Anda di halaman 1dari 310

0

Disertasi

KETENTUAN HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK DI DALAM

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ISLAM

(Studi Dilema Pemukulan Anak-Anak Dalam Penerapan Disiplin)

Oleh

Drs. Muhammad Rakib, S.H.,M.Ag

Nim : 08 S3 007

Diajukan Kepada Sekretariat Program Pasca Sarjana, S3

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

Riau, di Pekanbaru 2011


1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara filosofis,1 memang setiap orang tua dan guru berhak, memberikan

hukuman terhadap anak-anak mereka dengan tujuan mendidik, tapi hal ini

merupakan suatu yang dilematis. Akhir-akhir ini terjadi banyak kasus yang

bertentangan dengan ketentuan hukum nasional dan internasional., lebih-lebih lagi

hukum Islam, misalnya kasus hukuman fisik terhadap anak-anak , yang paling

mengejutkan di Riau, yaitu kasus oknum guru yang memaksa muridnya, minum

air liur, sebagai hukuman , karena tidak bisa membaca.2

Air liur yang sengaja dikumpulkan gurunya di dalam gelas bekas air

mineral itu, berasal dari air liur teman sekelasnya dan air liur ibu guru. Akibat

pemberian hukuman itu, oknum guru dipindahkan ke sekolah lain yang lebih

jauh letaknya. Kemudian ada pula kasus pemukulan murid. Jika murid nakal,

1
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa
Arab , yang juga diambil dari bahasa Yunani; philosophia. Dalam bahasa ini, kata
ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta.) dan
(sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang pencinta
kebijaksanaan.Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk
terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang
falsafah disebut "filsuf".

2
Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009 . Gara-gara Tidak Bisa Membaca ,seorang murid SD di
Ranai-Natuna dihukum dengan dipaksa meminum air liur di depan kelas. -Tindakan JS, guru SD Negeri 04
Desa Seluan, Kecamatan Bunguran Utara, Kabupaten Natuna tidak pantas dilakukan seorang pendidik. Hanya
gara-gara tidak bisa membaca, dia tega memaksa salah seorang muridnya, AI (9 tahun), meminum air ludah
13 teman sekelasnya. Akibat perbuatan tidak mendidik tersebut, JS yang lulusan SMK itu diberi sanksi
berupa pemotongan gaji sebesar Rp200 ribu dan skors tidak boleh mengajar selama tiga bulan. Guru honor
tersebut juga diturunkan pangkatnya menjadi penjaga sekolah. Peristiwa memalukan ini terungkap saat ayah
korban, Aspediyansah, melapor ke Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Natuna, Senin (2/11). Aspediyansah
menuturkan, kejadian ini bermula saat JS sedang mengajar di kelas 4 SDN 04 Desa Seluan, Senin
(12/10/2009) .
2

tidak dipukul, tingkahnya semakin nakal. Jika dipukul, gurunya bisa masuk

penjara, karena melanggar UU Perlindungan Anak (UU No.23 th 2002).Inilah

kasus yang sangat dilematis.

Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan

pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik

sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat

pendidikan dan hak azasi anak. Saat ini , para pembela hak asasi , berkoar

dengan teori psikologi hukum Barat dan membuat konsep baru tentang

larangan memukul anak. Hasilnya, mungkin munculnya tawuran dan perkelahian

pelajar.

Menarik untuk diteliti, apakah masih ada dendam bagi anak, jika teringat

saat jarinya diketuk dengan penggaris, karena kuku panjang. Apakah sakit hati

saat dipelintir telinganya,karena gondrong dan apakah hanya karena itu berkurang

hormat kepada ayah dan ibu, serta guru-gurunya. Di Francis ada juga kasus

kekerasan di sekolah, guru dikenakan denda 500 Eurou sekitar tujuh juta rupiah,

karena memukul muridnya. Hal itu dianggap melanggar hak asasi manusia.

Terjadi prokontra penggunaan kekerasan berupa hukuman fisik 3.

Penulis ingin melacak alasan hukuman fisik, dibolehkan atau dilarang.

Informasi sementara, yang penulis terima: Pertama, secara tidak sadar memberi

pukulan mengajar anak untuk memukul kembali. Kedua, bila orang tua kehabisan

akal, lalu dengan emosi dan kekerasan, ia memukul. Jadi disimpulkan bahwa

3
Batas-batas kekerasan menurut Undang-undang perlindungan anak nomor 23 tahun 2002
ini, tindakan yang bisa melukai secara fisik maupun psikis yang berakibat lama, di mana akan
menyebabkan trauma pada anak atau kecacatan fisik akibat dari perlakuan itu. Dengan mengacu
pada defenisi, segala tindakan apapun yang seakan-akan harus dibatasi, dan anak-anak harus
dibiarkan berkembang sesuai dengan hak-hak yang dimilikinya (Hak Asasi Anak), hak anak untuk
menentukan nasib sendiri tanpa intervensi dari orang lain. Lihat pasal 64 ayat (2),Sinar Grafika
Jakarta, 2008, 23
3

hukuman tidak mendatangkan hasil. Keempat, memukul dapat melukai harga diri

seorang anak, mengurangi kepercayaannya terhadap pendidik, bahkan

menghindari dan membencinya. Apakah memang demikian? Ada beberapa jenis

hukuman fisik yang ingin penulis ketahui, antara lain

Kalau hukuman fisik tidak dapat dihindari, lakukan dengan kepala dingin

dan jangan dalam keadaan marah. Kepada anak usia 15-18 tahun, masih boleh

dikenakan hukuman fisik yang ringan. Pilahlah alat yang digunakan dengan

cermat, yang penting bukan dalam suasana marah sehingga memukul dengan

keras, menjewer, atau menonjoknya. James C.Dobson menentang memukul anak

dengan tangan, karena tangan adalah perantara kasih. Ia juga berpendapat bahwa

hukuman fisik hanya sampai batas anak merasa sakit dan berteriak, baru ada

hasilnya dan bukan memukulnya dengan kejam. Jangan menunggu bila ingin

menggunakan hukuman fisik, apakah perlu atau tidak dan bukan dengan

mengatakan, Nanti, tunggu ayahmu pulang, baru kamu dipukul.

Orang dewasa ada pula yang menggunakan pengasingan sebagai hukuman

untuk anak. Anak diasingkan dari anak lain, tidak diizinkan bermain supaya

dengan tenang, anak dapat mengintrospeksi dirinya sendiri tetapi dalam jangka

waktu tertentu, datang dan tanyakanlah kepada anak, apakah ia memerlukan

bantuan dan menguraikan dengan jelas harapan orang tua atas perilaku mereka.

Dalam menerapkan hukuman, perlu diperhatikan jangka waktunya karena bila

waktunya terlalu panjang atau terlalu pendek, akan kehilangan fungsi

hukumannya, karena setiap anak itu berbeda berbeda sifat, maka penerapan

hukuman ini sebaiknya dilakukan dengan fleksibel. Waktunya jangan lebih dari
4

10-15 menit, tempat harus aman, dan jangan ada barang yang membuat anak

senang melewati waktu itu.

Ada anak yang sangat peka, yang tidak perlu menggunakan hukuman

fisik atau bentuk lainnya, hanya dengan perkataan saja, ia sudah berubah.

Hukuman dengan cara mendamprat itu termasuk kritikan, ajaran, teguran yang

keras, agar anak merasa bersalah dan malu. Bagi anak yang nakal, hukuman itu

tidak berguna. Menggunakan hukuman ini juga harus hati-hati karena omelan

yang berlebihan akan melukai harga diri anak itu, membuat jurang antara anak

dan orang tua. Akhirnya seperti kata pepatah, bagaikan memakan buah

semalakama.4

Beberapa buku literatur yang dapat penulis lacak bahwa, cara apapun yang

digunakan harus masuk akal, baru mendapat hasil yang baik. Berikut ini beberapa

usulan dari orang tua, yaitu, penggunaan nasehat yang bijak, sebelum

menggunakan hukuman fisik, perlu penggunaan nasehat terlebih

dahulu,memperingatkan dengan tegas. Bagi yang pertama kali anak melakukan

kesalahan, tidak langsung diberi hukuman, lebih baik mencari waktu yang baik

untuk menjelaskan peraturan yang ada terlebih dahulu. Tidak menghukum anak

dalam keadaan tidak tahu, tetapi setelah diingatkan dan diperingatkan masih

berbuat salah, barulah dihukum. Tentu saja dengan kasih sayang sebagai motivasi.

4
Bagai makan buah simalakama: gambaran suatu keadaan yang serba salah. Biasanya
digunakan untuk orang yang sedang menghadapi dua pilihan, dan kedua-duanya akan
menyebabkan orang tersebut mengalami hal yang buruk. Pengambil keputusan akan berada di
antara dua sisi mata uang yang sangat mustahil untuk di pilih tetapi ketika kita menyadarinya
bahwa keduanya perlahan - lahan membunuh kita secara menyakitkan. Buah Simalakama ikhtisar
dari kejadian Baginda Nabi Adam Alaihissalam beserta istri beliau Siti Hawa tatkala beliau
memakan buah kuldi terlena dengan kalam - kalam syaitan buah ini terlalu indah untuk dilihat,
terlalu nikmat untuk dimakan, terlalu sempurna untuk dimiliki, ketika manusia telah menguasai
buah tersebut sesungguhnya secara perlahan-lahan buah ini telah menyiksanya hingga tanpa sadar
akan terasa menyedihkan di akhirnya.
5

Diharapkan hukuman tidak mengandung aniaya, hukuman harus

dilakukan atas dasar kasih dan perhatian, hukuman harus digunakan dalam

keadaan yang sadar dan bukan dalam keadaan emosional dan marah. Pertahankan

hubungan yang baik. Hukuman hanya bisa dilaksanakan saat adanya hubungan

yang baik antara anak dan yang menghu kum; jika tidak, hasilnya tidak mungkin

baik. Bisa pula berupa mengulur waktu.

Hukuman harus segera ditindaklanjuti. Pengalaman membuktikan makin

panjang waktunya, semakin kurang hasilnya.semestinya dipilih tingkat hukuman

yang tepat, jangan terlalu keras atau terlalu ringan. Hukuman fisik yang terlalu

ringan tidak ada faedahnya, tetapi bila terlalu keras akan meninggalkan bekas di

dalam hati anak, akibatnya semuanya tidak akan mencapai hasil yang diinginkan.

Penjelasan yang gamblang tentang hukuman yang diberikan, menurut para ahli,

sebaiknya orang tua atau guru memberikan penjelasan mengapa mereka dihukum

dan dilarang melakukan sesuatu, sehingga hasilnya akan lebih baik, selain

mendidik anak untuk mengatasi masalah. Ada keharusan aktif berkomunikasi,

setelah menghukum anak, maksudnya kemunikasi yang baik dengan anak.

Umumnya, setelah dihukum, seorang anak ingin kembali menjalin hubungan yang

baik dengan orang tua atau guru. Jangan mundur, dan sebaiknya manfaatkan

kesempatan itu untuk menyatakan kasih sayang bahwa anak itu sangat berharga di

dalam hati anda, hukuman itu diberikan semata-mata karena kasih.5 Menghadapi

masalahnya, bukan manusianya. Daftar kekerasan yang dilakukan guru terhadap


5
Terjadi kontak fisik dari guru terhadap siswa, misalnya memukul, menampar, menendang,
menempeleng, teriakan, bentakan, sikap tidak peduli, pemberian label negative, dan perilaku
sejenis lain, yang bertujuan untuk menyakiti siswa. Persoalannya, banyak guru yang belum
menyadari kalau selama ini mereka sedang berada dalam kondisi yang tidak pada tempatnya
tersebut. Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPA), sepanjang
paruh pertama tahun 2009, kekerasan guru terhadap siswa mengalami peningkatan tajam, yakni 39
persen dari 95 kasus kekerasan terhadap anak, atau paling tinggi dibandingkan dengan pelaku-
pelaku kekerasan anak lainnya.
6

siswa, kian hari kian bertambah panjang. Salah seorang guru olahraga SMPN 1

Karangmalang Sragen dilaporkan ke polisi dengan tuduhan telah menampar

sembilan orang siswanya yang kedapatan terlambat datang dalam kegiatan senam

sehat (Joglosemar, Rabu, (13/1/2009). Ironisnya, perbuatan tersebut sebelum

diekspos di media massa, disangkal oleh pihak sekolah yang menyatakan bahwa

hal tersebut hanya tindakan spontan semata, tanpa ada maksud melakukan

penganiayaan. Pada dasarnya, berbagai tindak kekerasan yang terjadi, baik yang

dilakukan secara individu maupun yang dilakukan secara massif, yang

direncanakan ataupun yang dilakukan secara spontan, merupakan ironi dari

pendidikan yang mestinya menjadi media pencerahan. Maraknya tindak

kekerasan yang banyak dilakukan oleh oknum guru di lingkungan sekolah, tentu

saja membuat masyarakat bertanya tentang proses pembelajaran yang dilakukan

di sekolah. Mengapa proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah, belum

steril dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru terhadap para siswanya?

Sulit untuk mengatakan sudah, karena proses pembelajaran yang selama ini

berlangsung masih sarat dengan hal kekerasan yang demikian.

Pendidikan dan pengajaran tentu saja tidak identik dengan kekerasan, baik

di masa yang lalu apalagi masa sekarang. Namun, kekerasan sering kali

dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia

pendidikan. Istilah ketegasan dalam membina sikap disiplin pada siswa di

sekolah, sudah lazim digantikan dengan kata kekerasan.

Hal ini kemudian ditunjang dengan pengunaan kekerasan dalam membina

sikap disiplin di dunia militer, khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika

kemudian cara-cara pendidikan kemiliteran diadopsi oleh dunia pendidikan sipil,


7

maka cara kekerasan juga ikut diambil alih. Berbagai tindakan kekerasan oleh

guru seakan menjadi cara-cara biasa dalam membina kedisiplinan anak didik,

khususnya di bidang pelajaran yang melatih fisik, seperti olahraga. Tidak ada

maksud untuk mengatakan bahwa semua guru olahraga suka main pukul, tetapi

sejarahnya sering kali mengidentikkan guru olahraga dengan guru yang suka

menghukum push up atau lari keliling lapangan dan suka menampar, memukul

yang dianggap bandel.6

Dalam budaya pendidikan, hukuman fisik masih dianggap sebagai sebuah

kewajaran ketika siswa melakukan kesalahan. Pandangan yang dikemukakan

Freud tentang kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya, akan terekam

dalam alam bawah sadarnya yang sesekali bisa muncul dengan tindakan destruktif

yang jauh lebih hebat dari apa yang dialaminya.

Membaca berita tentang tindakan guru olahraga di Sragen tersebut,

membuat sebagian orang tua siswa merasa ngeri dan khawatir, karena tindakan

seorang guru yang menampar siswanya jelas memberikan dampak psikologis

yang tidak baik, yang dapat berujung pada traumatik siswa. Dampak yang lebih

luas dari kekerasan guru akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah

generasi. Selain itu, terjadi proses ketakutan dalam diri siswa untuk menciptakan

ide-ide yang inovatif dan infentif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada

gambaran siswa-siswa sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara

dimuka kelas.

6
Hakekatnya, siswa di sekolah akan membentuk pertahanan diri apabila diserang, di mana
pertahanan itu berupa ,balas membentak apabila dimarahi, melawan dengan fisik kalau disakiti,
lari bila dia merasa tidak mempunyai kemampuan membalas, atau melaporkan kepada
orangtuanya di rumah atas peristiwa yang dialaminya. Cara pendidikan dengan kekerasan,
ibaratnya digambarkan sebagai sebuah pilihan bagi seorang guru pendidik yang melihat kesalahan
seorang siswa, apakah dia akan menyalahkannya, menggunakan kekerasan untuk memaksa siswa
memperbaiki kesalahan itu atau sekedar menasehati siswa tanpa kekerasan.
8

Perlu dipahami bahwa sekolah sejatinya merupakan sarana untuk

membebaskan diri dari kebodohan, keterbelengguan, kemiskinan, penderitaan,

penipuan serta penindasan. Sekolah yang menggunakan kekerasan dalam belajar

mengajar, hanya akan merusak masa depan peserta didik secara psikologis.

Sayangnya, banyak guru sering berpikir keliru soal masa depan anak. Para guru

menganggap tindak kekerasan terhadap anak lazim dilakukan sebagai bentuk agak

berlebihan sekolah dalam menjalankan hak mereka, guna mendisiplinkan anak-

anak didiknya.

Tujuannya sederhana, semakin disiplin manusia, maka semakin mudah

meraih kesuksesan. Padahal yang terjadi bisa kebalikan dari itu semua, sehingga

perlu adanya semacam pendidikan pelatihan (diklat) guna menambah keahlian

dan juga dalam rangka meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) guru, dengan

menghilangkan unsur kekerasan dalam dunia pendidikan. Hanya saja, SDM yang

baik dan mumpuni tidak cukup menunjang jika tidak didukung sistem pendidikan

yang berpihak pada kemanusiaan.

Untuk itu, dalam rangka menanggulangi munculnya praktik kekerasan di

sekolah, adalah ketegasan sekolah dalam menerapkan peraturan dan sanksi

kepada segenap warga sekolah, termasuk di dalamnya guru, karyawan, dan siswa

itu sendiri. Sungguh sesuatu yang mustahil siswa dapat mengembangkan

kreativitas dan membuat inovasi baru, sementara mereka belajar dalam tekanan

gurunya di sekolah. Dengan penegakan disiplin di semua unsur, tidak terdengar

lagi seorang guru menghukum siswanya dengan marah-marah atau menampar.

Sebab bila terbukti melanggar, guru harus siap menerima sanksi dari tindakannya

atas segala bentuk kekerasan sekecil apa pun dalam sekolah.


9

1.2 Kajian fenomena7

1.2.1 Hukuman fisik di berbagai negara

Dalam menuntut ilmu di sekolah, wajar jika murid membuat kesalahan.

Namun guru yang bertugas mengingatkan kesalahan dan meluruskannya, kadang

menggunakan cara yang keras. Tak jarang dipakai hukuman fisik. Di Eropa kasus

ini sempat heboh karena jarang terjadi di dunia pendidikan . Dalam suatu kasus

pembelaan guru Jose mengatakan bahwa dirinya merasa seperti layaknya seorang

ayah Saya bertindak seperti ayah. Saya melihat dia sebagai anak yang menghina

bapaknya. Katanya guru senior yang sudah 29 tahun aktif di dunia pendidikan.

Ini baru pertama kalinya ia menggunakan tangan, karena baru pertama ini saya

dihina oleh murid".

1.2.2 Di Amerika

Di Amerika, memukul anak masalah biasa .Berbeda dengan di Eropa, kalau di

Amerika sudah bukan hal aneh lagi guru memukul murid. Pada tahun ajaran

2006-2007, saja sudah lebih 200.000 siswa sekolah Amerika kena straf atau

hukuman fisik. Itu laporan organisasi HAM, Human Rights Watch dan American

Civil (Liberties Union yang terbit Rabu 20 Agustus 2008).8

7
Fenomena, atau masalah, atau gejala adalah segala sesuatu yang dapat kita lihat, atau
alami, atau rasakan. Suatu kejadian adalah suatu fenomena. Suatu benda merupakan suatu
fenomena, karena merupakan sesuatu yang dapat kita lihat. Adanya suatu benda juga menciptakan
keadaan ataupun perasaan, yang tercipta karena keberadaannya.Istilah masalah yang dijadikan
padanan dari istilah fenomena harus dibedakan dari persoalan. Masalah mempunyai pengertian
netral, sedangkan persoalan mengandung pengertian memihak. Suatu persoalan juga merupakan
suatu masalah atau gejala, dan karenanya juga merupakan suatu fenomena. Persoalan merupakan
suatu fenomena yang kehadirannya tak dikehendaki. Penyelesaian terhadap suatu persoalan pada
hakekatnya adalah suatu usaha dan tindakan untuk meniadakan persoalan tersebut.
8
Para peneliti menyimpulkan bahwa penerapan kekerasan yang berlebihan bisa
menumbuhkan kesan buruk. Si bocah bisa berasumsi bahwa sekolah sebagai tempat yang tidak
bersahabat dan menakutkan. Akibatnya proses pembelajaran di sekolah tidak berjalan dengan baik,
demikian para peneliti. Selain itu disimpulkan pula bahwa Hukuman fisik tidak akan merubah
10

Di Amerika sedang hangat-hangatnya diskusi soal manfaat dari straf fisik

dalam dunia pendidikan. Di 21 negara bagian, masih memperbolehkan hukuman

fisik di sekolah. Biasanya memukul bokong dengan sebilah kayu. Menariknya

temuan di US itu, murid kulit hitam lebih sering dipukul dari pada siswa bule.

Tidak disebutkan alasannya mengapa murid kulit hitam lebih sering dihukum.

Paradigma hukuman fisik dalam Islam . Ada pembaharuan pemikiran

hukum Islam pada masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran

metodologi baru yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang

digunakan lebih cenderung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan

antara teks wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan difahami

melalui interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal

yang dikandung oleh teks wahyu.9 Walaupun tawaran metodologi hukum Islam

tersebut memiliki model yang berbeda-beda antara satu tokoh dengan yang

lainnya, namun menurut penulis secara umum memiliki kecenderungan rasional-

filosofis atau dengan kata lain menggunakan paradigma nalar burhani sebagai

pijakan pemikiran mereka.

Disiplin ilmu hukum Islam baik ushul fikih maupun fikih bersama-sama

dengan ilmu Bahasa Arab dan ilmu Kalam, pada dasarnya berpijak pada nalar

bayani karena berlandaskan pada otoritas teks. Mayoritas ahli hukum Islam

sepanjang sejarahnya memang telah menggunakan nalar bayani ini sebagai

kebiasaan buruk anak, tapi malah memicu kekerasan. Lihat kata pengantar UU RI No.23
Th.2002, h v
9
Wael B. Hallaq, A. History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni Ushul
Fiqh (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), 231.
11

landasan berfikirnya. Al-Quran dan Sunnah yang menjadi sumber hukum Islam

merupakan teks yang berbahasa Arab, sehingga pada dasarnya pemikiran hukum

Islam seliberal apapun tidak akan bisa mengelak atau lepas sama sekali dari teks.

Oleh karena itu pemikiran hukum Islam yang memiliki kecendrungan rasional-

filosofis sebagaimana diatas, pada dasarnya hanya meminjam nalar burhani

sebagai dasar pijakan untuk menganalisa maksud teks Al-Quran dan Sunnah

sebagai sumber hukum Islam.10 Karenanya Al-Jabiri menyebut kecenderungan

pemikiran rasional-filosofis dalam hukum Islam semacam ini dengan istilah ta

sis al-bayan ala al-burhan, yaitu membangun disiplin ilmu bayani (dalam hal ini

hukum Islam) dengan dasar pijakan kerangka berfikir burhani.11

Penelitian ini secara umum ingin menggambarkan bagaimana bentuk

paradigma yang telah ada dalam pemikiran hukum Islam.12 Baik paradigma klasik

maupun paradigma alternatif yang bisa digunakan saat ini. Hal ini menjadi

signifikan karena ushul fiqih sebagai basis epistemologi hukum Islam diklaim

sedang mengalami lack of empiricism an lack of sistematization dalam ranah

keilmuannya sehingga dengan memahami kecenderungan paradigmatik yang

diusung dalam ilmu ini, minimal klaim-klaim seperti diatas dapat dijernihkan.

10
Agus Moh. Najib, Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal),
dalam Jurnal Hermenia, Vol.2 No.2 Juli-Desember 2003, 217-218.
11
Muhammad Abid al-Jabiri, Bunyah al- Aql al-Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li
Nuzum al-Ma rifah fi as-Sagafah al-Arabiyyah (Beirut: Markaz Dirasat al-Wahdah al-
Arabiyyah, 1990), him. 514. Lihat juga al-Jabiri, Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso
(Yogyakarta:LKiS, 2000), 118-132 dan 162-171.
12
Berbicara tentang hukum Islam tentu tidak bisa dilepaskan dari ushul fiqih karena ilmu
inilah yang menjadi kerangka dasar dalam penetapan hukum Islam selama ini. Ilmu ushul fiqih
merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki
oleh umat lain. Al-Alwani mengungkapkan bahwa ushul fiqih merupakan the most important
method of research ever devised by Muslim thought Thaha Jabir al-Alwani, Ushul al-Fiqh al-
Islami (Virginia; International Institute of Islamic thought, 1990), xi
12

1.3 Justifikasi

Penulis menggunakan istilah paradigma hukuman fisik terhadap anak-

anak dalam kerangka fiqih, yang menggunakan kaedah ushul fiqih, dengan

merujuk kepada pemikiran Thomas Kuhn yang dituangkan dalam magnum

opusnya The Structure of Scientific Revolutions,13 namun dalam tekanan yang

berbeda. Hal ini disebabkan karena pendapat Kuhn yang bersifat linier tersebut

(paradigma shift) hanya tepat digunakan dalam ilmu-ilmu alam dan fisika,

sedangkan ushul fikih masuk dalam kategori ilmu-ilmu sosial humanities.

Perkembangan ushul fikih tentu tidak bisa dimaknai secara revolutive, tetapi

evolutive karena tradisi pemikiran yang berkembang di lingkungan ilmu sosial

humanities ditandai dengan dimilikinya beragam paradigma, namun tidak ada

satupun yang mencapai status hegemoni baik sebagai teori maupun paradigma

universal. Walaupun Kuhn sendiri tidak mendefenisikan istilah itu secara konkrit,

namun para penelaah karya Kuhn menyimpulkan bahwa paradigma adalah teori-

teori, metode-metode, fakta-fakta dan eksperimen-eksperimen yang telah


13
Dalam menjelaskan idenya tentang revolusi ilmu pengetahuan (scientific revolution),
Kuhn menggunakan beberapa istilah kunci yang tidak pernah ia defenisikan secara ketat dalam
karyanya tersebut. Beberapa istilah kunci yang digunakan ialah, pertama scientific revolution
(revolusi Ilmiah) yaitu perkembangan sains secara radikal di mana normal science (nature
science) yang lama digantikan oleh normal sains yang baru. Pergantian ini terjadi karena
paradigma lama yang menyangga old normal science sudah tidak mampu menjawab problem-
problem ilmiah yang baru. Pergantian semacam ini oleh Kuhn disebut dengan paradigm shif
(pergeseran paradigm) yaitu pergantian secara radikal paradigma lama dengan paradigma baru
karena paradigma lama sudah tidak mampu menjawab problem-problem ilmiah yang muncul
kemudian. Kedua paradigm yaitu teori-teori, metode-metode, fakta-fakta, eskperimen-eksperimen
yang telah disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktifitas ilmiah para ilmuwan. Ketiga,
normal science yaitu ilmu yang telah mencapai consensus akan dasar-dasar ilmu ini. Konsensus itu
berupa kesepakatan yang akan dipakainya satu paradigma sebagai penyangga ilmu yang
bersangkutan, keempat, anomaly yaitu problem-problem Ilmiah yang tidak bias dijawab oleh
paradigma lama. Problem-problem tersebut setelah menumpuk menimbulkan sebuah krisis, dan
kelima, crisis yaitu suatu fase dimana paradigma lama telah dianggap using karena begitu
banyaknya anomali-anomali yang muncul, sedangkan paradigma baru belum terbentuk. Thomas
Kuhn, The Structure of Science Revolutions (London: The University of Chicago Press.Ltd, 1970),
hlm.11-18 buku ini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. Lihat Thomas Kuhn, Peran
Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002).
13

disepakati bersama dan menjadi pegangan bagi aktivitas ilmiah para ilmuwan.

Secara singkat dapat difahami bahwa paradigma adalah pandangan-pandangan

pokok tentang alam, Tuhan, dan manusia.

Bila istilah paradigma dipadukan dengan kerangka berfikir al-Jabiri

tentang pembagian epistemologi Islami14 maka bisa dikatakan bahwa paradigma

hukum Islam klasik15 adalah paradigma literalistik dengan arti begitu dominannya

pembahasan tentang teks (dalam hal ini teks berbahasa Arab) baik dari segi

grammar maupun sintaksisnya dan cenderung mengabaikan pembahasan tentang

maksud dasar dari wahyu yang ada di balik teks literal tersebut. Secara sederhana

paradigma yang dianut bertumpu pada teks baik secara langsung maupun tidak

langsung (paradigma bayani).16

14
Secara umum al-Jabiri sebagaimana dikutip oleh Muhyar Fanani, membagi epistemologi
Islam pada tiga ranah pemikiran yaitu bayani, irfani, dan burhani. Epistemologi bayani adalah
epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu adalah teks (nas) atau penalaran dari teks.
Epistemologi irfani adalah epistemologi yang beranggapan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah ilham. Epistemologi ini memiliki metode yang khas dalam mendapatkan pengetahuan yakni
metode kasf, sebuah metode yang unique karena selamanya tidak bisa dirasionalkan, diverifikasi
atau diperdebatkan. Epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber
pengetahuan adalah akal. Biasanya epistemologi ini disebut epistemologi falsafah karena merujuk
pada tradisi intelektual Yunani. Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqh,
dalam Jurnal Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000, 27-28.
15
Istilah klasik sendiri penulis batasi setelah tahun 300-an Hijrah. Hal ini disebabkan karena
beberapa alasan yaitu, pertama, pada masa Nabi dan sahabat, hukum Islam cendrung empiris dan
tidak literalis, bahkan Joseph Schacht mengungkapkan bahwa hukum Islam pada masa awal tidak
menggunakan al-Qur'an sebagai sumber pengetahuan. Sekalipun ushul fikih baru muncul pada
awal abad ke III H, namun sebagai teori istinbat sudah muncul sejak era kenabian karena banyak
sekali peristiwa pada masa kenabian yang menunjukkan adanya aktifitas ijtihad baik oleh Nabi
sendiri maupun sahabatnya. Jika kemudian ijtihad Nabi salah, maka akan mendapat teguran dari
Allah-melalui wahyu. Rasulullah juga mengizinkan para sahabatnya untuk berijtihad bila solusi
hukum belum ditetapkan dalam al-Qur'an dan Sunnah. Eksplorasi ini memperlihatkan, betapa
hukum Islam pada masa awal begitu dinamis dan tidak terpaku pada teks. Kedua, pada era 300-an
Hijriah, telah terjadi pergolakan politik yang merembet ke dalam wilayah hukum dan teologi.
16
Adapun karakteristik dari epistemologi bayani antara lain, pertama, epistemologi ini selalu
berpijak pada asal (pokok) yang berupa nass (teks), baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dalam ilmu ushul fikih yang dimaksud dengan nas adalah al-Quran, Hadis dan Ijma. Sedangkan
dalam bahasa Arab yang dimaksud dengan nas adalah perkataan orang Arab. Kedua, epistemologi
ini selalu menaruh perhatian secermat-cermatnya pada proses transmisi naql (teks) dari generasi ke
generasi. Menurut epistemologi ini, apabila proses transmisi teks itu benar, maka isi nas itu pasti
benar, karena nas itu masih murni dari Allah atau nabi. Tetapi jika teks tersebut proses
14

Sepanjang pemantauan yang penulis lakukan di berbagai perpustakaan dan

internet, belum ditemukan judul disertasi yang benar-benar sama dengan judul

yang penulis ajukan, yaitu:

Ketentuan Hukuman Fisik Terhadap Anak-Anak Di Dalam Undang-

Undang Perlindungan Anak Indonesia Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam.

(Studi Dilema Pemukulan Anak-Anak Dalam Penerapan Disiplin)

Di dalam Taurat dan Injil, penulis menemukan hukuman fisik berupa

pukulan dengan rotan,17 bagi anak-anak. Sebahagian bangsa Barat mengutip dari

kitab Taurat dan Injil, tantang prinsip hukuman fisik sebagai berikut:

Hukuman bagi perilaku anak yang salah dan bukan menghukum

orangnya. Sewaktu menghukum anak, tidak melihat pribadinya, supaya tidak

merusak hubungan dengan mereka. Apabila mereka gagal dalam belajar, harus

dibantu , bukan menganggap mereka anak yang bodoh. Allah menciptakan satu

bagian tubuh yang banyak dagingnya yang terhindar dari luka-luka karena

pukulan yaitu pantat.dan betis .Padanya terdapat hikmat, tetapi pentung tersedia

bagi punggung orang yang tidak berakal budi (Amsal 10:13). Hukuman bagi

transmisinya sudah tidak bisa dipertanggung jawabkan, maka nas itupun tidak bisa dipertanggung
jawabkan isinya. Dengan kata lain epistemologi ini sesungguhnya senantiasa berpijak pada
riwayah (nagl). Sebagai bukti dari ciri kedua ini adalah begitu banyaknya pembahasan yang
dilakukan oleh para ulama tentang riwayah yang ingin menjaga orisinalitas khabar (dalam hal ini
berupa nas atau teks). Ibid, hlm. 31.
17
e-Bina Anak 215-Mendisiplinkan dengan pemberian hukuman, sebaiknya cara terakhir
yang digunakan dalam mendisiplinkan anak. Dewasa ini, hampir semua pendidik barat menentang
pemberian hukuman secara fisik sebab tindakan itu hanya menyelesaikan masalah sementara
waktu saja dan member akibat sampingan yang tidak baik. Tidak semua penggunaan hukuman
atau hukuman fisik itu tidak berfaedah. Alkitab mengajarkan, Siapa tidak menggunakan tonngkat,
benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya menghajar dia pada waktunya (Amsal
13:24), dan juga, Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau
memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan
nyawanya dari dunia orang mati (Amsal 23:13). Tetapi bukan berarti bahwa orang tua atau guru
boleh dengan semena-mena menggunakan haknya untuk memukul anak.
15

sipencemooh tersedia '' pukulan'' bagi punggung orang bebal (Amsal 19:29).

Cemeti adalah untuk kuda, kekang untuk keledai, dan pentung untuk punggung

orang bebal (Amsal 26:3). Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai

punggung

Kasus kekerasan pada anak adalah kasus yang sangat pelik. Di mana jenis

kasusnya yang beragam, interprestasi mengenai kekerasan pun masih penuh

dengan perdebatan. Sebagian orang menganggap bahwa kasus kekerasan

digunakan sebagai hak otonominya, dan bersifat pribadi, dan orang lain tidak

boleh mengetahuinya karena termasuk aib yang harus ditutupi. Dengan alasan ini,

sehingga banyak kasus-kasus kekerasan tidak bisa diungkap.18

Menurut Ketua Komnas Perlindungan Anak, Seto Mulyadi: Kekerasan19

pada anak juga dipengaruhi oleh tayangan televisi yang marak akhir-akhir ini,

namun semua itu harus disikapi bijaksana oleh para orangtua, seperti

mengingatkan agar anak tidak banyak menonton sinetron televisi yang

menayangkan kekerasan. Kita pernah melakukan dengar pendapat tentang

kekerasan yang ditayangkan televisi, namun semua itu adalah nafas dan siaran

televisi. Jadi, kita tidak bisa berkutik. Karena itu, orang tua harus mengalah

jangan menonton televisi sepanjang hari. Jika tidak begitu, maka anak akan ikut-

ikutan menonton televisi sampai larut dan mengabaikan tugas utamanya, yaitu

18
Defenisi anak menurut Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002; Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak dalam kandungan. Defenisi undang-
undang ini mencakup janin, bayi, anak-anak sampai berumur 18 tahun. Undang-undang ini juga
mengatur tanggung jawab sosial anak dan tanggung jawab anak dimuka hukum.
19
Kekerasan (Bullying) menurut Komisi Perlindungan Anak (KPAI) adalah kekerasan fisik
dan psikologis berjangka panjang yang dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang
yang tidak mampu mempertahankan diri dalam situasi di mana ada hasrat untuk melukai atau
menakuti orang atau membuat orang tertekan, trauma/depresi dan tidak berdaya.
16

belajar, kata Seto. Ditambahkannya, orang tua harus mampu menjadi contoh

anak-anaknya untuk bertingkah laku positif di rumah.

Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan

fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi.

Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera

yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini

dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. Kekerasan seksual adalah apabila

anak disiksa diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau

melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan,

film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks di mana seseorang

memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain.

1.3.1 Hukuman fisik menurut hukum Islam20

Hukuman fisik yang berkaitan dengan pendidikan menurut hukum Islam

disebutkan di dalam Al-Quran dan hadits yaitu kata-kata , teguran keras.

Biasanya bila menegur dengan keras anak yang berbuat salah, dia akan berhenti

berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini diterapkan

pula oleh Rasulullah SAW saat melihat seseorang yang menggiring unta hadyu

20
Isteri yang nusyuz menurut at-Qur'an boleh diberikan sanksi. Sanksi yang dikenakan
terhadap isteri yang nusyuz, menurut makna tekstual ayat di atas adalah dinasehati, dibiarkan
sendirian di tempat tidurnya dan dipukul. Tiga cara ini dilakukan secara bertahap sesuai urutannya.
Berdasarkan ayat al-Quran di atas, para ahli tafsir kemudian mengemukakan pandangan yang
beragam. Pernyataan paling menggelisahkan perempuan tentang soal ini dikemukakan oleh ahli
tafsir terkemuka; Abu Hayyan at Andalusi dalam tafsirnya Al Bahr at Muhith. Ia mengatakan:
(Dalam menghadapi isteri yang nusyuz) suami pertama kali menasehatinya dengan lembut, jika
tidak efektif boleh dengan kata-kata yang kasar, dan (jika tidak efektif) membiarkannya sendirian
tanpa digauli, kemudian (jika tidak juga efektif) memukulnya dengan ringan atau dengan cara lain
yang membuatnya merasa tidak berharga, bisa juga dengan cambuk atau sejenisnya yang
membuatnya jera akibat sakit, asal tidak mematahkan tulang dan berdarah. Dan jika cara-cara
tersebut masih juga tidak efektif menghentikan ketidaktaatannya, maka suami boleh mengikat
tangan isteri dan memaksanya berhubungan seksual, karena itu hak suami.(Abu Hayyan al
Andalusi, Tafsir at Bahr at Muhith. Dar al Kutub al Ilmiyyah, Beirut, Juz III, h. 252).
17

(hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan tidak mau

menungganginya. Beliau mengatakan, Tunggangi hewan itu! Orang itu

menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun

menjawab, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu! Setelah dua atau

tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya, Tunggangi hewan itu! 21

Menghentikan perbuatan anak, jika anak ribut berbicara dalam pelajaran,

bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah pernah mengatakan kepada

seseorang yang bersendawa di hadapan beliau:

Hentikan sendawamu di hadapan kami! 22


HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi

Memalingkan wajah ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu

yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah

darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.

Mendiamkan , boleh pula tidak berbicara dengan anak yang melakukan kesalahan

seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak

beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah bersabda:

Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan saudaranya lebih dari tiga

hari.23

21
Hadits Riwayat Bukhari no. 6160 dan Muslim no.1322
22
Hadits Riwayat al-Tirmizi no.2478
18

Cercaan, jika anak melakukan dosa besar, boleh mencercanya bila nasihat

dan bimbingan tidak lagi berpengaruh., atau hukuman berupa duduk Qurfusha,

yaitu duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki menempel di tanah dan

paha menempel ke perut. Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan

menyuruhnya duduk qurfusha sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh

lebih baik dari pada memukulnya dengan tangan atau tongkat.

Hukuman orang tua dan guru, bila murid terus-menerus mengulang

kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa menulis surat untuk walinya dan

menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan

sempurna kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam mendidik anak. Ada

pula orang tua yang menggantungkan cambuk, di dinding, sehingga anak mudah

melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman. Tindakan itu berdasarkan

sabda24 Rasulullah SAW:

.Gantungkanlah cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga, karena

demikian ini merupakan pendidikan bagi mereka.HR. Al-Thabarani, dihasankan

oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah No. 1447.25

23
Hadits Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi
Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007) hlm 790
24
Definisi 'sabda' 1. kata; perkataan (bagi Tuhan, nabi, raja.): renungkan -- Rasulullah
mengenai kasih sayang sesama umat manusia;
bersabda v berkata; bertitah: raja telah - agar para menterinya selalu berbuat adil;
menyabdakan v mengatakan; mengucapkan; menitahkan: raja yang adil tidak akan - sesuatu
yang merugikan rakyatnya

25
Ibid hlm 701
19

Namun bukanlah yang diinginkan di sini untuk memukul, karena beliau

tidak memerintahkan demikian. Pukulan ringan, digunakan apabila metode lain

tidak membuahkan hasil, boleh memukul dengan pukulan ringan, terutama ketika

memerintahkan mereka menunaikan shalat jika telah berumur sepuluh tahun.

Rasulullah SAW bersabda:

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan

pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan

pisahkanlah tempat tidur di antara mereka. 26

Inilah catatan, dalam memberikan hukuman dan penghargaan pada anak.

Diiringi doa dan permohonan kepada pencipta semesta alam, semoga terwujud

keinginan , agar anak-anak menjadi penyejuk mata. Secara filosofis, orang tua

merasa bertanggung jawab untuk mendisiplinkan dan menghukum anak demi

kebaikan si anak kelak. Bahkan, secara tradisional pun, hukuman badan telah

diterima sebagai salah satu metode yang sangat efektif untuk mengendalikan dan

mendisiplinkan anak.

Hal ini didukung oleh masyarakat yang percaya bahwa hukuman badan

penting untuk mencegah degradasi moral, baik dalam kalangan rumah tangga

maupun masyarakat. Di sekolah, hukuman badan masih sering digunakan. Banyak


26
Hadits Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir,
no.5744, dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
20

guru atau para pendidik berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan

menambah kekuatan atau kewibawaan guru. Dengan demikian sang murid akan

lebih mudah dikendalikan. Namun, ini bukanlah satu-satunya cara untuk

mengendalikan murid atau anak. Ada banyak metode yang bisa dipilih untuk

menumbuhkan kepatuhan atau kedisiplinan. Namun, jika semua metode tersebut

sudah tidak mempan, hukuman badan bisa dijadikan jalan terakhir untuk

menumbuhkan

kepatuhan.

Bisa berakibat buruk terhadap hukuman yang diterima, si anak bakal

memberikan reaksi aktif atau pasif. Reaksi aktif dapat dilihat saat hukuman

berlangsung. Umpamanya, berteriak, mengentak-entakkan kaki, Sedangkan

reaksi pasif pada umumnya tidak ditunjukkan di depan orang tuanya. Contohnya,

menyalurkan kemarahan kepada adiknya atau pembantu rumah tangganya,terjadi

hampir di seluruh daerah. Akibatnya pendekatan yang digunakan pun adalah

pendekatan bayan atau tekstualis. Pandangan optimisme bahasa ini kemudian

mengarah pada berkembangnya logika deduktif sehingga model pendekatan yang

digunakanpun adalah teologis normative deduktif.27

Paradigma literalistik dengan menggunakan model pendekatan yang

teologis normatif-deduktif cendrung didominasi Aristotalian logic yang bercirikan

dichotomous logic. Akibatnya, studi hukum Islam dipandang cenderung

mendekati masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, Islam-kafir,

27
Akh. Minhaji membagi model pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama, teologis
normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh. Minhaji, Reorientasi Kajian
Ushul Fiqih, dalam Jurnal al-Jami ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum
Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar
Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, h. 40-46.
21

sunnah-bidah dan yang semacamnya walaupun sesungguhnya tujuan pokok

agama diturunkan itu adalah mengajarkan tentang aturan-aturan hidup yang

bersifat pasti (nilai, norma dan aturan), dan begitu pula hukum agama (Islam) di

mana salah satu ciri pokok berfikir hukum adalah menuntut adanya kepastian dan

bukan ketidakpastian.28

Pengertian seperti ini jelas tidak tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian

seperti halal atau haram, hukum Islam juga terdiri atas kategori-kategori

relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri

atas norma-norma berjenjang (berlapis),diarahkan kepada penggalian asas-asas

dengan mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih

mudah merespons berbagai perkembangan masyarakat dari sudut hukum

syariah.29

28
Ibid., 40-41. Begitu rigidnya paradigma literalistik, sehingga menurut Fazlur Rahman ada
tiga kelemahan dari metode studi Islam klasik dan pertengahan yaitu, pertama, pemahaman yang
terpotong-potong. Kedua, kurang memperhatikan unsur sejarah, dan ketiga, terlalu tekstual.
Rahman menyebut kajian Islam klasik dan pertengahan dengan studi yang atomistis, ahistoris, dan
literalistis. Senada dengan Rahman, Arkoun juga melancarkan kritik terhadap para pemikir hukum
Islam yang masih menyandarkan pendapatnya kepada sistem pemikiran epsitemik Zaman Tengah
dengan ciri, pertama, mencampurkan antara mitos dan sejarah, kedua, menekankan keunggulan
teologis orang Muslim atas non-Muslim, ketiga, pensucian bahasa, keempat, univokalisasi makna
yang diwahyukan Tuhan, kelima, anggapan tentang nalar pribadi yang transhistoris, dan keenam,
diktum hukum diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Fazlur Rahman, Islam: Challenges and
Opportunities, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch
dan Pierre Cachia (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), h. 319-327. Taufik Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung:
Mizan, 1993), h. 186. Arkoun, Ke Arah Islamologi Terapan, alih bahasa Syamsul Anwar, Al-
Jamiah, No. 53 (1993), 72.
29
Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik
di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5.
Mengenai teori pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan
norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti
kemaslahatan, keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan
fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu al-nazariyyah al
fiqhiyyah dan al-qawa id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam al far iyyah). Ketiga lapisan norma ini
tersusun secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang
22

Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2 H

sampai 7 H) dan mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada abad

ke 8 H yang menambahkan teori maqashid al-syariah yang mengacu pada

maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks.30

1.4 Permasalahan

1.4.1 Batasan masalah

Setelah mengidentifikasi berbagai fenomena, pada latar belakang masalah

yang berkaitan dengan hukuman fisik terhadap anak-anak ,maka penulis batasi

masalahnya, dalam ruang lingkup konsep dan paradigma pelarangan hukuman

fisik menurut hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan anak yang

berlaku di Indonesia. Hal yang harus ditemukan ialah hal yang melanggar hak

asasi, bagaimana masalah hukuman fisik menjadi sesuatu yang dilematis.

1.4.2 Rumusan masalah

Akhirnya masalah ini penulis buat perumusan sebagai berikut :

1.4.2.1 Apa sebab terjadi dilema hukuman fisik bagi anak-anak di Indonesia?

1.4.2.2 Bagaimana konsep hukum Islam dan hukum perlindungan anak

Indonesia, tentang sanksi hukuman fisik terhadap anak-anak ..?

lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin
umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu kesukaran memberi kemudahan. Norma tengah ini
dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa
bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam
pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis
jadikan sebagai paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori
induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma
tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, Pengembangan Metode
Penelitian Hukum Islam, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul
Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 147-162.
30
Al- Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih
sebagai ilmu burhani yang qati sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan
hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, hlm. 29-34.
23

1.4.2.3 Apa saja nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalam ketentuan hukuman

fisik terhadap anak-anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang

perlindungan anak (UU RI No. 23 Tahun 2002).

Di samping pelacakan terhadap masalah pokok ini, penulis juga ingin

melacak nilai-nilai sosiologis dan psikologis yang berada di balik setiap masalah

yang diungkapkan, supaya hal-hal yang tersebunyi di balik fakta hukum, dapat

diketahui maqashid al-syari'ah yang terkandung di dalamnya seoptimal

mungkin, dengan memakai kaedah-kaedah ilmiah dan teori-teori serta analisis

yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.5.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1.5.1.1 Untuk melacak informasi tentang hukuman fisik oleh orang tua

dan guru, terhadap anak-anak..

1.5.1.2 Untuk mengetahui dalil-dalil sebagai konsep dasar hukum Islam

yang berkaitan dengan sanksi hukuman fisik yang dilacak di dalam berbagai kitab

tafsir Al-Quran dan kitab-kitab fiqih yang relevan.

1.5.1.3 Untuk memahami filosofis ketentuan hukuman fisik yang berkaitan erat

dengan Hukum Islam, Hak Asasi Manusia dan hukum pelindungan anak pada

UU. No. 23 Tahun 2002.

1.6 Manfaat Penelitian


24

Manfaat penelitian ini, secara teoretis dan praktis dapat dijadikan dasar pijakan

dalam menetukan kebijakan di rumah tangga, di sekolah dan di pemerintahan,

dalam menetukan kebijakan yang berkaitan dengan hukum, moral, dan ketertiban

yang bersumber dari undang-undang perlindungan anak dan hukum Islam .Lebih

konkrit lagi ialah:

1.6.1 Bagi pribadi penulis, akan dimanfaatkan untuk menambah ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum, sekaligus memenuhi persyaratan untuk

mendapatkan gelar doktor dalam dalam bidang hukum Islam.

1.6.2 Bagi lembaga pendidikan, sebagai sumbangan pemikiran tentang

bagaimana hukuman fisik itu seharusnya dilaksanakan.

1.6.3 Bagi orang tua dan guru, sebagai bahan pertimbangan dalam menghadapi

dilemma hukuman fisik, agar tidak dituduh melakukan perbuatan kriminal dan

berurusan dengan pihak kepolisian.

1.6.4. Bagi para hakim di pengadilan, sebagai bahan informasi tentang hukuman

fisik dapat dikategorikan sebagai alat pendidikan bias pula perbuatan kriminal,

sehingga dapat memberikan pertimbangan untuk keputusan yang adil.

Di samping kegunaan dan manfaat yang telah disebutkan, masih ada

kegunaan yang lain yang tidak langsung dan tidak formal , misalnya untuk

mengisi kebutuhan jurnal dan surat kabar, atau penerbit buku-buku hukum yang

memerlukan naskah-naskah baru yang mencerahkan diperlukan oleh masyarakat

pembaca di seluruh tanah air.


25

BAB 2

TINJAUAN TEORETIS TENTANG HUKUMAN FISIK

2.1 Tinjauan pustaka31

Hukuman fisik yang diakui secara universal, disebut bullying, hazing dan

mobbning. Ada pengertian yang baku saat ini. Bullying berasal dari bahasa

Inggris, yaitu dari kata bull yang berarti banteng setelah dipukul baru berjalan,

senang menyeruduk kesana kemari menurut Sejiwa, 2008: 2. Istilah ini akhirnya

diambil untuk menguraikan suatu tindakan yang destruktif. Berbeda dengan

negara lain, seperti di Norwegia, Finlandia, Denmark, dan Finlandia yang

menyebutkan bullying dengan istilah mobbing atau mobbning. Istilah aslinya

berasal dari Inggris, yaitu mob yang menekankan bahwa biasanya mob adalah

kelompok orang yang anonim dan berjumlah banyak dan terlibat kekerasan.

31
Suatu tinjauan pustaka mempunyai kegunaan untuk : 1) Mengungkapkan penelitian-
penelitian yang serupa dengan penelitian yang (akan) kita lakukan; dalam hal ini, diperlihatkan
pula cara penelitian-penelitian tersebut menjawab permasalahan dan merancang metode
penelitiannya;2) Membantu memberi gambaran tentang metoda dan teknik yang dipakai dalam
penelitian yang mempunyai permasalahan serupa atau mirip penelitian yang dihadapi; 3)
Mengungkapkan sumber-sumber data (atau judul -judul pustaka yang berkaitan) yang mungkin
belum kita ketahui sebelumnya; 4) Mengenal peneliti -peneliti yang karyanya penting dalam
permasalahan yang dihadapi (yang mungkin dapat dijadikan nara sumber atau dapat ditelusuri
karya-karya tulisnya yang lain yang mungkin terkait; 5) Memperlihatkan kedudukan penelitian
yang (akan) kita lakukan dalam sejarah perkembangan dan konteks ilmu pengetahuan atau teori
tempat penelitian ini berada; 6) Mengungkapkan ide-ide dan pendekatan-pendekatan yang
mungkin belum kita kenal sebelumya; 7) Membuktikan keaslian penelitian (bahwa penelitian yang
kita lakukan berbeda dengan penelitian -penelitian sebelumnya);
26

Sedangkan Schwartz dalam Sejiwa,2005:1, menyebut bullying dengan

istilah victimization. Buhs 2006:2, menambahkan istilah peer exclusion dan

victimization untuk menggambarkan perilaku bullying. Tattum dalam Smith,

Pepler and Rigby, 2007: 5 memandang bahwa bullying adalah keinginan untuk

menyakiti dan sebagian besar harus melibatkan ketidakseimbangan kekuatan yaitu

orang atau kelompok yang menjadi korban adalah yang tidak memiliki kekuatan

dan perlakuan ini terjadi berulang-ulang dan diserang secara tidak adil.

Berbeda dengan tindakan agresif lain yang melibatkan serangan yang

dilakukan hanya dalam satu kali kesempatan dan dalam waktu pendek, bullying

biasanya terjadi secara berkelanjutan dalam jangka waktu cukup lama, sehingga

korbannya terus-menerus berada dalam keadaan cemas dan terintimidasi. Hal ini

didukung oleh pernyataan yang dikemukakan Djuwita ,2006: 2 bahwa bullying

adalah penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti seseorang atau

kelompok, sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak berdaya, dan

peristiwanya mungkin terjadi berulang.

Pendapat yang relatif sama dikemukakan oleh Sejiwa (2008: 1) yang

menyatakan bahwa bullying adalah situasi dimana seseorang yang kuat (bisa

secara fisik maupun mental) menekan, memojokkan, melecehkan, menyakiti

seseorang yang lemah dengan sengaja dan berulang-ulang, untuk menunjukkan


27

kekuasaannya. Dalam hal ini sang korban tidak mampu membela atau

mempertahankan dirinya sendiri karena lemah secara fisik atau mental.32

Hal yang penting di sini bukan sekedar tindakan yang dilakukan, tetapi

apa dampak tindakan tersebut terhadap korbannya. Misalnya, seorang siswa

mendorong bahu temannya dengan kasar; bila yang didorong merasa

terintimidasi, apalagi bila tindakan tersebut dilakukan berulang-ulang, maka

perilaku bullying telah terjadi. Bila siswa yang didorong tak merasa takut atau

terintimidasi, maka tindakan tersebut belum dapat dikatakan bullying dalam

Sejiwa, 2008: 2.

32
Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak di media. Dalam
berbagai berita kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-berita
tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan. Kalau dulu ada Arie Hanggara, sekarang muncul kasus-kasus
yang sama. Bukan lagi dilakukan oleh bapak/ibu tiri saja tetapi justru dilakukan oleh orang tua kandung. Bentuk kekerasan bisa
berupa korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan
kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang
hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child
abuse itu sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Ada 4 macam child abuse,
yaituemotional abuse, terjadi ketika orang tua setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu
membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan
kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Anak akan mengingat semua kekerasan emosional jika kekerasan emosional itu
berlangsung konsisten. Verbal abuse, terjadi ketika si ibu, setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, menyuruh anak itu untuk
diam atau jangan menangis. Jika si anak mulai berbicara, ibu terus-menerus menggunakan kekerasan verbal seperti, kamu
bodoh, kamu cerewet, kamu kurang ajar, dan seterusnya. Physical abuse, terjadi ketika si ibu memukul anak (ketika anak
sebenarnya membutuhkan perhatian). Memukul anak dengan tangan atau kayu, kulit atau logam akan diingat anak itu. Sexual
abuse, biasanya tidak terjadi selama delapan belas bulan pertama dalam kehidupan anak. Walaupun ada beberapa kasus ketika
anak perempuan menderita kekerasan seksual dalam usia enam bulan. Center for Tourism Research & Development Universitas
Gadjah Mada, mengekspos penelitiam tentang child abuseyang terjadi dari tahun 19922002 di 7 kota besar yaitu, Medan,
Palembang, Jakarta, Semarang, Surabaya, UjungPandang dan Kupang, ditemukan bahwa ada 3969 kasus, dengan rincian sexual
abuse 65.8%, physical abuse 19.6%, emotional abuse 6.3%, dan child neglect 8.3%. Berdasarkan kategori usia korban: 1. Kasus
sexual abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%). 2. Kasus physical abuse: persentase
tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). 3. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12
tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%). Tindakan Kekerasan pada Anak dalam Keluarga 4. Kasus child neglect:
persentase teringgi usia 0-5 tahun (74.7%) dan terendah usia 16-18 tahun (6.0%). Berdasarkan tempat terjadinya kekerasan : 1.
Kasus sexual abuse: rumah (48.7%), sekolah (4.6%), tempat umum (6.1%), tempat kerja (3.0%), dan tempat lainnya-di antaranya
motel, hotel dll (37.6%). 2. Kasus physical abuse: rumah (25.5%), sekolah (10.0%), tempat umum (22.0%), tempat kerja (5.8%),
dan tempat lainnya (36.6%). 3. Kasus emotional abuse: rumah (30.1%), sekolah (13.0%), tempat umum (16.1%), tempat kerja
(2.1%), dan tempat lainnya (38.9%). 4. Kasus child neglect: rumah (18.8%), sekolah (1.9%), tempat umum (33.8%), tempat kerja
(1.9%), dan tempat lainnya (43.5%). Data tersebut menunjukkan bahwa tiada tempat yang "aman" bagi anak. Orang-orang yang
mengasihi maka dia akan di-Kasihi oleh Allah swt Dzat Maha Pengasih. Anak-anak termasuk juga hamba Allah, mereka memiliki
hak untuk dikasihi dan dicintai. Kyai Fuad menerangkan, pernah terjadi, pada saat Nabi saw mendirikan shalat dan sedang sujud
datanglah Sayyidina Hasan ra dan Sayyidina Husein ra. Keduanya naik ke atas punggung beliau laksana mengendarai tunggangan.
Nabi saw lalu memperlama sujudnya. Seusai shalat Nabi saw bersabda, Sesungguhnya cucu-cucuku tadi jadikanku sebagai
tunggangan. Dan aku tidak hendak bangkit dari sujud sampai mereka selesai melampiaskan keinginannya. Aduhai, betapa lembut
dan kasihnya Nabi saw kepada anak-anak kecil. Hadist Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah ra di atas
terdapat dalil bahwa manusia mesti menggunakan kasih sayang dalam menggauli anak-anaknya. Hadis maupun Qur'an
menunjukkan bahwa kekerasan bisa diatasi melalui peran keluarga, terutama pasangan suami dan istri.
28

Menurut Sullivan ,2000: 14, bullying juga harus dibedakan dari tindakan

atau perilaku agresif lainnya. Pembedaannya adalah tidak bisa dikatakan bullying

jika seseorang menggoda orang lain secara bercanda, perkelahian yang terjadi

hanya sekali, dan perbuatan kasar atau perkelahian yang tidak bertujuan untuk

menyebabkan kehancuran atau kerusakan baik secara material maupun mental.

Selain itu tidak bisa dikatakan bullying jika termasuk perbuatan kriminal seperti

penyerangan dengan senjata tajam, kekerasan fisik, perbuatan serius untuk

menyakiti atau membunuh, pencurian serius, dan pelecehan seksual yang

dilakukan hanya sekali.

Definisi yang diterima secara luas adalah yang dibuat Olweus, 2004: 9,

yang menyatakan bahwa siswa yang melakukan bullying adalah ketika siswa

secara berulang-ulang dan setiap saat berperilaku negatif terhadap seorang atau

lebih. Tindakan negatif di sini adalah ketika seseorang secara sengaja melukai

atau mencoba melukai, atau membuat seseorang tidak nyaman. Intinya secara

tidak langsung tersirat dalam definisi perilaku agresif. Berdasarkan beberapa

pengertian bullying di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying

adalah suatu tindakan negatif yang dilakukan secara berulang-ulang dimana

tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan membuat

seseorang merasa tidak nyaman.

Kekerasan-kekerasan yang dilakukan siswa tersebut yang berlangsung

secara sistematis disebut dengan istilah bullying. Bullying sendiri didefinisikan

sebagai tindakan menyakiti secara fisik dan psikis secara terencana oleh pihak

yang merasa lebih berkuasa terhadap yang lemah ,Kompas, 2007. Istilah lain
29

untuk bullying adalah peer victimization dan hazing. Bullying secara sederhana

diartikan sebagai penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti

seseorang atau kelompok sehingga korban merasa tertekan, trauma, dan tidak

berdaya ,Suryanto, 2007: 1.

Perbuatan pemaksaan atau menyakiti ini terjadi di dalam sebuah

kelompok, misalnya kelompok siswa satu sekolah, itulah sebabnya disebut

sebagai peer victimization ,Djuwita, 2007: 2. Sedangkan hazing adalah perilaku

yang sama namun dilakukan oleh anggota yang lebih senior kepada yuniornya.

Djuwita juga menjelaskan kasus lain dari bullying yang berkenaan dengan

kegiatan orientasi sekolah untuk siswa baru, di mana siswa senior sering

membenarkan diri memerintah adik-adik kelasnya yang baru masuk.

Perilaku bullying tidak hanya dalam bentuk fisik yang bisa terlihat jelas,

tetapi bentuk bullying yang tidak terlihat langsung dan berdampak serius.

Misalnya, ketika ada siswa yang dikucilkan, difitnah, dipalak, dan masih banyak

lagi kekerasan lain yang termasuk dalam perilaku bullying ini , Djuwita, 2006: 2.

Alexander dalam Sejiwa, 2008: 10, menjelaskan bahwa bullying adalah

masalah kesehatan publik yang perlu mendapatkan perhatian karena orang-orang

yang menjadi korban bullying kemungkinan akan menderita depresi dan kurang

percaya diri. Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang menjadi

korban bullying akan mengalami kesulitan dalam bergaul. Merasa takut datang ke

sekolah sehingga absensi anak tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami

kesulitan berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental

maupun fisik jangka pendek maupun panjang akan terpengaruh, Rigby, 1999
30

dikutip Djuwita, 2006. Sedangkan menurut Bangu, 2007: 2, anak korban bullying

sering menampakkan sikap : mengurung diri atau menjadi school phobia, minta

pindah sekolah, konsentrasi berkurang, prestasi belajar menurun, suka membawa

barang-barang tertentu (sesuai yang di minta si pelaku bullying). Anak jadi

penakut, gelisah, tidak bersemangat, menjadi pendiam, mudah sensitif,

menyendiri, menjadi kasar dan dendam, mudah cemas, mimpi buruk, melakukan

perilaku bullying kembali terhadap orang lain.

Bauman dan Rio, 2006: 219,menjelaskan bahwa di dalam bullying, pelaku

maupun korban berkaitan dengan drop out dari sekolah, kurangnya penyesuaian

psikososial dan perlakuan negatif dari orang lain. Swearer dikutip Bauman dan

Rio, 2006: 219, menemukan bahwa baik pelaku maupun korban bullying memiliki

self esteem atau harga diri yang rendah.

Hal ini berkaitan dengan penilaian diri pada pelaku bullying yang terlalu

tinggi. Pada Workshop Nasional Anti-bullying 2008 diungkapkan bahwa salah

satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah adanya harga diri yang

rendah. Coopersmith dalam Harre dan Lamb, 1996: 273 menyatakan bahwa

harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang dan biasanya tetap tentang

dirinya. Hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan

menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan

berharga.

