Anda di halaman 1dari 17

2.1.

Osteoarthritis
2.1.1. Pengertian Osteoarthritis
Osteoartritis adalah gangguan pada sendi yang bergerak (Price dan Wilson, 2013). Disebut juga
penyakit sendi degeneratif, merupakan ganguan sendi yang tersering. Kelainan ini sering menjadi
bagian dari proses penuaan dan merupakan penyebab penting cacat fisik pada orang berusia di
atas 65 tahun (Robbins, 2007). Sendi yang paling sering terserang oleh osteoarthritis adalah
sendi-sendi yang harus memikul beban tubuh, antara lain lutut, panggul, vertebra lumbal dan
sevikal, dan sendi-sendi pada jari (Price dan Wilson, 2013). Dalam Perhimpunan Reumatologi
Indonesia Osteoartritis secara sederhana didefinisikan sebagai suatu penyakit sendi degeneratif
yang terjadi karena proses inflamasi kronis pada sendi dan tulang yang ada disekitar sendi
tersebut (Hamijoyo, 2007). Sjamsuhidajat, dkk (2011) mendefinisikan OA sebagai kelainan sendi
kronik yang disebabkan karena ketidakseimbangan sintesis dan degradasi pada sendi, matriks
ekstraseluler, kondrosit serta tulang subkondral pada usia tua (Sjamsuhidajat et.al, 2011).

