Anda di halaman 1dari 50

PELATIHAN PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS BAGI PETUGAS

KESEHATAN DI FASILITAS KESEHATAN RUJUKAN TINGKAT LANJUT

MATERI INTI 1
PENEMUAN PASIEN TUBERKULOSIS

KEMENTERIAN KESEHATAN RI
DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
JAKARTA
2017

0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas selesainya pembuatan Modul
Pelatihan Penanggulangan TB di Fasyankes Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang
terintegrasi dengan keluarga sehat.
Materi Modul Pelatihan TB di Fasyankes Rujukan Tingkat Lanjut ini memberikan petunjuk
pelatihan yang harus diberikan kepada seluruh pelayanan kesehatan tingkat pertama
dalam upaya Penanggulangan TB di Indonesia.
Modul ini menguraikan tentang gambaran umum TB; situasi TB di dunia dan Indonesia,
menjelaskan program penanggulangan TB di Indonesia, strategi dan kebijakan
penanggulangan TB; dan pengorganisasian penanggulangan TB. Selain itu diberikan
petunjuk pelatihan mengenai strategi penemuan kasus, diagnosis TB pada orang dewasa,
diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan OAT, diagnosis TB ekstraparu, diagnosis TB
dengan komorbid, dan definisi kasus TB serta klasifikasi pasien TB. Setelah ditegakkan
diagnosis dan klasifikasi kasus bagi setiap pasien TB sensitif maupun pasien TB Resistan
Obat (RO) dilanjutkan pengobatan yang bisa dilaksanakan di Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut (FKRTL).
Di dalam modul ini selain berisi petunjuk pelatihan bagaimana kebijakan, strategi
penanggulangan, yang diikuti bagaimana menemukan dan mengobati tuberkulosis,
terdapat juga petunjuk pelatihan penguatan kepemimpinan program TB; peningkatan
akses pelayanan TB yang bermutu; pengendalian faktor risiko TB; peningkatan kemitraan;
peningkatan kemandirian masyarakat dalam pengendalian TB; dan penguatan manajemen
program TB.
Modul ini juga memberikan petunjuk penanggulangan TB yang berintegrasi dengan
pelaksanakan Program Indonesia Sehat yang diselenggarakan melalui pendekatan
keluarga, yang mengintegrasikan upaya kesehatan perorangan (UKP) dan upaya
kesehatan masyarakat (UKM) secara berkesinambungan, dengan target keluarga,
berdasarkan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih ada kekurangan, untuk itu kami
menerima masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan di masa yang akan datang.

Penulis

1
TIM PENYUSUN

Pelindung:
dr. H.M. Subuh, MPPM (Direktur Jendral P2P)
Pengarah:
1. dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML)
2. dr. Asik Surya, MPPM (Kepala Subdit TB)
Sekretaris:
1. Nurjannah, SKM, M.Kes
2. dr. Yullita Evarini Y., MARS

Editor
Dr. dr. Rina Handayani, M.Kes
Anggota:
1. Audia Jasmin Armanda, SKM
2. dr. Endang Lukitosari, MPH
3. dr. Fatiyah Isbaniah, Sp.P
4. dr. Firza Asnely Putri
5. dr. Hanifah Rizki Purwandani, SKM
6. H D Djamal, M.Si
7. dr. Hedy B Sampurno, MPH
8. Dra. Katamanis Tarigan, SKM
9. Dr. Novayanti Tangirerung
10. Rizka Nur Fadila, SKM
11. dr. Retno Kusuma Dewi, MPH
12. Saida N. Debataradja, SKM
13. dr. Setiawan Jati Laksono
14. drg. Siti Nur Anisah, MPH
15. dr. Sity Kunarisasi, MARS
16. Sulistyo, SKM, M.Epid
17. Suwandi SKM, M. Epid
18. dr. Wihardi Triman, MQIH
19. dr. Zulrasdi Djairas, SKM

2
DAFTAR ISI

TIM PENYUSUN . 2
DAFTAR ISI . 3
DAFTAR SINGKATAN . 4
I. DESKRIPSI SINGKAT . 5
II. TUJUAN PEMBELAJARAN . 5
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) .. 5
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) .5
III. POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN ..6
IV. METODE .. 6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU.... 7
VI. LANGKAHLANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN 7
A. Langkah 1 : Pengkondisian peserta .............. 7
B. Langkah 2 : Review Pokok Bahasan................. 7
C. Langkah 3 : Pembahasan per materi ............... 7
D. Langkah 4 : Pembahasan studi kasus ................ 7
E. Langkah 5 : Rangkuman................. 8
VII. URAIAN MATERI 8
A. Strategi penemuan terduga TB 8
B. Definisi kasus . 9
C. Penegakan diagnosis TB ... 10
D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium 26
E. Klasifikasi pasien TB 33
F. Komunikasi Motivasi 36
G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko 48
H. Pencatatan dan Pelaporan Penemuan Pasien TB 50
VIII. REFERENSI ... 50
IX. LAMPIRAN..50

3
DAFTAR SINGKATAN

ANC = Ante Natal Care


APBD = Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BBKPM = Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
BKPM = Balai Kesehatan Paru Masyarakat
BP4 = Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru
BTA = Basil Tahan Asam
CNR = Case Notification Rate
DM = Diabetes Mellitus
DOTS = Directly Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
DPM = Dokter Praktek Mandiri
DST = Drugs Sensivity Test
DTPK = Daerah Tertinggal Perbatasan Kepulauan
FDC = Fixed Dose Combination
FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
FKTP-RM = Fasilitas kesehatan Tingkat Pertama Rujukan Mikroskopis.
FKTP-S = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Satelit
FNAB = Fine Neddle Aspirate Biopsy
HIV = Human Immunodeficiency Virus
ISTC = International Standards For Tuberculosis Care
KDT = Kombinasi Dosis Tetap
KIA = Kesehatan Ibu Anak
KM = Komunikasi Motivasi
KTIP = Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas
LPA = Line Probe Assay
MDR = Multi Drug Resistance
MTBS = Manajemen Terpadu Balita Sakit
MTDS = Manajemen Terpadu Dewasa Sakit
OAT = Obat Anti Tuberkulosis
ODHA = Orang dengan HIV AIDS
PAL = Practical Approach to Lung Health
PAS = Para Amino Salisilic Acid
PNPK = Pedoman Nasional Praktek Kedokteran Tatalaksana
PPI = Pencegahan Pengendalian Infeksi
PPM = Public Private Mix
PWS = Pemantauan Wilayah Setempat
QA = Quality Assurance
RPJMN = Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RR = Resistan Rimfapisin
RS = Rumah Sakit
RT = Rumah Tangga
SPTN = Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional
TB = Tuberkulosis
TCM = Tes Cepat Molekuler
Total DR = Totally Drug Resistance
UKBM = Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat
WHO = World Health Organization
XDR = eXtensive Drug Resistance
ZN = Ziehln Neelson

4
I. DESKRIPSI SINGKAT

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis
(TB) yang dikenal dengan nama M. tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Penularan terjadi secara aerogen.
Pasien TB paru menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Sumber penularan adalah pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis (BTA positif) yang
saat batuk, bersin atau berbicara mengeluarkan droplet (percikan dahak) yang
mengandung kuman M. tuberculosis.
Pencegahan utama agar seseorang tidak terpapar dengan M. tuberculosis adalah dengan
menemukan Pasien TB secara dini serta mengobati dengan tuntas, sehingga bahaya
penularan tidak ada lagi.
Kegiatan penemuan Pasien TB paru di Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL)
dilakukan dengan cara menemukan pasien yang mempunyai gejala mengarah ke TB:
yaitu batuk lama, 2 minggu atau lebih, berdahak, dapat disertai darah, panas badan, nyeri
dada dan gejala penyakit paru lainnya. Diagnosis Pasien TB terkonfirmasi bakteriologis
adalah dengan pemeriksaan mikroskopis, biakan dan test cepat molekuler (TCM). Cara
diagnosis dengan pemeriksaan mikroskopis yaitu dengan menemukan kuman TB melalui
pemeriksaan dahak Pasien yang bersangkutan secara konvensional yaitu: pemeriksaan
mikroskopik apusan dahak dengan pengecatan Ziehl Neelsen (ZN) dan biakan, serta
identifikasi M. tuberculosis secara tes cepat. Tes cepat yang digunakan saat ini adalah
tes bio-molekuler, menggunakan alat Xpert/ MTB Rif. Jika konfirmasi bakteriologis tidak
diperoleh, maka diagnosis TB ditegakkan secara klinis mengacu pada hasil pemeriksaan
penunjang yang sesuai.
Modul penemuan pasien tuberkulosis akan membahas tentang strategi penemuan TB di
Faskes Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), diagnosis TB Paru pada orang dewasa,
diagnosis TB anak, diagnosis TB Resistan OAT, TB Ekstraparu, diagnosis TB dengan Ko-
morbid, definisi kasus TB, klasifikasi pasien TB, komunikasi motivasi, upaya pengendalian
faktor risiko, serta pencatatan dan pelaporan TB.
.
II. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum (TPU)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu melakukan penemuan Pasien TB
B. Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK)
Setelah mempelajari materi ini, peserta latih mampu:
1. Menjelaskan strategi penemuan terduga TB
2. Menjelaskan Definisi kasus TB
3. Melakukan Penegakan Diagnosis TB

5
4. Melakukan Pengelolaan contoh uji untuk pemeriksaan laboratorium
5. Melakukan Klasifikasi Pasien TB.
6. Melakukan Komunikasi Motivasi
7. Melakukan upaya pengendalian faktor risiko
8. Melakukan pencatatan pelaporan terkait penemuan pasien TB

III. POKOK BAHASAN DAN ATAU SUB POKOK BAHASAN


Dalam materi ini akan dibahas pokok bahasan dan atau sub pokok bahasan sebagai
berikut:
A. Strategi penemuan terduga TB
1. Penemuan secara pasif intensif
2. Penemuan secara aktif
B. Definisi kasus
C. Penegakan Diagnosis TB
1. Identifikasi Terduga TB
2. Jenis pemeriksaan Laboratorium
3. Diagnosis TB Paru pada Orang Dewasa.
4. Diagnosis TB pada Anak
5. Diagnosis TB Ekstra paru
6. Diagnosis TB Resistan OAT
7. Diagnosis TB HIV
8. Diagnosis TB pada Pasien dengan Ko-morbid
D. Pengelolaan contoh uji dahak untuk pemeriksaan laboratorium:
1. Contoh uji Dahak
2. Contoh uji non-dahak
E. Klasifikasi pasien TB
F. Komunikasi Motivasi
G. Upaya pengendalian faktor risiko
H. Pencatatan pelaporan penemuan pasien TB

IV. METODE
A. Ceramah dan Tanya Jawab
B. Curah Pendapat
C. Studi kasus

6
V. MEDIA DAN ALAT BANTU
A. Bahan Tayang,
B. Panduan Studi Kasus,
C. Modul,
D. Formulir: TB 06, TB.05, TB.04, TB.16, TB.15,
E. Laptop,
F. LCD,
G. Pointer,
H. Papan flipchart,
I. Kertas flipchart,
J. Spidol.

