Abstraksi
Artikel ini menyajikan pola mudah dalam mengagendakan riset dengan EK. Latar
belakang secara ontologi dan epistemologi juga dibahas dalam laporan ini. Tiga
contoh pembentukan laporan dengan EK disajikan untuk memberikan gambaran
bagaimana proses dan laporan riset dapat diselesaikan.
Pendahuluan
Ethnografi Kritis (Critical Ethnography) tidaklah baru untuk mengkaji ilmu akuntansi.
Ethnografi Kritis (EK) digunakan ilmu akuntansi untuk menjelaskan penomena sosial dan
kultur yang hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Sukoharsono (2004) adalah salah
satu contohnya. Melalui pendanaan dari Technical and Professional Skills Development Sector
Project (ADB Loan No. 1792-INO) Universitas Jember, Sukoharsono (2004) mengeksplorasi
manajemen internal dilingkungan UPT PSPB dengan memanfaatkan Ethnografi Kritis (EK).
Menurut Spradley (1997:3), EK adalah pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dimana
tujuan utamanya adalah memahami suatu pandangan hidup (baca, berorganisasi atau
berprofesi) dari sudut pandang penduduk asli (baca, orang-orang atau karyawan dengan
pengabdian lama dalam organisasi yang bersangkutan). Menurut Wolcott (1984 [1973],
1999) seperti yang ditulis dalam Berg (2004), EK adalah proses awal yang mencoba untuk
mendeskripsikan secara kritis dan meginterpretasikan ekspresi-ekspresi sosial antar manusia
dan kelompok-kelompok. EK merupakan suatu studi tentang kebudayaan/fenomena sosial
dalam ilmu akuntansi yang bertujuan untuk mendeskripsikan dan menginterpretasikan
budaya/fenomena tersebut dari sudut pandang pelaku aslinya. Setting dari riset EK sendiri
sifatnya natural/ alami. Sukoharsono (2006) secara jelas memberikan ruang yang luas dalam
memanfaatkan teknik EK dalam mengeksplorasi kehidupan akuntansi ditengah-tengah
interaksi sosial kemasyarakatan.
Riset EK bukan sekedar pengamatan atas tingkah laku manusia tetapi juga memaknai
tingkah laku tersebut yang dapat dibingkai dalam kehidupan keilmuan akuntansi. Menurut
Geertz (1973) dalam Berg (2004), EK merupakan sebuah pencarian makna melalui
interpretasi informan. Dalam konteks riset akuntansi, metode EK merupakan studi lapangan
yang ditujukan untuk menggali meaning yang muncul dari interaksi sosial di antara orang-
orang di tengah masyarakat yang mempraktekkan akuntansi.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Accounting Research Training Series 5 - Kritis
PDIA-PMA JAFEB Universitas Brawijaya
22-23 Januari 2014
File ini diunduh dari:
www.multiparadigma.lecture.ub.ac.id Sukoharsono: Refleksi Ethnografi Kritis ... Page 2
Perkembangan berikutnya dari etnografi yaitu muncul sebagai studi yang tidak hanya
berfokus pada persepsi partisipan, namun lebih dari itu, yaitu bagaimana merepresentasikan
penanaman deskripsi budaya lokal yang cukup kaya di dalam sistem politik ekonomi
impersonal yang cukup luas. Untuk itu, diperlukan pendekatan diluar deskripsi etnografi
dominan, dan dibutuhkan sebuah alat riset yang dapat melakukan penetrasi kedalam makna
yang tersembunyi dan yang mendasari hubungan dan interaksi sosial. EK, sebagai sebuah
studi budaya yang memiliki orientasi ideologi yang sensitif, dipilih sebagai riset teknik yang
memberikan perhatian pada banyak perspektif, ketidaksetaraan budaya dan sosial serta
diarahkan pada perubahan social dapat memberikan makna yang berbeda.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Satu dari kritik utama etnografi adalah bahwa metode ini terlihat kurang memiliki
kegunaan, khususnya dalam konteks riset akuntansi. Seperti yang disarankan Sukoharsono
(2006) bahwa EK muncul untuk menjawab pertanyaan "so what" dari audiencenya dengan
menambahkan tujuan politik bagaimana akuntansi berpersan dalam membangun social dan
budaya di sebuah lingkungan organisasi.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
(Thomas, [1993] dan Sukoharsono [2006]). Disini tujuan pengetahuan tidak hanya
mengeksplorasi tujuan tetapi lebih untuk melakukan perubahan sosial - sebuah panggilan
untuk melakukan tindakan di luar "what is", yaitu memberikan pertanyaan pada partisipan
"what could be".
