Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pajak adalah iuran wajib yang dipungut oleh negara untuk memenuhi
pendanaan kebutuhan negara. Meskipun bersifat wajib, tidak semua wajib pajak
memenuhi kewajibannya. Banyak di antara mereka yang lalai bahkan
cenderung menghindari pembayaran pajak. Hal ini akan menghambat laju
pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah membuat aturan tentang
pemungutan pajak.
Dalam melakukan tindakannya administrasi negara memerlukan
keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Akan tetapi, setiap
tindakan administrasi haruslah berdasarkan hukum, artinya sikap yang
dilakukan administrasi tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik
secara moral maupun secara hukum. Oleh sebab itu dengan adanya aturan
dalam bertindak bagi administrasi negara yang memasuki semua sektor
kehidupan masyarakat termasuk di dalamnya bidang perpajakan, dapat
mencengah timbulnya kerugian bagi masyarakat ataupun negara.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hukum administrasi?
2. Apa yang dimaksud hukum pidana?
3. Apa saja jenis-jenis peradilan administrasi pajak?
4. Apa yang dimaksud keberatan?
5. Apa yang dimaksud banding?
6. Bagaimana cara melakukan pengajuan permohonan peninjauan kembali
sanksi administrasi perpajakan?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak dicapai dengan adanya makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran tentang peradilan pajak dan sengketa pajak.
2. Untuk mengetahui cara melakukan banding.

1
BAB II

PEMBAHASAN

PERADILAN DALAM HUKUM PAJAK

Hukum pajak dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:


1. Hukum administrasi.
2. Hukum pidana.

Santoso Brotodiharjo, Pengantar Hukum Pajak, (Bandung: PT Eresco, 1995),


hlm, 131.

2.1 HUKUM ADMINISTRASI


Hukum administrasi umumnya berupa sanksi administrasi, baik berupa bunga,
denda, tambahan pokok pajak, maupun kenaikan dan dijatuhkan oleh fiskus. Sanksi
administrasi umumnya berkaitan dengan masalah-masalah ketidaktaatan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban seperti tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tapi tidak benar dan tidak lengkap
karena alpa dan lain-lain.

2.2 HUKUM PIDANA


Hukum pidana berkaitan dengan denda pidana maupun hukum penjara dan
dijatuhkan oleh hakim. Hukuman pidana umumnya berkaitan dengan perbuatan-
perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan seperti sengaja tidak
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, memperlihatkan pembukuan,
pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar; dan
lain-lain.

2.3 PERADILAN ADMINISTRASI PAJAK


Peradilan administrasi pajak umumnya melibatkan minimal dua pihak, yaitu pihak
Wajib Pajak dengan aparat pajak (fiskus).

2
Peradilan administrasi pajak dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Peradilan administrasi tidak murni.
2. Peradilan administrasi murni.

Peradilan Administrasi Tidak Murni


Peradilan administrasi ini disebut peradilan administrasi tidak murni karena dalam
peradilan administrasi ini hanya melibatkan dua pihak, yaitu Wajib Pajak dan pihak
fiskus tanpa melibatkan pihak ketiga yang independen. Fiskus sebagai pihak yang
bersengketa sekaligus menjadi pihak yang mengambil keputusan dalam
perselisihan pajak yang bersangkutan.
Contoh peradilan administrasi tidak murni dapat dilihat dalam pengajuan
keberatan yang diatur dalam Pasal 25 dan 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Wajib Pajak mengajukan keberatan (doleansi) karena adanya perselisihan
mengenai besarnya jumlah utang pajak. Oleh karena itu, ada dua hal yang harus
diperhatikan, yaitu:
1. Terhadap surat keberatan yang masuk harus diambil keputusan.
2. Pihak yang mengambil keputusan adalah aparatur pajak (Dirjen Pajak,
Kakanwil Pajak, dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan
kewenangan masing-masing) yang disebut sebagai hakim doleansi.

Peradilan Administrasi Murni


Peradilan administrasi murni adalah peradilan yang melibatkan tiga pihak, yaitu
Wajib Pajak, fiskus, dan hakim yang mengadili. Wajib Pajak dan fiskus adalah
pihak yang bersengketa, sedangkan hakim atau majelis hakim adalah pihak yang
akan memutuskan sengketa tersebut.
Contoh peradilan administrasi murni dapat dilihat dalam pengajuan banding
yang diatur dalam Pasar 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang
ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak.