VI. LANGKAH LANGKAH KEGIATAN PEMBELAJARAN


Agar proses pembelajaran dapat berhasil secara efektif, maka perlu disusun langkah -
langkah sebagai berikut:
Langkah 1 : Pengkondisian peserta
1. Pelatih/Fasilitator memulai kegiatan dengan melakukan bina suasana dikelompok.
2. Pelatih/Fasilitator menyapa peserta dengan ramah dan hangat dan memperkenalkan
diri dengan menyebutkan nama lengkap, instansi tempat bekerja, dan materi yang
akan disampaikan.
3. Bila belum ada, menugaskan kelompok untuk memilih ketua, sekretaris dan pencatat
waktu.
4. Pelatih/Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, pokok bahasan dan sub pokok
bahasan Penemuan Pasien TB
Langkah 2: Review Pokok bahasan
Pelatih/Fasilitator menggali pendapat peserta tentang apa yang dimaksud dengan
Penemuan Pasien TB dengan metode curah pendapat/ brainstorming.
Langkah 3: Pembahasan per materi
1. Pelatih/Fasilitator menyampaikan paparan materi sesuai urutan pokok bahasan
dengan menggunakan bahan tayang.
2. Selanjutnya Pelatih/Fasilitator melakukan tanya jawab dengan meminta peserta untuk
mengemukakan pendapatnya, klarifikasi dan mengajukan pertanyaan tentang materi
yang telah diberikan.
Langkah 4: Pembahasan studi kasus dikaitkan dengan pokok bahasan serta situasi
dan kondisi di tempat tugas.
1. Pelatih/Fasilitator membagi kelas menjadi 5 kelompok, setiap kelompok diminta untuk
menetapkan ketua, sekretaris dan penyaji.

7
2. Pelatih/Fasilitator membagi lembar studi kasus sesuai dengan materi pembelajaran
yang telah disampaikan dan menyampaikan petunjuk studi kasus.
3. Pelatih/Fasilitator menugaskan peserta untuk mengerjakan studi kasus.
4. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk presentasi hasil diskusi kelompok.
5. Pelatih/Fasilitator meminta peserta untuk mengemukakan pendapat dan mengajukan
pertanyaan terhadap presentasi kelompok lain.
6. Pelatih/Fasilitator menyampaikan klarifikasinya.
Langkah 5: Rangkuman
1. Pelatih/Fasilitator melakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sesuai pokok
bahasan
2. Kemudian Pelatih/Fasilitator membuat rangkuman bersama-sama peserta tentang
materi Penemuan Pasien TB, merangkum hasil pembahasan, dan memberikan
penekanan pada hal-hal yang penting.
3. Pelatih/Fasilitator membuat kesimpulan materi pembelajaran.

VII. URAIAN MATERI


WHO tahun 2016, ditingkat global diperkirakan 10,4 juta kasus TB baru dan 1,8
juta kematian/tahun.
Hasil Survei Prevalensi Tuberkulosis Nasional (SPTN) 2013-2014 menunjukkan
estimasi prevalensi TB 660/100.000. Estimasi ini 2,4 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan angka estimasi prevalensi sebelumnya. Angka ini setara dengan 1,6 juta
kasus TB, sekitar 1 juta kasus baru setiap tahunnya. Berdasarkan angka temuan
kasus TB sebesar 327.103 pada tahun 2013, diperkirakan 670.000 kasus TB per
tahun tidak terlaporkan di Indonesia.
Riskesdas, 2013 bahwa terdapat 25% dari kasus gangguan pernafasan dari semua
golongan umur yang berkunjung ke Faskes

A. Strategi penemuan terduga TB.


Strategi penemuan pasien TB dapat dilakukan secara pasif, intensif, aktif, dan masif.
Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang aktif,
sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Kementerian Kesehatan
telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan no. 67/ 2016 tentang
Penanggulangan TB yang di dalamnya mengatur mengenai strategi penemuan
terduga dan pasien TB.
1. Penemuan pasien TB secara pasif-intensif
Kegiatan penemuan yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan dengan memperkuat
jejaring layanan TB melalui Public-Private Mix (PPM) dan memperkuat kolaborasi
layanan.
a. Jejaring layanan

8
Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan PPM. Penemuan pasien TB
pada fasyankes dilaksanakan melalui penguatan jejaring layanan antar
fasyankes yang memberikan layanan diagnosis TB, untuk menghindari
terjadinya miss-opportunity yang disebabkan karena keterbatasan sarana
diagnosis yang dimiliki oleh fasyankes yang kontak pertama dengan pasien
TB. Contoh: fasyankes yang tidak memiliki alat TCM akan merujuk
pemeriksaan ke fasyankes yang memiliki alat TCM.
b. Kolaborasi layanan
Berupa kegiatan integrasi dan kolaborasi penemuan pasien TB ke dalam
layanan kesehatan lain yang tersedia di fasyankes, misalnya di poliklinik
umum, unit layanan HIV, DM (Diabetes Mellitus), Gizi, Lansia, klinik berhenti
merokok, klinik KIA dan ANC. Secara manajemen layanan penemuan pasien
TB juga harus diintegrasikan kedalam sistem manajemen kesehatan yang
diterapkan di fasyankes misalnya: Pendekatan Praktis Kesehatan Paru/ PPKP
(PAL = Practical Approach to Lung health), ManajemenTerpadu Balita Sakit
(MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS).
Penjaringan terduga TB di faskes dapat juga dilakukan melalui penapisan
batuk oleh petugas yang meregistrasi pasien atau perawat yang memberi
pelayanan kepada pasien.
Upaya penemuan pasien TB harus didukung dengan kegiatan promosi yang
aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini.

2. Penemuan pasien TB secara aktif dan/atau masif berbasis keluarga dan


masyarakat,
Berupa kegiatan-kegiatan penemuan terduga/ pasien TB yang dilakukan di luar
fasyankes. Kegiatan ini bisa melibatkan secara aktif semua potensi kesehatan
masyarakat yang ada antara lain: Kader kesehatan, kader dari posyandu, pos TB
desa, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Kegiatan ini dapat berupa:
a. Investigasi kontak
Dilakukan pada paling sedikit 10 - 15 orang yang kontak erat dengan pasien
TB. Kontak erat adalah orang yang tinggal serumah (kontak serumah)
maupun orang yang berada di ruangan dengan pasien TB dewasa aktif (index
case) sekurang-kurangnya selama 8 jam sehari minimal satu bulan
berturutan. Prioritas investigasi kontak dilakukan kepada orang-orang dengan
risiko TB seperti anak usia <5 tahun, orang dengan gangguan sistem
imunitas, malnutrisi, lansia, wanita hamil, perokok dan mantan penderita TB.
Investigasi kontak juga dilaksanakan pada pasien TB anak yang ditemukan
untuk mencari sumber penularan.

9
b. Penemuan di tempat khusus:
Penemuan aktif yang dilakukan di lingkungan yang mudah terjadi penularan
TB yaitu Lapas/Rutan, RS Jiwa, tempat kerja, asrama, pondok pesantren,
sekolah, panti jompo. Kegiatan penemuan aktif di tempat khusus dapat
dilakukan dengan skrining masal tahunan, skrining kesehatan warga baru,
skrining kontak dan pemantauan batuk secara rutin
c. Penemuan di populasi berisiko:
Kegiatan penemuan aktif yang dilakukan pada tempat yang memiliki akses
terbatas ke layanan kesehatan, misalnya: tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh dan DTPK (Daerah Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan).
d. Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
Dilaksanakan secara rutin oleh anggota keluarga maupun kader kesehatan
yang melakukan pengawasan batuk terhadap orang yang tinggal di
lingkungannya dan menyarankan orang dengan batuk untuk memeriksakan
diri ke fasyankes terdekat. Kegiatan pemantuan batuk ini bisa diintegrasikan
kepada kegiatan kader kesehatan yang sudah rutin berjalan misalnya
kegiatan ketuk pintu kader kesehatan, kegiatan jumantik, kader posyandu dan
kegiatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) yang lain.
e. Penemuan aktif berkala
Dilakukan oleh FKTP Puskesmas di wilayah yang teridentifikasi sebagai
daerah kantung TB, yaitu RT yang memiliki jumlah pasien TB di > 3 orang
berdasarkan kegiatan PWS (Pengawasan Wilayah Setempat) dan analisis
data TB setempat. Penemuan aktif berkala dilakukan dengan kegiatan
skrining aktif setiap 6 bulan sekali sampai tidak ditemukan kasus TB pada
kegiatan penemuan aktif berkala 2 kali berturut-turut.
f. Skrining masal
Kegiatan penemuan aktif yang dilaksanakan sekali setahun untuk
meningkatkan penemuan pasien TB di wilayah yang penemuan kasusnya
masih sangat rendah. Puskesmas bekerja sama dengan aparat desa/
kelurahan, kader kesehatan dan potensi masyarakat melakukan skrining
gejala TB secara masif di masyarakat dan membawanya ke layanan
kesehatan luar gedung.

B. Definisi kasus
Definisi kasus TB didasarkan pada hasil pemeriksaan bakteriologis TB. Kepada semua
terduga TB dewasa wajib dilakukan pemeriksaan bakteriologis TB terlebih dahulu.
Sesuai dengan hasil pemeriksaan bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari
dua, yaitu:

10
1. Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis
Adalah pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji
biologinya (sputum dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM
TB, atau biakan.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
c. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
d. Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA,
biakan maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat dan
dilaporkan tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum.

2. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis:


Adalah pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis
tetapi didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk
diberikan pengobatan TB.
Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:
a. Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan hasil pemeriksaan
foto toraks mendukung TB.
b. Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan tidak ada perbaikan
klinis setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
c. Pasien TB Ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa ada konfirmasi bakteriologis.
d. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring.

Catatan: Pasien TB yang terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi


bakteriologis positif (baik sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus
diklasifikasi ulang sebagai pasien TB terkonfirmasi bakteriologis.
Pasien yang mendapatkan pengobatan pencegahan TB tidak termasuk definisi
kasus TB sehingga tidak dilaporkan dalam laporan penemuan kasus TB.

C. Penegakan diagnosis TB
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan, hasil anamnesis, pemeriksaan klinis,
pemeriksaan labotarorium dan pemeriksaan penunjang lainnya.
1. Identifikasi Terduga TB
11
Petugas kesehatan menjaring terduga TB dengan melakukan skrining gejala
maupun dengan melihat hasil foto toraks pasien yang bersangkutan.
Skrining Gejala:
Identifikasi terduga TB yang dilakukan berdasarkan keluhan atas gejala dan tanda
TB yang disampaikan pasien. Pemeriksaan klinis berdasarkan gejala dan tanda TB
yang meliputi:
a. Gejala utama: batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih.
Pada pasien dengan HIV positif, batuk sering kali bukan merupakan gejala TB
yang khas, sehingga gejala batuk tidak harus selalu selama 2 minggu atau
lebih.
b. Gejala tambahan: dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat pada malam hari walaupun tanpa
kegiatan, demam meriang yang berulang lebih dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti
bronkiektasis, bronkitis kronik, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi maka setiap orang
yang datang ke Faskes dengan gejalan tersebut diatas dianggap sebagai terduga
pasien TB dan perlu dilakukian pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.
Selain identifikasi terduga TB dengan gejala tersebut, perlu dipertimbangkan juga
pemeriksaan pada orang dengan faktor risiko, seperti : kontak erat dengan pasien
TB, tinggal di daerah padat penduduk, wilayah kumuh, daerah pengungsian, dan
orang yang bekerja dengan bahan kimia yang berisiko menimbulkan paparan
infeksi paru.
Pertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium TB untuk pasien yang
memiliki faktor risiko dan memiliki gejala tambahan meskipun tanpa batuk
berdahak >2 minggu.
Skrining Radiologis:
Identifikasi terduga TB juga bisa diperoleh dari hasil evaluasi pemeriksaan fo to
toraks. Semua kelainan yang tidak diketahui penyebabnya yang mendukung ke
arah TB harus di evaluasi TB.
Skrining radiologis dapat dilakukan terhadap foto toraks yang diperoleh dari proses
penegakan diagnosis TB maupun pada proses penegakan diagnosis penyakit yang
lain, juga bisa dilakukan pada hasil foto toraks pada pemeriksaan kesehatan rutin
umum (general check-up) dan pemeriksaan kesehatan khusus.
Pasien yang teridentifikasi sebagai terduga TB baik dari skrining gejala maupun
skrining radiologis harus di evaluasi untuk menegakkan diagnosis TB secara
bakteriologis maupun klinis.