Salah satu aspek berharga dari kritikal etnografi yaitu indepth analisis yang
dilakukan dalam mengungkapkan fenomena aktivitas akuntansi di kehidupan sosial. Hal ini
dikarenakan keterlibatan peneliti dalam observasi berpartisipasi untuk periode waktu yang
relatif lama dan mendalam. Kondisi ini membuat peneliti dapat melihat dan mengamati apa
yang dilakukan dan dikatakan oleh komunitas atau individu social tertentu. Setiap saat
peneliti dapat memperoleh pemahaman yang mendalam terhadap orang-orang, organisasi dan
konteks lain yang lebih luas. Peneliti dapat membangun hubungan yang lebih dekat dengan
mereka yang diobservasi. Ini sebagai konsekuensi secara fisik peneliti berada dilapangan,
ditempat orang-orang tersebut tinggal dan beraktivitas. Seperti yang dinyatakan oleh Grills
(1998) dalam Myers (1999) :
...by going to "where the action is", the field researcher develops an intimate
familiarity with the dilemmas, frustrations, routines, relationships, and risks that are
part of everyday life.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Lebih lanjut, pengetahuan yang diperoleh dari apa yang terjadi di lapangan dapat
memberikan informasi yang berharga untuk menantang asumsi kita. Studi kritis sering
membuat peneliti mempertanyakan mengenai sesuatu yang biasanya hanya diterima begitu
saja (taken for granted).
Salah satu keterbatasan riset kritikal etnografi adalah masalah waktu riset yang relatif
lebih lama dibandingkan riset yang lain. Riset kritikal etnografi tidak hanya memakan waktu
lama di lapangan, tapi juga membutuhkan waktu yang relatif lama untuk menganalisis data
dan menuliskannya.
Keterbatasan lainnya yaitu cakupan riset ini tidak terlalu luas. Tidak seperti sebuah
survey, peneliti etnografi biasanya melakukan studi hanya dalam satu organisasi atau satu
budaya saja. Kritik lebih jauh lagi menyatakan bahwa tidak mungkin untuk mengembangkan
model yang lebih general hanya dari sebuah studi etnografi.
Metodologi Kritis
Pengungkapan pemahaman terhadap teknik riset EK dapat didekati dengan tahapan-
tahapan berikut ini:
1. Ontologi
Sebuah ontologi memberikan pertanyaan "apa yang nyata?". Peneliti dapat
menggunakan pendekatan perspektif kritikal dimana ia mengakui apa yang dirasa
"diketahui" atau "nyata" adalah sebuah konstruksi sosial yang memiliki hak-hak istimewa
atas kelompok lainnya. Fenomena akuntansi dalam kehidupan sosial perlu dipahami dalam
tahap ini bagaimana sifat realitas nya? Bagaimana akuntansi dibentuk?
2. Pemilihan topik
Carspecken (1996) dalam Pasco (2000) menyarankan bahwa peneliti kritikal dapat
meneliti fenomena yang sangat bervariasi, namun Thomas (1993) dalam Hair (2003)
membedakan pemilihan topik dalam kritikal etnografi dan etnografi konvensional sebagai
berikut:
The difference between critical and conventional ethnographic topic choice begins
with a passion to investigate an injustice (e.g.,racism); social control (language,
norms, or cultural rules); power; stratification; or allocation of cultural rewards and
resources to illustrate how cultural meanings constrain existence.