3
2.4 KEBERATAN DAN BANDING
Keberatan
Dasar hukum Pasar 25 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.

Pengertian
Dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
kemungkinan terjadi bahwa Wajib Pajak (WP) merasa kurang/tidak puas atas suatu
ketetapan pajak yang dikenakan kepadanya atau atas pemotongan/pemungutan oleh
pihak ketiga. Dalam hal ini, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada
Dirjen Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak di mana Wajib Pajak yang
bersangkutan terdaftar.

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas suatu:


1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN);
5. Pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.

Pihak yang dapat mengajukan keberatan adalah:


1. Bagi Wajib Pajak Badan oleh Pengurus.
2. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
3. Pihak yang dipotong/dipungut oleh pihak ketiga.
4. Kuasa yang ditunjuk oleh mereka pada poin 1-3 di atas dengan surat kuasa
khusus untuk pengajuan keberatan.

4
Syarat-syarat mengajukan keberatan adalah:
1. Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut, atau jumlah rugi menurut perhitungan Wajib Pajak dengan
disertai alasan yang menjadi dasar perhitungan.
2. Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib
Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit
sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan sebelum surat
keberatan disampaikan.
3. Jika Wajib Pajak mengajukan keberatan maka jangka waktu pelunasan
pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan
tertangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan surat
keputusan keberatan.
4. Jika Wajib Pajak mengajukan banding atas putusan keberatan maka jangka
waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat
pengajuan keberatan ditangguhkan sampai dengan satu bulan sejak tanggal
penerbitan surat keputusan banding.
5. Satu keberatan harus diajukan untuk satu jenis dan satu tahun/masa pajak.

Jangka waktu pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah :


1. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal
SKPKB, SKPKBT, SKPN atau sejak tanggal dilakukan
pemotongan/pemunguan oleh pihak ketiga, kecuali Wajib Pajak dapat
menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena
keadaan di luar kekuasaannya.
2. Untuk surat keberatan yang disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak,
maka jangka waktu tiga bulan dihitung sejak tanggal SKPKB, SKPKBT,
SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai
saat keberatan diterima oleh Kantor Pelayanan Pajak.
3. Untuk surat keberatan yang disampaikan melalui pos (harus dengan pos
tercatat), maka jangka waktu tiga bulan dihitung sejak SKPKB, SKPKBT,

5
SKPN atau sejak dilakukan pemotongan/pemungutan oleh pihak ketiga sampai
dengan tanggal tanda bukti pengiriman melalui Kantor Pelayanan Pajak.

Hal yang dapat diminta oleh Wajib Pajak dalam hal pengajuan keberatan
adalah penjelasan/keterangan tambahan dan Kepala KPP wwajib memberikan
penjelasan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi, pemotongan atau pemungutan pajak.

Keputusan atas surat keberatan adalah sebagai berikut.

1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Wilayah atau Direktur
Jenderal Pajak harus sudah memberikan keputusan atas surat keberatan
paling lambat 12 bulan sejak tanggal surat kebertan diterima. Selanjutnya,
surat keberatan harus diterbikan selambat-lambatnya 3 bulan sejak jangka
waktu 12 bulan tersebut berakhir. Apabila dalam jangka waktu 12 bulan
Kepala KPP atau Kepala Kantor Wilayah, atau Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan maka keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
dianggap diterima.
2. Wajib Pajak yang mengajukan kebertan, tetapi tidak memenuhi persyaratan
yang ditetapkan, maka Kepala KPP akan memberikan jawaban tertulis
dengan surat biasa (bukan surat keputusan penolakan) selambat-lambatnya
1 bulan sejak jangka waktu pengajuan berakhir.
3. Sebelum surat keputusan diterbikan, Wajib Pajak dpaat menyampaikan
alasa tambahan atau penjelasan tertulis.
4. Keputusan keberatan dapat berupa dikabulkan seluruhnya, dikabulkan
sebagian, ditolak, dan menambah jumlah pajak. Apabila Wajib Pajak tidak
atau belum puas dengan keputusan yang diberikan atas keberatan maka
Wajib Pajak dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak.

