Anda di halaman 1dari 8

ANALISIS JURNAL

CRITICAL APPRAISAL

A. ANALISIS VIA
1. Validity
Desain
Desain penelitian ini adalah randomized controlled trial, yaitu penelitian
uji coba secara acak individual terkontrol plasebo dua rejimen obat yang
berbeda (Sulfadoksin-Primetamin [dosis tunggal] yang dikombinasikan
dengan 3 hari Amodiaquin [SP-AQ] atau 3 hari Artesunat [SP-AS]) diberikan
sebagai IPTi pada waktu imunisasi rutin (3, 6, dan 9 bulan) dan pada 12 bulan
pada pemberian rutin suplemen vitamin A sebagai bagian dari World Health
Organizations Expanded Programme on Immunization (EPI) di Papua New
Guinea. Semua Peserta, tim lapangan, dan peneliti tidak mengetahui tentang
alokasi pengobatan. Keefektifan intervensi dinilai selama 12 bulan dimulai
dari pendaftaran sampai titik waktu penilaian awal pada usia 15 bulan, dengan
6 bulan masa pemantauan lanjutan (15-21 bulan) untuk menilai potensi
rebound.
Intervensi tersebut diberikan empat kali selama tahun pertama
kehidupan bersama EPI pada usia 3, 6, 9, dan 12 bulan (Tabel 1). Obat-obat
tersebut dihancurkan dan dicampur dengan air dan sirup manis (Golden Crush
Cordial, Coca-Cola Amatil) untuk pemberian yang mudah dengan sendok atau
jarum suntik. Dosis hari pertama diberikan oleh petugas peneliti. Anak-anak
diawasi secara ketat, dan jika mereka muntah dalam waktu 30 menit setelah
menerima pengobatan, dosis tersebut diulang. Dosis kedua dan ketiga
diberikan oleh pengasuh di rumah tanpa pengawasan langsung. Kepatuhan
dan potensi reaksi yang yang tidak diinginkan terhadap obat yang yang diteliti
dinilai oleh wartawan masyarakat, dan tingkat kepatuhan dari >90%
dilaporkan.

Populasi dan sampel


Penelitian ini dilakukan pada 6 Juni 2006 sampai 14 Mei 2010 di
pantai utara PNG di daerah Mugil, wilayah Sumkar, Provinsi Madang. Lokasi
penelitian meliputi 20 desa yang terletak di 400-km2 wilayah pesisir 3060
km utara dari kota Madang. Wilayah tersebut menerima lebih dari 3.000 mm
curah hujan per tahun, dengan musim kemarau pendek (JuniOktober), dan
dianggap memiliki hiperendemik malaria. Desa yang menjadi tempat
penelitian dilayani oleh dua pusat kesehatan utama (Mugil dan Alexishafen)
dan beberapa posko bantuan yang bertanggung jawab untuk mengirimkan EPI
melalui klinik kunjungan rumah setiap bulan. Meskipun kepemilikan kelambu
relatif tinggi (>50%), sampai awal pembagian kelambu insektisida yang tahan
lama secara gratis oleh program malaria nasional pada akhir 2008, mayoritas
penduduk di lokasi penelitian menggunakan kelambu tanpa insektisida.
Awalnya, penelitian ini dimulai sebagai penelitian dua sisi, dengan sisi
kedua di Wosera (Provinsi East Sepik). Namun, analisis sementara
menunjukkan ditengah penelitian menemukan bahwa kejadian malaria sangat
jauh berbeda antara dua sisi, membatasi hal yang dibandingkan dari kedua
sisi. Akibatnya, pendaftaran berhenti di Wosera pada Mei 2008 dan, sesuai
dengan perhitungan ukuran ukuran sampel yang telah direvisi, pendaftaran di
Madang ditingkatkan menjadi 334 anak per kelompok. Data dari kohort
Wosera kemudian digunakan hanya untuk analisis keamanan secara
keseluruhan.
Anak-anak yang terdaftar harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (1)
penduduk tetap daerah, (2) umur 3 bulan, (3) tidak ada cacat, (4) tidak ada
penyakit kronis, (5) tidak ada alergi terhadap penelitian obat, (6) Hb < 5 g/dl,
dan (7) tidak gizi buruk (didefinisikan oleh pedoman nasional PNG sebagai
berat badan < 60% berdasarkan referensi Harvard untuk berat badan sesuai
usia).

Pengumpulan sampel
Data sampel yang diperoleh merupakan data primer, yaitu langsung dari
sampel penelitian dengan memberi perlakuan khusus. Sampel berjumlah 1.121
orang yang kemudian dibagi menjadi tiga kelompok dengan pemberian
perlakuan berbeda pada waktu yang bersamaan. Kelompok pertama diberi
terapi sulfadoksin-pirimetamin + amodiaquine (SP-AQ), kelompok kedua
diberi terapi sulfadoksin-pirimetamin + artesunat (SP-AS) dan kelompok
ketiga diberi terapi placebo.

