MATERI INTI 1
PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
JAKARTA
2017
0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya pembuatan Modul
Pelatihan Penanggulangan TB di Fasyankes Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang
terintegrasi dengan keluarga sehat.
Materi Modul Pelatihan TB di Fasyankes Rujukan Tingkat Lanjut ini memberikan petunjuk
pelatihan yang harus diberikan kepada seluruh pelayanan kesehatan tingkat pertama
dalam upaya Penanggulangan TB di Indonesia.
Modul ini menguraikan tentang gambaran umum TB; situasi TB di dunia dan Indonesia,
menjelaskan program penanggulangan TB di Indonesia, strategi dan kebijakan
penanggulangan TB; dan pengorganisasian penanggulangan TB. Selain itu diberikan
petunjuk pelatihan mengenai strategi penemuan kasus, diagnosis TB pada orang dewasa,
diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan OAT, diagnosis TB ekstraparu, diagnosis TB
dengan komorbid, dan definisi kasus TB serta klasifikasi pasien TB. Setelah ditegakkan
diagnosis dan klasifikasi kasus bagi setiap pasien TB sensitif maupun pasien TB Resistan
Obat (RO) dilanjutkan pengobatan yang bisa dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut (FKRTL).
Di dalam modul ini selain berisi petunjuk pelatihan bagaimana kebijakan, strategi
penanggulangan, yang diikuti bagaimana menemukan dan mengobati tuberkulosis,
terdapat juga petunjuk pelatihan penguatan kepemimpinan program TB; peningkatan
akses pelayanan TB yang bermutu; pengendalian faktor risiko TB; peningkatan kemitraan;
peningkatan kemandirian masyarakat dalam pengendalian TB; dan penguatan manajemen
program TB.
Modul ini juga memberikan petunjuk penanggulangan TB yang berintegrasi dengan
pelaksanakan Program Indonesia Sehat yang diselenggarakan melalui pendekatan
keluarga, yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya
kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan, dengan target keluarga,
berdasarkan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih ada kekurangan, untuk itu kami
menerima masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan di masa yang akan datang.
Penulis
1
TIM PENYUSUN
Pelindung:
dr. H.M. Subuh, MPPM (Direktur Jendral P2P)
Pengarah:
1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)
2. dr. Asik Surya, MPPM (Kepala Subdit TB)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. dr. Yullita Evarini Y., MARS
Editor
Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes
Anggota:
1. Audia Jasmin Armanda, SKM
2. dr. Endang Lukitosari, MPH
3. dr. Fatiyah Isbaniah, Sp.P
4. dr. Firza Asnely Putri
5. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
6. H D Djamal, M.Si
7. dr. Hedy B Sampurno, MPH
8. Dra. Katamanis Tarigan, SKM
9. Dr. Novayanti Tangirerung
10. Rizka Nur Fadila, SKM
11. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
12. Saida N. Debataradja, SKM
13. dr. Setiawan Jati Laksono
14. drg. Siti Nur Anisah, MPH
15. dr. Sity Kunarisasi, MARS
16. Sulistyo, SKM, M.Epid
17. Suwandi SKM, M. Epid
18. dr. Wihardi Triman, MQIH
19. dr. Zulrasdi Djairas, SKM
2
DAFTAR ISI
TIM PENYUSUN . 2
DAFTAR ISI . 3
DAFTAR SINGKATAN . 4
I. DESKRIPSI SINGKAT . 5
II. TUJUAN PEMBELAJARAN . 5
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) .. 5
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) .5
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN ..6
IV. METODE .. 6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU.... 7
VI. LANGKAHLANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN 7
A. Langkah 1 : Pengkondisian peserta .............. 7
B. Langkah 2 : Review Pokok Bahasan................. 7
C. Langkah 3 : Pembahasan per materi ............... 7
D. Langkah 4 : Pembahasan studi kasus ................ 7
E. Langkah 5 : Rangkuman................. 8
VII. URAIAN MATERI 8
A. Strategi penemuan terduga TB 8
B. Definisi kasus . 9
C. Penegakan diagnosis TB ... 10
D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium 26
E. Klasifikasi pasien TB 33
F. Komunikasi Motivasi 36
G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko 48
H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TB 50
VIII. REFERENSI ... 50
IX. LAMPIRAN..50
3
DAFTAR SINGKATAN
4
I. DESKRIPSI SINGKAT
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis
(TB) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penularan terjadi secara aerogen.