Sanksi administrasi sebagai berikut.

1. Jika keberatan ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak


deokenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 50 persen dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

6
2. Jika Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi
yang dimaksud di atas tidak dikenakan.
3. Jika permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib
Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sbesar 100 persen
dari jumlah pajak berdasarkan keputusan banding dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.

Kewenangan dalam mengambil keputusan merupakan wewenang Direktur


Jenderal Pajak yang begitu luas dan diberikan oleh undang-undang perpajakan.
Direktur Jenderal Pajak harus mengambil suatu keputusan yang disesuaikan dengan
struktur organisasi dari Direktorat Jenderal Pajak.

Banding

Dasar Hukum

Berdasrkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak,


Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa
pajak. Tugas pengadilan adalah memutuskan sengketa pajak.

Pengertian

1. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan


antara Wajip Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan
kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan, termasuk gugatan atau pelaksanaan penagihan berdasarkan
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
2. Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung pajak terhadap suatu keputusan yang dapat diajukan banding,
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
3. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap

7
keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
4. Surat uraian banding adalah surat terbanding kepada pengadilan pajak yang
berisi jawaban atas alaasan banding yang diajukan oleh pemohon banding.
5. Surat tanggapan adalah surat dari tergugat kepada pengadilan pajak yeng
berisi jawaban atas gugatan yang diajukan oleh penggugat.
6. Surat bantahan adalah surat dari pemohon atau penggugat kepada
pengadilan pajak yang berisi bantahan atas surat uraian dandong atau surat
tanggapan.
7. Hakim tunggal adalah hakim yang ditunjuk oleh ketua untuk memeriksa dan
memutuskan sengketa pajak.
8. Hakim anggota adalah hakim suatu majelis yang ditunjuk oleh ketua untuk
menjadi anggota dalam majelis.
9. Sekretaris, wakil sekretaris, dan sekretaris pengganti adalah sekretaris, akil
sekretaris, dan sekretaris pengganti pada pengadilan pajak.
10. Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti adalah sekretaris, wakil
sekretaris, dan sekretaris pengganti pengadilan pajak yang melaksanakan
fungsi kepaniteraan.

Pengadilan Pajak

Pengadilan pajak berkedudukan di ibu kota negara. Sususan pengadilan pajak


terdiri atas pimpinan, hakim anggota, sekretaris, dan panitera. Pimpinan
pengadilan pajak terdiri atas seorang ketua dan paling banyak lima orang akil
ketua.

Hakim tidak boleh merangkap menjadi :

1. Pelaksana keputusan pengadilan pajak;


2. Wakil, pengampun, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengketa
pajak yang akan aau sedang diperiksa olehnya;
3. Penasihat hukum;
4. Konsultan pajak;
5. Akuntan publik; dan

8
6. Pengusaha

2.5 PANITERA

1. Pada pengadilan pajak ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin oleh


seorang panitera.
2. Dalam melaksanakan tugasnya, panitera pengadilan pajak dibantu oleh
seorang wakil panitera dan beberapa orang panitera pengganti.
3. Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan UU, panitera, wakilnya dan
panitera pengganti tidak boleh merangkap menjadi :
a. Pelaksana putusan pengadilan pajak
b. Wali, pengampun, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengketa
pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya
c. Penasihat hukum, konsultan pajak, akuntan publik, pengusaha
4. Panitera, wakil panitera, dan panitera pengganti diangkat dan diberhentikan
dari jabatannya oleh menteri.
5. Pembinaan teknis panitera dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Kekuasaan Pengadilan Pajak

1. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan


memutuskan sengketa pajak.
2. Pengadilan pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus
sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh perundang-
undangan yang berlaku.
3. Gugatan Wajib Pajak atau penganggung pajak terhadap :
a. Pelaksana Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau
pengumuman lelang.
b. Keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan.
c. Keputusan pembetulan yang berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak.
4. Pengadilan pajak adalah pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam
memeriksa dan memutuskan sengketa pajak.