Bukhim ,2008: 1, mengatakan berbagai perilaku menyimpang yang

dilakukan anak ditengarai disebabkan oleh minimnya pemahaman anak terhadap

nilai diri yang positif. Sikap saling menghargai, menolong, berempati, jujur,
31

lemah lembut dan sebagainya tidak jarang hilang dari pribadi anak. Sebaliknya,

mereka justru akrab dengan hal-hal yang negatif seperti kekerasan, kebohongan,

licik, egois dan sebagainya.

Bukan berarti anak tidak tahu bahwa apa yang dilakukan salah tetapi

pemahaman baik buruk anak masih mengacu pada suatu tingkah laku benar bila

tidak dihukum dan salah bila dihukum dalam Monks, 2004: 200. Pemahaman

anak yang berdasar perilaku baik bila tidak dihukum dan buruk dihukum

termasuk dalam pemahaman moral yang pra-konvensional.

Kohlberg dalam Monks,2004:203, menjelaskan bahwa fase

perkembangan pemahaman moral anak terdiri dari 6 fase dan tingkatan itu tidak

berkorelasi dengan meningkatnya usia seseorang. Seorang anak yang memiliki

pemahaman moral yang tinggi, maka kecenderungan melakukan tindakan yang

melanggar norma seperti mengejek, memukul, menendang temannya lebih

rendah. Hal ini berkaitan dengan pemahaman moral bahwa hal-hal tersebut

merupakan tindakan yang tidak baik dan melanggar moral. Pendapat ini dikuatkan

oleh Hains ,1984: 72, bahwa semakin seorang individu memiliki tingkat

pemahaman moral yang tinggi akan mengurangi perilaku menyimpangnya.

Pemahaman moral menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan

dilakukan, dari pada sekedar arti suatu tindakan, sehingga dapat dinilai apakah

tindakan tersebut baik atau buruk. Budiningsih, 2004:25,menjelaskan bahwa

pemahaman moral bukanlah tentang apa yang baik atau yang buruk, tetapi tentang

bagaimana seseorang berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik
32

atau buruk. Pemahaman moral ini yang menjadi indikator dari tahapan

kematangan moral seseorang.

Harga diri yang rendah dan pemahaman moral anak yang rendah

memunculkan perilaku bullying. Anak yang melakukan bullying pada temannya

karena anak ingin mendapatkan perhargaan dari temannya dan anak belum

memahami suatu perbuatan benar atau salah berdasarkan norma moral. Sisi lain

hasil penelitian Hains menunjukkan adanya ketidakkonsistenan skor pemahaman

moral terhadap perilaku menyimpang dan harga diri rendah tidak selalu

memunculkan perilaku bullying. Hal ini berarti harga diri dan pemahaman moral

tidak memberikan pengaruh pada perilaku bullying. Hasil penelitian ini

bertentangan dengan hasil penelitian Sejiwa, 2008: 14 yang menyatakan salah

satu faktor penyebab seorang anak melakukan tindakan bullying adalah adanya

harga diri yang rendah dan juga bertentangan dengan pendapat Hains,1984: 72,

bahwa semakin seorang individu memiliki tingkat pemahaman moral yang tinggi

akan mengurangi perilaku menyimpangnya.

Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan

pendapat berkaitan apakah harga diri dan pemahaman moral anak memberikan

pengaruh pada perilaku bullying. Hal ini mendorong penulis untuk meneliti lebih

lanjut mengenai pengaruh harga diri dan pemahaman moral anak terhadap

perilaku bullying.Analisis Perilaku Bullying di Sekolah Dasar, ialah tentang apa

yang mesti dilakukan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan bullying di

sekolah kita? Pertama, di lingkungan sekolah harus dibangun kesadaran dan

pemahaman tentang bullying dan dampaknya kepada semua stakeholder di


33

sekolah, mulai dari murid, guru, kepala sekolah, pegawai sekolah hingga

orangtua. Sosialisasi tentang program anti bullying perlu dilakukan dalam tahap

ini sehingga semua stakeholder memahami dan pengerti apa itu bullying dan

dampaknya.

Kemudian harus dibangun sistem atau mekanisme untuk mencegah dan

menangani kasus bullying di sekolah. Dalam tahap ini perlu dikembangkan aturan

sekolah atau kode etik sekolah yang mendukung lingkungan sekolah yang aman

dan nyaman bagi semua anak dan mengurangi terjadinya bullying serta sistem

penanganan korban bullying di setiap sekolah. Sistem ini akan mengakomodir

bagaimana seorang anak yang menjadi korban bullying bisa melaporkan kejadian

yang dialaminya tanpa rasa takut atau malu, lalu penanganan bagi korban

bullying. Tidak kalah pentingnya adalah menghentikan praktek-praktek

kekerasan di sekolah dan di rumah yang mendukung terjadinya bullying seperti

pola pendidikan yang ramah anak dengan penerapan positive discipline di rumah

dan di sekolah.

Langkah ini membutuhkan komitmen yang kuat dari guru dan orangtua

untuk menghentikan praktek-praktek kekerasan dalam mendidik anak. Pelatihan

tentang metode positif disiplin perlu dilakukan kepada guru dan orangtua dalam

tahap ini.Terakhir adalah membangun kapasitas anak-anak kita dalam hal

melindungi dirinya dari pelaku bullying dan tidak menjadi pelaku. Untuk itu anak-

anak bisa diikutkan dalam pelatihan anti Bullying serta berpartisipasi aktif dalam

kampanye anti bullying di sekolah. Dalam tahap ini metode dari anak untuk anak

(child to child) dapat diterapkan dalam kampanye dan pelatihan.


34

Lalu bagaimana peran pemerintah? Sudah saatnya pemerintah dalam hal ini

Dinas Pendidikan memberikan perhatian terhadap isu bullying di sekolah serta

berupaya membangun kapasitas aparaturnya dalam mengatasi isu ini. Langkah

strategis yang perlu diambil adalah memasukkan isu ini ke dalam materi pelatihan

guru serta mengembangkan program anti bullying di tiap sekolah. Dalam kasus

tertentu bullying bisa bersentuhan dengan aspek hukum, maka melibatkan aparat

penegak hukum dalam program anti bullying akan sangat efektif.

Sekolah sebagai lembaga yang bertugas mencerdaskan bangsa sudah

seharusnya menjadi tempat yang aman, nyaman dan bermartabat bagi anak-anak

kita sehingga mereka dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan

demikian maka kita telah mempersiapkan generasi mendatang yang unggul dan

siap menjadi warga negara yang baik.

Penelitian tentang anak yang dihukum fisik, akan lebih sukses menurut

Marjorie Gannoe pada 1 Jan 2010. Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak

boleh dipukul sekedarnya, sampai usia enam tahun yang mendapat hukuman fisik

akan prestasi di sekolah lebih baik dan lebih optimistis dibanding rekan mereka

yang tidak pernah dipukul (kekerasan fisik) oleh orang-tua mereka. Penelitian

yang dilakukan di AS ini tentu saja memicu pro-kontra dan membuat marah

aktivis anti kekerasan pada anak-anak. Mereka selama ini gagal untuk mencegah

hukuman fisik pada anak-anak di Inggris. Saat ini di bawah Children Act 2004,

orang-tua dibenarkan melakukan kekerasan pada anak dengan alasan rasional dan

tidak menimbulkan luka atau bekas.


35

Penelitinya menanyai 179 anak belasan tahun mengenai seberapa sering

mereka mereka dihukum secara fisik saat mereka anak-anak dan berapa usia

mereka saat terakhir dipukul. Jawaban mereka kemudian dibandingkan dengan

informasi yang mereka berikan tentang kelakuann yang sekiranya terpengaruh

akibat dipukul. Informasi itu termasuk kelakuan antisosial, aktivitas seksual dini,

kekerasan dan depresi, juga aspek positif tentang sukses sacara akademik dan

ambisi.

Mereka yang dipukul sampai usia enam tahun menunjukkan performa

lebih baik pada hampir semua aspek kategori positif dan tidak lebih buruk pada

aspek negatif dibanding mereka yang tidak pernah dipukul. Remaja yang masih

mendapat hukuman fisik dari usia tujuh sampai 11 tahun juga lebih sukses

sekolahnya dibanding yang tidak mendapat hukuman fisik, tetapi pada aspek

negatifnya lebih buruk, seperti suka berkelahi.Marjorie Gunnoe, professor of

psychology di Calvin College in Grand Rapids, Michigan yang meneliti masalah

ini mengatakan tidak ada perbedaan antara pria dan wanita serta ras.

Namun penelitian ini ditolak oleh organisasi National Society for the

Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), yang melarang hukuman fisik pada

anak. "Pemelitian lain menunjukkan hukuman fisik mempengaruhi perilaku dan

perkembangan mental, dan membuat mereka menjadi antisosial," demikian

jurubicara NSPCC. Namun kelompok lain yakni Parents Outloud, menerima baik

hasil penelitian ini, dan mengatakan bahwa orangtua seharusnya tidak dihukum

melakukan hukuman fisik ringan. Sangat sulit menerangkan secara verbal pada
36

anak mengapa sesuatu yang mereka telah lakukan salah," kata Margaret

Morrissey.

Pengertian seperti ini jelas tidak tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian

seperti halal atau haram, hukum Islam juga terdiri atas kategori-kategori

relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri

atas norma-norma berjenjang (berlapis),diarahkan kepada penggalian asas-asas

dengan mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih

mudah merespons berbagai perkembangan masyarakat dari sudut hukum

syariah.33

Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2

H sampai 7 H) dan mengalami perbaikan dengan munculnya al-Syatibi pada abad

33
Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik
di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5.
Mengenai teori pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan
norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah) seperti
kemaslahatan, keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan
fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu al-nazariyyah al
fiqhiyyah dan al-qawa id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam al far iyyah). Ketiga lapisan norma ini
tersusun secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang
lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin
umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu kesukaran memberi kemudahan. Norma tengah ini
dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa
bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam
pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis
jadikan sebagai paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori
induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma
tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, Pengembangan Metode
Penelitian Hukum Islam, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul
Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), 147-162.
37

ke 8 H yang menambahkan teori maqashid al-syariah yang mengacu pada

maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks.34

Hukuman fisik yang berkaitan dengan pendidikan menurut hukum Islam

disebutkan di dalam Al-Quran dan hadits yaitu kata-kata , teguran keras.

Biasanya bila menegur dengan keras tergadap anak yang berbuat salah, dia akan

berhenti berbuat kesalahan dan duduk kembali dengan penuh adab. Metode ini

diterapkan pula oleh Rasulullah SAW saat melihat seseorang yang menggiring

unta hadyu (hewan kurban bagi jamaah haji) dalam perjalanannya berhaji dan

tidak mau menungganginya. Beliau mengatakan, Tunggangi hewan itu! Orang

itu menyangka bahwa hewan hadyu tidak boleh ditunggangi, hingga ia pun

menjawab, Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini hewan hadyu! Setelah dua atau

tiga kali, akhirnya beliau menghardiknya,Tunggangi hewan itu! Celaka kamu!35

Menghentikan perbuatan anak, jika anak ribut berbicara dalam pelajaran,

bisa menghentikannya dengan suara keras. Rasulullah SAWpernah mengatakan

pada seseorang yang bersendawa di hadapan beliau:

Hentikan sendawamu di hadapan kami! 36


HR. At-Tirmidzi, dihasankan oleh

Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi

34
Al- Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih
sebagai ilmu burhani yang qati sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan
hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I,29-34.

35
Hadits Riwayat Bukhari no. 6160 dan Muslim no.1322
36
Hadits Riwayat al-Tirmizi no.2478
38

Memalingkan wajah . ketika anak berbohong, memaksa minta sesuatu

yang tak layak, atau berbuat kesalahan yang lain, boleh kita palingkan wajah

darinya, agar si anak tahu kemarahan kita dan menghentikan perbuatannya.

Mendiamkan , boleh pula tidak berbicara dengan anak yang melakukan kesalahan

seperti meninggalkan shalat, menonton film, atau perbuatan-perbuatan yang tidak

beradab lain. Paling lama waktunya tiga hari, karena Rasulullah bersabda:

Tidak halal bagi seorang muslim jika ia mendiamkan saudaranya lebih dari tiga

hari.37

Cercaan, jika anak melakukan dosa besar, boleh mencercanya bila nasihat

dan bimbingan tidak lagi berpengaruh., atau hukuman berupa duduk Qurfusha,

yaitu duduk dengan menekuk kedua kaki, telapak kaki menempel di tanah dan

paha menempel ke perut. Anak yang malas atau bandel bisa dihukum dengan

menyuruhnya duduk qurfusha sambil mengangkat kedua tangannya ke atas.

Posisi seperti ini akan membuatnya capai dan menjadi hukuman baginya. Ini jauh

lebih baik dari pada memukulnya dengan tangan atau tongkat.

Hukuman orang tua dan guru, bila murid terus-menerus mengulang

kesalahannya setelah diberi nasihat, kita bisa menulis surat untuk walinya dan

menyerahkan kepada wali untuk menghukumnya. Dengan cara ini, akan

sempurna kerjasama antara sekolah dengan keluarga dalam mendidik anak.

Menggantungkan cambuk, bisa pula digantungkan cambuk di dinding, sehingga

37
Hadits Riwayat Bukhari no.6064 dan Hadits Muslim no.2559, dalam Ensiklopedi
Anak,(Darussunnah, Jakarta 2007) hlm 790
39

anak mudah melihatnya dan merasa takut mendapatkan hukuman. Rasulullah

Shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda:

Gantungkanlah cambuk di tempat yang mudah dilihat anggota keluarga, karena

demikian ini merupakan pendidikan bagi mereka.HR. Ath-Thabarani,

dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah

No. 1447.38

Namun bukanlah yang diinginkan di sini untuk memukul, karena beliau tidak

memerintahkan demikian.

Pukulan ringan, bila metode lain tidak membuahkan hasil, boleh memukul

dengan pukulan ringan, terutama ketika memerintahkan mereka menunaikan

shalat jika telah berumur sepuluh tahun. Rasulullah SAW bersabda:

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan

pukullah mereka bila enggan melakukannya pada usia sepuluh tahun, dan

pisahkanlah tempat tidur di antara mereka. 39

Inilah catatan, dalam memberikan hukuman dan penghargaan pada anak.

Diiringi doa dan permohonan kepada pencipta semesta alam, semoga terwujud

keinginan , agar anak-anak menjadi penyejuk mata. Secara filosofis, orang tua

38
Ibid hlm 701
39
Hadits Riwayat Ahmad ini, menurut Al-Bani adalah shahih al-jami'I al-Shaghir,
no.5744, dikatakan lagi bahwa hadits ini hasan.
40

merasa bertanggung jawab untuk mendisiplinkan dan menghukum anak demi

kebaikan si anak kelak. Bahkan, secara tradisional pun, hukuman badan telah

diterima sebagai salah satu metode yang sangat efektif untuk mengendalikan dan

mendisiplinkan anak.

Hal ini didukung oleh masyarakat yang percaya bahwa hukuman badan penting

untuk mencegah degradasi moral, baik dalam kalangan rumah tangga maupun

masyarakat.

Di sekolah, hukuman badan masih sering digunakan. Banyak guru atau

para pendidik berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan menambah

kekuatan atau kewibawaan guru. Dengan demikian sang murid akan lebih mudah

dikendalikan. Namun, ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengendalikan murid

atau anak. Ada banyak metode yang bisa dipilih untuk menumbuhkan kepatuhan

atau kedisiplinan. Namun, jika semua metode tersebut sudah tidak mempan,

hukuman badan bisa dijadikan jalan terakhir untuk menumbuhkan kepatuhan.

Bisa berakibat buruk terhadap hukuman yang diterima, si anak bakal

memberikan reaksi aktif atau pasif. Reaksi aktif dapat dilihat saat hukuman

berlangsung. Umpamanya, berteriak, mengentak-entakkan kaki, Sedangkan

reaksi pasif pada umumnya tidak ditunjukkan di depan orang tuanya. Contohnya,

menyalurkan kemarahan kepada adiknya atau pembantu rumah tangganya,terjadi

hampir di seluruh daerah.

2.2 Perspektif teori 40

40
Teori merupakan salah satu konsep dasar penelitian. Teori adalah seperangkat
konsep/konstruk, defenisi dan proposisi yang berusaha menjelaskan hubungan sistimatis suatu
fenomena, dengan cara memerinci hubungan sebab-akibat yang terjadi. Erwan dan Dyah (2007)
41

Dalam perspektif teori ini, penulis membahas tentang hukuman fisik bagi

anak-anak, di dalam UU Perlindungan Anak Indonesia(UU RI No. 23 tahun 2002)

yang menyorot teori hukuman kekerasan dan teori hukuman fisik berdasarkan

HAM internasional, ditinjau dari aspek Hukum Islam yang berdasarkan Al-Quran

dan hadits. Kemudian digunakan analisis dan pendekatan psikologi hukum dan

sosilogi hukum, yang terkait dengan kaedah ushul fiqih , tarikh al-tasyri dan

maqashid al-syariyah.

2.2.1 Definisi hukuman kekerasan dan fisik.

Definisi hukuman fisik atau hukuman yang mengandung kekerasan, menurut

Blask (1951) kekerasan, violence, adalah pemakaian kekuatan, force, yang tidak

adil, dan tidak dapat dibenarkan, yang disertai dengan emosi yang hebat atau

kemarahan yang tak terkendali, tiba-tiba, bertenaga, kasar, dan menghina.

Kekuatan itu, biasanya kekuatan fisik, disalahgunakan terhadap hak-hak umum,

terhadap aturan hukum dan kebebasan umum, sehingga bertentangan dengan

hukum.

Menurut UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23

tahun 2004, pasal 1 ayat (1), bahwa kekerasan adalah perbuatan terhadap

seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau

penderitaan secara fisik, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga,

teori menurut adalah serangkaian konsep yang memiliki hubungan sistematis untuk menjelaskan
suatu fenomena sosial tertentu. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa teori merupakan salah satu
hal yang paling fundamental yang harus dipahami seorang peneliti ketika ia melakukan penelitian
karena dari teori-teori yang ada peneliti dapat menemukan dan merumuskan permasalahan sosial
yang diamatinya secara sistematis untuk selanjutnya dikembangkan dalam bentuk hipotesis-
hipotesis penelitian.
42

termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan

kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkungan rumah tangga.

Menurut KUHP, pasal 89, melakukan kekerasan artinya mempergunakan

tenaga atau kekuatan jasmani yang tidak kecil atau sekuat mungkin, secara tidak

sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata,

menyepak, menendang, dan sebagainya, sehingga orang yang terkena tindakan itu

merasa sakit yang sangat. Melakukan kekerasan dapat disamakan dengan

membuat orang jadi pingsan dan tidak berdaya.

Kekerasan dalam pendidikan tampak dalam hukuman fisik sebagai alat

pilihan pendidik yang sudah tidak memiliki cara lain yang lebih baik lagi, yang

kehabisan akal, atau yang biasa berlaku kasar. Hukuman fisik tidak dikuliahkan,

tidak membutuhkan pemikiran, latihan, atau pengertian terhadap peserta didik,

cukup dengan wewenang yang ada padanya. Kekerasan di sekolah merujuk pada

kekerasan, violence, dan kejahatan, crime, oleh pendidik, peserta didik, kepala

sekolah, administrasi, orangtua. Perbuatan yang dipandang sebagai kekerasan

adalah:

1. Penyalahgunaan hak, abuse, yaitu pemakaian hak secara salah atau tidak

patut.

2. Serangan berat, aggravated assault, biasanya mematikan, dengan senjata.

3. Serangan fisik terhadap orang lain secara melawan hukum, suatu

percobaan

4. upaya untuk melakukan kekerasan kepada orang lain.

5. Serangan dan penganiayaan, menyentuh atau bentuk kekerasan fisik.

6. Penganiayaan, battery, serangan yang melawan hukum yang memukul


43

atau

7. melukai atau dengan menyentuh orang lain secara ofensif dan melawan

8. Perbuatan kejam terhadap hewan.

9. Penyalahgunaan hak terhadap anak, child abuse, perbuatan kejam.

10. Kekerasan dalam rumahtangga, domestic violence.

11. Pembunuhan.

12. Kerusakan harta, seperti penghancuran barang, pembongkaran,

pembakaran.

13. Perkosaan atau pemaksaan yang melawan hukum disertai kekuatan

fisik, ress,

14. untuk berhubungan seks (Wikipedia).

Kekerasan dalam hukuman fisik adalah aplikasi rasa sakit secara fisik yang

disengaja sebagai metoda pengubah perilaku, dengan memukul, menampar,

meninju, menendang, mencubit, mengguncang, menyorong, memakai aneka

benda atau aliran listrik, mengurung di ruang sempit, gerakan fisik yang

berlebihan, drill, melarang membuang air kencing, dan lain-lain. Hukuman fisik

di sekolah bukan kebutuhan okasional dari pendidik guna mengendalikan murid

yang berbahaya atau melindungi komuniti sekolah dari ancaman bahaya menurut

Greydanus, 2003.

Kekerasan adalah aksi, agresi dan penyalahgunaan hak, abuse, yang

merugikan, injurious, orang lain, materil dan imateril, sehingga merupakan

tindakan kriminal. Kekerasan sering disebut sebagai penangkal rasa malu atau

rasa terhina. Kekeliruan ungkapan ini yaitu bahwa kekerasan menjadi sumber

kebanggaan dan usaha membela kehormatan. Kekerasan memang, tapi tidak


44

selalu, merupakan perilaku menyimpang. Ada juga paham bahwa kekerasan itu

sudah melekat pada kemanusiaan, dan dipegang sebagai pengekang diri, self

restraint. Dalam studinya tentang penyebab kekerasan secara antropologis, James

W.Prescott menemukan kaitan antara kurangnya kasih sayang ibu-anak dan

represi seksual.

Kekerasan terhadap peserta didik,penyebab kekerasan terhadap peserta

didik bisa terjadi karena guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat

negatifnya. Guru mengira bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik.

Sebaliknya, mereka membenci dan tidak respek lagi padanya. Kekerasan dalam

pendidikan terjadi karena kurangnya kasih sayang guru. Guru memperlakukan

murid sebagai subyek, yang memiliki individual differences (Eko Indarwanto,

2004). Juga, karena kurang kompetensi kepala sekolah membimbing dan

mengevaluasi pendidik di sekolahnya.

Orangtua mesti ikut mengurangi dan mengatasi kekerasan di sekolah dalam

bentuk hukuman fisik, karena sekolah bukan gedung pengadilan. Komite Sekolah

mesti mengatasi dan meniadakan praktik kererasan, yang bertentangan dengan

tujuan pendidikan di sekolah, agar tidak muncul kelak guru yang kasar, tidak

menghormati orang lain, pemarah, pembenci dan sebagainya. Kekerasan bisa

terjadi karena pendidik dahulu pernah diperlakukan dengan keras.41

41
Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di keluarganya nanti,
sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak
1938, menemukan sejumlah perilaku negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah
dalam agresi, anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid untuk
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak menghentikan perilaku keliru
jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru Ad hoc Corporal Punishment Committee
(2003)
45

Akibat kekerasan hukuman fisik biasanya dijalankan oleh guru di bawah

kondisi tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Akibat langsung pada

pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik yaitu naiknya tekanan darah,

disusul dengan turunnya ketegangan emosi. Ini sebenarnya timbul dari

kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru akan berkata Sekarang aku sudah

merasa baik lagi. Situasi ini menuntut kendali diri pendidik demi kepentingan

jangka panjang peserta didik.

Murid itu, sebagai korban, kehilangan haknya atas pendidikan, dan

haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik dan mental yang tidak

manusiawi. Martabat mereka direndahkan. Pertumbuhan dan perkembangan diri

mereka dihambat.

Journal of Adolescent Health, 2003,mencatat kekerasan dalam pendidikan

sebagai The Promotion of the Wrong Message, yang membahayakan, karena

dipromosikan bahwa kekerasan boleh diterima dalam masyarakat. Promosi pesan

yang keliru itu (a) mendorong pendidik memakai kekerasan mengikuti teladan

para tokoh otoritas atau pengganti orangtua mereka yang memakai kekerasan itu;

(b) mendukung orangtua dan pendidik menerapkan kekerasan sebagaimana dulu

mereka alami. Bagi mereka kekerasan itu sah-sah saja, menurut

Greydanus,Donald E., et al.,2003.

Menurut Hyman,1976, hukuman fisik adalah bentuk resmi dari disiplin

yang diterapkan di lingkungan keluarga dan sekolah. Masih dipertanyakan orang

tentang efektivitas kekerasan untuk menghasilkan perubahan. Secara yuridis,

tindakan kekerasan diselesaikan secara hukum, litigasi atau non-litigasi. Menurut


46

pasal 1365 KUHPdt, Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian

kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan

kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal 1366 menetapkan bahwa

Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena

kelalaian, atau kurang hati-hatinya. Pasal 1367 menetapkan bahwa guru sekolah

bertanggung-jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid selama waktu

murid itu berada di bawah pengawasan mereka.

Jika mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah

perbuatan yang mesti mereka seharusnya bertanggungjawab. Dalam Hukum

Pidana, perbuatan kekerasan bisa digolongkan sebagai perbuatan pidana, umpama

kejahatan kesusilaan, penghinaan, penganiayaan. Dampak Psikologis Kekerasan

di Sekolah. Pengalaman masa lalu adalah salah satu tipologi psikologis dari

seorang anak, jadi pengalaman masa lalu yang pernah didapatkan seorang anak

baik kekerasan fisik, kekerasan mental, dan beberapa pengalaman pahit dialami

semasa kecil akan terus berdampak pada saat dewasa. Seperti dalam buku A Child

Caled It, Dave Pelzer mengungkapkan tentang bagaimana kondisi psikologis

dirinya merupakan pembentukan berdasarkan pengalaman psikologisnya di masa

kanak-kanak.

Dave menceritakan bagaimana kisah-kisah kekerasan yang dialaminya

semasa kecil telah membentuknya sebagai pribadi yang pincang. Kekeresan

selalu melahirkan kekerasan. Disadari atau tidak apa yang dilakukan dalam

pendidikan tradisional telah membentuk psikologi sosial masyarakat Indonesia

yang saat ini masih banyak dengan tindakan kekerasan dalam komunitas sekolah
47

seperti perilaku guru terhadap murid ataupun kakak kelas terhadap adik kelas

(senior dan junior).

Dampak yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme

dan apatisme dalam sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri

anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan

psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat ini yang

cenderung pasif dan takut berbicara dimuka kelas. Sedangkan dalam keluarga,

anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan

akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang

melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main atau ke orang lain.

Menghargai Perbedaan. Pertama, kekerasan mengajarkan kepada anak

didik tidak mampu menghargai perbedaan pendapat, harmonisasi kehidupan serta

kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum. Kekerasan yang dilakukan

dengan cara apapun akan menjauhkan anak didik dari cara-cara damai dan

demokratis dalam menyelesaikan permasalahan. Anak didik hanya mempunyai

referensi bahwa dalam menyelesaikan masalah hanyalah mempergunakan

kekerasan dan tidak melihat solusi alternatif. Kedua, tindak kekerasan dapat

menjadi pandangan buruk masa depan demokratisasi.

Ketika anak didik yang kelak menjadi pemimpin bangsa dihinggapi budaya

kekerasan kelak akan melakukan hal yang sama kepada rakyat untuk menutupi

perbedaan pendapat. Kekerasan dengan sendirinya menutup peluang

mengemukakan kritik yang membangun. Hal ini termasuk kategori teror karena

perbedaan pendapat selalu disikapi dengan budaya kekerasan. Teori

pembalajaran sosial (social learning theory) berdasar hipotesa bahwa agresi


48

bukanlah sifat dasar bawaan (innate) atau naluri/instink (instinctual) melainkan

hasil pembelajaran melalui proses sosialisasi.

Ada peran orang tua dan guru dalam pendidikan. Kurikulum apapun yang

mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah

efektif mencapai tujuannya apabila system hukuman fisik masih

diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Untuk itu ada solusi yang

akan ditawarkan. Yakni adanya reposisi orang tua dalam mendidik anak dalam

keluarga dan guru dalam mendidik murid di sekolah. Reposisi ini berupa

perubahan signifikan pada paradigma masyarakat yang masih sering

menggunakan hukuman fisik dalam mendidik.

Selain itu juga perubahan untuk mulai menempatkan guru ataupun orang

tua dalan posisi setara dengan pribadi seorang anak. Dengan membiarkan anak

melakukan ekspresi dan melakukan keunikan-keunikannya sendiri maka akan

membentuk mental yang bagus dan tidak apatis, keunikan anak di sini tidak harus

dipahami sebagai suatu kesalahan, melainkan suatu perkembangan anak itu

sendiri.

Kesadaran anak juga harus dibangun dengan sering mengajak berdialog

dan menciptakan komunikasi yang hangat, dan bukan memberikan perintah-

perintah dan larangan. Yang terpenting adalah membangun kepribadian untuk

sering berpendapat dan mendengarkan pendapat-pendapat mereka. Masa depan

suatu negeri ada ditangan anak-anak. Dan oleh karena itu peran orang tua dan

guru sangat besar dalam menciptakan kepribadian seorang anak.

Sangat mendesak untuk dibahas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh

oknum guru tersebut. Sebagai pendidik, seorang guru seharusnya dapat menjadi
49

contoh dan teladan yang baik bagi muridnya. Namun jika seorang guru

melakukan tindakan aroganisme terhadap muridnya sendiri apalagi peristiwa ini

terjadi dilingkungan sekolah dan disaksikan oleh para murid yang lain maka hal

ini sangat mencoreng citra pendidikan di Indonesia. Terlebih lagi pihak sekolah

seakan menutup-nutupi dan membenarkan kelakuan oknum tersebut. Pihak

sekolah berdalih bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru

tersebut adalah upaya mendisiplinkan siswanya. Jika pihak sekolah yang

seharusnya memberi sanksi terhadap kelakuan guru yang arogan namun ternyata

seakan tidak perduli maka pihak yang berwajib harus menindak tegas hal ini,

karena kelakuan guru tersebut telah mencoreng dunia pendidikan.

Semua persoalan dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, tidak

boleh diselesaikan dengan emosi ataupun tindak kekerasan. Kekerasan yang

dilakukan oleh guru dapat menyebabkan pengalaman traumatis, ketakutan,

dendam, atau mungkin phobia sekolah pada siswa. Seorang guru harus memberi

contoh yang baik bagi siswanya. Guru adalah orang tua siswa disekolah, maka

seharusnya selain mengajar, seorang guru juga dapat memberi rasa aman,

melindungi dan menyayangi muridnya. Undang-undang Perlindungan Anak No.

23, Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah

dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi

Indonesia merupakan salah satu penanda tanganan dari konvensi PBB untuk Hak-

hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin

bahwa: Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman

lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau

hukuman.
50

Meski demikian, tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami

oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Nur

Hidayati, dari penelitian lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi

Riau ditemukan bahwa hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang

dituju, dengan kisaran antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka

pernah mengalami hal ini dari guru-guru mereka secara rutin.

2.2.2 Para pelaku hukuman fisik terhadap anak-anak

Orang tua dan guru merasa mendapat wewenang dari agama dan budaya

budaya masyarakat Indonesia, khususnya dalam melaksanakan hukuman fisik.

Menurut tradisi Indonesia adalah suatu yang sangat wajar dan masih banyak para

orang tua atau para pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data

menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan

terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal

yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional

(Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April

2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89

kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah

itu 226 kasus terjadi di sekolah, ujar Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu

(3/5/2010).42

42
Jumlah kasus kekerasan pada anak di Indonesia terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak
mencatat, pada 2007 jumlah pelanggaran hak anak yang terpantau sebanyak 40.398.625 kasus. Jumlah itu melonjak drastis jika
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 13.447.921 kasus. Data tersebut berdasarkan laporan yang masuk
kelembaga tersebut, yang tersebar di 30 provinsi.Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi menjelaskan,
kasus pelanggaran hak anak meliputi kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perdagangan anak, dan penculikan.
51

Pemegang otoritas pendidikan menetapkan norma guna menata aksi warga

komunitas pendidikan agar kegiatan belajar-mengajar berlangsung tertib dan

tenteram. Sebagai pendukung norma itu, ditetapkan juga sanksi. Kalau aksi

mereka melanggar norma, maka sanksi diwujudkan menjadi hukuman kepada

pelaku aksi melanggar norma. Jika hukuman itu lebih besar, lebih berat daripada

sanksinya, atau tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, maka terjadilah

kekerasan.

Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan

pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik

sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat

pendidikan dan hak azasi anak.

2.2.3 Urgensi keberadaan hukuman fisik

Secara naluriah, orang tua merasa bertanggung jawab untuk mendisiplinkan

dan menghukum anak demi kebaikan si anak sekarang dan kelak. Itulah sebabnya,

keberadaan hukuman fisik masih penting dipertahankan. Bahkan, secara

tradisional pun, hukuman badan telah diterima sebagai salah satu metode sangat

efektif untuk mengendalikan dan mendisiplinkan anak. Hal ini didukung oleh

masyarakat yang percaya bahwa hukuman badan penting untuk mencegah

degradasi moral, baik dalam kalangan rumah tangga maupun masyarakat.

Di sekolah, hukuman badan masih sering digunakan. Banyak guru atau

para
52

pendidik berpendapat, ketakutan murid pada hukuman fisik akan menambah

kekuatan atau kewibawaan guru. Dengan demikian sang murid akan lebih mudah

dikendalikan. Namun, ini bukanlah satu-satunya cara untuk mengendalikan

murid atau anak. Ada banyak metode yang bisa dipilih untuk menumbuhkan

kepatuhan atau kedisiplinan. Namun, jika semua metode tersebut sudah tidak

mempan, hukuman badan bisa dijadikan jalan terakhir untuk menumbuhkan

kepatuhan.

2.2.4 Hukuman fisik(Iqab)43 dalam sejarah peradaban dunia

Hukuman fisik, telah menjadi peradaban dunia.Diskursus mengenai apakah perlu

anak dihukum atas kesalahan dan kelalaiannya atau tidak perlu dihukum telah

menjadi trend perdebadan antara pakar hukum dan pakar pendidikan .

Kecenderungan-kecenderungan pendidikan modern sekarang memandang tabu

43
Menurut Kamus Bahasa Indonesia karangan S.Wojowasito, hukuman berarti siksaan
atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa). Dalam bahasa Arab hukuman disebut dengan iqab
dan uqubah, yang pada dasarnya mempunyai pengertian yang sama. Abdul Qadir Audah
memberikan definisi hukuman sebagai berikut: Hukuman adalah pembalasan atas pelanggaran
perintah syara yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat. Dari definisi tersebut, dapat
kita kemukakan bahwa hukuman merupakan balasan yang setimpal atas perbuatan pelaku
kejahatan yang mengakibatkan orang lain menjadi korban akibat perbuatannya. Dalam ungkapan
lain, hukuman merupakan penimpaan derita dan kesengsaraan bagi pelaku kejahatan sebagai
balasan dari apa yang telah diperbuatnya kepada orang lain atau balasan yang diterima si pelaku
akibat pelanggaran (maksiat) perintah syara.

Uqubah atau sanksi hukuman dalam sistem hukum pidana Islam terbagi kepada tiga kategori
utama yaitu uqubah hudud, uqubah qisas dan diat dan uqubah tazir.

Uqubah hudud dan uqubah qisas serta diat adalah untuk menjaga tujuan-tujuan utama dari syara
(maqasid syariah). Uqubah al-riddah (orang-orang murtad) adalah untuk menjaga agama. Uqubah
qisas, diat dan sebagaian dari uqubah perompakan (uqubat had al-hirabah) adalah untuk menjaga
diri dan lainnya. Uqubah zina dan qazaf adalah untuk menjaga keturunan. Uqubah mencuri
(Uqubah al-sariqah) dan sebagian dari uqubah perompakan adalah untuk menjaga harta manakala
uqubah mabuk (uqubah al-Shurb) adalah untuk menjaga akal.
53

hukuman itu, memandang tidak layak disebut-sebut bahkan dikaitkan pula dengan

pelanggaran HAM dan masuk kategori kekerasan.

Karena itu, menurut Ahmad Tafsir, mengapa orang tidak mengambil teori

yang lebih positif? Bukankah Allah selalu mengampuni orang yang bersalah

apabila dia bertaubat pada-Nya? Allah juga lebih mendahlukan kasih-Nya dan

membelakangi murka-Nya. Dalam Qs. Ali Imran: 134 Allah memuji orang yang

sanggup menahan marah dan suka memberi maaf. Dan dalam satu hadist, Nabi

Muhammad saw. mengajarkan bahwa Allah menyenangi kelembutan dalam

semua persoalan menurut HR. Bukhari. Namun dalam tataran kenyataan, kita

akan mendapati anak yang melakukan pelanggaran, kemudian diperlakukan

dengan lembut tetapi masih juga membandel dan tetap melakukan pelanggaran-

pelanggaran?

Secara psikologis, sebagaimana diungkapkan Mohammad Asrori, manusia

diciptakan secara unik, berbeda satu sama lain, setiap individu pasti memiliki

karakteristik yang berbeda dengan individu lainnya. Asrori menyebutkan tujuh

perbedaan karakteristik individu di antaranya perbedaan karakteristik individual

pada nilai, moral dan sikap. Misalnya, ada anak yang bersikap taat pada norma,

tetapi ada yang begitu mudah dan enak saja melanggar norma; ada anak yang

perilakunya bermoral tinggi, tetapi ada yang perilakunya tak bermoral dan tak

senonoh; dan ada anak yang penuh sopan santun, tetapi ada yang perilaku maupun

tutur bahasanya seenaknya sendiri saja.44 Dalam hal ini Muhammad Quthub

mengemukakan : bila teladan tidak mampu, dan begitun juga nasihat, maka

44
Lihat Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran (Bandung, 2008), 37-38
54

waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakkan persoalan di

tempat yang benar. Tindakan tegas itu adalah hukuman.45 Meskipun bermacam-

macam jenis hukuman, tetapi manusia berbeda-beda dalam tingkatan penerimaan

dampaknya. Sebagian menerima dengan hanya dikritik, atau ditegur keras, atau

merasakan ketidak ridhaan dari gurunya, tetapi sebagian mereka tidak dapat

merespon kecuali dengan penderitaan badan yang menimpanya seperti hukuman

pukul. Ini menjadi indikator pentingnya mengenal macam-macam hukuman yang

tidak terbatas pada hukuman badaniah tetapi bermacam-macam tingkatan, dan

masing-masing merupakan konsekuensi dan akibat sesuai dengan perbedaan

karakter masing-masing individu peserta didik. 46

Dengan demikian dapat disepakati bahwa kesalahan yang dilakukan oleh

murid terkadang pantas mendapat hukuman. Namun jenis hukuman itulah yang

seharusnya disesuaikan dengan lingkungan sekolah sebagai sarana pendidikan dan

pembelajaran, bukan penghakiman. Berangkat dari pernyataan itu, perlu

diperjelas tentang pengertian hukuman, dasar, tujuan, macam, syarat, dan

tahapan-tahapannya. Menurut teori belajar (learning theory) yang banyak dianut

oleh para behaviorist, hukuman disebut dengan punishment lawannya adalah

reward (pemberian hadiah). Dalam buku Kamus Lengkap Psikologi,

punishment diartikan dengan :

45
Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 1993), 341

46
Khalid, Ushul Al Tarbiyah Al Islamiyah, 400
55

1. penderitaan atau siksaan rasa sakit, atau rasa tidak senang pada seorang subjek,

karena kegagalan dalam menyesuaikan diri terhadap serangkaian perbuatan yang

telah ditentukan terlebih dahulu dalam satu percobaan;

2. satu perangsang dengan valensi negatif, atau satu perangsang yang mampu

menimbulkan kesakitan atau ketidaksenangan;

3. pembebanan satu periode pengurungan atau penahanan pada seorang

pelanggar yang sah.47

Dalam buku-buku teori pendidikan Islam, kata untuk istilah hukuman adalah

dengan lafal iqab. Pengertian Iqab adalah menghukum seseorang dari

(kesalahan) yang ia perbuat secara setimpal. Kata bendanya adalah aluqubah.48

Hukuman diartikan sebagai salah satu tehnik yang diberikan bagi mereka yang

melanggar dan harus mengandung makna edukatif, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mdzakkir. 49

Sedangkan M. Arifin telah memberi pengertian hukuman yang edukatif adalah:

Pemberi rasa nestapa pada diri anak akibat dari kelalaian perbuatan atau tingkah

laku yang tak sesuai dengan tata nilai yang diberlakukan dalam lingkungan

hidupnya. 50

47
JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Kartini Kartono (Jakarta, 2006), hal. 410

48
Lisan Al Arab, I:619

49
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2006), h. 206
56

Dari beberapa pengertian di atas dapat kita ambil kesimpulan sementara

bahwa hukuman dalam pendidikan Islam adalah salah satu cara atau tindakan

yang dilakukan oleh seseorang atau pendidik kepada seseorang yang

menimbulkan dampak yang tidak baik (penderitaan atau perasaan tidak enak)

terhadap anak didiknya berupa denda atau sanksi yang ditimbulkan oleh tindakan

yang tidak sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan agar anak didik

menyadari kesalahan yang telah diperbuatnya dan tidak mengulanginya lagi serta

menjadikan anak itu baik sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

Terdapat perbedaan antara tarhib (ancaman) dengan iqab (hukuman).

Tarhib terjadi sebelum atau setelah kejadian perkara dengan tujuan menakut-

nakuti agar seseorang tidak terjerumus dalam kesalahan atau mengulang

kesalahannya, dan ini merupakan dari segi maknawi, sedangkan iqab terjadi

setelah menyalahi apa yang diingatkan, maka iqab terjadi sebenarnya pada orang

yang pantas menerimanya.51

2. Dasar Pemberian Hukuman dalam Pendidikan Islam

Pendidik muslim harus mendasarkan hukuman yang diberikannya pada ajaran

Islam, sesuai dengan firman Allah dan sunah Rasul-Nya.

Ayat al-Quran yang menunjukkan perintah menghukum, terdapat pada surat An-

Nisa ayat 34, yang artinya:

50
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoretis dan Praktis (Bumi Aksara:
Bandung, 2006), 175-176

51
Ushul Al Tarbiyyah Al Islamiyyah, hal. 401
57

Wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan

pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika

mereka mentaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan

mereka. (Q.S. An-Nisa: 34) 52

Islam mensyariatkan hukuman, dan membeberkan macam-macam

hukuman sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Hukuman membunuh adalah

dibunuh, hukuman mencuri adalah dipotong tangannya, hukuman bagi peminum

adalah dicambuk. Kita mendapati ketetapan bagi jenis-jenis pelanggaran ada

hukumannya masing-masing yang mesti dilaksanakan tanpa ragu dan belas

kasihan sebagaimana firman Allah swt. :

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap

seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada

keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman

kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka

disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. 53


Itulah syariat Islam

dalam hal hukuman termasuk dalam hal pendidikan sebagaimana dikatakan oleh

Al Qabasy bahwa hukuman itu menyeluruh pada semua individu termasuk di


54
dalamnya anak-anak. Anak didik apabila melakukan pelanggaran baik

menyangkut norma agama maupun masyarakat maka ia berhak mendapat

hukuman.

52
Depag, Al-Quran dan Terjemahannya
53
QS An Nur: 2

54
Ahmad Fuad, hal 143
58

3. Urgensi dan Tujuan Hukuman

Hukuman merupakan salah satu media dari pendidikan yang tidak mungkin

terpenuhi dengan satu metode saja, hal itu dikarenakan tabiat manusia berbeda

tingkatan dalam merespon pengaruh-pengaruh dan media-media pendidikan.

Sebagian ada yang dapat menerima dengan satu nasihat, atau dengan sekali

motivasi atau satu kali ancaman, atau dengan kejadian-kejadian dan pelajaran-

pelajaran yang subjek didik saksikan atau dengar. Dan sebagian tidak merespon

pelajaran-pelajaran tersebut dan ia tidak dapat mengambil manfaat darinya

kecuali dengan penderitaan yang mendera tubuhnya.55

Al Qabisy tidak membedakan antara hukuman untuk anak kecil dan orang

dewasa atau antara laki-laki dan perempuan karena mereka adalah pribadi-pribadi

walaupun berbeda dalam sifat dan umur. Seorang anak kecil, dikenakan padanya

hukuman kalau memang ia berhak untuk dihukum, bahkan pendidik dapat saja

mendapat hukuman apabila lalai dalam melaksanakan tugasnya. Seorang anak

yang membangkang berhak mendapat pendidikan dari orang tuanya, seorang

suami berhak mendidik istrinya sehingga dibolehkan baginya memukul. 56

Sedangkan tujuan hukuman menurut M. Arifin ada dua, yaitu:

55
ibid

56
Al Qabisy dalam Ahmad Fuad Ahwany, At Tarbiyah fi Al Islam, hal 141.
59

1. Membangkitkan perasaan tanggung jawab manusia didik. Hukuman di sini

merupakan ancaman terhadap rasa am an yang merupakan kebutuhan pokok anak

didik dalam belajar.

2.

3. Memperkuat atau memperlemah respon negative, namun penerapannya harus

didasarkan atas kondisi yang tepat, tidak asal memberikan hukuman

terhadap perilaku yang kurang sebanding dengan tujuan pokoknya.

Dari beberapa pendapat di atas dapat dipahami bahwa tujuan dari hukuman

dalam pendidikan Islam adalah untuk memperbaiki tabiat dan tingkah laku anak

didik untuk mendidik anak ke arah kebaikan sehingga tidak akan mengulangi

kesalahan yang sama dan bertanggungjawab atas kesalahannya. Ada bermacam

dan tahapan hukuman, seorang pendidik mesti paham macam-macam hukuman

yang sesuai dengan karakter peserta didik dan bertahap dalam penerapannya.

Macam-macam hukuman edukatif sebagai berikut :

1. menunjukkan ketidak setujuan

2. peringatan keras

3. diasingkan

4. skor

5. hukuman pukulan

1. Menunjukkan Ketidaksukaan

Peserta didik merasakan ketidak setujuan dari pendidiknya dengan

memperliahtkan perangai dan muka masam. Seorang pendidik tidak segera


60

memukul peserta didik apabila ia tidak mengindahkan nasihatnya, tetapi ia harus

menempuh jenis hukuman dengan memulai merasakan kepada peserta didik

ketidak sukaannya akan kelakuannya baik dengan perbuatan maupun perkataan.

Ketidaksukaan itu dapat ditunjukkan dengan muka masam, tidak memberikan

prioritas,

Hukuman ini akan berdampak efektif terhadap peserta didik apalagi kalau

pendidik adalah orang yang disukai. Oleh sebab itu, didapati sebagian anak atau

peserta didik cepat merasa bersalah kepada kedua orang tuanya atau gurunya

apabila mereka melihat ketidakridaannya.

2. Peringatan Keras

Tahapan kedua dari tahapan-tahapan hukuman edukatif adalah peringatan keras.

Pendidik harus mengingatkan muridnya dengan kritikan dan teguran keras dengan

tanpa mencela. Hukuman dengan jalan ini akan mengakibatkan hukuman moral

supaya seseorang menjaga kehormatannya di antara individu-individu

masyarakat. 57

Terjadi kesalahan dalam mendidik yaitu berlebihan dalam melaksanakan

sangsi moral ini sehingga menjadi ledekan dan celaan dengan lafal-lafal yang

kotor dan kalimat-kalimat yang tajam sehingga menyakiti perasaan peserta didik

dan membuat ia jadi benci gurunya, dan kadang-kadang diketahui darinya kata-

kata yang tidak layak diucapkan. Menurut Khalid bin Khalid, hukuman seperti

57
Ahmad Fuad Al Ahwany, Al Tarbiyah fi al Islam, hal. 131.
61

merupakan salah satu hukuman pendidikan yang efektif, apabila pendidik pandai-

pandai menggunakannya.58

3. diasingkan

Pengasingan maksudnya adalah melarang peserta didik dari apa yang ia sukai

tetapi tidak menimpakan madharat baginya. Ini termasuk tahapan yang seorang

pendidik tidak memulainya kecuali apabila hukuman yang sebelumnya tidak

berhasil.

Pada prakteknya, pelaksanaan hukuman ini beraneka macam kasusnya.

Misal tidak diijinkan baginya untuk bermain bersama teman-temannya, atau

dilarang pergi ke tempat yang ia sukai, atau melarang dia untuk membeli barang

sebagian barang-barang mewah. Hukuman ini dilaksanakan sewaktu-waktu,

bukan menjadi sifat yang terus menerus.

Meskipun kekuatan pengaruh cara seperti ini dapat terasa apabila

dilaksanakan terus-menerus, walaupun kelewatan batas, ia mempunyai dampak

sedikit terhadap akhlak peserta didik, kadang-kadang memberikan efek perubahan

akhlak dari segi peredaman apa yang dilarang darinya. Sebagaimana cara yang

lain, cara ini pula tidak dilaksanakan kecuali cara sebelumnya telah ditempuh dan

dilakukan secara pleksibel.

4. Skor (Al Hijr)

58
Khalid, Ushul Al Tarbiyah Al Islamiyah, hal. 403
62

Al Hijr adalah kebalikan dari al wasl (berhubung) 59, yaitu memisahkan seseorang

berbicara dengan yang lainnya apabila mereka bertemu. 60 Tujuan dari cara ini

adalah membawa seseorang yang diasingkan (skor) untuk meninggalkan hal yang

menyalahi aturan yang telah ditentukan apabila ingin menempuh pengobatan

dengan cara seperti ini. Pengasingan dapat dijadikan metode pendidikan

sebagaimana terjadi pada suami terhadap istrinya, bapak terhadap anaknya, dan

guru terhadap muridnya, dan sebagainya.

5. Hukuman pukulan

Memukul adalah kata yang dikenal untuk merasakan sakit atas jasad orang

yang dipukul baik dengan tongkat, atau dijewer. Hukuman dengan memukul

dilakukan pada tahap terakhir setelah nasehat dan meninggalkannya. Ini

menunjukkan bahwa pendidik tidak boleh menggunakan yang lebih keras jika

yang lebih ringan sudah bermanfaat. Sebab, pukulan adalah hukuman yang paling

berat, karena itu tidak boleh menggunakannya kecuali jika dengan jalan lain

sudah tidak bisa.

Pendidikan Islam telah menetapkan hukuman seperti ini dalam objek

yang berbeda-beda, seperti kasus istri yang nusuz, menyuruh membiasakan anak

untuk shalat, dan dalam sebagian hukum pidana (hudud) dan taziiraat. Contoh

mendidik istri adalah sebagaimana Firman Allah swt. :

59
Ibnu Mandzur, Lisan Al Arab, juz 5: 250

60
Ibnu Hajar, Fath al Baary, 10: 492
63

wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan

pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika

mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk

menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.61

Dalam mendidik anak untuk shalat, Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk :

Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah

mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun

maka pukullah dia apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam

tempat tidurnya. 62

Ibnu Umar pernah memukul anaknya hanya karena salah mengirab. 63


Imam

Ahmad menyatakan: Seorang anak (boleh) dipukul kalau berhubungan dengan

masalah akhlak.64

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, tidaklah salah memukul anak

kalau demi pendidikan. Dan harus dibedakan antara kekerasan dengan

pendidikan. Memukul demi pendidikan, menurut Khalid bin Hamid al Hazimy

mempunyai kaidah-kaidah batasan sebagai berikut :

1) Memukul tidak boleh dalam keadaan marah, karena dengan keadaan seperti

ini akan membuat pendidik melampaui batas.

61
An Nisa: 34

62
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, (CD kitab Sembilan Imam), no. 418
63
Bukhori, Al Adab Al Mufrod, no. 883, hal. 295

64
Ibnu Muflih, Al Adab Al Syariyyah, no. 1451
64

2) Pukulan tidak boleh melukai, tidak boleh sampai mematahkan tulang, dan

tidak boleh di tempat yang berbahaya seperti dada. Imam Ahmad ditanya

mengenai seorang guru memukul muridnya? ia menjawab, hukuman tergantung

kesalahannya, dan berhati-hatilah dalam memukul.65

3) Alat memukul tidak boleh yang keras sehingga dapat mematahkan tulang

dan tidak boleh juga yang tajam sehingga akan melukai tubuh, tetapi antara

keduanya.

4) Tidak boleh memukul kepada anak kecil yang belum baligh.

5) Tidak lebih dari sepuluh pukulan, berdasarkan sabda Rasul saw. :

Dari Abu Burdah, mengatakan; Nabi Shallallahualaihi wasallam bersabda: Tak

boleh menjilid( memukul) melebihi sepuluh kali selain dalam hukuman had

(yang) Allah (tetapkan).66

Berdasarkan hadits di atas, hukuman tidak boleh lebih dari sepuluh kali

bagi pelanggaran yang tidak berkaitan dengan maksiat, seperti dalam hal

mendidik anak.67

65
ibid. no. 451
66
Bukhori, Shahih Bukhori, no. 6342
65

6) Tidak boleh memukul pada tempat-tempat yang mematikan.

Syarat Penggunaan Hukuman Pukulan dalam Pendidikan Islam

Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan persyaratan memberikan pukulan. 68

a) Pendidik tidak terburu-buru.

b) Pendidik tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.

c) Menghindari anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.

d) Tidak terlalu keras dan tidak menyakiti.

e) Tidak memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.69

f) Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi

kesempatan untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi

kesalahannya itu.

g) Pendidik menggunakan tangannya sendiri.

h) Jika anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak

juga jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi

baik kembali.

67
Ibnu Hajar, Fath al Bary, (Beirut, 1994), juz 12, hal 178

68
Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri (Jakarta,
1994), hal. 325-327

69
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin ?. (QS. Al Maidah: 50)
66

Dari beberapa pendapat di atas, kita dapat melihat bahwa para tokoh

pendidikan saling melengkapi dalam mengemukakan syarat hukuman dalam

pendidikan Islam sehingga yang penting dalam memberikan hukuman pada anak

didik adalah bertahap dan dapat menimbulkan perasaan menyesali atas kesalahan

yang diperbuatnya dan tidak mengulanginya.

Sekedar tambahan, menurut Ibnu Jamaah -dalam an-Nadzariyyat at-

Tarbawiyyat al-Islamiyyah karya Majid Irsan al-Kailany- pada prinsipnya

pelaksanaan hukuman (al-iqob)sah-sah saja dilakukan dengan tahapan:

1. peserta didik diingatkan/ditegur secara langsung dengan bahasa yang halus

secara empat mata (tidak didepan banyak orang)

2. apabila belum berubah, maka boleh ditegur dengan bahasa halus di hadapan

banyak orang

3. apabila masih belum berubah, maka boleh ditegur dengan bahasa yang keras

tapi tetap memperhatikan sikon

4. apabila masih membandel maka peserta didik boleh dikeluarkan/diusir.

(supaya tidak menulari orang lain). jadi dalam perspektif Ibn Jamaah hukuman

dilakukan secara bertahap dari yang halus sampai diusir, tetapi tanpa hukuman

fisik (pukulan).

akan tetapi Ibn Jamaah juga menekankan harus adanya keadilan dari sang

pendidik. maksudnya jika suatu saat pendidik harus memberikan hukuman (al-

iqob) kepada peserta didik yang melakukan pelanggaran, maka sang pendidik

pun wajib memberikan penghargaan (al-Tsawab)kepada pesrta didik yang

berprestasi (peserta didik yang menunjukkan perkembangan positif dalam proses

pembelajaran. Bisa berakibat buruk terhadap hukuman yang diterima, si anak


67

bakal memberikan reaksi aktif atau pasif. Rekasi aktif dapat dilihat saat hukuman

berlangsung. Umpamanya, berteriak, mengentak-entakkan kaki,. Sedangkan

reaksi pasif pada umumnya tidak ditunjukkan di depan orang tuanya. Contohnya,

menyalurkan kemarahan kepada adiknya atau pembantu rumah tangganya.

Sebenarnya secara psikologis, manusia mempunyai kapasitas dan

kemampuan

untuk berbuat baik atau buruk. Hukuman badan mungkin akan mendukung

perbaikan perilaku buruk mereka. Jika digunakan secara tepat, hukuman badan

akan menjadi cara paling tepat untuk menurunkan atau mengurangi kelakuan

yang tidak bisa diterima.

Contohnya, acap kali orang tua memberikan hukuman badan bila anak tidak mau

melakukan aktivitas tertentu macam membuat PR atau melakukan latihan-latihan

lain. Dalam kasus ini, hukuman badan dapat merusak keinginan atau motivasi

anak untuk mengerjakan aktivitas tersebut. Sehingga aktivitas berikutnya

dilakukan karena paksaan atau rasa takut, bukan karena keinginannya sendiri, dan

dilaksanakan semata-mata hanya untuk menghindari hukuman. Pekerjaan yang

demikian akan dirasakan anak tidak nikmat.

Hukuman fisik, menurut Neil A.S. Summerheil asal AS dalam bukunya

Radical Approach to Children Rearing, merupakan suatu usaha untuk

memaksakan kehendak. Walaupun tujuan utamanya untuk menegakkan disiplin

anak, tindakan ini dapat berakibat sebaliknya. Anak menjadi frustrasi.

Selanjutnya, anak hanya merespons pada tujuan hukuman itu sendiri. Banyak
68

anak merasa bahwa menerima hukuman badan tidak terhindarkan, sehingga

mereka menjadi resisten (kebal) terhadap hukuman tersebut. Hukuman badan

tidak membuat mereka melaksanakan suatu aktivitas dengan baik.

Sebaliknya,anak akan cenderung membiarkan dirinya dihukum daripada

melakukannya. James Dobson asal Illinois, AS, dalam bukunya Dare to Dicipline

menekankan, hukuman badan tidak akan mencegah atau menghentikan anak

melakukan tindakan yang salah. Ganjaran fisik ini justru bisa berakibat buruk.

Bahkan, dapat mendorong anak untuk meneruskan dan meningkatkan tingkah

lakunya yang salah. Riset ahli lain, Leonard D. Eron, menunjukkan hukuman

fisik dikhawatirkan malah mendorong anak untuk bertingkah laku agresif.

Celakanya, orang tua sering kali malah bereaksi terhadap agresivitas ini dengan

menggunakan cara yang salah, misalnya dengan

meningkatkan intensitas serta frekuensi hukuman badan. Tidak heran kalau anak

kemudian malah meniru tingkah laku agresif orang tua atau orang dewasa yang

menghukumnya. Di sini secara tidak sadar orang tua telah mengajarkan anak

untuk berperilaku agresif.

Di antara para ahli, menyaarankan, agar orang tua menggunakan hukuman

variatif. Hukuman badan secara fisiologis dan psikologis memiliki dampak jangka

pendek dan panjang. Efek fisik jangka pendek misalnya luka memar, bengkak.

Sedangkan dampak fisik jangka panjang misalnya cacat seumur hidup. Efek

psikologis jangka pendek, misalnya merasa marah, sakit hati, jengkel untuk

sementara waktu. Dampak ini tentu lebih ringan dibandingkan dengan efek

psikologis jangka panjang, seperti merasa dendam yang mungkin sampai

bertahun-tahun. Bahkan, Philip Greven dalam bukunya Spare the Child: The
69

Religious Roots of Punishment and the Psychological Impact of PhysicalAbuse,

menyatakan, efek psikis jangka panjang itu termasuk disasosiasi bermacam

bentuk seperti represi atau amnesia, pikiran terbelah serta kekurangpekaan

perasaan.

Hukuman yang muncul karena orang tua khawatir kehilangan kewibawaan,

bukan upaya untuk menunjukkan kasih sayang atau melatih anak agar disiplin

pada aturan, akan menimbulkan reaksi negatif. Menurut Neil, anak akan merasa

hukuman sebagai lambang kebencian orang tua kepada mereka. "Tidak heran

kalau kemudian anak bereaksi negatif," tegasnya.

Arnold Buss seorang psikolog dalam bukunya Man in Perspective

mengingatkan, bila hukuman diberikan terlalu sering dan anak merasakan hal

ini tidak dapat dihindarkan, anak akan membentuk rasa ketidakberdayaan

(sense of helplesness). Anak tidak belajar apa pun dari hukuman tersebut,

tetapi cenderung menerimanya tanpa merasa bersalah. Konsekuensinya,

menurut ahli dari Kanada ini, hukuman tidak mempunyai arti apa-apa bagi

mereka. Rasa tidak berdaya ini dapat dikurangi dengan menggunakan hukuman

yang variatif, tidak monoton.

Kondisi bertambah parah apabila anak mempunyai pandangan negatif

terhadap dirinya sendiri sehingga anak tidak dapat memisahkan antara perilaku

dengan kepribadian mereka yang sebenarnya. Mereka lalu menganggap dirinya

memang bukan anak yang baik, tidak lagi memandang bahwa kelakuan
70

merekayang salah. Akibatnya, anak akan merasa rendah diri. Bila rasa tidak

berdaya terhadap rasa rendah diri ini terbentuk, maka anak akan terus memandang

diri mereka sebagai anak yang tidak baik. Akibatnya, mereka akan terus

berperilaku buruk. Mereka pikir memang begitulah orang lain memandang

dirinya. Dalam kasus ini kemungkinan untuk memperbaiki keadaan

itu sangat sulit.

Bagaimana jika, pendidikan tanpa hukuman badan? Menurut Debby

Campbell, seorang pendidik asal Ottawa, Kanada, dalam bukunya About Dicipline

and Punishment, efektivitas hukuman badan lebih tergantung pada metodenya

ketimbang frekuensinya. Setiap kali menerima hukuman, memang anak akan jera

untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun setelah menerima hukuman, pada

umumnya anak akan berusaha menarik perhatian orang tuanya untuk

memperlihatkan penyesalan mereka atas perbuatan buruknya. Setelah situasi

emosional berakhir, sering kali anak ingin berada dalam pelukan orang tuanya.

"Saat ini orang tua harus menyambut dengan pelukan hangat, penuh kasih sayang.

Di sini pembicaraan dari hati ke hati antara anak dan orang tua perlu dilakukan,"

tambah Dobson. Di sinilah hukuman berdampak positif karena dapat

meningkatkan perasaan cinta kasih antara anak dan orang tua.

Sebenarnya ada berbagai cara untuk mendidik anak agar mereka menaati

suatu aturan atau melaksanakan suatu aktivitas. Tidak perlu harus dengan

hukuman badan. Sekali lagi, hukuman badan harus dipandang sebagai jalan

terakhir.