Pasien TB paru menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Sumber penularan adalah pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA positif) yang
saat batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan droplet (percikan dahak) yang
mengandung kuman M. tuberculosis.
Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis adalah dengan
menemukan Pasien TB secara dini serta mengobati dengan tuntas, sehingga bahaya
penularan tidak ada lagi.
Kegiatan penemuan Pasien TB paru di Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
dilakukan dengan cara menemukan pasien yang mempunyai gejala mengarah ke TB:
yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih, berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri
dada dan gejala penyakit paru lainnya. Diagnosis Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
adalah dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan dan test cepat molekuler (TCM). Cara
diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan menemukan kuman TB melalui
pemeriksaan dahak Pasien yang bersangkutan secara konvensional yaitu: pemeriksaan
mikroskopik apusan dahak dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN) dan biakan, serta
identifikasi M. tuberculosis secara tes cepat. Tes cepat yang digunakan saat ini adalah
tes bio-molekuler, menggunakan alat Xpert/ MTB Rif. Jika konfirmasi bakteriologis tidak
diperoleh, maka diagnosis TB ditegakkan secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan
penunjang yang sesuai.
Modul penemuan pasien tuberkulosis akan membahas tentang strategi penemuan TB di
Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), diagnosis TB Paru pada orang dewasa,
diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan OAT, TB Ekstraparu, diagnosis TB dengan Ko-
morbid, definisi kasus TB, klasifikasi pasien TB, komunikasi motivasi, upaya pengendalian
faktor risiko, serta pencatatan dan pelaporan TB.
.
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu melakukan penemuan Pasien TB
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan strategi penemuan terduga TB
2. Menjelaskan Definisi kasus TB
3. Melakukan Penegakan Diagnosis TB
5
4. Melakukan Pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan Klasifikasi Pasien TB.
6. Melakukan Komunikasi Motivasi
7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko
8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TB
IV. METODE
A. Ceramah dan Tanya Jawab
B. Curah Pendapat
C. Studi kasus
6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
A. Bahan Tayang,
B. Panduan Studi Kasus,
C. Modul,
D. Formulir: TB 06, TB.05, TB.04, TB.16, TB.15,
E. Laptop,
F. LCD,
G. Pointer,
H. Papan flipchart,
I. Kertas flipchart,
J. Spidol.
7
2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi pembelajaran
yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi kasus.
3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus.
4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok.
5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan
pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain.
6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.
Langkah 5: Rangkuman
1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sesuai pokok
bahasan
2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta tentang
materi Penemuan Pasien TB, merangkum hasil pembahasan, dan memberikan
penekanan pada hal-hal yang penting.
3. Pelatih/Fasilitator membuat kesimpulan materi pembelajaran.
8
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien TB
pada fasyankes dilaksanakan melalui penguatan jejaring layanan antar
fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB, untuk menghindari
terjadinya miss-opportunity yang disebabkan karena keterbatasan sarana
diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang kontak pertama dengan pasien
TB. Contoh: fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk
pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM.
b. Kolaborasi layanan
Berupa kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB ke dalam
layanan kesehatan lain yang tersedia di fasyankes, misalnya di poliklinik
umum, unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti
merokok, klinik KIA dan ANC. Secara manajemen layanan penemuan pasien
TB juga harus diintegrasikan kedalam sistem manajemen kesehatan yang
diterapkan di fasyankes misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP
(PAL = Practical Approach to Lung health), ManajemenTerpadu Balita Sakit
(MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS).
Penjaringan terduga TB di faskes dapat juga dilakukan melalui penapisan
batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi
pelayanan kepada pasien.
Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang
aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.