Etiologi
Berdasarkan etiopatogenesisnya OA dibagi menjadi dua, yaitu OA primer dan OA sekunder. OA
primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya tidak diketahui dan tidak ada
hubunganya dengan penyakit sistemik, inflamasi ataupun perubahan lokal pada sendi, sedangkan
OA sekunder merupakan OA yang ditengarai oleh faktor-faktor seperti penggunaan sendi yang
berlebihan dalam aktifitas kerja, olahraga berat, adanya cedera sebelumnya, penyakit sistemik,
inflamasi. OA primer lebih banyak ditemukan daripada OA sekunder (Davey, 2006).
Faktor resiko pada osteoarthritis, meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Peningkatan usia, OA biasanya terjadi pada usia lanjut, jarang dijumpai penderita OA yang
berusia di bawah 40 tahun (Helmi, 2012). Di Indonesia, prevalensi OA mencapai 5% pada usia <
40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia > 61 tahun (Soeroso et al., 2009).
2. Obesitas, membawa beban lebih berat akan membuat sendi sambungan tulang berkerja lebih
berat, diduga memberi andil terjadinya AO (Helmi, 2012). Serta obesitas menimbulkan stres
mekanis abnormal, sehingga meningkatkan frekuensi penyakit (Robbins, 2007).
3. Jenis kelamin wanita (Helmi, 2012). Perkembangan OA sendi-sendi interfalang distal tangan
(nodus Heberden) lebih dominan pada perempuan. Nodus Heberdens 10 kali lebih sering
ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki (Price dan Wilson, 2013). Kadar estrogen
yang tinggi juga dilaporkan berkaitan dengan peningkatan resiko (Robbins, 2007). Hubungan
antara estrogen dan pembentukan tulang dan prevalensi OA pada perempuan menunjukan bahwa
hormon memainkan peranan aktif dalam perkembangan dan
progresivitas penyakit ini (Price dan Wilson, 2013). Wanita yang telah lanjut usia atau di atas 45
tahun telah mengalami menopause sehingga terjadi penurunan estrogen. Estrogen berpengaruh
pada osteoblas dan sel endotel. Apabila terjadi penurunan estrogen maka TGF- yang dihasilkan
osteoblas dan nitric oxide (NO) yang dihasilkan sel endotel akan menurun juga sehingga
menyebabkan diferensiasi dan maturasi osteoklas meningkat. Estrogen juga berpengaruh pada
bone marrow stroma cell dan sel mononuklear yang dapat menghasilkan HIL-1, TNF-, IL-6 dan
M-CSF sehingga dapat terjadi OA karena mediator inflamasi ini. Tidak hanya itu, estrogen juga
berpengaruh pada absorbsi kalsium dan reabsorbsi kalsium di ginjal sehingga terjadi
hipokalasemia. Kedaan hipokalasemia ini menyebabkan mekanisme umpan balik sehingga
meningkatkan hormon paratiroid. Peningkatan hormon paratiroid ini juga dapat meningkatkan
resobsi tulang sehingga dapat mengakibatkan OA (Ganong, 2008).
4. Trauma, riwayat deformitas sendi yang diakibatkan oleh trauma dapat menimbulkan stres
mekanis abnormal sehingga menigkatkan frekuensi penyakit (Helmi, 2012 ; Robbins, 2007).
5. Faktor genetik juga berperan dalam kerentanan terhadap OA, terutama pada kasus yang
mengenai tangan dan panggul. Gen atau gen-gen spesifik yang bertanggung jawab untuk ini
belum 11
terindentifikasi meskipun pada sebagian kasus diperkirakan terdapat keterkaitan dengan
kromosom 2 dan 11 (Robbins, 2007). Beberapa kasus orang lahir dengan kelainan sendi tulang
akan lebih besar kemungkinan mengalami OA (Helmi, 2012).
Epidemiologi
Osteoartritis merupakan penyebab ketidakmampuan pada orang Amerika dewasa. Prevalensi
osteoartritis di Eropa dan America lebih besar dari pada prevalensi di negara lainnya. The
National Arthritis Data Workgroup (NADW) memperkirakan
penderita osteoartritis di Amerika pada tahun 2005 sebanyak 27 juta yang terjadi pada usia 18
tahun keatas. Data tahun 2007 hingga 2009 prevalensi naik sekitar 1 dari 5 atau 50 juta jiwa yang
didiagnosis dokter menderita osteoartritis (Murphy dan Helmick, 2012). Estimasi insiden
osteoartritis di Australia lebih besar pada wanita dibandingkan pada laki-laki dari semua
kelompok usia yaitu 2,95 tiap 1000 populasi dibanding 1,71 tiap 1000 populasi (Woolf dan
Pfleger, 2003). Di Asia, China dan India menduduki peringkat 2 teratas sebagai negara dengan
epidemiologi osteoartritis tertinggi yaitu berturut-turut 5.650 dan 8.145 jiwa yang menderita
osteoartritis lutut (Fransen et. al, 2011). Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 hasil
dari wawancara pada usia 15 tahun rata-rata prevalensi penyakit sendi/rematik sebesar 24,7%.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi dengan prevalensi OA tertinggi yaitu
sekitar 33,1% dan provinsi dangan prevalensi terendah adalah Riau yaitu sekitar 9% sedangkan di
Jawa Timur angka prevalensinya cukup tinggi yaitu sekitar 27% (Riskesdas, 2013). Sekitar
32,99% lansia di Indonesia mengeluhkan penyakit degeneratif seperti asam urat, rematik/radang
sendi, darah tinggi, darah rendah, dan diabetes (Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan
RI, 2013). 56, 7% pasien di poliklinik rheumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
didiagnosis menderita osteoartritis (Soenarto, 2010). Gejala OA lutut lebih tinggi terjadi pada
wanita dibanding pada laki-laki yaitu 13% pada wanita dan 10% pada laki-laki. Murphy, et.al
mengestimasikan risiko perkembangan OA lutut sekitar 40% pada laki-laki dan 47% pada wanita.
Oliveria melaporkan rata-rata insiden OA panggul, lutut dan tangan sekitar 88, 240, 100/100.000
disetiap tahunnya. Insiden tersebut akan meningkat pada usia 50 tahun keatas dan menurun pada
usia 70 tahun (Zhang dan Jordan, 2010). Studi kohort di Framingham, 6,8% orang berusia 26
tahun ke atas memiliki gejala 10

osteoartritis pada tangan dengan rata-rata laki-laki 3,8% dan wanita 9,2%. NADW
memperkirakan 13 juta populasi di Amerika yang berusia 26 tahun keatas memiliki gejala OA
pada tangan, OA pada lutut diperkirakan sebanyak 9,3 juta (4,9%) dan OA pada panggul
sebanyak 6,7%. Johnston Country Osteoarthritis (JoCo OA) Project, sebuah studi tentang OA
pada lutut dan panggul 43,3% pasien mengeluhkan rasa nyeri dan kekakuan pada sendi. Hal ini
disebabkan penebalan pada kapsul sendi dan perubahan bentuk pada osteofit (Murphy dan
Helmick, 2012)