Jalan terbaik antara lain dengan memberikan teladan yang baik. Dengan
71

demikian si anak akan mempelajari tentang apa yang boleh dan tidak boleh

mereka perbuat. Metode non-hukuman badan bentuk lain adalah metode time

out dengan mengisolasi si anak dalam ruangan kurang nyaman baginya selama

beberapa menit, atau anak diminta mengerjakan sesuatu yang kurang

menyenangkan baginya, misalnya membersihkan kamar mandi, menyapu,

dilarang menonton TV seharian. Namun hendaknya anak diberi peringatan

sebelum hukuman dilaksanakan.

Sebuah penelitian di India, menyatakan,seorang siswa kelas VIII

dilaporkan kehilangan pandangan matanya setelah diduga dipukuli oleh guru

sekolahnya. The incident took place on 21Ist August 2010 at 'Kharagpur' in 'west

Midnapur' (India). Insiden itu terjadi pada Agustus 2010 21Ist di 'Kharagpur' di

'barat Midnapur' (India). Akash Banerjee a class VIII th student of

1. Hijli High school was beaten up badly by his teacher because he disobeyed

his teacher who asked him to stand on the playground holding his ears. Akash

Banerjee kelas VIII th siswa "sekolah tinggi Hijli" dipukuli buruk oleh gurunya

karena ia tidak taat gurunya yang memintanya untuk berdiri di taman bermain

memegang telinganya.

2.The incident occurred during the second period when science teacher 'Amitava

Midhya' asked 3 questions to Akash , but Akash failed to answer one of the three

questions and that's why the teacher asked him to stand on the playground holding

his ears. Insiden ini terjadi selama periode kedua ketika ilmu pengetahuan guru

Amitava Midhya 'meminta 3 pertanyaan untuk Akash, tapi Akash gagal


72

menjawab salah satu dari tiga pertanyaan dan itulah sebabnya guru memintanya

untuk berdiri di taman bermain memegang telinganya.

3.According to one of his classmates, Akash requested his teacher not to send him

to field and instead of that he was ready to stand inside the classroom. Menurut

salah satu teman-teman sekelasnya, Akash meminta gurunya untuk tidak

mengirimnya ke lapangan dan bukan bahwa ia siap untuk berdiri di dalam kelas.

4.But the teacher was not ready to listen Akash and out of anger started beating

him. Tetapi guru tidak siap untuk mendengarkan Akash dan keluar dari

kemarahan mulai memukulinya.

5. He thrashed Akash for about 10 minutes. Dia meronta-ronta Akash selama

sekitar 10 menit.

6. Akash found his eyes red and swollen when he reached home and was unable

to bear the pain. Akash menemukan matanya merah dan bengkak ketika ia sampai

di rumah dan tidak bisa menahan rasa sakit.

7. He then told his parents about the incident. Dia kemudian mengatakan kepada

orang tuanya tentang insiden tersebut. His father Tapas took him to a hospital

where it was revealed that he had sustained serious injuries in both of his eyes.

Tapas Ayahnya membawanya ke rumah sakit di mana ia mengungkapkan bahwa

ia mengalami luka serius di kedua matanya.

8. Tapas informed the incident to the school headmaster and lodged a complaint

with the 'Kharagpur' police on 30 th August 2010. Tapas menginformasi kejadian


73

tersebut ke kepala sekolah dan mengajukan pengaduan dengan polisi Kharagpur

'pada 30 Agustus 2010. The school headmaster has set up a five member committee

to enquire into the matter. Para kepala sekolah telah mendirikan lima anggota

komite untuk menyelidiki masalah ini.

9. The supreme court of India in 2001 has banned corporal punishment in schools

but the practice is still rampant. Pengadilan tertinggi di India pada tahun 2001

telah melarang hukuman fisik di sekolah tapi praktek ini masih merajalela.

Corporal punishment has become a common feature in Indian schools. Hukuman

fisik telah menjadi fitur umum di sekolah-sekolah India.

10 . Many painful stories of corporal punishment have been reported from various

schools in India in the recent years. Banyak cerita menyakitkan hukuman fisik

telah dilaporkan dari berbagai sekolah di India dalam beberapa tahun terakhir. A

similar incident took place recently in the 'La Martiniere school for boys' in

Kolkata , where a class VIII student 'Rouvanjit' committed suicide after he was

caned by the principal and hauled up again after an incident involving bursting of

crackers. Kejadian serupa terjadi baru-baru ini di 'sekolah untuk anak laki-laki La

Martiniere' di Kolkata, di mana 'Rouvanjit' bunuh diri kelas VIII mahasiswa

setelah ia dicambuk oleh kepala sekolah dan mengangkat lagi setelah insiden

yang melibatkan meledak kerupuk.

According to Wikipedia School corporal punishment covers official

punishments of school students for misbehavior that involve striking the student a

given number of times in a generally methodical and premeditated ceremony.


74

Menurut "Wikipedia" - "Sekolah hukuman fisik mencakup hukuman resmi

siswa sekolah untuk perilaku yang melibatkan mencolok siswa sejumlah tertentu

kali dalam umumnya metodis dan direncanakan upacara.

1.The punishment is usually administered either across the buttocks or on the

hands, with an implement specially kept for the purpose such as a rattan cane ,

wooden paddle , or leather strap . Hukuman biasanya diberikan baik di bokong

atau di tangan, dengan menerapkan khusus disimpan untuk tujuan seperti rotan-

rotan , kayu dayung , atau kulit tali .

2. Less commonly, it could also include spanking or smacking the student in a

deliberate manner on a specific part of the body with the open hand, especially at

the elementary school level. Kurang umum, bisa juga termasuk memukul atau

memukul siswa dengan cara yang disengaja pada bagian tertentu dari tubuh

dengan tangan terbuka, terutama di tingkat sekolah dasar . "

Thus in short corporal punishment means any form of physical punishments. Jadi

dalam hukuman fisik yang pendek berarti setiap bentuk hukuman fisik.

Corporal punishment is very destructive in nature. Hukuman fisik sangat

merusak di alam. Such kind of punishment can physically impair a student for his

whole life. Semacam hukuman fisik dapat mengganggu siswa selama seluruh

hidupnya. It may also affect psychologically and disturb the mental balance of

student. Hal ini juga dapat mempengaruhi psikologis dan mengganggu

keseimbangan mental siswa. The practice of corporal punishment can be traced

back to the medieval periods. Praktek hukuman fisik dapat ditelusuri kembali ke
75

periode abad pertengahan. Corporal punishment is in fact another form of

physical violence and does not deserve a place in this modern and civilized

society. Hukuman fisik sebenarnya bentuk lain dari kekerasan fisik dan tidak

layak mendapatkan tempat di masyarakat modern dan beradab.

In India there is still no national law which deals with corporal punishment. Di

India masih belum ada hokum nasional yang berkaitan dengan hukuman fisik.

The National policy on education just mentions that corporal punishment is not

permissible. Kebijakan Nasional tentang pendidikan hanya menyebutkan bahwa

hukuman fisik tidak diperbolehkan. Section 17 of the Right to education Act

states that no child shall be subjected to physical punishment and mental

harassment. Pasal 17 Hak untuk pendidikan menyatakan UU bahwa "tidak ada

anak akan dikenakan hukuman fisik dan pelecehan mental". However the

Ministry of HRD on 16 th June 2010 has decided to frame new comprehensive

guidelines on what constitutes corporal punishment. Namun Departemen HRD

pada 16 Juni 2010 telah memutuskan untuk bingkai pedoman baru tentang apa

yang merupakan hukuman fisik.

The guidelines will examine the means to take penal action against such

schools and will also provide for compensation to affected students. Pedoman

akan memeriksa sarana untuk mengambil tindakan pidana terhadap sekolah

tersebut dan juga akan memberikan kompensasi kepada siswa terpengaruh.

Presently the incidents of corporal punishment can also be charged under sections

of 'hurt' and 'grievous hurt' of Indian penal code. Saat insiden hukuman fisik juga

dapat diisi di bawah bagian 'terluka' dan 'luka berat' kode pidana India.
76

The practice of corporal punishment has recently been banned in most of

the European countries and also in Canada, Japan, South Africa, New Zealand

and many other countries. Praktek hukuman fisik baru-baru ini telah dilarang di

sebagian besar negara-negara Eropa dan juga di Kanada, Jepang, Afrika Selatan,

Selandia Baru dan banyak negara lain. However in some Asian and African

countries corporal punishment has been theoretically banned but is still used in

practice. Namun di beberapa negara Asia dan Afrika hukuman badan telah secara

teoritis dilarang tetapi masih digunakan dalam praktek.

In spite of all these legal transformation towards banning of corporal

punishment, there are still supporters of corporal punishment. Terlepas dari semua

transformasi hukum terhadap pelarangan hukuman fisik, masih ada pendukung

hukuman fisik. They argue that the alternative disciplinary punishments are time

consuming and also sometimes debar the student from attending classes which is

an academic loss. Mereka berpendapat bahwa hukuman disiplin alternatif yang

memakan waktu dan juga kadang-kadang menghalangi siswa dari menghadiri

kelas yang merupakan kerugian akademis. But the current public opinion seems to

be against the practice corporal punishment. Tapi opini publik saat ini tampaknya

menjadi terhadap hukuman fisik praktek. A fear free and dignified environment

will certainly ensure the students to learn perfectly and this is possible if corporal

punishment in schools is totally abolished. Lingkungan takut bebas dan

bermartabat tentu akan menjamin siswa untuk belajar dengan sempurna dan hal

ini mungkin jika hukuman fisik di sekolah benar-benar dihapuskan.70

70 http://www.indokado.com/ http://www.balita-anda.com
77

2.2.5 Hukuman fisik dalam konteks Indonesia

Di tengah budaya masyarakat Indonesia yang menjujunjung tinggi

disiplin, hukuman fisik dianggap suatu yang sangat wajar dan masih banyak para

orang tua atau para pendidik yang memberikan hukuman fisik. Suatu data

menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan

terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal

yang sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional

(Komnas) Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April

2007 terdapat 417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89

kasus, kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah

itu 226 kasus terjadi di sekolah, ujar Seto Mulyadi dalam diskusi di Jakarta, Rabu

(3/5 2011).

Pemegang otoritas pendidikan menetapkan suatu norma guna menata aksi

warga komunitas pendidikan agar kegiatan belajar-mengajar berlangsung tertib

dan tenteram. Sebagai pendukung norma itu, ditetapkan juga sanksi. Kalau aksi

mereka melanggar norma, maka sanksi diwujudkan menjadi hukuman kepada

pelaku aksi melanggar norma. Jika hukuman itu lebih besar, lebih berat daripada

sanksinya, atau tidak sesuai dengan hakikat pendidikan, maka terjadilah

kekerasan.Ada kesenjangan antara kepentingan peserta didik dengan kepentingan

pendidik. Timbul masalah. Hukuman yang dijalankan kepada peserta didik

sebagai kewajiban guru mempertahankan disiplin bertentangan dengan hakikat

pendidikan dan hak azasi anak.


78

"pendidikan harus menanamkan tanggung jawab, kehormatan, tetapi tanpa

menjadi beo atau bebek; anak harus dipimpin supaya berdiri sendiri."71 Seorang

teman menceritakan pengalaman traumatisnya semasa kecil sampai remaja, yang

menjadi bagian tak terlupakan dalam sejarah hidupnya. Dia anak seorang guru

teladan yang menerapkan sistem hukuman fisik dalam mendidik anak-anaknya di

rumah. Karena sebagian besar anak di keluarganya laki-laki, perilaku orangtuanya

semakin terwajarkan secara jender.

Dipukuli dan dibentak adalah makanan kami sehari-hari sejak umur lima

tahun, bahkan sampai remaja lima belas tahun." Begitu ceritanya. Matanya yang

marah seketika berubah menjadi berair mata saat dia mencoba menceritakan satu

per satu kisah hidupnya. Sekali lagi, yang terungkap dari ceritanya ialah mengenai

kekerasan terhadap anak dan remaja yang masih terekam sempurna dalam memori

seseorang yang telah dewasa.

Di tengah budaya masyarakat tradisional Indonesia, hukuman fisik dianggap

mujarab dalam mengarahkan tingkah laku anak yang tidak sesuai dengan etika

kebiasaan masyarakatnya. Dalam pengamatan penulis, sejarah pendidikan

kolonial ikut pula terlibat dalam membangun pola pendidikan tradisional yang

melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu tindakan yang menyakiti secara

fisik, dengan tujuan untuk menekan perilaku negatif seorang anak. Melalui itu

dipercaya bahwa perilaku positif anak saja yang akan terbentuk.

71
"Karya Lengkap" Driyarkara, 2006 : 422
79

Di Indonesia bagian timur, tipologi pendidikan warisan Belanda semacam

ini bahkan masih aktif digunakan secara terbuka di tengah masyarakat. Di Papua

bagian timur, ada aksi massal guru menghukum siswanyaberjumlah lebih

kurang 20dengan kayu rotan, yang dipukulkan secara bergilir di bagian

punggung siswa. Sebuah pemandangan biasa di sekolah "orang timur".

Dari mana akar kekerasan? Menurut terminologi pemahaman budaya Jawa,

guru (baca: pendidik) diartikan sebagai sosok yang wajib digugu (dipatuhi).

Melalui pemahaman inilah masyarakat menempatkan para guru atau pendidik

sebagai sosok yang secara transedental memiliki kewibawaan yang berbeda

dengan golongan masyarakat lainnya. Mirip dengan guru, posisi orangtua atau

yang dituakan, seperti golongan ningrat dan pejabat pemerintahan, juga memiliki

bentuk legitimasi kekuasaan yang sama. Sebuah legitimasi untuk menerapkan

penghakiman dan distribusi sanksi sepihak tanpa proses yang demokratis. Sangat

tampaklah sebuah proses pemberian hak khusus kepada segolongan masyarakat

tertentu (guru, orangtua, atau yang dituakan) dalam proses pendidikan seorang

anak. Driyarkara menyebutnya sebagai kecenderungan pendidikan yang stato-

sentris, di mana guru dijadikan sebagai pengontrol (controleur). Apa yang

dilakukan anak hanya akan menjadi benar bilamana sesuai dengan yang

diharapkan orang yang lebih dewasa. Anak belum memiliki cukup hak untuk

berekspresi karena ekspresi akan dimaknai sebagai sebuah penyangkalan atau

pemberontakan yang sifatnya merusak kelestarian nilai-nilai adiluhung.

Berpangkal dari pemikiran Erich Fromm yang menuding "ketakutan"

sebagai akar dari "kekerasan", bolehlah dikatakan bahwa akar kekerasan dalam
80

pendidikan ialah ketakutan yang muncul dari dalam diri seorang pendidik ketika

secara eksistensial berhadapan dengan anak didiknya. Ada sebuah ketakutan akan

perubahan sistem nilai yang telah terlestarikan. Ada pula ketakutan akan

tergoyahnya apa yang dinamakan sebagai sebuah hegemoni kewibawaan dalam

golongan masyarakat tertentu (guru, orangtua, dan yang dituakan) sebagai

manifestasi masyarakat dewasa.

Adakah disorientasi psikologis anak? Ternyata tipologi psikologis

seseorang sangatlah dipengaruhi oleh pembentukan diri orang tersebut di masa

lalunya. Pengalaman masa lalu akan terus bertransformasi dengan pengalaman

baru, dan secara imparsial akan membangun sifat-sifat khusus manusia.

Dalam bukunya A Child Called It, Dave Pelzer mengungkapkan tentang

bagaimana kondisi psikologis dirinya merupakan bentukan berdasarkan

pengalaman pahit psikologisnya di masa kanak-kanak. Dave menceritakan

bagaimana kisah-kisah kekerasan yang dialaminya semasa kecil telah

membentuknya sebagai pribadi yang "pincang".

Kekerasan selalu "melahirkan kekerasan". Disadari atau tidak, apa yang

telah dilakukan oleh sistem pendidikan tradisional telah membentuk psikologi

sosial masyarakat Indonesia yang saat ini sarat dengan kekerasan. Masyarakat

Indonesia saat ini tentu sangat terbiasa dengan pola kekerasan bersampul

pendidikan yang terimplementasikan melalui hukuman atau sanksi fisik, baik

dalam komunitas sekolah, keluarga, maupun masyarakat tertentu.


81

Selain itu, kekerasan dan dominasi akan melahirkan pesimisme dan

apatisme dalam sebuah generasi. Tindakan dan inisiatif yang tidak sesuai

paradigma lama akan dituding sebagai faktor perusak harmonisme masyarakat;

yang merusak akan dihukum. Selanjutnya, terjadilah sebuah proses ketakutan

dalam diri anak untuk menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif.

Kepincangan psikologis ini dapat dilihat pada gambaran anak-anak sekolah saat

ini yang cenderung pasif dan takut berbicara di muka kelas.

Kemungkinan perlu reposisi orangtua dan guru, sebab kurikulum apa pun

yang mencoba membangun generasi yang proaktif dan optimis tidak akan pernah

efektif mencapai tujuannya apabila sistem hukuman fisik masih juga

diimplementasikan dalam dunia pendidikan sekolah. Dalam wacana ini, penulis

menawarkan solusi berupa reposisi orangtua dan guru dalam dunia pendidikan

anak. Reposisi ini berupa perubahan signifikan pada paradigma masyarakat untuk

mulai menempatkan guru ataupun orang tua dalam posisi yang setara dengan

pribadi seorang anak.

Guru dan orangtua hendaknya menempatkan anak sebagai manusia yang

memiliki keunikan-keunikan khusus. Keunikan anak tidak seharusnya dipahami

sebagai sebuah kesalahan, melainkan aset bagi perkembangan anak itu sendiri.

Kesadaran anak dibangun melalui komunikasi dialogis yang hangat, bukan

melalui perintah-perintah dan larangan. Bukan sikap dan perilaku anak yang harus

diubah, tetapi bagaimana sikap dan perilaku tersebut akan lahir berdasarkan

kesadaran anak itu sendiri. Dalam hal ini, anak diberi kesempatan untuk terus

bertanya dan mengevaluasi secara kritis segala macam kebenaran etika atau
82

keyakinan masa kini. Hanya melalui generasi yang kritislah etika-etika

kontekstual dan yang peka pada zamannya yang akan lahir.

Masa depan negara ada di tangan anak- anak sekarang. Bagaimanakah

bentuk masa depan nantinya akan sangat bergantung pada bagaimana kita

memperlakukan anak- anak kita saat ini. Sudah saatnya kekerasan harus

dinihilkan dalam dunia anak-anak kita bilamana kita mengharapkan sebuah

imagined society seperti yang pernah dikatakan Benedict G Anderson.72

Yohanes Sanaha Purba Peneliti Pendidikan Multikultural Komunitas

English Clinic, Yogya. Di tengah budaya masyarakat Indonesia, hukuman fisik

adalah suatu yang sangat wajar dan masih banyak para orang tua atau para

pendidik yang dalam memberikan hukuman fisik.

Seorang teman yang menceritakan pengalaman traumatisnya, dari

pengalamannya seorang teman yang pernah mendapatkan hukuman fisik, pada

suatu hari saat guru mengajarkan suatu pelajaran tertentu, sang murid disuruh

maju kedepan untuk mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. Setelah

mengerjakan soal dan diperiksa oleh guru ternyata jawabannya salah semua,

tanpa berpikir panjang guru langsung memberi hukuman dengan memukulkan

kayu rotan dipunggungnya. Bahkan banyak bentuk hukuman-hukuman lain yang

justru tidak mendidik.

72
Kompas, 27 Oktober 2007 - kolom Humaniora
83

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kekerasan fisik masih

saja terjadi?dan bagaimana dampaknya terhadap anak? Pandangan penulis

hukuman fisik yang adalah warisan budaya kolonial, sejarah pendidikan kolonial

sangat berpengaruh, yakni pendidikan kolonial disini membangun pola

pendidikan tradisional yang melegitimasikan aksi hukuman fisik, berupa suatu

tindakan yang menyakiti secara fisik dengan tujuan untuk menekan perilaku

negatif seorang anak atau orang lain.

Dengan menggunakan metode itu dipercaya bahwa perilaku positif anak

akan terbentuk. Warisan ini dapat di identifikasi pada saat penjajahan belanda

yang banyak sekali menggunakan hukuman fisik sebagai bentuk hukuman yang

paling mujarab. Tipologi pendidikan warisan belanda semcam ini sampai

sekarang bahkan masih aktif digunakan secara terbuka di tengah masyarakat.

Hal ini dapat kita ketahui juga lebih lanjut dengan melihat bahwa pada

kenyataanya identitas-identitas budaya yang dijajah dan penjajah secara konstan

bercampur atau bersilangan. Dengan melihat ungkapan dari Frantz Fanon seorang

pakar tentang kolonailisme mengatakan bahwa kolonalisme diartikan sebagai

penonmanusiawian (dehumanization) rakyat di daerah koloni.

Orang-orang yang dijajah tidak diperlakukan sebagai manusia, tetapi lebih

kepada benda. Jelasalah bahwa ternyata begitu besar pengaruh dari kolonialisme.

Colonial jaman belanda kental dengan perbudakan yakni dengan melihat adanya

legitimasi majikan untuk menghukum budak bila melakukan kesalahan, adanya

nilai superior dan inferior dalam pengambilan keputusan seorang majikan tidak

memperhitungkan nilai-nilai demokratis.


84

Budaya majikan disini jelas mempunyai kewibawaan dan status social

yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Kalau melihat realiatas sekarang akar

kekerasan tersebut masih ada, seperti dengan halnya guru menghukum muridnya,

posisi orang tua dalam mendidik anak dalam keluarga, golongan ningrat yang

melakukan kekerasan terhadap budak dan pejabat pemerintahan menekan

rakyatnya, yang juga memiliki legitimasi untuk menerapkan penghakiman dan

distribusi sanksi sepihak tanpa proses demokrasi.

1.2.6 Penelitian terdahulu

Ada penelitian tentang efektivitas hukuman disiplin santri, Pondok Pesantren.73

Dengan adanya hukuman diharapkan anak-anak memiliki kepribadian yang baik

dan mampu mematuhi peraturan yang telah digariskan demi terciptanya

pendidikan akademik dan kepribadian. Yang menjadi permasalahan penelitian ini

adalah mengapa hukuman diterapkan, bagaimana penerapan/pelaksanaannya dan

sejauh mana efektifitas penerapan hukuman terhadap kedisiplinan santri di

Pondok Pesantren Darul Qurro Kawunganten Cilacap. Hasil penelitian ini

dipergunakan untuk bahan evaluasi atas pelaksanaan/penerapan hukuman

tersebut.

Penelitian oleh Siti Toyibah ini, termasuk penelitian deskriptif kualitatif

yang berusaha mengungkapkan suatu masalah/peristiwa sebagaimana adanya.

Hasil penelitian ini ditekankan pada gambaran secara obyektif tentang keadaan

73
Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2009-11-24 11:50:17
Oleh : Siti Toyibah NIM. 04471187, Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta .Dibuat :
2009-11-24, dengan 1 file, dengan judul: Efektifitas, Hukuman, disiplin, Santri, Pondok Pesantren.
85

sebenarnya dari obyek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah

Pimpinan Pondok: (1) (satu), Ustadz: (2), pengurus: 7 (tujuh), dan santri: 51 (lima

puluh satu).Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, dokumentasi

dan wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Hukuman diterapkan dengan

maksud/tujuan untuk meningkatkan kedisiplinan santri dan sebagai langkah untuk

merubah sikap atau perilaku mereka menjadi lebih baik. (2)

Penerapan/pelaksanaan hukuman terhadap santri diserahkan penanganannya oleh

Pimpinan Pondok Pesantren kepada para pengurus bagian yang terdapat dalam

struktur OPPM, di bawah pembinaan dan pengawasan Bagian Pengasuhan Santri.

Jenis hukuman yang diterapkan di Pondok Pesantren Darul Qurro Kawunganten

Cilacap, antara lain: hukuman fisik, psikis dan materiil. Ketiga macam jenis

hukuman di atas disesuaikan dengan perkembangan jiwa dan usia santri. Berat

ringannya hukuman juga didasarkan pada kasus pelanggaran yang dilakukan

santri, dimulai dari tingkat hukuman yang ringan mengarah kepada tingkat yang

lebih berat.

Sebelum santri diberi hukuman atas pelanggaran yang dilakukan, terlebih

dahulu ia diberi peringatan (2-3 kali) dari pihak pengurus. Namun apabila ia

dipandang tidak merasa jera, maka akhirnya hukuman diterapkan. (3) Jenis

hukuman psikis, dapat memberikan pengaruh besar dalam diri santri terhukum,

dan ia jauh lebih efektif dalam meningkatkan kedisiplinan santri Pondok

Pesantren Darul Qurro Kawunganten Cilacap daripada hukuman fisik dan

materiil. Sementara jenis hukuman materiil dan fisik, tidak terlalu efektif dalam
86

meningkatkan kedisiplinan santri dan cenderung disepelekan, kecuali jika

hukuman-hukuman tersebut dilipatgandakan dalam jumlah tertentu.

Efektifitas penerapan hukuman dapat dilihat dari semakin berkurangnya

jumlah pelanggaran yang dilakukan santri dan dilihat secara nyata dari perilaku

keseharian santri yang mencerminkan sifat dan sikap sebagaimana yang

diharapkan seperti: kejujuran, keuletan, kesungguhan dan lain sebagainya. Salah

satu tugas yang sangat mulia di sisi Allah Taala yang diemban oleh para praktisi

pendidikan pesantren, yakni: mendidik, membimbing dan mengawasi para

santrinya khususnya dalam lingkungan pesantren.

Harapan yang selalu terbersit dalam lubuk hati para asatidz adalah;

bagaimana para santrinya kelak menjadi generasi muslim yang kuat, memiliki

ilmu Dien yang shahih, berakhlak mulia, menjadi anak yang selalu berbakti

kepada orang tuanya, menjadi pejuang-pejuang agama Allah, dan harapan baik

lainnya.

Namun dibalik harapan-harapan yang mulia tersebut perlu perjuangan yang

sangat berat untuk mencapainya. Salah satu permasalahan yang sering dihadapi

oleh para praktisi pendidikan khususnya pesantren adalah menghadapi kenakalan

anak/santri. Mendidik anak yang memiliki latar belakang perilaku, watak,

kebiasaan yang buruk yang mereka bawa semenjak dari rumah tentulah

memerlukan usaha yang tidak mudah. Kenakalan anak/santri di lingkungan

pesantren yang sering dilakukan sebagaimana pengalaman yang didapat di

Mahad Al-Itisham Wonosari dan mungkin di pondok pesantren lainnya, yakni:

1. Kebiasaan mencuri/cleptomania
87

2. Keluyuran malam keluar lingkungan pondok tanpa ijin

3. Main Play station (PS)

4. Kebiasaan meninggalkan bangku pelajaran tanpa alasan/bolos.

5. Berkelahi dengan sesama teman

6. Membangkang perintah Ustadz/meremehkan.

7. Kebiasaan berbicara kotor

8. Merokok di luar lingkungan pesantren

9. Pacaran

10. Merusak fasilitas pesantren

11. Mendengarkan musik via mp3 player, walkman

12. dan sebagainya

Hal tersebut adalah beberapa contoh kasus kenakalan / pelanggaran yang

dilakukan santri, mungkin apabila dilihat dari sudut kacamata pada umumnya anak

sekolah beberapa hal tersebut di atas mungkin bukanlah sebuah kenakalan. Akan tetapi

lain halnya dengan standar pendidikan di pesantren khususnya yang bermanhaj salaf

menekankan kepada nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa oleh Rasululah SAW dan para

shahabatnya, banyak hal-hal yang dimata umum sebagai hal yang biasa dan lumrah

adanya akan tetapi apabila dilihat secara syari merupakan suatu maksiat. Yang menjadi

permasalahan adalah, bagaimana seandainya santri yang melakukan pelanggaran

dan berulang-ulang sudah dinasehati berkali-kali, disuruh membuah surat

pernyataan dan di beri hukuman, tetapi tidak berubah sama sekali, bahkan

meracuni/mempengaruhi santri yang lain.

Pertanyaannya, dengan cara terbaik apakah untuk mengatasi kenakalan anak yang

sudah melampaui batas? Apakah harus dikenakan hukuman fisik, diskors,


88

dikeluarkan dari pesantren? ataukah cara yang lainnya? Ataukah ada sisi lain yang

perlu diperbaiki.

Oleh karena itu kami mengajak para praktisi pendidikan, para asatidz baik

pesantren ataupun umum yang memilki kepedulian terhadap pendidikan Islam

untuk memberikan masukan, nasehat, tips-tips, yang berharga buat kemajuan

pendidikan generasi muslim.

Perbedaan penelitian Siti Toyibah ini, dengan penelitian yang penulis

lakukan ialah Siti Toyibah penelitiannya fild research, sedangkan penulis

melakukan penelitian Library research. Kemudian penulis menggali nilai-nilai

filosofis dan maqasid al-syariah yang terdapat pada hukuman fisik kepada anak-

anak.
89

BAB 3

KONSEP DAN METODE PENELITIAN

3.1 Kerangka konsep 74

Jenis penelitian ini ialah penelitian dokumenter atau penelitian kepustakaan.,

penulis akan menggali berbagai informasi dari kitab suci dan berbagai buku yang

terkait dengan masalah-masalah hukuman fisik. Penelitian hukum pada

hakikatnya juga suatu upaya untuk mencari dan menemukan pengetahuan yang

benar mengenai hukum, yaitu pengetahuan yang dapat dipakai untuk menjawab

atau memecahkan secara benar suatu masalah tentang hukum. Mencari dan

menemukan itu, tentu saja ada caranya. Cara itu disebut metode, sedangkan

perbincangan keilmuan tentang metode disebut metodologi.

Metode adalah jalan yang menyatukan secara logis segala upaya untuk

sampai kepada penemuan, pengetahuan dan pemahamannya tentang sesuatu yang

dituju atau diarahkan secara tepat. Dalam pengertian metode yang demikian setiap

metode selalu mengandung di dalamnya berbagai macam upaya, yang dalam

istilah umum dikenal dengan sebutan cara atau teknik. Jadi di dalam metode

74
Konsep adalah generaliasasi dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai
untuk menggambarkan berbagai fenomena dengan ciri atau kekhasan yang sama. Jadi konsep
harus merupakan atribut dari berbagai kesamaan fenomena yang diamati. Jika orang berbeda
pendapat mengenai rubrik- rubrik yang dibaca di koran, ada yang suka berita politik, olaharaga
atau rubrik hiburan, pada dasarnya semua perbedaan kebiasaan membaca tersebut dapat
dikonsepkan sebagai kegemaran membaca koran. Karena terdapat perbedaan- perbedaan dalam
skala abtraksinya maka konsep memiliki tingkat generalisasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh
konsep kepuasan pegawai akan lebih mudah diukur dibanding dengan konsep kesejahteraan
pegawai. Konsep tingkat intensitas menonton televisi akan lebih mudah diukur dibanding dengan
konsep kepuasaan menonton televisi. Konsep yang bersifat sangat abstrak disebut
denganconstruct, sementara konsep yang empiris (yang dapat diamati, diukur) disebut dengan
konsep.
90

tersimpan secara menyeluruh dalam suatu kesatuan logis segala macam cara yang

dipergunakan. Cara ini merupakan langkah-langkah praktis untuk dilaksanakan di

dalam kerangka metode yang bersangkutan, guna sampai kepada yang diinginkan

untuk dicapai.

Dengan demikian, research atau penelitian dalam bidang keilmuan hokum

menyangkut dua hal, yaitu kegiatan itu sendiri yang harus teratur dan dalam

prosedur tertentu dan hasil atau produk yang diharapkan dari kegitan itu, yaitu

sebuah kebenaran keilmuan hukum. Hubungan antara prosedur dan out put ini

sangat penting sekali dalam sebuah kegiatan penelitian hukum.

3.2 Sifat-Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat studi komparatif, yaitu perbandingan antara al-Quran,

hadits dan UU.RI No. 23 Tahun 2002 ,tentang hukum pelarangan kekerasan.

Apakah larangan ini berupa larangan berat, sangat keras, atau larangan ringan,

haram mutlak atau makruh.

3.3 Analisis hasil penelitian

Analisis hasil penelitian ini akan menguji konsep dan teori-teori yang relevan,

berupa analisis

3.3.1 Psikologi hukum.75

75
Psikologi Hukum mencakupi sub-sub bidang: (a) Psychology of Law, (b)
Psychology in Law, (c) Psychology and Law, (d) Legal Forensik dan (e) Neuro Science.
Oleh karena itu, dalam Pengantar bukunya yang berjudul "Applying Psychology to
Criminal Justice", editor buku itu, David Carson, et.al, memulai dengan kalimat: "Few
things should go together better than psychology and law. Both are concerned with
human behaviour: analyzing it, predicting it, understanding it and, sometimes,
controlling it. Lawyers may, in the absence of empirical research, have made
assumptions about human behaviour; for example that people who know they are dying
will tell the truth (an exception to the rule against hearsay evidence). Judges had to
make decisions to settle the dispute before them. But now there is research which can
inform the law".
91

3.3.2 Historis, dalam kaitannya dengan tarikh tasyri

3.3.3 Teks ayat, dalam kajian tafsir al-Quran.

3.3.4 Hermeneuitik.76

3.3.5 Sosiologis, berkaitan dengan sosiologi hukum.

3.2.6 Theologis, dalam artian adagium hukum dan ilmu ushul fiqih.

Penelitian ini berupa penelitian di perpustakaan atau penelitian normatif

atau dokumentasi (Library Research). Data-data yang dikumpulkan dianalisis dan

dibahas, serta dikelompokkan sesuai dengan kriterianya masing-masing. Dalam

penelitian ini akan digali berbagai informasi sesuai dengan karakteristiknya.

Di antara kajian analisis itu yang paling banyak dilakukan adalah analisis

teks ayat Al-Quran dan hadits. Penekanannya pada bahasa yang digunakan oleh

ayat tersebut, apakah dapat dijadikan sebagai dasar pelarangan kekerasan, serta

Ada kemiripan objek antara ilmu hukum dan psikologi. Baik hukum maupun
psikologi, keduanya menaruh minat terhadap perilaku manusia; menganalisis perilaku
itu, memprediksinya, memahaminya dan, kadang-kadang mengendalikan perilaku
tersebut. Pakar Psikologi Hukum yang paling terkenal adalah Lawrence S Wrightsman, dari
University of Kansas. Di antara buku-buku paling populer karya Wrightsman: Psychology and the
Legal-System (1988) yang saking larisnya sekarang sudah terbit edisi keenam; Judicial Decision
Making, Is Psychology Relevant? (1999).

76
Her meneutika dapat didefinisikan secara longgar seb agai suatu
t e o r i a t a u f i l s a f a t interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi
sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan
yangdiubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan
persoalan-persoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik
mengingatkan kepada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De
Interpretatione.Yaitu bahwa kata-kata yang di ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental
pribadi sendiri, d a n k a t a - k a t a y a n g d i t u l i s a d a l a h s i m b o l d a r i k a t a - k a t a y a n g
diucapkan itu.Bahasa tidak boleh dipikirkan sebagai yang mengalami
perubahan. Menurut Gadamer bahasa harus dipahami sebagai sesuatu yang
m e m i l i k i k e t e r t u j u a n (teleologi di dalam dirinya. Karena kata -kata ataupun ungkapan
mempunyai tujuantelos tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan
Wilhelm Dilthey.Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.
92

apa pula sebab-sebab ayat tersebut diturunkan dan bagaimana keadaan,

masyarakat saat itu, apakah masih berlaku sampai saat ini?

Dari perspektif-normatif hanya mempelajari law in the code books saja.

Juga harus mengakui bahwa ada hukum rakyat tidak tertulis yang dinamakan

hukum adat. Itulah awal mula mereka mulai mencoba mengonsepsikan hukum

sebagai sesuatu yang eksis pula di luar buku, baik sebagai gedragsregels in de

maatchappij (sebagaimana dikonsepsikan oleh Van Vollenhoven), maupun

sebagai rechsbeslinssingen door de rechtsfungsionarissen (Sebagaimana

dikonsepsikan oleh Ter Haar). Hal yang disebut terakhir ini sebenarnya dekat

sekali dengan apa yang telah dikonsepsikan di negara-negara bersistem common

law sebagai the judge made laws.

Bermula dari konsep yang tidak terlalu preskriptif-yuridis itulah, mulai

berkembang kajian-kajian dan metode untuk mengkaji hukum yang bermula dari

adat kebiasaan (dengan sifatnya yang normologik) atau hukum yang bermula dari

putusan tokoh-tokoh pengadilan dalam masyarakat (dengan sifatnya yang

normologik) atau hukum yang bermula dari putusan tokoh-tokoh pengadilan

dalam masyarakat (dengan sifatnya yang sedikit banyak masih normologik), di

Amerika Serikat yang bertradisi common law.

1. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah informasi yang tertulis yang memberikan

isyarat kepada pelarangan memukul, sebaliknya yang melegalkan hukuman

fisik, hukuman sebagai objek kajian dalam kegiatan penelitian mempunyai

banyak konsep atau definisi. Sesungguhnya tidak ada konsep tunggal tentang
93

hukum. Hukum merupakan realita sosial-budaya, yang konstruksi

konsepsionalnya akan tersusun berbeda-beda dari perspektif yang satu ke

perspektif yang lain. Seseorang yang meninjau hukum dari perspektif filsafat atau

moral, misalnya tentu akan melihat hukum dalam manifestasinya yang lain

daripada kalau melihatnya dari perspektif politik atau sosial. Adanya pluralitas

konsep tentang hukum ini dapatlah dimengerti, mengingat kenyataannya bahwa

hukum itu sendiri sesungguhnya merupakan suatu konsep yang sangat abstrak,

sementara itu dalam realitanya, apa yang disebut hukum itu amat beragam.

Menurut Wignjosoebroto,salah memilih cara penelitian atau pencariannya, suatu

kesalahan yang akan menyebabkan kebenaran-kebenaran yang telah diperoleh

melalui penelitian itu tidak laku lagi (tidak sahih) untuk menjawab masalah yang

diajukan. Peringatan tentang hal ini perlu untuk diperhatikan, khususnya dalam

penelitian sosial dan lebih khusus lagi dalam penelitian-penelitian hukum,

mengingat kenyataan bahwa dalam ilmu dan kajian kedua bidang ini orang lebih

banyak membicarakan objek-objek yang tidak berujud materi yang empiris dan

kasad mata, melainkan berupa fenomena-fenomena yang eksistensinya berada di

suatu alam abstrak yang dibangun lewat konstruksi-konstruksi rasional.

3.4 Sumber Data

3.3.1 Bahan hukum primer 77

Bahan hukum primer, pada penelitian ini adalah dua kitab suci yaitu Al-

Quran dan hadits khususnya tentang masalah Hukuman Fisik Masalah

larangan, menurut UU No. 23 Tahun 2002 yang mungkin saja mendekatkan

77
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat PT.GrafindoPersada,(Jakarta,2006) hlm 29, ditambahkan bahwa, bahan / sumber primer
juga, laporan penelitian,majalah, disertasi atau tesis, paten dan buku-buku.
94

manusia kepada kekerasan khususnya memukul. Adapun bahan hukum primer ini

yang sudah penulis miliki ialah Al-Quran cetakan Arab saudi dan Beirut, lengkap

dengan terjemahannya tafsir dan asbabunnuzul-nya, kemudian kitab-kitab hadits.

Ditambah dengan kriminologi sosiologi hukum dan kitab Udang-Undang Hukum

Pidana serta UU No. 23 Tahun 2002.

Data lainnya yang terkait dengan hukum primer ini adalah buku-buku

perbandingan agama yang sudah popular antara lain, buku dari timur tengah

terutama fiqih dan usul fiqih merupakan sumber utama untuk mengolah tulisan

ini. Misalnya Al-Mustafa, oleh Al-Gazali. Al-Muwaqad, oleh Al- Syathiby. Al-

Ikhkam fi Al-Ushul Al-Ahkam oleh Al Amidy, ditambah dengan buku-buku tafsir

Al-Quran dan tafsir hadits. Kebanyakan buku-buku ini belum diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia, tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi penulis

dengan bermodalkan pengetahuan bahasa Arab yang pernah didapati di pesantren

dan IAIN sebelumnya.

4 Bahan Hukum Sekunder 78

Bahan hukum sekunder penelitian ini ialah jurnal-jurnal hasil penelitian lainnya

yang searah dan relevan dengan kajian yang sedang penulis tekuni. Pelacakan

data awal, sudah penulis lakukan, misalnya buku-buku tentang analisis kekerasan

terhadap anak-anak. Tentang catatan Komnas Perlindungan Anak

Indonesia(KPAI) mencatat, terdapat 1.998 pengaduan sepanjang tahun 2009.

Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya, 2008, yaitu 1.736 pengaduan. 62,7%

78
Ibid, berisikan informsi tentang bahan primer, menakup : Abstrak, Index, Bibliografi,
Penerbitan Pemerintah dan bahan acuan lainnya.Lihat Amiruddin dan Zainal Hakim, Pengantar
Metode Penelitian Hukum, (Jakarta,Raja Grafindo,2004) 97
95

di antaranya adalah kasus kekerasan seksual berupa sodomi, perkosaan,

pencabulan, serta incest, selebihnya adalah kasus kekerasan fisik dan psikis.

Buku-buku penunjang lainnya yang penulis pandang dapat memperjelas

tentang nilai-nilai filosofis pelarangan pornografi pada anak-anak ialah buku

patologi sosial, oleh Kartini Kartono yang memberikan informasi tentang agama

dan adat istiadat yang sebenarnya mempunyai nilai pengontrol dan nilai sansional

terhadap tingkah laku masyarakatnya.

Prosedur untuk menemukan kebenaran hukum haruslah objektif, yaitu

sebuah kegiatan yang terbuka dan dapat diulangi juga menemukan kebenaran

hukum tersebut. Dalam penemuan kebenaran mungkin saja sebuah prosedur

dirahasiakan, agar yang lain tidak dapat mendapatkan kebenaran tertentu, namun

jika prosedur yang dirahasiakan itu dapat diterima oleh dunia ilmu (hukum) pada

umumnya dan dapat diulangi serta menghasilkan kebenaran yang sama, sifat

objektivitas prosedur keilmuan tetap terpenuhi.79

Di sisi lain, dapat terjadi bahwa sebuah kebenaran telah ditemukan, namun

seseorang tidak dapat menjelaskan prosedur penemuannya atau ternyata tidak

dapat diulang kembali cara penemuannya. Maka, kegiatan yang demikian tidaklah

dapat dikatakan sebagai sebuah kegiatan penelitian dan mungkin hanya kegiatan

coba-coba saja atau kebetulan tanpa adanya rencana atau maksud guna

menemukan kebenaran tertentu.

5 Bahan Hukum Tertier

79
Ibid, h. 71
96

Bahan hukum tertier pada penelitian ini adalah kamus hukum, kamus agama dan

ensiklopedi yang menerangkan tentang pengertian hukuman fisik, serta hukum-

hukum yang terkait, atau istilah-istilah lain yang selama ini kurang dikenal.

Kemudian artikel-artikel yang terpilih dari surat kabar dan majalah Tempo,

Forum Keadilan, Gatra dan Sabili. Di samping media cetak itu, penulis juga

menggunakan media elektronik yaitu radio dan televisi, terutama internet.

6 Fokus penelitian

Sesuai dengan disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan dasar-dasar hukum di

dalam Al-Quran untuk mendapatkan ayat-ayat yang tepat yang memberikan

informasi tentang hukuman fisik penulis terlebih dahulu merancang beberapa hal,

antara lain :

1.Tujuan Ayatnya yang jelas

2.Adanya keterkaitannya dengan pembahasan

3.Adanya metode pengambilan ayat yang tepat

Karena penelitian ini berupa studi teks atau normatif. Tentulah tidak

memakai populasi dan sampel. Yang diandalkan ialah ketersediaannya buku-

buku teks berupa tafsir ayat-ayat Al-Quran yang benar-benar dapat dikaitkan

dengan hukuman fisik bagi anak-anak.

Secara etimologi, menurut al-Jabiri, al-bayan memiliki beberapa arti di

antaranya al-zhuhur wa al-wudhuh (ketampakan dan kejelasan), sedangkan secara

terminologi albayan berarti pencarian kejelasan yang berporos pada al-ashl

(pokok) yakni teks (naql-nash) baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara langsung berarti langsung menganggap teks sebagai pengetahuan jadi.


97

Secara tidak langsung berarti melakukan penalaran dengan berpijak pada teks itu.

Dalam paradigma ini, akal dipandang tidak akan dapat memberikan pengetahuan

kecuali jika akal itu disandarkan (berpijak) pada nas (teks).80

Dalam tradisi berfikir literalisme ini dikenal 2 cara mendapatkan

pengetahuan dari teks yaitu pertama, berpegang pada teks zahir. Kecenderungan

ini berakar pada tradisi sebelum Ibn Rusyd (Andalusia) dan memuncak pada masa

Ibn Hazam (azh- Zahiri). Kecendrungan tekstualisme ini sebenarnya mulai

diperlihatkan oleh asy-Syafii bahkan mungkin bisa dikatakan beliau adalah

peletak dasar paradigma literalisme. Sarana yang dipakai adalah kaedah bahasa

Arab sedangkan yang menjadi sasarannya adalah teks al-Quran, Hadits dan

Ijma. Kedua, berpegang pada maksud teks bukan teks zahir. Kecendrungan ini

berlaku pada tradisi setelah Ibn Rusyd terutama pada prakarsa al-Syatibi.

Berpegang pada maksud teks ini baru digunakan bila teks zahir ternyata tidak

mampu menjawab persoalan-persoalan yang relatif baru.81

Bukti lain digunakannya paradigma literalisme dalam kajian hukum Islam klasik

adalah begitu banyaknya pembahasan tentang kaidah kebahasaan dalam ilmu

ushul fiqih. Al-Juwayni telah membuktikan hal tersebut dengan mengatakan

sesungguhnya mayoritas pembahasan dalam ushul fiqih berkaitan dengan kata-

kata (al. fazh) dan makna terkait dengan kata-kata haruslah disadari bahwa syariat

80
Muhammad Abed al-Jabiri, Bun-yah al-Aql al-Arabi, 20.
81
Muhammad Abed al-Jabiri, Takwin al Aql al- Arabi (Beirut al-Markaz as-Saqafi al-
Arabi, 1993), hlm. 96-98. Lihat juga kutipan Muhyar Fanani terhadap pemikiran al-Jabiri ini
dalam Muhyar Fanani, Menelusuri Epistemologi, h 29.
98

itu berbahasa Arab. Seseorang tidak akan sempurna (dalam menguak) kandungan

syariat selama ia belum menguasai Nahwu dan Bahasa Arab.82

Al-Syafii sebagaimana dikutip oleh Mukhyar Fanani juga menjelaskan

bahwa al-Quran turun dengan bahasa Arab, bukan yang lain. Oleh karena itu

seseorang yang tidak mengetahui keluasan bahasa Arab, aspek-aspeknya,

kepadatan, dan keragaman maknanya, maka ia tidak akan mengetahui kejelasan

semua pengetahuan dalam alkitab itu.83 Rasionalitas yang dibangun oleh ulama

ushul fiqih tradisional sebenarnya ingin melakukan penalaran yang sesuai dengan

tuntunan Allah yang ujungnya adalah tercapainya kemaslahatan manusia pada

umumnya di dunia dan akhirat dan ini pada akhirnya terwadahi dalam metode

berfikir yang baku yakni qiyas, istihsan, istislah, istishab, sadd al-zariah dan urf.

Paradigma di atas sebenarnya bisa difahami karena ahli hukum Islam

(ushul fiqih) klasik memaknai hukum itu berasal dan titah ilahi sehingga hanya

melalui teks-teks suci yang didengar Rasulullah sajalah pemanifestasian hukum

itu dapat diketahui.84 Dalam hal ini, mayoritas ahli hukum Islam menganut faham

optimisme bahasa yang dipengaruhi oleh teologi kekuasaan Ilahi, suatu faham

yang menganggap bahwa bahasa adalah sarana memadai untuk melakukan

komunikasi, suatu sunnah yang baku dan karena itu menjadi milik publik.85

82
Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, cet. 4, Editor, Abdul Adzim Mahmud ad-Dib
(Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418),I, hlm. 130.
83
Muhyar Fanani, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Ilmu Ushul Fikih: Teori Hudud
sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Ushul Fikih, Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
him. 438.
84
Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa min `Ilm al-Ushul
Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 163.
85
Khaled Abou el-Fadl sendiri mengungkapkan bahwa Islam mendefenisikan dirinya
dengan merujuk kepada sebuah kitab, dengan demikian, mendefenisikan diri dengan merujuk
kepada suatu teks... karena itu, kerangka rujukan paling dasar dalam Islam adalah teks. Teks itu
dengan sendirinya memiliki tingkat otoritas dan reabilitas yang jelas. Oleh karena itu peradaban
99

Akibatnya pendekatan yang digunakan pun adalah pendekatan bayan atau

tekstualis. Pandangan optimisme bahasa ini kemudian mengarah pada

berkembangnya logika deduktif sehingga model pendekatan yang digunakanpun

adalah teologis normative deduktif.86

Paradigma literalistik dengan menggunakan model pendekatan yang

teologis normatif-deduktif cendrung didominasi Aristotalian logic yang bercirikan

dichotomous logic. Akibatnya, studi hukum Islam dipandang cendrung mendekati

masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, Islam-kafir, sunnah-bidah

dan yang semacamnya walaupun sesungguhnya tujuan pokok agama diturunkan

itu adalah mengajarkan tentang aturan-aturan hidup yang bersifat pasti (nilai,

norma dan aturan), dan begitu pula hukum agama (Islam) di mana salah satu ciri

pokok berfikir hukum adalah menuntut adanya kepastian dan bukan ketidak

pastian.87

Islam ditandai dengan produksi literer yang bersifat massif terutama dibidang al-Shariah (hukum
Islam). Ada banyak faktor yang turut mendukung proses produksi ini, tetapi sudah pasti bahwa
teks memainkan peran penting dalam penyusunan kerangka dasar referensi keagamaan dan otoritas
hukum dalam Islam. Khaled M. Abou el-Fadl, Melawan Tentara Tuhan; yang berwenang dan
sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah (Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, 2003), hlm. 54.
86
Akh. Minhaji membagi model pendekatan ushul fikih menjadi 2, pertama, teologis
normative deduktif dan kedua, empiris historis induktif Lihat Akh. Minhaji, Reorientasi Kajian
Ushul Fiqih, dalam Jurnal al-Jami ah No. 63/VI/1999, h1m. 16. lihat juga tulisannya Hukum
Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar
Sejarah Sosial Pemikiran Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004, hlm. 40-46.
87
Ibid., 40-41. Begitu rigidnya paradigma literalistik, sehingga menurut Fazlur Rahman ada
tiga kelemahan dari metode studi Islam klasik dan pertengahan yaitu, pertama, pemahaman yang
terpotong-potong. Kedua, kurang memperhatikan unsur sejarah, dan ketiga, terlalu tekstual.
Rahman menyebut kajian Islam klasik dan pertengahan dengan studi yang atomistis, ahistoris, dan
literalistis. Senada dengan Rahman, Arkoun juga melancarkan kritik terhadap para pemikir hukum
Islam yang masih menyandarkan pendapatnya kepada sistem pemikiran epsitemik Zaman Tengah
dengan ciri, pertama, mencampurkan antara mitos dan sejarah, kedua, menekankan keunggulan
teologis orang Muslim atas non-Muslim, ketiga, pensucian bahasa, keempat, univokalisasi makna
yang diwahyukan Tuhan, kelima, anggapan tentang nalar pribadi yang transhistoris, dan keenam,
diktum hukum diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Fazlur Rahman, Islam: Challenges and
Opportunities, dalam Islam: Past Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch
dan Pierre Cachia (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979), h 319-327. Taufik Adnan
100

Pengertian seperti ini jelas tidak tepat. Selain terdiri atas kategori penilaian

seperti halal atau haram, hukum Islam juga terdiri atas kategori-kategori

relasional. Lebih penting lagi adalah bahwa hukum Islam sesungguhnya terdiri

atas norma-norma berjenjang (berlapis),diarahkan kepada penggalian asas-asas

dengan mempertimbangkan pendekatan pertingkatan norma sehingga lebih

mudah merespons berbagai perkembangan masyarakat dari sudut hukum

syariah.88

Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke-2

H sampai 7 H) dan mengalami perbaikan dengan munculnya asy-Syatibi pada

abad ke 8 H yang menambahkan teori maqashid asy-syari ah yang mengacu pada

maksud Allah sehingga tidak lagi terpaku pada literalisme teks.89

Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman (Bandung:
Mizan, 1993), h1m. 186. Arkoun, Ke Arah Islamologi Terapan, alih bahasa Syamsul Anwar, Al-
Jamiah, No. 53 (1993), hlm. 72.
88
Syamsul Anwar, Membangun Good Governance dalam Penyelenggaraan Birokrasi Publik
di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syari'ah dengan Pendekatan Ushul Fiqih, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fikih, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2005, hlm. 4-5.
Mengenai teori pertingkatan norma, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa teori pertingkatan
norma adalah teori yang mencoba menemukan hukum lewat tiga penjenjangan norma, yaitu,
pertama, norma-norma dasar atau nilai-nilai filosofis (al-giyam al-asasiyyah) seperti
kemaslahatan, keadilan, kesetaraan. Norma-norma tersebut sebahagian sudah ada berdasarkan
fakta-fakta dan sudah diakui.
Kedua, norma-norma tengah berupa doktrin-doktrin umum hukum Islam yaitu an-nazariyyah al
fiqhiyyah dan al-qawa id al-fiqhiyyah.
Ketiga, peraturan-peraturan hukum kongkret (al-ahkam al far iyyah). Ketiga lapisan norma ini
tersusun secara hierarkis dimana norma yang paling abstrak dikongkritisasi menjadi norma yang
lebih kongkret. Contoh; nilai dasar kemaslahatan dikonkretisasi dalam norma tengah (doktrin
umum) berupa kaidah fighiyyah yaitu kesukaran memberi kemudahan. Norma tengah ini
dikonkretisasi lagi dalam bentuk peraturan hukum konkret misalnya hukum boleh berbuka puasa
bagi musafir. Teori ini mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam
pengembangan paradigma hukum Islam yaitu paradigma historis ilmiah yang nanti akan penulis
jadikan sebagai paradigma alternatif dengan mengkombinasikannya dengan metode holistik ( teori
induktif/integratit) Fazlur Rahman sebagai salah satujalan dalam mengoperasionalkan paradigma
tersebut. Mengenai teori pertingkatan norma lihat Syamsul Anwar, Pengembangan Metode
Penelitian Hukum Islam, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul
Fiqih Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), h. 147-162.
89
Asy Syatibi sendiri mengungkapkan bahwa ia memang berupaya menjadikan ushul fiqih
sebagai ilmu burhani yang qati sehingga dapat mendatangkan dan menghasilkan pengetahuan
101

3.5 Analisis data90

Pengumpulan, pengolahan dan analisis data dalam mpenelitian ini,

dilakukan secara terpadu, semenjak dari . Analisis data diartikan sebagai

upaya mengolah data menjadi informasi, sehingga karakteristik atau sifat-sifat

data tersebut dapat dengan mudah dipahami dan bermanfaat untuk menjawab

masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan penelitian. Dengan demikian,

teknik analisis data dapat diartikan sebagai cara melaksanakan analisis terhadap

data, dengan tujuan mengolah data tersebut menjadi informasi, sehingga

karakteristik atau sifat-sifat datanya dapat dengan mudah dipahami dan

bermanfaat untuk menjawab masalah-masalah yang berkaitan dengan kegiatan

penelitian, baik berkaitan dengan deskripsi data maupun untuk membuat induksi,

atau menarik kesimpulan tentang karakteristik populasi (parameter) berdasarkan

data yang diperoleh dari sampel (statistik)

hukum Islam yang valid secara ilmiah. Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
edisi Abdullah Darraz (Mesir: tnp., t.t), I, h. 29-34.

90
Pada Penelitian Kuantitatif: Strategi Pendekatannya Deduktif-Verifikatif. Peneliti bertolak
dari konsep-konsep tertentu dan landasan-landasan teori tertentu. Konsep-konsep tersebut diberi
batasan-batasan operasional, termasuk memecahnya kedalam variabel-variabel, juga dirumuskan
hipotesis-hipotesis. Atas dasar hipotesis (kesimpulan logis-deduktif) dan batasan konsep/ variabel
yang telah dirumuskan, kemudian dikembangkan alat-alat ukur untuk mendapatkan ukuran dalam
kenyataan empiris sekiranya hipotesis itu benar atau sekiranya hipotesis itu salah.
102

BAB 4

HASIL PEMBAHASAN

4.1 Hasil penelitian

Pada bab ini, dibahas tentang hasil penelitian yang meliputi dilema hukuman

fisik terhadap anak-anak, yang sudah dilarang oleh UU RI No.23 tahun 2002.

Sedangkan hukum Islam membolehkannya, dalam batas-batas tertentu. Undang-

Undang Perlindungan Anak No. 23, Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru

dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik

kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda

tanganan dari konvensi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37

yang mengharuskan negara menjamin bahwa: Tak seorang anakpun boleh

mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun

perlakuan yang merendahkan atau hukuman.

4.1.1 Dilemma hukuman fisik 91

Penyebab terjadinya dilemma92 ini, ialah situasi sulit yang mengharuskan

orang menentukan pilihan antara dua kemungkinan yang sama-sama tidak

Al Qawaid al-Fiqhiyyah ( ) Syaikh Abdurrahman Ibn Nashir As Sadiy


91

rahimahullah .Sebaliknya, bila sejumlah mafsadat



berbenturan maka diutamakan yang paling ringan mafsadatnya. Mafasid (kerusakan) : bisa haram
atau makruh. Apabila seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang jelek, maka diambil yang
paling ringan kerusakannya. Apabila salah satunya haram dan yang lainnya makruh, maka
dikerjakan yang makruh. Maka memakan sesuatu yang masih diragukan keharamannya lebih
didahulukan daripada memakan sesuatu yang pasti haramnya. Apabila keduanya haram atau
keduanya makruh, maka yang dikerjakan adalah yang paling ringan keharamannya atau
kemakruhannya. Kondisi di atas semuanya hanya dalam kondisi darurat !!

92
English to English,dictionary noun: 1. state of uncertainty or perplexity especially as
requiring a choice between equally unfavorable options 2. An argument which presents an
antagonist with two or more alternatives, but is equally conclusive against him, whichever
alternative he chooses.
103

menyenangkan atau tidak menguntungkan; situasi yang sulit dan

membingungkan. Penyebab terjadinya dilemma hukuman fisik bagi anak-anak,

ialah dalam satu kelompok anak-anak. Kekerasan yang dilakukan oleh orang tua

dan guru kepada , menunjukkan hukuman yang kejam.Fenomena kekerasan

dalam bentuk hukuman di rumah atau di sekolah sudah saatnya ditiadakan, karena

hukuman kadang-kadang tidak memecahkan masalah, tapi justru sebaliknya

menumbuhkan kebencian dan rasa sakit hati murid.Itu membuktikan kepada kita

bahwa anak tidak hanya memiliki guru yang tunggal di kelas, tapi guru bagi anak-

anak kita sekarang banyak dan beragam, mulai dari mall, play station, televisi,

dan lingkungan sekitar, ujarnya. Karena itu, seharusnya bentuk-bentuk hukuman

di sekolah sudah tidak relevan lagi, karena hanya akan memunculkan kebencian

dan kekerasan baru, sementara di luar bentuk-bentuk kekerasan telah sedemikian

nyata dilihat siswa. Pendidikan yang paling berpengaruh adalah pendidikan

emosi, di mana guru harus bisa mengendalikan emosi saat berada di dalam kelas.

Emosi itu sebetulnya tidak ada yang negatif dan positif, tapi yang harus

diingat bahwa emosi itu harus dikendalikan, katanya. Melalui pengendalian

emosi itulah, katanya, akan tercipta emosi positif, dan akan menghasilkan hati

yang senang dan situasi otak cemerlang.

Belajar itu memang perlu kerja keras, tapi jika kerja keras itu dilakukan

dengan berbagai kegiatan yang menyenangkan, maka hasilnya pasti juga akan

menyenangkan, dan berbuah menjadi pendidik yang menyenangkan pula.

Menurut dari data data yang saya lihat yakni bangkitnya minat siswa terhadap
104

pelajaran yang diberikan, adanya keterlibatan siswa, terciptanya makna,

munculnya semangat untuk menguasai materi pelajaran, dan munculnya atau

didapatkannya nilai kebahagiaan.93

Tindak kekerasan guru terhadap siswa kembali marak di media massa.

Sebuah rekaman video singkat yang berdurasi 1 menit 7 detik yang terjadi di

salah satu SMK Negeri Gorontalo merupakan salah satu contoh tindak kekerasan

guru terhadap siswa yang semestinya tidak perlu terjadi jika masing-masing pihak

dapat mengendalikan diri. Video ini direkam oleh salah seorang siswa tanpa

sepengetahuan guru yang bersangkutan.

Pada dasarnya orang tua dan guru menginginkan anak-anak berperilaku

baik dan sopan bukan karena takut akan hukuman. Guru yang melakukan

hukuman dengan tindak kekerasan fisik, mempunyai tujuan semata-mata untuk

mendisiplinkan siswanya. Hanya saja, cara yang dilakukan guru dan penerapan

tersebut perlu dikoreksi kembali. Demikian pula dengan pihak sekolah. Dalam

menyikapi kasus tersebut pihak sekolah perlu mengambil langkah yang tepat

untuk mendisiplinkan siswa.

Perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak.

Penganiayaan fisik ini berkaitan dengan hukuman fisik yang berlebihan.

Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian, di samping itu akan

mengganggu sikap emosional anak. Risikonya anak menjadi depresi, cemas,

93
http://www.samarindacity.com/node/749
105

sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan di sekolah.Di

sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan terjadi berbagai

macam masalah yang sangat menghambat proses belajar mengajar. Selain itu,

tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara konsisten akan menjadi salah

satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk kenakalan yang dilakukan siswa,

baik di dalam maupun di luar sekolah.Walaupun setiap sekolah telah mempunyai

peraturan tersendiri bukanlah berarti sekolah tersebut tidak menemukan berbagai

bentuk pelanggaran. Pelanggaran terhadap peraturan sekolah kerap dilakukan oleh

parasiswa.94

Disiplin di sini diartikan ketaatan pada peraturan. Dari sini semuanya

bermula, sebelum disiplin diterapkan perlu dibuat peraturan atau tata tertib yang

benar-benar realistik menuju suatu titik, yaitu kualitas tadi. Lalu mengapa banyak

sekolah yang mutunya rendah baik ditinjau dari nilai-nilai siswa, kinerja personal

sekolah. Jawabanya mungkin disebabkan masih belum jelasnya peraturan

sehingga tidak mudah diaplikasikan, atau buruknya pengawalan penerapan

peraturan itu. Dalam hal ini kekurangkonsistenan semua pihak. Bahkan kadang

gurupun tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam kelas, sehingga ia hanya

mengajar apa adanya terkesan menghabiskan waktu mengajar saja.