Syarat-syarat mengajukan banding adalah :

9
1. Banding diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada
pengadilan pajak.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterimanya
keputusan yang dibandingkan, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundangan-undangan perpajakan.
3. Jangka waktu tersebut tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak
dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan pemohon banding.
4. Terhadap satu keputusan diajukan satu surat banding.
5. Banding diajukan disertai dengan alasan-alasan yang jelas dan dicantumkan
tanggal diterimanya surat keputusan yang dibanding.
6. Pada surat banding dilampirkan salinan keputusan yang dibanding.
7. Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang
dimaksud telah dibayar sebesar 50 persen.
8. Banding dapat diajukan oleh Wajib Pajak, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya.
9. Apabila selama proses banding, pemohon banding meninggal dunia,
banding dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli
warisnya, pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.
10. Apabila selama proses banding pemohon banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi,
permohonan yang dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima
pertanggungjawaban karena likuidasi yang dimaksud.
11. Pemohon banding dapat melengkapi surat bandingnya untuk memenuhi
ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud diatas.
12. Terhadap bandingan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada
pengadilan pajak.
13. Banding yang dicabut, dihapus dari daftar sengketa dengan :
a. Penetapan ketua dalam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum
siding dilaksanakan

10
b. Putusan majelis / hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan
terbanding.
14. Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat diajukan
kembali.

Gugatan

Syarat syarat mengajukan gugatan adalah :

1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada pengadilan


pajak.
2. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap pelaksana penagihan
pajak adalah 14 hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan.
3. Jangka waktu untuk mengajukan gugatan terhadap keputusan selain gugatan
adalah 30 hari sejak tanggal diterimanya keputusan yang digugat.
4. Jangka waktu sebagaimana yang dimaksud diatas tidak mengikat apabila
tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan penggugat.
5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana yang dimaksud diatas adalah 14
hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat.
6. Terhadap satu pelaksanaan penagihan atau satu keputusan diajukan satu
surat penggugat.
7. Gugatan dapat diajukan oleh penggugat, ahli warisnya, seorang pengurus,
atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan yang jelas, mencantumkan
tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau keputusan yang digugat dan
dilampirkan salinan dokumen yang digugat.
8. Apabila selama proses gugatan, penggugat meninggal dunia, maka gugatan
dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya, kuasa hukum dari ahli warisnya,
pengampunya dalam hal pemohon banding pailit.
9. Apabila selama proses gugatan, pemohon banding melakukan
penggabungan, peleburan, pemecahan / pemekaran usaha, atau likuidasi,
permohonan yang dimaksud dapat dilanjutkan oleh pihak yang menerima
pertanggungjawaban karena likuidasi yang dimaksud.

11
10. Terhadap bandingan dapat diajukan surat pernyataan pencabutan kepada
Pengadilan Pajak.
11. Gugatan yang dicabut dihapud dari daftar sengketa dengan :
a. Ketetapan ketua dalam surat pernyataan pencabutan diajukan sebelum
sidang dilaksanakan.
b. Putusan majelis / hakim tunggal melalui pemeriksaan dalam hal surat
pernyataan pencabutan diajukan dalam sidang atas persetujuan tergugat.
12. Banding yang telah dicabut melalui penetapan putusan tidak dapat diajukan
kembali.
13. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan
pajak atau kewajiban pajak.
14. Penggugat dapat mengajukan permohonan agar tindak lanjut pelaksanaan
penagihan pajak ditunda selama pemeriksaan sengketa pajak sedang
berjalan, sampai ada putusan pengadilan pajak.
15. Permohonan dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus
terlebih dahulu dari pokok sengketanya.
16. Permohonan penundaan dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan
yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat
dirugikan jika dilaksanakan penagihan pajak yang digugat itu dilaksanakan.

Persiapan Persidangan

Persiapan-persiapan dalam persidangan sebagai berikut .

