Anda di halaman 1dari 9

Tugas Hepatologi Biomedik

Dr. Eni Andriani

HEPATITIS DRUG INDUCED KARENA KEMOTERAPI

Metabolisme obat di hepar


Hepar mempunyai peran penting pada metabolisme obat atau biotransformasi .Sebagian
besar obat bersifat lipofilik dan harus didetoksifikasi dan diekskresi ke empedu , atau
difiltrasi pada glomerulus ginjal sehingga harus dirobah menjadi hidrofilik. Reaksi biokimia
kompleks ini dibagi menjadi 2 aspek, yaitu aktivasi (fase I) dan detoksifikasi (fase II).
Keseimbangan fase I dan II ditentukan oleh aktifitas enzim. Faktor yang mempengaruhi
keseimbangan ini antara lain umur, status gizi, terapi kombinasi dan imunomodulator karena
infeksi virus. 1
Sitokrom P450 merupakan hemoprotein yang sangat penting pada hepar, walaupun
keberadaannya dapat ditemukan pada jaringan lain, dan berperan pada reaksi fase I.
Sistem enzim sitokrom P450 ini terlibat pada reaksi hidroksilasi, dealkilasi, dan
dehalogenasi. Semua reaksi tersebut bertujuan menambahkan 1 atom oksigen ke substrat
yang dikatalis oleh enzim monooksigenase. 2,3
Karakteristik sitokrom P 450 antara lain tidak mempunyai substrat yang spesifik
(overlapping substrate specifity) dan iducibility. Di hepar, sitokrom P 450 dapat ditemukan
pada reticulum endoplasmic, mitokondria dan peroksisom. sistem enzim sitokrom P450
diatur oleh hampir 300 gen. Variasi genetik yang mempengaruhi enzim tersebut juga
berkontribusi terhadap DILD . Outcome fase I adalah reaksi biotransformasi yang
menjadikan substrat lebih polar , dan selanjutnya mengalami modifikasi pada fase II.1
Reaksi detoksifikasi pada fase II melibatkan enzim glutation S transferase, uridin 5
difosfat (UDP) glukoroniltransferase, epoksid hidrosilase, sulfotransferase, N
asetiltransferase dan enzim untuk konjugasi glisin. Reaksi ini pada akhirnya akan mengubah
molekul yang hidrofobik menjadi hidrofilik sehingga dapat di ekskresi ke urin atau
empedu.Beberapa penyakit metabolik menyebabkan abnormalitas pada fase II, seperti
tirosinemia herediter defek pada aktivitas enzim glutation S tranferase.1

Gambar 1. Metabolisme obat fase I dan II. Substansi hidrofobik diubah menjadi metabolit
adetoksified, produk yang dapat larut dalam air sehingga dapat diekskresi. Metabolisme fase I juga
mengkonversi beberapa obat menjadi metabolit aktif atau metabolit intermediet yang toksik. 1

Hasil reaksi fase I dapat bersifat sangat reaktif atau metabolit toksik. Produk fase II
biasanya bersifat inaktif , tetapi masih dapat merusak hepatosit. Konjugasi dengan glutation

1
merupakan proses detoksifikasi electron dan radikal bebas. Bila metabolit toksik ini
berikatan dengan protein intraseluler atau membran sel, dapat menyebabkan kematian
hepatosit. Kerusakan protein pada membran kanalikuli empedu dapat mempengaruhi
produksi empedu yang akhirnya menimbulkan kolestasis. Perubahan fungsi glikoprotein P,
pompa ekskresi garam empedu dan kanalikuli transporter yang berkontribusi pada ekskresi
obat dan metabolitnya, merupakan mekanisme lain penyebab drug induced liver injury. Bila
metabolit toksik berikatan dengan DNA dapat menyebabkan mutasi atau karsinogenesis dan
teratogenesis.1