9
b. Penemuan di tempat khusus:
Penemuan aktif yang dilakukan di lingkungan yang mudah terjadi penularan
TB yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa, tempat kerja, asrama, pondok pesantren,
sekolah, panti jompo. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat
dilakukan dengan skrining masal tahunan, skrining kesehatan warga baru,
skrining kontak dan pemantauan batuk secara rutin
c. Penemuan di populasi berisiko:
Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan pada tempat yang memiliki akses
terbatas ke layanan kesehatan, misalnya: tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan).
d. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader kesehatan
yang melakukan pengawasan batuk terhadap orang yang tinggal di
lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk memeriksakan
diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk ini bisa diintegrasikan
kepada kegiatan kader kesehatan yang sudah rutin berjalan misalnya
kegiatan ketuk pintu kader kesehatan, kegiatan jumantik, kader posyandu dan
kegiatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang lain.
e. Penemuan aktif berkala
Dilakukan oleh FKTP Puskesmas di wilayah yang teridentifikasi sebagai
daerah kantung TB, yaitu RT yang memiliki jumlah pasien TB di > 3 orang
berdasarkan kegiatan PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis
data TB setempat. Penemuan aktif berkala dilakukan dengan kegiatan
skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada
kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali berturut-turut.
f. Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan sekali setahun untuk
meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan kasusnya
masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/
kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining
gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan
kesehatan luar gedung.
B. Definisi kasus
Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB. Kepada semua
terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan bakteriologis TB terlebih dahulu.
Sesuai dengan hasil pemeriksaan bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari
dua, yaitu:
10
1. Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM
TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.
Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat dan
dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum.
C. Penegakan diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Identifikasi Terduga TB
11
Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining gejala
maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang bersangkutan.
Skrining Gejala:
Identifikasi terduga TB yang dilakukan berdasarkan keluhan atas gejala dan tanda
TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB
yang meliputi:
a. Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB
yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau
lebih.
b. Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap orang
yang datang ke Faskes dengan gejalan tersebut diatas dianggap sebagai terduga
pasien TB dan perlu dilakukian pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Selain identifikasi terduga TB dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan juga
pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien
TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan
orang yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan
infeksi paru.
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium TB untuk pasien yang
memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan meskipun tanpa batuk
berdahak >2 minggu.
Skrining Radiologis:
Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi pemeriksaan fo to
toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke
arah TB harus di evaluasi TB.
Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh dari proses
penegakan diagnosis TB maupun pada proses penegakan diagnosis penyakit yang
lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks pada pemeriksaan kesehatan rutin
umum (general check-up) dan pemeriksaan kesehatan khusus.
Pasien yang teridentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining gejala maupun
skrining radiologis harus di evaluasi untuk menegakkan diagnosis TB secara
bakteriologis maupun klinis.
12
a. Identifikasi Terduga TB Anak
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk
persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan
tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap tidak khas karena juga
dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat
khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi
yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika
atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk
masalah berat badan).
Gejala sistemik/umum TB pada anak sebagai berikut:
1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2) Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama (2 minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika
atau obat asma (sesuai indikasi).
4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.
b. Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO)
Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap
OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau
lebih di bawah ini:
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit
selama 1 bulan.
4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
13
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan
pengobatan.
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan
kategori 2.
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO,
termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian
padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun
klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak
menggunakan TCM TB).
d. Identifikasi TB HIV
Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TB dilakukan
pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau terkonsentrasi.
Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB
HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan pasien yang
mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk mengetahui status HIV
mereka.
Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes
HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas.
14
Pada dasarnya petugas tahu tentang manfaat tes HIV, namun kadang kadang
tidak cukup peka terhadap risiko yang mungkin terjadi pada seseorang bila hasil
tes positif.
Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes secara rutin,
informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling yang lengkap, namun
cukup untuk menyakinkan pasien untuk memberikan persetujuan. Pada pasien
tertentu atau pasangan dari pasien mungkin memerlukan konseling tambahan
yang lebih lengkap dan untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan
penting dalam menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan rujukan ke
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasienTB yang hasil testnya
HIV positif.
Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan secara
individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent)
harus selalu diberikan secara individual, disaksikan oleh petugas.
Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien dengan petugas dianggap
sebagai:
Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya.
Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan mengurangi
penularan ke orang lain.
Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi masih
mempunyai risiko tertular HIV.
Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup berkeluarga
atau mempunyai anak.
Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (sekitar 10%
atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena misalnya TB Pleura,
TB Perikarditis, TB Milier, TB meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat
penegakan diagnosis TB pada pasien dengan HIV positif maka penegakan
diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan TCM TB seperti pada Alur Diagnosis TB
dan TB Resistan Obat di Indonesia.
a. Pemeriksaan Bakteriologis
1) Pemeriksaan mikroskopis langsung dahak
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
dapat menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak, berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.
Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana
pasien menjalani rawat inap.
16
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan di sarana laboratorium yang
terpantau mutunya.
d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.
17
2) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
4) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui
Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Foto
Toraks
(- -)
Tidak bisa
Terapi
Antibiotika
Non OAT
(+ +) (+ -)
TB Terkonfirmasi
Bakteriologis
MTB Pos, Rif
Sensitive
TB Terkonfirmasi
Bakteriologis
MTB Pos, Rif
Resistance
TB RR
MTB Neg
Foto Toraks
Gambaran
Mendukung
TB
Tidak
Mendukung
TB
Pengobatan
TB Lini 1
Mulai Pengobatan TB RO
Gambaran mendukung TB
Tidak Mendukung TB
TB Klinis
Bukan TB
dokter
TB Klinis
Lanjutkan
Pengobatan TB RO
Pengobatan TB RO
dengan Paduan Baru
TB Klinis
Pengobatan
TB Lini 1
Pengobatan
TB Lini 1
Cari kemungkinan penyebab penyakit lain
Keterangan alur:
1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB:
a.) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis
TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi
dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM
melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll),
penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b.) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB dengan
HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis
TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan Tes
Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan
contoh uji.
19
c.) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif
Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-RO, pada hasil
Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk
pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan metode cepat)
d.) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas
cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan
lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).
e.) Pasien dengan hasil MTb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari
kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f.) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji
kepekaan.
g.) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB
RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
h.) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay)
Lini-2 atau dengan metode konvensional
i.) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre
XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j.) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks.
Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter,
pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari
kemungkinan penyebab lain.
20
dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis.
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
a) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
b) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
c) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dll
4. Diagnosis TB Anak
Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TB, maka alur penegakan
diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut :
Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB:
Batuk 2 minggu
Demam 2 minggu
BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
Malaise 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang
Keterangan:
*)
Skoring
Skor 6
Skor <
Uji tuberkulin (+
dan/atau ada kontak TB
Uji tuberkulin (-)
dan Tidak ada kontak TB
TB anak
Ada kontak
TB paru**)
Tidak ada/tidak jelas kontak
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi p
basktien
rioTloBgip
s aru**)
***)
Evalua Terapi
OAT***)
Observasi gejala selama 2 minggu
21
Menetap
Menghilan
Bukan TB
Tabel 1 Skoring sistem TB Anak
Parameter 0 1 2 3 Skor
KontakTB Tidak jelas - Laporan BTA(+)
keluarga, BTA(-
)/BTAtidak
jelas/tidaktahu
Uji tuberculin Negatif - - Positif (10 mm
(Mantoux) atau 5 mm
pada
imunokompromais)
Berat Badan/ - BB/TB<90% atau Klinis gizi -
Keadaan Gizi BB/U<80% buruk atau
BB/TB<70%
atau
BB/U<60%
Demam yang tidak diketahui - 2 minggu - -
Penyebabnya
Penjelasan:
a. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi sputum.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu spesimen
diperiksa memberikan hasil positif.
b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB
anak.
22
c. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis
adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat
diagnosis.
e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda TB, evaluasi TB
juga harus dilakukan pada setiap anak yang berkontak dengan pasien TB.
Investigasi kontak pada anak dilakukan sesuai alur berikut:
Bagan 3. Alur Investigasi Kontak (IK) pada Anak yang berkontak dengan pasien
TB sensitif obat
Anak berkontak
dengan pasien TB sensitif OAT
gejala TB
Tidak
Ada
Follow up rutin
TIDAK
Lihat alur diagnosis TB pada Anak
Observasi
Lengkapi pemberian INH
selama 6 bulan
23
Pada anak yang berkontak dengan pasien TB-RO, evaluasi dilakukan oleh
spesialis anak. Jika kontak bergejala, maka pemeriksaan contoh uji dilakukan
dengan pemeriksaan TCM.
Semua kontak anak yang tidak menunjukkan gejala TB, baik yang mendapatkan
maupun yang tidak mendapatkan pengobatan pencegahan, tetap harus
diobservasi selama 2 tahun.