1. Peradilan pajak meminta surat uraian banding atau surat tanggapan atas
surat banding atau surat gugatan kepada terbanding atau tergugat dalam
jangka waktu 14 hari sejak diterima surat banding atau gugatan.
2. Jika pemohon banding mengirimkan surat atau dokumen susulan kepada
peradilan pajak, jangka waktu (14) hari sebagaimana dimaksud seperti di
atas dihitung sejak tanggal diterima surat atau dokumen susulan dimaksud.
3. Terbanding atau tergugat menyerahkan surat uraian banding atau surat
tanggapan sebagaimana dimaksud di atas dalam jangka waktu:
a. Tiga (3) bulan sejak tanggal dikirim permintaan surat uraian banding;
b. Satu (1) bulan sejak tanggal dikirim permintaan surat tanggapan;

12
c. Salinan surat uraian banding atau surat tanggapan sebagaiman yang
dimaksud di atas oleh pengadilan pajak dikirim kepada pemohon
banding atau penggugat dalam jangka waktu empat belas (14) hari sejak
tanggal diterima;
d. Pemohon banding atau penggugat dapat menyerahkan surat bantahan
kepada pengadilan pajak dalam jangka waktu (30) hari sejak tanggal
diterima salinan surat uraian banding atau surat tanggapan sebagaimana
dimaksud di atas;
e. Salinan surat bantahan dikirim kepada terbanding atau tergugat dalam
jangka waktu empat belas (14) hari sejak tanggal diterimanya surat
bantahan.
f. Apabila terbanding atau tergugat, atau pemohon banding atau penggugat
tidak memenuhi ketentuan, pengadilan pajak tetap melanjutkan
pemeriksaan banding atau gugatan;
g. Pemohon banding atau penggugat dapat memberitahukan kepada ketua
untuk hadir dalam persidangan guna memberikan keterangan lisan;
h. Ketua menunjuk majelis yang terdiri atas tiga (3) orang hakim atau
hakim tunggal untuk memeriksa dan memutuskan sengketa pajak;
i. Jika pemeriksaan dilakukan oleh majelis, ketua menunjuk salah seorang
hakim sebagaimana dimaksud di atas sebagai hakim ketua yang
memimpin pemeriksaan sengketa pajak;
j. Majelis atau hakim tunggal bersidang pada hari yang ditentukan dan
memberitahukan hari sidang dimaksud kepada pihak yang bersengketa;
k. Majelis atau hakim tunggal sudah mulai bersidang dalam jangka waktu
enam (6) bulan sejak tanggal diterimanya surat banding;
l. Dalam hal gugatan, majelis atau hakim tunggal sudah memulai sidang
dalam jangka waktu tiga (3) bulan sejak tanggal diterimantya gugatan.

Pemeriksaan dengan Acara Biasa


Beberapa ketentuan dalam pemeriksaan dengan acara biasa adalah sebagai berikut.

1. Pemeriksaan dengan acara biasa dilakukan oleh majelis.

13
2. Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua membuka sidang dan
menyatakan terbuka untuk umum.
3. Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, majelis melakukan
pemeriksaan mengenai kelengkapan dan/atau kejelasan banding atau gugat.
4. Apabila banding atau gugatan tidak lengkap dan/tidak tidak jelas sepanjang
bukan merupakan persyaratan, kelengkapan dan /atau jelaskan dimaksud
pada diberikan pada persidangan.
5. Hakim ketua menjelaskan masalah yang disengketakan kepada pihak-pihak
yang bersengketa.
6. Majelis menayakan kepada terbanding atau tergugat mengenai hal-hal yang
dikemukakan pemohon banding atau penggugat dalam surat banding dan
surat gugat dan dalam surat bantahan.
7. Apabila majelis memandang perlu dan jika pemohon banding atau
penggugat hadir dalam persidangan, hakim ketua dapat meminta pemohon
banding atau penggugat untuk memberikan keterangan yang diperlukan
dalam penyelesaian sengketa pajak.
8. Atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa, atau karena jabatan,
hakim ketua dapat memerintahkan saksi untuk hadir dan didengar
keterangannya dalam persidangan.
9. Saksi yang diperintahkan oleh hakim ketua wajib datang di persidangan dan
tidak diwakilkan.
10. Jika saksi tidak datang meskipun telah dipanggil dengan patut dan majelis
dapat mengambil putusan tanpa mendengar keterangan saksi, hakim ketua
melanjutkan persidangan.
11. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan
meskipun telah dipanggil dengan patut, dan majelis mempunyai alasan yang
cukup untuk menyangka bahwa saksi sengaja tidak datang, serta majelis
tidak dapat mengambil putusan tanpa keterangan dari saksi yang dimaksud,
hakim ketua dapat meminta bantuan polisis untuk membawa saksi ke
persidangan.
12. Biaya untuk mendatangkan saksi ke persidangan yang diminta oleh pihak
yang bersangkutan menjadi beban dari pihak yang meminta.