2. Importance
Tujuan utama dari percobaan ini adalah untuk mengevaluasi efek
perlindungan dari dua rejimen IPTi. Hasil utama diukur sebagai kejadian malaria
klinis akibat semua spesies Plasmodium dari usia 3 sampai 15 bulan. Hasil
sekunder termasuk (1) kejadian spesifik malaria klinis akibat Pf atau Pv dari usia
3 sampai 15 bulan, (2) kejadian malaria klinis (semua spesies, Pf, dan Pv) 15-21
bulan (Rebound), (3) kejadian anemia sedang-berat (Hb < 8 g/dl) dan anemia
berat (Hb < 5 g/dl) dari 3-15 bulan dan 15-21 bulan, serta ( 4) prevalensi
parasitemia malaria pada 15-21 bulan. Penelitian ini penting diketahui terutama
bagi klinisi dan pembuat kebijakan dalam mempertimbangkan kemoprofilaksis
untuk malaria. Hal ini dimaksudkan agar dapat mengurangi angka kesakitan dan
insidensi malaria di Indonesia.

3. Applicability
Apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia?
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat dan mempengaruhi angka kesakitan bayi, anak
balita dan ibu melahirkan serta dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja
(Dinkes Lampung, 2012). Malaria ditemukan hampir diseluruh dunia,
terutama di negara-negara yang beriklim tropis dan subtropis. Di Indonesia,
malaria ditemukan hampir di semua wilayah dengan jenis yang berbeda-beda.
Secara nasional angka kesakitan malaria selama tahun 20052014 cenderung
menurun yaitu dari 4,1 per 1.000 penduduk berisiko pada tahun 2005 menjadi
0,99 per 1.000 penduduk berisiko pada tahun 2014. Sementara target Rencana
Strategi Kementerian Kesehatan untuk angka kesakitan malaria (API/annual
parasite incidence) tahun 2014 adalah <1 per 1.000 penduduk berisiko
(Kementerian Kesehatan RI, 2014). Insiden Malaria pada penduduk Indonesia
tahun 2013 adalah 1,9 persen menurun dibanding tahun 2007 (2,9%), tetapi di
Papua Barat mengalami peningkatan tajam jumlah penderita malaria.
Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan
insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa
Tenggara Timur (6,8% dan 23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%), Sulawesi
Tengah (5,1% dan 12,5%), dan Maluku (3,8% dan 10,7%) (Kementerian
Kesehatan RI, 2013).
Insiden malaria di Provinsi Lampung sendiri menunjukan penurunan
angka dari tahun 2007 sampai 2013. AMI Provinsi Lampung tahun 2012
sebesar 2,42 per 1.000 penduduk, angka ini telah berada di bawah target
sebesar 5,5 per 1.000 penduduk dan jika dibandingkan dengan angka nasional
(<50 ) AMI di Provinsi Lampung masih relatif rendah. Sedangkan untuk
API per 1000 penduduk Provinsi Lampung tahun 2012 sebesar 0,22 per 1000
penduduk. Angka ini telah ada di bawah target yang ditetapkan yaitu kurang
dari 1 per 1000 penduduk (Dinkes Lampung, 2012).
Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia,
terutama bagian Timur, agar dapat semakin mengurangi angka kejadian
malaria didaerah tersebut, namun penerapan secara nyata mungkin
membutuhkan proses dan penelitian lebih lanjut karena perbedaan geografis
wilayah dan biologi spesies plasmodium di Indonesia dengan di negara
penelitian sebelumnya.

Apakah penelitian ini dapat diaplikasikan ke pasien ?


Pada dasarnya, penyakit malaria dapat dicegah selama manajemen malaria
dilakukan secara tepat dan efektif, salah satunya dengan pemberian dua
rejimen obat yang berbeda (Sulfadoksin-Primetamin dosis tunggal yang
dikombinasikan dengan Amodiaquin selama 3 hari [SP-AQ] atau Artesunat
selama 3 hari [SP-AS]) diberikan sebagai IPTi pada waktu vaksinasi rutin (3,
6, dan 9 bulan) dan pada 12 bulan yang hubungannya dengan pemberian rutin
suplemen vitamin A. Hal ini menunjukkan bahwa penelitian ini dapat
diaplikasikan ke pasien karena hasil dari penelitian ini sesuai dengan pedoman
yang ada (WHO policy recommendation on intermittent preventive treatment
during infancy with sulphadoxine-pyrimethamine (SPIPTi) for Plasmodium
falciparum malaria control in Africa, 2010).