Banyak hal yang harus ditangani dalam ranah pendidikan di sekolah, tapi

jika itu terlalu berat mungkin bisa saja sedikit dikurangi hanya untuk hal belajar

dan mengajar saja. Selama ini yang terjadi di beberapa sekolah adalah seringnya

kelas kosong saat jam belajar. Ini dikarenakan guru tidak masuk kelas dan tanpa

94
http://1lmu.blogspot.com/2009/01/antara-hukuman-dan-disiplin-sekolah.html
106

ada tugas yang harus dikerjakan siswa. Ketidakmasukan guru itu bisa saja karena

kepentingan dinas atau yang lain.

Ketidaktepatan dalam hal guru masuk kelas sehingga jeda waktu

pergantian jam bisa dimanfaatkan siswa untuk melakukan tindakan indisipliner.

Komitmen guru dalam hal ini kadang sering menjadi penyebabnya. Dalam

manajemen sekolah, biasanya pengawasan banyak yang tidak bisa berjalan

dengan baik, lebih-lebih jika komitmen guru dan siswa rendah maka sekolah-pun

akhirnya sulit majunya.95 (http://urip.wordpress.com/2007/04/10/disiplin-sekolah-

mendongkrak-mutu-sekolah)

Tapi ternyata peraturan sekolah itu ada gunanya juga diantaranya ialah :

1.agar sekolah kita tertib

2.agar kita dapat mengikuti proses KBM (kegiatan belajar mengajar) dengan

nyaman dan tenang.

3.melatih murid untuk tepat waktu

4.melatih murid disiplin

5.melatih murid untuk mandiri

6.melatih murid mentaati peraturan di masyarakat kelak

1. melatih respon kita dalam menyikapi sebuah peraturan.96

Menurut Clemes (2001:47), ada beberapa pertanda yang menunjukkan

bila hukuman dan disiplin sekolah mungkin tidak sesuai untuk diterapkan,

sehingga anak sulit untuk mematuhi disiplin sekolah disebabkan oleh:


95
http://urip.wordpress.com/2007/04/10/disiplin-sekolah-mendongkrak-mutu-sekolah
96
http://kandangtips.blogspot.com/2009/12/mengapa-ada-peraturan -
sekolah.html#ixzz0lmQCmi18
107

1.Seorang anak yang mempunyai citra diri yang sangat buruk dan sangat

dipengaruhi oleh kegagalannya sendiri pasti membutuhkan penghargaan.

2.Seorang anak yang takut mencoba hal-hal yang baru, takut menerima

tantanngan dan sulit melakukan kegiatan yang melelahkan mungkin akan lebih

bersemangat bila diberikan penghargaan.

3.Seorang anak yang sangat manja dan takut melakukan tugasnya sendirian perlu

diberikan penghargaan jika dia ternyata mampu melaksanakan tugasnya tanpa

bantuan orang lain.

4.Seorang anak yang merasa kecewa karena selalu dibandingkan dengan

saudaranya yang lebih pintar, lebih rajin, lebih mandiri, dan lebih aktif, perlu

diberikan penghargaan agar dia merasa mampu untuk berhasil.

5.Seorang anak yang sering meperlihatkan citra diri yang negatif atau perasaan

takut yang berlebihan dengan mengatakan hal-hal seperti Saya tidak dapat

melakukannya, dan Saya selalu gagal, Saya tidak akan mampu melakukannya

lagi, adalah anak yang mungkin membutuhkan penghargaan.

6.Seorang anak yang mengalami gangguan fisik, motorik, atau organik, dan

karena kesulitan semacam itu sering mengalami kegagalan dibandingkan anak

lainnya yang sebaya dengannya, perlu diberikan tugas yang sesuai dengan

kebutuhannya yang khas dan juga perlu diberikan penghargaan atas

keberhasilannya dalam melaksanakan tugasnya.

Di sekolah-sekolah yang tata tertibnya tidak konsisten biasanya akan

terjadi berbagai macam masalah yang sangat menghambat proses belajar

mengajar. Selain itu, tidak terlaksananya peraturan atau tata tertib secara
108

konsisten akan menjadi salah satu penyebab utama terjadinya berbagai bentuk

kenakalan yang dilakukan siswa, baik di dalam maupun di luar sekolah.

Penerapan disiplin sekolah sangat bergantung pada tekniknya. Di bawah

ini diuraikan tiga teknik penerapan disiplin sekolah yang tertuang dalam bentuk

peraturan sekolah, yakni peraturan otoritarian, peraturan permisif, peraturan

demokratis.

1. Peraturan Otoritarian

Dalam peraturan otoritarian, peraturan dibuat sangat ketat dan rinci. Orang yang

berada dalam lingkungn disiplin sekolah ini diminta mematuhi dan menaati

peraturan yang telah disusun dan berlaku di tempat itu. Apabila gagal menaati dan

mematuhi peraturan yang berlaku, akan menerima sanksi atau hukuman berat.

Sebaliknya, bila berhasil memenuhi peraturan, kurang mendapat penghargaan

atau hal itu sudah dianggap sebagai kewajiban. Jadi, tidak perlu mendapat

penghargaan lagi. Disiplin sekolah yang otoritarian selalu berarti pengendalian

tingkah laku berdasrkan dorongan, tekanan, pemaksaan dari luar diri seseorang.

2. Peraturan Permisif

Dalam peraturan ini seseorang dibiarkan bertindak menurut keinginannya.

Kemudian dibebaskan untuk mengambil keputusan sendiri dan bertindak sesuai

dengan keputusan yang diambilnya itu. Seseorang yang berbuat seseuatu, dan

ternyata membawa akibat melanggar norma atau aturan yang berlaku, tidak diberi

sanksi atau hukuman. Dampak teknik permisif ini berupa kebingunan dn

kebimbangan. Penyebabnya karena tidak tahu mana yang tidak dilarang dan mena
109

yang dilarang atau bahkan menjadi takut, cemas, dan dapat juga menjadi agresif

serta liar tanpa kendali.

3. Peraturan Demokratis

Pendekatan peraturan demokratis dilakukan dengan memberi penjelasan, diskusi

dan penalaran untuk membantu anak memahami mengapa diharapkan mematuhi

dan menaati peraturan yang ada. Teknik ini menekankan aspek edukatif bukan

aspek hukuman. Sanksi atau hukuman dapat diberikan kepada yanng menolak

atau melanggar tata tertib. Akan tetapi, hukuman dimaksud sebagai upaya

menyadarkan, mengoreksi dan mendidik. Dalam disiplin sekolah yang

demokratis, kemandirian dan tanggung jawab dapat berkembang. Siswa patuh dan

taat karena didasari kesaadaran dirinya. Mengikuti peraturan yang ada bukan

karena terpaksa, melainkan atas kesadaran bahwa hal itu baik dan ada manfaat.

Sanksi adalah hukuman yang diberikan kepada siswa atau warga sekolah

lainnya yang melanggar tata tertib atau kedisiplinan yang telah diatur oleh

sekolah, yang secara eksplisit berbentuk larangan-larangan. Hal ini menurut

Depdiknas 2001:10, Sanksi yang diterapkan agar bersifat mendidik, tidak

bersifat hukuman fisik, dan tidak menimbulkan trauma psikologis. Sanksi dapat

diberikan secara bertahap dari yang paling ringan sampai yang seberat-beratnya.

Sanksi tersebut dapat berupa:

1.Teguran lisan atau tertulis bagi yang melakukan pelanggaran ringan terhadap

ketentuan sekolah yang ringan.

2.Hukuman pemberian tugas yang sifatnya mendidik, misalnya membuat


110

rangkuman buku tertentu, menterjemahkan tulisan berbahasa Inggris dan lain-lain.

3.Melaporkan secara tertulis kepada orang tua siswa tentang pelanggaran yang

dilakukan putera-puterinya.

4.Memanggil yang bersangkutan bersama orang tuanya agar yang bersangkutan

tidak mengulangi lagi pelanggaran yang diperbuatnya.

5.Melakukan skorsing kepada siswa apabila yang bersangkutan melakukan

pelanggaran peraturan sekolah berkali-kali dan cukup berat.

6.Mengeluarkan yang bersangkutan dari sekolah, misalnya yang bersangkutan

tersangkut perkara pidana dan perdata yang dibuktikan oleh pengadilan.

Pemberian hukuman tidak ada bedanya dengan pemberian penghargaan. Antara

pemberian hukuman dan penghargaan merupakan respons seseorang kepada

orang lain karena perbuatannya. Bedanya, pemberian penghargaan termasuk

respons positif, sedangkan pemberian hukuman termasuk respons negatif. Akan

tetapi, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mengubah tingkah laku

seseorang. Adapun respons positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik

akan lebih bertambah frekuensinya sehingga akan lebih baik lagi di masa

mendatang. Sedang respons negatif (hukuman) bertujuan agar seseorang yang

memiliki tingkah laku yang tidak baik itu dapat berubah dan lambat laun akan

mengurangi frekuensi negatifnya.

Tegaknya peraturan sekolah secara konsisten merupakan faktor pertama dan

utama yang dapat menunjang berlangsungnya proses belajar yang baik. Baik

buruknya lingkungan sekolah sebenarnya sangat ditentukan oleh peraturan atau

tata tertib yang dilaksanakan secara konsisten. Hanya di sekolah dengan peraturan

yang konsistenlah proses belajar dapat berlangsung dengan baik sesuai dengan
111

rencana yang telah ditentukan di dalam kurikulum. Dengan adanya peraturan

tersebut, sekolah dapat berfungsi sebagai arena persaingan yang sehat bagi para

siswa untuk meraih prestasi yang semaksimal mungkin. Selain itu, yang paling

penting, dengan adanya peraturan yang dijalankan secara konsisten, sekolah dapat

menjalankan perannya sebagai lembaga pendidikan yang mampu meningkatkan

kualitas tingkah laku siswa.97

Apa kegunaan peraturan yang dicanangkan oleh banyak sekolah ? Banyak

anak anak yang tidak setuju dengan masalah tersebut. Dan hanya segelintir

orang yang merasa menyukai tata tertib. Tentu peraturan dibuat bukan untuk

dilanggar. Tetapi, sebagian siswa merasa harus mengubah aturan yang dianggap

kurang bermutu itu. Tak semua siswa berambut gondrong itu, nakal, karena

rambut tak mempengaruhi akal pikiran. Meskipun ia botak kalau memang nakal

tetap nakal, meskipun rambutnya panjang tapi kalau asalnya pintar akan pintar

juga.

Mereka yang kurang percaaya diri, akan rambutnya akan malas turun ke

sekolah karena malu dengan rambutnya yang tak cocok apabila dicukur pendek,

atau mereka akan belajar bolos. Bolos itu tak hanya disebabkan oleh faktor malas

tetapi juga malu. Itu semua akibat aturan. Begitupun dengan seragam yang hanya

menjadi logo/formalitas belaka. Siswa yang ingin sekolah diharuskan memakai

seragam lengkap dengan atributnya.

Mengapa orang barat dan jepang yang tak memakai seragam dan berambut

gondrong, tapi bisa menguasai dunia dengan kepintarannya. Banyak orang yang

97
http://1lmu.blogspot.com/2009/01/antara-hukuman-dan-disiplin-sekolah.html
112

rapi,disiplin,pandai menjadi musuh masyarakat/koruptor. Itu semua hanya topeng

belaka, jangan mendidik siswa dengan topeng.

Seakan-akan niat tulus itu tak berarti apa-apa dibandingkan BP3 dan

seragam sekolah. Itu sebabnya banyak siswa nakal menjadi pembangkang,karena

mereka sekolah tidak didasari niat itu tadi. Banyak salah persepsi dari orangtua

terhadap hukuman yang didapat sang anak dari guru mereka. Bahkan sebagian

menganggap ini merupakan bentuk kekerasan fisik ataupun mental dan sangat

berpengaruh bagi perkembangan anak-anak mereka. Tanggapan dan reaksi dari

orangtua seperti ini sebenarnya wajar saja, sebab setiap orangtua pasti tidak mau

menerima anak-anak mereka yang dianggap nakal atau tidak disiplin.

Sebenarnya hukuman bukan berarti kekerasan, terlebih jika diberikan

secara tepat dan edukatif. Namun semua itu dikembalikan kepada guru yang

memberlakukan hukuman tersebut. Hukuman bisa saja berubah menjadi suatu

kekerasan baik kekerasan fisik maupun psikologis jika guru yang membuat

hukuman tersebut tidak mengetahui tujuan dan fungsi diberikannya hukuman

kepada murid atau tidak bisa menggunakan hukuman tersebut secara tepat.

Bahkan bisa saja pemberian hukuman tersebut dapat menimbulkan rasa dendam

ataupun trauma dari murid akibat tidak bisa menerima hukuman yang diberikan

oleh gurunya, selain itu dapat juga menurunkan rasa percaya diri murid bahkan

dapat melemahkan hubungan guru dengan murid.

Orangtua sebaiknya memang diberi tahu bahwa anaknya dihukum di

sekolah, namun tentunya guru harus bisa menjelaskan penyebab murid tersebut

mendapat hukuman agar orangtua juga bisa menerima konsekuensi atau resiko
113

yang diterima oleh anaknya, dengan demikian tidak akan terjadi salah paham

antara orangtua dengan guru. Akan lebih baik jika sebelumnya ada kesepakatan

yang sudah dibuat secara tertulis antara guru dengan murid. Bahkan juga dengan

orangtua tentang bentuk konsekuensi positif dan negatif yang akan diberikan

kepada murid dalam rangka penerapan disiplin di kelas maupun di sekolah,

sehingga jika terjadi suatu pelanggaran yang membuat seorang murid harus

menerima konsekuensi berupa hukuman di sekolah / kelas maka orangtua

mengetahuinya dan bisa menerima konsekuensi yang diterima anaknya sebagai

suatu pembelajaran.

Idealnya jika hukuman tersebut diberikan secara tepat. Artinya tepat

dalam porsinya, tepat dalam waktu pemberiannya, tepat dalam penggunaannya,

dan tepat dalam bentuk hukumannya serta ada follow up atau pembahasan dari

hukuman yang diberikan, maka akan memberikan efek sadar dan jera bagi murid

yang mengalaminya, dengan harapan tidak akan mengulangi kesalahan atau

pelanggaran yang sama dan lebih bertanggung jawab atas perilakunya.

Maka hukuman tersebut menjadi efektif. Namun sebaliknya, jika

hukuman diberikan dalam porsi yang tidak sesuai dengan kesalahan yang

dilakukan, waktu pemberiannya tidak segera serta bentuk hukumannya tidak ada

nilai edukasinya dan tidak ada tindak lanjutnya, maka hukuman tersebut tidak

akan efektif dan tentunya tidak bisa memberikan efek jera dan tidak membuat

murid menyadari kesalahannya, bahkan hukuman tersebut justru akan menjadi

penguat bagi perilaku buruk murid, terlebih jika guru mengabaikan perilaku

positif yang coba ditunjukkan oleh murid.


114

Hukuman dalam konteksnya mengajari siswa seharusnya diperbaiki

lagi. Dalam hal edukasi yang tepat dan tindak lanjutnya kepada siswa setelah

hukuman itu diberikan kepada siswa tersebut. Tetapi Jadi kalau hukuman dalam

konteksnya membunuh siswa sebaiknya itu dihilangkan saja. Para orang tua

juga sebaiknya memberikan andil yang besar untuk perkembangan anaknya pula.

Dengan pengawasan dan perhatian dari para orang tua, para siswa pun / anak

anak akan terhindar pula dari hukuman. Ditulis dalam PIKA | Bertanda:

hukuman siswa seharusnya, kedisiplinan siswa sekarang, peraturan disiplin

hukuman, peraturan sekolah sekarang, seharusnya pelanggaran siswa, tindak

lanjut hukuman |

4.1.2 Analisis Saddu al-dzariah

Hukuman fisik menurut kajian fiqih, merupakan saddu al-Dzariah. Karena

memukul anak yang tidak salat atau karena berulang kali melanggar aturan

sekolah, merupakan bagian dari upaya menolak dan mencegah kenakalan,

keburukan(daral mafasid). Dalam perjalanan sejarah Islam, para ulama

mengembangkan berbagai teori, metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya

tidak dirumuskan secara sistematis, baik dalam Alquran maupun Sunnah. Upaya

para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin

hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya

tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.

Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama

adalah sadd al-dzariah dan fath al-dzariah. Metode sadd al-dzariah merupakan

upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak negatif.
115

Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah intelektual

Islam yang sepanjang pengetahuan penulistidak dimiliki oleh agama-agama

lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki sistem hukum yang

didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang sedemikian banyak.

Tentang analisis kata memukul dalam Islam, penulis temukan ada tiga macam:

1.Memukul anak

Menurut penulis, memukul anak, bagian dari saddu al-zariah. Hukum Islam

tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah dewasa, tetapi juga

yang belum dewasa. Hal ini bukan berarti bahwa hukum Islam cenderung

mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang salah satu tujuan hukum

Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan

(mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan

menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan

kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan

sadd al-dzariah. Sebaliknya, jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi

sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang

menjadi sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath

adz-dzariah.Adapaun pengertian saddu al-Dzariah :

1. Secara Etimologis

Kata sadd al-dzariah ( ) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri

) dan al-dzariah () . Secara etimologis, kata as-


dari dua kata, yaitu sadd (

sadd ( )merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari


. Kata as-sadd
116

tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.

Sedangkan al-dzariah ( ) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang

berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari al-

dzariah ( ) adalah al-dzarai () . Karena itulah, dalam beberapa kitab

usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang

digunakan adalah sadd adz-dzarai.

Pada awalnya, kata al-adzariah dipergunakan untuk unta yang

dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu

agar bisa mendekati binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung

di samping unta agar tak terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah

dekat dengan binatang yang diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya.

Karena itulah, menurut Ibn al-Arabi, kata al-dzariah kemudian digunakan

sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang

lain.

2. Secara Terminologi

Menurut al-Qarafi, sadd al-dzariah adalah memotong jalan kerusakan

(mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu

perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu

merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus

mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-

Syaukani, adz-dzariah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya

dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-

mahzhur).
117

Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd al-

dzariah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan

kepada sesuatu yang dilarang (mamnu). Menurut Mukhtar Yahya dan

Fatchurrahman, sadd adz-dzariah adalah meniadakan atau menutup jalan yang

menuju kepada perbuatan yang terlarang. Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-

Jauziyyah, jalan atau perantara tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang

maupun yang dibolehkan.

Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti

asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit al-dzariah sebagai sesuatu yang

awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan al-

dzariah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang

diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-

dzariah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi al-dzariah oleh Ibnu

al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.

Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd al-dzariah

adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada

dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan

lain yang dilarang. Kedudukan saddu al-zariah, sebagaimana halnya dengan

qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd al-dzariah merupakan salah satu

metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun

dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd al-dzariah adalah salah satu sumber

hukum.
118

Tidak semua ulama sepakat dengan sadd al-dzariah sebagai metode dalam

menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama tersebut bisa

diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang menerima sepenuhnya; 2)

yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak sepenuhnya.

Kelompok pertama, yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam

menetapkan hukum, adalah mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di

kalangan Mazhab Maliki bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai

pembahasan fikih dan ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas.

Imam al-Qarafi (w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam

karyanya Anwar al-Buruq fi Anwaal-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w.

790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.

Kelompok kedua, yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam

menetapkan hukum, adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafii. Dengan kata lain,

kelompok ini menolak sadd al-dzariah sebagai metode istinbath pada kasus

tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus

Imam Syafii menggunakan sadd al-dzariah, adalah ketika beliau melarang

seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan atau sawah. Hal ini menurut

beliau akan menjadi sarana (dzariah) kepada tindakan mencegah memperoleh

sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada tindakan

mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air adalah rahmat

dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.

Contoh kasus penggunaan sadd al-dzariah oleh mazhab Hanafi adalah

tentang wanita yang masih dalam iddah karena ditinggal mati suami. Si wanita
119

dilarang untuk berhias, menggunakan wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian

yang mencolok. Dengan berhias, wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam

keadaan tidak boleh dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd al-

dzariah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan

perempuan dalam keadaan iddah.

Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan

kelompok ini terhadap metode sadd al-dzariah adalah transaksi-transaksi jual beli

berjangka atau kredit (buyu al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka,

misalnya sebuah showroom menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan

harga Rp. 150 juta kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan

harinya sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan

mendesak. Ia pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak

showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.

Transaksi seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang

karena terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi jual

beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150 juta dan secara

tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan seolah sia-sia dan tidak

bermakna apa-apa.

Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang.

Namun mereka menolak menggunakan sadd al-dzariah dalam pelarangan

tersebut. Pelarangannya berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual

tersebut belum jelas, karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang

menjual kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang


120

tersebut karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang

dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah

(fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.

Bagi mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara

formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan riba,

misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi patokan

adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si penjual yang tidak

tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya berdasarkan dugaan terhadap

maksud tertentu yang belum jelas terbukti.

Kelompok ketiga, yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam

menetapkan hukum, adalah mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka

yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh).

Sementara sadd al-dzariah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang

masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang

kuat. Dengan demikian, bagi mereka konsep sadd al-dzariah adalah semata-mata

produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.98

Konsep sadd al-dzariah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh

atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa ditetapkan

berdasarkan nash dan ijma (qathi). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh

nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain yang jelas

98
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis
satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzariah dalam kitabnya al-Ahkam fi
Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-
dzariah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzariah
lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan agama dan jiwa agar
tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang.
121

atau ijma. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan yang kuat dari nash

yang jelas atau ijma. Hukum tidak bisa didasarkan oleh dugaan semata.

Contoh kasus penolakan kalangan al-Zhahiri dalam penggunaan sadd al-

dzariah adalah ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan

Maliki yang mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan

sakit keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki,

perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzariah) bagi wanita untuk sekedar

mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang lebih berhak. Namun

bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas mengharamkan sesuatu yang

jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan mendapatkan warisan karena hubungan

perkawinan adalah sesuatu yang halal.

Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd al-

dzariah, namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan

empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali, hanya berpusat pada satu

kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab banyak

menggunakan sadd adz-dzariah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.

Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-

dzariah, hal itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip

berpegang kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan

harus diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu

terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal

itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk
122

menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas

bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd

al-dzariah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.

Dengan sadd al-dzariah, timbul kesan upaya mengharamkan sesuatu yang

jelas-jelas dihalalkan seperti yang dituding oleh mazhab al-Zahiri. Namun agar

tidak disalahpahami demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam

sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara

substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut

tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan itu

menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif tersebut

sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum asal, yaitu

halal.99

Sadd al-dzariah menghasilkan pandangan ulama yang melarang wanita

untuk berkiprah lebih luas di masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah

demi mencegah bercampur dengan lelaki yang bukan mahram. Sinyalemen

Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu

dipersalahkan bukanlah sadd al-dzariah-nya, namun orang yang menerapkannya.

Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd al-dzariah tentu masih bisa dicek

kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya. Jika memang dampak negatif yang

dikhawatirkan terjadi tersebut, ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan

99
Terkait dengan kedudukan sadd al-dzariah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita
pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd al-dzariah merupakan
metode istinbath hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan
diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan ketidakberanian umat
untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam mafsadah. Di samping itu, produk-produk
fikih dengan berdasarkan sadd al-dzariah cenderung menjadi bias gender.
123

tersebut bisa dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzariah

menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.

Dasar hukum saddu al-Zariah :

1. Alquran

Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,

Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa

pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan

mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia

memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS.6: 108)

Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah

al-dzariah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang,

yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense,

orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang

diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci

maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan

tindakan preventif (sadd adz-dzariah).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada

Muhammad): Raaina, tetapi katakanlah: Unzhurna, dan Dengarlah. Dan

bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).

Pada surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu

bentuk pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran


124

terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ina ()


berarti: Sudilah

kiranya kamu memperhatikan kami. Saat para sahabat menggunakan kata ini

terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan nada mengejek

dan menghina Rasulullah SAW. Mereka menggunakannya dengan maksud kata

raainan ()
sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ruunah ()
yang

berarti bodoh atau tolol. Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi

SAW mengganti kata raaina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna

yang juga berarti sama dengan raaina. Dari latar belakang dan pemahaman

demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd al-dzariah.

2. Sunah

Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: Termasuk di

antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya. Beliau kemudian

ditanya, Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?

Beliau menjawab, Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang

yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.

Ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi

konsep sadd al-dzariah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih

dari Hadis Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk

penetapan hukum dalam konteks sadd al-dzariah.


125

3. Kaidah Fikih

Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd al-dzariah

adalah:

Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan

(maslahah)

Kaidah ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan

di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena itulah,

sadd al-dzariah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami,

karena dalam sadd al-dzariah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.

4. Logika

Secara logika, ketika seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka

mestinya ia juga membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal

tersebut. Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka

mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada perbuatan

tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab Alm al-

Mqin: Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan

mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu

untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah

membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang

dengan pelarangan yang telah ditetapkan.


126

Macam-macam saddu al-Dzari.ah.

Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan

adz-dzariah menjadi empat macam, yaitu:

1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan

(mafsadah). Hal ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa

mengakibatkan mabuk dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal

usul keturunan.

2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan

(mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi

sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak

tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah

melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.

3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja

untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan

itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang

kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah)

yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-

orang musyrik.

4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa

menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan yang ditimbulkan lebih besar

akibatnya daripada keburukannya. Misalnya, melihat perempuan yang sedang

dipinang dan mengkritik pemimpin yang zalim.


127

Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi

membagi al-dzariah menjadi tiga macam, yaitu:

1. Sesuatu yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan

atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya menanam

anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau hidup

bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan tetangga.

2. Sesuatu yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi

orang yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut

akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah

larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa jalan

tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.

3. Sesuatu yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti

memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual beli

berjangka karena khawatir ada unsur riba.[

Ada perbedaan al-Zariah dan muqaddimah. Wahbah az-Zuhaili

membedakan antara al-dzariah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan

bahwa al-dzariah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng.

Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya

dinding.

Dengan demikian, al-dzariah dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar

sarana dan jalan untuk mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi

tujuannya. Ia bisa menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri.


128

Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu

perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu.

Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak

terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sai merupakan sesuatu

perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji

sendiri merupakan kewajiban.

Fathu zariah

Kebalikan dari sadd al-dzariah adalah fath al-dzariah. Hal ini karena

titik tolak yang digunakan adalah al-dzariah. Dalam mazhab Maliki dan

Hambali, adz-dzariah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal

ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu al-

Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Al-dzariah adakalanya

dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd al-dzariah; adakalanya dianjurkan

atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath al-dzariah.

Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzariah adalah

menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya

diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan

(istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi

sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau

diperintahkan.

Contoh dari fath adz-dzariah adalah bahwa jika mengerjakan shalat

Jumat adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan
129

meninggalkan perbuatan lain. Contoh lain adalah jika menuntut ilmu adalah

sesuatu yang diwajibkan, maka wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk

tercapai usaha menuntut ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun

anggaran pendidikan yang memadai.

Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun al-dzariah

(sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi tujuannya.

Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada tingkat keutamaan

perbuatan yang menjadi tujuannya.

Pembahasan tentang fath al-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di

kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath al-dzariah hanyalah hasil

pengembangan dari konsep sadd al-dzariah. Sementara sadd al-dzariah sendiri

tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukum. Hal itu

karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafiiyyah, masalah

sadd al-dzariah dan fath al-dzariah masuk dalam bab penerapan kaidah:

Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal

tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .

Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah

(pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula

yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap

kedudukan sadd al-dzariah dan fath al-dzariah. Apa yang dimaksudkan al-
130

dzariah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafii adalah

sekedar muqaddimah.

Cara menetukan al-Dzariah. Guna menentukan apakah suatu perbuatan

dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu

perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal,

yaitu:

1. Motif atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu

perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang dihalalkan

atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat bahwa seseorang

yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga adalah karena sekedar

untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi oleh mantan suaminya

terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah. Tujuan pernikahan tersebut

bertentangan dengan tujuan pernikahan yang digariskan syara yaitu demi

membina keluarga yang langgeng.

2. Akibat yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat si

pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu perbuatan

adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka perbuatan itu harus dicegah.

Misalnya, masalah pemberian hadiah (gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya

terjadi, seorang pejabat yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan

mempengaruhi keputusan atau kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena

itulah, setiap pemberian hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus

dikembalikan ke kas negara oleh pihak KPK.


131

Sadd al-dzariah dan fath al-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam

Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu

syara, Keduanya bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk

menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi

jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan

sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok dan

pribadinya.

Setiap perbuatan yang secara sadar dilakukan oleh seseorang pasti

mempunyai tujuan tertentu yang jelas, tanpa mempersoalkan apakah perbuatan

yang dituju itu baik atau buruk, mendatangkan manfaat atau menimbulkan

mudharat. Sebelum sampai pada pelaksanaan perbuatan yang dituju itu ada

serentetan perbuatan yang mendahuluinya yang harus dilaluinya.

Bila seseorang hendak mendapatkan ilmu pengetahuan, maka ia harus belajar.

Untuk sampai dapat belajar, ia mesti melalui beberapa fase kegiatan seperti

mencari guru, menyiapkan tempat dan alat-alat belajarnya. Kegiatan pokok dalam

hal ini adalah belajar atau menuntut ilmu, sedangkan kegiatan lain itu disebut

perantara, jalan atau pendahuluan.

Bila seseorang berbuat zina, ada hal-hal yang mendahuluinya, seperti rangsangan

yang mendorong berbuat zina dan penyediaan kesempatan untuk melakukan zina

itu. Dalam hal ini zina disebut perbuatan pokok yang dituju, sedangkan hal-hal

yang mendahuluinya disebut perantara atau pendahuluan.

1. Pengertian Saddu al-dz Dzariah

Saddudz Dzariah terdiri atas dua perkataan, yaitu saddu dan dzariah. Kata
132

Saddu menurut bahasa berarti menutup, penghalang, hambatan atau sumbatan,

sedang adz-dzariah berarti wasilah atau jalan ke suatu tujuan. Dengan demikian,

saddudz-dzariah secara bahasa berarti menutup jalan kepada suatu tujuan atau

menghambat atau menghalangi atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada

kerusakan atau maksiat .

Menurut istilah Usul Fiqih,seperti dikemukakan Abdul-Karim Zaidan,

saddudz-dzariah berarti menutup jalan yang membawa kepada kebinasaan atau

kejahatan..

Ibnu Qayyim mengatakan bahwa pembatasan pengertian dzariah kepada sesuatu

yang dilarang saja tidak tepat, karena ada juga dzariah yang ditujukan kepada

yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya pengertian dzariah mengandung

dua pengertian, yaitu: yang dilarang disebut Saddudz-dzariah dan yang dituntut

untuk dilaksanakan disebut Fathudz-dzariah .

Imam al-Syathibi mendefinisikan dzariah dengan:

Melakukan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan untuk

menuju kepada suatu kemafsadatan. Maksudnya, seseornag melakukan pekerjaan

yang pada dasarnya dibolehkan karena mengandung suatu kemaslahatan, tapi

tujuan yang akan ia capai berakhir pada suatu kemafsadatan. Contohnya dalam

masalah zakat. Sebelum waktu haul (batas waktu perhitungan zakat sehingga

wajib mengeluarkan zakat) datang seseorang yang memiliki sejumlah harta yang

wajib dizakatkan, menghibahkan sebagian harta kepada anaknya, sehingga

berkurang nisab harta itu dan ia taerhindar dari kewajiban zakat.

Pada dasarnya menghibahkan harta kepada anak atau orang lain

dianjurkan oleh syara, karena perbuatan ini merupakan salah satu akad tolong
133

menolong. Akan tetapi, karena tujuan hibah dilakaukan itu adalah untuk

menghindari kewajban yaitu membayar zakat., maka perbuatan ini dilarang.

Pelarangan ini didasarkan pemikiran bahwa hibah yang hukumnya sunah

menggugurkan zakat yang hukumnya wajib.

Tujuan penetapan hukum secara saddudz-dzariah ialah untuk

memudahkan tercapainya kemaslahatan atau jauhnya kemungkinan terjadinya

kerusakan, atau terhindarnya diri dari kemungkinan berbuat maksiat. Hal ini

sesuai dengan tujuan ditetapkan hukum atas para mukalaf, yaitu untuk mencapai

kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan. Untuk mencapai tujuan ini

syariat menetapkan perintah-perintah dan larangan-larangan. Dalam memenuhi

perintah dan menghentikan larangan itu, ada yang dapat dikerjakan secara

langsung dan ada pula yang tidak dapat dilaksanakan secara langsung. Perlu ada

hal yang harus dikerjakan sebelumnya. Inilah yang dimaksud dengan kaidah:

Artinya : Semua yang menyempurnakan perbuatan wajib, maka ia tiada lain

hanyalah wajib pula.

Sebagai contoh ialah kewajiban mengerjakan shalat yang lima waktu. Seseorang

baru dapat mengerjakan shalat itu bila telah belajar shalat terlebih dahulu, tanpa

belajar ia tidak akan dapat mengerjakannya. Dalam hal ini tampak bahwa belajar

shalat itu sendiri tidak wajib. Tetapi karena ia menentukan apakah kewajiban itu

dapat dikerjakan atau tidak, sangat tergantung kepadanya. Berdasarkan hal ini

dapat ditetapkanlah hukum wajib belajar shalat, sebagaimana halnya hukum

shalat itu sendiri.

Demikian pula halnya dengan larangan. Ada perbuatan itu yang dilarang secara

langsaung dan ada yang dilarang secara tidak langsung. Yang dilarang secara
134

langsung, ialah seperti minum khamer, berzina dan sebagainya. Yang dilarang

secara tidak langsung seperti membuka warung yang menjual minuman khamer,

berkhalwat antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram.

Menjual khamer pada hakekatnya tidak dilarang, tetapi perbuatan itu membuka

pintu yang menuju kepada minum khamer, maka perbuatan itupun dilarang.

Demikian pula halnya dengan berkhalwat yang dapat membuka jalan kepada

perbuatan zina, maka iapun dilarang. Dengan menetapkan hukumnya sama

dengan perbuatan yang sebenarnaya, maka tertutuplah pintu atau jalan yang

menuju kearah perbuatan-perbuatan maksiat .

2. Dasar Hukum Saddudz-al-Dzariah

Dasar hukum dari saddudz-dzariah adalah Al-Quran dan Hadits, Dalam Alquran

yang artinya : Dan janganlah kamu mencaci sembahan-sembahan yang mereka

sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui

batas tanpz pengetahuan.(Q.S Al Anam ayat 108)

Mencaci berhala tidak dilarang oleh Allah, tetapi ayat ini melarang kaum

muslimin mencaci dan menghina berhala, karena larangan ini dapat menutup

pintu kearah tindakan orang-orang musyrik mencaci dan memakai Allah secara

melampaui batas

Firman Allah SWT yang artinya : .Dan janganlah mereka memukulkan kaki

mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan(Q.S An Nuur

ayat 31)

Wanita menghentakan kakinya sehingga terdengar gemerincing gelang kakinya

tidaklah dilarang, tetapi perbuatan itu akan menarik hati laki-laki untuk

mengajaknya berbuat zina, maka perbuatan itu dilarang pula sebagai usaha untuk
135

menutup pintu yang menuju kearah perbuatan zina.

c) Nabi Muhammad SAW bersabda: yang artinya: Ketahuilah, tanaman Allah

adalah (perbuatan) maksiat yang (dilakukan) kepada-Nya. Barang siapa yang

menggembalakan (ternaknya) sekitar tanaman itu, ia akan terjerumus ke

dalammya.(H.R. Bukhori dan Muslim)

Hadits ini menerangkan bahwa mengerjakan perbuatan yang dapat mengarah

kepada perbuatan maksiat lebih besar kemungkinan akan terjerumus mengerjakan

kemaksiatan itu daripada kemungkinan dapat memelihara diri dari perbuatan itu.

Tindakan yang paling selamat ialah melarang perbuatan yang mengarah kepada

perbuatan maksiat itu.

3. Obyek Saddudz al-Dzariah

Perbuatan yang mengarah kepada perbuatan melarang ada kalanya :

a. Perbuatan itu pasti menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang

b. Perbuatan itu mungkin menyebabkan dikerjakannya perbuatan terlarang

Macam yang pertama tidak ada persoalan dan perbuatan ini jelas dilarang

mengerjakannya sebagaimana perbuatan itu sendiri dilarang. Macam yang kedua

inilah yang merupakan obyek sadduz dzariah, karena perbuatan tersebut sering

mengarah kepada perbuatan dosa. Dalam hal ini para ulama harus meneliti

seberapa jauh perbuatan itu mendorong orang yang melakukannya untuk

mengerjakan perbuatan dosa.

Dalam hal ini ada tiga kemungkinan, yaitu :

1. Kemungkinan besar perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan

terlarang.

2. Kemungkinan kecil perbuatan itu menyebabkan dikerjakannya perbuatan


136

terlarang.

3. Sama kemungkinan dikerjakannya atau tidak dikerjakannya perbuatan

terlarang.

Pada nomor 1 disebut dzariiah qawiyah (jalan yang kuat), sedang nomor

2 dan 3 disebut dzariah dhaifah (jalan yang lemah) .Tidak ada dalil yang jelas

dan pasti baik dalam bentuk nash maupun ijma ulama tentang boleh atau

tidaknya menggunakan saddudz-dzariah. Oleh karena itu, dasar pengambilannya

hanya semata-mata ijtihad dengan berdasarkan pada tindakan hati-hati dalam

beramal dan jangan sampai melakukan perbuatan yag dapat menimbulkan

kerusakan. Kemudian yang dijadikan pedoman dalam tindakan hati-hati itu adalah

factor manfaat dan mudharat, baik dan buruk. Dasar pegangan ulama untuk

menggunakan saddudz-dzariah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika

menghadapi perbenturan antara maslahat dan mafsadat. Bila maslahat yang

dominan, maka boleh dilakukan. Bila sama kuat diantara keduanya, maka untuk

menjaga kehati-hatian harus diambil perinsip yang berlaku.

2. Memukul istri

Memukul anak dianalogikan kepada memukul istri, karena kata-kata

memukul anak tidak terdapat di dalam ayat, sedangkan kata memukul istri, ada

teksnya di dalam al-Quran. Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad menjelaskan bahwa

sebagian suami yang masih awam menyangka bahwa menampakkan kekuatannya

kepada sang istri sehingga menjadikannya takut adalah metode yang terbaik untuk

mendidik sang istri. Oleh karenanya, ada sebagian orang tatkala malam pertama

langsung memukul istrinya agar istrinya tahu kekuatannya dan takut kepadanya di

kemudian hari. Sebagian lagi ada yang di malam pertama mendatangkan ayam
137

jantan dan dinampakkan di hadapan istrinya lalu dengan sekali genggaman maka

iapun mematahkan leher ayam jantan tersebut. Hal ini tidak lain adalah untuk

menakut-nakuti istrinya. Apakah anak boleh ditakut-takuti seperti itu?

[Sebagaimana yang beliau sampaikan dalam syarah kitab "Al-Kabaair" karya Al-

Dzhabi di masjid Al-Qiblatain di kota Nabi pada pagi hari tanggal 7 Juni 2006]

Sebagian suami langsung memukul istrinya jika melakukan kesalahan.

Memang benar bahwasanya Islam membolehkan untuk memukul istri

sebagaimana firman Allah

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan

jauhilah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka

mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.

Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.100

Dan sebagian suami yang suka memukuli istrinya selalu mengulang-ngulang ayat

ini, seakan-akan mereka berkata kami sedang menjalankan perintah Allah.Namun

janganlah dipahami dari ayat ini bahwasanya memukul wanita itu adalah wajib,

100
Departemen Agama RI QS. 4:34
138

bahkan yang terbaik adalah tidak memukul mereka.101 Rasulullah shallallahu 'alihi

wa sallam bersabda:



!!

Janganlah kalian memukul para wanita (istri-istri kalian!. Lalu Umar pun

datang menemui Nabi shallallahu 'alihi wa sallam dan berkata, Para istri berani

dan membangkang suami-suami mereka !!, maka Nabi shallallahu 'alihi wa

sallam pun memberi keringanan untuk memukul mereka, maka para istripun

dipukul. Para istripun banyak yang berdatangan menemui istri-istri Nabi

shallallahu 'alihi wa sallam (para ummahatul mukminin) mengeluhkan tentang

suami mereka. Nabi shallallahu 'alihi wa sallam pun berkata, Sungguh para istri

banyak yang telah mendatangi istri-istri Muhammad shallallahu 'alihi wa sallam

mengeluhkan tentang suami-suami mereka (para suami yang memukul) bukanlah

yang terbaik di antara kalian102 Beliau juga berkata:

Ibnul Arobi berkata, Atho berkata, Janganlah sang suami memukul istrinya,
101

meskipun jika ia memerintah istrinya dan melarangnya ia tidak taat, akan tetapi hendaknya ia
marah kepada istrinya [Ahkamul Quran I/536]

Berkata Al-Qodhi, Ini di antara fakihnya Athoia mengetahui bahwasanya perintah untuk
memukul dalam ayat ini adalah untuk menjelaskan bahwa hukumnya adalah dibolehkan (bukan
diwajibkan) [Ahkamul Quran I/536
102
HR Abi Dawud II/245 no 2146, Ibnu Majah no 1985 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani, dari hadits sahabat Abdullah bin Abi Dzubab]

Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,



Orang-
orang terbaik diantara kalian tidak akan memukul [HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok II/208 no
2775, Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Baihaqi Al-Kubro VII/304 no 14553 dari Shohabiah Ummu
Kultsum binti Abu Bakar As-Shiddiq.
139

Jika seandainya sang suami tidak memukul maka hal ini lebih aku sukai karena

sabda Nabi SAW Orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul103

Jika seorang suami memilih untuk memberikan hukuman fisik.104 istrinya dalam

rangka mendidiknya maka diperbolehkan dalam syariat, namun syariat tatkala

membolehkan hal ini bukan berarti membolehkannya tanpa kaidah dan syarat.

Oleh karena itu pemukulan tidak boleh dilakukan kecuali mengikuti kaidah-

kaidah yang dibenarkan, diantaranya

- Sang istri memang benar-benar bersalah (bermaksiat) menurut syariat

Karena sebagian suami memerintahkan istrinya untuk melakukan hal yang

diharamkan oleh Allah, tatkala sang istri menolak untuk mentaatinya maka iapun

memukulnya, ia menyangka apa yang dilakukannya adalah boleh. Dalam kondisi

seperti ini berarti sang suami telah mengumpulkan dua kesalahan, yang pertama ia

telah memerintahkan istrinya untuk berbuat perkara yang haram, dan yang kedua

ia telah melakukan pemukulan yang tidak sesuai dengan kaidah syariat.

- Bahwasanya sang suami telah menasehatinya dan telah menghajir

(menjauhinya) dari tempat tidur namun tetap tidak bermanfaat. [Sebagaimana

penjelasan Ibnu Katsir I/493]

Imam Asy-SyafiI berkata, Sabda Nabi shallallahu 'alihi wa sallam Orang-orang terbaik diantara
kalian tidak akan memukul merupakan dalil bahwa memukul wanita hukumnya adalah mubah
(dibolehkan) dan tidak wajib mereka dipukul. Dan kami memilih apa yang telah dipilih oleh
Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam, maka kami suka jika seorang suami tidak memukul istrinya
tatkala mulut istrinya lancang kepadanya atau yang semisalnya Al-Umm V/194
103
Aunul Mabud VI/129

104
Berkata Ibnu Hajar, Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul)
maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat
(perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu
menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan
baik Fathul Bari IX/304
140

Berkata Ibnul Arobi, Termasuk yang paling bagus yang pernah aku

dengar tentang tafsiran ayat ini adalah perkataan Said bin Jubair, ia berkata, Ia

(sang suami) menasehati sang istri maka jika ia menerima nasehat (maka

tercapailah maksud). Namun jika ia tidak menerima nasehat maka sang suami

menghajarnya.105 Jika ia berubah (maka tercapailah maksud) namun jika ia tidak

berubah maka sang suami memukulnya Berkata Ibnu Hajar, Jika sang suami

mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul) maka lebih afdhol. Dan jika

masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat (perkataan keras)

maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu

menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli

istri dengan baik 106

Pukulan harus sesuai dengan kesalahan yang dilakukan. Kesalahan yang

banyak dilakukan oleh para istri biasanya merupakan kesalahan yang ringan dan

tidak terus-terusan. Kesalahan seperti ini tidaklah menjadikan sang istri berhak

untuk dipukul.

- Tujuan dari pemukulan adalah untuk mengobati,107 bukan untuk menghina

sang istri apalagi untuk melepaskan dendam yang telah terpendam. Apalagi yang

sangat disayangkan sebagian suami memukul istrinya dihadapan anak-anaknya

105
Berkata Ibnu Hajar, Jika sang suami mencukupkan dengan ancaman (tanpa memukul)
maka lebih afdhol. Dan jika masih memungkinkan untuk mencapai tujuan dengan isyarat
(perkataan keras) maka janganlah ia berpindah pada tindakan (pemukulan) karena hal itu
menyebabkan rasa saling menjauh yang bertentangan dengan sikap mempergauli istri dengan
baik [Fathul Bari IX/304
106
Ibid
107
Lihat Al-Mughni VII/242
141

sehingga anak-anakpun belajar jadi berani terhadap ibunya atau timbul hal-hal

yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-anak. Dan bayangkanlah

wahai para pembaca yang budiman..bagaimanakah perasaan seorang wanita yang

selalu dipukul oleh suaminya apalagi di hadapan anak-anaknya?

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, Kemudian hal ini juga memberi

pengaruh terhadap anak-anak. Anak-anak jika melihat percekcokan yang terjadi

antara ayah dan ibunya maka mereka akan merasa sakit dan terganggu, dan jika

mereka melihat kasih sayang antara ayah dan ibunya maka mereka akan riang

gembira Asy-Syarhul Mumti XII/382.

Betapa banyak anak-anak yang akhirnya tidak terawat dan menjadi anak-anak

jalanan dikarenakan cekcok yang terjadi antara kedua orang tua mereka.

- Menjauhi pemukulan terhadap tempat-tempat yang rawan seperti perut,

kepala, dada, dan wajah.108 Kebanyakan suami yang tukang memukul istri jika

marah maka mereka akan mengambil apa saja yang ada di dekat mereka untuk

dihantamkan kepada istri mereka. Terkadang mereka mengambil panci, atau

piring, atau gelas, dan terkadang sesuatu dari besi. Dan terkadang benda-benda

itu dihantamkan ke wajah wanita?. Padahal Nabi shallallahu 'alihi wa sallam

melarang memukul wajah secara mutlak, bahkan Nabi shallallahu 'alihi wa sallam

melarang memukul wajah hewan.

108
Loc Cit, Al-Mughni VII/243
142

Dari Jabir, ia berkata, Rasulullah melarang memukul di wajah dan memberi

alamat (dengan menggores) di wajah109

Berkata Imam An-Nawawi, Adapun pemukulan di wajah maka dilarang

pada seluruhnya, pada manusia, keledai, kuda, unta, begol, kambing, dan yang

lainnya. Akan tetapi pada manusia lebih terlarang lagi karena wajah manusia

tempat terkumpulnya keindahan padahal wajah itu lembut (halus) yang mudah

nampak bekas pemukulan. Terkadang bekas tersebut menjadikan wajah menjadi

jelek atau bahkan terkadang mengganggu panca indra yang lain.110 Jika

Rasulullah SAW melarang memukul wajah hewan, maka bagaimanakah dengan

memukul wajah manusia..??, bagaimana lagi jika wajah seorang wanita??. Oleh

karena itu Rasulullah melarang secara khusus untuk memukul wajah istri

Seseorang bertanya kepada Nabi SAW, Apa hak seorang wanita terhadap

suaminya?, Rasulullah berkata, Memberi makan kepadanya jika ia maka,

memberi pakaian kepadanya jika ia berpakaian, dan tidak memukul wajahnya,

109
HR Muslim III/1673 no 2116
110
Al-Minhaj syarh Shahih Muslim XIV/97
143

tidak menjelekannya,111 serta tidak meng-hajr (menjauhi istrinya dari tempat

tidur) kecuali di dalam rumah 112. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani.

Bagaimana dengan suami yang memukul wajah istri dengan apa saja yang

ada ditangannya???. Ini menunjukan lemahnya agama dan pendeknya akal sang

suami. Pemukulan tidak boleh sampai mematahkan tulang, tidak sampai

merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan darah. Pemukulan

terhadap istri adalah obat maka harus diperhatikan jenis pemukulannya, kapan

dilakukan pemukulan tersebut, bagaimana cara pemukulan tersebut, dan ukuran

pemukulan tersebut

Dan merupakan hak kalian agar mereka (istri-istri kalian) untuk tidak

membiarkan seorangpun yang kalian benci untuk masuk ke dalam rumah kalian,

111
Ada yang mengatakan maksudnya adalah tidak mengatakan Wajahmu jelek atau
mengatakan, Semoga Allah menjelekkan wajahmu. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan,
Maksudnya adalah janganlah sang suami mensifati sang istri dengan keburukan. Dan
zhohir hadits menunjukan bahwa sang suami tidak mensifati istrinya dengan keburukan
baik yang berkaitan dengan tubuhnya ataupun dengan akhlaknya. Yang berkaitan dengan
tubuhnya misalnya ia mensifati kejelekan di matanya atau hidungnya atau telinganya atau
tingginya atau pendeknya. Yang berkaitan dengan akhlaknya misalnya ia mengatakan
kepada istrinya, Kamu goblok, Kamu gila dan yang semisalnya. Karena jika sang
suami mensifatai istrinya dengan keburukan maka hal ini akan menjadikan sang istri terus
mengingat celaannya tersebut hingga waktu yang lama (Syarah Bulughul Maram kaset no
12)

HR Abu Dawud no 2142 dan Ibnu Majah no 1850 dari hadits Muawiyah bin
112

Haidah.Ibnu Hajar menyatakan hadits ini bisa dijadikan hujjah, Al-Fath IX/301
144

dan jika mereka melakukan maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak

membekas113

Syaikh Utsaimin mengomentari hadits ini, Jika perkara yang besar ini

(yaitu sang istri memasukan seorang lelaki ke dalam rumahnya tanpa izin suami-

pen) dan sang wanita hanya dipukul dengan pukulan yang tidak keras maka

bagaimana lagi dengan bentuk-bentuk ketidaktaatan istri yang lain (yang lebih

ringan)??, maka (tentunya) lebih utama tidak dipukul hingga membekas... 114

Berkata Ibnul Arobi,


yaitu pukulan yang tidak ada bekasnya di

badan berupa darah maupun patah115 Yang sangat menyedihkan sebagian suami

yang keras hatinya memukul istrinya seperti memukul hewan?116

Rasulullah shallallahu 'alihi wa sallam bersabda,

113
HR Muslim II/890 no 1218
Asy-Syarhul Mumti XII/444
114
115
Ahkamul Quran I/535
116
Berkata Ibnu Hajar, (yaitu) kemungkinan jauhnya terjadi hal ini (digabungkannya) dua
perkara dari seorang yang memiliki akal, yaitu memukul istri dengan keras kemudian
menjimaknya di akhir harinya atau akhir malam. Padahal jimak hanyalah baik jika disertai
kecondongan hati dan keinginan untuk berhubungan, dan biasanya orang yang dicambuk lari dari
orang yang mencambuknyadan jika harus memukul maka hendaknya dengan pukulan yang
ringan dimana tidak menimbulkan pada sang istri rasa yang amat sangat untuk lari (menjauh),
maka janganlah ia berlebih-lebihan dalam memukul dan jangan juga kurang dalam memberi
pelajaran bagi sang istri [Fathul Bari IX/303, lihat juga HR Al-Bukhari V/2009] Barangsiapa
yang berbuat aniaya dengan memukul istrinya padahal istrinya telah taat kepadanya, atau dia
memukul istrinya karena merasa tinggi dan ingin merendahkan istrinya maka sesungguhnya Allah
lebih tinggi darinya dan akan membalasnya. Allah berfirman

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. 4:34)
145

Janganlah salah seorang dari kalian mencambuk, memukul istrinya sebagaimana

mencambuk (memukul) seorang budak lantas ia menjimaknya di akhir hari117

Ibnu Katsir berkata, Ini merupakan ancaman bagi para lelaki jika mereka berbuat

sewenang-wenang terhadap wanita tanpa ada sebab karena sesungguhnya Allah

Maha Tinggi lagi Maha Besar yang merupakan wali para wanita dan Allah akan

membalas siapa saja yang menzholimi mereka dan menganiaya mereka menurut

Tafsir Ibnu Katsir I/493, dalam Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja.

Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi

memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah

memelihara (mereka).

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan

pukullah mereka.

Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan

untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS.

4:34

Ayat diatas memerintahkan kita untuk memukul istri yang tidak patuh pada

perintah suami, dimana perintah suami tidak untuk kejelekan istri tetapi untuk

kebaikan istri dan keluarga. Dalam pergaulan hidup tentu suami yang baik

menghendaki istri bergaul dalam komunitas yang baik pula. Terkadang banyak

istri yang bergaul secara salah tanpa sepengetahuan suami. Dalam hal ini jika ada

kecenderungan istri ke arah sana (pergaulan yang tidak baik) maka suami harus

117
HR Al-Bukhari V/1997 no 4908 dan Muslim IV/2191 no 2855 dari hadits Abdullah bin
Zamah
146

menasehati dan jangan memukul, karena dalam kalimat diatas kata menasehati

lebih dulu daripada memukul. Dan tahap dalam menasehati ini tentu tidak hanya

sekali, tetapi harus berulang kali sampai istri sadar. Nah, jika istri sudah

dinasehati tetapi masih bergaul secara salah, maka suami boleh memukul.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana arti dari memukul tersebut. Banyak

kalangan yang salah mengartikan arti memukul sebagai sesuatu yang menakutkan.

kata Pukullah adalah kata umum. Dan masing-masing manusia mengartikan

sendiri-sendiri dari kata ini.

Arti memukul :

1. Membenturkan benda ke tubuh

2. membenturkan kepalan tangan (tangan) ke tubuh

Dari dua arti diatas tentu masih bernuansa umum, karena benda yang dipakai juga

tidak jelas, apakah besar, sedang atau kecil. Apakah bendanya panjang atau

pendek. Dalam membenturkan tangan juga tidak jelas apakah dengan kekuatan

penuh, sedang atau lemah. Ayat di atas tidak ada keterangan bagaimana harus

memukul.

Dalam pemahaman Islam mengenai konteks ayat diatas tentu arti memukul

adalah membenturkan sesuatu benda atau tangan ke pihak istri dimana pukulan itu

bisa menyadarkan pihak istri. Dan tentu masing2 pukulan akan berbeda tentunya,

karena ada istri yang dicubit saja langsung sadar, ada yang dipukul pelan saja

sudah sadar, dan ada yang dipukul keras sampai memar baru sadar dan yang
147

terakhir tadi tentu sejelek-jelek pukulan. Bagaimana jika sudah dipukul dengan

segala tingkatan pukulan tidak mau sadar?. Islam melarang untuk menyakiti

manusia apalagi istri dengan keras (lebih jauh), untuk itu jika memang demikian

daripada takut nanti melukai istri lebih lanjut maka diperbolehkah bercerai meski

itu sangat dibenci oleh Allah.

3.Memukul peminum khamar

Memang bahwa dalam hukum hudud, seorang muslim yang kedapatan dan

terbukti meminum khamar oleh pengadilan (mahkamah syar`iyah) hukumannya

adalah dipukul. Bentuk hukuman ini bersifat mahdhah, artinya bentuknya sudah

menjadi ketentuan dari Allah SWT. Sehingga tidak boleh diganti dengan bentuk

hukuman lainnya seperti penjara atau denda uang dan sebagainya.

Dalam istilah fiqih disebut hukum hudud, yaitu hukum yang bentuk, syarat,

pembuktian dan tatacaranya sudah diatur oleh Allah SWT.

Dasar pensyariatannya adalah hadits Nabi SAW berikut ini :

"Siapa yang minum khamar maka pukullah".

Hadits ini termasuk jajaran hadits mutawatir, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh

sejumlah besar perawi pada tiap thabawatnya (jenjang) dan mustahil ada terjadi

kebohongan diantara mereka.

Di tingkat shahabat, hadits ini diriwayatkan oleh 12 orang shahabat yang berbeda.

Mereka adalah Abu Hurairah, Muawiyah, Ibnu Umar, Qubaishah bin Zuaib, Jabir,
148

As-Syarid bin suwaid, Abu Said Al-Khudhri, Abdullah bin Amru, Jarir bin

Abdillah, Ibnu Mas`ud, Syarhabil bin Aus dan Ghatif ibn Harits.

Syarat diberlakukannya hudud bagi peminum khamar, para ulama sepakat

bahwa agar hukuman pukul atau cambuk itu dapat terlanksana, syarat dan

ketentuannya harus terpenuhi terlebih dahulu. Tidak asal ada orang minum

khamar lantas segera dicambuk. Di antara syarat dan ketentuannya antara lain :

1. Berakal

Peminumnya adalah seorang yang waras atau berakal. Sehingga orang gila bila

meminum minuman keras maka tidak boleh dihukum hudud.

2. Baligh

Peminum itu orang yang sudah baligh, sehingga bila seorang anak kecil di bawah

umur minum minuman keras, maka tidak boleh dihukum hudud.

3. Muslim

Hanya orang yang beragama Islam saja yang bila minum minuman keras yang

bisa dihukum hudud. Sedangkan non muslim tidak bisa dihukum bahkan tidak

bisa dilarang untuk meminumnya.

4. Bisa memilih

Peminum itu dalam kondisi bebas bisa memilih dan bukan dalam keadaan yang

dipaksa.
149

5. Tidak dalam kondisi darurat

Maksudnya bila dalam suatu kondisi darurat dimana seseorang bisa mati bila

tidak meminumnya, maka pada saat itu berlaku hukum darurat. Sehingga

pelakunya dalam kondisi itu tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.

6. Tahu bahwa itu adalah khamar

Bila seorang minum minuman yang dia tidak tahu bahwa itu adalah khamar, maka

dia tidak bisa dijatuhi hukuman hudud.

Jumlah Pukulan

Ada perbedaan pendapat dikalangan ulama dalam menentukan jumlah pukulan.

1. Jumhur fuqoha

Jumhur ulama sepakat bahwa peminum khamar yang memenuhi syarat untuk

dihukum, maka bentuk hukumannya adalah dicambuk sebanyak 80 kali.

Pendapat mereka didasarkan kepada perkataan Ali ra.,

"Bila seseroang minum khamar maka akan mabuk. Bila mabuk maka meracau.

Bila meracau maka tidak ingat. Dan hukumannya adalah 80 kali cambuk. (HR.

Ad-Daruquthuni, Malik).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ali ra. berkata,


150

"Rasulullah SAW mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar

juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunnah. Tapi yang

ini (80 kali) lebih aku sukai",menurut HR. Muslim.

2. Imam Asy-Syafi`i.

Sedangkan Imam Asy-Syafi`i ra. berpendapat bahwa hukumannya adalah cambuk

sebanyak 40 kali.

Dari Anas ra. berkata bahwa Rasulullah SAW mencambuk kasus minum khamar

dengan pelepah dan sandal sebanyak 40 kali". HR. Bukhari, Muslim, Tirmizy,

Abu Daud.

Benda atau Alat Untuk Memukul / Mencambuk

Para ulama mengatakan bahwa untuk memukul peminum khamar, bisa digunakan

beberapa alat antara lain : tangan kosong, sandal, ujung pakaian atau cambuk.

Sang anak tidak mau menunaikan shalat kecuali dengan pukulan, maka sang ayah

boleh memukulnya dengan pukulan yang membuat jera, namun tidak melukai.

Karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan orang tua untuk

memukul bukan untuk menyakiti si anak, melainkan untuk mendidik dan

meluruskan mereka. Dalam Syarh Riyadhish Shalihin, Asy-Syaikh Ibnu

Utsaimin, 2/123-124.

Tak seorangpun menginginkan terjadinya tindak kekerasan, apalagi di

lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara damai dan

edukatif. Namun kenyataannya masih banyak, bahkan hampir semua


151

sekolah/madrasah belum dapat memberikan hak anak, bahkan melakukan

kekerasan terhadap anak. Tanpa disadari hal tersebut merupakan pelanggaran

terhadap Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak dan Deklarasi PBB tentang hak-hak anak

Hukuman secara fisik dan emosional dari guru terhadap murid merupakan

hal yang lumrah terjadi di dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak guru

biasa mencubit, memukul anak-anak bahkan menghina mereka, baik di sekolah-

sekolah negeri maupun sekolah yang berbasis keagamaan. Kadang guru tidak

menyadari bahwa hal ini sebetulnya terlarang dalam hukum Indonesia. Undang-

undang Perlindungan Anak No. 23, bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru

dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik

kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu penanda

tanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam artikel 37

yang mengharuskan negara menjamin bahwa: Tak seorang anakpun boleh

mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun

perlakuan yang merendahkan atau hukuman. Meski demikian, tampaknya

undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku pendidikan, hal

ini sebagaimana laporan penelitian Ibu Nur Hidayati, dkk, dari penelitian

lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa

hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran
152

antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal

ini dari guru-guru mereka secara rutin.118

Ibarat gunung es, kasus di atas baru di permukaan. Masih banyak tindak

kekerasan dalam pendidikan yang tidak tampak. Demikian rapuhnya dunia

pendidikan kita, hingga aksi kekerasan dan pelanggaran HAM para pelajar, para

remaja, para penerus generasi bangsa terus meningkat.

Hak Anak dalam Pendidikan

Dalam Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human

Rights) Pasal 1 disebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pendidikan.

Pendidikan hendaknya diselenggarakan secara bebas (biaya), sekurang-kurangnya

pada tingkat dasar. Di samping itu, pendidikan dasar haruslah bersifat wajib;

pendidikan keahlian dan teknik hendaknya dibuat secara umum dapat diikuti oleh

peminatnya; dan pendidikan tinggi hendaknya dapat diakses secara sama bagi

semua orang atas dasar kelayakan.

Dalam Pasal 2 Deklarasi HAM juga dinyatakan bahwa pendidikan

hendaknya diarahkan untuk mengembangkan secara utuh kepribadian manusia

dan memperkokoh penghormatan terhadap HAM dan kebebasan asasi.