12
a. Identifikasi Terduga TB Anak
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk
persisten, berat badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan
tidak aktif. Gejala-gejala tersebut sering dianggap tidak khas karena juga
dijumpai pada penyakit lain. Namun demikian, sebenarnya gejala TB bersifat
khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu) walaupun sudah diberikan terapi
yang adekuat (misalnya antibiotika atau anti malaria untuk demam, antibiotika
atau obat asma untuk batuk lama, dan pemberian nutrisi yang adekuat untuk
masalah berat badan).
Gejala sistemik/umum TB pada anak sebagai berikut:
1) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi
gagal tumbuh (failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya
perbaikan gizi yang baik dalam waktu 1-2 bulan.
2) Demam lama (2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain).
Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama (2 minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda
atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah
dapat disingkirkan. Batuk tidak membaik dengan pemberian antibiotika
atau obat asma (sesuai indikasi).
4) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat.
b. Identifikasi Terduga TB Resistan OAT (TB-RO)

Terduga TB-RO adalah pasien yang memiliki risiko tinggi resistan terhadap
OAT, yaitu pasien yang mempunyai gejala TB yang memiliki riwayat satu atau
lebih di bawah ini:
1) Pasien TB gagal pengobatan Kategori 2.
2) Pasien TB pengobatan kategori 2 yang tidak konversi setelah 3 bulan
pengobatan.
3) Pasien TB yang mempunyai riwayat pengobatan TB yang tidak standar
serta menggunakan kuinolon dan obat injeksi lini kedua paling sedikit
selama 1 bulan.
4) Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

13
5) Pasien TB pengobatan kategori 1 yang tidak konversi setelah 2 bulan
pengobatan.
6) Pasien TB kasus kambuh (relaps), dengan pengobatan OAT kategori 1 dan
kategori 2.
7) Pasien TB yang kembali setelah loss to follow-up (lalai berobat/default).
8) Terduga TB yang mempunyai riwayat kontak erat dengan pasien TB- RO,
termasuk dalam hal ini warga binaan yang ada di Lapas/Rutan, hunian
padat seperti asrama, barak, buruh pabrik.
9) Pasien ko-infeksi TB-HIV yang tidak respons secara bakteriologis maupun
klinis terhadap pemberian OAT, (bila pada penegakan diagnosis awal tidak
menggunakan TCM TB).

Pasien dengan risiko rendah TB-RO


Selain 9 kriteria di atas, kasus TB-RO dapat juga dijumpai pada kasus TB baru,
sehingga pada kasus ini perlu juga dilakukan penegakan diagnosis dengan
TCM TB jika fasilitas memungkinkan. Pada kelompok ini, jika hasil
pemeriksaan tes cepat memberikan hasil TB RR, maka pemeriksaan TCM TB
perlu dilakukan sekali lagi untuk memastikan diagnosisnya.

c. Identifikasi Terduga TB Ekstraparu

Seseorang yang menderita TB ekstra paru mempunyai keluhan/gejala terkait


dengan organ yang terkena, misalnya:
Pembesaran pada getah bening yang kadang juga mengeluarkan nanah
Nyeri dan pembengkakan sendi yang terkena TB
Sakit kepala, demam, kaku kuduk dan gangguan kesadaran apabila selaput
otak atau otak terkena TB.
Pasien TB ekstra paru dapat juga menderita TB paru, sehingga tetap perlu
dilakukan evaluasi TB paru.

d. Identifikasi TB HIV
Konseling dan Tes HIV atas Inisiasi Petugas (KTIP) untuk pasien TB dilakukan
pada daerah dengan tingkat epidemi HIV rendah atau terkonsentrasi.
Dasar pertimbangan tes HIV adalah mutlak mengingat adanya infeksi ganda TB
HIV, utamanya pada orang yang mempunyai perilaku berisiko dan pasien yang
mempunyai tanda dan gejala terkait HIV/AIDS, untuk mengetahui status HIV
mereka.
Untuk membantu pasien menghadapi berbagai hambatan dalam menjalani tes
HIV, maka perlu empati dan dukungan petugas.

14
Pada dasarnya petugas tahu tentang manfaat tes HIV, namun kadang kadang
tidak cukup peka terhadap risiko yang mungkin terjadi pada seseorang bila hasil
tes positif.
Dalam menerapkan KTIP sebagai tes diagnostik atau penawaran tes secara rutin,
informasi pra-tes diberikan tanpa sesi edukasi dan konseling yang lengkap, namun
cukup untuk menyakinkan pasien untuk memberikan persetujuan. Pada pasien
tertentu atau pasangan dari pasien mungkin memerlukan konseling tambahan
yang lebih lengkap dan untuk itu pasien dapat dirujuk ke konselor. Persyaratan
penting dalam menerapkan KTIP adalah konseling pasca-tes dan rujukan ke
layanan perawatan, dukungan dan pengobatan bagi pasienTB yang hasil testnya
HIV positif.
Sesuai dengan kondisi setempat, informasi pra-tes dapat diberikan secara
individual atau kelompok. Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent)
harus selalu diberikan secara individual, disaksikan oleh petugas.
Dengan pendekatan KTIP, setiap pertemuan pasien dengan petugas dianggap
sebagai:
Kesempatan bagi seseorang yang belum mengetahui status HIV-nya.
Kesempatan diagnosa dan pengobatan sedini mungkin dan mengurangi
penularan ke orang lain.
Kesempatan tes ulang bagi seseorang dengan hasil tes negatif tetapi masih
mempunyai risiko tertular HIV.
Kesempatan bagi seseorang yang sedang merencanakan hidup berkeluarga
atau mempunyai anak.

e. Identifikasi TB pada pasien Ko-morbid


Infeksi TB mudah berkembang menjadi penyakit pada pasien dengan
penurunanan daya tahan tubuh. HIV dan Diabetes Mellitus (DM) adalah
penyakit yang sudah diketahui berhubungan erat dengan TB. Oleh karena itu,
setiap pasien dengan HIV positif (ODHA) dan penyandang Diabetes Mellitus
(DM) harus dievaluasi untuk TB, meskipun belum ada gejala.
15
1) Penapisan TB pada penyandang DM

Pada penyandang DM, risiko berkembangnya penyakit TB meningkat hingga 3 kali


lipat. Risiko kegagalan pengobatan, kematian dan kekambuhan TB juga meningkat
pada penyandang DM. Kondisi DM juga dihubungkan dengan peningkatan
terjadinya resistansi OAT. Oleh karena itu, penapisan TB dilakukan pada seluruh
penyandang DM dengan anamnesis gejala dan pemeriksaan foto toraks. Jika
ditemukan gejala ATAU kelainan pada foto toraks yang mengarah ke diagnosis TB,
maka perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis.
Konfirmasi bakteriologis dapat menggunakan TCM. Jika pada penapisan awal tidak
ditemukan penyakit TB, maka penapisan perlu diulang secara berkala.

2) Penapisan TB pada ODHA

Pada ODHA, gejala klinis seringkali tidak spesifik. Gejala klinis yang sering
ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan (sekitar 10%
atau lebih) dan gejala ekstra paru sesuai organ yang terkena misalnya TB Pleura,
TB Perikarditis, TB Milier, TB meningitis. Pada prinsipnya, untuk mempercepat
penegakan diagnosis TB pada pasien dengan HIV positif maka penegakan
diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan TCM TB seperti pada Alur Diagnosis TB
dan TB Resistan Obat di Indonesia.

2. Jenis Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan Bakteriologis
1) Pemeriksaan mikroskopis langsung dahak
Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga
dapat menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan
pengobatan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan
mengumpulkan 2 contoh uji dahak, berupa dahak Sewaktu-Pagi (SP):
S (Sewaktu): dahak ditampung di fasyankes.
P (Pagi): dahak ditampung pada pagi segera setelah bangun tidur.
Dapat dilakukan dirumah pasien atau di bangsal rawat inap bilamana
pasien menjalani rawat inap.

16
2) Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan Tes Cepat Molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF. TCM
merupakan sarana untuk penegakan diagnosis, namun tidak dapat
dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat (Lowenstein-
Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator Tube) untuk
identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
Pemeriksaan tersebut diatas dilakukan di sarana laboratorium yang
terpantau mutunya.

Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan laboratorium, diperlukan contoh uji


dahak yang baik. Pada faskes yang tidak memiliki akses langsung terhadap
pemeriksaan TCM, biakan, dan uji kepekaan, diperlukan sistem transportasi
contoh uji. Hal ini bertujuan untuk menjangkau pasien yang membutuhkan akses
terhadap pemeriksaan tersebut serta mengurangi risiko penularan jika pasien
bepergian langsung ke laboratorium.

b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya


1) Pemeriksaan foto toraks
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB Ekstra paru.

c. Pemeriksaan uji kepekaan obat


Pemeriksaan uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya
resistensi M.tb terhadap OAT.
Uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium yang telah lulus
uji pemantapan mutu/Quality Assurance (QA), dan mendapatkan sertifikat
nasional maupun internasional.

d. Pemeriksaan serologis
Sampai saat ini belum direkomendasikan.

3. Penegakan Diagnosis TB pada Orang Dewasa


a. Prinsip penegakan diagnosis TB:
1) Diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang
dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis, Tes Cepat Molekuler TB dan
biakan.

17
2) Pemeriksaan TCM digunakan untuk penegakan diagnosis TB, sedangkan
pemantauan kemajuan pengobatan tetap dilakukan dengan pemeriksaan
mikroskopis.
3) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik
pada TB paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun
underdiagnosis.
4) Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.

b. Alur diagnosis TB dibagi sesuai dengan fasilitas yang tersedia:

1) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan dengan alat Tes Cepat


Molekuler
2) Faskes yang hanya mempunyai pemeriksaan mikroskopis dan tidak
memiliki akses ke tes cepat molekuker.
18
Bagan 1. Alur diagnosis TB dan TB Resistan Obat di
IndonesiBaagan 1. Algorithme TB dan TB MDR di Indonesia
Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui
Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau TCM

Tidak memiliki akses untuk TCMTB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA (Sewaktu dan Pagi)


Pemeriksaan TCM TB

Foto
Toraks

(- -)

Tidak bisa

Terapi
Antibiotika
Non OAT

(+ +) (+ -)

TB Terkonfirmasi
Bakteriologis
MTB Pos, Rif
Sensitive

TB Terkonfirmasi
Bakteriologis
MTB Pos, Rif
Resistance

TB RR
MTB Neg

Foto Toraks

Gambaran
Mendukung
TB

Tidak
Mendukung
TB

Pengobatan
TB Lini 1
Mulai Pengobatan TB RO

Pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2

Gambaran mendukung TB

Tidak Mendukung TB

Ada Tidak Ada Perbaikan TB RR TB MDR TB Pre XDR TB XDR


Perbaikan Klinis, ada factor
Klinis risiko TB, dan atas
pertimbangan

TB Klinis

Bukan TB
dokter

TB Klinis
Lanjutkan
Pengobatan TB RO
Pengobatan TB RO
dengan Paduan Baru
TB Klinis

Pengobatan
TB Lini 1
Pengobatan
TB Lini 1
Cari kemungkinan penyebab penyakit lain