Pada setiap pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TB-RO perlu pemeriksaan:
25
Second LineLPA (SL-LPA) untuk mendeteksi resistansi terhadap
fluorokinolon dan obat injeksi lini kedua sebagai dasar menentukan pengobatan
TB-RO dengan paduan standar jangka pendek.
Biakan dan uji kepekaan menggunakan paket pemeriksaan uji
kepekaan (Standardized DST Package/SDP) yang mendeteksi kepekaan
terhadap OAT lini pertama dan kedua, yaitu: Isoniazid, Kanamisin, Kapreomisin,
Ofloksasin dan Moksifloksasin.
Catatan:
Petugas laboratorium harus menyimpan salah satu dari 2 contoh uji, sehingga
apabila hasil pemeriksaan resistan rifampisin maka contoh uji dapat dikirim ke
fasyankes yang mampu melakukan pemeriksaan SL-LPA tanpa harus
mengumpulkan contoh uji baru.
26
1) Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan dahak
(sesuai TB.06);
2) Berikan pot dahak pada terduga;
3) Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan
memperhatikan arah angin);
4) Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan
membatukkan dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan erat;
5) Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;
6) Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan air.
27
P (Pag i): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, setelah bangun
tidur dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di Fasilitas Kesehatan.
c. Kualitas dahak yang baik didapat dengan memperhatikan hal-hal dibawah ini:
1) Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai pentingnya
pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk diagnosis maupun
pemeriksaan dahak ulang;
2) Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk yang benar
untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;
3) Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang baik untuk
pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-hijauan (mukopurulen)
dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu dahak tidak memenuhi syarat (air liur),
petugas harus meminta terduga untuk mengulang mengeluarkan dahak;
4) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah terpakai dan
harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap keamanan dan keselamatan kerja
di laboratorium TB.
28
2) Di Fasilitas Kesehatan: minum satu gelas teh manis sebelum melakukan olah
raga ringan (lari-lari kecil), kemudian menarik nafas yang dalam beberapa
kali, kemudian menahan nafas beberapa saat, lalu batukkan dengan kuat
untuk mengeluarkan riak/dahak. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya
Pneumothoraks.
3) Induksi sputum
Induksi sputum merupakan prosedur untuk merangsang produksi dahak agar
mudah dibatukkan atau diaspirasi dengan alat. Prosedur ini berisiko rendah
dan dapat dilakukan untuk pasien dewasa atau anak. Karena pasien dewasa
umumnya dapat berdahak langsung, maka induksi sputum dilakukan pada
pasien yang sulit berdahak. Hanya sedikit efek samping yang dilaporkan,
seperti coughing spells, mild wheezing dan epistaksis. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan aman pada bayi oleh petugas terlatih dengan peralatan
khusus.
Induksi sputum merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol, sehingga
sebaiknya dilakukan di ruang yang memiliki kendali infeksi memadai.
Pendekatan umum
Prosedur dilakukan pada pasien yang cukup sehat. Pasien anak dengan
karakteristik di bawah ini sebaiknya tidak menjalani induksi sputum:
Prosedur
29
c) Berikan fisioterapi dada bila perlu; hal ini berguna untuk memobilisasi
sekresi.
d) Untuk pasien dewasa atau anak cukup umur, dahak dibatukkan secara
spontan
e) Untuk pasien anak usia muda yang tidak dapat membatukkan dahak,
lakukan :
(1) suction hidung untuk membersihkan sekresi nasal atau
(2) aspirasi nasofaringeal untuk mengumpulkan contoh uji yang
sesuai.
Setiap peralatan yang akan digunakan kembali harus didisinfektan dan
disterilisasi sebelum digunakan pada pasien berikutnya.
a. Bilas lambung
Bilas lambung digunakan terutama pada pasien anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak secara spontan atau dengan induksi sputum. Bilas
lambung dilakukan pagi hari untuk mengumpulkan dahak yang tertelan dan
tertinggal di lambung. Anak puasa setidaknya 4 jam (3 jam pada bayi)
sebelum prosedur dan anak dengan hitung trombosit yang rendah atau
kemungkinan pendarahan sebaiknya tidak menjalani prosedur ini.
30
2) Tentukan jarak antara hidung dan lambung, untuk memperkirakan jarak
yang akan dibutuhkan untuk memasukkan tube ke dalam lambung.
3) Sambungkan syringe ke nasogastric tube.