Gambar 2. The potential fates of a toxic intermediate.1

Aspek pertumbuhan pada metabolisme obat


Metabolisme obat di hepar juga dipengaruhi oleh umur. Pertumbuhan juga terlibat pada
variasi aktifitas enzim . Pada neonatus, biotransformasi oleh sitokrom P450 sangat terbatas
bila dibandingkan dengan dewasa. Penurunan aktifitas ini semakin parah pada bayi preterm.
Pada anak metabolism e obat dan klirens lebih cepat disbanding dewasa. Sedangkan pada
pada saat pubertas fungsi metabolism ini telah menyamai seperti dewasa.3
Pada fase II terjadi maturasi yang lambat dari enzim detoksifikasi
glukoroniltransferase, biasanya terjadi defisiensi setelah bayi lahir. Sulfonasi juga
mengalami hal yang sama, seperti pada metabolism acetaminophen. Asam empedu juga
mengalami perubahan pada 1 bulan pertama kehidupan, pada neonatus konjugasi menjadi
taurin secara kuantitatif lebih penting daripada konjugasi menjadi glisisn.Sulfonasi asam
empedu lebih sedikit disbanding dewasa. Variasi ini mungkin dipengaruhi oleh kararkteristik
hepatotoksisitas pada anak. Metabolism glutation juga mengalami perubahan selama
pertumbuhan, terutama pada masa neonatus.1,2
Pola hepatotoksisitas obat
Secara anatomi dan fisiologi hepar merupakan organ kompleks, sehingga hepatotoksisitas
mempunyai gambaran yang luas baik dari aspek biokimia, histology dan klinis. Sebagian
besar obat bersifat sitotoksik, dengan target sel hepatosit. Kerusakan hepatosit dapat
bersifat zonal, yang menggambarkan metabolit spesifik pada lobules hati. 1

2
Hepatosit pada zona 3 asinus Rappaport mempunyai konsentrasi sitokrom P450
tertinggi, sehingga sangat berpotensi memproduksi metabolit toksik. Nekrosis zona
hepatoseluler menunjukkan bahwa produksi metabolit toksik mempunyai peran penting
pada pathogenesis hepatotoksisitas. Metabolit toksik merupakan unsur kimia dengan masa
hidup pendek tetapi sangat reaktif yang biasanya tidak terdeteksi pada plasma. 3
Drug induiced injury juga melibatkan sel hepar selain hepatosit, seperti sel duktus
biliaris, sel stelata hati atau sel endotel. Kerusakan sel pada duktus bilier dapat mengganggu
aliran empedu dan menyebabkan kolestasis. 1
Sitotoksisitas dapat mempunyai efek lain selain kematian sel. Kerusakan yang
bersifat non letal seperti gangguan sintesis lipid atau protein dan produksi energi. Kerusakan
transporter pada membran kanalikuli empedu dapat mempengaruhi produksi empedu.
Akumulasi lemak pada hepatosit dapat menjadi kelanjutannya samapi terjadi fatty liver.
Kerusakan hepar lebih lanjut dapat menjadi sirosis. Perfusi vaskuler ke hepar juga dapat
dipengaruhi seperti veno-oklusif disease (VOD). Hepatotoxicity dapat menjadi transformasi
neoklastik. Drug induced liver disease seringkali bergejala seperti proses hepatitis, kadang
disertai symptom non spesifik seperti fatigue, anoreksia, nausea atau muntah.1,2
Gambaran klinis Drug induced hepatotoxicity1

Hepatotoksisitas dapat dibagi menjadi :3


Intrinsik
Pada intrinsik hepatotoksisiti , obat dapat menjadi toksik pada semua orang,
biasanya tergantung pada dosis.
Idiosinkrasi
Ditandai dengan gejala sistemik, seperti demam, rash, eosinofilia, limfositosis atipik,
biasanya melibatkan organ lain, biasanya dikonotasikan dengan etiologi alergi.
Hepatotoksisitas obat juga berdasarkan aspek biokimia. Gangguan biotransformasi
akan menyebabkan pembentukan metabolit reakstif yang tidak dapat dinetralisir olah sel