3. Sumber data
Keputusan tentang siapa dan sumber data apa yang akan dipakai dalam riset kritikal
etnografi bukanlah sebuah usaha yang netral, seperti yang telah diperingatkan oleh
Thomas (1993) dalam Hair (2003).Karena, dalam riset kualitatif, peneliti adalah instrumen
utama dalam pengumpulan data, sekaligus sebagai partisipan (dalam hal ini sebagai
sumber data). Sukoharsono (2004) telah memberikan contoh untuk pola riset ini.
Pemilihan partisipan merepresentasikan sebuah kunci keputusan dalam riset kualitatif.
Pemilihan partisipan dilakukan dengan mengidentifikasi sumber data terbaik yang dapat
memberikan kontribusi atas data yang paling berhubungan secara langsung dengan
pertanyaan riset.
4. Pengumpulan data
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Dialog kritis merupakan diskusi yang terstruktur yang melibatkan partisipan dengan
membahas topik yang berkaitan dengan pengalaman mereka sendiri. Dialog kritis
didefinisikan sebagai sebuah pendekatan instruksional berdasarkan latar belakang
pengetahuan dan pengalaman partisipan (Pasco, 2000). Dialog kritis hadir untuk
mengurangi kehadiran peneliti dalam diskusi dengan menekankan pada perhatian
partisipan dalam media yang relevan dan bermakna bagi partisipan.
Sebelum melibatkan partisipan dalam dialog kritis, partisipan dan peneliti
mendiskusikan aturan dasar tentang batasan isi, isu-isu privasi dan bagaimana mereka
akan menangani ketidaksetujuan dengan diri mereka sendiri dan peneliti atau antara satu
dengan yang lainnya. Aturan umum yang disepakati meliputi: (a) setiap partisipan
memiliki hak untuk tidak menjawab pertanyaan peneliti atau pertanyaan dari partisipan
lainnya, kesepakatan tentang pertanyaan yang diberikan, (c) jika peneliti maupun
partisipan tidak memahami sebuah jawaban atau komentar, keduanya dapat meminta
klarifikasi, dan (d) jika peneliti dan partisipan merasa marah atau tidak nyaman, mereka
dapat mengatakannya dan dapat memutuskan untuk tetap tinggal atau pergi meninggalkan
diskusi.
Teknik riset EK menganjurkan partisipasi peneliti dan perspektif peneliti dalam semua
tahapan proses riset. Untuk memfasilitasi hubungan antara partisipan dan peneliti, dalam
setiap pertemuan peneliti berusaha untuk menanyakan apakah yang telah peneliti tanyakan
selama diskusi atau aktivitas lainnya memberikan makna yang berarti bagi partisipan
dalam beberapa hal tertentu.
5. Analisis data
Dalam riset kualitatif, interpretasi data dilakukan secara simultan bersama
pengumpulan data, interpretasi data dan penulisan laporan naratif (Creswell, 1994).
Peneliti kualitatif secara bersamaan biasanya terlibat dalam pengumpulan data lapangan,
koding dan pemilahan data, serta proses transformasi data menjadi sebuah gambar atau
cerita. Proses ini melibatkan sebuah analisis data kritikal yaitu (a) pemilahan dan koding
data berdasarkan sebuah skema identifikasi, (b) mengembangkan data menjadi sebuah
gambar atau cerita, dan (c) menyajikan data dalam bentuk tulisan naratif atau laporan.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Desain riset sering ditentukan lebih dahulu untuk memberikan kemudahan peneliti
melakukan penahapan apa yang harus dilakukan, sekalipun hal ini tidak selalu harus ada.