14
13. Saksi dipanggil ke persidangan seorang demi seorang.
14. Hakim ketua menanyakan kepada saksi nama lengkap, tempat lahir, umur,
dan tanggal lahir, jenis kelamin, kewarganegaraan, tempat tinggal, agama,
pekerjaan, derajat hubungan keluarga, dan hubungan kerja, dengan
pemohon banding atau penggugat atau dengan terbanding/penggugat.
15. Sebelum memberikan keterangan, saksi-saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji menurut agama dan kepercayaannya.

Pemeriksaan dengan Acara Cepat


Beberapa ketentuan dalam pemeriksaan dengan acara cepat adalah sebagai berikut.

1. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh majelis atau hakim tunggal.
2. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan terhadap:
a. Sengketa pajak tertentu;
b. Gugatan yang tidak diputuskan dalam jangka waktu eman (6) bulan
sejak gugatanditerima;
c. Tidak dipenuhi salah satunyadalam putusan pengadilan pajak atau
kesalahan tertulis dan/atau kesalahan hitung;
d. Sengketa yang berdasarkan pertimbangan hukum bukan merupakan
wewnang pengadilan pajak.
3. Sengketa pajak tertentu adalah sengketa pajak banding atau gugutannya
tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
4. Pemeriksaan dengan cara cepat terhadap sengketa pajak dilakukan tanpa
surat uraian banding atau surat tanggapan dan tanpa surat bantahan.
5. Semua ketentuan mengenai pemeriksaan dengan cara biasa berlaku juga
untuk pemeriksaan dengan acara cepat.

Pembuktian

Pembuktian di pengadilan pajak dapat berupa sebagai berikut.

1. Alat bukti dapat berupa;


a. Surat atau tulisan;
b. Keterangan ahli;
c. Keterangan para saksi;

15
d. Keterangan para pihak;
e. Pengetahuan hakim.
2. Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.
3. Surat atau tulisan sebagai alat bukti terdiri atas:
a. Akta autentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapkan seorang
pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-undangan
berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya;
b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang
tercantum di dalamnya.
c. Surat keputusan atau surat ketetapan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang;
d. Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, b, dan c yang
ada kaitannya dengan banding atau gugatan.

4. Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah


dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalamannya dan
pengetahuannya.
5. Seorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi tidak boleh memberikan
keterangan ahli.
6. Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena
jabatannya, hakim ketua atau hakim tunggal dapat menunjuk seorang atau
beberapa ahli.
7. Seorang ahli dalam persidangan harus memberikan keterangan, baik tertulis
maupun lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji mengenai hal
sebenarnya menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Putusan

Hal-hal yang perlu diketahui berkaitan dengan putusan adalah sebagai berikut.

16
1. Putusan pengadilan pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai
kekuatan hukum tetap.
2. Pengadilan pajak dapat mengeluarkan putusan sela atas gugatan berkenaan
dengan permohonan penggugat agar tindak lanjut pelaksanaan penagihan
pajak ditunda selama pemeriksaan pajak berjalan, sampai ada putusan
pengadilan.
3. Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas
putusan pengadilan pajak kepada Mahkamah Agung.
4. Putusan pengadilan pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian,
dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.
5. Dalam pemeriksaan dilakukan oleh majelis, putusan pengadilan pajak
diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh hakim ketua dan
apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan
diambil dalam suara terbanyak.
6. Apabila majelis didalam mengambil keputusan dengan cara musyawarah
tidak dapat dicapai kesepakatan sehingga putusan diambil dengan suara
terbanyak, pendapat hakim anggota yang tidak sepakat dengan putusan
tersebut dinyatakan dalam putusan pengadilan pajak.
7. Putusan pengadila pajak dapat berupa:
a. Menolak;
b. Mengabulkan sebagaimana atau seluruhnya;
c. Menambah pajak yang harus dibayar;
d. Tidak dapat diterima;
e. Membetulkan kesalahan tulisan dan/atau kesalahan hitung dan/atau;
f. Membatalkan.
8. Terhadap putusan tersebut tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau
kasasi.
9. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas banding diambil dalam jangka
waktu enam (6) bulan sejak surat gugatan diterima.
10. Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas gugatan diambil dalam jangka
waktu enam (6) bulan sejak surat gugat diterima.