B. ANALISIS PICO
Jurnal ini telah menjawab pertanyaan dasar telaah jurnal, yaitu

1. Problem
Malaria dan anemia adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
anak-anak di negara-negara tropis. Untuk saat ini, semua studi IPTi dilaporkan
telah dilakukan secara eksklusif di sub-Sahara Afrika pada populasi di mana
dominan Plasmodium falciparum (Pf) dan jarang P. vivax (Pv). Namun, di daerah
endemis tinggi seperti Pasifik Barat Daya, Asia Tenggara, Amerika, dan tanduk
Afrika, Pv merupakan penyebab utama morbiditas malaria, termasuk penyakit
parah dan kematian pada anak-anak khususnya. Oleh karena itu, meskipun IPTi
mungkin memiliki manfaat yang signifikan di wilayah ini, sampai saat ini tidak
ada data tentang khasiat IPTi di daerah non-Afrika, atau pada penggunaan IPTi
untuk malaria karena P. vivax. Hasil dari Afrika tidak dapat dengan mudah
diekstrapolasi untuk daerah-daerah lain karena perbedaan biologi Pf dan Pv,
khususnya kemampuan Pv untuk relaps dari stadium hati yang lama, dan juga
kemampuan Pv menimbulkan resistensi terhadap SP yang cepat.

2. Intervention
Data penelitian ini diperoleh dari sampel penelitian yang telah memenuhi
kriteria, yaitu 1.121 bayi/anak di Papua New Guinean. Semua sampel dibagi
menjadi tiga kelompok yang kemudian akan diberikan terapi IPTi dengan SP-
AQ, SP-AS, dan Plasebo pada 3, 6, 9, dan 12 bulan saat pemberian imunisasi
rutin. Tujuan pemberian rejimen-rejimen obat ini adalah untuk mengetahui
efikasi IPTi dengan SP-AQ dan SP-AS dalam pencegahan malaria dan anemia di
daerah endemik tinggi Pf dan Pv.

3. Comparison
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efek proteksi (PE) dari kedua
rejimen IPTi (SP-AQ dan SP-AS) yang dibandingkan dengan placebo terhadap
kejadian malaria (terutama malaria Pf dan Pv) dan kejadian anemia akibat
malaria serta prevalansi parasitemia malaria pada pemberian rejimen terapi IPTi.

4. Outcomes
Studi ini memberikan bukti efektifitias IPTi untuk pencegahan malaria dan
anemia di daerah endemik tinggi baik Pf maupun Pv. Selain itu, studi ini
memberikan bukti penting dari prinsip bahwa IPTi merupakan strategi yang tepat
untuk pencegahan malaria Pv, jika digunakan obat dengan waktu paruh yang
panjang dan efektif. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi IPTi dengan
rejimen obat SP-AQ dan SP-AS memiliki efikasi perlindungan terhadap seluruh
kejadian malaria, namun efikasi proteksi lebih tinggi terhadap malaria Pf
dibandingkan malaria Pv.
Berdasarkan penelitian ini pada pemberian tiga atau lebih perawatan IPTi,
memberikan efikasi yang lebih tinggi terhadap seluruh kejadian malaria, yaitu
sebesar 38% dengan pemberian SP-AQ dan 23% dengan pemberian SP-AS
(analisis ATP). Sedangkan pada kejadian klinis malaria antara dosis pertama pada
3 bulan sampai 15 bulan pada analisis mITT, kejadian dari semua kasus malaria
adalah 29% lebih rendah pada kelompok SP-AQ dibandingkan dengan plasebo,
tetapi tidak secara signifikan menurun pada kelompok SP-AS dibandingkan
dengan plasebo dengan nilai 12%. PE lebih tinggi terhadap Pf dibandingkan Pv
pada kedua kelompok.
Selain itu, pada populasi ATP pemberian rejimen terapi IPTi juga dapat
memberikan perlindungan terhadap kejadian anemia sedang-berat (Hb <8 g/dl)
dan anemia berat (Hb <5 g/dl) akibat malaria. Pada kasus anemia sedang-berat,
PE meningkat menjadi 41% pada kelompok SP-AQ dan 34% pada kelompok SP-
AS sedangkan pada kasus anemia berat (<5 g/dl) terdapat 7 kasus pada kelompok
plasebo, 1 pada kelompok SP-AQ, dan 2 pada kelompok SP-AS. Pada populasi
mITT, tidak terdapat perbedaan PE yang signifikan terhadap anemia akibat
malaria. Dari seluruh efek samping dan kematian yang dilaporkan selama
penelitian, tidak ada bukti bahwa kejadian tersebut berkaitan dengan perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. 2011. Profil Kesehatan Provinsi Lampung Tahun
2010.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.

World Health Organization (2010) WHO policy recommendation on intermittent


preventive treatment during infancy with sulphadoxine-pyrimethamine
(SPIPTi) for Plasmodium falciparum malaria control in Africa. Geneva: World
Health Organization.

Anda mungkin juga menyukai