Keterangan alur:
1) Faskes yang mempunyai Alat Tes Cepat Molekuler (TCM) TB:
a.) Faskes yang mempunyai akses pemeriksaan TCM, penegakan diagnosis
TB pada terduga TB dilakukan dengan pemeriksaan TCM. Pada kondisi
dimana pemeriksaan TCM tidak memungkinkan (misalnya alat TCM
melampaui kapasitas pemeriksaan, alat TCM mengalami kerusakan, dll),
penegakan diagnosis TB dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis.
b.) Jika terduga TB adalah kelompok terduga TB-RO dan terduga TB dengan
HIV positif, harus tetap diupayakan untuk dilakukan penegakan diagnosis
TB dengan TCM TB, dengan cara melakukan rujukan ke layanan Tes
Cepat Molekuler terdekat, baik dengan cara rujukan pasien atau rujukan
contoh uji.
19
c.) Jumlah contoh uji dahak yang diperlukan untuk pemeriksaan TCM
sebanyak 2 (dua) dengan kualitas yang bagus. Satu contoh uji untuk
diperiksa TCM, satu contoh uji untuk disimpan sementara dan akan
diperiksa jika diperlukan (misalnya pada hasil indeterminate, pada hasil Rif
Resistan pada terduga TB yang bukan kriteria terduga TB-RO, pada hasil
Rif Resistan untuk selanjutnya dahak dikirim ke Laboratorium LPA untuk
pemeriksaan uji kepekaan Lini-2 dengan metode cepat)
d.) Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan MTB/RIF terdiri atas
cairan serebrospinal (Cerebro Spinal Fluid/CSF), jaringan biopsi, bilasan
lambung (gastric lavage), dan aspirasi cairan lambung (gastric aspirate).
e.) Pasien dengan hasil MTb Resistan Rifampisin tetapi bukan berasal dari
kriteria terduga TB-RO harus dilakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika
terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan TCM yang terakhir yang
menjadi acuan tindakan selanjutnya.
f.) Jika hasil TCM indeterminate, lakukan pemeriksaan TCM ulang. Jika hasil
tetap sama, berikan pengobatan TB Lini 1, lakukan biakan dan uji
kepekaan.
g.) Pengobatan standar TB MDR segera diberikan kepada semua pasien TB
RR, tanpa menunggu hasil pemeriksaan uji kepekaan OAT lini 1 dan lini 2
keluar. Jika hasil resistensi menunjukkan MDR, lanjutkan pengobatan TB
MDR. Bila ada tambahan resistensi terhadap OAT lainnya, pengobatan
harus disesuaikan dengan hasil uji kepekaan OAT.
h.) Pemeriksaan uji kepekaan menggunakan metode LPA (Line Probe Assay)
Lini-2 atau dengan metode konvensional
i.) Pengobatan TB pre XDR/ TB XDR menggunakan paduan standar TB pre
XDR atau TB XDR atau menggunakan paduan obat baru.
j.) Pasien dengan hasil TCM M.tb negatif, lakukan pemeriksaan foto toraks.
Jika gambaran foto toraks mendukung TB dan atas pertimbangan dokter,
pasien dapat didiagnosis sebagai pasien TB terkonfirmasi klinis. Jika
gambaran foto toraks tidak mendukung TB kemungkinan bukan TB, dicari
kemungkinan penyebab lain.

2) Faskes yang tidak mempunyai Alat Tes Cepat Molukuler (TCM) TB


a.) Faskes yang tidak mempunyai alat TCM dan kesulitan mengakses TCM,
penegakan diagnosis TB tetap menggunakan mikroskop.
b.) Jumlah contoh uji dahak untuk pemeriksaan mikroskop sebanyak 2 (dua)
dengan kualitas yang bagus. Contoh uji dapat berasal dari dahak Sewaktu-
Sewaktu atau Sewaktu-Pagi.
c.) BTA (+) adalah jika salah satu atau kedua contoh uji dahak menunjukkan
hasil pemeriksaan BTA positif. Pasien yang menunjukkan hasil BTA (+)
pada pemeriksaan dahak pertama, pasien dapat segera ditegakkan
sebagai pasien dengan BTA (+)
d.) BTA (-) adalah jika kedua contoh uji dahak menunjukkan hasil BTA negatif.
Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil
pemeriksaan klinis dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto
toraks) yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter.
e.) Apabila pemeriksaan secara mikroskopis hasilnya negatif dan tidak
memilki akses rujukan (radiologi/TCM/biakan) maka dilakukan pemberian
terapi antibiotika spektrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) terlebih

20
dahulu selama 1-2 minggu. Jika tidak ada perbaikan klinis setelah
pemberian antibiotik, pasien perlu dikaji faktor risiko TB. Pasien dengan
faktor risiko TB tinggi maka pasien dapat didiagnosis sebagai TB Klinis.
Faktor risiko TB yang dimaksud antara lain:
a) Terbukti ada kontak dengan pasien TB
b) Ada penyakit komorbid: HIV, DM
c) Tinggal di wilayah berisiko TB: Lapas/Rutan, tempat penampungan
pengungsi, daerah kumuh, dll

4. Diagnosis TB Anak

Pada anak yang teridentifikasi sebagai terduga TB, maka alur penegakan
diagnosis dapat dilihat pada bagan berikut :
Anak dengan satu atau lebih gejala khas TB:
Batuk 2 minggu
Demam 2 minggu
BB turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya
Malaise 2 minggu
Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang

Bagan 2. Alur pada anak :


Pemeriksaan mikroskopis/Tes
Cepat Molekuler (TCM) TB
Diagnosis TB

Positif Negatif Contoh uji tidak diperoleh

Keterangan:
*)

Ada akses foto rontgen toraks dan/atau uji

Tidak ada akses foto rontgen toraks dan uji

Skoring

Skor 6
Skor <

Uji tuberkulin (+
dan/atau ada kontak TB
Uji tuberkulin (-)
dan Tidak ada kontak TB

DaTpBaat ndailkakukan bersamaan dengan pemeriksaan sputum


terkonfirma
si

TB anak
Ada kontak
TB paru**)
Tidak ada/tidak jelas kontak
**) Kontak TB Paru Dewasa dan Kontak TB Paru Anak terkonfirmasi p
basktien
rioTloBgip
s aru**)
***)

Evalua Terapi
OAT***)
Observasi gejala selama 2 minggu

21
Menetap
Menghilan

Bukan TB
Tabel 1 Skoring sistem TB Anak

Parameter 0 1 2 3 Skor
KontakTB Tidak jelas - Laporan BTA(+)
keluarga, BTA(-
)/BTAtidak
jelas/tidaktahu
Uji tuberculin Negatif - - Positif (10 mm
(Mantoux) atau 5 mm
pada
imunokompromais)
Berat Badan/ - BB/TB<90% atau Klinis gizi -
Keadaan Gizi BB/U<80% buruk atau
BB/TB<70%
atau
BB/U<60%
Demam yang tidak diketahui - 2 minggu - -
Penyebabnya

Batuk kronik - 3 minggu - -


Pembesaran kelenjar - 1 cm, lebih dari 1 - -
limfekolli, aksila, inguinal KGB,tidak nyeri

Pembengkakan tulang/sendi - Ada pembengkakan - -


panggul, lutut, falang

Foto toraks Normal/ Gambaran sugestif - -


kelainan tidak (mendukung) TB
jelas
Skor Total

Penjelasan:
a. Pemeriksaan bakteriologis (mikroskopis atau tes cepat TB) tetap merupakan
pemeriksaan utama untuk konfirmasi diagnosis TB pada anak. Berbagai upaya
dapat dilakukan untuk memperoleh spesimen dahak, di antaranya induksi sputum.
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan 2 kali, dan dinyatakan positif jika satu spesimen
diperiksa memberikan hasil positif.
b. Observasi persistensi gejala selama 2 minggu dilakukan jika anak bergejala namun
tidak ditemukan cukup bukti adanya penyakit TB. Jika gejala menetap, maka anak
dirujuk untuk pemeriksaan lebih lengkap. Pada kondisi tertentu di mana rujukan tidak
memungkinkan, dapat dilakukan penilaian klinis untuk menentukan diagnosis TB
anak.

22
c. Berkontak dengan pasien TB paru dewasa adalah kontak serumah ataupun kontak
erat, misalnya di sekolah, pengasuh, tempat bermain, dan sebagainya.
d. Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB resistan obat maupun
masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis
adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat
diagnosis.
e. Selain pada anak yang datang ke faskes dengan gejala atau tanda TB, evaluasi TB
juga harus dilakukan pada setiap anak yang berkontak dengan pasien TB.
Investigasi kontak pada anak dilakukan sesuai alur berikut:

Bagan 3. Alur Investigasi Kontak (IK) pada Anak yang berkontak dengan pasien
TB sensitif obat

Anak berkontak
dengan pasien TB sensitif OAT

gejala TB

Tidak
Ada

Umur > 5 thn dan HIV (-)


Umur < 5 thn atau HIV (+)
Tidak perlu
PP INH
PP INH

Follow up rutin

Timbul gejala atau


tanda TB YA

TIDAK
Lihat alur diagnosis TB pada Anak

Observasi
Lengkapi pemberian INH
selama 6 bulan

23

Pada anak yang berkontak dengan pasien TB-RO, evaluasi dilakukan oleh
spesialis anak. Jika kontak bergejala, maka pemeriksaan contoh uji dilakukan
dengan pemeriksaan TCM.
Semua kontak anak yang tidak menunjukkan gejala TB, baik yang mendapatkan
maupun yang tidak mendapatkan pengobatan pencegahan, tetap harus
diobservasi selama 2 tahun.

5. Diagnosis TB ekstra paru:


1) Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku
kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang
belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.
2) Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari
organ tubuh yang terkena.
3) Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan
gejala saluran nafas yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB
paru.
4) Pemeriksaan tes cepat dengan Tes Cepat Molekuler TB pada beberapa kasus
curiga TB Ekstra paru dilakukan dengan contoh uji cairan serebrospinal pada
kecurigaan TB meningitis, dan contoh uji kelenjar getah bening berupa biopsi
jaringan langsung dan biopsi menggunakan jarum halus (FNAB/Fine Neddle
Aspirate Biopsy) dan jaringan (tissue) pada pasien dengan kecurigaan TB
kelenjar atau TB jaringan lainnya.

Tabel 2. Pemeriksaan yang Dianjurkan untuk Diagnosis Tuberkulosis Ekstraparu

Organ Pencitraan Biopsi Biakan TCM


Histopatologi
Kelenjar Getah USG Lokasi KGB Biopsi atau Biopsi atau
Bening terkait aspirasi nodus aspirasi nodus
KGB KGB
Tulang atau Foto polos dan CT Lokasi penyakit Biopsi atau abses Biopsi
Sendi MRI paraspinal
Cairan sendi

Sistem Ultrasonografi Omentum Biopsi Biopsi


Pencernaan CT Abdomen Usus besar Asites

Sistem Genital Urografi Lokasi penyakit Urin pagi hari -


dan Saluran Ultrasonografi Lokasi penyakit
Kemih Kuret
24
endometrium

Disseminata HRCT Toraks Paru Bilasan bronkus Bilasan bronkus


Ultrasonografi Hati (BAL) (BAL)
Sumsum tulang Hati
Sumsum tulang
Darah

Sistem saraf CT Kepala Tuberkuloma Cairan Cairan


pusat MRI serebrospinal serebrospinal

Kulit Lokasi penyakit Lokasi penyakit Lokasi penyakit

Perikardium Ekokardiogram Perikardium Cairan -


Elektrokardiografi perikardium

Abses hati Ultrasonografi Lokasi penyakit Lokasi penyakit - Tidak


Pleura Foto toraks Efusi direkomendasikan

6. Diagnosis TB Resistan OAT


Diagnosis TB-RO ditegakkan berdasarkan uji kepekaan M. Tuberculosis dengan
metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu pemeriksaan molekuler dan
konvensional. Pemeriksaan molekuler yang tersedia saat ini adalah Tes Cepat
Molekuler TB (TCM) dan Line Probe Assay (LPA). Sedangkan metode konvensional
yang digunakan adalah Lowenstein Jensen (LJ) dan Mycobacteria Growth Indicator
Tube (MGIT).
Penegakan diagnosis untuk TB-RO di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
dilakukan oleh dokter terlatih pemeriksaan TCM TB. Jika FKTP tidak memiliki
fasilitas TCM TB, maka pemeriksaan dilakukan oleh laboratorium fasyankes rujukan
yang ditetapkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kab/Kota.
Selain kriteria terduga TB-RO, pasien TB-RO dapat terdiagnosis dari terduga TB
biasa yang terkonfirmasi TB-RO dari hasil pemeriksaan bakteriologis. Oleh sebab
itu, maka ketersediaan layanan TB-RO di wilayah yang sudah memiliki akses ke
pemeriksaan TCM sangatlah penting.
Khusus pada anak yang berkontak erat dengan pasien TB-RO, penegakan
diagnosis TB-RO dapat dilakukan secara empiris apabila konfirmasi bakteriologis
resistansi OAT sulit untuk dilaksanakan.