3
atau merusak mekanisme pertahanan sel. Defek farmakokinetik obat dapat bersifat
genetik.3
Mekanisme toksisitas obat
Respon imun juga berperan pada drug induced liver disease. Kerusakan sel yang terjadi
tidak saja ditentukan oleh pola trauma dan keparahan tetapi juga pada waktu obat berkontak
dengan sel sehingga menimbulkan toksisitas transien, misalnya pada endotoksemia.
Autoantibodi pada hepatosit biasanya terlibat pada gangguan biotransformasi.
Pembentukan metabolit protein dapat bersifat sebagai neoantigen. Respon imun ini dapat
mempercepat terjadinya apoptosis atau nekrosis.1
Bila metabolit toksik atau oksigen reaktif menstimulasi sel Kupfer, akan terjadi
kerusakan sel melalui mekanisme yang spesifik yang melibatkan TNF a atau NO. sitokin lain
seperti IL 8 dan kemokin lain dapat memicu aksi leukosit pada kerusakan sel yang terjadi.1

Gambar 3. Mekanisme toksisitas obat1

KEMOTERAPI
Beberapa obat yang digunakan pada keganasan dapat menyebabkan hepatotoksik. Obat-
obat tersebut biasanya digunakan dalam kombinasi . kerusakan hepar yang terjadi seringkali
asimtomatik dengan peningkatan serum tranaminase. Kemoterapi bersifat hepatotoksik
antara lain nitrosourea, 6 mercaptopurin, cytosine arabinoside, cisplatinum dan dacarbazine
(DTIC).4
Metotreksat
Hepatotoksisitas metotreksaat pada anak sama dengan dewasa. Terapi dengan dosis
rendah pada waktu yang lama dapat mengakibatkan fibrosis hati dan steatosis.1
Mekanisme hepatotoksisitas yang terjadi tidak diketahui. Frekuensi dan dosis
metotreksat sangat menentukan kerusakan hepar yang terjadi. Pemberian yang bersifat
kronik intermiten dapat menimbulkan kerusakan hepar berulang dan bersifat super imposed
pada sel hepar yang mengalami perbaikan parsial dan regenerasi.1,4
Peningkatan serum tranaminase mungkin tidak sebanding dengan kerusakan hepar
yang sedang berlangsung, dan biopsi hati sebelum pemberian terapi dengan interval reguler
selama pengobatan metotreksat juga dianjurkan. Monitoring fungsi hati juga dapat
dilakukan dengan pemeriksaan aspartat aminotransferase, ALT, ALP, albumin dan bilirubin
serta -glutamltransferase setiap 4-8 minggu, biopsi hati hanya dilakukan bila terdapat
kelainan pada marker tersebut. Biopsi hepar untuk memulai terapi diperlukan pada pasien

4
yang sebelumnya telah diketahui mempunyai faktor risiko spesifik ( hepatitis B kronis atau
hepatitis C), hipoalbuminemia, dosis kumulatif metotreksat, obesitas dan diabetes mellitus.1,2
Beberapa penelitian menunjukkan hepatotoksisitas dapat terjadi pada dosis
kumulatif metotreksat > 3000 - 4000 mg per 1,73 m2 luas permukaan tubuh secara
signifikan dapat menimbulkan fibrosis, perubahan moderat sampai inflamasi berat pada sel
hepar atau nekrosis hepatoseluler .4
Kelainan histologis yang terjadi menyerupai alkoholik hepatitis dengan fibrosis.
Sirosis dapat terjadi, sehingga transplantasi hepar pernah dilakukan pada pasien dewasa
yang mendapat metotreksat. 1,2
Pemberian metotreksat dosis tinggi dapat menyebabkan hepatitis akut. Setelah
penghentian terapi, kerusakan hepar menjadi relatif ringan, walaupun secara mikroskopis
masih ditemukan steatosis, inflamasi portal, fibrosis porta. Peningkatan kadar serum
aminotransferase tidak dapat memprediksi kelainan histologis minimal setelah pemberian 2
tahun terapi.3