Pendidikan hendaknya mendorong saling pengertian, toleransi, dan persahabatan

118
Nur Hidayati, dkk. 2007. Memperkecil Kekerasan Terhadap anak-anak di Madrasah
Ibtidaiyah. Jakarta: Departemen Agama. 24.
153

antar berbagai bangsa tanpa memandang perbedaan ras dan agama, dan

hendaknya meningkatkan kegiatan PBB untuk memelihara perdamaian.

Sedangkan pada Pasal 3 disebutkan bahwa orang tua memiliki hak utama

untuk menentukan jenis pendidikan yang semestinya diberikan kepada anak-anak

mereka. PBB menindaklanjuti pasal-pasal ini melalui berbagai kegiatan untuk

memelihara perdamaian dunia. Dengan kata lain, pendidikan damai adalah upaya

menyeluruh PBB melalui proses belajar mengajar yang humanis, dan para

pendidik damai yang memfasilitasi perkembangan manusia. Mereka berjuang

melawan proses dehumanisasi yang ditimbulkan akibat kemiskinan, prasangka

diskriminasi, perkosaan, kekerasan, dan perang.

Dalam upaya global, para pendidik berupaya memajukan pengajaran

nilai, standar dan prinsip yang terwujud dalam instrumen sebagaimana

Pemusnahan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on

Elimination of all Form of Discrimination Against Women, CEDAW),119

]Descrimination Based on Religion or Belief).120 Konvensi Hak Anak

119
Lihat Office of the High Commisioner for Human Rights, Convention on the
Eliminationof all Forms of Discrmination againts Women, (Geneva: OHCHR, 1979), h. 1-12.
Hasil konvensi ini ditandatangani dan diratifikasi oleh resolusi Sidang Umum PBB No. 34 /180
tertanggal 18 Desember 1979, dan diberlakukan sejak 3 September 1981. Hasil konvensi ini
memuat 30 pasal yang sebagian besar berisikan perlindungan bagi hak-hak kaum perempuan.

120
Lihat Office of The High Commissioner for Human Rights. Declaration on the
Elimination or All Form of Intolerance and of Discrmination Based on Religion or Belief,
(Geneva: OHCHR)
154

(Convention on the Rights of the Child, CRC), dan Deklarasi Sedunia tentang

Pendidikan untuk semua (Education for all).

Secara khusus dalam CRC terdapat empat prinsip dasar dalam

menyelenggarakan pendidikan yang dapat memenuhi hak anak, yaitu: non-

discrimination (non diskriminasi), the best interests of the child (kepentingan

terbaik bagi anak), the right to life, survival and development (hak hidup,

kelangsungan hidup dan perkembangan), dan respect for the views of the child

(penghargaan terhadap pendapat anak).

Pertama, Non-discrimination. Yang dimaksud non diskriminasi adalah

penyelenggaraan pendidikan anak yang bebas dari diskriminasi dalam bentuk

apapun, tanpa memandang etnis, agama, jenis kelamin, ekonomi, keluarga, bahasa

dan kelahiran serta kedudukan anak dalam status keluarga. Untuk

mengimplementasikan prinsip ini pemerintah memiliki kewajiban untuk

mengambil langkah-langkah yang layak.121

Kedua, The Best Interests of The Child. Yang dimaksud dengan prinsip

Kepentingan Terbaik bagi Anak adalah dalam semua tindakan yang menyangkut

anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan, kesejahteraan sosial

pemerintah maupun swasta, lembaga peradilan, badan legislatif, dan badan

yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan

utama.

121
KHA pasal 2 ayat (1).
155

Ketiga, The Right to Life, Survival and Development. Yang dimaksud

dengan prinsip hak hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan adalah hak

asasi yang paling mendasar bagi anak yang harus dilindungi oleh negara,

pemerintah, masyarakat, keluarga dan orangtua.122 Karena itulah KHA

memandang pentingnya pengakuan serta jaminan dari negara bagi kelangsungan

hidup dan perkembangan anak, seperti dinyatakan dalam pasal 6 ayat 1, bahwa

negara-negara peserta mengakui bahwa setiap anak memilki hak yang melekat

atas kehidupan (inherent right to life), serta ayat 2 negara-negara peserta secara

maksimal mungkin akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan anak

(survival and development of child).

Keempat, Respect for The Views of The Child. Yang dimaksud dengan

penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak

untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan

terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya.

Pembelajaran Berbasis Pemenuhan Hak Anak

a. Menciptakan suasana kondusif

Suasana yang kondusif akan meningkatkan minat dan motivasi belajar

anak. Oleh karenanya, suasana yang kondusif perlu terus dijaga ketika proses

pembelajaran dan latihan dilakukan. Sebab dengan suasana tersebut internalisasi

122
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 2
156

nilai dan sikap menjadi efektif. Bila dijumpai perusak suasana hendaklah segera

diatasi agar tidak merusak keseluruhan proses. Dari sebuah penelitian

menunjukkan bahwa lingkungan sosial atau suasana kelas merupakan penentu

utama psikologis yang mempengaruhi belajar akademis. Di samping itu, guru

akan mencapai hasil lebih tinggi jika mereka mampu menyingkirkan segala

amcam ancaman, melibatkan emosi siswa dan membangun hubungan yang

humanistik.

Bobbi dePorter menyarankan terpenuhinya enam suasana agar dapat

membangkitkan minat, motivasi, dan keriangan anak mengikuti proses belajar.

Pertama, menumbuhkan niat belajar. Keyakinan seseorang mengenai kemampuan

dirinya amat berpengaruh pada kemampuan itu sendiri. Dalam proses belajar-

mengajar, baik guru maupun siswa hendaknya dapat membangkitkan niat tersebut

dari dalam dirinya sendiri. Bila dijumpai siswa yang kurang bersemangat, maka

mentalitas guru terhadap iklim belajar akan menjadi teladan dan berpengaruh bagi

keseluruhan proses belajar. Memperhatikan emosi siswa juga dapat membantu

percepatan pembelajaran mereka. Bila niat tidak mudah tumbuh dari dalam diri

sendiri, dorongan orang lan, dalam hal ini terutama guru, amat diperlukan, agar

tidak mempengaruhi semangat belajar yang lain.

Kedua, menjalin rasa simpati dan saling pengertian untuk menumbuhkan

kepedulian sosial, sikap toleransi dan saling menghargai di antara siswa. Ada

beberapa langkah yang bisa ditempuh, seperti:

Memperlakukan siswa sebagai manusia sederajat


157

Mengetahui apa yang disukai siswa, cara pikir mereka, dan perasaan mereka

mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupan mereka

Membayangkan apa yang siswa lakukan

Mengetahui hal yang menghambat para siswa dalam memperoleh hal yang benar-

benar mereka inginkan. Jika guru memang tidak mengetahui hal yang diinginkan

siswa, maka sebaiknya ditanyakan kepada siswa. Hindari sejauh mungkin sikap

sok tahu.

Berbicara dengan jujur kepada para siswa dengan cara yang membuat mereka

mendengarkan dengan jelas dan halus.

Melakukan kegiatan yang menyenangkan bersama para siswa.

Ketiga, menciptakan suasana riang. Kegembiraan membuat siswa lebih

mudah untuk belajar dan bahkan dapat mengubah sikap negatif. Belajar dalam

iklim menyenangkan, tanpa ada paksaan dan tekanan, akan menimbulkan

kesadaran untuk menemukan sendiri jawaban atas persoalan yang dihadapi.

Sebaliknya suasana tegang dan tertekan mengakibatkan siswa belajar dengan

terpaksa. Menciptakan suasana riang dapat dilakukan dengan membiasakan

membuat selingan. Misalkan, bertepuk tangan, berteriakan hore menghentikkan

jari, menulis poter, membuat catatan pribadi, membuat kejutan, pengakuan atas

prestasi siswa, pujian maupun penguatan. Hal terpenting dar langkah ini adalah

menjaga suasana riang agar tidak berubah menjadi senda gurau.

Keempat, mengambil risiko. Sebagai gambaran, misalnya belajar naik

sepeda di masa kecil? Pada mulanya susah,namun terus dicoba. Kadang kala

jatuh, tapi masih tetap mau bangun. Tidak jarang terluka karena kurang hati-hati.
158

Memang berisiko, tetapi tetap menyenangkan. Keberanian mengambil risiko yang

menantang itulah terletak keasyikan belajar. Hal-hal itulah yang hendaknya

diwujudkan dalam suasana belajar di ruang kelas: tidak mudah menyerah, terus

berpikir untuk memecahkan masalah. Belajar dengan tantangan bisa mengurangi

kejenuhan dan rasa bosan.

Kelima, menciptakan rasa saling memiliki. Sebab, rasa saling memiliki

membentuk kebersamaan, kesatuan, kesepakatan dan dukungan dalam belajar.

Rasa saling memiliki juga memeprcepat proses mengajar dan meningkatkan

kepemilikan. Kebanyakan konflik kekerasan yang muncul adalah akibat ketiadaan

rasa saling memiliki. Pendidikan damai amat mementingkan kebersamaan,

kesatuan dan kesepakatan bersama untuk saling menghargai perbedaan dan

menyelesaikan konflik tanpa keerasa.

Keenam, menunjukkan teladan yang baik. Perilaku nyata akan lebih

berarti daripada seribu kata. Hal-hal yang diperbuat oleh guru akan menjadi

cermin bagi para murid. Untuk itu, sebaiknya mendahulukan bukti-bukti berupa

sikap, sikap damai, kasih sayang, empati, disiplin dna lain sebagainya, sebelum

mengajarkan dengan kata kepada orang lain tentang damai, kasih sayang dan

seterusnya.

Langkah ini bisa dilakukan dengan beberapa cara berikut.

Memberikan teladan dalam wujud komunikasi yang jelas

Mengakui setiap usaha siswa

Murah senyum
159

Menggunakan energi untuk menciptakan lebih banyak energi

Menjadi pendengar yang baik

Mengungkapkan pikiran para siswa melalui kata-kata Anda sendiri.

o Menyatakan kembali situasi negatif untuk menemukan hal-hal yang positif di

dalamnya.

b. Meningkatkan kualitas emosi positif

Contoh-contoh kualitas emosi positif adalah sikap jujur, toleransi, saling

menghargai, empati terhadap sesama, rasa percaya diri, sabar, dan sebagainya.

Emosi positif ini umumnya dimiliki oleh siswa atau remaja dari interaksi

sosialnya, seperti keluarga, sekolah dan pergaulan mereka di tengah masyarakat.

Pendidikan keluarga yang baik akan mendukung keberhasilan anak atau remaja di

sekolah. Begitu pula halnya dengan masyarakat. Ketiganya berinteraksi secara

sinergis, saling mempengaruhi. Anak yang pembohong umumnya berasal dari

keluarga yang suka bohong. Sebaliknya, keluarga yang hidup membiasakan

kejujuran, rasa tolerasi, saling menghargai, percaya diri sabar dan lain-lain.

Menyebabkan anak atau remaja akan terpola dengan kualitas emosional tersebut.

Kualitas emosional yang demikian sepatutnya ditingkatkan melalui pendidikan

formal di sekolah.

Pendidikan berfungsi menanamkan kualitas emosi positif kepada

peserta didiknya. Proses internalisasi nilai positif bukanlah pengetahuan

tentangnya, seperti memperkenalkan apa itu jujur, bagaimana konsep toleransi,

atau menjelaskan apa itu empati. Sama sekali bukan pengetahuan tentangnya.

Proses internalisasi nilai positif adalah penciptaan suasana, teladan, penerapan


160

strategi belajar dan interaksi sosial dalam komunitas pendidikan. Penanaman

kualitas emosi positif berguna bagi pembentukan watak (character building)

Membangun watak tergolong dalam hidden curriculum yang

pencapaiannya bergantung pada proses pendidikan ketimbang pada substansinya.

Watak tidak dapat diajarkan, melainkan diperoleh melalui pengalaman anak yang

perlu dilatih. Model pembiasaan akan menghasilkan pengalaman yang dapat

membangun watak. Karenanya, yang perlu dikontrol adalah kondisi yang

memberikan pengalaman belajar mereka.

Pembangunan watak dan model lebih efektif diperoleh melalui cara

dialogis, dengan jalan mendiskusikan kasus nyata. Menurut Paulo Freire, untuk

menjadikan pendidikan itu bermakna, maka paradigma yang digunakan harus

diarahkan kepada pendidikan dialogis dan transformatif. Pendidikan dengan nilai

transformatif menghasilkan sumber daya dengan kinerja yang mandiri, tidak perlu

dikontrol, produktif, dapat mengendalikan diri (dalam mengawali dan mengakhiri

pekerjaan, dalam menciptakan dan melaksanakan pekerjaan, dan dalam

menyelesaikan pekerjaan).

Berikut ini akan diuraikan beberapa kualitas emosi positif dan

imbangnya. Tatkala seseorang tidak memiliki emosi positif tersebut maka yang

berkembang kemudian adalah karakter negatif.

Pertama, jujur dan hukuman. Apabalia seorang anak mau mengakui secara

jujur atas perbuatannya yang salah, sebaiknya ia diperlakukan secara arif, bukan

dibalas dengan kemarahan. Misalnya, santi, seorang siswi kelas IV SD, tidak
161

mengerjakan PR. Guru akan bertanya kepadanya mengapa ia tidak mengerjakan

PR. Jika santi dengan jujur mengatakan bahwa ia lupa, maka sang guru

hendaknya dengan arif mengingatkan agar tidak mengulangi kealpaannya,

misalnya dengan membiasakan menyelesaikan tugas ketika ada kesempatan dan

tidak menunda-nundanya. Bukan dengan memarahi, apalagi menghukum secara

fisik. Sifat lupa adalah alamiah, dan karenanya tidak sepatutnya seseorang

mendapat hukuman tidak mendidik atas kealpaannya. Meskipun demikian, tugas

adalah sebuah amanat yang harus dikerjakan. Santi bisa dibimbing untuk

mengerjakan PR dengan cara damai, tanpa kekerasan.

Jika cara kekerasan ditempuh, misalnya menghukum santi karena tidak

mengerjakan PR, maka suatu saat apabila santi terlupa lagi mengerjakan PR, ia

bisa berbohong, mencari alasan lain sehingga sang guru tidak memberi hukuman.

Jika alasan berbuat sesuatu disampaikan secara jujur oleh seorang anak dan ia

harus mendapatkan kecaman dan hukuman, maka anak tersebut akan mencari

jalan untuk menutupi kesalahannya agar tidak dikecam atau dihukum. Bila santi

pamit kepada orang tuanya bahwa ia keluar rumah untuk bermain kerumah

temannya akan dimarahi, maka bisa saja santi berbohong dengan mengatakan

keluar rumah untuk belajar bersama dengan temannya. Akibatnya, watak bohong

akan melekat dalam dirinya karena orang tuanya sudah tidak menghormati

terhadap kejujurannya. Lagi pula perlakuan hukum-menghukum ini akan

dipahami sebagai jalan pintas untuk mengatasi masalah. Bisa dibayangkan

bagaimana jadinya jika santi di kemudian hari menjadi guru, dan muridnya

melakukan kesalahan? Tentulah terbayang di benak kita bahwa Santi akan


162

menempuh cara hukuman ini untuk mengatasi masalahnya. Penerapan hukuman

bagaimanapun berpotensi menimbulkan kekerasan.

Apakah ini berarti bahwa hukuman itu tidak perlu diberikan? Tentu tidak

demikian maksudnya. Hukuman ditempuh sebagai alternatif yang paling akhir,

setelah proses bimbingan, sindiran, teguran, peringatan lisan dan tertulis, dan

skorsing sudah tidak efektif lagi, sementara kesalahan yang dilakukan tergolong

berat dan bila dibiarkan dapat menular kepada yang lain. Jika demikian halnya,

maka sekolah dalam hal ini guru, bisa menempuh cara hukuman untuk

menjadikan kualitas emosional anak tidak terus-menerus dalam karakter negatif.

Hukuman yang diberikan pun harus bersifat edukatif, bukan semata-mata bersifat

fisik, apalagi dilakukan dengan rasa dendam dan kebencian. Lagi pula tidak

semua kesalahan harus berakhir dengan hukuman.

Kedua, bersikap toleran, tidak memaksakan untuk terjadinya

bentrokan. Sikap toleran amat mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan.

Toleransi berarti mendiamkan, atau membiarkan suatu perbuatan, sikap atau

pendapat orang lain yang berbeda dengan perbuatan, sikap atau pendapat diri

sendiri, meski ada perbedaan secara diametral sekalipun. Dalam bahasa Jawa

toleransi disebut sebagai tepa selira, yakni menjaga perasaan orang lain agar ia

tidak tersinggung.

Perilaku mendiamkan atau membiarkan tersebut dilakukan dengan

kesadaran bahwa seseorang perlu menempatkan perbuatan, sikap dan pendapat

orang lain sebagai hal yang berbeda dengan perbuatan, sikap dan pendapat orang

tersebut. Dengan kesadaran toleransi atau tepa selira tadi, bila suatu saat nanti
163

terjadi suatu konflik antar sesama, maka win-win solution akan lebih mudah

dicapai, karena masing-masing pihak dapat memahami perbuatan, sikap atau

pendapat orang lain. Inti dari toleransi adalah menghargai perbedaan, dan

membiarkan kondisi berbeda tersebut seperti apa adanya. Jadi, toleransi adalah

agree in disagreement. Perdamaian diperoleh melalui sikap saling mengerti dan

toleransi ini. Sebaliknya, bila orang sudah tidak lagi menyadari arti perbedaan,

maka potensi konflik dapat berubah sewaktu-waktu menjadi bentuk-bentuk

kekerasan.

Menghargai perbedaan berarti sikap untuk menerima kehadiran orang

lain di tengah kehidupan kita secara kolektif, learning to live together. Sekedar

contoh, salah satu SMU di Virginia, Amerika Serikat, menghimpun para siswa

yang berasal dari 85 negara di dunia yang berbeda agama, bangsa, bahasa,

budaya, ras dan lain-lain. Contoh lainnya, International Islamic University

malaysia yang berdiri sejak 1983 setelah gagasan Islamisasi Ilmu diterima dan

diaplikasikan oleh beberapa negara Islam. Universitas ini menerima perwakilan

dari 32 negara dan 30% di antaranya berasal dari luar negeri.

Dalam proses belajar-mengajar, sikap toleransi dapat ditumbuhkan melalui

berbagai metode pembelajaran. Jika Pak Fuad di tengah-tengah mengajarnya,

memberi waktu luang untuk tukar pendapat, diskusi, atau tanya jawab untuk

bertanya, membahas, usul, mengkritik atau bahkan menolak pendapatnya

mengenai suatu masalah, dan itu dliakukan secara rasional dengan menghargai

perbedaan pendapat di antara peserta didik, maka dengan demikian Pak Fuad

telah berupaya menanamkan sikap toleransi di antara para muridnya. Lebih dari
164

sekedar pengetahuan tentang apa itu toleransi, untuk apa toleransi dan bagaimana

cara bertoleransi, Pak Fuad telah memberi teladan melalui metode mengajarnya

tadi, memberi contoh konkrit bersikap toleransi. Bila setiap kali mengajar Pak

Fuad bersikap demikian, bila semua guru bersikap demikian, bila semua

sekolah bersikap demikian, dan bila semua orang bersikap demikian,

toleransi menjadi bagian dari kehidupan, maka budaya damai (culture of

peace) akan mudah dicapai.

Ketiga, empati antipati. Dalam Emotional Intellegence, Daniel Goleman

menyebut empati sebagai keterampilan dasar manusia . Orang yang memiliki

empati, kata Goleman, adalah pemimpin alamiah yang dapat mengekspresikan

dan mengartikulasikan sentimen kolektif yang tidak terucapkan, untuk

membimbing suatu kelompok menuju cita-citanya. Hasil pengujian terhadap

lebih dari 7000 orang di Amerika Serikat dan 18 negara lain menunjukkan bahwa

manfaat empati antara lain adalah orang menjadi lebih stabil secara emosional,

lebih populer, lebih ramah dan lebih berhasil dalam percintaan.123 Menurut

Thomas Hatch dan Howard Gardner, empati adalah bagian penting untuk pesona,

sukses sosial bahkan kharisma. Empati mewujud pada perasaan maupun

pemahaman pemikiran seseorang dengan cara menempatkan diri atau ikut

merasakan perasaan orang lain tanpa merasakan yang sebenarnya. Seorang yang

berempati cenderung merasakan sesuatu yang dilakukan orang lain andai ia

berada dalam situasi yang dialami oleh orang lain tersebut. Melalui empati, orang

123
Daniel Goleman, Emotional Intelligence, (New York Bantam, 1995), h 97. lihat juga
Jeanne. Seagai, Raising Your Emotional Intelligence dalam Ary Nilandari (terj.), Melejitkan
Kepekaan Emosional, (Bandung: Kaifa, 1997), h. 138
165

menggunakan perasaannya secara efektif di dalam situasi orang lain, didorong

oleh emosinya seolah-olah ia ikut ambil bagian dalam gerakan-gerakan yang

dilakukan orang lain, feeling into a person or thing.

Untuk lebih jelasnya, berikut sebuah contoh tentang empati. Bila anda

penggemar sepak bola, anda akan bersedia bangun pukul 1 malam, saat orang lain

lagi tidur nyenyak, untuk menyaksikan kompetisi sepak bola. Seolah tidak ingin

ketinggalan, tiap langkah pemain dan gerakan bolanya anda ikuti dengan

seksama. Terlebih bila anda menjagokan salah satu regu atau klub bintang anda,

pastilah anda amat berharap terjadi tendangan gol ke kubu lawan. Setelah lama

waktu pertandingan berlangsung, anda tidak malah bosan, melainkan makin

antusias, penasaran dan berharap-cemas agar idola anda menang. Jika pada detik-

detik terakhir klub pilihan anda mencetak gol, dengan penuh semangat anda

beranjak dari tempat duduk seraya melompat dan bersorak gembira. Saat

pertandingan usai, dan keadaan pun tenang kembali, ketahuilah bahwa gerakan

emosional anda itu termasuk empati. Anda merasakan kemenangan dan

kegembiraan yang sama sebagaimana dirasakan oleh pencekatk gol, bahkan bisa

lebih, padahal anda bukan pencetak gol. Anda sekedar penggemar sepak bola, dan

bisa jadi anda berada ribuan mil dan stadion sepak bola tersebut.

Empati, jika diberikan kepada semakin banyak orang maka ia akan

berubah menjadi welas asih yang membangun. Dengan empati, anda menjadi

seorang warga dunia. Apakah Anda memiliki rasa empati? Untuk membantu

mengetahuinya, Jeanne Seagal membuat daftar pertanyaan di bawah ini guna

mengukut empati. Caranya, ambil sikap sesantai mungkin beberapa saat,


166

kemudian jawablah pertanyaan berikut dengan cepat, jujur, dan tanpa membuat

penilaian.

1. Apakah pada umumnya Anda merasa nyaman di rumah dan aman bersama

orang lain?

2. Apakah Anda senang memelihara binatang (atau Anda ingin memelihara jika

belum punya)?

3. Apakah Anda merasa segar dan damai dengan berjalan-jalan di hutan, pantai

atau padang rumput?

4. Pernahkah Anda memperhatikan perasaan yang berlawanan dengan perkataan

seseorang-kemarahan di balik raut wajah yang tenang. Kesedihan di balik suara

yang teratur, kegembiraan di balik kata-kata yang tersusun?

5. Apakah Anda selalu langsung tahu ketika perbuatan yang Anda lakukan tanpa

sengaja membuat orang lain merasa tidak senang?

6. Dapatkah anda membiarkan diri mengalami perasaan orang lain yang terluka,

akibat perbuatan yang Anda sengaja dan mungkin akan anda lakukan lagi?

7. Dapatkah Anda terus mendengarkan meskipun orang lain meminta lebih dahulu

dari yang rela Anda berikan?

8. Apakah Anda menjadi defensif ketika seseorang yang Anda sayangi

mengatakan bahwa Anda telah menyakiti atau mengecewakannya?

9. Dapatkah Anda mendengarkan tanpa haraus setuju atau tidak setuju dengan

seseorang?

10. Apakah anda berhenti mendengarkan orang ketika anda menjadi takut?

11. Ingatkah Anda keluhan pihak lawan saat terakhir kali Anda berselisih

dengannya?
167

12. Ketika anak Anda mengalami kekecewaan besar, haruskah Anda segera

melakukan sesuatu untuk menghilangkan rasa sakitnya?

13. Apakah Anda meyakini bahwa berkata tidak, berarti menolak kebutuhan orang

lain?

Jawaban ya yang diberikan pada pertanyaan nomor, 1,2,3,4,5,6,7,8, dan

11, dan jawaban tidak yang diberikan pada pertanyaan 9, 10, 12, dan 13, akan

menunjukkan kemampuan empati dalam situasi berbeda-beda. Anda mengisi

jawaban seperti itu, maka Anda dapat memahami perasaan, kebutuhan, keinginan,

dan harapan orang lain sambil tetap sepenuhnya sadar akan pengalaman

emosional Anda yang terpisah. Anda dapat merasakan sakit orang lain tanpa

mengorbankan diri atau harus mengendalikan situasi. Anda memperoleh kekuatan

inid ari sumber-sumber daya fisik, emosional, dan mental yang sama dengan yang

Anda kerahkan dalam kesadaran aktif. Di tengah pertengkaran yang sengit

sekalipun, misalnya, Anda tahu pasti kapan harus bertahan dan kapan harus

menyerah karena Anda sangat menyadari perasaan Anda dan perasaan orang lain

tentang hal yang dipertengkarkan.124

Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan kecenderungan untuk

ikut merasakan segala sesuatu yang dirasakan orang lain karena kesamaan cita-

cita, penderitaan, daerah atau lainnya. Simpati adalah feeling with another person,

sedangkan empati lebih dalam dari itu. Empati tidak harus terjadi akibat

124
Ibid., h. 140-141.
168

persamaan kondisi antara satu dengan yang lain, atau didahului dengan saling

kenal. Saya di sini dengan Anda di sana mungkin saja tidak saling kenal atau

tidak memiliki kesamaan, akan tetapi kalau saya mmapu merasakan apa yang

Anda rasakan ketika Anda berbuat atau mengalami peristiwa tertentu, itu artinya

saya berempati terhadap Anda

Lawan dari simpati adalah antipati, yakni perasaan ketidaksenangan

terhadap orang lain yang dapat berujud kebencian. Padahal kebencian memicu

permusuhan. Permusuhan memicu kekerasan. Untuk mencegah kekerasan, yang

perlu dibangun adalah sikap empati, dan bukan antipati.

Keempat, optimis dan apatis. Hidup ini penuh tantangan, dan tidak semua

orang mampu bertahan dengan tantangan tersebut. Ada orang yang menyerah

sebelum berjuang. Orang seperti ini diliputi dengan sikap pesimis dan apatis

dalam memandang sesuatu. Sebaliknya, ada pula orang yang over-estimate dalam

menghadapi suatu masalah. Orang ini selalu merasa yakin dapat mengatasi

masalah, meskipun tanpa bantuan orang lain. Orang seperti ini dikatakan

optimistik dalam memandang sesuatu.

Sebagai contoh, Mala, seorang gadis kelas VI Madrasah Ibtidaiyah di

salah satu desa, misalnya merasa ragu apakah ia akan lulus ujian atau tidak, meski

ia sudah mengikuti les privat, rajin belajar di rumah serta tidak pernah absen

sekolah. Saat ia ragu, mala dihinggapi oleh rasa over-pessimistic tentang

prestasinya dalam ujian nanti. Langsung atau tidak, sikap Mala tersebut akan

mempengaruhi prestasinya.
169

Contoh sebaliknya, Jakfar, misalnya, seorang siswa kelas V di Madrasah

Ibtidaiyah yang sama. Tanpa les atau rajin belajar di rumah dan sekolah, ia

merasa yakin akan naik kelas. Dalam hal ini, Jakfar dihinggapi rasa over-

optimistic terhadap ujian yang akan ditempuh. Baik over-pessimistic maupun

over-optimistic keduanya berisiko. Over-pessimistic menimbulkan orang

menyerah sebelum bertanding dan bersikap apatis, sedang over-optimistic akan

mengakibatkan frustasi apabila kalkulasi keberhasialannya ternyata tidak tercapai

dan bisa jadi mengalami trauma bila ia menghadapi persoalan serupa.

Over-pessimistic dan over-optimistic merupakan gangguan jiwa yang

dapat diatasi dengan bimbingan dan pembiasan. Orang tua di rumah atau guru di

sekolah perlu memberi motivasi kepada anak yang over-pessimistic, agar anak itu

bisa berpandangan bahwa upaya yang telah dilakukannya bukanlah hal yang sia-

sia. Begitu pula halnya dengan orang yang over-optimistic bisa dibimbing untuk

bersikap realistis dalam menghadapi sesuatu.

Pada dasarnya tujuan mengatasi sesuatu itu adalah untuk mencapai

keberhasilan. Orang yang over-pessimistic bila berhasil meraih sesuatu, besar

kemungkinan ia akan berlebihan dalam merayakan keberhasilannya. Sebaliknya

orang yang over-optimistic, bila berhasil terhadap sesuatu, akan bersikap biasa-

biasa saja. Tatkala orang yang sama-sama berhasil tadi berkumpul di satu tempat

untuk merayakan kesuksesannya, maka luapan emosi kegembiraannya sulit

dibendung. Ini misalnya dapat dilihat pada segerombolan pelajar SMU yang

berarak-arakan mengelilingi kota sambil mencorat-coret seragam putih abu-

abunya dengan spidol atau spray paint setelah pengumuman kelulusannya.


170

Peristiwa kelulusan adalah hal lumrah dalam sebuah ujian. Akan tetapi bila orang

yang overjoy tersebut berkumpul dan menimbulkan gerakan massal, dan ada

faktor pemicu, maka perilaku ini dapat berpotensi menggerakkan massa tersebut

mengarah kepada perilaku kekerasan kolektif.

Kelima, bahasa cinta. Pendidikan damai dapat menanamkan rasa saling

kasih dan cinta antar sesama, tidak peduli apakah ia berkulit hitam atau putih,

kaya atau miskin, penduduk atau pendatang, warga negara lokal atau asing.

Dengan sentuhan bahasa cinta antar sesama, semuanya bisa duduk bersebelahan

dalam satu ruang kelas. Dalam hal ini, guru tidak sekedar mengajar namun juga

sebagai orang tua kedua ketika anak-anak berada di sekolah. Begitu pula orang

tua di rumah, menjadi guru yang kedua bagi putra-putrinya. Yang berlangsung

kemudian adalah sentuhan cinta dibarengi dengan semangat mendidik, atau

mendidik dilakukan dengan penuh kasih sayang.

Pendidikan damai menumbuhkan cinta pada sesama, cinta lingkungan, dan

cinta alam semesta. Cinta pada sesama menghindarkan konflik dan permusuhan,

mencegah kekerasan dan perang. Cinta lingkungan menumbuhkan sikap

melestarikan dan merawat lingkungan agar tetap bersih dan asri. Cinta pada alam

semesta menjadikan anak tidak merusak alam bahkan menjaganya dari

kepunahan. Itulah sebabnya pendidikan damai memberikan materi kesadaran

pribadi, toleransi, kepedulian dengan sesama dan cinta ini untuk memupuk

budaya damai dalam sikap dan perilaku.

Keenam, bersikap adil. Ketidakadilan merupakan bentuk kekerasan

institusional (intitutional violence), seperti halnya kemiskinan, rasialis, pelecehan


171

seksual, serta bentuk repressive lainnya. Kekerasan institusional muncul sebagai

akibat kebijakan pihak-pihak tertentu (biasanya lembaga yang berwenang) dalam

memutuskan perkara. Kebijakan tidak adil yang dirasakan oleh seorang korban

dapat diluapkan dengan kekesalan, kekecewaan atau ketidakpuasan. Bila

ketidakadilan dirasakan oleh banyak orang, hal ini akan memicu gerakan massa

untuk menuntut keadilan, seperti unjuk rasa, protes dan aksi demonstrasi. Unjuk

rasa buruh pabrik menuntut kenaikan gaju atau tunjangan, protes mahasiswa

menolak kenaikan biaya kuliah, atau akasi demonstrasi para aktivis penentang

perang, bermula dari kebijakan yang kurang transparan dan kurang adil ini. Aksi

massal menuntut keadilan atas kebijakan tertentu sewaktu-waktu bisa berubah

menjadi overt violence atau kekerasan terbuka bila ada faktor pemicu yang

mendorong massa menjadi bringas dan anarki. Misalnya suara tembakan atau

pukulan yang mengenai salah satu peserta aksi. Hal ini dapat memanaskan situasi

dan menggiring massa pada kekerasan kolektif.

Mencegah kekerasan kolektif bukanlah hal mudah mengingat pihak yang

bertikai belum tentu sepakat dengan tuntutan yang diajukan. Pengusaha yang

memiliki pabrik tidak serta merta menerima tuntutan pegawainya untuk kenaikan

gaji karena alasan yang masuk akal. Demikian pula pihak rektorat bisa bertahan

tetap menaikkan biaya kuliah mahasiswa dengan alasan yang profesionalitas.

Begitu pula dengan kebijakan pemerintah untuk perang melawan para teroris atau

separatis, dilakukan demi rust and order atau mencegah kerusuhan dan menjaga

ketertiban. Dalm hal ini, yang perlu dilakukan adalah barganing position antara

kedua belah pihak, sehingga keputusan yang diambil merupakan kompromi kedua

belah pihak yang dapat mencegah aksi-aksi kekerasan.


172

Ketidakadilan sebagai kekerasan institusional dapat mengakibatkan

munculnya kekerasan tandingan (counter-violence), seperti aksi teror, sabotase,

mogok massal, bahkan tindakan anarkis lainnya. Kebijakan yang tidak adil

berpotensi menimbulkan kekerasan (violence as potensial). Sepanjang tidak ada

perubahan kebijakan, ketidakadilan akan memicu kekerasan demi kekerasan. Di

sinilah letak mahalnya perdamaian, karena perdamaian mensyaratkan kebijakan

yang adil.

c. Demokratisasi pendidikan

Inti dari demokrasi adalah kebebasan, persamaan hak, keadilan

musyawarah dan tanggung jawab. Pada mulanya demokrasi merupakan term

politik. Perlawanan terhadap kolonialisme, misalnya merupakan perjuangan

mewujudkan demokrasi. Demos artinya rakyat, sedang kratos berarti kekuasaan.

Jadi demokrasi berarti kekuasaan rakyat, kedaulatan rakyat atau, dalam term

politik berarti pemerintahan yang dijalankan dari, oleh, dan untuk rakyat. Bentuk

pemerintahan demokratis tercermin dari proses pemerintahannya yang dilakukan

melalui pemilihan umum dengan karakter demokrasi di atas yakni kebebasan,

persamaan hak, keadilan, musyawarah, dan tanggungjawab.

Akan tetapi demokrasi tidak hanya berada pada wilayah politik, melainkan

juga sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, bahkan agama. Demokratisasi

pendidikan merupakan proses pembelajaran seluruh civitas akademika untuk

memajukan pendidikan. Kalau dalam politik ada rakyat, maka dalam pendidikan

ada peserta didik. Pendidikan yang demokratis berarti melibatkan murid secara

aktif dalam seluruh proses pendidikannya (student-centered-student active


173

learning). Bukan sebaliknya, berpola top-down, yakni berpusat pada guru teacher-

centered) sehingga murid berperan sebagai objek didik, atau sebagaimana

dikatakan oleh Paulo Freire dengan istilah banking system education atau

pendidikan gaya bank, dimana murid diibaratkan seperti celengan yang siap

diberi koin.

Pendidikan yang demokratis menerapkan sistem andragogi. Sistem ini

menuntut keaktifan siswa untuk berbuat (learning by doing). Di sini murid diberi

umpan dan kail, kemudian dibimbing untuk mencari ikan sendiri. Jadi bukan

langsung diberi ikan tanpa proses pemancingan. Proses pendidikan yang

menekankan pentingnya nilai-nilai kebebasan dan demokrasi inilah yang

menjadikan pendidikan bernuansa humanis. Perlakuannya menggunakan

pendekatan humanistik.

Kebebasan menimbulkan kreativitas. Kreativitas merupakan proses mental

dan kemampuan tertentu untuk mencipta. Kreativitas adalah proses pemikiran

terhadap sesuatu masalah yang darinya dapat dihasilkan gagasan baru yang

sebelumnya tak terpikirkan. Kreativitas juga berarti sebagai proses interaktif

antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang kreatif dapat terlihat dari

kemampuannya mengatasi masalah (problem sensitivity), mampu menciptakan ide

alternatif untuk memecahkan masalah (idea fluency), mampu memindahkan ide

dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain (idea flexibility). Orang yang kreatif

pun dapat dilihat dari kemampuannya untuk menciptakan ide yang asli (idea

originality). Seluruh kemampuan pengembangan ide dan sensitivitas terhadap


174

persoalan yang merupakan ciri kreatif tersebut tak dapat terbentuk bilamana

dalam diri seseorang terjadi tekanan dan pembatasan atas kebebasannya.

Ilustrasi berikut ini dapat memberikan gambaran kebebasan sedang

berproses dalam pendidikan. Ina yang duduk di bangku TK memasuki kelas,

kemudian oleh Ibu guru, ia diberi secarik kertas bergambar bunga tanpa warna.

Kemudian sang Ibu guru memberi tugas seraya membiarkan Ina dan teman-

temannya untuk mewarnai dan memberi motif pada gambar bunga tadi. Ibu guru

sesungguhnya telah menerapkan kebebasan dalam proses belajar. Ina mungkin

lebih senang dengan warna pink, berbeda dengan temannya, Icha yang menyukai

warna kuning. Kebebasan dalam pendidikan menyebabkan anak belajar untuk

menjadi dirinya sendiri, learning to be. Bila dalam satu bunga, Ina memberi

bermacam warna, itu bukan salah Ina melainkan itulah wujud kreativitas,

memberi berbagai alternatif ide dan imajinasi dalam mewarnai bunga.

Akan tetapi, harus dikatakan pula bahwa kebebasan itu bukan tanpa

aturan. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Biarkan Ina

mewarnai gambar bunga menurut kreativitasnya sendiri, asalkan yang

diwarnainya adalah kertas dan gambar miliknya, bukan kertas dan gambar milik

orang lain. Kalau Ina mengambil kertas dan gambar anak lain itu berarti Ina telah

membatasi hak orang lain untuk bebas mewarnai gambar pada kertasnya sendiri.

Perilaku Ina tersebut tentulah tidak identik dengan kebebasan. Maka, dalam

kebebasan terdapat pengakuan atas hak diri sendiri dan hak orang lain, sama

seperti dirinya. Dalam kebebasan terdapat keseimbangan antara hak dan


175

kewajiban. Di titik inilah berlangsung keterpautan antara kebebasan dengan

demokrasi.

Hak Anak dalam pendidikan Islam

Dalam filosofi pendidikan Islam dikenal dua hal. Pertama adalah bashira

wa nadlira, bahwa mendidik anak seharusnya tidak hanya dilakukan melalui

interaksi secara langsung tetapi juga harus dilihat secara batin, hal tersebut

mempunyai makna bahwa usaha untuk mendidik anak tidak hanya dapat

dilakukan secara lahiriyah seperti menyekolahkan anak dan memenuhi

kebutuhannya, tetapi juga dilakukan secara bathin misalnya melalui doa bagi

mereka.

Kedua adalah konsep fa alhamaha fujuraha wa taqwaha. Falsafah ini

mempunyai implikasi dalam pendidikan bahwa manusia pada dasarnya disamping

memiliki fitrah yang baik juga mempunyai fitrah yang buruk. Agar fitrah yang

buruk tersebut tidak berkembang, maka dibutuhkan proses pendidikan agar fitrah

yang baik berkembang dengan baik. Dengan demikian proses pendidikan tersebut

harus benar-benar berlandaskan pada tujuan pendidikan yang paling mendasar

yaitu pendidikan untuk memanusiakan manusia.

Ketiga adalah konsep rahmah atau kasih sayang, Al-jurajani menyatakan

bahwa al rahma hiya iradatu isholu al-khair, artinya kasih sayang adalah segala

sesuatu perbuatan yang akan mendatangkan kebaikan. Dengan memberikan kasih

sayang maka pada dasarnya seseorang telah mengadakan pendekatan psikologis


176

dalam mendidik anak, karena dengan pendekatan ini anak akan merasa

terlindungi dan tenang, dengan demikian anak akan berada pada sebuah

kehidupan yang nyaman tanpa ada intimadasi, kekerasan dan lain sebagainya.

Sebagai hasilnya anak dapat hidup dan tumbuh kembang di tengah

masyarakatnya dengan karakter anak yang kreatif, dan mempunyai sikap self

convidance yang tinggi.

Lantas bagaimana pandangan Islam dalam penyelenggaraan pendidikan

sesuai dengan empat prinsip sebagaimana dalam CRC yang telah disebut di atas?.

Hak Hidup, Keberlangsungan Tumbuh Kembang

Dalam pandangan Islam, bahwa hidup adalah pemberian Allah,

sebagaimana dikatakan dalam firmannya: Dan sesungguhnya benar-benar

Kamilah yang menghidupkan dan mematikan dan Kamilah (pulalah) yang

mewarisi (QS. Al-Hijr:23). Ini berarti, bahwa hak hidup, keberlangsungan dan

hak perkembangan melekat pada setiap diri anak, dan mutlak adanya sebagai

dasar untuk memberikan pemenuhan dan perlindungan atas kehidupan mereka.

Tidaklah mengherankan apabila Allah SWT mengecam keras orang-orang yang

tidak menghargai hak asasi manusia, misalnya melakukan pembunuhan lebih-

lebih pada anak seperti sampai sekarang masih banyak terjadi diberbagai belahan

dunia dimana Islam telah menentangnya sejak zaman jahiliyyah. Allah berfirman:

Barang siapa yang membunuh jiwa seorang manusia bukan karena pembunuhan

dan bukan pula kerana membuat kerusakan di bumi, maka ia seakan membunuh

manusia seluruhnya, dan barang siapa menyelamatkan jiwa seorang manusia


177

sekan ia menyelamatkan manusia seluruhnya (QS. Al-

Maidah:32).

Anak adalah anugerah dan amanah Allah SWT sebagaimana telah

dijelaskan di muka. Anak merupakan kekayaan bagi keluarga dan bangsa, yang

memiliki fungsi strategis sebagai pemilik dan penerus generasi di masa yang akan

datang. Sebagai pengejawantahan rasa syukur pada Allah SWT, maka hak-hak

anak untuk kelangsungan dan perkembangan hidupnya baik secara fisik maupun

mental harus di penuhi. Hak kelangsungan hidup anak dapat diwujudkan dalam

bentuk memberikan kasih sayang pada anak, memenuhi kebutuhan hak dasar

anak.

Kebutuhan alami seorang anak adalah mendapatkan kasih sayang terutama

dari orangtuanya sendiri khususnya ibu. Seorang ibu yang muslimah harus

menyadari bahwa tidak ada suatu apapun yang menghalanginya untuk

memberikan kasih sayang dan perlindungan kepada anaknya. Rasulullah SAW

bersabda: Tidaklah termasuk golongan kami, orang-orang yang tidak mengasihi

anak kecil di antara kami dan tidak mengetahui hak orang besar di antara kami

(HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Selain yang tersebut diatas, memenuhi kebutuhan dasar anak demi

keberlangsungan dan perkembangan anak, diantaranya adalah kebutuhan sandang,

papan dan pangan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam Al-Quran:

Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (dan

anaknya) dengan cara yang maruf (QS.Al-baqarah:233).


178

Menjamin Perkembangan Anak dapat dilakukan dengan cara mendidik

anak. Dengan pendidikan anak dapat berkembang secara sempurna baik

pemikiran, maupun sikap dan perilakunya. Pendidikan yang diberikan kepada

anak merupakan pendidikan yang bersifat komprehensif, yaitu pendidikan yang

diarahkan untuk pengembangan kemampuan intelektual, mental dan spritual. Nabi

memerintahkan para orangtua untuk mendidik anak-anaknya sebagaimana

disebutkan dalam Hadist: Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu dan

keluarga kamu dan didiklah mereka (HR.Abdur Razzaq dan Said bin Mansur).

Non-Diskriminasi

Prinsip non-diskriminasi (non-discrimination) dalam pendidikan anak

adalah perlakuan yang tidak membeda-bedakan dalam penyelenggaraan

pendidikan anak atas dasar perbedaan asal-usul, suku, agama, ras, jenis kelamin

dan status sosial lainnya. Prinsip ini didasarkan pada pandangan kefitrahan anak,

bahwa pada hakekatnya anak dilahirkan sama hak asasinya sebagai makhluk

ciptaan Allah. Perbedaan tersebut terjadi semata-mata karena konstruk sosial

masyarakat yang mewarnai perjalanan dan perkembangan anak.

Misalnya, pada zaman jahiliyah, anak perempuan tidak diterima sepenuh

hati oleh masyarakat secara umum. Al-Quran merekam pandangan dan praktek

jahiliyah mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan

berita kelahiran anak perempuan,2 sampai kepada yang paling parah yaitu

membunuh bayi-bayi perempuan.3 Terhadap hal ini Al-Quran mengecam keras.

Kecaman-kecaman itu antara lain dimaksudkan untuk mengantar mereka agar


179

menyadari bahwa kedua jenis kelamin anak masing-masing memiliki

keistimewaan4 dan tidaklah yang satu lebih utama dari yang lain.

Islam sangat tegas dan konsisten dalam menerapkan prinsip non-

diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan anak yang ditandai dengan

seruan untuk berlaku adil pada anak. Banyak ayat-ayat Al-Quran yang

memerintahkan umat manusia untuk berbuat adil terhadap anak-anak: Berlaku

adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa(Qs. Al-Maidah:8).Di dalam

ayat yang lain Allah berfirman:..Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu

mengurus anak-anak yatim secara adil. (QS. An-Nisa:127).

Perintah untuk berlaku adil dan tidak membeda-bedakan anak atas jenis

kelaminnya juga di jelaskan dalam beberapa hadist, diantaranya:Berbuat adillah

diantara anak-anakmu, berbuat adillah diantara anak-anakmu, berbuat adillah

diantara anak-anakmu (HR. Ashabus Sunan, Imam Ahmad dan Ibnu Hibban).

Perintah Rasulullah SAW kepada para orangtua untuk berbuat adil terhadap anak-

anaknya dilakukan dalam semua pemberian, baik berupa pemberian harta (materi)

maupun kasih sayang (immateri). Berikut perintah Nabi Muhammad SAW agar

orangtua berbuat adil dalam hal pemberian (materi) terhadap anak-anaknya.

Rasulullah SAW bersabda: Samakanlah diantara anak-anak kalian di dalam

pemberian (HR.Thabrani).

Dalam hal pemberian kasih sayang (immateri), Nabi Muhammad SAW juga

sangat menganjurkan kepada orangtua agar berlaku adil sebagaimana

diriwayatkan oleh Anas, bahwa seorang laki-laki berada disisi Rasulullah SAW

kemudian datanglah seorang anak laki-lakinya, lalu ia mencium dan


180

mendudukkannya diatas pangkuannya. Setelah itu datanglah puterinya, tidak

dipangku sebagaimana anak laki-lakinya, hanya didudukkan di depan Rasulullah

SAW. Atas peristiwa itu Rasulullah SAW bersabda: Mengapa engkau tidak

menyamakan keduanya?

Hadist ini menunjukkan bahwa perbuatan non-diskriminatif yang harus

ditunjukkan oleh orang tua terhadap anak adalah adil secara keseluruhan.

Perbuatan adil harus ditunjukkan dalam bentuk pemberian yang dapat dilihat oleh

mata atau pemberian yang tidak dapat dilihat oleh mata seperti perwujudan kasih

sayang. Apabila di dalam masyarakat muslim masih terdapat orangtua yang

memandang anak wanita lebih rendah daripada anak laki, maka hal ini tentu

disebabkan oleh lemahnya iman dan rapuhnya keyakinan. Disamping itu juga

disebabkan oleh lingkungan sosial yang rusak yang diserap dari kebiasaan

jahiliyah atau tradisi sosial tercela. Dalam hubungan ini Allah SWT berfirman:

Apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak

perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia

menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang

disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung

kehianaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?

Ketauhilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu (QS. AN-Nahl: 58-

59).

Perlakuan diskriminatif terhadap anak dapat menimbulkan dampak

negatif bagi perkembangan kejiwaannya, yaitu munculnya penyakit kejiwaan

seperti rendah diri dan hasud. Jika perlakuan tersebut berlangsung terus menerus
181

membuat anak agresif, misalnya suka bertengkar, melukai, bahkan membunuh.

Peristiwa pembunuhan Yusuf oleh saudaranya sendiri dapat dijadikan contoh

itu. Dalam peristiwa ini disebutkan bahwa Bunyamin dan saudara-saudara yang

lainnya makar pada Yusuf, yaitu memasukkan Yusuf ke dalam sumur semata-

mata karena saudara -saudaranya mengalami perlakuan diskriminatif dari

ayahnya, Nabi Yakub sebagaimana diabadikan dalam al-Quran: (Yaitu) ketika

mereka berkata: sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih

dicintai oleh ayah kita daripada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu

golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang

nyata (QS. Yusuf:8).

Belajar dari pengalaman tersebut dapatlah dikatakan bahwa para orang

tua, wali atau siapa saja yang diberi mandat untuk memelihara dan mendidik anak

wajib menerapkan prinsip non-diskriminasi dan persamaan didalam pemberian,

kecintaan, perlakuan kasih sayang kepada anak-anak, tanpa membeda-bedakan

antara yang satu dengan lainnya, antara pria dan wanita. Oleh karena itu dalam

pandangan legislasi ditandaskan bahwa perilaku diskriminatif terhadap anak

merupakan tindakan tidak saja bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi

merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Tentu pasti, bahwa orang

tua, masyarakat, pemerintah dan negara sebagai penyelenggara perlindungan

anak memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk tidak berlaku diskriminatif

dalam bentuk apapun.


182

Kepentingan Terbaik Bagi Anak (the Best Interests of the Child)

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak berarti semua tindakan yang

menyangkut anak yang dilakukan oleh orangtua, keluarga, masyarakat

pemerintah, dan negara, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama. Dalam sejarah Islam, baik pada masa Rasulullah maupun

Khulafaurrasyidin terdapat banyak peristiwa yang menggambarkan kepemihakan

Islam terhadap kepentingan terbaik anak, baik dalam keadaan ibadah maupun

dalam hukum dan kegiatan sosial kemasyarakatan termasuk dalam pendidikan.

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam Islam dapat dilihat dalam

ibadah dan hukum. Prinsip tersebut dalam ibadadapat digambarkan ketika Nabi

membiarkan cucunya menunggangi dirinya saat menjadi imam shalat, dan ketika

menolong cucunya yang jatuh saat ia menjadi khatib Jumat, sebagaimana

diabdikan dh alam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abdullah bin

Buraidah. Dalam Hadist lainnya, Nasai dan Hakim meriwayatkan, Ketika

Rasulullah SAW Shalat mengimami para makmum, tiba-tiba datanglah Husain,

dan langsung menunggangi pundak Rasulullah SAW ketika beliau sujud sehingga

beliau memperpanjang sujudnya, sampai-sampai para makmum mengira terjadi

sesuatu.

Setelah shalat selesai berkatalah mereka, Engkau telah memanjangkan

sujud, wahai Rasulullah, hingga kami mengira telah terjadi sesuatu. Rasululllah

SAW menjawab, Anakku (cucuku) telah menjadikan aku sebagai tunggangan,

maka aku tidak suka mengganggu kesenangannya hingga ia puas,. Dalam

Shahibain, dari Anas r.a. Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya, ketika aku
183

melakukan shalat (menjadi imam) dan aku bermaksud untuk memanjangkan

bacaannya, tiba-tiba aku mendengar tangisan anak kecil. Maka aku segera

memperpendek (bacaan) shalatku. Karena aku memahami perasaan ibunya (yang

menjadi makmum) yang tentu terganggu oleh tangisannya.

Prinsip kepentingan terbaik bagi anak dalam peristiwa hukum dapat

digambarkan dalam kasus wanita Al-Ghamidiyah. Ia datang pada Nabi bahwa

dirinya hamil dari hasil zina. Nabi berkata pulanglah sampai engkau

melahirkan. Ketika ia telah melahirkan, ia datang lagi kepada Nabi dengan

membawa bayinya. Nabi berkata Pergilah, kemudian susuilah anakmu itu sampai

engkau menyapihnya. Setelah selesai disapih, ia datang lagi kepada Nabi

bersama bayi, maka Nabi menyerahkan bayi itu kepada laki-laki muslim. Setelah

itu wanita tersebut dirajam (HR. Muslim).

Contoh tersebut menunjukkan bahwa betapa Nabi mengutamakan

kepentingan yang terbaik bagi anak. Pada contoh yang pertama dapat dipahami

bahwa perbuatan ibadah sekalipun tidak boleh mengalahkan kepentingan terbaik

bagi anak. Pada contoh kedua memberi gambaran penegakan hukum harus tetap

dilaksanakan dengan tidak menafikan kepentingan terbaik bagi anak dengan cara

memberi kesempatan pada si ibu memberikan hak yang layak bagi si anak, yaitu

hak untuk hidup, tumbuh dan berkembang secara wajar didalam kandungan, hak

dilahirkan dan hak mendapatkan ASI (Air Susu Ibu). Meskipun si ibu melakukan

perbuatan yang melanggar hukum, anak yang sedang dikandungnya tidak boleh

dirugikan karena perbuatan salah sang ibu.


184

Dalam Hadist Rasulullah lainnya berbunyi: "Sesungguhnya Allah

memberikan keringanan dalam melaksanakan shalat bagi orang yang bepergian,

dan puasa bagi orang yang bepergian, wanita menyusui dan wanita hamil."

(Hadits riwayat Abu Dawud, At Tirmidzi dan An Nasa'i). Pemberian keringanan

puasa terhadap ibu yang sedang hamil dan menyusui tidak lain dimaksudkan

untuk menjaga anak yang sedang dikandungnya. Namun demikian, si ibu

berkewajiban menggantikan puasa wajib yang sudah ditinggalkannya di lain hari

setelah anaknya lahir. Kebijakan agama Islam ini menunjukkan bahwa betapa

Allah sangat memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.

Penerapan prinsip mendahulukan kepentingan terbaik bagi anak juga

terlihat dalam pemecahan kasus harta anak pada masa Khalifah Abu bakar. Dalam

riwayat Baihaqi dari Abu Hurairah berkata: bahwa pada suatu ketika ada seorang

laki-laki menemui Abu Bakar dan berkata bahwa Ayahku mengambil seluruh

hartaku untuk keperluannya dan tidak menyisakan sedikitpun. Abu Bakar

berkata, bahwa bahwa harta anakmu itu tidak boleh digunakan seluruhnya

Ayah laki-laki berargumen, bahwa Rasulullah bersabda, bahwa kamu dan

hartamu adalah milik orang tuamu Abu bakar menjawab,ya betul, akan tetapi

yang dimaksud adalah nafkah yang wajib. (HR. Ibnu Majah).

Hadits tersebut di atas menunjukkan bahwa meskipun ketaatan dan

pengabdian seorang anak adalah sentral dan kunci yang harus dipegang oleh

seorang Muslim, akan tetapi kewajiban pengabdian tersebut tidak boleh sampai

merugikan hak-hak anak itu sendiri. Hal ini membuktikan kalau Islam tetap

mempertimbangkan azaz kepentingan terbaik bagi anak dalam setiap kesempatan.


185

Seperti disebutkan dalam Mujam Al-Mughni tulisan Ibn Qudamah, bahwa

pemanfaatan harta anak oleh orang tua harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

tidak memberatkan dan tidak membahayakan si anak dan tidak mengambil

sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh si anak tersebut; dan harta dimaksud tidak

diberikan pada orang lain (Saqr, 2002).

Penghargaan Terhadap Pendapat Anak

Penghargaan terhadap pendapat anak (respect for the views of the child),

bahwa dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut hal-hal yang

mempengaruhi kehidupan anak maka pendapat anak wajib dihormati dan

dikembangkan.125 Prinsip ini harus diperhatikan betul oleh segenap penyelenggara

perlindungan anak baik oleh orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Hal

ini tidak lain karena anak merupakan pelaksana dari keputusan yang akan diambil

dan orang pertama yang akan merasakan dampak dari setiap pengambilan

keputusan. Asumsinya anak lebih mengerti akan kebutuhan dan kemampuan

dirinya. Muncul pertanyaan, bagaimana dengan anak yang belum mampu untuk

mengambil keputusan sendiri?. Dalam hal ini orang tua mempunyai kewajiban

untuk memberikan pemahaman dan penjelasan kepada anak akan keputusan yang

diambilnya dengan bahasa yang dimengerti oleh anak, dengan semua dampaknya

baik negatif dan positif. Setelah itu keputusan terakhir berada di tangan anak.

Dalam Islam, sikap menghargai pendapat anak telah diajarkan dan bahkan

telah dipraktekkan pula oleh Rasulullah SAW sebagaimana terlihat dalam sebuah

Hadist yang diriwayatkan oleh Sahal bin Saad r.a.:

125
Lihat KHA pasal 12 (1) dan penjelasan pasal 2 Undang Undang Nomor 23 Tahun
2002. tentang Perlindungan Anak.
186

Rasulullah SAW diberi minuman, dan beliau minum sebagian. Di sebelah

kanannya duduk seorang anak, dan di sebelah kirinya beberapa orangtua.

Rasulullah SAW bersabda kepada anak itu,Apakah engkau mengizinkanku untuk

memberi kepada mereka?.Maka anak itu menjawab,Tidak, demi Allah. Bagianku

yang diberikan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapa pun. Maka

Rasulullah SAW meletakkan minuman ditangan anak itu. Dan dia adalah

Abdullah bin Abbas(Bukhari dan Muslim).

Apa yang digambarkan dalam riwayat tersebut menunjukkan bahwa dalam

ajaran Islam, pendapat anak sangat dihormati dan dihargai. Dan bahkan anak

selalu dimotivasi untuk berani untuk mengemukakan pendapat. Hal ini

sebagaimana dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam suatu majelis

pertemuan. Umar bertanya pada mereka: Apa yang saudara ketahui tentang

sebab turunnya surat Al-Baqarah ayat 266 Mereka menjawab Allah yang lebih

tahu, Lalu Umar marah dan terus mendorong agar diantara mereka ada yang

menjawabnya secara logis. Lalu, salah satu dari sekian anak-anak, yaitu Ibn

Abbas menjawab bahwa ayat itu menggambarkan seorang kaya yang beramal

namun tidak memperoleh pahala dari Allah karena setelah itu mereka berbuat

maksiat (HR. Bukhari Muslim).

Dalam Hadist yang lain, Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.

bahwa: Umar r.a. pada masa kekhalifahannya mengundang aku -yang ketika itu
187

belum mencapai usia dewasa- bersama pembesar-pembesar perang Badar ke

forum musyawarah. Dalam pertemuan itu terjadi diskusi mengenai makna firman

Allah tentang kemenangan yang tercantun dalam Surat Al-Nashr. Sebagian

mereka berpendapat bahwa itu mengandung maksud perintah untuk memuji dan

meminta ampunan Allah. Sedangkan yang lain diam, kemudian Ibnu Abbas

menyampaikan pendapatnya bahwa itu adalah tanda ajal Rasulullah. Lantas,

Umar berkomentar bahwa pendapat Abbas adalah baru dan ia belum pernah

mendengar sebelumnya. Dalam diskusi yang lain, yaitu soal kurma, Abdullah bin

Umar yang ketika itu belum dewasa dan tidak menyampaikan pendapat padahal

pikirannya sama dengan pendapat Rasulullah. Untuk itu Umar berkata Abdullah:

... seandainya kamu berkata akan lebih aku sukai daripada aku mempunyai

beberapa unta hamil (Saqr, 2002).

Ini menunjukkan bagi kita bahwa Islam sangat menghargai pendapat anak,

walaupun dalam forum orang dewasa. Hadist dan beberapa riwayat diatas

memberikan teladan bagaimana orang-orang shaleh dulu mendidik anak-anak

untuk bersikap berani mengemukakan pendapat, tidak penakut dan bergantung

kepada orang lain. Untuk itu perlu membiasakan anak untuk bersikap berani, ikut

menemani orangtuanya menghadiri majelis umum, di dorong untuk berani

berbicara di depan orang-orang besar, kalau perlu diajak bermusyawarah untuk

memecahkan problema umum dan masalah ilmiah di berbagai forum.


188

Latihan keberanian menyampaikan pendapatnya dalam satu forum amat

penting artinya agar anak kelak tidak minder dan penakut. Seluruh sikap berani

untuk mengemukakan pendapat dapat menanamkan dan menumbuhkan

pemahaman dan kesadaran yang sangat teruji di dalam jiwa anak-anak, serta

mendorong mereka untuk mencapai kesempurnaan dan membentuk kepribadian,

kematangan berpikir dan solidaritas sosial. Oleh karena itu, para orangtua sangat

dianjurkan untuk menerapkan prinsip ini, supaya anak tumbuh dan terdidik diatas

keterbukaan yang sempurna, keberanian dengan batas-batas kesopanan,

kehormatan, toleransi, dan mandiri.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa prinsip-prinsip dasar

penyelenggaraan perlindungan anak dalam Islam, mempunyai titik singgung dan

kesamaan dengan penyelenggaraan perlindungan anak yang terdapat dalam

Konvensi Hak Anak (KHA) dan Undang Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Bahkan prinsip-prinsip penyelenggaraan anak dalam Islam

cukup komprehensif karena prinsip-prinsip penyelenggaraan perlindungan anak

dalam Islam bukan hanya memberikan konsep belaka akan tetapi juga berupa

contoh konkrit dalam kehidupan Rasulullah, para Khalifah serta para penerusnya

yaitu orang-orang shaleh sesudahnya.

Ketika keadilan, kejujuran, transparansi, demokrasi dan pembinaan kualitas

emosi positif disepelekan, maka konsekuensi terjadinya kekerasan dan

pelanggaran Hak Anak dalam pendidikan sulit dihindari. Sekarang, seorang guru

tidak lagi patut mengajar sambil membawa rotan untuk menenangkan suasana

kelas. Atau menghukum murid dengan hukuman fisik di luar kapasitas fisik anak
189

hanya karena tidak mengerjakan PR.. Sebab hal itu berarti melanggengkan

bentuk-bentuk kekerasan, yang suatu saat bila si murid menjadi guru, akan meniru

perlakuan si guru tadi. Seimbang dengan itu, seorang murid dilarang melecehkan

martabat dan nama baik guru atau lembaga pendidikan, hanya karena alasan

kebijakan tertentu. Yang perlu dilakukan oleh kedua belah pihak, guru-murid,

adalah komunikasi dialogis dan interaksi humanistik. Maka, agar tidak terjadi

prilaku kekerasan harus dilakukan berbagai langkah kongkrit.