Pada setiap pasien yang terkonfirmasi sebagai pasien TB-RO perlu pemeriksaan:

25
Second LineLPA (SL-LPA) untuk mendeteksi resistansi terhadap
fluorokinolon dan obat injeksi lini kedua sebagai dasar menentukan pengobatan
TB-RO dengan paduan standar jangka pendek.
Biakan dan uji kepekaan menggunakan paket pemeriksaan uji
kepekaan (Standardized DST Package/SDP) yang mendeteksi kepekaan
terhadap OAT lini pertama dan kedua, yaitu: Isoniazid, Kanamisin, Kapreomisin,
Ofloksasin dan Moksifloksasin.

Catatan:
Petugas laboratorium harus menyimpan salah satu dari 2 contoh uji, sehingga
apabila hasil pemeriksaan resistan rifampisin maka contoh uji dapat dikirim ke
fasyankes yang mampu melakukan pemeriksaan SL-LPA tanpa harus
mengumpulkan contoh uji baru.

7. Diagnosis pada pasien dengan Ko-Morbid


Penegakan diagnosis TB pada ODHA maupun DM sama dengan diagnosis TB
tanpa ko-morbid, mengikuti Alur Diagnosis TB dan TB RO di Indonesia.

Untuk mengetahui komorbiditas dan memberikan tatalaksana yang sesuai, maka


penapisan TB dan HIV juga harus dilakukan pada setiap pasien yang terdiagnosis
TB.

D. Pengelolaan Contoh Uji untuk Pemeriksaan Laboratorium


1. Contoh Uji Dahak

a. Cara Pengumpulan Dahak.


Untuk menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus dilakukan di
tempat terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari risiko menulari
pihak lain. Jika keadaan tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang
mempunyai ventilasi yang baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan setelah
pengumpulan/ pengambilan dahak, terduga dan petugas segera mencuci
tangan dengan sabun dan air.
Pengumpulan dahak dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

26
1) Beri label pada dinding pot yang memuat nomor identitas sediaan dahak
(sesuai TB.06);
2) Berikan pot dahak pada terduga;
3) Dampingi terduga/pasien sewaktu mengeluarkan dahak (dengan
memperhatikan arah angin);
4) Terduga membuka tutup pot dan mendekatkan pot ke bibirnya dan
membatukkan dahak kedalam pot, kemudian menutup pot dengan erat;
5) Petugas menilai kualitas dan kuantitas dahak yang didapat;
6) Petugas dan terduga/pasien harus cuci tangan dengan sabun dan air.

Dahak dikumpulkan/ditampung dalam pot dahak yang transparan, bermulut


lebar, berpenampang 5 - 6 cm, tutup berulir, tidak mudah pecah dan bocor. Pot
ini harus selalu tersedia di Fasilitas Kesehatan. Diagnosis TB ditegakkan dengan
pemeriksaan 2 spesimen dahak Sewaktu Pagi (SP)/Sewaktu Sewaktu (SS).
Idealnya spesimen dahak dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang
berurutan, namun apabila tidak memungkinkan maka dapat dikumpulkan 2
spesimen dahak pada hari yang sama.
Catatan
1) Faskes yang belum memiliki sarana pemeriksaan dahak SPS agar tidak
menunda penegakan diagnosis sesuai dengan ketentuan strategi DOTS.
Misalnya bagi terduga / pasien TB yang mendapatkan pelayanan di DPS /
RS / Klinik swasta.
2) Hasil pemeriksaan dahak sebaiknya sudah diperoleh dalam waktu kurang
dari 7 hari agar penegakan diagnosis TB tidak tertunda.
3) Kasus TB Ekstra paru atau seorang kontak erat pasien TB Paru BTA positip
yang mempunyai gejala batuk harus diperiksa dahaknya tanpa menghiraukan
lamanya waktu mempunyai gejala batuk tersebut.

b. Pelaksanaan Pengumpulan Dahak SP.


S (se waktu ): dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang berkunjung
pertama kali. Pada saat pulang, terduga dibekali sebuah pot dahak untuk
mengumpulkan dahak hari kedua.

27
P (Pag i): dahak dikumpulkan dirumah pada pagi hari kedua, setelah bangun
tidur dan gosok gigi, Pot kemudian dibawa dan diserahkan sendiri kepada
petugas di Fasilitas Kesehatan.

Pelaksanaan Pengumpulan Dahak SS:


S (sewaktu) pertama: dahak dikumpulkan pada saat terduga TB datang
berkunjung pertama kali atau pada pagi hari.
S (sewaktu) kedua: dahak dikumpulkan selang 1 (satu) jam setelah
pengumpulan dahak sewaktu pertama, lalu diserahkan kepada petugas di
Fasilitas Kesehatan

Menghindari risiko penularan, pengambilan dahak harus dilakukan di tempat


terbuka, terkena sinar matahari langsung dan jauh dari orang lain. Jika keadaan
tidak memungkinkan, gunakanlah ruang terpisah yang mempunyai ventilasi yang
baik dan sinar matahari langsung. Dianjurkan setelah pengumpulan/pengambilan
dahak, terduga dan petugas segera mencuci tangan dengan sabun dan air.

c. Kualitas dahak yang baik didapat dengan memperhatikan hal-hal dibawah ini:
1) Petugas kesehatan harus memberi penjelasan mengenai pentingnya
pemeriksaan dahak, baik pemeriksaan dahak untuk diagnosis maupun
pemeriksaan dahak ulang;
2) Petugas kesehatan memberi penjelasan tentang cara batuk yang benar
untuk mendapatkan dahak yang kental dan purulen;
3) Petugas memeriksa kualitas dan kuantitas dahak. Dahak yang baik untuk
pemeriksaan adalah kental berwarna kuning kehijau-hijauan (mukopurulen)
dengan volume 3-5 ml. Apabila mutu dahak tidak memenuhi syarat (air liur),
petugas harus meminta terduga untuk mengulang mengeluarkan dahak;
4) Jika tidak ada dahak yang keluar, pot dahak dianggap sudah terpakai dan
harus dimusnahkan sesuai prosedur tetap keamanan dan keselamatan kerja
di laboratorium TB.

d. Apabila terduga/pasien sulit mengeluarkan dahak, dapat dilakukan hal-hal


sebagai berikut:
1) Di rumah: malam hari sebelum tidur menelan tablet gliseril guayakolat 200
mg;

28
2) Di Fasilitas Kesehatan: minum satu gelas teh manis sebelum melakukan olah
raga ringan (lari-lari kecil), kemudian menarik nafas yang dalam beberapa
kali, kemudian menahan nafas beberapa saat, lalu batukkan dengan kuat
untuk mengeluarkan riak/dahak. Waspada terhadap kemungkinan terjadinya
Pneumothoraks.
3) Induksi sputum
Induksi sputum merupakan prosedur untuk merangsang produksi dahak agar
mudah dibatukkan atau diaspirasi dengan alat. Prosedur ini berisiko rendah
dan dapat dilakukan untuk pasien dewasa atau anak. Karena pasien dewasa
umumnya dapat berdahak langsung, maka induksi sputum dilakukan pada
pasien yang sulit berdahak. Hanya sedikit efek samping yang dilaporkan,
seperti coughing spells, mild wheezing dan epistaksis. Prosedur ini dapat
dilakukan dengan aman pada bayi oleh petugas terlatih dengan peralatan
khusus.
Induksi sputum merupakan prosedur yang menghasilkan aerosol, sehingga
sebaiknya dilakukan di ruang yang memiliki kendali infeksi memadai.

Pendekatan umum

Prosedur dilakukan pada pasien yang cukup sehat. Pasien anak dengan
karakteristik di bawah ini sebaiknya tidak menjalani induksi sputum:

a.) Belum cukup puasa setidaknya 3 jam


b.) Distress pernafasan berat (termasuk tachypnea, wheezing, hipoksia)
c.) Sedang terintubasi
d.) Perdarahan: hitung trombosit rendah, kemungkinan pendarahan,
epistaksis (simptomatik atau hitung platelet<50/ml darah).
e.) Penurunan kesadaran
f.) Riwayat asma (yang didiagnosis dan ditatalaksana oleh klinisi)

Prosedur

a) Bronkodilator (contoh salbutamol) diberika pada pasien anak untuk


mengurangi risiko wheezing. Pada pasien dewasa, bronkodilator
diberikan pada pasien dengan asma atau PPOK.
b) Berikan nebulisasi salin hipertonik (NaCl 3%) selama 15 menit atau
sampai 5 cm3 larutan sudah diberikan.

29
c) Berikan fisioterapi dada bila perlu; hal ini berguna untuk memobilisasi
sekresi.
d) Untuk pasien dewasa atau anak cukup umur, dahak dibatukkan secara
spontan
e) Untuk pasien anak usia muda yang tidak dapat membatukkan dahak,
lakukan :
(1) suction hidung untuk membersihkan sekresi nasal atau
(2) aspirasi nasofaringeal untuk mengumpulkan contoh uji yang
sesuai.
Setiap peralatan yang akan digunakan kembali harus didisinfektan dan
disterilisasi sebelum digunakan pada pasien berikutnya.
a. Bilas lambung
Bilas lambung digunakan terutama pada pasien anak yang tidak dapat
mengeluarkan dahak secara spontan atau dengan induksi sputum. Bilas
lambung dilakukan pagi hari untuk mengumpulkan dahak yang tertelan dan
tertinggal di lambung. Anak puasa setidaknya 4 jam (3 jam pada bayi)
sebelum prosedur dan anak dengan hitung trombosit yang rendah atau
kemungkinan pendarahan sebaiknya tidak menjalani prosedur ini.

Peralatan yang dibutuhkan:


1) Sarung tangan
2) Nasogastric tube (biasanya ukuran 10 F atau lebih besar)
3) Syringe 5, 10, 20 or 30 cm3 dengan konektor nasogastric tube yang sesuai
4) Kertas litmus
5) Kontainer contoh uji (pot dahak)
6) Air steril atau normal salin (NaCl 0.9%)
7) Larutan Na bicarbonate (8%)
8) Alkohol/chlorhexidine.

Bilas lambung biasanya merupakan prosedur yang tidak menghasilkan


aerosol. Anak hanya berisiko kecil mentransmisikan infeksi, sehingga dapat
dilakukan dengan aman di kamar rawat inap atau ruang tindakan rutin.
Prosedur:

1) Posisikan anak dengan posisi terlentang atau miring. Asisten membantu


memegang pasien.