Gambar 4. Gagal hati akut, sel pasca nekrotik akan digantikan dengan sel radang, pigmentasi
makrofag, reaksi duktular periporta, dan hanya terdapat sedikit hepatosit normal 3

Obat antineoplasma lainnya


Mekanisme kerusakan hepar pada pemakaian Cisplatinum atau DTIC adalah produksi
stress oksidatif, melalui induksi CYP2E1. Sedangkan kerusakan sel hepar pada pemakaian
siklofosfamid tergatung pada dosis yang diberikan. Golongan Carmustin dan 6
mercaptopurin dapat mengakibatkan kolestasis yang berat. Adriamisin, dactinomysin dan
alkaloid vinca tidak selalu menyebabkan hepatotoksik. 1,4
Doksorubisin lebih sering dihubungkan dengan kardiomiopati, tetapi masih dapat
menimbulkan chemical hepatitis. Dosis harus diturunkan 50% bila bilirubin > 20 mol/L; 25%
bila bilirubin > 50 mol/L). 2
L-asparaginase dapat mengakibatkan cedera jaringan hepar yang berat, diantaranya
steatosis, nekrosis hepatoseluler dan fibrosis, yang biasanya bersifat reversibel. Mekanisme

5
yang mendasari kerusakan sel hepar tersebut mungkin disebabkan oleh gangguan
metabolisme protein hepatoselular. Trombositopenia dan gagal hati akut pernah dilaporkan
pada seorang anak yang berumur 18 tahun yang mendapat carboplatin.1-3
Vincristine
The mitotic spindle is part of a larger, intracellular skeleton (cytoskeleton) that is essential for
the movements of
structures occurring in the cytoplasm of all eukaryotic cells. The mitotic spindle consists of
chromatin plus a system
of microtubules composed of the protein tubulin. The mitotic spindle is essential for the equal
partitioning of DNA
into the two daughter cells that are formed when a eukaryotic cell divides. Several plant-
derived substances used as
anticancer drugs disrupt this process by affecting the equilibrium between the polymerized
and depolymerized
forms of the microtubules, thereby causing cytotoxicity.
Mechanism of action: VX and VBL are both cell-cycle specific and phase specific, because
they block mitosis in
metaphase (M phase). Their binding to the microtubular protein, tubulin, is GTP dependent
and blocks the
ability of tubulin to polymerize to form microtubules. Instead, paracrystalline aggregates
consisting of tubulin
dimers and the alkaloid drug are formed. The resulting dysfunctional spindle apparatus,
frozen in metaphase,
prevents chromosomal segregation and cell proliferation (Figure 39.26).
1.
Resistance: Resistant cells have been shown to have an enhanced efflux of VX, VBL, and
VRB via P-glycoprotein
in the cell membrane. Alterations in tubulin structure may also affect binding of the vinca
alkaloids.
2.
Pharmacokinetics: Intravenous injection of these agents leads to rapid cytotoxic effects and
cell destruction.
This in turn can cause hyperuricemia due to the oxidation of purines that are released from
fragmenting DNA
molecules, producing uric acid. The hyperuricemia is ameliorated by administration of the
xanthine
oxidaseinhibitor allopurinol. The vinca alkaloids are concentrated and metabolized in the
liver by the

