti fatigue, anoreksia, nausea atau muntah.1,2
Gambaran klinis Drug induced hepatotoxicity1
3
atau merusak mekanisme pertahanan sel. Defek farmakokinetik obat dapat bersifat
genetik.3
Mekanisme toksisitas obat
Respon imun juga berperan pada drug induced liver disease. Kerusakan sel yang terjadi
tidak saja ditentukan oleh pola trauma dan keparahan tetapi juga pada waktu obat berkontak
dengan sel sehingga menimbulkan toksisitas transien, misalnya pada endotoksemia.
Autoantibodi pada hepatosit biasanya terlibat pada gangguan biotransformasi.
Pembentukan metabolit protein dapat bersifat sebagai neoantigen. Respon imun ini dapat
mempercepat terjadinya apoptosis atau nekrosis.1
Bila metabolit toksik atau oksigen reaktif menstimulasi sel Kupfer, akan terjadi
kerusakan sel melalui mekanisme yang spesifik yang melibatkan TNF a atau NO. sitokin lain
seperti IL 8 dan kemokin lain dapat memicu aksi leukosit pada kerusakan sel yang terjadi.1
KEMOTERAPI
Beberapa obat yang digunakan pada keganasan dapat menyebabkan hepatotoksik. Obat-
obat tersebut biasanya digunakan dalam kombinasi . kerusakan hepar yang terjadi seringkali
asimtomatik dengan peningkatan serum tranaminase. Kemoterapi bersifat hepatotoksik
antara lain nitrosourea, 6 mercaptopurin, cytosine arabinoside, cisplatinum dan dacarbazine
(DTIC).4
Metotreksat
Hepatotoksisitas metotreksaat pada anak sama dengan dewasa. Terapi dengan dosis
rendah pada waktu yang lama dapat mengakibatkan fibrosis hati dan steatosis.1
Mekanisme hepatotoksisitas yang terjadi tidak diketahui. Frekuensi dan dosis
metotreksat sangat menentukan kerusakan hepar yang terjadi. Pemberian yang bersifat
kronik intermiten dapat menimbulkan kerusakan hepar berulang dan bersifat super imposed
pada sel hepar yang mengalami perbaikan parsial dan regenerasi.1,4
Peningkatan serum tranaminase mungkin tidak sebanding dengan kerusakan hepar
yang sedang berlangsung, dan biopsi hati sebelum pemberian terapi dengan interval reguler
selama pengobatan metotreksat juga dianjurkan. Monitoring fungsi hati juga dapat
dilakukan dengan pemeriksaan aspartat aminotransferase, ALT, ALP, albumin dan bilirubin
serta -glutamltransferase setiap 4-8 minggu, biopsi hati hanya dilakukan bila terdapat
kelainan pada marker tersebut. Biopsi hepar untuk memulai terapi diperlukan pada pasien
4
yang sebelumnya telah diketahui mempunyai faktor risiko spesifik ( hepatitis B kronis atau
hepatitis C), hipoalbuminemia, dosis kumulatif metotreksat, obesitas dan diabetes mellitus.1,2
Beberapa penelitian menunjukkan hepatotoksisitas dapat terjadi pada dosis
kumulatif metotreksat > 3000 - 4000 mg per 1,73 m2 luas permukaan tubuh secara
signifikan dapat menimbulkan fibrosis, perubahan moderat sampai inflamasi berat pada sel
hepar atau nekrosis hepatoseluler .4
Kelainan histologis yang terjadi menyerupai alkoholik hepatitis dengan fibrosis.
Sirosis dapat terjadi, sehingga transplantasi hepar pernah dilakukan pada pasien dewasa
yang mendapat metotreksat. 1,2
Pemberian metotreksat dosis tinggi dapat menyebabkan hepatitis akut. Setelah
penghentian terapi, kerusakan hepar menjadi relatif ringan, walaupun secara mikroskopis
masih ditemukan steatosis, inflamasi portal, fibrosis porta. Peningkatan kadar serum
aminotransferase tidak dapat memprediksi kelainan histologis minimal setelah pemberian 2
tahun terapi.3
Gambar 4. Gagal hati akut, sel pasca nekrotik akan digantikan dengan sel radang, pigmentasi
makrofag, reaksi duktular periporta, dan hanya terdapat sedikit hepatosit normal 3
5
yang mendasari kerusakan sel hepar tersebut mungkin disebabkan oleh gangguan
metabolisme protein hepatoselular. Trombositopenia dan gagal hati akut pernah dilaporkan
pada seorang anak yang berumur 18 tahun yang mendapat carboplatin.1-3
Vincristine
The mitotic spindle is part of a larger, intracellular skeleton (cytoskeleton) that is essential for
the movements of
structures occurring in the cytoplasm of all eukaryotic cells. The mitotic spindle consists of
chromatin plus a system
of microtubules composed of the protein tubulin. The mitotic spindle is essential for the equal
partitioning of DNA
into the two daughter cells that are formed when a eukaryotic cell divides. Several plant-
derived substances used as
anticancer drugs disrupt this process by affecting the equilibrium between the polymerized
and depolymerized
forms of the microtubules, thereby causing cytotoxicity.