30
2) Tentukan jarak antara hidung dan lambung, untuk memperkirakan jarak
yang akan dibutuhkan untuk memasukkan tube ke dalam lambung.
3) Sambungkan syringe ke nasogastric tube.
4) Masukkan nasogastric tube dengan lembut melalui hidung sampai ke
lambung.
5) Aspirasi isi lambung (2-5 ml) menggunakan syringe yang sudah melekat
ke nasogastric tube.
6) Untuk memeriksa posisi tube benar atau tidak, test isi lambung dengan
kertas litmus, kertas litmus biru berubah menjadi merah (dalam respons
terhadap asam lambung). Juga bisa diperiksa dengan memasukkan udara
(3-5 ml) dari syringe ke lambung dan dengarkan menggunakan stetoskop.
7) Jika tidak ada cairan yang teraspirasi, masukkan 5-10 ml air atau normal
saline dan coba untuk mengaspirasi lagi
Jika masih belum berhasil coba lagi (walaupun posisi nasogastric
tube tidak benar dan air ataupun normal salin masuk ke dalam
saluran udara, risiko efek samping sangatlah kecil)
Jangan diulangi lebih dari tiga kali.
8) Ambil isi lambung (idealnya 5-10 ml)
9) Pindahkan cairan lambung dari syringe ke kontainer steril (pot dahak).
10) Tambahkan volume cairan sodium bicarbonate sejumlah spesimen (untuk
menetralkan isi lambung yang asam dan mencegah kerusakan basil
tuberkel).

Setelah prosedur

1) Seka kontainer contoh uji dengan alkohol/chlorhexidine untuk mencegah


infeksi silang dan beri label.
2) Isi formulir permintaan laboratorium.
3) Transportasikan spesimen (di cool box) ke laboratorium untuk diproses
secepat mungkin (dalam 4 jam)
4) Jika ada kemungkinan dibutuhkan waktu lebih dari 4 jam untuk
mentransportasikan spesimen, letakkan dalam refrigerator (48 C) dan
simpan sampai bisa ditransportasikan.
5) Berikan anak makanan seperti biasa.

31
b. Pemberian Nomor Identitas Sediaan.
1) Kaca sediaan (end-frosted) dipegang pada kedua sisinya untuk
menghindari sidik jari pada badan kaca sediaan.
2) Setiap kaca sediaan diberi nomor identitas sediaan sesuai dengan
identitas pada pot dahak dengan menggunakan pinsil 2B.
3) Pemberian nomor identitas sediaan bertujuan untuk mencegah
kemungkinan tertukarnya sediaan, baik yang berasal dari Fasilitas
Kesehatan itu sendiri maupun dari Fasilitas Kesehatan lain.
4) Nomor identitas sediaan terdiri dari 3 kelompok angka dan 1 huruf,
sebagai berikut:
a) Kelompok angka pertama terdiri dari 2 angka, misalnya 02, yang
merupakan nomor urut kabupaten / kota.
b) Kelompok angka kedua juga terdiri dari 5 angka, misalnya 015 01
yang merupakan nomor urut Fasilitas Kesehatan dan kode Poliklinik.
Tiga angka pertama adalah nomor kode Fasilitas Kesehatan. Untuk
FKRTL yang pasien TB dapat bersumber dari beberapa poliklinik,
maka dua angka berikutnya merupakan nomor kode SMF atau
poliklinik asal pasien TB, untuk contoh diatas 015 merupakan nomor
kode FKRTL, 01 merupakan kode poli misalnya poli Paru atau Poli
Penyakit Dalam. Pemberian nomor urut poliklinik disepakati intern RS.
c) Kelompok angka ketiga terdiri dari 4 angka, misalnya 0117, yang
merupakan nomor urut sediaan. Nomor urut sediaan dimulai dengan
nomor 001 setiap awal tahun. Angka ini didapat dari kolom pertama
format TB.06
d) Huruf A dan B, A menunjukkan dahak sewaktu, B untuk dahak pagi.
Contoh nomor identitas sediaan:
02/015001/0117 A, 02/015001/0117 B.
e) Kode huruf pada sediaan dahak adalah sebagai berikut:
(1) Diagnosis : A, B
(2) Follow up
Tahap awal: D, E
Bulan kelima: F, G
AP : H, I
Bulan ke 3 : J, K

32

2. Contoh uji non-dahak

Pemeriksaan bakteriologis TB dapat dilakukan dengan contoh uji non-dahak,


terutama untuk konfirmasi bakteriologis pada kasus TB ekstra paru. Pemeriksaan
bakteriologis TB yang direkomendasikan untuk kasus TB ekstra paru adalah
pemeriksaan TCM.
Contoh uji non-dahak yang dapat diperiksa dengan TCM terdiri atas cairan
serebrospinal, contoh uji dari kelenjar getah bening melalui pemeriksaan Biopsi
Aspirasi Jarum Halus/BAJAH (Fine Needle Aspiration Biopsy/FNAB), atau jaringan
lain.

E. Klasifikasi pasien TB
Selain dari pengelompokan pasien sesuai definisi kasus TB tersebut di atas, pasien TB
juga diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, riwayat pengobatan sebelumnya,
status resistensi OAT dan status HIV. Klasifikasi pasien TB tersebut bertujuan untuk:
1. Pencatatan dan pelaporan pasien yang akurat
2. Penetapan paduan pengobatan yang tepat
3. Standarisasi proses pengumpulan data untuk program penanggulangan TB
4. Evaluasi proporsi kasus sesuai lokasi penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologis dan
riwayat pengobatan
5. Analisis kohort hasil pengobatan
6. Pemantauan kemajuan dan evaluasi efektifitas program TB secara tepat baik dalam
maupun antar kabupaten/kota, provinsi, nasional dan global.

1. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit :


a. Tuberkulosis paru :
Adalah TB yang berlokasi pada parenkim (jaringan) paru. Milier TB dianggap
sebagai TB paru karena adanya lesi pada jaringan paru.
Pasien yang menderita TB paru dan sekaligus juga menderita TB ekstra paru,
diklasifikasikan sebagai pasien TB paru.
b. Tuberkulosis Ekstra paru:
Adalah TB yang terjadi pada organ selain paru, misalnya: pleura, kelenjar limfe,
abdomen, saluran kencing, kulit, sendi, selaput otak dan tulang.

33
Limfadenitis TB di rongga dada (hilus dan atau mediastinum) atau efusi pleura
tanpa terdapat gambaran radiologis yang mendukung TB pada paru, dinyatakan
sebagai TB ekstra paru.
Diagnosis TB ekstra paru dapat ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan
bakteriologis atau klinis. Diagnosis TB ekstra paru harus diupayakan secara
bakteriologis dengan ditemukannya Mycobacterium tuberculosis.
Bila proses TB terdapat dibeberapa organ, penyebutan disesuaikan dengan organ
yang terkena proses TB terberat.

2. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya:


a. Pasien baru TB:
adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya
atau sudah pernah menelan OAT namun kurang dari 1 bulan ( dari 28 dosis).
b. Pasien yang pernah diobati TB:
adalah pasien yang sebelumnya pernah menelan OAT selama 1 bulan atau lebih
( dari 28 dosis). Pasien ini selanjutnya diklasifikasikan berdasarkan hasil
pengobatan TB terakhir, yaitu:
1) Pasien kambuh: adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap dan saat ini didiagnosis TB berdasarkan hasil
pemeriksaan bakteriologis atau klinis (baik karena benar-benar kambuh atau
karena reinfeksi).
2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal: adalah pasien TB yang pernah
diobati dan dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.
3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up):
adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow up.
(Klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah putus
berobat /default).
4) Lain-lain: adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil akhir
pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
c. Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.
Adalah pasien TB yang tidak masuk dalam kelompok 1) atau 2).

34
3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji
Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa:
a. Mono resistan (TB MR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama saja.
b. Poli resistan (TB PR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap lebih dari
satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan.
c. Multi drug resistan (TB MDR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan, dengan atau tanpa diikuti
resitan OAT lini pertama lainnya.
d. Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) secara
bersamaan. Apabila hanya resistan terhadap OAT golongan fluorokuinolon atau
OAT lini kedua jenis suntikan secara tidak bersamaan dikenal sebagai kasus TB
pre-XDR.
e. Resistan Rifampisin (TB RR): Mycobacterium tuberculosis resistan terhadap
Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (Tes Cepat Molekuler) atau metode fenotip
(konvensional).
4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status HIV
a. Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV): adalah pasien TB
dengan:
1) Hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART, atau
2) Hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB.
b. Pasien TB dengan HIV negatif: adalah pasien TB dengan:
1) Hasil tes HIV negatif sebelumnya, atau
2) Hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB.

Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi
positif, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai pasien TB
dengan HIV positif.

35
c. Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui: adalah pasien TB tanpa ada bukti
pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan.
Catatan: Apabila pada pemeriksaan selanjutnya dapat diperoleh hasil tes HIV
pasien, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya berdasarkan hasil tes
HIV terakhir.

F. Komunikasi Motivasi

Pengobatan pasien TB memakan waktu yang lama, diperlukan suatu upaya serta tekad
yang kuat dari pasien dengan dukungan lingkungan sekitarnya agar dapat menjalani
pengobatan sampai sembuh. Oleh sebab itu diperlukan dorongan bagi pasien agar
dapat memotivasi dirinya untuk membuat keputusan terkait tata laksana pengobatan
yang dijalaninya.

1. Definisi Komunikasi Motivasi (KM)

Metode komunikasi untuk motivasi (KM) adalah salah satu pendekatan komunikasi
untuk perubahan perilaku. Meskipun tidak semua perubahan perilaku dalam masalah
kesehatan dapat diselesaikan dengan pendekatan KM.

Sebagai model komunikasi, KM bersifat membimbing dan berpusat pada pasien


untuk perubahan perilaku dengan cara membantu pasien mengatasi sikap mendua
dalam membuat keputusan. Perilaku pasien cenderung berubah apabila memiliki
motivasi kuat untuk berubah yang berasal dari pemikiran mereka sendiri.

KM memuat 4 ketrampilan dasar yaitu (Refleksi, Afirmasi, Pertanyaan Terbuka


Tertutup Mengarahkan, dan Bertanya Cerita Bertanya).
Konsep dasar KM terdiri dari kolaborasi antara petugas kesehatan dan pasien dalam
upaya untuk memunculkan motivasi dalam diri pasien dan menghargai otonomi
pasien.

2. Prinsip umum dari KM

a. Menunjukkan empati

Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi dan


merasakan perasaan orang lain. Didalam menerapkan KM petugas kesehatan
menaruh perhatian penuh untuk memahami pasien dan melihat masalah dari sudut
pandang pasien.

36
Contoh :

Pasien mengatakan : Saya tidak tahu berbuat apa untuk pengobatan TB karena
saya harus minum obat banyak sekali.

Empati petugas ditunjukkan dengan mengucapkan: Kedengarannya anda kuatir


tentang pengobatan anda

b. Hindari perdebatan

Di dalam praktik sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan, pasien


seringkali membuat keputusan yang menurut petugas kurang tepat sehingga
petugas cenderung mengarahkan ke arah yang benar. Dalam penerapan KM
sebaiknya petugas menghindari perdebatan untuk mengubah keputusan pasien
karena membuat pasien tidak nyaman. Petugas sebaiknya memahami dan
mengetahui alasan mengapa pasien mengambil keputusan tersebut, serta bekerja
sama untuk menggali pilihan-pilihan lain yang lebih baik bagi pasien.