Konsepsi pendidikan tanpa kekerasan dan tanpa pelanggaran Hak Anak,

kiranya tidak berhenti sebatas wawasan, melainkan perlu diteruskan dengan

gerakan pembaharuan pendidikan nasional, institusionalisasi, bahkan imperative

action, yang dimotori oleh para pelaku pendidikan, lembaga pendidikan, guru-

murid, komite pendidikan, dewan sekolah, pemerintah (policy makers) serta para

stakeholders lain yang terkait dengan keseluruhan proses pendidikan. Langkah

kongkrit menerapkan pendidikan tanpa kekerasan ini mendesak untuk dilakukan,

agar bangsa yang multi-etnis, multi agama, bahasa, ras, jenis kelamin, keturunan,

status sosial dan bentuk-bentuk kemajemukan lainnya ini, dapat menerapkan

learning to live together, dan duduk berdampingan saling menghargai perbedaan,

rukun, serta saling bergandengan tangan menuju perdamaian dan kemakmuran

bersama.

Ada dilema HAM di Indonesia.126 HAM Memang Bukan Untuk Umat

Islam. Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi

126
Di sisi lain, landasan HAM adalah 4 kebebasan: kebebasan beraqidah, kebebasan
memiliki, kebebasan pribadi (berperilaku) dan kebebasan berpendapat. Melalui dalih kebebasan ini
190

umat Islam. Kondisi terakhir pemilihan presiden Turki, Kasus FIS yang

diberangus atas nama demokrasi, embargo ekonomi terhadap Irak, dan kasus

Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda HAM. Demikian

pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak

peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan

peristiwa Maluku. Jelas, dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM

atau tidak tergantung kepada lembaga yang berwenang memberikan penilaian.

Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi umat Islam,

melainkan bagi kafir Barat imperialis dan para pengikutnya.

Tidak sebatas ini. Secara paradigmatik, HAM ini bertentangan dengan

Islam. Sebab, dalam HAM yang berhak menentukan mana yang menjadi hak bagi

manusia dan mana yang tidak adalah manusia itu sendiri. Jadi, di dalam konsep

HAM agama (Islam) tidaklah menjadi satu perkara yang diperhatikan.

Sebaliknya, agama dan hukum-hukum Allah SWT disingkirkan atas nama HAM.

setiap orang bebas berpindah-pindah dalam menganut agama, siapapun boleh memiliki apapun
dengan cara apapun tanpa lagi memandang apakah yang dimilikinya itu tergolong pemilikan
individu, umum, atau pemilikan negara. Melalui HAM itu pula legal bagi siapa saja untuk berbuat
apapun selama tidak mengganggu orang lain, dan boleh berpendapat apapun sekalipun menentang,
menghina, dan mengolok-olok hukum Allah SWT karena dijamin oleh kebebasan berpendapat.
Padahal, dalam ajaran Islam, seluruh perbuatan manusia tidaklah bebas, melainkan harus
senantiasa terikat dengan aturan dan hukum dari Allah SWT. Karenanya, dari bebagai dalil dalam
Al Quran maupun As Sunnah para ulama menegaskan satu kaidah ushul yang berbunyi:

Hukum pokok dari setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syara.

Ditinjau dari segi politis, slogan HAM merupakan upaya negara-negara imperialis pimpinan
Amerika untuk menutup-nutupi kebobrokan mereka sekaligus sebagai sarana untuk
mencampurbauri urusan dalam negeri negara lain. Seperti diketahui, persoalan lingkungan hidup,
HAM, dan demokrasi di dunia merupakan salah satu kebijakan politik luar negeri Amerika.
Dengan demikian, tidak mengherankan bila mereka hendak mengintervensi Indonesia lewat
permasalahan Maluku dengan dalih HAM.

Berdasar hal tersebut, berharap kepada Barat dengan konsep HAM-nya untuk menyelesaikan
masalah umat Islam hanyalah akan mendatangkan malapetaka dan murka Allah SWT saja.
191

Padahal, manusia merupakan hamba Allah SWT yang tugas utamanya adalah

beribadah, yaitu tunduk, patuh dan taat kepada seluruh aturan-aturan yang

diwahyukan oleh-Nya. Firman Allah SWT :

Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada-

Ku (Adz Dzariyat [51] : 56).

Anggapan bahwa HAM adalah sesuatu yang absolut, mutlak dan

taqdis,pun telah membuat hubungan HAM dengan agama (khususnya Islam)

seolah-olah berseberangan dan menjadi masalah. Bahkan masalah tersebut

menjadi semakin rumit jika hubungan HAM dan agama tidak dipahami secara

tepat dan tidak segera diakhiri dengan membangun dialog terbuka antar budaya,

baik budaya HAM di satu sisi dan budaya agama pada sisi lain.

Hal ini, misalnya, dicontohkan oleh Ahmad Shubhi Manshur,

Cendekiawan Muslim dan Direktur pada Pusat Kajian Ibnu Khaldun, Kairo yang

pernah melontarkan pandangan cukup kontroversial dalam konteks HAM.

Dengan tidak mengedepankan fikih konvensional (al-fiqh at-taqlidy), Manshur

menyebutkan ikatan pernikahan tidak perlu lagi terikat pada labelisasi agama

yang dianut oleh masing-masing mempelai. Suatu pandangan yang jelas sangat

ditentang oleh mayoritas penganut Islam. Hak-hak yang dimiliki manusia yang

dijamin oleh syara ada 3 jenis, yaitu hak dharuriyat, hak hajiyat, dan hak tahsinat.
192

Hak dharuriyat merupakan hak-hak yang mesti dimiliki oleh manusia

yang menjadi landasan bagi kemuliaan hidup manusia, tegaknya dan stabilnya

masyarakat dengan benar. Bila hak ini tidak terlaksana maka sistem hidup akan

hancur, masyarakat akan kacau dan rusak, serta kenestapaan di dunia dan adzab di

neraka akan disandangnya. Diantara hak dharuriyat ini adalah :

Hak dipelihara agamanya. Islam tidak memaksa seseorang non muslim untuk

masuk Islam. Tidak ada paksaan dalam menganut agama, begitu makna firman

Allah SWT di dalam surat Al Baqarah [2] ayat 256. Ini tidak berarti sebagai

kebebasan beraqidah seperti dalam ideologi kapitalis. Sebab, seorang muslim

yang murtad dari agamanya harus diajak diskusi oleh pengadilan, disuruh taubat,

dan bila dalam jangka waktu tiga hari tidak kembali kepada Islam berhak

dibunuh. Kata Nabi seperti diriwayatkan Imam Muslim : Siapa saja yang

mengganti agamanya (Islam) maka bunuhlah ia. Jadi, dalam Islam tidak

dibenarkan adanya kristenisasi atau westernisasi dalam keyakinan. Perkara-

perkara yang dapat merusak aqidah dan menjauhkan masyarakat dari Islam

tidak boleh ada. Jika tidak, berarti melanggar hak syarit bagi manusia dalam hal

ini hak dipelihara agamanya.

Hak untuk dipelihara jiwanya. Allah SWT menegaskan dalam surat Al

Isra [17] ayat 70 : Dan sungguh Kami telah memuliakan anak-anak Adam

(manusia). Allah SWT mengharamkan segala bentuk perkara yang

mengakibatkan rusaknya nyawa manusia. Untuk itu, ada hukum qishash bagi

pembunuh. Firman Allah SWT : Dan bagi kalian di dalam hukum qishash itu

terdapat kehidupan, wahai ulul albab (QS. Al Baqarah [2] : 179). Jelaslah setiap
193

orang muslim mapun kafir dzimmi berhak dilindungi nyawanya dari

pembunuhan ataupun pembantaian.

Berhak dipelihara akalnya. Islam sangat meninggikan derajat akal. Sampai-

sampai akal merupakan tolok ukur seseorang terkena beban (taklif) hukum. Islam

juga mengangkat derajat ilmu, serta mengharamkan segala perkara yang dapat

merusak akal seperti khamr, ganja, morphin, dan lainnya. Karenanya, keberadaan

barang-barang tersebut di tengah masyarakat melanggar hak syariy bagi

manusia.

Berhak dipelihara nasab keturunannya. Setiap orang berhak mengetahui ayah,

ibu, dan saudara-saudaranya. Islam melarang mendekati zina dan melakukannya

dan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya. Bila belum menikah dicambuk

100 kali, dan jika sudah pernah menikah dirajam sampai meninggal. Perempuan

yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka tiap-tiap seorang dari keduanya

seratus kali dera (QS. An Nur [24] : 2). Hal ini jelas berbeda dengan kebebasan

pribadi dalam HAM yang memang serba boleh itu.

Hak dipelihara hartanya. Islam membolehkan manusia memiliki apapun

asalkan dengan cara yang dibolehkan dan barang-barangnya dihalalkan. Di sisi

lain Islam, Islam melarang siapapun mengambil barang milik orang lain dan

memberikan sanksi pada pelakunya. Ajaran Islam pun membedakan jenis

pemilikan individu, pemilikan umum, dan pemilikan negara. Semua ini adalah

dalam rangka menjaga harta setiap orang.


194

Berhak dipelihara kehormatan dirinya. Setiap orang tidak boleh dituduh

dengan tuduhan dusta, tidak boleh difitnah, dan juga tidak boleh dicemarkan

nama baiknya. Semua ini dijamin di dalam Islam. Makanya, siapa saja yang

menuduh seseorang baik-baik berzina, misalnya, dihukum delapan puluh

cambukan. Sedangkan, tuduhan bohong lainnya dikenakan hukuman tazir,

menurut Abdurrahman Maliki, dalam bukunya Nizhamul uqubat fil Islam.

Hak mendapatkan keamanan. Islam menjamin keamanan bagi setiap warga

negara baik dalam perkara kehormatan, harta, maupun nyawa. Pengabaian

terhadap hal ini merupakan pengabaian terhadap hak syariy bagi manusia.

Berkaitan dengan hukum terhadap perusuh dan pengacau keamanan Islam dan

kaum muslimin Allah SWT menegaskan: Sesungguhnya pembalasan terhadap

orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di

muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki

mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya

(QS. Al Maidah [5] : 33). Merujuk hal tersebut, apa yang menimpa muslim di

Maluku dan daerah lain yang diusir dan diganggu keamanannya tidak akan terjadi

dan berlarut-larut bila hukum Islam yang ditegakkan.

Berhak terpelihara negaranya. Islam telah mewajibkan kepada kaum

muslimin untuk hanya memiliki satu negara di dunia. Keterpecahbelahan umat

Islam menjadi 56 negara seperti sekarang merupakan pelanggaran terhadap hak

syariy bagi manusia.


195

Barangsiapa membait seorang imam, meletakkan tangannya dan menyerahkan

buah hatinya, hendaklah ia mentaatinya semaksimal mungkin. Dan jika datang

orang lain hendak merampasnya maka penggallah leher orang itu.

Bila datang seseorang, sedangkan urusan kalian berada pada seorang, hendak

memisahkan kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia (HR.

Muslim).

Hadits-hadits itu menjelaskan bahwa kaum muslimin tidak boleh memiliki

lebih dari satu jamaah kaum muslimin, yakni khilafah. Inilah wahyu Allah SWT

yang disampaikan lewat mulut Rasulullah SAW. Jadi, adanya satu kepemimpinan

umat saja di dunia dan keutuhannya merupakan hak sekaligus kewajiban seluruh

kaum muslimin. Hanya sayang, tidak sedikit kaum muslimin masih tertipu oleh

perjanjian Sykes Picot (yang memicu munculnya negara Yahudi) yang

menetapkan batas-batas negara. Padahal, Allah dan Rasul-Nya justru

memerintahkan hal sebaliknya.

Adapun hak hajiyat merupakan perkara yang diberikan oleh Allah SWT

sebagai keringanan. Misalnya, pada waktu tidak ada makanan apapun maka

seseorang berhak untuk memakan makanan yang haram seperti bangkai.

Sedangkan hak tahsinat merupakan segala perkara yang dapat meningkatkan

kualitas hidup manusia.

Mengacu pada dua contoh pandang di atas, jelaslah bahwa prinsip-prinsip

HAM tidak bisa ditegakkan dengan mengabaikan konsepsi agama. Apalagi,

dalam banyak kasus, pertentangan HAM dengan agama, terutama Islam,

seringkali menyangkut masalah yang sangat prinsipil. Dan umumnya


196

pertentangan itu dipicu oleh perseteruan dan lebih-lebih oleh kepentingan politik

Barat. Apalagi, bila dilihat dari sisi historis-sosiologis, terminologi HAM yang

berkembang saat ini lebih banyak merupakan hasil pengembangan pemikiran

politik Barat. Padahal Islam telah mengenal dan mempraktikkan HAM selama

berabad-abad sebelumnya.127

Islam sesungguhnya adalah agama dan sekaligus peradaban yang saling

memperkuat kriteria HAM secara menyeluruh. Dalam Islam prinsip HAM adalah

prinsip kemanusiaan yang tidak terikat ruang dan waktu. Ini membuktikan bahwa

di dalam ajaran Islam prinsip HAM adalah prinsip kemanusiaan universal dan

komprehensif. Hal ini diakui oleh ahli filsafat Prancis, Roger Geroudy dalam

bukunya Afaq Al-Quran al-Hady wa al-Isyriin. Oleh karena itu, sejatinya

tidak ada pertentangan antara Islam dan Barat tentang HAM sekalipun tafsir

HAM di Barat seringkali berkait dengan ruang lingkup kemanusiaan yang

terbatas.

Ironisnya, di kawasan Arab khususnya dan dunia Islam pada

umumnya,wacana seputar HAM seringkali mengalami kerancuan, distorsi, dan

kesalahpahaman. Utamanya jika dikaitkan dengan bagaimana Islam memandang

127
Dengan diterapkannya hukum-hukum Islam. Bukan hanya umat Islam yang
menikmatinya, melainkan juga non muslim yang menjadi kafir dzimmi dalam pemerintahan Islam.
Sebab, hak-hak tadi bukan hanya diperuntukkan bagi kaum muslimin saja melainkan juga bagi non
muslim yang menjadi warga negara. Nampaklah, ketidakberdayaan, ketertindasan, dan
tercerabutnya hak-hak umat Islam di tengah belantara sekularisme ini hanya akan berhenti dengan
ditegakkannya hukum Islam. Inilah langkah strategis yang mutlak terus diperjuangkan. Namun,
tentu saja langkah-langkah praktis untuk menyelesaikan masalah kekinian perlu diusahakan. Sebab
itu, muslim yang berharta meninfakkan hartanya untuk membantu saudaranya yang tengah terusir
dan haknya dirampas. Mereka yang punya kekuasaan gunakanlah kekuasaannya untuk
menghentikan kezhaliman atas kaum muslimin. Setiap muslim penting dan wajib mencurahkan
kemampuannya untuk menolong saudaranya. Dan doa kepada Allah SWT demi ketinggian
Islam dan kaum muslimin tidak layak terputus.
197

HAM. Menurut Baqir hal itu disebabkan beberapa sebab. Di antaranya

penyampaian masalah HAM yang terlalu umum, tidak fokus dan cenderung

sepotong-sepotong. Malah seringkali para pemikir dan penganjur HAM

terjerumus dalam arus subjektifitasnya sendiri, dengan pemaparan yang bersifat

apologetic atau bahkan terpengaruh oleh dinamika politik lokal.

Sejak abad 19

Polemik kebudayaan antara Islam dengan Barat, termasuk di dalamnya masalah

HAM, sesungguhnya telah berlangsung sejak abad 19. Dalam polemik itu, terlihat

jelas bagaimana ulama dan pemikir Islam berupaya membebaskan dan

melindungi Islam dari berbagai kerancuan pikiran (syubhat) yang sengaja

dikampanyekan oleh para orientalis. Maka, ketika para pionir era kebangkitan

Islam, khususnya di jazirah Arab, mendapati realitas bahwa masyarakat di dunia

Islam mengalami keterbelakangan dibandingkan Barat--yang pertama kali

menjadi tekad mereka ialah membebaskan Islam dari tuduhan para orientalis yang

menyatakan Islam sebagai penyebab keterbelakangan itu.

Tidak berhenti di situ, para pemikir Islam bahkan berusaha membalikkan

argumentasi para orientalis tersebut secara diametral. Dalam pandangan para

pemikir tersebut, penyebab keterbelakangan yang melanda masyarakat Muslim

bukanlah Islam, tapi karena umat Islam sendiri yang telah meninggalkan nilai dan

spirit ajaran Islam. Maka syarat utama untuk meraih kembali kebangkitan

masyarakat Muslim ialah dengan kembali pada syariat dan ajaran Islam.
198

Syeikh Muhammad Abduh mencoba melihat problem ini dari kacamata

internal umat Islam sendiri. Kejumudan umat, katanya, adalah karena kajian fiqh

telah tercerabut dari realitas kehidupan manusia hingga pada gilirannya berubah

dari catatan pinggir (hasyiyah) menjadi matan. Lalu temanya diperbesar menjadi

mabsuth (buku kecil) dan akhirnya dibuat sekedar ulasan singkatnya yang

dinamakan mukhtashar (ringkasan). Kondisi ini terus berputar seperti itu sehingga

menyebabkan nalar pemikiran masyarakat Muslim menjadi tertutup dan eksklusif.

Begitu pula dalam hal kebebasan berpikir. Telah terjadi pengekangan terhadap

segala bentuk rasionalitas dan kebebasan berpikir. Dan pengekangan itu justru

mengantarkan umat pada suatu kondisi psikologis yang beranggapan bahwa

keselamatan ataupun kedamaian dirinya hanya akan terwujud dengan bertaklid,

dalam arti mengikuti jalan yang telah ada dan berkembang sedemikian rupa.

Sebaliknya, upaya kreatif inovatif (ijtihad) seringkali malah dituding sebagai

bidah dan dianggap hanya akan menjerumuskan umat dalam kesesatan serta

membuat mereka terpecahbelah.

Atas kenyataan itulah Syeikh Muhammad Abduh mengajak umat Islam

untuk lebih mengoptimalkan dimensi rasionalitas dalam ranah pemikiran

keagamaan, sebagai bagian penting untuk mensinergikan Islam dengan realitas

kekinian. Ada dua hal mendasar yang menjadi konsekuensi dari ajakan

Muhammad Abduh tersebut; Pertama, membebaskan diri dari budaya taklid buta;

dan Kedua, berupaya semaksimal mungkin untuk secara langsung melakukan

pembacaan terhadap teks-teks syariah (Alquran) secara rasional.


199

Hanya dengan membuka pintu ijtihad-lah dunia Islam baru bisa

menyeimbangkan posisinya dalam dialog budaya dengan Barat. Apalagi selama

ini dialog itu tidak berlangsung dalam situasi dan kondisi yang wajar dan

seimbang. Dialog Islam dan Barat terjadi justru ketika Barat sudah berada di

puncak hegemoni superioritasnya (dzilli at-tafawwuq). Hegemoni Barat itu

bahkan hampir dapat dirasakan pada setiap lini kehidupan umat Islamdan sudah

barang tentu hegemoni Barat tersebut membawa pengaruh signifikan pada

pembentukan pola pikir masyarakat Muslim. Kekalahan umat Islam di Palestina

khususnya dan umat Islam di dunia pada umumya dari Israel, membuktikan

kesimpulan di atas.

Gambaran kekalahan itu juga dialami dunia Islam dalam menghadapi

polemik terkait implementasi penegakan HAM. Bahkan polemic seputar HAM

tersebut telah membelah para pemikir dan ulama Islam dalam dua kubu yang

saling bertolakbelakang; yakni yang menerima secara mutlak dan yang menolak

secara mutlak tafsir dan terminologi HAM Barat. Keadaan ini, sekali lagi,

semakin menegaskan bahwa dunia Islam selalu berada pada posisi sebagaimana

dikehendaki Barat. Dengan satu ungkapan sederhana, Barat terus melemparkan

tantangan demi tantangan sementara

umat Islam terus juga tergagap-gagap meresponnya.

Konsep dasar HAM adalah produk akal manusia yang terbatas dan relatif

kebenarannya, sedangkan Syariat Islam adalah dustur Ilahiyah yang mutlak


200

kebenarannya dan tak perlu diganggu gugat. Lantas mengapa ada anggapan yang

seolah-olah menggugat kebenaran dan relevansi syariat Islam dengan HAM?

kenapa pemberlakuan Qanun Syariat Islam di Aceh kerap menuai protes dari

para aktivis/pegiat HAM? simak petikan wawancara Muhammad Meflin al-

Husaini dengan Syafruddin Ngulma Simeulu.

Tanggapan Anda mengenai pertentangan HAM dan Syariat Islam?

Ada semacam arus pemikiran yang berkembang seolah-olah Islam bertentangan

dengan HAM. Sehingga banyaklah Syariat Islam itu ditentang oleh para pegiat

HAM. Misalnya Qanun Jinayah dipersoalkan orang dimana-mana. Menurut saya

di satu sisi kawan-kawan Pegiat HAM tidak paham betul dengan Syariat Islam.

Misalnya isu hak asasi manusia dalam kebebasan beragama, muncullah kemudian

kasus-kasus seperti Ahmadiyah misalnya, ajaran yang dianggap sesat. Kawan-

kawan yang tidak sepenuhnya memahami hak asasi manusia mengatakan semua

ajaran itu dibiarkan saja, karena itu adalah bahagian dari kebebasan. Sebenarnya

masalahnya adalah yang memahami HAM tidak sepenuhnya paham, yang

mempersoalkan HAM ini bertentangan dengan Syariat Islam juga tidak begitu

paham dengan syariat.

Relasi antara HAM dan Syariat Islam?

HAM tidak bertentangan dengan Syariat Islam. Jika dilihat ada semacam

pertentangan, maka kemungkinan terdapat kesalahpahaman. Syariat Islam adalah

Hukum Allah dan itu final, Yaluu walaa Yulaa alaihi, tidak ada tawar-

menawar. Jika ada persoalan Hak Asasi Manusia yang seolah-olah bertentangan
201

dengan Islam, maka kalau betul-betul berbeda, yang harus kita revisi adalah

HAM-nya bukan Islam-nya.

Misalnya disebut Syariat Islam mengekang kebebasan berekspresi. Bahwa

pakaian ketat, pakaian minim adalah ekspresi dan dianggap itu HAM. Apakah

kita tidak keliru? kalau ada sesuatu yang dianggap mengekang kebebasan, kita

harus sadar bahwa agama ini adalah perintah Allah. Dalam banyak hal mungkin

akal kita mengatakan ini tidak baik, tapi jangan lupa bahwa akal kita terbatas.

Bagi saya HAMM adalah salah satu bagian dari ajaran Islam.

Perspektif Islam terhadap HAM?

Kita memahami bangunan agama Islam itu ada tiga; aqidah, syariah, dan akhlak.

Kalau tiga ini dilaksanakan dengan baik, maka ada lima hal yang terjaga; menjaga

agama sendiri, menjaga nyawa, menjaga aqal, menjaga harta, dan menjaga

keturunan, ini semua persoalan HAM.

Opini Anda terkait implementasi Syariat Islam di Aceh?

Pertama, Qanun Syariat Islam di Aceh musti dilahirkan dari hasil kajian yang

sangat hati-hati dan mendalam. Harus melibatkan pihak-pihak yang berkompeten

dan ahli di bidangnya. Pemda Aceh, dalam hal ini Dinas Syariat Islam dan

legislatif seharusnya meminta keikutsertaan unsur ulama, tokoh masyarakat,

aktivis HAM, akademisi pendidikan, mahasiswa dan siapa saja yang dianggap

layak dan mampu berperan dalam melahirkan produk qanun tersebut.


202

Kedua, diperlukan persiapan dan kesiapan yang cukup dalam setiap tahapan

proses lahirnya qanun tersebut sejak menyusun rancangan draft qanun, review

qanun, pengesahan qanun, dan pemberlakuannya. Kita mesti tahu bahwa sebelum

saatnya masa pemberlakuan penuh qanun syariat Islam, ada masa transisi dan

sosialisasi yang cukup ke tengah masyarakat. Tujuannya agar produk hukum

dapat dimengerti, dipahami, dan didukung oleh masyarakat.

Ketiga, diharapkan kepada kawan-kawan aktivis HAM agar tidak mengeluarkan

pernyataan atau bersikap yang dapat menimbulkan reaksi keras dari masyarakat

Islam di Aceh. kawan-kawan aktivis HAM juga diharapkan mau belajar lebih

banyak lagi tentang HAM dan Syariat Islam, sehingga komentar dan argumentasi

yang muncul kemudian tidak saling melanggar. Janganlah komentar syariat Islam

bila belum memahami dengan baik dan benar tentang syariat Islam itu sendiri,

agar tidak terlalu banyak komentar kontraproduktif yang mengemuka.

Semoga Pelaksanaan Syariat Islam bukan hanya formalitas tapi juga dapat

menjadi sebuah sistem hidup bermasyarakat. Lebih dari itu syariat Islam

hendaknya menjadi kebutuhan penting bagi umat manusia.

Hak asasi manusia atau biasa disingkat HAM merupakan sebuah hal yang

menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusinya.

Melalui deklarasi universal ham 10 desember 1948 merupakan tonggak bersejarah

berlakunya penjaminan hak mengenai manusia sebagai manusia. Sejarah HAM

dimulai dari Magna Charta di Inggris pada tahun 1252 M yang kemudian
203

kemudian berlanjut pada bill of rights dan kemudian berpangkal pada DUHAM

PBB. Dalam konteks keIndonesiaan penegakan HAM masih bisa dibilang kurang

memuaskan. Banyak faktor yang menyebabkan penegakan HAM di Indonesia

terhambat seperti problem politik, dualisme peradilan dan prosedural acara

(Kontras, 2004;160).

Islam sebagai agama bagi pengikutnya meyakini konsep Islam adalah

sebagai way of life yang berarti pandangan hidup. Islam menurut para

penganutnya merupakan konsep yang lengkap mengatur segala aspek kehidupan

manusia. Begitu juga dalam pengaturan mengenai hak asasi manusia Islam pun

mengtur mengenai hak asasi manusia. Islam adalah agama rahmatan lil alamin

yang berarti agama rahmat bagi seluruh alam. Bahkan dalam ketidakadilan sosial

sekalipun Islam pun mengatur mengenai konsep kaum mustadhafin yang harus

dibela.

Dalam Islam, konsep mengenai HAM sebenarnya telah mempunyai

tempat tersendiri dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi

dengan Islam sebenarnya yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam

Islam. Karena dalam demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat

tempat yang spesial. Berbagai macam pemikiran tentang demokrasi dapat dengan

mudah kita temukan didalamnya konsep tentang penegakan HAM.

Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang

lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak

memiliki konsep tentang pengakuan HAM. berangkat dari kenyataan ini akan

mencoba memberikan sedikit penerangan mengenai wacana HAM dalam Islam.


204

2.1. Apakah Islam Itu?

Apakah islam itu sebenarnya? Kata Islam berasal dari bahasa arab , dari

kata aslama, yuslimu islaman yang berarti menyerah patuh (DR Zainuddin

Nainggolan, 2000;9). Menurut Nurcholish Madjid yang dikutip dari buku Junaidi

Idrus (2004;87) Islam itu adalah sikap pasrah kehadirat Tuhan. Kepasrahan

merupakan karakteristik pokok semua agama yang benar. Inilah world view Al-

Quran, bahwa semua agama yang benar adalah Al-Islam, yakni sikap berserah

diri kehadirat Tuhan. Dan bagi orang yang pasrah kepada Tuhan adalah muslim.

Menurut Masdar F. Masudi (1993;29) klaim kepasrahan dalam

pengertian Islam termaktub dalam tiga tataran. Pertama, Islam sebagai aqidah,

yaitu sebagai komitmen nurani untuk pasrah kepada Tuhan. Kedua, Islam sebagai

syariah, yakni ajaran mengenai bagaimana kepasrahan itu dipahami. Ketika,

Islam sebagai akhlak, yakni suatu wujud perilaku manusia yang pasrah, baik

dalam dimensi diri personalnya maupun dalam dimensi sosial kolektifnya.

Berangkat dari pengertian diatas Islam adalah agama yang mengajarkan seseorang

untuk menyerah pasrah kepada aturan Allah (Sunnatullah) baik tertulis maupun

tidak tertulis. Dan orang yang menyerah pasrah kepada Tuhan dan hukum-Nya

disebut seorang muslim.

Dalam Islam itu terdapat dua kelompok sumber ajaran Islam. Kelompok

pertama disebut ajaran dasar (qatI al-dalalah), yaitu Al-Quran dan Hadist

sebagai dua pilar utama ajaran Islam. Al-Quran mengandung 6236 ayat dan dari

ayat-ayat itu, menurut para ulama hanya 500 ayat yang mengandung ajaran

mengenai dunia dan akhirat selebihnya merupakan bagian terbesar mengandung


205

penjelasan tentang para nabi, rasul, kitab dan ajaran moral maupun sejarah ummat

terdahulu. Kelompok kedua disebut ajaran bukan dasar (zhanni al-dalalah), yaitu

ajaran yang merupakan produk ulama yang melakukan ijtihad dan muatan

ajarannya bersifat relative, nisbi, bisa berubah dan tidak harus dipandang suci,

sakaral ataupun mengikat (Junaidi Idrus, 2004;95-96).

2.2 Apakah Hak Asasi Manusia?

Tonggak berlakunya HAM internasional ialah pada Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada 10 Desember 1948 di Paris, Prancis. Disini

tonggak deklarasi universal mengenai hak asasi manusia yang mengakui hak

setiap orang diseluruh dunia. Deklarasi ini ditanda tangani oleh 48 negara dari 58

negara anggota PBB dan disetujui oleh majelis umum PBB. Perumusan

penghormatan dan pengakuan norma-norma HAM yang bersifat universal,

nondiskriminasi, dan imparsial telah berlangsung dalam sebuah proses yang

sangat panjang.

Sejarah awal hak asasi manusia di barat berkembang sejak tahun 1215

yaitu dalam Magna Charta yang berisi aturan mengenai tindakan dan kebijakan

negara supaya tidak berjalan sewenang-wenang. Isi dari Magna Charta ialah

bermaksud untuk mengurangi kekuasan penguasa. Usaha untuk diadakannya

Magna Charta ini dimulai dari perjuangan tuan tanah dan gereja untuk membatasi

kekuasaan raja dan para anggota keluarga. Pada periode awal ini hubungan antara

isi dasar HAM adalah mengenai (hubungan) antara anggota masyarakat yang

berada dibawaha kekuasaan yang diatur kebendaanya.


206

Sekelompok tuan tanah dan ksatria menggalang kekuatan dan mereka

berhasil mendesak raja untuk tidak lagi memberlakukan tindakan penahan,

penghukuman dan perampasan benda benda secara sewenag-wenang. Raja Jhon

terpaksa menyetujui tuntutan ini dengan memberikan cap pengesahan yang

berlangsung pada juni 1215 di Runnymede, sebuah padang rumput di pinggir

sungai Thames. Isi dari Magna Charta ini ada tiga. Pertama, raja dilarang menarik

pajak sewenang wenang. Kedua, pejabat pemerintah dilarang mengambil jagung

dengan tanpa membayar. Dan yang ketiga, tidak seorang pun dapat dipenjara

tanpa saksi yang jelas. Pengesahan ini menjadi dokumen tertulis yang pertama

tentang hak-hak tuan tanah, gereja, ksatria dan orang merdeka atau orang sipil

yang belum menikmati kebebasan.

Berlanjut setelah keberhasilan tuan tanah, bangsawan dan orang merdeka

untuk memperjuangkan hak-hak mereka di hadapan raja membangkitkan

kesadaran diberbagai kalangan masyarakat terhadap pentingnya hak-hak untuk

dihormati dan dilindungi. Pada 1628, kaum bangsawan menuntut hak-hak mereka

kepada raja. Mereka mencetuskan Petition Of Right. Yang menuntut sebuah

negara yang konstitusional, termasuk didalamnya fungsi parlemen dan fungsi

pengadilan. Jhon locke (1632-1704) bersama lord Ashley merumuskan tuntutan

bagi toleransi beragama. Selain itu, juga menyatakan bahwa semua orang

diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak data dicabut seperti

hak untuk hidup, kemerdekaan hak milik dan hak untuk meraih kebahagiaan.

Salah satu karya Locke yang terkenal ialah second treaties on civil

government yang berisi mengenai negara atau pemerintah harus berfungsi untuk
207

melindungi hak milik pribadi. Pemerintah dibentuk guna menjamin kehidupan,

harta benda dan kesejahteraan rakyat. Gagasan locke ini sesuai dengan

perkembangan didalam masyarakat inggris yang mulai berubah dari nehgara

kerajaan yang absolut menuju kerajaan yang konstitusional.

Pada 1653 instrument of government berhasil didesakkan. Pembatasan

kekuasaan raja semakin dikukuhkan dengan lahirnya Habeas Corpus Act pada

Mei 1679. Lonceng kebebasan terus berdentang dan pada 16 desember 1689 Bill

Of Rights lahir. Mereka tidak hanya berhasil membebaskan diri dari

kesewenangan raja. Dan mereka juga berhasil membentuk parlemen yang

mempunyai kewenangan untuk mengontrol kekuasaan raja. Itulah sekilas sejarah

awal dari HAM yang berkembang di Barat khususnya yang berkembang di

wilayah Inggris.

Ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia,

yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial. Prinsip

keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui

dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau internasional. Prinsip ini

didasarkan atas keyakinan bahwa umat manusia berada dimana-mana,disetiap

bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di pelosok pelosok bumi yang

terpencil. Berdasar hal itu ham tidak bisa didasarkan secara partikular yang hanya

diakui kedaerahahan dan diakui secara local.

Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi.

Prinsip ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human

being are equal). Pandangan ini dipetik dari salah satu semboyan Revolusi
208

Prancis, yakni persamaan (egalite). Setiap orang harus diperlakukan setara.

Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Akan

tetapi latar belakang kebudayaan sosial dan tradisi setiap manusia diwilayahnya

berbeda-beda. Hal ini tidak bisa dipandang sebagai suatu hal yang negatif,

melainkan harus dipandang sebagai kekayaan umat manusia. Karena manusia

berasal dari keanekaragaman warna kulit seperti kulit putih,hitam, kuning dan

lainnya. Keanekaragam kebangsaan dan suku bangsa atau etnisitas.

Kenekaragaman agama juga merupakan sesuatu hal yang mendapat tempat dalam

sifat non-diskriminasi ini. Pembatasan sesorang dalam beragama merupakan

sebuah pelanggaran HAM.

Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian

sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam

masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial aupun latar

belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan

sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini diimaksudkan agar hukum tidak

memihak pada suatu golongan. Prinsip ini juga dimaksudkan agar pengadilan

sebuah kasus diselesaikan secara adil atau tidak meihak pada salah satu pihak.

Pemihakan hanyalah pada norma-norma ham itu sendiri.

Terdapat dua garis besar pembagian hak asasi manusia yaitu Hak Negatif

dan Hak Positif. Pembagian hak-hak ini berhubungan dengan dengan ukuran

keterlibatan negara dalam pemenuhan hak asasi manusia. Pembagian ini tidak

berdasarkan baik atau buruk dalam hak yang terkandung di dalamnya.


209

Mengenai Hak Negatif adalah hak meminimalkan peran campur tangan

negara, maka semakin terpenuhi pula hak-hak sipil dan politik. Sebaliknya, bila

negara terlalu banyak melakukan campur tangan, maka semakin terhambat pula

pelaksanaan hak-hak sipil politik warganya. Peminimalisiran peran negara dalam

pemenuhan hak-hak sipil dan politik karena hak-hak yang berkaitan dengan sipil

dan politik adalah hak yang berkaitan dengan kebebasan. Karena sebagian besar

kandungan hak-hak sipil politik adalah hak-hak atas kebebasan (rights to liberty).

Hak yang terkandung dalam hak sipil dan politik ada dua puluh dua

hak. Pertama hak atas kehidupan, karena hidup seseorang harus dilindungi. Kedua

hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan secara keji. Karena setiap orang berhak

untuk memperoleh perlakuan secara manusiawi dan tidak merendahkan martabat.

Ketiga, hak untuk tidak diperbudak dan dipekerjakan secara paksa. Keempat, hak

atas kebebasan dan keselamatan pribadi. Kelima, hak setiap orang yang ditahan

untuk diperlakukan secara manusiawi. Keenam, hak setiap orang untuk tidak

dipenjara akibat tidak mampu memenuhi kewajiban kontrak. Ketidakmampuan

sesorang dalam memenuhi suatu perjanjian kontrak, tidak boleh dipenjara. Hanya

boleh melalui hukum perdata hanya melalui penyitaan. Ketujuh, hak atas

kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal. Kedelapan hak setiap warga

asing.

Kesembilan, hak atas pengadilan yang berwenang, independen dan tidak

memihak. Kesepuluh, hak atas perlindungan dari kesewenangan hukum pidana.

Kesebelas, hak atas perlakuan yang sama didepan hukum. Keduabelas, hak atas

urusan pribadi. Ketigabelas, hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan


210

beragama. Keempatbelas, hak berpendapat dan berekspresi. Kelimabelas, hak atas

kebeasan berkumpul. Keenambelas, hak atas kebebasan berserikat. Ketujuh belas,

hak untuk menikah dan membentuk keluarga. Kedelapanbelas, hak anak atas

perlindungan bagi perkembangannya. Kesembilanbelas, hak untuk berpartisipasi

dalam politik. Keduapuluh, hak atas kedudukan dan perlindungan yang sama

didepan hukum. Keduapuluhsatu, hak bagi golongan minoritas. Keduapuluhdua,

larangan propaganda perang dan diskriminasi.

Selain hak hak sipil dan politik di atas hak asasi manusia juga

mencakup hak dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Hak ini termasuk dalam

pembagan hak positif yang mengusahakan peran negara secara maksimal dalam

pemenuhannya. Adanya hak ini dalam HAM universal adalah buah dari

perdebatan blok sosialis eropa timur dengan blok liberal. Karena blok sosialis

lebih berpegangan pada ekonomi sebagai dasar masyarakat. Kebijakan negara

sosialis lebih menitikberatkan pada pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan

budaya seperti pendidikan gratis. Sedangkan masyarakat blok liberal lebih

menekankan manusia sebagai individu yang bebas. Namun, akhirnya usulan dari

blok sosialis diterima. Sehingga HAM universal menganjurkan melindungi dan

memnuhi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya setiap warganya.

Pengakuan dan perlindungan universal atau jaminan normatif atas

terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tercantum dalam Kovenan

Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (international covenant on

economic, social and culture rights). Ada sepuluh hak yang diakui dalam kovenan

tersebut. Hak-hak tersebut dapat diuraikan sebaagai berikut.


211

Pertama, hak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya.

Kedua, hak atas pekerjaan. Ketiga, hak atas upah yang layak, kondisi kerja yang

aman dan sehat, peluang karir dan liburan. Keempat, hak berserikat dan mogok

kerja bagi buruh. Kelima, hak atas jaminan sosial. Keenam, hak atas perlindungan

keluarga termasuk ibu dan anak. Ketujuh, hak atas standar hidup yang layak,

yakni sandang, pangan dan perumahan. Kedelapan, hak atas kesehatandan

lingkungan yang sehat. Kesembilan, hak atas pendidikan. Kesepuluh, hak untuk

berpartisipasi dalam kebudayaan.

Itulah sekilas gambaran singkat mengenai HAM internasional. Dari mulai

sejarah awal Magna Charta sampai ke isi dari HAM internasional yang dibagi atas

dua pokok garis besar yaitu hak positif dan hak negatif. Kedua hak itu didasarkan

atas partisipasi negara dalam pemenuhannya.

2.3 Adakah HAM dalam Islam?

Pertanyaan adakah ham dalam Islam harus dirunut secara sejarah dialektika HAM

dalam Islam. Menurut Anas Urbaningrum hak asasi manusia atau lebih dikenal

manusia modern sebagai HAM, telah lebih dahulu diwacanakan oleh Islam sejak

empat belas abad silam. Hal ini memberi kepastian bahwa pandangan Islam yang

khas tentang HAM sebenarnya telah hadir sebelum deklarasi universal HAM PBB

pada 18 Shafar 1369 Hijriyah atau bertepatan dengan 10 Desember 1948 Masehi

(Anas, 2004;91). Secara internasional umat Islam yang terlembagakan dalam

Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi

tentang HAM dari perspektif Islam. Deklarasi yang juga dikenal sebagai
212

Deklarasi Kairo mengandung prinsip dan ketentuan tentang HAM berdasarkan

syariah (Azra).

HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu

(Anas Urbaningrum, 2004;91). Ini dibuktikan oleh adanya Piagam Madinah

(mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi Muhammad berhijrah ke kota

Madinah. Dalam Dokumen Madinah atau Piagam Madinah itu berisi antara lain

pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok di kota Nabi itu, baik umat

yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri, adalah merupakan satu bangsa

(Idris, 2004;102). Dari pengakuan terhadap semua pihak untuk bekerja sama

sebagai satu bangsa, didalam piagam itu terdapat pengakuan mengenai HAM bagi

masing-masing pihak yang bersepakat dalam piagam itu. Secara langsung dapat

kita lihat bahwa dalam piagam madinah itu HAM sudah mendapatkan pengkuan

oleh Islam

Memang, terdapat prinsip-prinsip HAM yang universal; sama dengan

adanya perspektif Islam universal tentang HAM (huqul al-insan), yang dalam

banyak hal kompatibel dengan Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Tetapi juga

harus diakui, terdapat upaya-upaya di kalangan sarjana Muslim dan negara Islam

di Timur Tengah untuk lebih mengkontekstualisasikan DUHAM dengan

interpretasi tertentu dalam Islam dan bahkan dengan lingkungan sosial dan

budaya masyarakat-masyarakat Muslim tertentu pula.

Islam sebagai agama universal membuka wacana signifikan bagi HAM.

tema-tema HAM dalam Islam, sesungguhnya merupakan tema yang senantiasa

muncul, terutama jika dikaitkan dengan sejarah panjang penegakan agama Islam.
213

Menurut Syekh Syaukat Hussain yang diambil dari bukunya Anas Urbaningrum,

HAM dikategotrikan dalam dua klasifikasi. Pertama, HAM yang didasarkan oleh

Islam bagi seseorang sebagai manusia. Dan kedua, HAM yang diserahkan kepada

seseorang atau kelompok tertentu yang berbeda. Contohnya seperti hak-hak

khusus bagi non-muslim, kaum wanita, buruh, anak-anak dan sebagainya,

merupakan kategori yang kedua ini (Anas, 2004;92).

kompatibilitas antara HAM yang terkandung dalam Islam. Akan kita coba

membagi hak asasi manusia secara klasifikasi hak negatif dan hak positif. Dalam

hal ini hak negatif yang dimaksud adalah hak yang memberian kebebasan kepada

setiap individu dalam pemenuhannyaBerdasarkan temuan di atas akan kita coba

mencari kesamaan atau.Yang pertama adalah hak negatif yaitu memberikan

kebebasan kepada menusia dalam pemenuhannya. Bebrapa yang dapat kita ambil

sebagai contoh yaitu hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. Islam

menegaskan bahwa pembunuhan terhadap seorang manusia ibarat membunuh

seluruh umat manusia. Hak ini terkandung dalam al-Quran, beberapa surat:

1.Surah Al-Maidah ayat 63 :

Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani israil, bahwa:
barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka
bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan
barang siapa yang memlihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-
olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keternagan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantar
amereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan di muka bumi.128

128
Departemen Agama RI. QS 5:44..
214

Hak untuk mendapat perlindungan dari hukuman yang sewenang

wenang. yaitu dalam

2. Surat Al Anam : 164 Katakanlah:

Apakah aku mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah


tuhan bagi segala sesuatu. Dan tidaklah sesorang membuat dosa
melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.
Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan.129

3. Surat Al-Fathir :18

Orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan
jika sesorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk
memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit
pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.
Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-
orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak
melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan
barangsiapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia
mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada
Allah-lah kembali(mu).

Hak atas keamanan dan kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An

Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat : 6 yang berbunyi seperti ini:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS 4;58)

4. QS Al-Hujurat : 6

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang yang fasik

membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak

129
Departemen Agama RI QS 6;164
215

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui

keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani.

Yang bisa kita lihat secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al

Ankabut ayat 46 yang berbunyi:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah

jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang

ingkar kepada yang thagut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia

telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan

Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS 2;256)

Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara

yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan

katakanlah: kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada

kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan

kami hanya kepada-Nya berserah diri. (QS 29;46)

Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam

surat An-Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13:

Hai sekalian manusia bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciotakan dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya;

dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan

yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan)


216

nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah)hubungan

silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS 4;1)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar

penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri

atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah

lebih tau kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena

ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata)

atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui

segala apa yang kamu kerjakan. (QS 4;135)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki

dan seorang perempuan dan menjdaikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-

suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling

mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara

kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS 49;13)

Dalam hal kebebasan berserikat Islam juga memberikan dalam surat Ali

Imran ayat 104-105 yang berbunyi:

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada

kebajikan, menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar ;

merekalah orang yang beruntung. (QS 3;104)

Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai berai dan

berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah

orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS 3;105)


217

Dalam memberikan suatu protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan

bersifat tiran. Islam memberikan hak untuk memprotes pemerintahan yang

zhalim, secara tersirat dapat diambil dari surat An-Nisa ayat 148, surat Al Maidah

78-79, surat Al Araf ayat 165, Surat Ali Imran ayat 110 yang masing masing

berbunyi:

Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang

kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha

Mengetahui. (QS 4;148)

Telah dilanati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa

Putera Maryam. Yang demikian itu. Disebabkan mereka durhaka dan selalu

melampaui batas. (QS 5;78)

Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan yang munkar yang

mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.

(QS 5;79)

Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka,

Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami

timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka

selalu berbuat fasik. (QS 7;165)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh

kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah.

Sekiranya Ahli Kitab Beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara
218

mereka yang ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang

fasik. (QS 3;110)

Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam hak

ekonomi sosial dan Islam pun mengandung secara tersirat mengenai hak ini.

Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat

dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumuah ayat

10, yang berbunyi:

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dimuka bumi untuk kamu

dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia

Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS 2;29)

Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan

orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS 51;19)

Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka

bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu

beruntung. (QS 62;10)

Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan

secara tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al

Mujadilah ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9 yang masing-masing berbunyi

berbunyi:
219

Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah

bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi

orang-orang yang tidak beriman. (QS 10;101)

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: berlapang-

lapanglah dalam majlis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah akan memberi

kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan:berdirilah kamu, maka berdirilah

kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang orang yang beriman diantaramu

dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 58;11)

(apakah kamu hai orang yang musyrik) ataukah orang-orang yang beribadat di

waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)

akhrat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: adakah sama orang-

orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?.

Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Berdasarkan paparan diatas dan pembahasan diatas dapat ditarik

keimpulan berdasarkan beberapa analisis. Dari analisis diatas antara HAM yang

berkembang di dunia internasional tidak bertentangan antara satu sama lain.

Bahkan organisasi Islam internasional yang terlembagakan dalam Organisasi

Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 mengeluarkan deklarasi HAM.

Kemudian Islam mematahkan bahwa dalam Islam telah dibicarakan sejak

empat belas tahun yang lalu (Anas Urbaningrum, 2004;91). Fakta ini mematahkan

bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan HAM. Ini dibuktikan oleh
220

adanya Piagam Madinah (Mitsaq Al-Madinah) yang terjadi pada saat Nabi

Muhammad berhijrah ke kota Madinah. Dalam dokumen madinah atau piagam

madinah itu berisi antara lain pengakuan dan penegasan bahwa semua kelompok

di kota Nabi itu, baik umat yahudi, umat nasrani maupun umat Islam sendiri,

adalah merupakan satu bangsa (Idris, 2004;102). Dalam dokumen itu dapat

disimpulkan bahwa HAM sudah pernah ditegakkan oleh Islam

Berdasar analisis diatas Islam mengandung pengaturan mengenai HAM

secara tersirat. Dapat kita bagi menjadi sembilan bagian hak asasi manusia dalam

islam yang pengaturannya secara tersirat.

Hak atas hidup, dan menghargai hidup manusia. surah Al-Maidah ayat 63.

Hak untuk mendapat pelindungan dari hukuman yang sewenag wenang yaitu

dalam surat Al Anam : 164 dan surat Fathir 18. Hak atas keamanan dan

kemerdekaan pribadi terdapat dalam surat An Nisa ayat 58 dan surat Al-Hujurat

ayat 6. Hak atas kebebasan beragama memilih keyakinan berdasar hati nurani

secara tersirat dalam surat Al Baqarah ayat 256 dan surat Al Ankabut ayat 46.

Hak atas persamaan hak didepan hukum secara tersirat terdapat dalam surat An-

Nisa ayat 1 dan 135 dan Al Hujurat ayat13. Dalam hal kebebasan berserikat Islam

juga memberikan dalam surat Ali Imran ayat 104-105. Dalam memberikan suatu

protes terhadap pemerintahan yang zhalim dan bersifat tirani secara tersirat dapat

dilihat pada surat an-nisa ayat 148, surat al maidah 78-79, surat Al Araf ayat 165,

surat Ali Imran ayat 110.

Dalam pemenuhan kebutuhan dasarnya seperti bentuk hak positif dalam

hak ekonomi sosial dan budaya Islam pun mengandung secara tersirat mengenai
221

hak ini. Hak mendapatkan kebutuhan dasar hidup manusia secara tersirat terdapat

dalam surat Al Baqarah ayat 29, surat Ad-Dzariyat ayat 19, surat Al Jumuah ayat

10. Dalam hak mendapatkan pendidikan Islam juga memiliki pengaturan secara

tersirat dalam surat Yunus ayat 101, surat Al-Alaq ayat 1-5, surat Al Mujadilah

ayat 11 dan surat Az-Zumar ayat 9.

Hak Azasi Manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental,

sensitif dan kontroversial. Selama beberapa dekade, isu-isu hak azasi manusia

telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang

politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu

hak azasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum

melainkan juga agama dan budaya.

Terbentuknya konsensus internasional tentang Universal Declaration of

Human Rights pada 10 Desember 1948 hanya dimotori oleh sekelompok negara

pemenang perang setelah berakhirnya Perang Dunia II yaitu AS, Perancis dan

Inggris. Hal ini memperkuat pandangan bahwa isu-isu hak azasi manusia tidak

saja terkait dengan persoalan krusial menyangkut aspek-aspek dan standar

universalitas hak azasi manusia, tetapi juga terkait dengan latar belakang

pembentukannya untuk menciptakan perdamaian dunia.

Di kalangan negara-negara muslim, persoalan hak azasi manusia bukanlah

suatu hal baru. Syariat Islam yang bersifat universal banyak menjelaskan prinsip-

prinsip dasar tentang persamaan hak azasi manusia dan kebebasan. Bahkan ketika
222

Nabi Muhammad Saw mendeklarasikan Piagam Madinah, hak azasi manusia

ditempatkan dalam posisi tertinggi konstitusi Islam pertama tersebut. Perjalanan

sejarah berlakunya hukum Islam di kalangan masyarakat muslim telah bergeser

dari sudut normativitas vertikal menjadi lebih horizontal. Hal ini disebabkan

perkembangan berlakunya hukum Islam telah dipengaruhi pula oleh dinamika

sosial-budaya dan politik hukum dalam masyarakat Islam itu sendiri.

Islam dan Hak Azasi Manusia

Bagi sebagian besar muslim, Islam difahami bukan semata-mata

merupakan agama yang mengajarkan tentang kesadaran untuk tunduk kepada

Tuhan yang diwujudkan dalam kegiatan ritual semata, akan tetapi mengajarkan

pula pedoman hidup untuk saling menghormati dan menghargai antar sesama

manusia. Islam merupakan agama wahyu karena di dalamnya syarat dengan

muatan-muatan norma-norma hukum berdasar kepada kehendak Tuhan, agar

manusia dapat menjunjung tinggi persamaan derajat kemanusiaannya.

Munculnya kesadaran eklusif dalam menjalankan ajaran Islam, tidak dapat

disangkal telah memunculkan corak penerimaan Islam lebih dari sekedar sistem

keyakinan terhadap Tuhan, tetapi juga merupakan suatu sistem hukum yang

universal. Norma-norma ideal dalam ajaran Islam lebih banyak difahami sebagai

kumpulan norma hukum yang sebagian atau seluruhnya berasal dari kehendak

Tuhan, sedangkan manusia hanya menjadi komponen yang melaksanakan hukum

Tuhan.
223

Sebaliknya corak kesadaran inklusif lebih menitikberatkan pemahaman

bahwa agama merupakan pedoman dasar ketuhanan dan kemanusiaan. Agama

tidak hanya mengarahkan manusia untuk tunduk dan patuh kepada Tuhan dalam

bentuk kegiatan ritual yang bersifat vertikal, tetapi hendaknya berimplikasi

kepada kesadaran akan kemanusiaannya, sehingga melahirkan sikap saling

terbuka, saling menghargai, dan mengakui persamaan derajat kemanusiaan tanpa

membeda-bedakan apapun.

Hubungan antara Islam dan hak azasi manusia, terletak pada universalitas

ajaran Islam. Universalitas hak azasi manusia telah digaransi di dalam prinsip-

prinsip dasar hukum Islam yang berasal dari teks-teks suci maupun konstruksi

pemikiran ulama. Prinsip-prinsip dasar tersebut mencakup: ketuhanan, keadilan,

persamaan, kebebasan, toleransi, dan sebagainya. Namun demikian, prinsip-

prinsip dasar yang bersifat umum tersebut sangat terbuka dengan perbedaan pada

tingkat implementasinya. Sebab hal ini sangat dipengaruhi oleh corak politik

hukum dan situasi sosial-budaya dalam masyarakat Islam. Pada gilirannya

muncullah corak keberlakuan hukum Islam yang bercorak lokal.

Perkembangan hukum Islam di negara-negara muslim yang berlangsung

sejak periode kenabian hingga periode modern, diduga telah bersentuhan dengan

sistem hukum lainnya. Di samping itu, pengaruh teori-teori hukum yang

diperkenalkan oleh kalangan ahli hukum juga telah memberikan asumsi-asumsi

dasar untuk menempatkan hukum Islam lebih dari sekedar bercorak lokal dan

berdiri sendiri, tetapi juga telah dibentuk dari hasil rekonstruksi pemikiran

manusia karena adanya faktor tuntutan dan dukungan bagi keberlakuannya.


224

Namun ironisnya, hal itu diklaim sebagai syariah itu sendiri. Dalam konteks

inilah Abdullahi Ahmed An-Naim menyebutnya dengan term syariah

historis.130

Dalam tulisannya, An-Naim sekurang-kurangnya telah memberikan

pengertian umum bagi hukum Islam (syariah) sebagai sekumpulan prinsip-

prinsip dasar ajaran Islam yang memuat norma-norma hukum dalam

hubungannya antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya.

Menurutnya, syariah semacam ini sangat menjunjung tinggi hak azasi manusia,

karena tidak membatasi keberlakuan hukum Islam hanya bagi orang Islam, tetapi

juga melindungi hak orang lain di luar Islam.

Sebaliknya, dalam term syariah historis, An-Naim telah menemukan

beberapa persoalan krusial mencakup konflik antara hukum Islam dan hak azasi

manusia. Ia kemudian mengemukakan gagasannya bagi upaya pembaharuan

hukum Islam hendaknya disesuaikan dengan konteks kemodernan agar relevan

dengan hak azasi manusia dan sistem hukum lainnya di berbagai negara dunia. Ini

bisa kita telaah lebih jauh dalam sejumlah tulisannya tentang hukum Islam dan

hak azasi manusia.

Menyinggung tentang hak azasi manusia yang universal, sekurang-

kurangnya dapat difahami sebagai hak yang paling fundamental dan harus

dimiliki oleh setiap manusia menyangkut hak untuk hidup dalam beragama,

130
Abdullahi Ahmed An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human
Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press, 1996) hal. 3-4
225

pendidikan, ekonomi, sosial-budaya, politik, dan persamaan mendapatkan

keadilan di depan hukum.131Hak tersebut merupakan hak yang harus dimiliki oleh

setiap orang tanpa membeda-bedakan apa pun termasuk di dalamnya suku bangsa,

agama, jenis kelamin dan status sosial dalam masyarakat.

Prinsip-prinsip hak azasi manusia tidak saja menjadi aspek terpenting

dalam sistem hukum suatu negara yang harus dituangkan dalam konstitusi negara,

tetapi juga menuntut pengakuan secara menyeluruh pada tingkat

implementasinya, baik dalam bidang politik dan ketatanegaraan maupun hukum

dan keadilan. Atas dasar itu, jaminan bagi perlindungan hak azasi manusia

hendaknya mendapatkan prioritas utama demi tegaknya hukum dan keadilan di

tengah-tengah masyarakat.

Perlindungan hak azasi manusia juga tidak hanya menjadi tradisi kolektif

dalam masyarakat Barat yang notabene telah melahirkan Universal Declaration of

Human Rights (UDHR) tahun 1948 sebagai konsensus internasional. Hal ini juga

telah menjadi bagian dari tradisi modern masyarakat dan negara-negara muslim

melalui konsensus Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR)

tahun 1967 di Cairo Mesir. Hal ini merupakan realitas sosial dan politik di

kalangan negara-negara muslim dalam mengangkat isu-isu hak azasi manusia

sebagai bagian dari tradisi kepercayaan (agama) dan tradisi budayanya.

131
Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam and Human Rights: Beyond The Universality
Debate (Washington: The American Society of International Law, 2000) hal. 95. Bandingkan
dengan David Littman, Universal Human Rights and Human Rights in Islam (New York: Journal
Midstream, 1999) p. 1.
226

Konflik dan Rekonsiliasi Antara Hukum Islam dan HAM

Perdebatan menarik antara hukum Islam dan HAM sesungguhnya telah

mengemuka di kalangan ahli hukum modern. Seperti telah disinggung

sebelumnya An-Naim banyak dikenal sebagai agamawan humanis yang telah

menunjukan peta konflik antara syariah historis dan hak azasi manusia dalam

bidang pemberlakuan hukum pidana Islam di negara Sudan. Kemudian Ann

Elizabeth Mayer juga telah menemukan fakta-fakta krusial peta konflik antara

hukum Islam dan HAM dalam proses Islamisasi di negara republik Islam Pakistan

dan Iran.132 Hal yang paling serius menurutnya adalah menyangkut masalah

gender, diskriminasi terhadap kalangan non-muslim dan minoritas agama lainnya.

Beberapa persoalan krusial berkaitan dengan konflik dan rekonsiliasi

antara hukum Islam dan hak azasi manusia, sekurang-kurangnya dapat kita telaah

dari tiga sudut. Pertama, HAM dan Hukum Islam bisa dilihat sebagai sistem

hukum yang memiliki dasar pijakan yang berbeda; Kedua, Ada aspek-aspek

tertentu di dalam HAM dan Hukum Islam yang saling berseberangan; dan Ketiga,

Ada titik taut persentuhan dan pertemuan antara prinsip-prinsip dasar yang

terdapat di dalam HAM dan Hukum Islam.

Sebagai hasil konsensus internasional, hak azasi manusia dapat

dikategorikan sebagai bagian dari hukum internasional, karena dibentuk melalui

proses politik dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). HAM tidak lahir

132
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Colorado: West
View Press, 1999) hal. 35.
227

dengan sendirinya, melainkan lahir dari proses evolusi sejarah serta kesadaran

kolektif akan pentingnya menjunjung tinggi nilai-nilai dasar kemanusiaan. Dalam

aplikasinya, HAM dimasukan dalam wilayah hukum tatenegara, karena aspek

HAM norma fundamental yang harus dianut oleh semua konstitusi negara

modern.

Sedangkan hukum Islam lebih banyak diposisikan sebagai hukum Tuhan

(divine of law), karena di dalamnya memuat segala peraturan dan hukum

termasuk hak azasi manusia yang ditundukan kepada kehendak hukum Tuhan.

Sistem hukum ini bersumber kepada teks-teks suci (nash) dan jurisprudensi

(ijtihad). Sifat hukum ini bersifat kekal, namun cenderung relatif dan terbuka

dalam menerima perubahan sesuai dengan tuntutan sosial budaya dalam

masyarakat. Besarnya pengaruh faham kodifikasi dalam model hukum konstitusi

modern telah memperkuat dukungan bagi pembentukan konstitusi Islam seperti

yang terjadi di Sudan, Pakistan dan Iran.

Faham kodifikasi (stufentheory) merupakan turunan dari ajaran hukum

murni dalam kajian filsafat hukum yang bermuara pada ajaran positivisme.

Menurut teori ini, eksistensi suatu hukum akan diakui keberlakuannya apabila

hukum tersebut ditransformasikan secara tertulis dalam bentuk undang-undang.


133
Demikian pula, dengan prinsip-prinsip dasar HAM dan Hukum Islam dapat

berlaku secara positif apabila telah diakui dan dimuat ke dalam konstitusi.

133
Stufentheory diperkenalkan oleh Carl Schmith dan Adolph Merkel. Keduanya pengikut
ajaran hukum murni Hans Kelsen. Teori ini banyak menjelaskan teori hukum tentang konstitusi.
Lihat dalam Lili M. Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum (Bandung: Alumni, 1985) hal. 43-44.
228

Berdasar kepada pandangan tersebut, antara HAM dan Hukum Islam memiliki

pola hubungan yang sama yakni merupakan produk hukum yang mengikat.

Munculnya peta konflik antara hukum Islam dan HAM sebagaimana

disebut oleh An-Naim lebih banyak terdapat dalam bidang hukum perdata dan

pidana Islam. Ia membuktikan dengan beberapa kasus seperti seorang laki-laki

non-muslim tidak dibenarkan menikahi perempuan muslim, sebaliknya laki-laki

muslim bisa menikahi perempuan non-muslim. Hal ini juga termasuk dalam

perkara perbedaan hak waris antara laki-laki dan perempuan yang cenderung

diskriminatif. Kemudian dalam bidang pidana Islam, pemberlakuan hukum

qishash, hudud dan tazir bagi pelanggaran tindak pidana berat, dianggap tidak

relevan lagi diterapkan dalam konteks kemodernan, karena hal itu akan

membatasi hak hukum minoritas non-muslim dibawah naungan konstitusi negara

berlandaskan syariat Islam.

Apabila kita kembalikan kepada prinsip-prinsip dasar universal dalam

hukum Islam dan hak azasi manusia, sesungguhnya tidak ada yang bertentangan

di antara keduanya. Kendati pun keduanya memiliki dasar pijakan yang berbeda,

tetapi terdapat titik taut persentuhan antara hukum Islam dan hak azasi manusia.