Untuk memberikan kemudahan proses riset berikut ini diberikan tahapan-tahapan ringkas
sebegai berikut:
Menentukan
masalah dan tujuan
Menentukan sumber
dan jenis data
Menentukan teknik
pengumpulan data
Analisis dan
penafsiran data
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
karena informan bukan sekedar memberi tanggapan pada apa yang diminta peneliti, tetapi
ia bisa memilih arah dan selera dalam menyajikan informasi yang ia miliki. Informan
adalah orang yang bersedia memberikan informasi yang diperlukan dalam riset baik
tentang situasi dan kondisi fenomena sosial maupun tentang informasi lain yang terkait
dengan riset dalam konteks akuntansi.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Tahap berikutnya setelah analisis data adalah interpretasi data. Interpretasi data
merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas
terhadap hasil riset yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil riset dilakukan dengan cara
meninjau hasil riset secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang
diperoleh dari lapangan.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
I. Tujuan Riset
A. Konteks Riset
1. Bagaimana asal mula Riset dilakukan?
2. Untuk apa Riset ini?
3. Bagaimana Riset ini dibayai?
4. Bagaimana penentuan peneliti?
B. Fokus Riset
1. Pertanyaan apakah yang dijawab dalam Riset ini?
2. Mengapa muncul pertanyaan-pertanyaan ini?
3. Tindakan-tindakan apakah yang diperkirakan atau keputusan-keputusan apakah yang akan
diambil sebagai hasil dari Riset ini?
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
V. Kesimpulan dan rekomendasi (atas permintaan tertentu, bagian ini kadang-kadang ditempatkan pada
bagian pertama laporan agar pengambil keputusan langsung memperhatikannya)
A. Apa sajakah penemuan-penemuan penting?
B. Apa saja implikasi dari penemuan-penemuan tersebut?
C. Apa sajakah rekomendasi-rekomendasi yang diajukan
1. Rekomendasi dari pihak subjek
2. Rekomendasi dari pihak peneliti.
Chapter III : The Strategic Planning of the UPT BSPBs Internal Management:
A Crucial Aspect to be Done
What is Strategic Planning?
Strategic Planning Versus tactical Planning
Steps in the Strategic Planning Process of the UPT BSPB
Forecasting: Critical Planning Ingredient of the UPT BSPB
Forecasting Methods
Chapter VII : Financial Accounting and Its Performance of the UPT BSPB
Accounting The Language of Business
Characteristics of Accounting Information and
the UPT BSPB Accounting Cycle Model
Financial Statements
Financial Planning and Control with Budget
Chapter VIII:Conclusions
Self Awareness
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Non-Accounting Data
Accounting Data
References
Research background
Studi kontekstual akuntansi banyak mengungkapkan hubungan timbal balik
antara akuntansi dengan banyak aspek dalam kehidupan manusia. Konsekuensinya,
banyak istilah-istilah dan praktek akuntansi seperti cost, aset, kewajiban, profit,
neraca, laba-rugi, tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, namun
juga mempunyai dampak yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi secara
bersamaan, akuntansi dikatakan telah terpenjarakan baik oleh ambiguitas dan
ketidakcukupan teknis maupun konseptual. Bukan hanya ambiguitas disekitar istilah
"nilai", namun juga ada ketidakcukupan definisi teknis yang terkait dan tahan lama
untuk istilah-istilah akuntansi seperti assets, liabilities, profit, loss, revenue, neraca,
audit, auditor independen, dan konsep dasar lainnya. Lebih lanjut, praktek teknis
akuntansi tidak dapat mengakomodasi level konseptualnya. Meskipun aspek
ambiguitas tersebut muncul, akuntansi tetap memiliki posisi yang penting dalam
masyarakat dengan pengaruh dari faktor ekonomi, struktur sosial dan politik serta
praktek hubungan masyarakat.
Research questions/statements
Riset ini berusaha untuk menunjukkan bahwa ambiguitas dalam akuntansi
merupakan sebuah bagian integral yang melekat dalam ambiguitas secara politik,
dalam sebuah perubahan sosial. Paper ini menilai pengembangan diri akuntansi
dengan berfokus pada cara dimana akuntansi dan ambiguitas akuntansi saling
bertimbal-balik dan berperan dalam paradoks kebijakan politik-ekonomi nasional di
Fiji.