Contoh :

Pasien memutuskan untuk berhenti minum obat karena efek samping obat berupa
mual dan pusing. Petugas menjelaskan bahwa efek samping ini dapat diatasi
dengan cara berkonsultasi ke puskesmas dan mendapatkan obat untuk
menanggulangi efek samping tersebut tanpa harus berhenti meminum obat demi
kesembuhan pasien.

c. Memberikan gambaran dua situasi berbeda

Dalam situasi tertentu terkadang pasien tidak dapat mengambil keputusan terkait
dengan masalah kesehatannya. Petugas membimbing pasien untuk memberikan
gambaran tentang kondisi berbeda yang akan terjadi bila pasien mengambil
keputusan untuk berobat atau tidak. Hal ini akan membantu pasien melihat
dampak negatif dan positif dari masalah kesehatannya dan termotivasi untuk
membuat suatu keputusan yang tepat.

Contoh :

Bila pasien menolak memulai pengobatan TB, Petugas dapat membimbing pasien
untuk membayangkan dalam 6 bulan ke depan apabila pasien meminum obat dan
tidak menjalankan pengobatan TB. Pasien diminta untuk membandingkan kedua
hal tersebut.

37
d. Memampukan pasien dalam membuat keputusan

Melalui tahapan ini petugas kesehatan bukan hanya membantu pasien dalam
meneguhkan motivasi tetapi juga meningkatkan rasa percaya diri dan kemampuan
pasien untuk berubah menjadi lebih baik.

Contoh :

Pasien memutuskan untuk memulai pengobatan penyakitnya.

Petugas kesehatan mendukung keputusan pasien dan menyampaikan kepada


pasien apa yang bisa dibantu untuk memudahkan pasien menjalani pengobatan

3. Keterampilan dasar KM

Terdapat 4 ketrampilan kunci komunikasi untuk Motivasi (KM), antara lain :

a. Refleksi Mengulang pernyataan pasien

Refleksi adalah pernyataan (bukan pertanyaan) yang mengharuskan petugas


kesehatan mendengarkan, mengamati dan menginterpretasi isyarat verbal dan
visual pasien agar sesuai dengan yang dimaksud. Untuk dapat mengulang
pernyataan pasien, petugas harus mendengarkan dengan baik apa yang
disampaikan pasien. Keterampilan ini membutuhkan banyak praktik.

Mendengarkan yang baik bukan berarti diam dan hanya mendengarkan apa
yang pasien katakan. Kunci dari mendengarkan secara aktif adalah bagaimana
petugas menanggapi kata-kata pasien. Oleh karena itu teknik ini kadang disebut
juga empati atau mendengarkan secara aktif.

Berikut ini hal-hal yang tidak disarankan dan harus dihindari:

Memberi advis, saran atau solusi

Persuasi atau mengkuliahi

Menceramahi

Tidak menyetujui, menghakimi atau mempersalahkan


Menyepakati, menyetujui, ataumemberi ungkapan

Mempermalukan, mengolok-olok atau memberi julukan

Menganalisa

38
Meyakinkan atau memberi simpati

Mempertanyakan atau menggali informasi (probing)

Perilaku-perilaku di atas tidak disarankan karena bukan termasuk cara


mendengarkan yang aktif, namun mengalihkan perhatian petugas dari
mendengarkan pasien dan menghambat penggalian diri pasien. Petugas
mengarahkan pasien untuk mendengarkan petugas, seolah-olah petugas
mengerti yang terbaik bagi pasien.

Perilaku-perilaku di atas tidak membantu dalam menggali sikap ambivalensi


(mendua) pasien, namun hanya mencoba memaksa pasien untuk menyetujui
sebuah solusi secara dini. Petugas kesehatan tidak sungguh-sungguh
mendengarkan, dan tidak memberi kesempatan kepada pasien untuk
berbicara..

Inti refleksi adalah menduga maksud perkataan pasien. Petugas harus


mendengarkan kata-kata pasien, dan memahaminya karena bisa terjadi salah
pengertian. Refleksi memungkinkan petugas menduga maksud perkataan
pasien dan menyuarakan dugaan tersebut dalam bentuk pernyataan.

Dalam refleksi digunakan pernyataan, dan bukan pertanyaan karena


pertanyaan menuntut jawaban dari pasien, yang dapat menimbulkan sikap
membela diri dari sisi pasien. Sedangkan pernyataan tetap berfokus pada
pasien sehingga pasien dapat memberi/tidak memberi reaksi terhadap refleksi
petugas, sesuai keinginan pasien.

Tingkat refleksi berbeda-beda, beberapa diantaranya cukup sederhana.


Terkadang hanya mengulangi satu atau dua kata dari pernyataan pasien sudah
cukup, dengan hanya mengulangi atau mengulangi pernyataan awal pasien
dengan kata-kata yang sedikit berbeda.

Contoh:

Pasien: Saya tidak merasa baik hari ini.

Petugas Kesehatan: Bapak kurang sehat hari ini


Refleksi sederhana berguna untuk menggerakkan pembicaraan, tapi cenderung
lebih lambat. Anda juga bisa merasa seperti burung beo, hanya mengulangi

39
segala yang pasien katakan ini melelahkan petugas, dan menjengkelkan bagi
pasien.

Refleksi kompleks sebaliknya menambah arti atau penekanan terhadap apa


yang dikatakan pasien, dengan membuat dugaan tentang makna lebih dalam
dari pernyataan pasien, atau menduga apa yang akan mereka katakan
selanjutnya.

Contoh:

Pasien : Saya tahu perlu diperiksa dahak untuk mengetahui saya sakit TB -RO,
tapi saya takut.

Petugas Kesehatan : (menduga) Kalau Bapak ternyata hasilnya TB-RO, Bapak


tidak tahu harus berbuat apa.

Pada percakapan di atas, pasien tidak mengatakan kuatir bila hasil


pemeriksaan dahak positif TB-RO, namun petugas mempunyai cukup alasan
untuk menduga kekuatiran pasien.

Percakapan juga dapat mengarah ke pembicaraan tentang apa yang menjadi


hambatan untuk tes laboratorium. Refleksi ini walaupun awalnya terasa
canggung, namun mempermudah proses komunikasi dan kesamaan persepsi
antara petugas dan pasien. Prinsipnya adalah untuk tidak menduga yang
berlebiihan.

Ada beberapa jenis refleksi kompleks yang dapat digunakan agar


percakapan dengan pasien terus mengalir.

Parafrase: menyatakan ulang dan menyimpulkan arti dari pernyataan pasien

Refleksi perasaan: menekankan aspek emosi dari komunikasi

Refleksi dua arah: menyampaikan dua sisi dari suatu isu: Di satu pihak ,
di lain pihak

Merangkum: merefleksikan berbagai pesan yang dibuat pembicara,


merangkumnya menjadi satu
Refleksi tidak lebih panjang dari pernyataan yang direfleksikan semakin
ringkas semakin baik. Buat satu dugaan apa yang dimaksud dalam
pernyataan pasien, dan tidak berbelit-belit.

40
b. Peneguhan (afirmasi) Melihat sisi positif

Afirmasi adalah menekankan hal yang positif. Seringkali petugas lebih fokus
mengkoreksi kesalahan pasien sehingga lupa perilaku positif pasien.

Melakukan afirmasi berarti memberikan dukungan dan semangat yang berguna


sehingga pasien merasa dihargai dan dipercayai oleh petugas.

Contoh afirmasi sederhana:

Anda berusaha cukup keras minggu ini!

Meskipun anda tidak terlalu berhasil, anda menunjukkan niat untuk sembuh

Terima kasih karena telah kembali sesuai janji ini menunjukkan anda
memperhatikan kesehatan anda dengan serius!

Afirmasi sebaiknya tidak dibuat-buat, tulus dan apa adanya.

Afirmasi juga bisa digunakan untuk mengemas sikap atau situasi pasien
dengan positif.

Contoh:

Anda kesal dengan diri anda sendiri karena telah berjanji untuk minum obat
TB/ARV setiap hari. Anda terganggu dengan efek samping obat yang
menyebabkan mual dan muntah-muntah. Anda tetap berusaha untuk datang
minum obat setiap hari ke Puskesmas. Anda mempunyai kemauan kuat untuk
sehat.

Penting untuk diingat bahwa afirmasi bukan memuji. Memuji bisa menjadi
hambatan berkomunikasi dengan pasien karena menempatkan petugas dalam
posisi menilai pasien dimana petugas memutuskan perilaku mana yang dipuji
dan mana yang dikritisi. Ada beberapa cara untuk menghindari masalah ini:

Hindari penggunaan kata Saya

Fokus pada perilaku yang spesifik

Fokus pada deskripsi, bukan evaluasi

Sebagai catatan, afirmasi biasanya diletakkan di akhir kalimat.


41
c. Pertanyaan Terbuka, Tertutup dan Mengarahkan

Pertanyaan diajukan untuk membantu petugas memahami pasien dengan lebih


baik, termasuk pengetahuan, kebutuhan dan kekuatiran mereka. Namun,
petugas terkadang tidak melakukannya dengan baik. Sering terjadi petugas
langsung mengajukan banyak pertanyaan:

Apakah anda selalu memakai masker??

Apakah anda teratur minum obat?

Apakah anda masih merokok?

Apakah anda sudah dites HIV?

Apakah keluarga mengetahui anda sakit TB-RO?

Apabila pasien tiba-tiba dihadapkan pada banyak pertanyaan, maka pasien akan
merasa diinterogasi. Pertanyaan yang diajukan dapat memberikan informasi
spesifik, namun menunjukkan posisi petugas yang lebih superior dan dapat
merusak hubungan yang dibangun. Pertanyaan yang lebih baik: Efek samping
apa yang anda rasakan setelah minum obat TB?.

Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang memberikan kebebasan pasien


untuk menjawab.

Contoh:

Apa yang membuat anda sulit memakai masker setiap hari?

Apa yang membuat anda sulit datang ke Puskesmas setiap hari?

Bagaimana supaya keluarga anda tidak tertular?

Pertanyaan terbuka merupakan keterampilan penting yang memungkinkan


menggali banyak informasi dari pasien. Pertanyaan terbuka memungkinkan
pasien untuk berbagi informasi atau pengalaman sesuai keinginan mereka. Hal ini
menegaskan kembali hubungan antara petugas dan pasien. Pasien bisa juga
berbagi informasi atau pengalaman yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Pertanyaan terbuka bukan satu-satunya pertanyaan yang tepat. Kebalikan dari


pertanyaan terbuka ialah pertanyaan tertutup yang membatasi pilihan pasien
dalam merespon, dan/atau menggali informasi spesifik.
42
Contoh:

Apakah anda merokok?

Berapa usia anda?

Dimana alamat anda?

Pertanyaan tertutup bisa digunakan untuk melakukan cek kesimpulan (Contoh:


Apakah saya melupakan sesuatu?) atau untuk mengajukan permohonan ijin
(Contoh: Apakah anda ingin tahu lebih jauh tentang ini?) atau untuk meminta
klarifikasi tentang poin spesifik dimana pertanyaan terbuka telah gagal
memberikan jawaban.

Pesan yang ingin disampaikan disini ialah bahwa pertanyaan tertutup bukan
berarti tidak boleh digunakan sama sekali, namun digunakan sesuai dengan
keperluannya.

Tipe pertanyaan yang sebaiknya dihindari ialah pertanyaan yang mengarahkan


atau pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban (retorika):

Anda menggunakan masker, bukan?

Anda tahu bahwa tuberkolosis itu menular, kan?

Bukankan istri anda berarti bagi anda?

Pertanyaan-pertanyaan ini selain membatasi kemungkinan jawaban, namun juga


mengarahkan pada jawaban tertentu. Hal ini bukan hanya menempatkan petugas
dalam posisi yang lebih tinggi (menilai hal yang baik dan hal yang jelek), namun
jawaban juga tidak bisa dipercaya sepenuhnya. Apakah pasien benar
mengunakan masker atau ia menjawab karena petugas menginginkan jawaban
demikian?

d. Bertanya-Beritahu-Bertanya (Ask-Tell-Ask) Memberi Informasi dan Saran

Ada dua hal penting dalam KM yang perlu diingat:

1) Petugas memberi informasi dan/atau saran berdasarkan ijin

43
2) Petugas tidak perlu memberikan semua informasi namun sesuai dengan
kebutuhan dan perspektif pasien sehingga pasien dapat mengambil
kesimpulan sendiri.