Dalam konteks inilah muncul pertanyaan apakah hukum Islam saat ini sudah

relevan dengan hak azasi manusia, dan apakah hukum Islam harus diubah sesuai

dengan hak azasi manusia atau sebaliknya hak azasi manusia harus disesuaikan

dengan hukum Islam.134

134
Didalam banyak peristiwa, fakta menunjukkan bahwa ketika umat Islam tertindas, mulai
dari lembaga-lembaga lokal yang mengklaim sebagai pembela HAM sampai lembaga
229

An-Naim menjawab kedua pertanyaan tersebut berdasar kepada prinsip

resiprositas dalam HAM yakni adanya prinsip saling menghargai hak dan

kebebasan individu sejajar dengan hak dan kebebasan individu lainnya. Ia

menolak pemberlakuan syariah historis yang dibentuk melalui rekayasa sejarah

dan harus dikembalikan kepada sumber asalnya yakni prinsip-prinsip dasar

hukum Islam yang universal. Ia beralasan bahwa beberapa bagian penting dalam

hukum Islam saat ini bertentangan dengan hak azasi manusia dan hukum

internasional. Oleh karena itu, hukum Islam saat ini hanya bisa berlaku dan ditaati

dalam wilayah komunitas umat Islam, sebab beberapa materi hukum Islam

cenderung diskriminatif terutama dalam masalah gender dan agama serta hak sipil

lainnya. Secara ekstrim ia menyuarakan bagi perlunya pembaharuan hukum Islam

agar relevan dengan standar-standar hak azasi manusia dalam UDHR 1948.

Pandangan tersebut barangkali tidak seluruhnya tepat. Apabila kita

bandingkan dengan pendapat lainnya seperti Louay M. Syafi, Rifaat Hassan dan

Ibrahim Abdullah Al-Marzouqi yang mengkritik segi metodologi yang

dikembangkan oleh An-Naim. Pemikiran An-Naim sangat dipengaruhi oleh

gurunya Mahmoud Mohammad Taha yang terkenal radikal dalam menggagas ide

internasional diam seribu bahasa. Sebaliknya, teriakan mereka demikian lantang bila hal yang
sekalipun jauh lebih kecil menimpa umat lain. Lantas, perlukah umat Islam berharap kepada
slogan HAM yang digembar-gemborkan Barat? Bagaimanakah Islam mensikapi hal ini? HAM
Memang Bukan Untuk Umat Islam
Banyak peristiwa meyakinkan bahwa HAM bukanlah diperuntukkan bagi umat Islam. Kondisi
terakhir pemilihan presiden Turki, Kasus FIS yang diberangus atas nama demokrasi, embargo
ekonomi terhadap Irak, dan kasus Bosnia Herzegovina merupakan secuil contoh standar ganda
HAM. Demikian pula di dalam negeri, hal ini ditunjukkan dengan amat jelas dalam banyak
peristiwa seperti peristiwa Doulos, penyelidikan kasus Tanjung Priok, dan peristiwa Maluku. Jelas,
dilihat dari segi penerapannya, sesuatu termasuk HAM atau tidak tergantung kepada lembaga yang
berwenang memberikan penilaian. Dan secara umum, memang HAM bukan diperuntukkan bagi
umat Islam, melainkan bagi Barat imperialis dan para pengikutnya.
230

pembaharuan hukum Islam.135 Selain itu, An-Naim tidak menjelaskan hukum

Islam dalam term umum syariah, tetapi lebih dibatasi oleh perspektif sejarah

dengan sebutan syariah historis. Di samping itu, gagasannya tentang

pembaharuan hukum Islam juga lebih banyak dipengaruhi oleh tafsir historis

terhadap sistem hukum Sudan yang berada di bawah pemberlakuan hukum

konstitusi Islam.

Demikian pula dengan kerangka metodologi hukum Islam yang ia

gunakan lebih banyak memuat prinsip-prinsip dasar positivistik. Hal ini bisa kita

lihat dalam pandangannya bahwa prinsip nasikh mansukh adalah sebuah

keniscayaan bagi pembaharuan hukum Islam saat ini. Argumen yang ia gunakan

berdasar kepada pendekatan analogi bahwa konteks pemberlakuan hukum Islam

saat ini hendaknya dapat dikembalikan sebagaimana peralihan dari periode

Medinah ke periode Makkah. Hal tersebut, menurutnya merupakan solusi bagi

rekonsiliasi antara hukum Islam dan hak azasi manusia.

Secara umum, ia menjelaskan dua pendekatan yang bisa dilakukan bagi

pembaharuan hukum Islam dalam hubungannya dengan hak azasi manusia.

Pertama, hukum Islam harus direkontruksi kembali baik pada tingkatan

metodologi maupun implementasinya sesuai dengan perkembangan dunia

modern. Kedua, ia menghendaki adanya perubahan serupa dari sistem hukum

lainnya termasuk hak azasi manusia untuk lebih akomodatif mempertimbangkan

135
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics (Colorado: West
View Press, 1999) hal. 35.
231

perbedaan latar belakang sosial-budaya, agama dan politik hukum yang ada di

kalangan masyarakat muslim dan penganut agama lainnya. Inilah pilihan yang

paling sulit dilakukan, sebab kenyataan entitas hukum Islam dan hak azasi

manusia bagi orang Islam bukanlah sesuatu yang terpisah.

Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, saya ingin mempertegas kembali

bahwa pola hubungan antara hukum Islam dan hak azasi manusia bukanlah

sesuatu yang keluar dari keyakinan agama. Menolak hukum Islam sebagian tidak

berarti meninggalkan hukum tersebut secara keseluruhan. Sudah barang tentu,

sebagai hukum Tuhan, hukum Islam yang terkandung dalam makna integral

syariah berisikan prinsip-prinsip moral, etika, hukum dan keadilan dapat

diterapkan secara utuh dan berkesinambungan. Akan tetapi, kita tidak bisa

menolak, eksistensi hukum Islam yang lahir dari produk sejarah ternyata telah

melahirkan pertentangan dengan sistem hukum lainnnya serta penolakan dari

kalangan non-muslim dan komunitas muslim itu sendiri.

Dari hasil penelitian ini, dapat diketahui bahwa di rumah tangga dan di

sekolah, anak-anak dapat memahami apa kesalahan mereka, jika mereka

dihukum. Kemudian nilai-nilai filosofis apa saja yang terkandung di dalam

ketentuan hukuman fisik terhadap anak-anak menurut hukum Islam? Hasilnya

ialah:

a. Psikologi hukum

Pakar Psikologi Hukum yang paling terkenal adalah Lawrence S Wrightsman,

dari University of Kansas. Di antara buku-buku paling populer karya

Wrightsman: Psychology and the Legal-System (1988) yang saking larisnya


232

sekarang sudah terbit edisi keenam; Judicial Decision Making, Is Psychology

Relevant? (1999).

Setelah Wrightsman, juga tersohor sebagai pakar Psikologi Hukum, Curt

R Bartol, Profesor Castleton State College, Vermont . Hanya dengan memahami

kajian Psikologi Hukum, kita dapat memahami banyak maksim hukum yang

pernah dilontarkan para pakar, di antaranya: Thomas A Wartowski, American

Lawyer:

To be effective, a law must have the support of the majority of people it impacts.

To get that support, a law must be enforceable, fairly applied, understood, and

consistent with societys value. (Agar dapat efektif, suatu hukum harus

mempunyai dukungan dari mayoritas rakyat, dan untuk memperoleh dukungan

itu, maka suatu hukum harus dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan fair,

dipahami, dan konsisten dengan nilai-nilai komunitasnya).

Akhirnya Walter Savage Landor: Many laws as certainly make bad

men, as bad men make many laws. (Banyak hukum yang secara pasti telah

menghasilkan orang jahat, sama pastinya bahwa orang-orang jahat telah membuat

banyak aturan hukum).

b. Ushul fiqih136

136
Fungsi dan Kegunaan Ushul Fiqh a. Sebagai alat, sarana dan metode untuk
mendapatkan hukum-hukum syara dari Alquran dan hadits baik dalam masalahaqidah, ibadah,
muamalah, uqubah (hukuman-hukuman)ma upun akhlak b.Memelihara agama dari penyimpangan
dan penyalahgunaan dalil. Dengan berpedoman kepada Ushul Fiqih, hukum yang dihasilkan
melalui ijtihad tetap diakui syara. c.Memberikan pengertian dasar tentang kaedah-kaedah dan
metodologi ulamamujtahid dalam menggali hukum d.Dengan mempelajari ilmu ushul fiqh dapat
diketahui qaidah-qaidah, prinsip-prinsip umum syariat Islam, cara memahami suatu dalil dan
233

Ruang Lingkup Hukum yang berkaitan dengan hukuman fisik, terhadap anak-

anak, tentu harus diperhatikan, apa perbuatan anak-anak tersebut, yang

menyebabkan mereka dihukum. Pembahasan hukum dalam ilmu ushul fiqh ada

empat, yaitu :

a. Hakim, yaitu dzat yang mengeluarkan hukum

b. Hukum, yaitu sesuatu yang keluar dari hakim yang menunjukkan atas kehendaknya

pada perbuatan mukallaf

c. Mahkum Fiqh, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum

d. Mahkum Alaih, yaitu mukallaf sebagai pelaku perbuatan yang berkaitan dengan

hukum

Pembagian Hukum Menurut Ushul Fiqih

Dalam hal ini akan kami bahas tentang :

1. Definisi hukum

Hukum Syara menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah khithab syari

yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk

tuntutan, pilihan atau ketetapan.

2. Macam-macam hukum

Ulama ushul fiqh memberi nama istilah terhadap hukum yang berkaitan dengan

perbuatan mukallaf dari segi tuntutan dan pilihan sebagai hukum taklifi dan

menyebut hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dari segi penetapan

penerapannya dalam kehidupan manusia e.Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid,
sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang
belum mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alas an-alasan yang
tepat f.Dengan mempelajri ushul fiqh dapat diketahui persyaratan yang harus dimiliki seorang
mujtahid, sehingga orang-orang yang tidak memenuhi syarat, tidak patut dirujuk fatwanya
/pendapatnya.
234

sebagai hukum wadhi. Oleh karena inilah, maka mereka menetapkan

bahwasanya hukum syara terbagi kepada dua bagian, yaitu :

a. Hukum Taklifi

Adalah sesuatu yang menuntut suatu pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut

untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan

meninggalkannya.

b. Hukum Wadhi

Adalah sesuatu yang menuntut penetapan sesuatu sebagai sebab bagi sesuatu yang

lain, atau menjadi syarat baginya atau menjadi penghalang baginya.

Dari pengertian tersebut, bahwa perbedaan antara hukum taklifi dan hukum

wadhi dapat dilihat dari dua segi, yaitu:

Bahwasanya hukum taklifi itu dimaksudkan untuk menuntut perbuatan mukallaf

atau meninggalkan perbuatan, atau memberikan pilihan kepadanya antara

melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadhi , maka ia

tidak dimaksudkan sebagai pemberian pilihan, akan tetapi ia hanyalah

dimaksudkan untuk menjelaskan sesuatu ini adalah sebab bagi musabbab atau

bahwasanya ini adalah penghalang terhadap hukum ini.

Bahwasanya sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan atau untuk ditinggalkan,

atau diberikan pilihan antara mengerjakannya dan meninggalkannya sesuai

dengan tuntutan hukum taklifi, maka ia haruslah dalam jangkauan kemempuan si

mukallaf. Adapun sesuatu yang ditetapkan sebagai sebab atau syarat atau

penghalang, maka ia terkadang merupakan hal yang dalam kemampuan si

mukallaf, dimana sekiranya ia mengerjakannya, maka muncullah pengaruhnya,


235

dan kadang kala ia merupakan hal yang berada di luar kekuasaan si mukallaf, di

mana apabila hal itu ada, maka pengaruhnya akan timbul.

3. Pembagian tiap macam hukum

a. Pembagian hukum taklifi

Hukum Taklifi ini terbagi dalam lima bagian, yaitu :

1. Ijab (mewajibkan)

Apabila hukum taklifi itu menghendaki tuntutan mengerjakan, maka jika

tuntutannya itu pada segi pengharusan dan penetapan. Konsekwensinya adalah

wujub (kewajiban) dan yang dituntut untuk dikerjakan ialah wajib.

2. Nadb

Apabila tuntutannya terhadapnya tidak pada segi pengharusan dan penetapan.

Konsekwensinya adalah nadb, sedang yang dituntut untuk dikerjakan adalah

mandub.

3. Tahrim

Apabila hukum taklifi tersebut menuntut untuk meninggalkan perbuatan dan jika

tuntutannya bersifat mengharuskan dan menetapkan. Konsekwensi pengharaman

adalah humrah dan yang dituntut untuk ditinggalkan pekerjaannya adalah

muharram.

4. Karahah

Jika tuntutannya tidak bersifat mengaharuskan dan menetapkan untuk

ditinggalkan. Konsekwensinya adalah karahah dan yang dituntut untuk

ditinggalkan pekerjaannya adalah makruh.

5. Ibahah
236

Apabila hukum taklifitersebut menuntut pemberian pilihan kepada mukallaf

antara mengerjakan sesuatu dan meninggalkannya. Konsekwensinya adalah

ibahah dan perbuatan yang disuruh untuk memilih antara melakukan dan

meninggalkan adalah mubah.

Dengan demikian, sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan ada dua macam :

Wajib

Mandub

Sedangkan sesuatu yang dituntut untuk ditinggalkan dari mengerjakannya ada dua

macam, yaitu:

Muharram

Makruh

Sementara sesuatu yang disuruh memilih antara melakukan dan meninggalkannya

adalah macam yang kelima yaitu mubah.

b. Pembagian hukum Wadhi.137

137
Di antara hukum wadhi ialah Mani' dan penjelasannya. Kerapkali syara' menetapkan
suatu keadaan atau suatu pekerjaan menjadi mani' (penghalang) atas sesuatu hukum atau atas
sebab sesuatu hukum. Mani' (penghalang hukum) ialah: "Suatu keadaan yang menghalangi
terlaksananya suatu perintah atau tidak dilaksanakannya suatu hukum yang sudah ditetapkan".
Seperti sifat kebapakan dalam hal qishash. Ayah itu menjadi sebab adanya anaknya, maka tidak
patut si anak dijadikan sebab bagi binasanya ayah. Yakni bila ayah membunuh anaknya, tidak
boleh kita menuntut qishash bagi ayah yang membunuh anaknya itu, karena ayah itu menjadi
sebab adanya anak, maka tidak boleh kematian anak itu menjadi sebab dibunuhnya ayah.

Adapun contoh mani' yang menghalangi sebab hukum, ialah tentang hutang. Apabila seseorang
mempunyai harta dan mempunyai hutang sebanyak hartanya, maka tidaklah wajib dia membayar
zakat harta tersebut. Dalam hal ini hutang menjadi mani' bagi sebab wajib zakat. Para ulama ushul
Hanafiyah membagi mani' ini menjadi lima macam, yaitu:

1. Mani' yang menghalangi sahnya sebab, umpamanya (yang klasik) menjual orang
merdeka. Tidak sah menjual orang merdeka, karena orang merdeka itu bukan harta,
bukan sesuatu (barang) yang boleh diperjualbelikan. Menjual itu menjadi sebab berpindah
milik, dan membeli itu menjadi sebab boleh menguasai dan mengambil manfaatnya.
2. Mani' yang menghalangi sempurnanya sebab terhadap orang yang tidak melakukan akad
dan menghalangi sebab bagi yang melakukan akad. Umpamanya si A menjual barang si
237

Hukum Wadhi terbagi dalam lima bagian, yaitu :

1. Sebab

Ialah sesuatu yang dijadikan oleh syari sebagai tanda atas musababnya dan

mengaitkan keberadaan musabab dengan keberadaannya dan ketiadaan musabab

dengan ketiadaannya. Jadi, dari keberadaan sebab, maka ditetapkan adanya

musabab dan dari ketiadaan sebab itu ditetapkan ketiadaannya.

Macam-macam sebab :

Sebab terkadang menjadi sebab bagi hukum taklifi, seperti waktu yang dijadikan

oleh syari sebagai sebab untuk mewajibkan mendirikan sholat.

Sebab menjadi sebab bagi penetapan kepemilikan, atau penghalalan, atau

menghilangkan kedua-duanya.

Sebab merupakan suatu perbuatan mukallaf yang dikuasainya.

2. Syarat

B tanpa setahu si B. Maka penjualan itu tidak sah jika tidak dibenarkan oleh si B karena
ada mani', yaitu menjual bukan haknya.
3. Mani' yang menghalangi berlakunya hukum, umpamanya khiyar syarat oleh si penjual.
Khiyar itu menghalangi si pembeli melakukan kekuasaannya atas barang pembelian
dimaksud, si A menjual barangnya kepada si B (pembeli): "Barang ini saya jual
kepadamu tetapi dengan syarat saya dibolehkan berfikir selama tiga hari, jika dalam tiga
hari ini saya berubah pendirian maka jual beli ini tidak jadi". Syarat yang dibuat oleh si
penjual ini disebut khiyar syarat, selama belum lewat tiga hari, syarat itu menghalangi si
pembeli melakukan kehendaknya terhadap barang yang dibelinya.
4. Mani' yang menghalangi sempurnanya hukum, umpamanya dalam khiyar ru'yah. Khiyar
ini tidak menghalangi memiliki barang, hanya saja milik itu belum sempurna sebelum
melihat barang itu oleh si pembeli walaupun sudah diterima. Apabila seseorang menjual
barang kepada seseorang, sedang barang tidak tersedia di tempat jual beli, maka
penjualan itu dibolehkan dengan mengadakan khiyar ru'yah. Dalam hal ini setelah
pembeli melihat barang yang dibelinya boleh merusakkan pembelian dengan
mengurungkannya, tanpa meminta persetujuan penjual.
5. Mani' yang menghalangi kelaziman (kepastian) hukum, seperti khiyar aib. Si pembeli
boleh melakukan kekuasaannya terhadap barang yang dibelinya, sebelum dia periksa
barang itu baik atau ada cacatnya. Jika ia mendapatkan cacat pada barang yang dibelinya
itu ia berhak membatalkan pembelian, ia kembalikan barang itu kepada penjual melalui
perantaraan hakim atau atas kerelaan penjual. Tempo masa khiyar aib ialah tiga hari
lamanya.
238

Ialah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung kepada keberadaan

sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum

tersebut. Yang dimaksud adalah keberadaannya secara syara yang menimbulkan

efeknya.

3. Mani

Adalah sesuatu yang keberadaannya menetapkan ketiadaan hukum atau batalnya

sebab. Atau dengan kata lain dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah

sesuatu hal yang ditemukan bersama keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat-

syaratnya, namun ia mencegah timbulnya musabab pada sebabnya.

4. Rukhshah dan Azimah

a. Definisi Rukhshah dan Azimah

Rukhshah ialah sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum untuk

maksud memberikan keringanan kepada mukallaf dalam berbagai situasi dan

kondisi khusus yang menghendaki keringanan ini. Atau rukhshah ialah sesuatu

yang disyariatkan karna suatu alasan yang memberatkan dalam berbagai keadaan

khusus, atau ia adalah pembolehan sesuatu yang terlarang dengan suatu dalil,

disertai adanya dalil larangan.

Adapun 'arimah ialah : Hukum-hukum umum yang disyariatkan sejak semula oleh

Allah, yang tidak tertentu pada satu keadaan saja bukan keadaan lainnya, bukan

pula khusus seorang mukallaf, dan tidak mukallaf lainnya

b. Macam-macam Rukhshah

Pembolehan hal-hal yang dilarang dalam keadaan dharurat atau kebutuhan.

Pembolehan meninggalkan wajib, apabila ada udzur (alasan) yang membuat

pelaksanaannya memberatkan pada mukallaf.


239

Pensahan sebagian akad yang bersifat pengecualian, yang tidak memenuhi beberapa

syarat umum bagi terjadinya akad dan keabsahannya.

penghapusan berhagai hukum yang telah diangkat Allah dari kita, dan termasuk

pentaklifan yang berat kepada ummat-ummat sebelum kita.

Ulama Hanafiyyah membagi rukhshah kepada dua macam, yaitu :

1). Rukhshah tarfih (peringanan)

2). Rukhshah isqath (pengguguran).

Bahwasanya rukhshah tarfih, hukum azimah masih tetap bersamanya dan dalilnya

juga masih tetap, akan tetapi diberikan rukhshah untuk meninggalkannya sebagai

suatu peringanan pada mukallaf.

Adapun Rukhsha Isqath (pengguguran), maka hukum azimah tidak lagi tetap

bersamanya, bahkan sesungguhnya keadaan yang mengharuskan peringatan telah

menggugurkan hukum azimah, dan hukum yang disyariatkan adalah Rukhshah.

5. Sah dan Batal

Pengertian sahnya menurut syara' ialah : timbulnya herhagai konsekuensinya

secara syar'iyyah atas perbuatan itu. Jika sesuatu yang dilakukan oleh mukallaf

merupakan perhuatan yang wajib, seperti shalat, puasa, zakat, dan hajji;

sedangkan pelaksanaan mukallaf tersebut memenuhi semua rukun dan syaratnya,

maka kewajiban telah gugur darinya, tanggungannya dari kewajiban itu telah

lepas, dan ia tidak mendapat hukuman di dunia, serta mendapatkan pahala di

akhirat.

Sedangkan pengertian ketidak-sahannya ialah tidak timhulnya konsekwensinya

yang bersifat syara'. Jika sesuatu yang dikerjakannya adalah wajib, maka ia tidak

gugur darinya dan tanggungannya tidak terbebas darinya. Dan jika ia merupakan
240

sebab syari, maka hukumnya tidak timbul darinya, dan jika ia adalah syarat,

maka yang disyaratkan tidak terwujud. Hal itu disebabkan bahwasanya Syari'

hanyalah menimhulkan berbagai konsekuensi terhadap perbuatan, sebah-sebab,

dan syarat-syarat yang terwujud sebagaimana dituntut dan disyariatkannya.

Apabila tidak demikian, maka ia tidak diakui menurut syara'.

Dengan demikian, pembagian hanyalah dua, maksudnya, bahwasany perbuatan

atau akad atau tasharruf (pengelolaan) itu ada kalanya : shahih yang

konsekuensinya timbul padanya, dan ada kalanya tidak shahih, yang konsekuensi

syara'nya tidak timbul padanya. Dan ini adalah pendapat jumhu ulama.

Adapun berbagai akad dan tashatruf (pengelolaan), maka pembagiannya adalah

tiga, karena akad yang tidak shahih terbagi kepada dua, yaitu :

a. bathil.

b.fasid.

Jika kerusakan pada esensi akad, maksudnya pada salah satu rukunnya,

sebagaimana kerusakan itu terjadi pada shighat akad, atau pada kedua belah pihak

yang mengadakan akad, atau pada barang yang diakadkan, maka akad tersebut

batil, yang konsekuensi syara'nya tidak timbul padanya. Dan jika kerusakan

tersebut terjadi pada salah satu sifat akad, sebagaimana kerusakan itu terjadi pada

syarat yang berada di luar esensi akad dan rukun-rukunnya, maka akad tersebut

adalah fasid, dan sebagian dari konsekuensinya timbul pada akad itu

C. Al-Hakim

Di kalangan ulama umat islam tidak ada perselisihan pendapat mengenai,

bahwasanya sumber hukum syariyah bagi seluruh perbuatan orang-orang

mukallaf adalah Allah SWT, baik hukumnya mengenai perbuatan mukallaf itu
241

telah diwahyukan kepada Rasul-Nya ataupun Dia memberi petunjuk kepada para

Mujtahid untuk mengetahui hukumnya pada perbuatan mukallaf dengan

perantaraan dalil-dalil dan tanda-tanda yang telah disyariatkannya untuk

mengistimbatkan hukum-hukumnya. Oleh karena inilah, ada kesepakatan hukum-

hukumnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:

Artinya : Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan sebenarnya dan

Dia pemberi keputusan yang baik.138

D. Mahkum Alaih

Adalah mukallaf yang dengan perbuatannyalah hukum syari berkaitan.

Untuk syahnya pentaklifan mukallaf menurut syara disyaratkan dua syarat pada

mukallaf, yaitu:

1. Bahwa ia haruslah mampu memahami dalil pentaklifan,sebagaimana ia mampu

untuk memahami berbagai nash perundang-undangan yang ditaklifkan padanya

dalam al-quran dan sunah, baik dengan sendirinya atau atau dengan perantaraan.

Karena sesungguhnya orang yang tidak sanggup memahami dalil pentaklifan,

maka ia tidak mungkin untuk melaksanakan sesuatu yang ditaklifkan padanya,

dan tidak bisa pula mengarahkan maksudnya kepadanya.

2. Mukallaf haruslah layak untuk dikenai taklif Ahliyyah, maknanya dalam bahasa

arab adalah kelayakan. Adapun ahliyyah menurut istilah ulama ushul fiqh terbagi

kepada dua bagian, yaitu :

a. Ahliyyatul Wujub

138
Quran Surat Al-Anam ayat 57
242

Manusia ditinjau dari hubungannya dengan Ahliyyatul Wujub mempunyai dua

keadaan saja, yaitu :

Terkadang ia mempunyai ahliyyatul wujub yang kurang, yaitu apabila ia layak

memperoleh hak, akan tetapi tidak layak untuk dibebani kewajiban, ataupun

sebaliknya.

Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul wujub yang sempurna, apabila ia layak untuk

memperoleh berbagai hak dan dibebani berbagai kewajiban.

b. Ahliyyatul Ada

Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyyatul ada mempunyai tiga

keadaan, yaitu :

Terkadang ia sama sekali tidak mempunyai ahliyyatul ada, atau sama sekali sepi

daripadanya. Inilah anak kecil pada masa kanak-kanaknya dan orang gila dalam

usia berapapun.

Ada kalanya ia adalah kurang ahliyyah adanya, yaitu orang yang telah pintar tapi

belum baligh. Ini berkenaan dengan anak kecil pada perioda tamyiz sebelum

baligh, dan berkenaan pula pada orang yang kurang waras otaknya adalah orang

yang cacat akalnya, bukan tidak berakal.

Ada kalanya ia mempunyai ahliyyatul ada yang sempurna, yaitu orang yang telah

mencapai akil baligh. Ahliyyah ada yang sempurna terwujud dengan kebalighan

manusia dalam keadaan berakal.

Ahliyyatul ada pada manusia tidaklah tetap pada saat masih berupa janin

sebelum ia lahir, tidak pula ketika ia kanak-kanak yang belum sampai umur tujuh

tahun, dan bahwasanya semenjak usia mumayyiz maka ia telah ketetapan ahliyyah

ada yang kurang. Oleh karena inilah maka sebagian tasyarufnya sah dan
243

sebagian lainnya tidak sah, serta sebagian lagi tergantung pada izin dan

rekomendasi walinya. Selanjutnya bahwasanya manusia semenjak usia balighnya,

ia memperoleh ketetapan ahliyyah ada yang sempurna. Hanya saja ahliyyah ini

terkadang terhalang oleh beberapa pengahalang, diantaranya :

Penghalang samawi, yang tidak ada usaha manusia dan ikhtiarnya padanya,

seperti gila, agak kurang waras akalnya dan lupa.

Penghalang kasbi, yaitu yang terjadi karena usaha dan ikhtiar manusia, seperti

mabuk,

bodoh dan hutang.

Beberapa penghalang yang menghalangi ahliyyah ada ini,diantaranya

ada yang menghalangi manusia, kemudian menghilangkan ahliyyah adanya sama

sekali, seperti gila, tidur, pingsan.masing-masing dari mereka tidak mempunyai

ahliyyah ada sama sekali. Tasharrufnya tidak dapat menimbulkan konsekwensi

hukum syariyyah, sedangkan sesuatu yang wajib atas orang gila adalah dalam

kaitannya dengan ahliyyah wujubnya, karena kewajiban keharta-bendaan yang

harus dibayarkan walinya untuknya, sementara sesuatu yang wajib atas orang

tidur dan orang yang pingsan adalah dalam kaitannya dengan ahliyyah wujub-nya,

baik berupa kewajiban keharta-bendaan maupun bersifat badani, yang harus

ditunaikan oleh masing-masing dari keduanya sesudah ia sadar atau waras.

Solusi mengatasi kekerasan dalam pendidikan bisa preventif, dengan

mengarahkan semua pihak ke yang positif, bisa represif, meredusir dan

meniadakan yang negatif. Adakan temu-wicara guru, orangtua dan murid,


244

misalnya mengenakan penance study, murid yang bermasalah mengerjakan tugas

tambahan; tidak usah libur atau kunjungan rumah dan teman-teman murid itu

guna mencari latar belakang masalah.

Psikolog sekolah atau petugas BP bisa mengatasi masalah kekerasan di

sekolah, atau mendorong Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan memantau dan

mengarahkan pemakaian kekerasan terhadap peserta didik dan mewujudkan

program pelaksanaan disiplin yang efektif. Adakan program pengarahan orangtua

murid demi pencegahan kekerasan dalam mengatasi perilaku bermasalah dari

anak mereka.

Beberapa Alternatif pengganti hukuman fisik.

a. Sorotilah perbuatan murid yang negatif.

b. Jalankan aturan yang realistis secara konsisten.

c. Beri instruksi kepada semua murid tanpa kecuali.

d. Bahaslah perilaku positif bersama murid.

e. Bahaslah perilaku murid yang bermasalah dengan orangtuanya.

f. Gunakan psikolog dan petugas BP.

g. Tahanlah murid yang bersalah di sekolah untuk beberapa waktu dan beri tugas

akademik khusus.

Beberapa Kiat disiplin kelas.

a. Susun rencana pembinaan disiplin setiap awal tahun. Buat kontrak belajar.

Minta kesepakatan murid. Jangan ada yang ingkar, sebab, sukar memulainya dari

awal.

b. Perlakukanlah semua murid secara sama.

c. Hindari konfrontasi dengan murid, agar ia tidak dipermalukan temannya.


245

Layani dia secara pribadi. Jangan jadikan dia sebagai isu disiplin.

d. Pakailah humor yang sehat yang tidak menyinggung hati murid, dan tidak

menjadikan murid sebagai obyek humor.

e. Jangan putus asa. Jangan pikir bahwa murid gemar mengacau kelas.

f. Pakailah pikiran positif.

g. Hindari waktu bebas. Susun kembali rencana kegiatan belajar-mengajar kita.

h. Layani murid yang datang setiap saat dengan kasih sayang sejati.

i. Konsitenlah selalu. Tapi bijaksana. Murid ingin bahwa guru selalu sama setiap

hari.

j. Buatlah aturan atau ketentuan yang mudah dimengerti dan dijalankan oleh

murid.

Sangat mendesak untuk dibahas tindakan kekerasan yang dilakukan oleh

oknum guru tersebut. Sebagai pendidik, seorang guru seharusnya dapat menjadi

contoh dan teladan yang baik bagi muridnya. Namun jika seorang guru

melakukan tindakan aroganisme terhadap muridnya sendiri apalagi peristiwa ini

terjadi dilingkungan sekolah dan disaksikan oleh para murid yang lain maka hal

ini sangat mencoreng citra pendidikan di Indonesia.

Setelah Islam berkembang dan meluas, dan bangsa Arab sudah bergaul

dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan-peraturan/kaedah bahasa

Arab. Hal ini, selain untuk menjaga orisinilitas bahasa itu sendiri sebagai bahasa

Al-Qur'an , juga untuk memelihara dari pengaruh bahasa lain, serta untuk lebih

mempermudah bagi bangsa lain mempelajarinya.


246

Disamping hal-hal tersebut, banyak pula peristiwa-peristiwa yang timbul dalam

lapangan kehidupan, sehingga ulama-ulama yang tersebar diberbagai negeri-

negeri baru itu ada yang cara berpikirnya dipengaruhi oleh lingkungan dan

tempatnya berada. Karenanya, masing-masing ulama dalam melakukan ijtihad

(pembicaraan tentang pembentukan atau pengembangan hukum) dan pengambilan

keputusan hukum/istimbath berjalan sendiri-sendiri yang dipandangnya benar

sesuai kapasitas keilmuan yang dimilikinya.Keadaan seperti ini tentu saja

menimbulkan perbedaan pendapat, baik sebagai keputusan hakim maupun sebagai

fatwa, bukan hanya antara satu negri dengan negri yang lain, bahkan antara satu

daerah dengan daerah lain dalam satu negeri.

Sejarah Ushul Fiqih

Akibat dari perbedaan-perbedaan pendapat para ulama, timbullah satu

pemikiran untuk membuat peraturan peraturan dalam ijtihad dan penetapan

hukum, yang pada gilirannya dapat diperoleh pendapat yang benar dan setidak-

tidaknya agar dapat memperpendek jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut.

Dan peraturan-peraturan tersebut dikenal sebagai ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini

diperkenalkan pada abad ke tiga Hijriah secara sistematis oleh imam Syafi'i

rahimahullah yang kemudian dianggap sebagai perintis atau bapak yurisprudensi

dalam Islam. Dan berdasar nash pula para mujtahid mengambil 'illat/sebab yang

menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan

hukum/maqashid al syari'ah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an maupun

Sunnah Nabi SAW.


247

Adapun definisi Ushul Fiqih dari segi ketatabahasaan Arab, kata Ushul

Fiqih adalah 'tarkib idhofi'/kata majemuk , terdiri daru dua suku kata, ushul dan

fiqih yang menjadi 'mudhof/keterangan dan mudhof ilaih/yang menerangkan. Kata

Ushul adalah jamak dari akar kata 'ashl' yang menurut bahasa berarti 'sesuatu

yang dijadikan dasar bagi yang lain', sedang menurut istilah berarti 'dalil'. Sedang

kata Fiqih menurut bahasa berarti 'pemahaman yang mendalam tentang tujuan

suatu ucapan dan perbuatan, seperti diisyaratkan Allah dalam firman-Nya dalam

surah an Nisa' ayat 78 "famalihaulai al qoumi la yakaduna yafqohuna hadis".

Kata yafqohuna bermakna 'memahami'. Demikian juga dalam hadis Nabi SAW

yang menyatakan " man yuridallahu bihi khoiran yufaqqihu fiddin"/barang siapa

yang dikendaki Allah sebagai orang yang baik, Allah akan memberikan

pemahaman kepadanya dalam persoalan-persoalan agama. (H. Muttafaqun 'alaih).

Sebagaimana dikatakan Abdul Wahhab Khallaf bahwa Fiqih adalah

kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalil yang

terperinci. Dari pengertian ini maka dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu

Fiqih adalah tentang hukum-hukum yang rinci pada setiap perbuatan manusia,

baik halal, haram, wajib, sunnat, makruh dan mubah beserta dalilnya masing-

masing.

Sementara itu ulama mendefinisikan Ushul Fiqih adalah kaedah-kaedah

yang menjelaskan metode, seperti diungkapkan Prof. Abu Zahrah dalam kitab

Ushul Fiqihnya " al 'ilmu bilqowa'idillati tarsumu al manahiju liistimbathi al

ahkami al 'amaliyati min adillatiha al tafshiliyati"/ilmu tentang kaedah-kaedah

yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai


248

perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.

Hubungan ilmu Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu

Mantiq/logika dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berpikir yang

memelihara akal, agar tidak terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi

Ushul Fiqih adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah.

Sebagaimana ilmu Nahu berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa

yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu Ushul

Fiqih, merupakan kaedah yang memelihara fuqoha/ahli fiqih agar tidak terjadi

kesalahan di dalam menggali dan menetapkan hukum.

Ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan yang sangat penting dalam memahami

kandungan Al- quran dan hadits. Orang yang ingin memahami dalil-dalil syarih

(Al-quran & Sunnah) dan menetapkan hukum suatu kasus, mestilah mengetahui

secara baik qaidah-qaidah ushul fiqh. Imam Asy-Syatibi (w.790 H), mengatakan,

mempelajari ilmu ushul fiqh merupakan sesuatu yang dharuri (sangat penting dan

mutlak diperlukan), karena melalui ilmu inilah dapat diketahui kandungan dan

maksud setiap dalil syara (Al-quran dan hadits) sekaligus bagaimana

menerapkannya. Gambar di bawah ini menjelaskan posisi ushul fiqh dalam

kerangka hukum Islam (Islamic Legal Framework).

Gambaran Islamic legal framework ini menunjukkan bahwa Al-Quran dan

Sunnah merupakan sumber kepercayaan, sumber hukum dan sumber nilai-nilai

Islam yang meliputiaqidah, syariah dan akhlak. Teks-teks Al-quran dan hadits

tersebut harus dipahami dan digali kandungannya dengan menggunakan disiplin

ilmu khusus, yakni ilmu ushul fiqh. Tanpa ilmu ushul fiqh, kandungan hukum dan
249

dictum-diktum hukum Alquran dan hadits tidak akan bisa diformulasikan.

Artinya, tanpa ilmu ushul fiqh, maka ayat-ayat Al-quran dan teks-teks hadits tidak

akan bisa digali untuk melahirkan fiqh (hukum Islam).

Adapaun Obyek Pembahasan Ushul Fiqih,sesuai dari keterangan tentang

pengertian ilmu Ushul Fiqih, maka yang menjadi obyek pembahasan ilmu Ushul

Fiqih meliputi:

(1).Pembahasan tentang dalil-dalil/hukum syara', yaitu macam-macamnya, rukun

atau syarat masing-masing dari ragam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-

tingkatannya.

(2). Pembahasan tentang hukum, yaitu pembahasan secara umum, tidak dibahas

secara rinci bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini meliputi

macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Dan dalam hal ini dibagi kepada:

a). Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu

illalloh". Q.S. al An'am. A.57

b). Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-

perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari

bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi

Muhammad SAW.

c). Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang
250

mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti

misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini ditujukan

kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada

anak-anak atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia,

bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang

mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar

adanya taklif/pertanggungan jawab.

(3). Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun

masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para

mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari

dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum

dalam mengamalkannya.

(4). Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang berbagai hal, syarat-

syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat

dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.

Hukum Syara'

Salah satu Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-

sumbernya, sementara ilmu Fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum

syara', yaitu ketetapan Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan orang-

orang mukallaf, baik berupa tuntutan perintah atau larangan/iqtidha',

pilihan/takhyir, maupun sebab akibat/wadh'i. Dan yang dimaksud dengan


251

ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang

mukallaf; seperti hukum haram, wajib, sunnat (sunnah), makruh, mubah, sah,

batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan lainnya.

Seperti hubungan antara pembagian harta pusaka dengan kematian

seseorang, di mana kematian seseorang menjadi sebab berhaknya ahli waris

terhadap pemilikan harta pusaka dari orang yang mati. Bisa juga hubungan antara

dua hal, yang satu menjadi syarat bagi terwujudnya yang lain, mengambil wudhu'

misalnya adalah syarat untuk mengerjakan shalat atau syarat adanya saksi bagi

sahnya suatu pernikahan. Dengan demikian disimpulkan, bahwa hukum syara'

dibagi menjadi dua hal, yaitu 1) yang berupa iqtidha' dan takhyir disebut hukum

taklifi. 2). Hukum yang menghubungkan antara dua hal (sebab-akibat) disebut

hukum wadh'i.

Kata dalil (jamaknya al adillah) menurut bahasa berarti 'petunjuk' kepada

sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat

kepada hukum syara'i yang 'amali (al mursyidu ila al mathlub). Artinya, dalil

yang dapat menunjuk dan mengatur bagaimana melaksanakan sesuatu amalan

yang syar'i dengan cara yang tepat dan benar baik secara qoth'i/pasti maupun

zhanni/samar./ma yustadallu binnadzhori al shohihi fihi 'ala hukmin syar'iyi

'amali 'ala sabili al qath'i awi al dzhonni. Karenanya, sepakat para ulama bahwa

dalil-dalil hukum dalam menggali, mengembangkan serta menetapkan hukum

adalah: 1). Al-Qur'an, 2). as Sunnah, 3). Ijma', 4). Fatwa Sahabat 5). Qiyas. Dan

selebihnya belum merupakan kesepakatan, yaitu; Ihtihsan, Mashalih Mursalah,

Istishob, 'Urf, Saddu al dzar'i.


252

1. Al-Qur'an adalah kitab yang merupakan kumpulan firman Allah SWT yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan

mutawatir dan dengan bahasa Arab. Ke Araban Quran merupakan bagian dari Al-

Qur'an. Karena itu terjemahannya tidak dinamakan Quran. Jika kita shalat dengan

membaca terjemahannya, maka shalatnya tidak sah. Sebagaimana disebutkan

bahwa kehujjahan Al-Qur'an terletak pada kebenaran dan kepastian

kandungannya/isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan padanya/dzalikal kitabu

la roiba fihi hudal lil muttaqiin. Q.S.2.A.2, maka Al-Qur'an merupakan sumber

utama dalam pembinaan Hukum Islam. Akan tetapi dalam kajian Ushul Fiqih,

untuk dapat memahami nash, apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-

unsur lafadznya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan

pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath'i dan dzhonni.

Konsep theo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang

digagas oleh Abul Ala Al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang

mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu

dituangkan dalam bukunya yang terkenal Al-Khilafah wa al-Mulk (Khilafah dan

Kerajaan) yang terbit di Kuwait tahun 1978.

Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah

akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi

menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi

dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua

alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan.

Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak
253

berhak membuat hukum. Kedua, praktik kedaulatan rakyat seringkali justru

menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya

hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali

pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa,

yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi

kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).

Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima Al-Maududi,

yakni dalam arti, bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum

mukminin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah,

yang menurut Al-Maududi, yang membedakan sistem Khilafah dengan sistem

kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan,Dan ini pulalah yang

mengarahkan khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat

perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat... (Al-

Maududi, 1988:67).

Mengenai theokrasi, yang juga menjadi akar konsep theo-demokrasi,

sebenarnya juga ditolak oleh Al-Maududi. Terutama theokrasi model Eropa pada

Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat

hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988:22). Meskipun demikian, ada

anasir theokrasi yang diambil Al-Maududi, yakni dalam pengertian kedaulatan

tertinggi ada berada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut Al-Maududi,

rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan

sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi

oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah SWT (Al-Maududi, 1988:67).


254

Walhasil, secara esensial, konsep theo-demokrasi berarti bahwa Islam

memberikan kekuasaan kepada rakyat, akan tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh

norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, theo-demokrasi

adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan.

Atau, seperti diistilahkan Al-Maududi, a limited popular sovereignty under

suzerainty of God (Amien Rais, 1988:23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu

Islamic Law and Constitution (1962:138-139), Al-Maududi menggunakan istilah

divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci

yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam

(Asshidiqie, 1995:17).

Penggunaan Istilah Theo-Demokrasi

Catatan kritis pertama adalah penggunaan istilah theo-demokrasi itu

sendiri. Bolehkah kita menggunakan istilah Barat yang maknanya bertentangan

dengan Islam, seperti theokrasi dan demokrasi, lalu diberi makna baru atau

catatan-catatan agar tidak bertentangan dengan Islam?

Memang, Al-Maududi sendiri menolak konsep theokrasi dan demokrasi

ala Barat yang sekuler. Benar pula bahwa dia pun lalu memberikan muatan makna

baru yang Islami seraya menolak muatan makna yang sekuler. Namun dia sendiri

tidak pernah menjelaskan argumentasi yang membolehkan pemaknaan ulang

suatu istilah asing seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu celah kelemahan

konsep theo-demokrasi.

Menurut Taqiyuddin An-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai

makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan.
255

Sebaliknya jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah

tersebut boleh digunakan (An-Nabhani, 2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam telah

melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan

kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang

bertolak belakang antara pengertian yang Islami dan yang tidak Islami. Allah

SWT berfirman :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada

Muhammad),Raaina, tetapi katakanlah Unzhurna dan dengarlah. Dan bagi

orang-orang kafir siksaan yang pedih. (QS Al Baqarah : 104)

Raaina artinya adalah sudilah kiranya Anda memperhatikan kami. Di

kala para shahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun

memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut Raaina, padahal

yang mereka katakan adalah Ruuunah yang artinya kebodohan yang sangat.

Itulah sebabnya Allah menyuruh supaya para shahabat menukar perkataan

Raaina dengan Unzhurna yang sama artinya dengan Raaina. Oleh Ihsan

Sammarah dalam kitabnya Mafhum Al-Adalah Al-Ijtimaiyah fi Al-Fikri Al-Islami

Al-Muashir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah

yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan

berupa makna Islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan

istilah demokrasi, theokrasi, atau theo-demokrasi tidak dapat diterima, karena

pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya menurut

perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif Islami (Abdullah,

1996:10-11).
256

Kedaulatan dan Kekuasaan

Catatan kritis kedua, bahwa konsep theo-demokrasi tidak secara jernih

membedakan kedaulatan dan kekuasaan dalam perspektif Islam. Ada

semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya dicampuradukkan menjadi satu,

karena kata theo mewakili konsep kedaulatan Tuhan (theokrasi), sedang kata

demokrasi mewakili konsep kekuasaan rakyat. Meski disayangkan, namun hal

ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik Barat yang dominan di seluruh

dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu sumber yang sama, yaitu

rakyat. Sebab rakyat menurut Barat adalah sumber legislasi (source of legislation)

sekaligus sumber kekuasaan (source of power).

Meski demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat

dibedakan. Kedaulatan (as-siyadah, sovereignty) merupakan konsep yang

berkaitan dengan kewenangan membuat hukum (legislasi). Sedang kekuasaan (as-

sulthan, power) berkaitan dengan siapa yang berwenang menerapkan hukum itu

dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980:24; Al-Jawi, 2003:209-210).

Berdasarkan pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990:38-40)

merumuskan konsepnya mengenai kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam.

Kedaulatan (as-siyadah) dalam Islam, adalah di tangan syara (as-siyadah li asy-

syari), bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang

menjadi Pembuat Hukum (Al-Musyarri, Law Maker) hanyalah Allah SWT (lihat

misalnya QS Al-Anaam : 57). Adapun kekuasaan (as-sulthan), adalah di tangan

umat (as-sulthan li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja

yang dikehendakinya untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan y


257

ang tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh

An-Nabhani, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan

konsep theo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan

menjadi satu, sehingga masih berpeluang merancukan dan menggelincirkan

pemahaman.

Kedaulatan Tuhan

Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep

kedaulatan Tuhan (theokrasi) dalam konsep theo-demokrasi Al-Maududi.

Dalam hal ini perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep

kedaulatan di tangan syara, dan bukannya konsep kedaulatan Tuhan. Secara

substansial memang tak ada perbedaan antara An-Nabhani dengan Al-Maududi

mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah

semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun di sini terlihat dengan

jelas bahwa An-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak

menggunakan istilah kedaulatan Tuhan yang bisa menimbulkan

kesalahpahaman.

Sikap An-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori

kedaulatan Tuhan terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori

kedaulatan Tuhan tak dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang berkembang

di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise

Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah theokrasi dikaitkan dengan pemerintahan

atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui
258

kelas kependetaan (Asshidiqie, 1995:23). Dalam theokrasi Barat ini, konsep

kedaulatan Tuhan mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi

atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya

kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000:103-104). Oleh karena mewakili Tuhan,

maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci

(mashum, infellible). Jadi, negara theokrasi --yang menjalankan teori kedaulatan

Tuhan-- merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang

menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari

itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang

mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (lihat Dr. Yusuf

Qardhawy, Fiqih Daulah, hal. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum

Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep theokrasi Eropa, kesucian para

pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi yang bahkan tak

bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (lihat Al-Imam Al-

Khomeini, Al-Wilayah At-Takwiniyah, Al-Hukumah Al-Islamiyah, h. 52.

Dari uraian sekilas ini, nampak teori kedaulatan Tuhan sungguh tak

dapat dilepaskan dari konsep theokrasi yang bertentangan dengan Islam.

Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori kedaulatan

Tuhan (theokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan,

penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi. Sedang dalam Islam, seorang

khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat -bukan wakil Tuhan-- dalam

urusan kekuasaan dan penerapan hukum-hukum Syariah Islam (An-Nabhani,

1990:48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat mashum.

Sedang dalam Islam seorang khalifah bukan orang mashum. Bisa saja dia berbuat
259

dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar maruf nahi munkar disyariatkan (An-

Nabhani, 1990:119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau

gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya

sendirinya, tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan. Sedang

dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syara berdasarkan ijtihad

yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah

Rasul-Nya,menurut Djaelani, 1994:86-87. Walhasil, adanya kontradiksi tajam

antara kedaulatan Tuhan dengan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-

Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai kedaulatan di tangan

syara (as-siyadah li asy-syari), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyadah

li-llah), demi kejernihan pemikiran.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep theo-demokrasi lebih banyak

mendatangkan masalah dan kerumitan baru, daripada mendatangkan

kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep

theo-demokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan

Kerajaan. Tapi konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem

republik atau republik Islam-- dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena

konsep theo-demokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam

dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka

terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan memakan

waktu lebih lama, karena bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan jalan

perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi kalau
260

namanya sedikit diganti menjadi republik Islam, seperti misalnya Republik

Islam Pakistan.

Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu

dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab umat Islam tidak

akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali

mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (mustanir). Konsep yang kabur

atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan, untuk menuju konsep yang

lebih jernih dan cemerlang. Bukankah Nabi SAW telah bersabda : Tinggalkan

apa yang meragukanmu (untuk) menuju apa yang tidak meragukanmu. (HR.

Ahmad, An-Nasa`i, dan Ath-Thabrani)

Menghukum anak, di antara hukum dan moral. Masalah pakaianpun. para

lelaki harus waspada bila mengenakan kalung dan menguncir rambut mereka di Iran.

Pasalnya, pemerintah Iran mulai menerapkan peraturan yang ketat terhadap gaya

berpenampilan ala Barat di negara tersebut.

Dilansir dari laman The Guardian, Selasa, 14 Juni 2011, pemerintah Iran melarang segala

macam gaya berpakaian model Barat. Termasuk di antaranya adalah perhiasan dan gaya

rambut yang dinilai glamor. Gaya rambut pria yang tidak diperbolehkan adalah kuncir

poni, mullet dan mohawk. Pria diperbolehkan untuk mengenakan pakaian pendek, tapi

dilarang keras memakai celana pendek.

Bagi wanita peraturan lebih ketat lagi. Mereka dilarang mengenakan jilbab

pendek, gamis ketat, dan baju pendek yang dapat memperlihatkan kulit mereka. Pakaian

yang mereka kenakan harus menutup ujung rambut sampai ujung kaki, walaupun cuaca

saat ini di Iran sedang panas.


261

Untuk menegakkan peraturan ini, pemerintah Iran telah menurunkan 70.000 polisi moral

untuk menindak para pemakai baju yang tidak pantas. Selain denda, para pembangkang

juga terancam hukuman penjara.

"Penegakan moral adalah berkat permintaan dari negara dan akan terus dilakukan sampai

rakyat paham betul dan sadar," ujar Ahmadreza Radan, juru bicara kepolisian Iran.

Pemerintah Iran mengatakan bahwa peraturan ini bertujuan untuk menghentikan

pencemaran moral pemuda oleh budaya Barat. Sebelumnya, pemerintah Iran telah

mengeluarkan peraturan pidana yang melarang warganya memelihara anjing.

Binatang ini dianggap kotor dan melambangkan adat Barat. Bagi mereka yang

memeliharanya, maka akan terancam hukuman pidana.

Hak keamanan dari penindasan keagamaan. Banyak sekali ayat al-Qur'an yang

melarang pemaksaan, saling bertikai karena perbedaan agama, salah satunya

adalah (Q.S. AliImran/3 :100 )

Hak untuk tidak menerima tindakan apapun tanpa ada kejahatan yang

dilakukannya.Dengan kata lain seorang harus dianggap tidak bersalah, jika ia

belum terbuktimelakukan kejahatan.

j) Hak memperoleh perlakuan yang sama dari negara dan tidak melebihkan

seseorang atasorang lain (Q.S. Al-Qashash/28 :4).


262

Implementasi HAM dalam Islam. Ajaran Islam tentang HAM di atas telah

diaktualisasikan dalam kehidupan bermasayarakat pada zaman Nabi Muhammad

saw dan Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pertama) sepertitersirat dalam

beberapa Sunnah dan tradisi sahabat berikut ini.

1.Petuah Rasulullah SAW kepada seorang wanita yang datang berkonsultasi

kepadanyaatas anjuran Usamah :

"Dari Urwah, dari 'Aisyah yang mengatakan bahwa Usamah suatu saat

menganjurkankepada seorang wanita untuk datang kepada Nabi. Nabi berkata,

'berapa bangsasebelummu telah dihancurkan, karena mereka menjatuhkan

hukuman kepadamasyarakat kelas bawah, tetapi tidak menghukum anggota

masyarakat kelas atas (padawaktu mereka melakukan tindak kejahatan). Demi

Tuhan yang ditangan-Nya terletak kehidupanku, andaikata anak perempuanku

Fatimah melakukannya, tentu saya potongtangannya'.

"

2.Persetujuan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya:

"

Dalam peristiwa perang badar, Nabi memilih suatu tempat khusus yang

dianggap pantas untuk menyerang musuh. Salah seorang sahabatnya, Hubab bin

Mandhar, bertanya kepada Nabi, apakah yang menyebabkannya memilih tempat

khusus itukarena berasal dari wahyu Tuhan. Nabi menjawab tidak. Dengan

ucapan itu Hubab binMandhar lantas mengajukan suatu tempat alternatif untuk
263

memberikan seranganterhadap musuh, karena menurut anggapannya, tempat itu

secara strategis lebih baik tempatnya. Nabi menyetujuinya

"

3.Perjanjian Rasulullah dengan golongan Kristen Najran :

"Dari Muhammad Sang Nabi kepada Abu Harist, uskup Najran, pendeta-

pendeta,rahib-rahib, orang-orang yang hidup di gereja-gereja mereka dan budak-

budak mereka;semunya akan berada dibawah lindungan Allah dan nabinya; tidak

ada uskup yangdiberhentikan dari keuskupannya, tidak ada rahib yang yang akan

diberhentikan dari biaranya dan tidak ada pendeta yang akan diberhentikan dari

posnya, dan tidak akanterjadi perubahan dalam hak-hak yang mereka telah

nikmati sejak lama.

4.Pesan Khalifah Abu Bakar ketika mengirim ekspedisi pertama ke negri Syam:

"Hendaklah kamu bersikap adil. Jangan patahkan keyakinan yang telah kamu

ikrarkan.Jangan memenggal seseorangpun. Jangan bunuh anak-anak, laki-laki dan

perempuan.atau membakar pohon-pohon kurma, dan jangan tebang pohon-pohon

yangmenghasilkan buah-buahan. Jangan bunuh domba-domba, ternak-ternak atau

unta-unta,kecuali untuk sekedar dimakan. Mungkin sekali kamu akan bertemu

dengan orang-

orang yang telah mengundurkan diri ke dalam biara-biara, maka biarkan mereka

dankegiatan mereka dalam keadaan yang damai.

"
264

5.Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang termaktub di dalam Piagam Nabi (

Kitab an-Nabi)yang oleh beberapa ahli hukum tata Negara dianggap sebagai

konstitusi tertulis pertama di dunia yakni dokumen historis tentang aturan-aturan

dasar penyelenggraanMadinah sebagai sebuah komunitas dibawah kepemimpinan

Nabi Muhammad saw.Ketika hijrah ke Yatsrib yang kemudian menjadi Madinah,

penduduk kota itu tidaklahhomogen. Paling tidak terdapat kelompok kaum

muslimin, yang terdiri dari dua bagian,yakni Muhajirin dan Anshar, kelompok

keagamaan Yahudi dan kelompok masyarakatArab yang menganut Paganisme.

Setibanya di Yatsrib, Nabi segera mengadakan fakta kesepakatan bersama

dengankelompok-kelompok masyarakat yang hetrogen itu untuk menyatukan

mereka kedalam komunitas baru, yang dinamakan dengan Madinah. Sekarang

setelah beberapaserjana melakukan studi yang mendalam terhadap teks ini,

mereka dengan mudahmensistematikan piagam ini menjadi 10 Bab dan 47 Pasal,

yang di dalamnya memuatrumusan-rumusan penting tentang hak asasi manusia.

Penegasan yang terpenting yang termaktub dalam Piagam Madinah yaitu

pengakuanterhadap pluralitas masyarakat, yang dalam hak-hak dan kewajiban

adalah sama tanpamembedakan asal-usul agama. Tiap-tiap kelompok masyarakat

memiliki otonomi kedalam, tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk

melakukan hubungan ke luar yangharus dilakukan atas nama Madinah di bawah

kepemimpinan Rasulullah saw sebagaikesatuan komunitas. Nabi Muhammad

diangkat sebagai pemimpin komunitas ini,tetapi beliau tidaklah menjadi seorang

autokrat karena hukum Tuhan diatas segala-galanya dan setiap pengambilan


265

keputusan dilakukan dengan prinsip musyawarah.Karena masyarakatnya sangat

majemuk, maka dalam komunitas Madinah diberlakukan berbagai subsistem

hukum. Dalam arti kaum muslimin tunduk kepada hukum Islam,sementara kaum

Yahudi tunduk kepada hukum Taurat dan penganut paganisme tunduk kepada

hukum adat mereka.

Kebebasan menjalankan ibadah keagamaan dengan sendirinya dijamin dalam

teksPiagam Madinah. Hal ini disebabkan karena pada prinsipnya Islam

menegaskan bahwakeyakinan keagamaan tidak dapat dipaksakan terhadap

seseorang, meskipun dakwahwajib dijalankan. Hak milik, hak kebebasan pribadi,

hak untuk mendapat jaminankeselamatan pribadi dan kelompok semuanya

dijamin dalam piagam, demikian pulahak untuk ikut serta dalam pembelaan

komunitas, jika diserang oleh kelompok diluarnya. Dengan demikian, partisipasi

dalam penyelenggaraaan kehidupan ekonomi,sosial dan politik terbuka bagi

semua orang.

Kebanyakan kaum Muslimin merasakan akibat penerapan standar ganda dibidang

hak asasimanusia, sejak terjadinya peristiwa yang disebut sebagai serangan kaum

teroris terhadap gedung

World Trade Center di New York pada tanggal 11 September 2001. Kita

dapat memahami penegasan berbagai pihak bahwa perang melawan teroris

bukanlah ditujukan kepada kaumMuslimin, karena terorisme dapat dilakukan oleh

pemeluk agama apa saja di muka bumi ini. Namun akses negatif terhadap perang

terhadap terorisme yang dirancang Amerika Serikat itukini lebih banyak

dirasakan oleh kaum Muslimin dibandingkan dengan pemeluk agama


266

lain.Akibatnya, tidak jarang hak asasi manusia mereka abaikan, bahkan dilanggar

secara sewenang-

wenang. Berbagai bentuk sikap prejudis, rasialis, xen

o phobia kini seakan-akan muncul lagi dalam percaturan politik antar bangsa.

Fenomena ini sangat ironis terjadi ditengah abad yang justru di awal kelahirannya

memberikan banyak harapan terhadap penghormatan dan penegakan hak asasi

manusia. Dominasi pemberitaan media massa sering pula dimanfaatkan untuk

membangun persepsi buruk terhadap umat Islam yang tidak berdayamelakukan

bantahan dan klarisifikasi atas berita-berita seperti itu.

Bagi kita Muslimin Indonesia, adalah tugas dan kewajiban kita untuk

menunjukkankepada dunia, bahwa Islam adalah cinta damai dan agama yang

menghormati hak asasi manusia, betapapun kini kita menghadapi kenyataan-

kenyataan pahit yang menyesakkan dada. Kita berkewajiban merealisasikan apa

yang ditegaskan oleh al-Quran bahwa

"

kalian adalah sebaik- baik umat (

khairah ummah

) yang kami tonjolkan kepada semua umat manusia karena kalianselalu mengajak

manusia kerah kebaikan dan mencegah kemungkaran dan kalian berimankepada

Allah (Q.S Ali Imran : 110). Perjuangan kerah itu memang tidak mudah, panjang

dan berliku-liku. Namun kaum Muslimin tetap tidak boleh putus asa menghadapi
267

segala kenyataan.Di awal tahun baru ini, masih ada secerca harapan untuk

membangun hari depan yang lebih baik.

Hak-hak asasi manusia memperoleh landasan dalam Islam melalui ajarannya yang

palingutama, yaitu Tauhid (mengesakan Tuhan). Karena itu, hak-hak asasi

manusia dalam Islam lebihdipandang dalam perspektif theosentris. Walau

demikian, ajaran tauhid tersebut berimplikasi pada keharusan prinsip persamaan,

persaudaraan dan keadilan antar sesama manusia, dan prinsipkebebasan manusia.

Prinsip tersebut telah menjadi landasan bagi pembentukan peradabanmasyarakat

Muslim awal, sehingga menempatkan dunia Islam beberapa abad di depan barat.

A p a i t u T a u j i h ?