4) Masukkan nasogastric tube dengan lembut melalui hidung sampai ke
lambung.
5) Aspirasi isi lambung (2-5 ml) menggunakan syringe yang sudah melekat
ke nasogastric tube.
6) Untuk memeriksa posisi tube benar atau tidak, test isi lambung dengan
kertas litmus, kertas litmus biru berubah menjadi merah (dalam respons
terhadap asam lambung). Juga bisa diperiksa dengan memasukkan udara
(3-5 ml) dari syringe ke lambung dan dengarkan menggunakan stetoskop.
7) Jika tidak ada cairan yang teraspirasi, masukkan 5-10 ml air atau normal
saline dan coba untuk mengaspirasi lagi
Jika masih belum berhasil coba lagi (walaupun posisi nasogastric
tube tidak benar dan air ataupun normal salin masuk ke dalam
saluran udara, risiko efek samping sangatlah kecil)
Jangan diulangi lebih dari tiga kali.
8) Ambil isi lambung (idealnya 5-10 ml)
9) Pindahkan cairan lambung dari syringe ke kontainer steril (pot dahak).
10) Tambahkan volume cairan sodium bicarbonate sejumlah spesimen (untuk
menetralkan isi lambung yang asam dan mencegah kerusakan basil
tuberkel).
Setelah prosedur
31
b. Pemberian Nomor Identitas Sediaan.
1) Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya untuk
menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan.
2) Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan sesuai dengan
identitas pada pot dahak dengan menggunakan pinsil 2B.
3) Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah
kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang berasal dari Fasilitas
Kesehatan itu sendiri maupun dari Fasilitas Kesehatan lain.
4) Nomor identitas sediaan terdiri dari 3 kelompok angka dan 1 huruf,
sebagai berikut:
a) Kelompok angka pertama terdiri dari 2 angka, misalnya 02, yang
merupakan nomor urut kabupaten / kota.
b) Kelompok angka kedua juga terdiri dari 5 angka, misalnya 015 01
yang merupakan nomor urut Fasilitas Kesehatan dan kode Poliklinik.
Tiga angka pertama adalah nomor kode Fasilitas Kesehatan. Untuk
FKRTL yang pasien TB dapat bersumber dari beberapa poliklinik,
maka dua angka berikutnya merupakan nomor kode SMF atau
poliklinik asal pasien TB, untuk contoh diatas 015 merupakan nomor
kode FKRTL, 01 merupakan kode poli misalnya poli Paru atau Poli
Penyakit Dalam. Pemberian nomor urut poliklinik disepakati intern RS.
c) Kelompok angka ketiga terdiri dari 4 angka, misalnya 0117, yang
merupakan nomor urut sediaan. Nomor urut sediaan dimulai dengan
nomor 001 setiap awal tahun. Angka ini didapat dari kolom pertama
format TB.06
d) Huruf A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B untuk dahak pagi.
Contoh nomor identitas sediaan:
02/015001/0117 A, 02/015001/0117 B.
e) Kode huruf pada sediaan dahak adalah sebagai berikut:
(1) Diagnosis : A, B
(2) Follow up
Tahap awal: D, E
Bulan kelima: F, G
AP : H, I
Bulan ke 3 : J, K
32
E. Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TB tersebut di atas, pasien TB
juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya,
status resistensi OAT dan status HIV. Klasifikasi pasien TB tersebut bertujuan untuk:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan
riwayat pengobatan
5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam
maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.
33
Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan secara
bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan dengan organ
yang terkena proses TB terberat.
34
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti
resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) secara
bersamaan. Apabila hanya resistan terhadap OAT golongan fluorokuinolon atau
OAT lini kedua jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal sebagai kasus TB
pre-XDR.
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (Tes Cepat Molekuler) atau metode fenotip
(konvensional).
4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB
dengan:
1) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
2) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
1) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
2) Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif.
35
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes
HIV terakhir.
F. Komunikasi Motivasi
Pengobatan pasien TB memakan waktu yang lama, diperlukan suatu upaya serta tekad
yang kuat dari pasien dengan dukungan lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani
pengobatan sampai sembuh. Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar
dapat memotivasi dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan
yang dijalaninya.
Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan komunikasi
untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan perilaku dalam masalah
kesehatan dapat diselesaikan dengan pendekatan KM.
a. Menunjukkan empati
36
Contoh :
Pasien mengatakan : Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan TB karena
saya harus minum obat banyak sekali.
b. Hindari perdebatan
Contoh :
Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping obat berupa
mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek samping ini dapat diatasi
dengan cara berkonsultasi ke puskesmas dan mendapatkan obat untuk
menanggulangi efek samping tersebut tanpa harus berhenti meminum obat demi
kesembuhan pasien.
Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil keputusan terkait
dengan masalah kesehatannya. Petugas membimbing pasien untuk memberikan
gambaran tentang kondisi berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil
keputusan untuk berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat
dampak negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk
membuat suatu keputusan yang tepat.
Contoh :
Bila pasien menolak memulai pengobatan TB, Petugas dapat membimbing pasien
untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan apabila pasien meminum obat dan
tidak menjalankan pengobatan TB. Pasien diminta untuk membandingkan kedua
hal tersebut.
37
d. Memampukan pasien dalam membuat keputusan
Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu pasien dalam
meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
pasien untuk berubah menjadi lebih baik.
Contoh :
3. Keterampilan dasar KM
Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya mendengarkan apa
yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan secara aktif adalah bagaimana
petugas menanggapi kata-kata pasien. Oleh karena itu teknik ini kadang disebut
juga empati atau mendengarkan secara aktif.
Menceramahi
Menganalisa
38
Meyakinkan atau memberi simpati
Contoh:
39
segala yang pasien katakan ini melelahkan petugas, dan menjengkelkan bagi
pasien.
Contoh:
Pasien : Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya sakit TB -RO,
tapi saya takut.
Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: Di satu pihak ,
di lain pihak
40
b. Peneguhan (afirmasi) Melihat sisi positif
Afirmasi adalah menekankan hal yang positif. Seringkali petugas lebih fokus
mengkoreksi kesalahan pasien sehingga lupa perilaku positif pasien.
Meskipun anda tidak terlalu berhasil, anda menunjukkan niat untuk sembuh
Terima kasih karena telah kembali sesuai janji ini menunjukkan anda
memperhatikan kesehatan anda dengan serius!
Afirmasi juga bisa digunakan untuk mengemas sikap atau situasi pasien
dengan positif.
Contoh:
Anda kesal dengan diri anda sendiri karena telah berjanji untuk minum obat
TB/ARV setiap hari. Anda terganggu dengan efek samping obat yang
menyebabkan mual dan muntah-muntah. Anda tetap berusaha untuk datang
minum obat setiap hari ke Puskesmas. Anda mempunyai kemauan kuat untuk
sehat.
Penting untuk diingat bahwa afirmasi bukan memuji. Memuji bisa menjadi
hambatan berkomunikasi dengan pasien karena menempatkan petugas dalam
posisi menilai pasien dimana petugas memutuskan perilaku mana yang dipuji
dan mana yang dikritisi. Ada beberapa cara untuk menghindari masalah ini:
Apabila pasien tiba-tiba dihadapkan pada banyak pertanyaan, maka pasien akan
merasa diinterogasi. Pertanyaan yang diajukan dapat memberikan informasi
spesifik, namun menunjukkan posisi petugas yang lebih superior dan dapat
merusak hubungan yang dibangun. Pertanyaan yang lebih baik: Efek samping
apa yang anda rasakan setelah minum obat TB?.
Contoh:
Pesan yang ingin disampaikan disini ialah bahwa pertanyaan tertutup bukan
berarti tidak boleh digunakan sama sekali, namun digunakan sesuai dengan
keperluannya.
43
2) Petugas tidak perlu memberikan semua informasi namun sesuai dengan
kebutuhan dan perspektif pasien sehingga pasien dapat mengambil
kesimpulan sendiri.
Ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui tentang efek samping dari
pengobatan TB.
Strategi ini ditujukan untuk membantu petugas agar waktu yang terbatas dapat
difokuskan pada pemberian informasi yang bermanfaat bagi pasien.
Mendapat persetujuan
Apakah Anda berminat untuk mendengar lebih lanjut mengenai TB Resistan Obat
Apakah Anda keberatan kalau saya ceritakan bagaimana orang lain berhasil
melakukannya?
Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kita menghormati pasien dan dapat
membuat pasien lebih mendengarkan apa yang petugas katakan. Apabila hubungan
44
antara petugas dan pasien baik, maka pasien hampir selalu menyetujui permintaan
petugas.
Kadang-kadang pasien memiliki pemahaman yang salah dan petugas perlu
mengkoreksi pemahaman tersebut. Teknik yang dapat digunakan tanpa menggurui
dan tidak mengurangi rasa hormat ialah:
Contoh :
Petugas: Ceritakan kepada saya apa yang Ibu tahu tentang melindungi diri Ibu dari
penularan TB ?.
Pasien: Saya tahu saya harus menggunakan masker. Tapi mustahil bagi saya untuk
menggunakan masker terus menerus. Mereka merasa saya sebagai orang aneh
dengan memakai masker terus!
Petugas : Jadi walaupun Ibu tahu cara untuk tetap aman, Ibu merasa tidak berdaya
untuk melakukan apa-apa. Saya kenal banyak wanita yang merasakan hal yang
sama waktu mereka pertama memakai masker. Tetapi mereka berusaha dan
mereka menemukan cara meyakinkan bahwa masker akan mencegah penularan
TB. Apa Ibu mau mendengar beberapa cara yang sudah berhasil bagi wanita -wanita
lain?
45
Perlu diperhatikan bahwa memberi saran dengan 3B (Bertanya - Beritahu
Bertanya) berfokus pada perubahan dimana ada potensi pasien akan melawan.
Oleh karena itu, memberi saran bukan hal utama dari strategi KM. KM berfokus
menumbuhkan solusi yang datang dari pasien dan bukan dari petugas. Pada saat
petugas perlu memberi saran, ingatlah beberapa hal ini:
a. Minta persetujuan (seperti bila anda akan memberi informasi)
Ingat, petugas dapat memberi informasi (atau saran) tapi petugas tidak dapat
mengharapkan reaksi pasien sesuai keinginan petugas. Lebih baik bila petugas
bertanya untuk mendapatkan persetujuan.
Langkah ketiga dalam 3B adalah menanyakan lagi kepada pasien untu k menilai
pengertian, interpretasi atau tanggapan mereka terhadap informasi dan/atau saran
yang baru disampaikan. Ini harus dilakukan secara teratur, tiap kali setelah
memberi informasi.
Caranya beragam:
7. Menggabungkan semuanya
46
(Senang bertemu Anda kembali!), lalu bergerak ke pertanyaan terbuka
(Bagaimana dengan perubahan-perubahan yang kita diskusikan waktu itu?)
setelah itu anda bisa mendengarkan secara reflektif untuk memandu percakapan
dengan pasien (Kedengarannya Anda sedikit kewalahan ) dan 3B untuk
memberi informasi baru (Maukah Anda mendengar pengalaman orang lain yang
berhasil mengatasi situasi seperti anda?) lalu merefleksikan dan merangkum
perasaan, ide dan pengalaman pasien sementara terus meneguhkan contoh -
contoh perubahan yang positif. Keterampilan KM bisa diulangi terus-menerus
dalam berbagai kombinasi.
47
48
Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan cara
pengobatan.
Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan penularan TB.
Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.
2. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TB
Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai dengan
mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat. Upaya yang
dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kuman Penyebab TB
Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan pengobatan tetap
tinggi
Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TB) yang
mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV, diabetes, dll.
b. Pengendalian Faktor Risiko Individu
Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, makan
makanan bergizi, dan tidak merokok
Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang dahak bagi
pasien TB
Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas nutrisi bagi
populasi terdampak TB
Pencegahan bagi populasi rentan melalui vaksinasi dan pengobatan
pencegahan (Materi pencegahan bagi populasi rentan dibahas lebih lanjut
pada modul pengobatan)
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
Mengupayakan lingkungan sehat
Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat
d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko tinggi penularan
TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan, tempat kerja, institusi pendidikan
49
berasrama, dan tempat lain yang teridentifikasi berisiko.
Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil, belum ada
program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam pemberian
pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Semua fasyankes
yang memberi layanan TB harus menerapkan PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan
seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Materi PPI TB akan
dibahas lebih lanjut pada modul Manajemen.
VIII. REFERENSI
A.
eraturan Menteri Kesehatan TB No.67 tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis
B.
trategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2015-2019
C.
encana Aksi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2015-2019
IX. LAMPIRAN
50