6
cytochrome P450 pathway. They are excreted into bile and feces. Doses must be modified
in patients with
impaired hepatic function or biliary obstruction.
Veno oclusive disease (VOD)
Oklusi vena (VOD) merupakan bentuk lain kerusakan hepar karena kemoterapi, yang
ditandai dengan pembesaran hati, asites, peningkatan berat badan tanpa sebab yang jelas,
ikterik, peningkatan serum tranaminase. Pada pasien yang dapat bertahan, kerusakan hati
yang terjadi dapat menjadi sirosis dengan sklerosis vena hepatik dan fibrosis sinusoid.
Kemoterapi yang dapat menyebabkan VOD antara lain 6 thioguanin, sitosin arabinose,
busulfan, DTIC, carmustine dan dactinomycin. Peningkatan dosis dan pemberian dalam
kombinasi dapat meningkatkan potensi VOD. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa
transplantasi sumsum tulang juga dapat menyebabkan VOD pada anak yang menderita
tumor padat. 3
Patogenesis VOD melibatkan kaskade koagulasi pada sinusoid hepar setelah
terjadinya jejas pada endotel. Jejas yang terjadi merupakan akibat kongesti di sinusoid dan
perdarahan pada rongga Disse, terutama zona 3 asinus Rappaport, yang digambarkan
sebagai sindrom obstruksi sinusoid yang merusak venule hepatik terminal dan
menimbulkan fibrosis. VOD yang disebabkan oleh DTIC melibatkan kerusakan endotel
sinusoid karena metabolit toksik yang diproduksi pada sel endotel. Sebaliknya VOD oleh
siklofosfamid disebabkan oleh kerusakan endotel hepatosit . 1
VOD merupakan komplikasi pada 20-30% transplantasi sumsum tulang , dan dapat
terjadi 30 hari setelah transplantasi. Gambaran klinis mirip dengan sindrom BuddChiari
yaitu :3
ikterik (bilirubin > 35 mol/L)
hepatomegali dengan nyeri tekan
peningkatan JVP
asites

7
Gambar 5. Veno-occlusive disease (VOD) dapat terjadi pada 26% pasien setelah transplantasi
sumsusm tulang. Histologi hepar memperlihatkan gambaran oklusi venule terminal, kongesti sinusoid
dan nekrosis hepatosit. Fibrosis dan sirosis juga dapat terjadi.3

Graft-versus-host-disease (GVHD)
GVHD merupakan kelainan sistemik yang melibatkan kulit, intestine, paru, mata, pankreas
dan hati. Biasanya mulai terjadi 7-50 hari setelah transplantasi sumsum tulang . gejala akut
dapat berupa skin rash dengan deskuamasi, diare dan sekitar 40% melibatkan hepar seperti
mild ikterik dan hepatomegali. Kerusakan autoimun terjadi pada duktus bilier, dengan epitel
yang ireguler dan mempunyai nukleus pleomorfisme dan sitoplasma bervakuola. Endotelitis
dan inflamasi traktus porta, dengan duktus bilier yang hilang serta kolestasis, jaringan
parenkim relatif bertahan.3
Terapi yang dapat diberikan pada GVDH antara lain pemberian imunosupresif
dengan kortikosteroid dosis tinggi, siklosporin dan tacrolimus. Juga dapat ditambahkan
azathioprine, anti timosit globulin dan talidomide. Rituximab suatu anti bodi monoklonal CD
20 cukup efektif mengatasi GVHD. Untuk resirkulasi siklus enterohepatik dapat diberikan
ursodeoksicholik.3

Gambar 6. Histologi hepar dengan gambaran duktus bilier yang hilang dan bersifat
irreversibel.3

Gambaran klinis GVHD dan VOD 3

8
Daftar Pustaka :
1. Roberts E A. Drug-Induced Liver Disease. In: Suchy JF SJ, Balistreri FW, ed. Liver disesae in
children New York Cambridge University Press.; 2007: 478-512.

2. Roberts E A. Drug induced hepatotoxicity In: Walker W A GD, Kleinmen E R, et al, , ed.
Pediatric gastrointestinal disease Fourth edition ed. Ontario: BC Becker; .2004 1219-40.

3. Karen F. Murray. Drug induced liver disease. In: Kelly D, ed. Diseases of the Liver and Biliary
System in Children Diseases of the Liver and Biliary System in Children Third edition ed.
Birmingham: Blackwell Publishing; 2008: 207-30.

4. King D P PCM. Hepatotoxicity of chemotherapy The Oncologyst 2001


6:162-76.

Anda mungkin juga menyukai