Tujuan utama disini adalah menilai kekuatan dan proses yang
memungkinkan sebuah penerimaan ambiguitas (yang kelihatannya menunjukkan
ketenangan) oleh masyarakat Fiji di tahun 1990an. Selain itu juga untuk menyelidiki
bagaimana penerimaan tersebut, dalam cara yang berbeda, dalam memenuhi
kebutuhan untuk perhitungan stratejik dan spesifik yang penting bagi sebuah
restrukturisasi keuangan yang bersifat hirarkis, istimewa, yang Chiefly-based, dalam
industri kayu pinus di Fiji. Studi ini juga memprakarsai perhatian terhadap proses
ketidakajegkan, ketidakpahaman, dan keragaman interpretasi dalam praktek
akuntansi.
Research methodology
Metodologi dalam riset ini adalah EK. Peneliti berusaha mencari penjelasan alternatif
untuk bisa memahami lebih baik proses rekonstruksi akuntansi.
Research techniques
Data diperoleh dengan cara observasi berpartisipasi dan interview. Peneliti
tinggal di pedesaan dimana terdapat hutan pinus, melakukan diskusi dan observasi
dengan mereka yang memiliki wewenang membuat angka-angka akuntansi (laporan),
dan orang-orang yang dibebani dengan rasionalitas akuntansi, serta melakukan
analisis data baik yang bersifat internal maupun eksternal dari organisasi yang
diteliti.
Research contributions
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Research findings
Hasil analisis menunjukkan kebutuhan/permintaan Negara akan rekonstruksi
keuangan industri melalui corporatization bukan hanya merupakan efek sesaat dari
sebuah tren global. Namun lebih dari itu, rekonstruksi tersebut sebagai bagian dari
sebuah strategi kapitalis dan kesukuan untuk pengembangan yang memperkuat
sebuah struktur sosial yang berstrata rasialis. Restrukturisasi keuangan yang bersifat
hirarkis kesukuan dan Chiefly-based merupakan sebuah outcome dari sebuah bentuk
perjuangan yang lebih politis dan membentuk dasar dari sebuah kekuatan baru.
Dengan dilandasi dua nilai yang bertentangan, keyakinan dan ekspektasi, proses
restrukturisasi telah menciptakan banyak kebingungan tentang gaya corporatisation
yang diadopsi.
Paper ini menggarisbawahi argumen bahwa ada sebuah ketergantungan
yang kompleks antara (a) kontradiksi bawaan dalam gaya corporatisation yang
diadopsi, (b) kemampuan akuntansi untuk mencitakan ambiguitas, dan (c) asumsi
terkait kemampuan tersebut untuk mengurangi ambiguitas. Lebih lanjut, dengan
memanfaatkan akuntansi dalam industry kayu pinus, maka akuntansi ikut berperan
dalam konstruksi dan penguatan sebuah sistem kepemilikan dan organisasi
berdasarkan kesukuan yang mendalam. Dengan menjadi bagian dari sebuah konsep
bahasa yang tidak tepat dan tidak meyakinkan yang menemukan pensejajaran
bertentangan secara signifikan, akuntansi menciptakan masalahnya sendiri terkait
dengan spesifikasi, ketepatan, dan pernyataan. Dalam hal ini akuntansi
memungkinkan sebuah bentuk subversi yang menemukan signifikansi baik dalam
wacana wewenang maupun kekutan yang bertentangan dan proses dengan mana hal-
hal tersebut berinteraksi. Terdapat sebuah dinamisasi dalam ketergantungan antara
akuntansi, saran untuk perbaikan dan peningkatannya, dan konteks sosio-politik
dimana akuntansi berada. Asumsi atas kemampuan akuntansi untuk mengurangi
ambiguitas, sekaligus juga kemampuannya untuk menciptakan ambiguitas
menyediakan dasar yang lebih bagi pengembangan akuntansi. Pengembangan
akuntansi adalah sebagai bagian dari sebuah proses dialektika yang dinamis.
Salah satu tujuan utama dari riset ini adalah untuk menilai kondisi sosio-
politik yang menciptakan kontradiksi dan memungkinkan terbentuknya sebuah
pengaruh untuk akuntansi dan ambiguitasnya secara teknis maupun konseptual.