Patogenesis
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan inflamasi. Terdapat 4 fase
penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase
degradasi.
- Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya melakukan
perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase
ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan
membantu komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-1), growth
hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni stimulating factors (CSFs). Faktor-
faktor ini menginduksi khondrosit untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein
seperti kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
- Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1 sehingga
meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang mempengaruhi sendi. IL-1(Inter
Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor- (TNF-) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase
dan gelatinase untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki
dampak
11
negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan menghasilkan kerusakan pada
sendi.
- Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan
aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan trombus dan komplek lipid pada
pembuluh darah subkondral sehingga menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal
ini mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin yang dapat
menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin
yang dapat menyebabkan peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri juga
diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari
medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses
remodelling trabekula dan subkondrial.
- Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu meningkatkan
sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag didalam cairan sendi juga
bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs
akan memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit
untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.

Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama perkembangan
OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor
pertumbuhan merangsang sintesis (Sudoyo et. al, 2007).

Gambar 2. Gambaran osteoartritis (price dan wilson, 2-13)


Osteoartritis pernah dianggap sebagai kelainan degeneratif primer dan kejadian natural akibat
proses wear and tear pada sendi sebagai hasil dari proses penuaan. Tetapi, temuan-temuan
yang lebih baru dalam bidang biokimia dan biomekanik telah menyanggah teoari ini. Osteoartritis
adalah sebuah proses penyakit aktif pada sendi yang dapat mengalami perubahan oleh manipulasi
mekanik dan biokimia. Terdapat efek penuaan pada komponen sistem muskuloskeletal seperti
kartilago artikular, tulang, dan jaringan yang memungkinkan meningkatnya kejadian beberapa
penyakit seperti OA (Price dan Wilson, 2013).
Untuk melindungi tulang dari gesekan, di dalam tubuh ada tulang rawan. Namun karena berbagai
faktor risiko yang ada, maka terjadi
erosi pada tulang rawan dan berkurangnya cairan pada sendi. Tulang rawan sendiri berfungsi
untuk menjamin gerakan yang hampir tanpa gesekan di dalam sendi berkat adanya cairan
sinovium dan sebagai penerima beban, serta meredam getar antar tulang (Robbins, 2007). Tulang
rawan yang normal bersifat avaskuler, alimfatik, dan aneural sehingga memungkinkan
menebarkan beban keseluruh permukaan sendi. Tulang rawan matriks terdiri dari air dan gel
(ground substansi), yang biasanya memberikan proteoglikan, dan kolagen (Hassanali, 2011).

Manifestasi Klinis
OA dapat mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Distribusi OA dapat mengenai sendi leher,
bahu, tangan, kaki, pinggul, lutut. 12
- Nyeri : Nyeri pada sendi berasal dari inflamasi pada sinovium, tekanan pada sumsum tulang,
fraktur daerah subkondral, tekanan saraf akibat osteofit, distensi, instabilnya kapsul sendi, serta
spasme pada otot atau ligamen. Nyeri terjadi ketika melakukan aktifitas berat. Pada tahap yang
lebih parah hanya dengan aktifitas minimal sudah dapat membuat perasaan sakit, hal ini bisa
berkurang dengan istirahat.
- Kekakuan sendi : kekakuan pada sendi sering dikeluhkan ketika pagi hari ketika setelah duduk
yang terlalu lama atau setelah bangun pagi.
- Krepitasi : sensasi suara gemeratak yang sering ditemukan pada tulang sendi rawan.
- Pembengkakan pada tulang biasa ditemukan terutama pada tangan sebagai nodus Heberden
(karena adanya keterlibatan sendi Distal Interphalangeal (DIP)) atau nodus Bouchard (karena
adanya keterlibatan sendi Proximal Phalangeal (PIP)). Pembengkakan pada tulang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan pergerakan sendi yang progresif.
- Deformitas sendi : pasien seringkali menunjukkan sendinya perlahan-lahan mengalami
pembesaran, biasanya terjadi pada sendi tangan atau lutut (Davey, 2006).
2.1.4. Klasifikasi Osteoarthritis

Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder. OA primer


disebut juga OA idiopatik adalah OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya
dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA
yang didasari oleh adanya perubahan degeneratif yang terjadi pada sendi yang sudah
mengalami deformitas, atau degenerasi sendi yang terjadi dalam konteks metabolik tertentu
(Robbins, 2007). Selain dari jenis osteoarthritis yang lazim, ada beberapa varian lain. OA
peradangan erosif terutama menyerang sendi pada jari-jari dan berhubungan dengan episode
peradangan akut yang menimbulkan deformitas dan alkilosis. Hiperostosis alkilosis
menimbulkan penulangan vertebra (Price dan Wilson, 2013).

Diagnosis Osteoartritis
Osteoarthritis biasanya didasarkan pada anamnesis yaitu riwayat penyakit, gambaran klinis dari
pemeriksaan fisik dan hasil dari pemeriksaan radiologis. Anamnesis terhadap pasien osteoartritis
lutut umumnya mengungkapkan keluhan-keluhan yang sudah lama, tetapi berkembang secara
perlahan-lahan. Keluhan-keluhan pasien meliputi nyeri sendi yang merupakan keluhan utama
yang membawa pasien ke dokter, hambatan gerakan sendi, kaku pagi yang timbul setelah
imobilitas, pembesaran sendi, dan perubahan gaya berjalan (Soeroso et al., 2006). Nyeri sendi
merupakan keluhan utama yang dirasakan setelah aktivitas dan menghilang setelah istirahat. Bila
progresifitas OA terus berlangsung terutama setelah terjadi reaksi radang (sinoritis) nyeri akan
terasa saat istirahat. Sedangkan istirahat ataupun immobilisasi yang lama dapat menimbulkan
efek-efek pada jaringan ikat dan kekuatan penunjang sendi. Bila akut dapat ditemukan tanda-
tanda radang: rubor (merah), tumor (membengkak), calor (terasa panas), dolor (terasa nyeri), dan
fuctio laesa (gangguan fungsi) yang jelas (Paranatha, 2012).
Kriteria diagnosis dari OA lutut berdasarkan American College of Rheumatology yaitu adanya
nyeri pada lutut dan pada foto rontgen ditemukan adanya gambaran osteofit serta sekurang
kurangnya satu dari usia > 50 tahun, kaku sendi pada pagi hari < 30 menit dan 16
adanya krepitasi. Nyeri pada sendi tersebut biasanya merupakan keluhan utama yang membuat
pasien datang ke dokter. Nyeri biasanya bertambah berat dengan gerakan dan berkurang dengan
istirahat. Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhannya sudah berlangsung lama
tetapi berkembang secara perlahan. Daerah predileksi OA biasanya mengenai sendi sendi
penyangga tubuh seperti di pada lutut. Pada pemeriksaan fisik, pada pasien OA ditemukan adanya
gerak sendi baik secara aktif maupun pasif. Selain itu biasanya terdengar adanya krepitasi yang
semakin jelas dengan bertambah beratnya penyakit. Gejala ini disebabkan karena adanya
pergesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif
dimanipulasi (American College of Rheumatology, 2012). Hambatan gerak yang seringkali sudah
ada meskipun secara radiologis masih berada pada derajat awal dapat ditemukan pada
pemeriksaan fisik. Selain itu dapat ditemukan adanya krepitasi, pembengkakan sendi yang
seringkali asimetris (Soeroso et al., 2006). Nyeri tekan tulang, dan tak teraba hangat pada kulit
(American College of Rheumatology, 2012).
Sedangkan gambaran berupa penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris, peningkatan
densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi, dan perubahan struktur
anatomi sendi dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologis yang menggunakan pemeriksaan
foto polos (Soeroso et al., 2006). 17
Diagnosis OA selain berdasarkan gejala klinis juga didasarkan pada hasil radiologi. Namun pada
awal penyakit , radiografi sendi seringkali masih normal. Adapun gambaran radiologis sendi yang
menyokong diagnosis OA adalah:
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung
beban).

2. Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral.

3. Kista tulang.

4. Osteofit pada pinggir sendi.

5. Perubahan struktur anatomi sendi (Soeroso et al., 2006).

Gambar. 4. Perbandingan sendi normal dan sendi pada OA


American College of Rheumatology (1987) mendeskripsikan kesehatan seseorang berdasarkan
derajat keparahan. Antara lain sebagai berikut:
Derajat 0 : Tidak merasakan tanda dan gejala.
Derajat 1 : Terbentuk taji kecil, nyeri dirasakan ketika beraktifitas cukup berat, tetapi masih bisa
dilokalisir dengan cara mengistirahatkan sendi yang terkena osteoartritis.
Derajat 2 : Osteofit yang pasti, mungkin terdapat celah antar sendi, nyeri hampir selalu dirasakan,
kaku sendi pada pagi hari, krepitus, membutuhkan bantuan dalam menaiki tangga, tidak mampu
berjalan 16
jauh, memerlukan tenaga asisten dalam menyelesaikan pekerjaan rumah.
Derajat 3-4 : Osteofit sedang-berat, terdapat celah antar sendi, kemungkinan terjadi perubahan
anatomis tulang, nyeri disetiap hari, kaku sendi pada pagi hari, krepitus pada gerakan aktif sendi,
ketidakmampuan yang signifikan dalam beraktivitas (Woolf dan Pfleger, 2003).
8. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada OA untuk mengurangi tanda dan gejala OA, meningkatkan kualitas
hidup, meningkatkan kebebasan dalam pergerakan sendi, serta memperlambat progresi
osteoartritis. Spektrum terapi yang diberikan meliputi fisioterapi, pertolongan ortopedi,
farmakoterapi, pembedahan, rehabilitasi.
a. Terapi konservatif

Terapi konservatif yang bisa dilakukan meliputi edukasi kepada pasien, pengaturan gaya hidup,
apabila pasien termasuk obesitas harus mengurangi berat badan, jika memungkinkan tetap
berolah raga (pilihan olah raga yang ringan seperti bersepeda, berenang).
b. Fisioterapi

Fisioterapi untuk pasien OA termasuk traksi, stretching, akupuntur, transverse friction (tehnik
pemijatan khusus untuk penderita OA), latihan stimulasi otot, elektroterapi.
c. Pertolongan ortopedi

Pertolongan ortopedi kadang-kadang penting dilakukan seperti sepatu yang bagian dalam dan luar
didesain khusus pasien OA, ortosis juga digunakan untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan
fungsi sendi (Michael et. al, 2010).
d. Farmakoterapi
- Analgesik / anti-inflammatory agents.
17
COX-2 memiliki efek anti inflamasi spesifik. Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi
harus selalu dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas.
Contoh: Ibuprofen : untuk efek antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200-2400mg sehari.
Naproksen : dosis untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250-375mg sehari. Bila perlu diberikan
2x500mg sehari.
- Glucocorticoids

Injeksi glukokortikoid intra artikular dapat menghilangkan efusi sendi akibat inflamasi.
Contoh: Injeksi triamsinolon asetonid 40mg/ml suspensi
hexacetonide 10 mg atau 40 mg.
- Asam hialuronat
- Kondroitin sulfat
- Injeksi steroid seharusnya digunakan pada pasien dengan diabetes yang telah hiperglikemia.