Mechanism of action: VX and VBL are both cell-cycle specific and phase specific, because
they block mitosis in
metaphase (M phase). Their binding to the microtubular protein, tubulin, is GTP dependent
and blocks the
ability of tubulin to polymerize to form microtubules. Instead, paracrystalline aggregates
consisting of tubulin
dimers and the alkaloid drug are formed. The resulting dysfunctional spindle apparatus,
frozen in metaphase,
prevents chromosomal segregation and cell proliferation (Figure 39.26).
1.
Resistance: Resistant cells have been shown to have an enhanced efflux of VX, VBL, and
VRB via P-glycoprotein
in the cell membrane. Alterations in tubulin structure may also affect binding of the vinca
alkaloids.
2.
Pharmacokinetics: Intravenous injection of these agents leads to rapid cytotoxic effects and
cell destruction.
This in turn can cause hyperuricemia due to the oxidation of purines that are released from
fragmenting DNA
molecules, producing uric acid. The hyperuricemia is ameliorated by administration of the
xanthine
oxidaseinhibitor allopurinol. The vinca alkaloids are concentrated and metabolized in the
liver by the
6
cytochrome P450 pathway. They are excreted into bile and feces. Doses must be modified
in patients with
impaired hepatic function or biliary obstruction.
Veno oclusive disease (VOD)
Oklusi vena (VOD) merupakan bentuk lain kerusakan hepar karena kemoterapi, yang
ditandai dengan pembesaran hati, asites, peningkatan berat badan tanpa sebab yang jelas,
ikterik, peningkatan serum tranaminase. Pada pasien yang dapat bertahan, kerusakan hati
yang terjadi dapat menjadi sirosis dengan sklerosis vena hepatik dan fibrosis sinusoid.
Kemoterapi yang dapat menyebabkan VOD antara lain 6 thioguanin, sitosin arabinose,
busulfan, DTIC, carmustine dan dactinomycin. Peningkatan dosis dan pemberian dalam
kombinasi dapat meningkatkan potensi VOD. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
transplantasi sumsum tulang juga dapat menyebabkan VOD pada anak yang menderita
tumor padat. 3
Patogenesis VOD melibatkan kaskade koagulasi pada sinusoid hepar setelah
terjadinya jejas pada endotel. Jejas yang terjadi merupakan akibat kongesti di sinusoid dan
perdarahan pada rongga Disse, terutama zona 3 asinus Rappaport, yang digambarkan
sebagai sindrom obstruksi sinusoid yang merusak venule hepatik terminal dan
menimbulkan fibrosis. VOD yang disebabkan oleh DTIC melibatkan kerusakan endotel
sinusoid karena metabolit toksik yang diproduksi pada sel endotel. Sebaliknya VOD oleh
siklofosfamid disebabkan oleh kerusakan endotel hepatosit . 1
VOD merupakan komplikasi pada 20-30% transplantasi sumsum tulang , dan dapat
terjadi 30 hari setelah transplantasi. Gambaran klinis mirip dengan sindrom BuddChiari
yaitu :3
ikterik (bilirubin > 35 mol/L)
hepatomegali dengan nyeri tekan
peningkatan JVP
asites
7
Gambar 5. Veno-occlusive disease (VOD) dapat terjadi pada 26% pasien setelah transplantasi
sumsusm tulang. Histologi hepar memperlihatkan gambaran oklusi venule terminal, kongesti sinusoid
dan nekrosis hepatosit. Fibrosis dan sirosis juga dapat terjadi.3
Graft-versus-host-disease (GVHD)
GVHD merupakan kelainan sistemik yang melibatkan kulit, intestine, paru, mata, pankreas
dan hati. Biasanya mulai terjadi 7-50 hari setelah transplantasi sumsum tulang . gejala akut
dapat berupa skin rash dengan deskuamasi, diare dan sekitar 40% melibatkan hepar seperti
mild ikterik dan hepatomegali. Kerusakan autoimun terjadi pada duktus bilier, dengan epitel
yang ireguler dan mempunyai nukleus pleomorfisme dan sitoplasma bervakuola. Endotelitis
dan inflamasi traktus porta, dengan duktus bilier yang hilang serta kolestasis, jaringan
parenkim relatif bertahan.3
Terapi yang dapat diberikan pada GVDH antara lain pemberian imunosupresif
dengan kortikosteroid dosis tinggi, siklosporin dan tacrolimus. Juga dapat ditambahkan
azathioprine, anti timosit globulin dan talidomide. Rituximab suatu anti bodi monoklonal CD
20 cukup efektif mengatasi GVHD. Untuk resirkulasi siklus enterohepatik dapat diberikan
ursodeoksicholik.3
Gambar 6. Histologi hepar dengan gambaran duktus bilier yang hilang dan bersifat
irreversibel.3
8
Daftar Pustaka :
1. Roberts E A. Drug-Induced Liver Disease. In: Suchy JF SJ, Balistreri FW, ed. Liver disesae in
children New York Cambridge University Press.; 2007: 478-512.
2. Roberts E A. Drug induced hepatotoxicity In: Walker W A GD, Kleinmen E R, et al, , ed.
Pediatric gastrointestinal disease Fourth edition ed. Ontario: BC Becker; .2004 1219-40.
3. Karen F. Murray. Drug induced liver disease. In: Kelly D, ed. Diseases of the Liver and Biliary
System in Children Diseases of the Liver and Biliary System in Children Third edition ed.
Birmingham: Blackwell Publishing; 2008: 207-30.