Kekuatan ekonomi-politik di Fiji dikuasai oleh dua kelompok ras. Struktur
masyarakat Fiji secara nasional masih dikategorikan secara rasial berdasarkan
kolonialisasi Inggris. Penduduk pribumi memiliki kekuatan politik, dan kelompok
Indo-Fiji menguasai sektor ekonomi. Negara juga menyetujui tindakan yang
kontroversial untuk penduduk pribumi. Kelas sosial pribumi membatasi hegemoni
intra-rasial dan perbedaan hak dalam distribusi kesejahteraan. Restrukturisasi
keuangan dalam industri kayu pinus di Fiji berdasarkan pada sistem elit dari
pengorganisasian sosial dan hubungan kepemilikan. Karena itu aturan untuk
partisipasi dan kepemilikan saham didasarkan pada system hirarkis Chiefly-based,
yang merupakan bentuk organisasi sosial asli di Fiji.
Corporatisation pada industri kayu di Fiji adalah sebuah tindakan power-
laden, dimana praktek tertentu didorong/diperbolehkan dan tindakan lainnya dibatasi.
Bentuk baru dari kekuatan juga mendorong terciptanya sistem pengendalian yang
bagus seperti misalnya akuntansi. Untuk bahasa akuntansi dan ambiguitas yang
terjadi tidak berhubungan dengan dan merefleksikan ambiguitas dan kontradiksi dari
corporatisation.
Akuntansi merupakan aktivitas yang dapat mengurangi ambiguitas. Tujuan
dari penilaian akuntansi adalah untuk menyediakan nilai pasar yang wajar sehingga
memungkinkan transfer pinjaman ke ekuitas. Asumsinya adalah akuntansi dapat
merepresentasikan transformasi ini secara wajar dan tidak ambigu. Pembebanan
biaya yang tepat dan klasifikasi spesifik dapat mengurangi ambiguitas. Akuntansi
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
Ketiga contoh bentuk laporan riset menggambarkan aksi EK dalam mengungkap berbagai penomena
akuntansi dalam struktur organisasi yang berbeda. Bentuk pertama memberikan kisi-kisi umum dalam
membangun riset akuntansi. Setiap bab dalam bentuk ini memberikan fokus bahasan yang berbeda
dan mengalir sesuai dengan pemahaman peneliti di lapangan. Bentuk Kedua seperti apa yang
diopinikan oleh Sukoharsono (2004) dapat mengungkapkan bagaimana politisasi dalam pembentukan
struktur organisasi. Tiap-tiap bab oleh Sukoharsono (2004) menyajikan pengungkapan sebagai
observer dalam UPT PSPB Universitas Jember. Bentuk terakhir (Davie, 2004) memberikan telaah
secara mendalam bagaimana Davie selama satu tahun bersosialisasi dilingkungan objek yang diteliti
dengan menganalisa politisasi dalam organisasii tersebut.
KESIMPULAN
EK berkembang karena ketidakpuasan atas penomena sosial atas struktur seperti kelas
sosial, patrialisme dan rasisme. Untuk disiplin ilmu akuntansi, EK dapat dimungkinkan
mengungkapkan secara mendalam aspek sosial yang berkembang dalam membentuk
kesatuan organisasi dalam proses pengembilan keputusan. EK melihat riset etnografi sebagai
kemunculan proses, melibatkan dialog antara etnografer (peneliti) dan orang-orang yang ada
dalam setting riset tersebut (Myers, 1999). Pendekatan EK merupakan bentuk pendekatan
Riset dengan peran ganda. Model pendekatan Riset ini digunakan sebagai pendekatan
pengumpulan data, juga untuk pelaporan hasil Riset dalam bentuk lebih mendekatkan pada
objek yang diteliti (Dey, 2002).
Secara garis besar EK (1) menekankan pada ketidaksetaraan dan mengarahkan studi
melalui perubahan sosial secara positif, (2) pengakuan bahwa pemikiran dan praktek
dimediasi oleh hubungan kekuatan, dimana secara sosial dan historis berkuasa, dan (3) fakta
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
dan temuan tidak dapat dipisahkan dari nilai, jadi konteks lokal harus dideskripsikan dan
dipertimbangkan. (Pasco, 2000). Sukoharsono (2004) mengungkapkan bahwa praktek
akuntansi hadir dalam organisasi sebagai akibat kekuatan politik dalam membangun image
struktur organisasi yang akuntanbel.