Membimbing anggota dan menolongnya untuk mengerahkan jerih payah mereka dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan yang diharapkan. Dengan bahasa lain: nasihat yang berdiri atas qanaah, bimbingan dan motivasi kepada anggota untuk beramal secara wajar dan dengan hati lega pada arah tertentu, atau untuk meninggalkan suatu amal pada arah tertentu pula

U r g e n s i T a u j i h

1. Memberi andil dalam menyelesaikan berbagai tujuan yang telah direncanakan .

2. M e n j a u h k a n a n g g o t a d a r i k e s a l a h a n t e r u s m e n e r u s d a n k e b i a s a a n s a l a h

3. Menjauhkan organisasi dari banyak problem yang membuang-buang waktu dan tenaga

4. Memberi andil dalam mentarbiyah para pemimpin dan orang-orang yang memiliki kafa-ah

5. Menjauhkan anggota dari berbagai problem psikis atau organisasi yang dapat menyebabkan penggembosan atau berhenti dari beramal
268

A d a b - A d a b T a u j i h

1. Hendaklah sang murabbi menjadi qudwah dalam taujih yang diberikannya kepada orang lain

2. Taujih hendaklah didahului oleh cinta timbal balik (antara murabbi dan mutarabbi)

3. L e m b u t k e p a d a y a n g d i b e r i t a u j i h

4. Nasihat hendaklah diberikan dengan bahasa tidak langsung, semisal Ada kasus , sedangkan keadaan-keadaan khusus di-ilaj secara tersendiri

5. Tawadhu dan bukannya dengan gaya: Eh, dengerin apa yang gue omongin nih

6. S a b a r

7. J e l a s

8. S i m p e l

9. B e r l a p a n g d a d a u n t u k m e m p e r d e n g a r k a n

10. M e m p e r g u n a k a n k o s a k a t a : k i t a s e b a g a i p e n g g a n t i k a m u

11. T i d a k t e r b u r u - b u r u m e n y u g u h k a n s o l u s i s a a t m e m b e r i n a s i h a t

12. B e r s e m a n g a t untuk m engam bi l respon m ut arabb i

13. R a b b a n i d a l a m a r t i t i d a k a d a j a t a h ( b a g i a n ) p r i b a d i d a l a m t a u j i h

14. M e m p e r h a t i k a n d a n m e n e k u n i m a t e r i t a u j i h

15. M e n c a r i k a n a l a s a n

Di antara Ad ab Tau ji h Tarb awi yan g Di samp ai kan S ecara L an gs un g

Dari Umar bin Abi Salamah, ia berkata: Dahulu saya adalah anak kecil asuhan Rasulul ah SAW, dan jika makan, tanganku nggerayang ke mana saja dari piring makanan, maka beliau SAW bersabda kepadaku: Hai sayang! Bacalah bismil ah, makanlah dengan tangan kanan, dan makanlah dari yang terdekat denganmu

P e l a j a r a n

1. Kemestian adanya kesatuan psikologis antara guru dan murid. Dalam hal ini Rasulullah SAW makan bersamanya

2. Memilih waktu yang tepat untuk meng-ilaj kesalahan. Dalam hal ini Rasulullah SAW memberikan taujih saat Umar mengulangi kesalahannya.
269

3. M e m a n g g i l d e n g a n n a m a ya n g p a l i n g d i c i n t a i . P a n g g i l a n : H a i s a ya n g !

4. Mempergunakan urutan tematik dalam meng-ilaj kesalahan. Dalam hal ini Rasulul ah SAW tidak hanya meng-ilaj tangan Umar bin Abi Salaman yang ng erayang ke mana-mana itu saja, akan tetapi, beliau SAW melakukan pelurusan secara mendasar, yaitu sa t Umar bin Abi Salamah duduk untuk makan: Hai sayang! Bacalah bismil ah, oleh karena itu, berbagai problem hendaklah di-ilaj dari dasarnya dan dengan berangsur-angsur

5. Mengaitkan seseorang dengan Allah SWT. Dalam hal ini Rasulullah SAW mengaitkan Umar dengan Penciptanya saat memulai makan dengan ucapan bismillah

K a i d a h - K a i d a h T a u j i h

1. Pada asalnya interaksi dengan orang yang salah itu menggunakan cara merangkul dan bukan membuang, sebab kita ingin membangun dan bukan menghancurkan

2. Pada asalnya interaksi dengan orang yang salah itu dengan memberikan ilat, bukan melukai

3. J a n g a n l u p a k a n k e b a i k a n m a s a l a l u d a n p e r j u a n g a n n y a

4. H u s n u z h a n t e r h a d a p k e m a m p u a n o r a n g y a n g k i t a b e r i t a u j i h

5. Jangan perlakukan siapa pun sebagai orang yang salah selamanya: kamu ini selalu salah, Jangan datang ke tempat acara lagi, Jangan datang tepat waktu sejak aku mengenalmu.

6. K r e a t i f d a l a m m e m p e r g u n a k a n s a r a n a

7. M u r a b b i m e n g a k u s a l a h s a a t t e r j a d i d a n j a n g a n m e n d e b a t

Berbagai Perilaku yang Kontradiktif dengan Taujih yang Benar

1. M e m p e r m a l u k a n y a n g d a t a n g t e r l a m b a t s a a t i a m e m a s u k i r u a n g a n

2. Menunda dan memandang remeh dalam berinteraksi dengan berbagai proble m

3. M e m b o m b a r d i r y a n g s a l a h t a n p a m e n d e n g a r k a n a l a s a n n y a

4. S e l a l u m e n g e d e p a n k a n c a r a p e m e c a t a n d a n k e t e g a s a n

5. M u r a b b i m e n d o m i n a s i p e r b i n c a n g a n

6. M e m p e r g u n a k a n c a r a - c a r a i n t e r r o g a t o r

Kai d ah Pen ti n g d al am Men jad i k an H uk u man S eb agai Cara T aq wi m

1. I q a b t i d a k d i p e r g u n a k a n k e c u a l i s a a t k e s a l a h a n b e r u l a n g

2. Janganlah seseorang merasa bahwa murabbi membalas dendam kepadanya, namun, mutarabbi merasa dibimbing
270

3. T a z i r ( h u k u m a n ) h e n d a k l a h s e s u a i d e n g a n u k u r a n k e s a l a h a n

4. Tazir at as kesal ahan hendakl ah berupa sesuat u yang mungki n dilaks anaka n

5. W a j i b a d a u p a y a p e l u r u s a n t e r h a d a p k e s a l a h a n s e b e l u m t a z i r

6. Menghindari cara m engancam akan m em berikan t azir yang sulit terl aks an a

7. T i d a k a d a s y u r a d a l a m t a z i r

8. A n t a r a s a t u o r a n g d e n g a n y a n g l a i n n y a a d a p e r b e d a a n d a l a m t a z i r

9. T i d a k t e r b u ru - b u r u d a l am m e n u r u n k an h u k u m a n

10. M e l u p a k a n k e s a l a h a n - k e s a l a h a n t e r d a h u l u

11. S e t e l a h d i - i q a b , j a n g a n l a h s e s e o r a n g d i i n g a t k a n k e p a d a k e s a l a h a n n y a

12. T a z i r t i d a k m e n g i k u t i h a w a n a f s u , a k a n t e t a p i m e n g i k u t i m a s l a h a t

13. Menghindari tazir saat marah, dan jangan cemberut di hadapan seseorang yang di -tazir

14. Menjelaskan posisi secara utuh setelah penjatuhan iqab supaya rasa cinta tidak sirna

15. T i d a k m e n u n d a t a z i r

16. H e n d a k l a h t a z i r t i d a k t e r l a l u k e r a s

17. Janganlah seorang guru menghukum seseorang di hadapan orang-orang yang di bawah level terhukum, kecuali darurat

18. Jika hukuman dilakukan di depan publik, demikian pula dengan pemberi an ganjaran

B e n t u k T a z i r

1. P a n d a n g a n k e m a r a h a n

2. L u p a ( t i d a k p e r h a t i a n ) d e n g a n s e n g a j a

3. I s y a r a t

4. M e n i n g g a l k a n k e b i a s a a n m e s r a y a n g s u d a h d i k e n a l

5. M e n y i n d i r

6. B e r b i c a r a t e r u s t e r a n g
271

7. D e n d a ( m a t e r i )

8. B e r j a l a n d a l a m j a r a k t e r t e n t u

Hukuman di sekolah berpendidikan peringkat nomor satu di dunia.

Berdasarkan penemuan PISA, sekolah-sekolah di Finlandia sangat kecil

perbedaan antara siswa yang berprestasi baik dan yang buruk dan merupakan

yang terbaik menurut OECD.

1.Hukuman remedial

Remedial tidaklah dianggap sebagai tanda kegagalan tapi sebagai kesempatan

untuk memperbaiki. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan

prilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan

tujuan-tujuan yang harus dicapai, umpamanya: Pertama, masuk kelas; kemudian

datang tepat waktu; berikutnya, bawa buku, dan peraltan.

2.Jawaban tidak perlu benar

Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar,

yang penting mereka berusaha.

3.Kritik itu adalah hukuman

Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka.

Menurut mereka, jika kita mengatakan Kamu salah pada siswa, maka hal

tersebut akan merasa dihukum membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka

ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan


272

melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka

dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa

diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing.

4.Tidak ada rangking

Ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu

yang dianggap terbaik di kelasnya.

Bantahan terhadap HAM Barat. Gampangnya, HAM harus dijadikan

sebagai landasan, sebagai tolok ukur, dalam melihat Islam, dalam memahami Al-

Quran dan Sunnah. Sebab, HAM itu sesuai dengan Islam. Bahkan, tulis buku ini:

Islam datang menawarkan sejumlah upaya untuk liberalisi, membebaskan

manusia dari seluruh bentuk penistaan, penindasan, dan pelanggaran atas HAM.

Islam juga sangat menekankan humanisasi, memanusiakan manusia secara adil

dan seimbang.

Karena sudah meletakkan HAM sebagai dasar dalam memahami Al-Quran

dan Sunnah itulah, maka buku ini berupaya mengajak manusia agar mendukung

dan menerapkan isi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ditulis

dalam buku ini:

Deklarasi ini berisi 30 pasal yang dirancang untuk mencapai standar bersama

tentang hak dan kebebasan bagi semua orang dan bangsa. Secara individu maupun

kolektif, kita semua harus secara terus-menerus mengupayakan terpenuhinya hak-

hak kebebasan tersebut. Tentu saja ini bisa disebarluaskan dan ditanamkan
273

melalui pengajaran dan pendidikan.

Upaya untuk meletakkan HAM di atas Al-Quran139 dan Sunnah, akan selalu

ditolak oleh umat Islam. Umat Islam lazimnya melihat HAM, demokrasi,

kesetaraan gender, dan berbagai paham atau gagasan baru dengan kacamata Al-

Quran dan Sunnah. Kaum sekuler, akan berpikir sebaliknya. Mereka melihat Al-

Quran dan Sunnah dengan kacamata HAM. Padahal, jika dicermati, konsep

HAM itu sendiri masih merupakan konsep yang bermasalah. Ada yang bisa

diterima dalam Islam, dan ada yang tidak bisa diterima.

Dalam Deklarasi Kairo, soal perkawinan ditegaskan dalam pasal 5 yang

menyatakan seabagai berikut:

The family is the foundation of society, and marriege is the basis of its

formation. Men and women have the right to marriege, and no restrictions

stemming from race, colour or nationality shall prevent them from enjoying this

right. (Keluarga adalah fondasi masyarakat, dan perkawinan adalah basis

139
Karena itulah, pada tahun 1990, negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi
Konferensi Islam (OKI) menghasilkan Deklarasi Kairo (The Cairo Declaration on Human
Rights in Islam), sebagai tandingan dari DUHAM yang dikeluarkan di San Francisco pada 24
Oktober 1948. Pasal 25 Deklarasi Kairo menegaskan: The Islamic Syariah is the only source of
reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration. (Syariat
Islam adalah satu-satunya penjelasan atau klarifikasi dari semua artikel dalam Deklarasi Kairo ini).
Jadi, dalam Deklarasi Kairo, negara-negara Islam telah sepakat untuk meletakkan syariat Islam di
atas HAM. Bukan sebaliknya: meletakkan Islam di bawah HAM. Karena itulah, ada sejumlah
pasal Deklarasi Kairo yang merupakan koreksi terhadap DUHAM. Sebagai contoh, dalam konsep
perkawinan. DUHAM pasal 16 menyatakan: Men and women of full age, without any limitation
due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are
entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution. (Laki-laki dan
wanita yang telah dewasa, tanpa dibatasi faktor ras, kebangsaan atau agama, memiliki hak untuk
menikah dan membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama terhadap pernikahan,
selama pernikahan, dan saat perceraian).
274

pembentukannya. Laki-laki dan wanita memiliki hak untuk menikah dan tidak

boleh ada pembatasan dalam soal ras, warna kulit, dan kebangsaan yang

menghalangi mereka untuk menikmati hak tersebut).

Dari sini dapat dipahami bahwa negara-negara Islam telah sepakat untuk

menolak mengabaikan faktor agama dalam pernikahan dalam HAM. Sebab,

memang ajaran Islam mengatur masalah perkawinan dengan jelas dan tegas.

Wanita muslimah haram menikah dengan laki-laki kafir (non-Muslim). Bagi

kaum Muslim, faktor agama adalah soal mendasar dalam membangun tali ikatan

kasih sayang. Tidaklah mungkin dua manusia yang berbeda iman akan dapat

membangun tali kasih sayang yang sejati.

Kamu tidak akan jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari

akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan

Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau

saudara-saudara, atau pun keluarga mereka. 140


DUHAM dirumuskan dengan

berbasis paham humanisme sekuler, yang meletakkan faktor kemanusiaan lebih

tinggi dari pada agama. Bagi mereka, agama disamakan dengan faktor ras dan

kebangsaan; agama bukanlah hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan

perkawinan. Jika dua insan sudah saling mencintai, maka faktor apa pun

termasuk agama dan jenis kelamin tidak boleh menghalangi mereka untuk

melaksanakan pernikahan. Itu kata DUHAM.

Tapi, tidak!, kata umat Islam. Deklarasi Kairo menolak rumusan hak

140
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya. QS al-Mujadilah:22
275

perkawinan ala DUHAM itu. Bagi kaum sekular, agama harus tunduk kepada

HAM. Bagi kaum Muslim, HAM harus tunduk kepada ajaran Islam. Karena

itulah, bagi seorang Muslim, tidak ada pilihan lain kecuali melihat segala sesuatu

termasuk HAM dengan kacamata Islam. Itulah konsekuensi seorang memilih

Islam. Prinsip Islam itu akan berbeda dengan orang sekuler yang menjadikan

DUHAM sebagai kitab sucinya. Bagi mereka sebagaimana ditegaskan dalam

pasal 2 DUHAM bahwa setiap orang mempunyai hak dan kebebasan tanpa

perbedaan apa pun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,

termasuk agama.

Maka, dunia Islam tentu saja menolak prinsip seperti itu. Disamping soal

pernikahan, Deklarasi Kairo juga menolak konsep kebebasan beragama ala

DUHAM, sebagaimana tercantum dalam pasal 18:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right

includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in

community with others and in public or private, to manifest his religion or belief

in teaching, practice, worship and observance. (Setiap orang mempunyai hak

untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup hak untuk

berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan baik sendiri atau di tengah

masyarakat, baik di tempat umum atau tersendiri untuk menyatakan agama atau

kepercayaannya, dengan mengajarkannya, mempraktikkannya, beribadah atau

mengamalkannya).

Jadi, DUHAM menjamin hak untuk pindah agama (hak untuk murtad). Sebagian
276

kalangan yang menjadikan DUHAM sebagai kitab sucinya telah mendatangi

Komnas HAM dan menuntut pembubaran MUI, karena MUI telah mengeluarkan

fatwa sesat atas Ahmadiyah, agama Salamullah, dan sebagainya. Bagi mereka,

HAM dan kebebasan adalah segala-galanya. Aturan-aturan agama yang dianggap

bertentangan dengan DUHAM harus dibuang atau ditafsirkan ulang.

Deklarasi Kairo membuat konsep tandingan terhadap konsep kebebasan beragama

versi DUHAM tersebut. Pasal 10 menegaskan:

Islam is the religion of unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of

compulsion on man or to exploit his poverty or ignorance in order to convert him

to another religion or to atheism.(Islam adalah agama yang murni (tidak rusak

atau tercemar). Islam melarang adanya paksaan dalam bentuk apa pun untuk

mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohan seseorang untuk mengganti

agamanya ke agama lain atau ke atheisme)

Karena berbasis pada pemikiran humanisme sekuler, maka DUHAM tidak

memandang penting soal pergantian agama. Mau Islam, Kristen, atheis, atau apa

pun, tidak dianggap penting. Bagi kaum sekuler, yang penting iman kepada HAM

dan tidak melanggar kebebasan. Mereka juga tidak peduli, apakah suatu aliran

keagamaan menyimpang atau melecehkan suatu agama atau tidak. Yang penting

bebas beragama apa pun, aliran apa pun. Padahal, dalam Islam, soal murtad

adalah masalah yang sangat serius.

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dan dia

dalam keadaan kafir, maka hapuslah amal perbutannya di dunia dan akhirat, dan
277

mereka itu penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya. (QS al-Baqarah:

217).

Ulama Muhammadiyah terkenal, yaitu Hamka. telah membuat kajian

khusus tentang DUHAM, dalam satu makalah berjudul, Perbandingan antara Hak-

Hak Azasi Manusia Deklarasi PBB dan Islam. Terhadap pasal 18 DUHAM,

Hamka memberikan kritik yang sangat tajam. Mengutip QS al-Baqarah ayat 217,

Hamka menyatakan:

Kalau ada orang-orang yang mengaku Islam menerima hak pindah agama ini

buat diterapkan di Indonesia, peringatkanlah kepadanya bahwa ia telah turut

dengan sengaja menghancurkan ayat-ayat Allah dalam al-Quran. Dengan

demikian Islamnya sudah diragukan. Bagi umat Islam sendiri, kalau mereka

biarkan program penghancuran Islam yang diselundupkan di dalam bungkusan

(kemasan) Hak-hak Azasi Manusia ini lolos, berhentilah jadi muslim dan

naikkanlah bendera putih, serahkanlah aqidah dan keyakinan kepada golongan

yang telah disinyalemen oleh ayat 217 Surat al-Baqarah itu; bahwa mereka akan

selalu memerangi kamu, kalau mereka sanggup, selama kamu belum juga murtad

dari Agama Islam.

Terhadap pasal 16 DUHAM, yang mengabaikan faktor agama dalam

pernikahan, Hamka juga menolak dengan keras. Dalam soal pernikahan, harus

ada pembatasan soal agama.

Tegasnya di sini bahwa Muslim yang sejati, yang dikendalikan oleh imannya,

kalau hendak mendirikan rumah tangga hendaklah dijaga kesucian budi dan
278

kesucian kepercayaan. Orang pezina jodohnya hanya pezina pula, orang musyrik,

yaitu orang yang mempersekutukan yang lain dengan Tuhan Allah, jodohnya

hanya sama-sama musyrik pula, tulis Hamka.141

Buku ini akan dijadikan buku wajib di sekolah-sekolah Muhammadiyah,

tapi masih ditinjau kembali; dikaji dengan cermat oleh para ulama yang benar-

benar mengerti tentang HAM. Sebenarnya, agenda pengajaran HAM bukanlah

hal yang mendesak bagi umat Islam. Ini jelas agenda Barat. Padahal, negara-

negara Barat itulah yang perlu ditraining tentang HAM, agar mereka tidak

semena-mena memaksakan ideologinya kepada umat manusia. Agar mereka

menghormati kaum Muslim. Jika mereka menghormati kebebasan manusia,

harusnya mereka tidak belingsatan melihat orang Islam yang menjalankan

syariat agamanya. Katanya toleran dengan yang lain. Faktanya, mereka sangat

sensitif dengan penerapan syariat Islam.

Tapi, sebaiknya dikatakannya bahwa, kita berkaca pada diri sendiri.

Seharusnya, sebagai umat Islam, kita memiliki izzah, memiliki kehormatan diri,

tidak mudah silau dengan konsep-konsep baru yang datang dari Barat. Bukan kita

yang harusnya menerima dana dari mereka untuk mengubah ajaran Islam agar

141
Mengapa pasal 16 dan 18 DUHAM ditolak oleh Hamka? Sebab saya orang Islam.
Yang menyebabkan saya tidak dapat menerimanya ialah karena saya jadi orang Islam, bukanlah
Islam statistic. Saya seorang Islam yang sadar, dan Islam saya pelajari dari sumbernya; al-Quran
dan al-Hadits. Dan saya berpendapat bahwa saya baru dapat menerimanya kalau Islam ini saya
tinggalkan, atau saya akui saja sebagai orang Islam, tetapi syariatnya tidak saya jalankan atau
saya bekukan, demikian Hamka.Demikianlah, memang ada yang sangat bermasalah dalam
konsep HAM yang tertera dalam DUHAM. Karena itu, konsep HAM justru perlu diletakkan dalam
kacamata Islam. Itulah yang dilakukan Prof. Hamka, dan juga OKI, sehingga sampai muncul
Deklrasi Kairo. Sayangnya, buku Al-Islam dan Kemuhammadiyahan produksi Maarif Institute ini
tidak mengklarifikasi soal HAM terlebih dulu, tetapi justru mencarikan legitimasinya dalam ajaran
Islam. Cara pandang semacam ini keliru.
279

sesuai dengan cara pandang Barat. Harusnya kita malu melakukan hal itu.

Harusnya, kita-lah yang mendidik orang-orang Barat agar mereka mengenal

ajaran Islam dengan baik, kata Hamka dan Muhammad Asad.

Memang, seperti dinyatakan oleh Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam buku

klasiknya, Islam at the Crossroads, imitasi terhadap pola pikir dan pola hidup

Barat inilah yang merupakan bahaya terbesar dari eksistensi umat Islam.

Ungkapan Asad:

The Imitation individually and socially of the Western mode of life by

Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence or rather , the

revival of Islamic civilization.

Kebanggaan akan nilai-nilai Islam itulah yang harusnya diajarkan kepada para

pelajar Muslim, baik di sekolah-sekolah Muhammadiyah atau sekolah Islam

lainnya. Semangat itu pula bangga sebagai pengikut Nabi Muhammad saw

yang sejak awal ditanamkan oleh pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan. Karena

itu, di kalangan Muhammadiyah, dikenal keteguhan Hamka dalam

mempertahankan pendiriannya.

Dikenal juga mengenal keteguhan Ki Bagus Hadikusumo, yang dengan

tegas menolak menolak keharusan Saikeirei (membungkuk ke arah matahari terbit

sebagai penghormatan kepada Kaisar Jepang). Penguasa Jepang di Yogya,

Kolonel Tsuda, pernah memanggil Ki Bagus, sembari membentak: Tuan Ki

Bagus, saya minta agar Tuan memerintahkan kepada orang-orang Islam dan

Muhammadiyah, serta murid-murid semua untuk melakukan Saikeirei! Jawab


280

Ki Bagus: Tidak mungkin, karena agama Islam melarangnya.!142 Diharapkan

adanya teladan pemimpin dari pemimpin yang tidak rela membungkukkan badan,

hormat dan tunduk kepada penjajah.

142
Lihat, Siswanto Masruri, Ki Bagus Hadikusumo, Yogya: Pilar Media, 2005). Tentang
meneladani pemimpin kita yang tidak rela membungkuk kepada penjajah. [Jakarta, 30 Oktober
2008/www.hidayatullah.com
281

BAB 5

SIMPULAN IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

5.1 Simpulan

Berdasarkan pengolahan dan analisis data, berpedoman kepada perumusan

masalah di awal disertasi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa UU RI No 23

tahun 2002, Bab 54 secara tegas menyatakan bahwa guru dan siapapun lainnya di

sekolah dilarang untuk memberikan hukuman fisik kepada anak-anak. Indonesia

merupakan salah satu anggota penandatanganan dari konversi PBB untuk Hak-

hak Anak, disebutkan dalam artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin

bahwa: Tak seorang anakpun boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman

lainnya, tindakan tidak manusiawi ataupun perlakuan yang merendahkan atau

hukuman. tentang perlindungan anak, dengan tegas melarang hukuman fisik

terhadap anak- anak, merupakan pelanggaraan Hak Asasi Manusia(HAM).

Sedangkan Hukum Islam membolehkannya, dalam batas-batas tertentu, karena

ada nilai-nilai filosofis dan maqashid al-Syariah yang terkandung di dalamnya.

Adapun makna-makna filosofis hukum dan maqashid al-hukmi -nya yang

penulis temukan ialah:

1.Bagi lembaga pendidikan, hukuman fisik itu mengandung makna prefentif atau

sadd- al-zariah yang sangat diperlukan untuk menegakkan disiplin.

2.Bagi guru memiliki makna kewajiban, kebijakan mengatasi ktidaknyamanan

dari kenakalan, dan peringatan akan kehati-hatian.

3.Bagi murid hukuman fisik itu memiliki makna ketaatan dan kesetiaan serta

kesediaan dan kepatutan.


282

5.2 Implikasi teoritik

Pertama, penulis menentang teori HAM Barat yang tidak membolehkan

pemukulan terhadap anak atau murid sama sekali. Lebih-lebih lagi teori psikologi

hukum Barat sendiri, ada yang membolehkan memukul anak, dalam batas-batas

tertentu, misalnya teori Gannoe yang berasal dari penelitian Marjorie Gannoe,

yang menyatakan bahwa anak-anak yang pernah dipukul ringan, tidak akan

manja, lebih mandiri dan lebih berprestasi di sekolahnya. Dalam Islam sejak lama,

sudah dikenal hadits yang menyakan boleh memukul anak yang tidak shalat,

apabila sudah berumur 10 tahun. Tentu saja dengan pukulan ringan.

Kedua,terjadinya pemukulan dan hukuman fisik lainnya, baik di sekolah

maupun di pesantren, dipengaruhi oleh factor internal dan eksternal. Faktor

internal ialah ajaran agama dan nilai-nilai adat kebiasaan serta pandangan hidup,

Juga persepsi tentang Sayang anak dipukul-pukuli, dalam artian perlu dicegah

dari perbuatan terlarang, secara tegas. Sedangkan factor ekstrenalnya ialah

perkelahian di luar dan di lingkungan sekolah, serta kenakalan lainnya termasuk

pergaualan dengan remaja yang tidak berpendidikan.

Ketiga, tidak terjadi pertentangan antara UU Perlindungan anak Indonesia

dan HAM Barat di satu pihak, dengan Hukum Islam secara diametra. Hanya saja

UU Perlidungan anak Indonesia dan HAM Barat, terlalu umum dan bersifat

menyeluruh, tidak khusus dan tidak detil. Sedangkan hukum Islam mengaturnya

secara khusus dan detil. Kemudian dasar pengambilan hukumya ialah Al-quran

dan haditsk, yang merupakan akar keyakinan umat Islam di seluruh dunia. Di

samping itu, adanya fiqih dan ushul fiqih, sebagai alat menggali hukum
283

permasalahan yang baru, untuk menjawab tantangan zaman dan perbedaan

tempat.

5.3. Rekumendasi

Agar implementasi hasil penelitian dalam bidang hukum ini, dapat dilaksanakan,

maka penulis memberikan rekumendasi sebagai berikut:

1.Kepada pihak sekolah, harus mempertimbangkan perlunya dibuat perjanjian

khusus yang tertulis antara para guru dan wali murid, tentang apa saja hukuman

fisik yang akan diberikan, jika si murid, melakukan pelanggaran disiplin?.

2.Kepada para hakim yang akan memutuskan perkara antara guru dan murid

tentang hukuman fisik, agar dapat mempertimbangkan ketentuan hukum adat

yang hidup di tengah masyarakat, dan ketentuan Hukum Islam, yang dianut secara

luas di Indonesia.

3.Kepada Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama RI yang

mengelola pendidikan, agar membuat aturan yang melindungi guru, karena belum

ada UU khusus tentang perlindungan guru dan dosen di Indonesia, di saat

penelitian ini dilakukan.


284

GLOSSARY

Al-Quran: Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.


Melalui Malaikat Jibril, diawali dengan surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat
al-nas, bagi yang membacanya, merupakan ibadah.

Amsal : Nama salah satu judul dari surat-surat yang terdapat dalam Taurat
(Perjanjian lama) khususnya pasal 26 ayat 3, yang menganjurkan hukuman rotan
terhadap anak-anak yang bebal.

Anak-anak (Kanak-kanak) ialah orang yang belum berumur 18 tahun menurut


UU Perlindungan anak. Tapi menurut KUHP Pidana, batas usia anak, dapat
dipidana naik, dari usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional,
mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa
Indonesia. Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional,
mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa
Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk
tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal
28B ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1) dan
frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak
adalah inkonstitusional bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali harus
dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum
pertanggungjawaban pidana,

Bullyng : Apakah arti kata bullying ? Istilah ini di Indonesia masih terdengar
asing dan sulit mencari padanannya, untuk itu mari kita simak beberapa definisi
berikut:

* Menurut kamus Webster, makna dari kata bullying adalah penyiksaan


atau pelecehan yang dilakukan tanpa motif tapi dengan sengaja dilakukan
berulang-ulang terhadap orang yang lebih lemah.
* Adapun menurut Yayasan SEJIWA, bullying adalah suatu situasi dimana
terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan orang/kelompok
kepada seseorang hingga membuat korban merasa terintimidasi.
* Secara umum bullying dapat diartikan sebagai sikap agresi dari
seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk menyakiti orang lain baik
secara fisik maupun mental.

Jenis Bullying

Olweus (1993), mengkategorikan dua jenis bullying terdiri dari Direct Bullying
yaitu intimidasi secara fisik dan verbal serta Indirect Bullying berupa kekerasan
mental melalui isolasi secara sosial.
285

* Bullying fisik yaitu perlakuan kasar secara fisik yang dapat dilihat secara
kasat mata seperti menjambak rambut, kerah baju, menampar, menendang.
* Bullying verbal yaitu perlakuan kasar yang dapat didengar seperti
memalak, mengancam, memaki, mencemooh, memfitnah dll.
* Bullying mental yaitu perlakuan kasar yang tidak dapat dilihat dan
didengar seperti mengucilkan, memandang sinis dll.

Pelaku Bullying

Terjerumusnya seorang anak menjadi pelaku bullying bisa dipicu oleh multi
faktor diantaranya ia mencontoh perilaku salah satu anggota keluarga yang juga
pelaku bullying. Selanjutnya ia mengaktualisasikan diri di lingkungan yang
mendukung seperti di sekolah yang melakukan pembiaran pada perilaku bullying.

Korban Bullying

Anak yang terlihat santun, lugu , miskin, lemah fisiknya dan nampak berbeda
seringkali menjadi korban bullying. Penderitaan ternyata tidak hanya dialami oleh
si korban saja, seringkali orangtua mengalami hal yang sama terutama mengalami
tekanan mental akibat perilaku bullying yang dilakukan pada buah hatinya.

Faktor Pendukung Budaya Bullying

Masih lekatnya keyakinan sebagian masyarakat bahwa sebaik-baiknya pola asuh


anak adalah dengan menerapkan disiplin tinggi disertai kekerasan demi
pencapaian sukses si anak. Anak-anak yang terbiasa mendapat perlakuan kasar
dari orangtuanya, tanpa sadar ia akan meniru dan menerapkan sikap kasar dalam
perilakunya sehari-hari hingga mendorong terjadinya perilaku bullying kepada
orang lain.

Corporal punishmen: Berdasarkan wikipedia (2009), adalah hukuman yang


menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja dengan maksud untuk
mendisiplinkan atau memperbaiki/mengubah perilaku dari sesorang yang
melakukan kesalahan. Istilah ini biasanya digunakan dalam penghukuman baik
yang berlatar belakang hukum, rumah tangga atau keluarga maupun pendidikan.

DUHAM : Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM).:Deklarasi ini


berisi 30 pasal yang dirancang untuk mencapai standar bersama tentang hak dan
kebebasan bagi semua orang dan bangsa. Secara individu maupun kolektif, semua
negara harus secara terus-menerus mengupayakan terpenuhinya hak-hak
kebebasan tersebut. Tentu saja ini bisa disebarluaskan dan ditanamkan melalui
pengajaran dan pendidikan.

Upaya untuk meletakkan HAM di atas Al-Quran dan Sunnah, akan selalu ditolak
oleh umat Islam. Umat Islam lazimnya melihat HAM, demokrasi, kesetaraan
gender, dan berbagai paham atau gagasan baru dengan kacamata Al-Quran dan
Sunnah. Kaum sekuler, akan berpikir sebaliknya. Mereka melihat Al-Quran dan
286

Sunnah dengan kacamata HAM. Padahal, jika dicermati, konsep HAM itu sendiri
masih merupakan konsep yang bermasalah. Ada yang bisa diterima dalam Islam,
dan ada yang tidak bisa diterima. Prinsip Islam itu akan berbeda dengan orang
sekuler yang menjadikan DUHAM sebagai kitab sucinya. Bagi mereka
sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 DUHAM bahwa setiap orang
mempunyai hak dan kebebasan tanpa perbedaan apa pun, seperti perbedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, termasuk agama.

Maka, dunia Islam tentu saja menolak prinsip seperti itu. Disamping soal
pernikahan, Deklarasi Kairo juga menolak konsep kebebasan beragama ala
DUHAM, sebagaimana tercantum dalam pasal 18:

Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right
includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in
community with others and in public or private, to manifest his religion or belief
in teaching, practice, worship and observance. (Setiap orang mempunyai hak
untuk bebas berpikir, berkeyakinan, dan beragama; hak ini mencakup hak untuk
berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan baik sendiri atau di tengah
masyarakat, baik di tempat umum atau tersendiri untuk menyatakan agama atau
kepercayaannya, dengan mengajarkannya, mempraktikkannya, beribadah atau
mengamalkannya).Jadi, DUHAM menjamin hak untuk pindah agama (hak untuk
murtad).

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman bin Qasim, Majmu Fatwa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah,Dar Alam al-

Kutub, 1412 H.

Abdurrahman bin Saad asy-Syatri, Taqnin asy-Syariah bain at-Tahlil wa at-Tahrim,

Dar al-Fadhilah, 1426 H.

Abu Abdullah al-Hathtab, Mawahib al-Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, Dar al-Kutub

al-Ilmiyyah, 1416 H.

Adz-Dzahabi, Siar Alam an-Nubala, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.


287

Al-Bassam, Taqnin asy-Syariah Adhraruhu wa Mafasiduhu.

An-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhazzab, Dar al-Fikr.

Bakar Abu Zaid, Fiqh an-Nawazil, Muassasah ar-Risalah, 1412 H.

Harian al-Jazirah, tanggal 3 Jumadil Akhir 1426 H.

Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ala ad-Dar al-Mukhtar, Dar Ihya at-Turats al-Arabi.

Ibnu Kasir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Hijr, 1419 H.

Ibnu Qudamah al-Maqdisi, al-Mughni.

Ibrahim Anis, et. al. Al-Mujam al-Wasith

Manna al-Qaththan, at-Tasyri wa al-Fiqh fi al-Islam Tarikhan wa

Manhajan, Maktabah Wahbah, 1422 H.

Mushtafa az-Zarqa, al-Madkhal al-Fiqh al-Am, Dar al-Qalam, 1418 H.

Swiss al-Mahamid, Masirah a-Fiqh al-Islami al-Muashir, Jamiyyah Ummal al-

Mathabi, 1422 H.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung, 2001), hal. 187

lihat Mohammad Asrori, Psikologi Pembelajaran (Bandung, 2008), hal. 37-38

Muhammad Quthb, Sistem Pendidikan Islam, terj. Salman Harun (Bandung, 199

JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terj. Dr. Kartini Kartono (Jakarta, 2006
288

Lisan Al Arab, I:619

Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana,

2006M. Arifin, Ilmu Pendidikan Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis (Bumi

Aksara: Bandung, 2006

Ushul Al Tarbiyyah Al Islamiyyah, hal. 401 Depag, Al-Quran dan

Terjemahannya

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri

(Jakarta, 1994)

Abdullah, Amin, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fikih dan

Dampaknya Pada Fiqih Kontemporer, dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;

Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.

Abu Abdilah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, (terj) Ensiklopedi Anak,Tanya-Jawab

Tentang Anak, Dari A Sampai Z, Darussunnah ,Jakarta, 2007

____________, al-Tawil al-'Ilmi: Ke arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab

Suci, dalam al-Jamiah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta, Vol. 39, No.2,

Juli-Desember 2001.
289

____________, al-Tawil al-Ilmy: Paradigma Baru Penafsiran Kitab Suci,

dalam M.Amin Abdullah, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural

(Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002

Ainurrafiq, Menawarkan Epistemologi Jamai Sebagai Epistemologi Ushul

Fiqih dalam Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqh

Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.

Amiruddin,dkk Pengantar Metode Penelitian

Hukum,PT.GrafindoPersada,Jakarta 2004

Abdullahi Ahmed An-Naim, Towards an Islamic Reformation: Civil Liberties,

Human Rights, and International Law (Syracuse: Syracuse University Press,

1996) hal. 3-4

Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam and Human Rights: Beyond The Universality

Debate (Washington: The American Society of International Law, 2000) hal. 95.

Bandingkan dengan David Littman, Universal Human Rights and Human Rights

in Islam (New York: Journal Midstream, 1999) p. 1.

Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights: Traditions and Politics

(Colorado: West View Press, 1999) hal. 35.

Stufentheory diperkenalkan oleh Carl Schmith dan Adolph Merkel. Keduanya

pengikut ajaran hukum murni Hans Kelsen. Teori ini banyak menjelaskan teori

hukum tentang konstitusi. Lihat dalam Lili M. Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat


290

Hukum (Bandung: Alumni, 1985) hal. 43-44.Mahmoud Mohammad Taha, The

Second Message of Islam, diterjemahkan oleh Abdullahi Ahmed An-Naim

(Syracuse: Syracuse University Press, 1987).

Ampuni, S., Hubungan antara Ekspresi afek Ibu dengan Kompetensi Sosial Anak

Prasekolah. Tesis. Yogyakarta: Program Studi Psikologi Pascasarjana Universitas

Gadjah Mada, 2002

Cole, Kelly. Mendampingi Anak Menghadapi Perceraian Orang Tua. Jakarta:

Prestasi Putakaraya.2004

Elfia Desi & Vivik Shofiah..Hubungan Tindakan Kekerasan Terhadap Anak

(Child Abuse) dengan Konsep Diri. Fakultas Psikologi UIN Suska Riau: Jurnal

Psikologi, Vol.3 No. 2.Th 2007

Haditono, S.R., dkk, Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai

Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.1994

Hurlock, B. Elizabeth. Perkembangan Psikologi Anak. Jakarta: Erlangga,1998

Kasmini Kassim, Penderitaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung).

Universitas Kebangsaan Malaysia.1998


291

Liputan 6.com, (2004). Pelajar SLTP Perkosa Tiga Anak. Online.Internet.

Available http://www.liputan6.com/fullnews/76 721. Html

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak .

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Defenisi Kekerasan (Bullying) menurut KPA (Komisi Nasional Perlindungan

Anak)

Ainurrafiq (ed. ), Mathab Jogja; Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer,

Yogyakarta: Ar-Ruzz 2002.

al-Alwani, Thaha Jabir, Ushul al-Fiqih al-Islami, Virginia: International Institute

of Islamic Thought, 1990.

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1993.

Anwar, Syamsul, Epistemologi Hukum Islam dalam al-Musytasyfa min ilm al-

Ushul Karya al-Ghazali (450-505/1058-1111), Disertasi, IAIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.

____________, Membangun Good Govemance dalam Penyelenggaraan Birokrasi

Publik di Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Syariah dengan Pendekatan Ushul


292

Fiqih, Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Usul Fiqih, UIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta, 2005.

____________, Pelaksanaan Syariah dalam Konteks Indonesia dan Kontribusi

Pendidikan: Saudi Peran Lembaga Pendidikan Tinggi Syariah, Makalah

diterbitkan oleh Lembaga Kajian. Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syariah IAIN

Raden Intan, Palembang bekerja sama dengan Penerbit Gama Media, Yogyakarta,

2004.

____________, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam

Ainurrafiq (ed.), Mazhab Jogja;Menggagas Paradigma Ushul Fiqih Kontemporer,

Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002.

Assyaukanie, A. Lutfi, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer

dalam jurnal Paramadina, Vol. 1, No.1, Juli-Desember, 1998.

Coulson, N.J, A. History of Islamic Law, ttp: Edinburgh University Press, 1991.

el-Fadl, Khaled M. Abou, Melawan Tentara Tuhan; yang berwenang dan

sewenang-wenang dalam wacana Islam, terj. Kurniawan Abdullah, Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2003.

Fanani, Muhyar, Menelusuri Epistemologi Ilmu Ushul Fiqih, dalam Jurnal

Mukaddimah, No. 9 Th.VI/2000.


293

_____________, Pemikiran Muhammad Syahrur dalam Ilmu Ushul Fiqih: Teori

Hudud sebagai Alternatif Pengembangan Ilmu Ushul Fiqih, Disertasi, IAIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta.

_____________, Pergeseran Paradigma Semu dalam Ilmu-Ilmu KeIslaman

(Memahami Penyebab Mundurnya Ilmu-Ilmu KeIslaman dengan Cara Pandang

Kuhn), dalam Jurnal Alamah, Vol.1, No. 1, September 2002.

al-Ghazali, Abu Hamid, al-Mustasfa min Ilm al-Usul, Kairo: Syirkah al-Tibaah

al-Irsyad, 1971.

Hallaq, Wael B, A.History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunni

Ushul Fiqih, Cambridge: Cambridge University Press, 1997.

al-Jabiri, Muhammad Abid, Bunyah al- Aql al- Arabi: Dirasah Tahliliyah

Nagdiyyah li Nuzum al-Marifah, fi as-Sagafah al-rabiyyah, Beirut: Markaz

Dirasat al-Wandah al-Arabiyyah, 1990.

_____________, Takwin al-Aql al-Arabi, Beirut: al-Markaz as-Saqafi al-Arabi,

1993.

_____________,Post Tradisionalisme Islam, terj. Ahmad Baso,Yogyakarta:LKiS,

2000.

Al-Juwayni, al-Burhan fi Ushul al-Fiqih, cet. 4, Editor, Abdul Adzim Mahmud

ad-Dib, Manshurah, Mesir: al-Wafa, 1418.


294

Kartanegara, Mulyadi, Membangun Kerangka Ilmu:Perspektif Filosofis, dalam

Problem&Prospek LAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, ed. Kamatuddin

Hidayat dan Hendro Prasetyo, Jakarta: Departemen Agama, 2000.

Kuhn, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions, London: The University

of Chicago Press. Ltd, 1970.

Minhaji, Akh, Reorientasi Kajian Ushul Fikih, dalam Jurnal al-Jamiah No,

63/VI/1999.

_____________, Hukum Islam Antara Sakralitas dan Profanitas (Perspektif

Sejarah Sosial), Pidato Pengukuhan Guru Besar Sejarah Sosial Pemikiran Hukum

Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2004.

_____________, Otoritas, Kontinyuitas, dan Perubahan dalam Sejarah Pemikiran

Ushul al-Fiqih dalam kata pengantar Amir Muallim dan Yusdani, Ijtihad dan

Legislasi Muslim Kontemporer, Yogyakarta: UII Press, 2004.

_____________, Mencari Rumusan ushul Fiqih untuk Masa Kini, al-Jamiah, No.

65/XII/2000.

_____________, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph

Schacht, Yogyakarta: UII Press, 2001.

Najib, Agus Moh, Nalar Burhani dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran

Awal), dalam Jurnal Hermenia, Vol.2 No.2 Juli-Desember 2003.

Nasution, Khairuddin, Riba & Poligami;Sebuah Studi Atas Pemikiran

Muhammad Abduh, Yogyakarta: Pustaka Pelajar-ACAdeMIA, 1996.


295

Rahman, Fazlur, Islam: Challenges and Opportunities, dalam Islam: Past

Influence and Present Challenge, diedit oleh Alford T. Welch dan Pierre Cachia,

Edinburgh: Edinburgh University Press, 1979.

_____________, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition, Chicago: The University of Chicago Press, 1982.

Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman (Bandung: Mizan, 1993)

Schacht, Joseph, Pengantar Hukum Islam, terj. Joko Supomo, Yogyakarta:

Islamika, 2003.

Soerjono Soekanto dkk) Penelitian Hukum Normatif ,Suatu Tinjauan Sinngkat,

PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta.2006

Syamsudin M. Operasionalisasi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo,

Jakarta.2007

sy-Syatibi, Abu Ishaq, al-Muwafagat fi Ushul al-Ahkam, edisi Abdullah Darraz,

Mesir: tnp., t.t..


296

Pearce, John.. Mengatasi Perilaku Buruk & Menanamkan Disiplin pada Anak.

Jakarta: Arcan, 2000

Purwakania Hasan, Aliah B. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta : PT Raja

Grafindo Persada.2006

Purwandari, E. Kristi. . Mengungkap selubung kekerasan. Bandung Kepustakaan

Eja Insani.,2004

Sarwono, Sarlito Wirawan..Psikologi Sosial (Individu dan Teori-Teori Psikologi

Sosial).Jakarta: Balai Pustaka,2005

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

Rahman, Jamal Abdur. 2005. Tahapan Mendidik Anak. Bandung: Irsyad Baitus

Salam

Santrock, John W.Life-Span Development .Jilid 1.Jakarta:Erlangga.

Shomad, M. Idris A. 2002. Pendidikan Anak Dalam Rumah Tangga Islam.

Jakarta: Pustaka Tarbiatuna,2002

Wilson. 2000. Pengujian Hipotesis dalam Gaya Pengasuhan Orang Tua (Tesis).

Univeritas Padjajaran Bandung.

Zulmansyah Sekedang, dkk.. Selamatkan Anak-Anak Riau. Riau: KPAID

Riau,2008

Komisi Perlindungan Anak Indonesia.http://www.kpai.go. 12 1


297

Kasmini Kassim. .Penderaaan Emosi Kanak-Kanak (Trauma Terselindung).

Universitas Kebangsaan Malaysia. 1998

Majalah Tarbawi. Edisi ke-200, 2 April 2009

Chandra, Satriawan. 2008. Oknum Guru SMA II Batanghari Pukuli Muridnya.

http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20080806151824.

(Diakses 28 Februari 2008)

http://www.indokado.com/

http://www.balita-anda.com

Surya online. 2009. Guru Hajar 4 Muridnya Dengan Buas di Rambang.

http://karodalnet.blogspot.com/2009/02/guru-hajar-4-muridnya-dengan-buas-

di.html. (Diakses 28 Februari 2008)

Karo Cyber Community. 2009. Oknum Guru Kimia Hajar 4 Muridnya Dengan

Buas. http://www.surya.co.id/2009/02/16/oknum-guru-kimia-hajar-4-muridnya-

dengan-buas/. (Diakses 28 Februari 2008)

Sumatra Expres Online. 2009. Empat Siswa Ditampar Lalu Dibanting.

http://sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5414&Itemid

=37. (Diakses 28 Februari 2008)

Sumatra Expres Online. 2009. Belum Ada Tersangka, Enam Saksi Diperiksa.

http://sumeks.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=5440&Itemid

=39. (Diakses 28 Februari 2008) Victor Ngantung. 2006. Kekerasan Terhadap

Peserta Didik. www.oaseonline.org. (Diakses 3 Maret 2008)


298

http://kandangtips.blogspot.com/2009/12/mengapa-ada-peraturan -

sekolah.html#ixzz0lmQCmi18

Disertasi

KETENTUAN HUKUMAN FISIK TERHADAP ANAK-ANAK DI DALAM

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK INDONESIA

DITINJAU DARI ASPEK HUKUM ISLAM

(Studi Dilema Pemukulan Anak-Anak Dalam Penerapan Disiplin)

Oleh

Drs. Muhammad Rakib, S.H.,M.Ag

Nim : 08 S3 007

Diajukan Kepada Sekretariat Program Pasca Sarjana, S3

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim

Riau, di Pekanbaru 2011

Motto
299

Undang-undang Perlindungan Anak No. 23,Bab 54 secara tegas menyatakan

bahwa guru dan siapapun lainnya di sekolah dilarang untuk memberikan hukuman

fisik kepada anak-anak. Terlebih lagi Indonesia merupakan salah satu anggota

penandatanganan dari konversi PBB untuk Hak-hak Anak, disebutkan dalam

artikel 37 yang mengharuskan negara menjamin bahwa: Tak seorang anakpun

boleh mendapatkan siksaan atau kekejaman lainnya, tindakan tidak manusiawi

ataupun perlakuan yang merendahkan atau hukuman. Meski demikian,

tampaknya undang-undang tersebut belum dipahami oleh kebanyakan pelaku

pendidikan, hal ini sebagaimana laporan penelitian Nur Hidayati, dari penelitian

lapangan terhadap 8 Madrasah Ibtidaiyah di propinsi Riau ditemukan bahwa

hukuman jasmani lumrah terjadi di semua madrasah yang dituju, dengan kisaran

antara 50% - 80%, anak-anak melaporkan bahwa mereka pernah mengalami hal

ini dari guru-guru mereka secara rutin.

Karena rahmat Allah-lah engkau bersikap lembut terhadap mereka.

Seandainya engkau bersikap kaku dan keras hati, tentu mereka akan menjauhkan

diri dari sekelilingmu. (QS. Ali Imran: 159)

Apabila salah seorang di antara kalian memukul,

hendaknya menghindari wajah.(HR. Al-Bukhari no. 2559 dan Muslim no. 2612)

Anak, bagaimanapun juga tak terlepas dari berbagai macam tingkah dan

polahnya. Beragam perilaku dapat kita saksikan pada diri mereka. Masing-masing

anak dalam satu keluarga pun seringkali berbeda perangainya. Terkadang di


300

antara mereka ada yang nampak amat patuh dan sangat mudah diatur. Sedangkan

yang lain, demikian bandel atau sering melakukan berbagai pelanggaran.

Yang demikian ini tentu tak boleh dibiarkan. Mau tak mau, orang tua harus

mengetahui seluk-beluk mengarahkan anak. Haruskah segala keadaan dihadapi

dengan kelemahlembutan dan penuh toleransi? Atau sebaliknya, selalu diatasi

dengan hardikan dan wajah yang garang?

Hindari hukuman pemukulan terhadap kesalahan yang tidak sengaja

dilakukannya,

sebagaimana sabda Rasulullah saw:

Janganlah kamu memukul anak karena memecahkan wadah.

Sesungguhnya wadah itu memiliki batas akhir (ajal) seperti halnya ajalmu.

Tapi ternyata peraturan sekolah itu ada gunanya juga di antaranya ialah :

5. agar sekolah menjadi tertib

6. agar murid dapat mengikuti proses KBM (kegiatan belajar mengajar) dengan

nyaman dan tenang.

7. melatih murid untuk tepat waktu

8. melatih murid disiplin

9. melatih murid untuk mandiri

10. melatih murid mentaati peraturan di masyarakat kelak

11. melatih respon murid dalam menyikapi sebuah peraturan.


301

ABSTRACT

Di dalam rumah tangga dan lembaga Pendidikan , penerapan hukuman memiliki

peran urgen dalam meningkatkan kedisiplinan . Dengan adanya hukuman

diharapkan anak-anak memiliki kepribadian yang baik dan mampu mematuhi

peraturan yang telah digariskan demi terciptanya pendidikan akademik dan

kepribadian. Yang menjadi permasalahan penelitian ini adalah mengapa hukuman

diterapkan, bagaimana penerapan/pelaksanaannya dan sejauh mana efektifitas

penerapan hukuman terhadap kedisiplinan santri di Pondok Pesantren Darul

Qurro Kawunganten Cilacap. Hasil penelitiannyua dipergunakan untuk bahan

evaluasi atas pelaksanaan/penerapan hukuman tersebut.

Penelitiannya, termasuk penelitian deskriptif kualitatif yang berusaha

mengungkapkan suatu masalah/peristiwa sebagaimana adanya. Hasil penelitian

ini ditekankan pada gambaran secara obyektif tentang keadaan sebenarnya dari

obyek yang diteliti. Populasi dalam penelitian ini adalah Pimpinan Pondok: (1)

(satu), Ustadz: (2), pengurus: 7 (tujuh), dan santri: 51 (lima puluh satu)

pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi, dokumentasi dan

wawancara.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Hukuman diterapkan dengan

maksud/tujuan untuk meningkatkan kedisiplinan santri dan sebagai langkah untuk

merubah sikap atau perilaku mereka menjadi lebih baik. (2)

Penerapan/pelaksanaan hukuman terhadap santri diserahkan penanganannya oleh


302

Pimpinan Pondok Pesantren kepada para pengurus bagian yang terdapat dalam

struktur OPPM, di bawah pembinaan dan pengawasan Bagian Pengasuhan Santri.

Jenis hukuman yang diterapkan di Pondok Pesantren Darul Qurro Kawunganten

Cilacap, antara lain: hukuman fisik, psikis dan materiil. Ketiga macam jenis

hukuman di atas disesuaikan dengan perkembangan jiwa dan usia santri. Berat

ringannya hukuman juga didasarkan pada kasus pelanggaran yang dilakukan

santri, dimulai dari tingkat hukuman yang ringan mengarah kepada tingkat yang

lebih berat. Tetapi, sebelum santri diberi hukuman atas pelanggaran yang

dilakukan, terlebih dahulu ia diberi peringatan (2-3 kali) dari pihak pengurus.

Namun apabila ia dipandang tidak merasa jera, maka akhirnya hukuman

diterapkan. (3) Jenis hukuman psikis, dapat memberikan pengaruh besar dalam

diri santri terhukum, dan ia jauh lebih efektif dalam meningkatkan kedisiplinan

santri Pondok Pesantren Darul Qurro Kawunganten Cilacap daripada hukuman

fisik dan materiil. Sementara jenis hukuman materiil dan fisik, tidak terlalu efektif

dalam meningkatkan kedisiplinan santri dan cenderung disepelekan, kecuali jika

hukuman-hukuman tersebut dilipatgandakan dalam jumlah tertentu. Efektifitas

penerapan hukuman dapat dilihat dari semakin berkurangnya jumlah pelanggaran

yang dilakukan santri dan dilihat secara nyata dari perilaku keseharian santri yang

mencerminkan sifat dan sikap sebagaimana yang diharapkan seperti: kejujuran,

keuletan, kesungguhan dan lain sebagainya.


303

KATA PENGANTAR

Syukur al-hamdu lillah, akhirnya disertasi ini selesai juga disusun, setelah

melalui begitu banyak perbaikan, dan masih terbuka kemungkinan untuk

diperbaiki lagi. Aspek kebaruan atau hal yang baru pada penelitian ini ialah

adanya teori yang mengatakan bahwa anak yang dipukul waktu kecil, akan lebih

sukses dan lebih kuat daya juangnya di masa depan. Teori itu disebut teori

Gannoe, berasal dari ahli psikologi Inggris yang bernama Marjorie Gannoe.

Di samping itu, hal yang paling menarik dan sangat mendorong penulis

memilih penelitian ini ialah inti persamalahannya, yang mampu membuat penulis

meneteskan air mata. Terus terang saja, pada waktu penulis menyusunnya,

penulis masih meneteskan air mata, mengingat kekerasan yang masih berlangsung

terhadap anak-anak di sekolah dan di rumah tangga. Tapi mohon maaf, pada

ungkapan berikut ini, penulis seakan-akan menyampaikan cerita pada umumnya,

padahal ini adalah kisah yang benar-benar nyata, misalnya yang tersiar di surat

kabar Sijori, Batam, Selasa, 03 November 2009 . Gara-gara Tidak Bisa Membaca

,seorang murid SD di Ranai-Natuna dihukum dengan dipaksa meminum air liur

di depan kelas.

Tindakan JS, guru SD Negeri 04 Desa Seluan, Kecamatan Bunguran Utara,

Kabupaten Natuna tidak pantas dilakukan seorang pendidik. Hanya gara-gara

tidak bisa membaca, dia tega memaksa salah seorang muridnya, Ai (9 tahun),

meminum air ludah 13 teman sekelasnya. Akibat perbuatan tidak mendidik


304

tersebut, JS yang lulusan SMK itu diberi sanksi berupa pemotongan gaji sebesar

Rp.200 ribu dan skors tidak boleh mengajar selama tiga bulan. Guru honor

tersebut juga diturunkan pangkatnya menjadi penjaga sekolah. Peristiwa

memalukan ini terungkap saat ayah korban, Aspediyansah, melapor ke Dinas

Pendidikan Nasional (Diknas) Natuna, Senin (2/11). Aspediyansah menuturkan,

kejadian ini bermula saat JS sedang mengajar di kelas 4 SDN 04 Desa Seluan,

Senin (12/10/2009) .

Air mata penulis, lebih deras lagi mengalir, ketika mendapatkan berita

tentang dipotongnya tangan Dita, gadis kecil yang berumur tiga tahun. Ketika

kata pengantar ini diketik, air mata penulis menetes lagi. Berita itu berjudul,

Ayah kembalikan tangan Dita. Laporan Admin 13 Februari 2009 di internet.

Cobalah dibaca dengan sabar, pembaca pasti akan menangis. Simaklah kisah

sepasang suami istri (seperti pasangan lain di kota-kota besar meninggalkan anak-

anak diasuh pembantu rumah tangga sewaktu bekerja). Anak tunggal pasangan

ini, perempuan cantik berusia tiga setengah tahun. Ia sendirian di rumah dan kerap

kali dibiarkan pembantunya karena sibuk bekerja di dapur. Bermainlah dia

bersama ayun-ayunan di atas buaian yang dibeli ayahnya, ataupun memetik bunga

dan lain-lain di halaman rumahnya.

Suatu hari dia melihat sebatang paku berkarat. Dan ia pun mencoret lantai

tempat mobil ayahnya diparkirkan, tetapi karena lantainya terbuat dari marmer

maka coretan tidak kelihatan. Dicobanya lagi pada mobil baru ayahnya.

Yakarena mobil itu berwarna gelap, maka coretannya tampak jelas. Apalagi

anak ini pun membuat coretan sesuai dengan kreativitasnya. Hari itu ayah dan
305

ibunya bermotor ke tempat kerja karena ingin menghindari macet. Setelah sebelah

kanan mobil sudah penuh coretan maka ia beralih ke sebelah kiri mobil.

Dibuatnya gambar ibu dan ayahnya, gambarnya sendiri, lukisan ayam, kucing dan

lain sebagainya mengikuti imajinasinya. Kejadian itu berlangsung tanpa disadari

oleh si pembantu rumah.

Saat pulang petang, terkejutlah pasangan suami istri itu melihat mobil yang baru

setahun dibeli dengan bayaran angsuran yang masih lama lunasnya. Si Bapak

yang belum lagi masuk ke rumah ini pun terus menjerit,

Kerjaan siapa ini!!!

Pembantu rumah yang tersentak dengan jeritan itu berlari keluar. Dia juga

terkejut. Mukanya merah padam ketakutan lebih-lebih lagi melihat wajah bengis

tuannya. Sekali lagi diajukan pertanyaan keras kepadanya, dia terus mengatakan,

Saya tidak tahu..tuan.

Kamu di rumah sepanjang hari, apa saja yang kamu lakukan?

hardik si istri.

Si anak yang mendengar suara ayahnya, tiba-tiba berlari keluar dari

kamarnya. Dengan penuh manja dia berkata

Dita yang membuat gambar itu ayah..cantik kan..!

katanya sambil memeluk ayahnya, karena ingin bermanja seperti biasa. Si ayah

yang sudah kehilangan kesabaran mengambil sebatang ranting kecil dari pohon di

depan rumahnya, terus dipukulkannya berkali-kali ke telapak tangan anaknya. Si


306

anak yang tak mengerti apa-apa menangis kesakitan, pedih sekaligus ketakutan.

Puas memukul telapak tangan, si ayah memukul pula belakang tangan anaknya.

Sedangkan si ibu cuma mendiamkan saja, seolah merestui dan merasa puas

dengan hukuman yang dikenakan.

Pembantu rumah terbengong, tidak tahu harus berbuat apa Si ayah cukup

lama memukul-mukul tangan kanan dan kemudian ganti tangan kiri anaknya.

Setelah si ayah masuk ke rumah diikuti si ibu, pembantu rumah tersebut

menggendong anak kecil itu, membawanya ke kamar. Dia terperanjat melihat

telapak tangan dan belakang tangan si anak kecil luka-luka dan berdarah.

Pembantu rumah memandikan anak kecil itu. Sambil menyiramnya dengan air,

dia ikut menangis. Anak kecil itu juga menjerit-jerit menahan pedih saat luka-

lukanya itu terkena air. Lalu si pembantu rumah menidurkan anak kecil itu. Si

ayah sengaja membiarkan anak itu tidur bersama pembantu rumah. Keesokkan

harinya, kedua belah tangan si anak bengkak. Pembantu rumah mengadu ke

majikannya. Oleskan obat saja! jawab bapak si anak.

Pulang dari kerja, dia tidak memperhatikan anak kecil itu yang menghabiskan

waktu di kamar pembantu. Si ayah mau memberi pelajaran pada anaknya. Tiga

hari berlalu, si ayah tidak pernah menjenguk anaknya sementara si ibu juga

begitu, meski setiap hari bertanya pada pembantu rumah. Dita demam,

Bujawab si pembantu ringkas. Kasih minum Panadol saja, jawab si ibu.

Sebelum si ibu masuk kamar tidur, ia menjenguk kamar pembantunya. Saat

dilihat anaknya Dita dalam pelukan pembantu rumah, dia menutup lagi pintu

kamar pembantunya. Masuk hari keempat, pembantu rumah memberitahukan


307

tuannya bahwa suhu badan Dita terlalu panas. Sore nanti kita bawa ke

klinik..Pukul 5.00 sudah siap kata majikannya itu. Sampai saatnya si anak yang

sudah lemah dibawa ke klinik.

Dokter mengarahkan agar ia dibawa ke rumah sakit karena keadaannya

sudah serius. Setelah beberapa hari dirawat inap, dokter memanggil bapak dan ibu

anak itu. Tidak ada pilihan lain

kata dokter tersebut yang mengusulkan agar kedua tangan anak itu dipotong

karena sakitnya sudah terlalu parah dan infeksi akut Ini sudah bernanah, demi

menyelamatkan nyawanya maka kedua tangannya harus dipotong dari siku ke

bawah kata dokter itu. Si bapak dan ibu bagaikan terkena halilintar mendengar

kata-kata itu. Terasa dunia berhenti berputar, tapi apa yang dapat dikatakan lagi

Si ibu meraung merangkul si anak. Dengan berat hati dan lelehan air mata,

Secara naluri mengatakan

maafkan ibu anakku.

Sang ayah bergetar tangannya menandatangani surat persetujuan

pembedahan dan pemotongan tangan anaknya. Keluar dari ruang bedah, selepas

obat bius yang disuntikkan habis, si anak menangis kesakitan. Dia juga keheranan

melihat kedua tangannya berbalut kain kasa putih. Ditatapnya muka ayah dan

ibunya. Kemudian ke wajah pembantu rumah, yang semuanya pucat pasi, dengan

bibir bergetar. Dita mengerutkan dahinya melihat mereka semua menangis.

Dalam siksaan menahan sakit, si anak bersuara dalam linangan air mata.
308

Ayah..ibu..Dita tidak akan melakukannya lagi

Dita tidak mau lagi ayah pukul. Dita tidak mau jahat lagi

Dita sayang ayahsayang ibu.,


katanya berulang kali membuat si ibu gagal menahan rasa sedihnya.
Dita juga sayang Mbok Narti..

Dita memandang wajah pembantu rumah, sekaligus membuat wanita itu meraung
histeris.

Ayahkembalikan tangan Dita.


Untuk apa diambil?
Dita janji tidak akan mengulanginya lagi!

Bagaimana caranya Dita mau makan nanti?.

.Bagaimana caranya Dita mau bermain nanti?..

Dita janji tidak akan mencoret-coret mobil lagi.

katanya berulang-ulang. Serasa hancur hati si ibu mendengar kata-kata anaknya.

Meraung-raung dia sekuat hati namun apa yang sudah terjadi tiada manusia dapat

menahannya. Nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya si anak yang cantik itu

meneruskan hidupnya tanpa kedua tangan dan ia masih belum mengerti mengapa

tangannya tetap harus dipotong meski ia sudah meminta maaf. Tindakan bullying

yang berlebihan sepeti ini, layak dibaca oleh semua orang. Akhirnya penulis

mengucapkan terima kasih kepada

2. Prof. Dr. Amir Lutfi,sebagai pembimbing disertasi ini.


3. Prof. Dr. Alaiddin Koto,M.A.

Pekanabaru 1 Juni 2011.


Penulis
309

Drs.Muhammad Rakib,S.H.,M.Ag.

Anda mungkin juga menyukai