Setelah injeksi kortikosteroid dibandingkan dengan plasebo, asam hialuronat, lavage (pencucian
sendi), injeksi kortikosteroid dipercaya secara signifikan dapat menurunkan nyeri sekitar 2-3
minggu setelah penyuntikan (Nafrialdi dan Setawati, 2007).
e. Pembedahan
- Artroskopi merupakan prosedur minimal operasi dan menyebabkan rata infeksi yang rendah
(dibawah 0,1%). Pasien dimasukkan ke dalam kelompok 1 debridemen artroskopi, kelompok 2
lavage artroskopi, kelompok 3 merupakan kelompok plasebo hanya dengan incisi kulit. Setelah
24 bulan melakukan prosedur tersebut didapatkan hasil yang signifikan pada kelompok 3 dari
pada kelompok 1 dan 2.
18
- Khondroplasti : menghilangkan fragmen kartilago. Prosedur ini digunakan untuk mengurangi
gejala osteofit pada kerusakan meniskus.
- Autologous chondrocyte transplatation (ACT)
- Autologous osteochondral transplantation (OCT)

(Michael et. al, 2010).


9. Faktor Risiko
- Perbedaan ras

Perbedaan ras menunjukkan distribusi sendi OA yang terkena, misalnya rata-rata wanita dengan
Ras Afrika-Amerika terkena OA lutut lebih tinggi daripada wanita ber ras Kaukasia. Ras Afrika
hitam, China, dan Asia-Hindia menunjukkan prevalensi OA panggul dari pada ras Eropa-
Kaukasia.
- Usia

Gejala dan tanda pada radiologi OA lutut sangat banyak dideteksi sebelum usia 40 tahun.
Bertambahnya usia, insiden OA juga semakin meningkat. Insiden meningkat tajam pada usia
sekitar 55 tahun.
- Faktor genetik

Faktor genetik merupakann faktor penting. Anak perempuan dengan ibu yang memiliki OA
berisiko lebih tinggi dari pada anak laki-laki karena OA diwariskan diwariskan kepada anak
perempuan secara dominan sedangkan pada laki-laki diwariskan secara resesif. Selain itu genetik
menyumbang terjadinya OA pada tangan sebanyak 65%, OA panggul sebanyak 50%, OA lutut
sebanyak 45%, dan 70% OA pada cervical dan spina lumbar.
- Obesitas

Obesitas merupakan faktor penting terkait perkembangan OA pada lutut tetapi hubungan ini lebih
kuat pada wanita. Risiko 19
terjadinya OA dua kali lebih besar pada orang dengan berat badan berlebih dari pada kelompok
orang dengan berat badan normal. Selain itu dilihat dari perubahan radiologis, obesitas
merupakan prediktor ketidakmampuan yang progresif. Tetapi hubungan ini tidak jelas pada OA
panggul dan OA tangan.
- Riwayat bedah lutut atau trauma

Trauma pada sendi merupakan faktor risiko berkembangnya penyakit OA. Hal ini dikarenakan
kemungkinan adanya kerusakan pada mayor ligamen, tulang pada sekitar sendi tersebut. Trauma
merupakan faktor risiko pada OA lutut karena kerusakannya bisa menyebabkan perubahan pada
meniskus, atau ketidakseimbangan pada anterior ligamen krusial dan ligamen kolateral.
- Aktivitas berat yang berlangsung lama

Penggunaan sendi dalam aktivitas berat yang berlangsung lama menjadi faktor risiko
berkembangnya penyakit OA. Pekerjaan seperti kuli angkut barang, memanjat menyebabkan
peningkatan OA lutut, hal ini biasanya terjadi pada laki-laki. Selain itu kebiasaan yang
membungkuk terlalu lama seperti petani, atau tukang cuci meningkatkan risiko terjadinya OA
panggul. Altet olahraga wanita ataupun lelaki menunjukkan faktor risiko besar terjadinya OA
lutut dan panggul (Sambrook et. al, 2005).

Anda mungkin juga menyukai