Salah satu aspek berharga dari EK yaitu kedalaman analisis yang dilakukan. Lebih
lanjut, pengetahuan yang diperoleh dari apa yang terjadi di lapangan dapat memberikan
informasi yang berharga untuk menantang asumsi kita. Salah satu keterbatasan riset EK
adalah masalah waktu riset yang relatif lebih lama dibandingkan riset yang lain. Keterbatasan
lainnya yaitu cakupan riset ini tidak terlalu luas karena biasanya studi hanya dilakukan dalam
satu organisasi atau satu budaya saja.
Hal penting dalam riset EK adalah dialog kritis pada tahap pengumpulan data. Tujuan
dari dilakukannya dialog adalah membawa peneliti dan partisipan secara bersama untuk
berdiskusi, sehingga mereka dapat bertanya, berdebat, dan menantang satu sama lain. Dialog
kritis merupakan diskusi yang terstruktur yang melibatkan partisipan dengan membahas topik
yang berkaitan dengan pengalaman mereka sendiri. Dialog kritis didefinisikan sebagai sebuah
pendekatan instruksional berdasarkan latar belakang pengetahuan dan pengalaman partisipan
(Pasco, 2000 dan Sukoharsono, 2004). Dialog kritis hadir untuk mengurangi kehadiran
peneliti dalam diskusi dengan menekankan pada perhatian partisipan dalam media yang
relevan dan bermakna bagi partisipan.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.
REFERENSI
Berg, Bruce L. 2004. Qualitative Research Methods for Social Science. Boston:Pearson.
Cheng, Hsin-I. 2006. Culturing on the Borderlands A Critical Ethnography on Taiwanese
and Chinese Transnational Practices. Disertasi. College of Bowling Green.
Dey, Colin. 2002. Methodological Issues The Use of Critical Ethnography as an Active
Research Methodology. Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol. 15.
No.1. pp. 106-121.
Hair, Neil. 2003. An Enhanced Virtual Ethnography: The Role of Critical Theory. Proceeding.
3rd International Critical Management Studies Conference. Lancaster, UK.
(www.mgt.waikato.ac.nz/ejrot/cmsconference/2003/proceedings/exploringthemeaning/Hair.
pdf)
Harran, Marcelle. 2006. A Critical Ethnographic Study of Report Writing As A Literacy
Practice by Automotive Engineers. Disertasi. Rhodes University.
Madison, D.S. 2005. Critical Ethnography. Thousand Oaks. CA. Sage
Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Myers, Michael D. 1999. Investigating Information Systems with Ethnographic Research.
Communications of the Assosiation for Information Systems. Desember.Volume 2.
Pasco, Rebecca. 2000. Capital and Opportunity. Disertasi.
(http.slim.emporia.edu/programs/phd/dissertations/pasco2.pdf)
Spradley, James F. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Sukoharsono, Eko Ganis. 2004. The Internal Management of The UPT BSPB University of
Jember. Unpublished Research Result. Sponsored by TPSDP (ADB Loan No. 1792-INO).
Sukoharsono, Eko Ganis. 2006. Alternatif Riset Kualitatif Sains Akuntansi: Biografi,
Phenomenologi, Grounded Theory, Critical Ethnografi dan Case Study. Analisis Makro
dan Mikro: Jembatan Kebijakan Ekonomi Indonesia. BPFE Unibraw Malang.
Thomas, J. 2003. Musings on critical ethnography, meanings, and symbolic violence. In R.P.
Clair (Ed.), Expressions of Ethnography. Albany, NY: SUNY Press, pp. 45-54.
Reproduksi: Artikel ini telah dipublikasikan di AUDI: Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4. No 1. 2009,
Pp 91 - 109. Universitas Udayana.