4. Bertanya (Ask) Informasi

Bertanya Beritahu Bertanya atau B3 merupakan strategi sederhana untuk


mengukur sejauh mana pemahaman pasien dan memberikan informasi sesuai
kebutuhan. Strategi ini dimulai dengan sebuah pertanyaan untuk menelusuri
pengetahuan dan pengalaman pasien, minat pasien, dll. Beberapa contoh
pertanyaan:

Ceritakan pada saya apa yang Anda ketahui tentang efek samping dari
pengobatan TB.

Menurut Anda apa manfaat terbesar dari memakai masker?

Apa yang Anda pikirkan tentang TB?

Di sini tujuannya adalah untuk mendapat informasi tentang pengalaman dan/atau


pengetahuan pasien sebelumnya. Hal ini untuk menghindari petugas memberikan
informasi yang sudah diketahui pasien. Selain itu juga bisa mengetahui sejauh mana
pemahaman pasien, dan dengan demikian petugas bisa memberi informasi relevan
untuk pasien.

Strategi ini ditujukan untuk membantu petugas agar waktu yang terbatas dapat
difokuskan pada pemberian informasi yang bermanfaat bagi pasien.

Mendapat persetujuan

Petugas menindaklanjuti pertanyaan di atas dengan pertanyaan berikut, untuk


mendapat persetujuan pasien atas informasi atau saran tambahan yang akan
diberikan, misalnya:

Apakah Anda berminat untuk mendengar lebih lanjut mengenai TB Resistan Obat

Apakah Anda keberatan kalau saya ceritakan bagaimana orang lain berhasil
melakukannya?

Langkah ini penting untuk menunjukkan bahwa kita menghormati pasien dan dapat
membuat pasien lebih mendengarkan apa yang petugas katakan. Apabila hubungan

44
antara petugas dan pasien baik, maka pasien hampir selalu menyetujui permintaan
petugas.
Kadang-kadang pasien memiliki pemahaman yang salah dan petugas perlu
mengkoreksi pemahaman tersebut. Teknik yang dapat digunakan tanpa menggurui
dan tidak mengurangi rasa hormat ialah:

Pertama, tunjukkan empati kepada pasien bahwa petugas memahami perasaan


mereka

Kedua, ceritakan tentang orang lain mengalami hal yang sama

Ketiga, ceritakan bahwa orang lain tersebut akhirnya menyadari bahwa


pemikiran tersebut tidak benar

Contoh :

Petugas: Ceritakan kepada saya apa yang Ibu tahu tentang melindungi diri Ibu dari
penularan TB ?.

Pasien: Saya tahu saya harus menggunakan masker. Tapi mustahil bagi saya untuk
menggunakan masker terus menerus. Mereka merasa saya sebagai orang aneh
dengan memakai masker terus!

Petugas : Jadi walaupun Ibu tahu cara untuk tetap aman, Ibu merasa tidak berdaya
untuk melakukan apa-apa. Saya kenal banyak wanita yang merasakan hal yang
sama waktu mereka pertama memakai masker. Tetapi mereka berusaha dan
mereka menemukan cara meyakinkan bahwa masker akan mencegah penularan
TB. Apa Ibu mau mendengar beberapa cara yang sudah berhasil bagi wanita -wanita
lain?

Pasien: Boleh, Dok!

5. Memberi tahu (Tell) informasi

Bila pasien anda setuju untuk melanjutkan pembicaraan, langkah selanjutnya


adalah memberi informasi dan/atau saran. Kuncinya adalah fokus pada apa yang
pasien butuhkan atau ingin ia ketahui. Itulah sebabnya bertanya ialah hal pertama
yang sangat penting bagi petugas untuk dapat memberi informasi dengan jelas.
Berikan sedikit informasi, lalu konfirmasi apakah pasien mengerti atau memiliki
pertanyaan.

45
Perlu diperhatikan bahwa memberi saran dengan 3B (Bertanya - Beritahu
Bertanya) berfokus pada perubahan dimana ada potensi pasien akan melawan.
Oleh karena itu, memberi saran bukan hal utama dari strategi KM. KM berfokus
menumbuhkan solusi yang datang dari pasien dan bukan dari petugas. Pada saat
petugas perlu memberi saran, ingatlah beberapa hal ini:
a. Minta persetujuan (seperti bila anda akan memberi informasi)

b. Tekankan pilihan pribadi. Contoh: Pada akhirnya keputusan ada di tangan


anda. Namun demikian saya bisa menjelaskan beberapa pilihan

c. Tawarkan beragam pilihan sekaligus, jangan satu persatu.

Ingat, petugas dapat memberi informasi (atau saran) tapi petugas tidak dapat
mengharapkan reaksi pasien sesuai keinginan petugas. Lebih baik bila petugas
bertanya untuk mendapatkan persetujuan.

6. Bertanya (Ask) Reaksi

Langkah ketiga dalam 3B adalah menanyakan lagi kepada pasien untu k menilai
pengertian, interpretasi atau tanggapan mereka terhadap informasi dan/atau saran
yang baru disampaikan. Ini harus dilakukan secara teratur, tiap kali setelah
memberi informasi.

Caranya beragam:

Jadi, apa artinya ini bagi Anda?

Bagaimana perasaan Anda mengenai hal itu?

Apa yang ingin anda tanyakan?

Ceritakan yang saya baru sampaikan dengan kata-kata Anda sendiri.

Proses ini dapat berupa mendengarkan secara reflektif di mana anda


merefleksikan kembali reaksi pasien yang anda lihat dan dengar. Tujuannya
adalah memberi ruang pada pasien untuk memproses dan menanggapi informasi
yang baru anda sampaikan.

7. Menggabungkan semuanya

Masing-masing keterampilan tidak berfungsi secara terpisah, namun merupakan


bagian perangkat bagi petugas, untuk menggerakkan pasien ke arah perubahan.
Seperti dalam contoh di atas, anda dapat memulai sebuah sesi dengan peneguhan

46
(Senang bertemu Anda kembali!), lalu bergerak ke pertanyaan terbuka
(Bagaimana dengan perubahan-perubahan yang kita diskusikan waktu itu?)
setelah itu anda bisa mendengarkan secara reflektif untuk memandu percakapan
dengan pasien (Kedengarannya Anda sedikit kewalahan ) dan 3B untuk
memberi informasi baru (Maukah Anda mendengar pengalaman orang lain yang
berhasil mengatasi situasi seperti anda?) lalu merefleksikan dan merangkum
perasaan, ide dan pengalaman pasien sementara terus meneguhkan contoh -
contoh perubahan yang positif. Keterampilan KM bisa diulangi terus-menerus
dalam berbagai kombinasi.

Tabel Keterampilan berkomunikasi dalam KM


Keterampilan Tujuan yang ingin dicapai
1. Merefleksikan apa yang Pasien merasa lebih dihormati dan diterima serta
dikatakan pasien lebih dimengerti.
(reflection) Pasien didorong untuk memberikan informasi
tambahan
Pasien lebih bisa mengutarakan pikiran dan
perasaannya.
Pasien menjadi lebih sadar akan pikiran dan
perasaannya.
Petugas bisa meluruskan apabila terjadi
kesalahpahaman pasien tentang perihal medis.
Petugas bersikap tidak menghakimi kepada pasien.
2. Peneguhan (affirmation) Membantu petugas melibatkan pasien.
Mengurangi sikap pembelaan diri dari pasien.
Mendorong keterbukaan pasien
3. Pertanyaan terbuka (open Memberikan kesempatan yang lebih kepada pasien
question) untuk bercerita tentang dirinya.
4. Bertanya Beritahu Mendapatkan informasi dari pasien mengenai
Bertanya (Ask tell ask) sejauh mana pasien memahami tentang
penyakitnya.
Petugas dapat memberikan informasi tambahan
kepada pasien tanpa memiliki kesan untuk
menggurui pasien.

47

G. Upaya Pengendalian Faktor Risiko

Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis (M.tb). Seorang pasien TB,


khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat mengeluarkan
percikan dahak yang mengandung M.tb. Orang-orang di sekeliling pasien TB tsb dapat
terpapar dengan cara menghirup percikan dahak. Infeksi terjadi apabila seseorang yang
rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman TB melalui mulut atau hidung,
saluran pernafasan atas, bronkhus hingga mencapai alveoli.
1. Faktor risiko terjadinya TB
a. Faktor kuman TB.
Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan penularan
dibandingkan dengan BTA negatif.
Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risikoterjadi
penularan.
Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar risiko
terjadi penularan.
b. Faktor individu.
Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi sakit TB
adalah:
Faktor usia dan jenis kelamin:
Kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa muda
yang juga merupakan kelompok usia produktif.
Menurut hasil survei prevalensi TB, laki-laki lebih banyak terkena TB dari
pada wanita.
Daya tahan tubuh:
Apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab apapun,
misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV, penyandang diabetes
mellitus, gizi buruk, keadaan immunosupresif, bilamana terinfeksi dengan
M.tb, lebih mudah jatuh sakit.
Perilaku:
Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai etika akan
meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan.
Merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.

48
Sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan cara
pengobatan.
Status sosial ekonomi:
TB banyak menyerang kelompok sosial ekonomi lemah.
c. Faktor lingkungan:
Lingkungan perumahan padat dan kumuh akan memudahkan penularan TB.
Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
matahari akan meningkatkan risiko penularan.
2. Upaya Pengendalian Faktor Risiko TB
Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai dengan
mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat. Upaya yang
dilakukan adalah:
a. Pengendalian Kuman Penyebab TB
Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan pengobatan tetap
tinggi
Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TB) yang
mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV, diabetes, dll.
b. Pengendalian Faktor Risiko Individu
Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, makan
makanan bergizi, dan tidak merokok
Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang dahak bagi
pasien TB
Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas nutrisi bagi
populasi terdampak TB
Pencegahan bagi populasi rentan melalui vaksinasi dan pengobatan
pencegahan (Materi pencegahan bagi populasi rentan dibahas lebih lanjut
pada modul pengobatan)
c. Pengendalian Faktor Lingkungan
Mengupayakan lingkungan sehat
Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat
d. Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko tinggi penularan
TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan, tempat kerja, institusi pendidikan

49
berasrama, dan tempat lain yang teridentifikasi berisiko.
Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil, belum ada
program, padat penduduk).
e. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam pemberian
pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Semua fasyankes
yang memberi layanan TB harus menerapkan PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan
seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita TB. Materi PPI TB akan
dibahas lebih lanjut pada modul Manajemen.

H. Pencatatan Dan Pelaporan Penemuan Pasien TB


Pencatatan dan pelaporan yang terkait dengan penemuan pasien TB adalah:
1) Daftar Terduga TB (TB.06)
2) Formulir Permohonan Pemeriksaan Bakteriologis TB (TB.05)
3) Register Laboratorium TB untuk Laboratorium Faskes Mikroskopis dan Tes Cepat
(TB.04)
4) Register Kontak TB (TB.16)
5) Pelacakan Kontak Anak (TB.15)

Contoh dan cara pengisian formulir dibahas di lembar kerja tersendiri.

VIII. REFERENSI

A.
eraturan Menteri Kesehatan TB No.67 tahun 2016 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis
B.
trategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis, 2015-2019
C.
encana Aksi Nasional Penanggulangan Tuberkulosis tahun 2015-2019

IX. LAMPIRAN

50

Anda mungkin juga menyukai