17
11. Dalam hal-hal khusus, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling
lama tiga (3) bulan.
12. Jika gugatan yang diajukan selain atas keputusan pelaksanaan penagihan
pajak, tidak diputus dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud diatas,
pengadilan pajak wajib mengambil putusan melalui pemeriksaan dengan
acara cepat dalam jangka waktu satu (1) bulan sejak jangka waktu enam (6)
bulan dimaksud terlampaui.
13. Putusan pemeriksaan dengan acara cepat terhadap sengketa pajak tertentu,
dinyatakan tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu:
a. Tiga puluh (30) hari sejak batas waktu pengajuan banding atau gugatan
dilampaui;
b. Tiga puluh (30) hari sejak banding atau gugatan diterima dalam hal
diajukan setelah batas waktu pengajuan dilampaui.
14. Putusan atau penetapan dengan acara cepat terhadap kekeliruan berupa
pembetulan kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung, diambil dalam
jangka waktu tiga puluh (30) hari sejak kekeliruan dimaksud diketahui
dan/atau sejak permohonan salah satu pihak diterima.
15. Putusan dengan acara cepat terhadap sengketa yang didasarkan
pertimbangan hukum bukan merupakan wewenang pengadilan pajak,
berupa tidak dapat diterima, diambil dalam jangka waktu tiga puluh (30)
hari sejak surat banding atau surat gugat diterima.
16. Jika putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak, pemohon
dibanding atau penggugat dapat mengajukan gugatan kepada peradilan yang
berwenang.
17. Putusan peradilan pajak harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.
18. Tidak dipenuhinya ketentuan diatas, putusan pengadilan pajak tidak sah dan
tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga putusan dimaksud harus
diucapkan kembali dalam sidang terbuka untuk umum.
19. Putusan pengadilan pajak harus memuat:
a. Kepala putusan yang berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KATUHANAN YANG MAHA ESA;

18
b. Nama, tempat tinggal atau tempat kediaman, dan/atau identitas lainnya
dari pemohon banding atau penggugat;
c. Nama jabatan dan alamat terbanding atau tergugat;
d. Hari, tanggal diterimanya banding atau gugatan;
e. Ringkasan banding atau gugatan, dan ringkasan surat uraian banding
atau surat tanggapan, atau surat bantahan yang jelas;
f. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang
terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
g. Pokok sengketa;
h. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
i. Amar putusan tentang sengketa;
j. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera dan
keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
20. Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan diatas menyebabkan putusan
dimaksud tidak sah dan ketua memerintahkan sengketa dimaksud segera
disidangkan kembali dengan acara cepat, kecuali putusan diambil telah
melampaui jangka waktu satu (1) tahun.
21. Ringkasan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak diperlukan dalam hal
putusan pengadilan pajak diambil terhadap sengketa pajak berupa tidak
dipenuhinya putusan pengadilan pajak, sengketa yang bukan wewenang
pengadilan pajak dan sengketa tertentu yang tidak memenuhi syarat.
22. Putusan pengadilan pajak harus ditandatangani oleh hakim yang
memutuskan dan panitera.
23. Apabila hakim ketua atau hakim tunggal yang menyidangkan berhalangan
menandatangani, putusan ditandatangani oleh ketua dengan menyatakan
alasan berhalangannya hakim ketua dan hakim tunggal.
24. Apabila hakim anggota berhalangan menandatangani, putusan
ditandatangani oleh hakim ketua dengan menyatakan alasan
berhalangannya hakim anggota dimaksud.

Pelaksanaan Putusan

19
Beberapa hal yang baru harus dilakukan dalam pelaksanaan putusan adalah sebagai
berikut.

1. Putusan pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan dengan tidak


memerlukan lagi keputusan pejabat yang yang berwenang, kecuali
peraturan perundang-undangan mengatur lain.
2. Apabila putusan pengadilan pajak mengabulkan sebagian atau seluruh
banding, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah
imbalan bunga sebesar 2 persen sebulan untuk paling lama dua puluh empat
(24) bulan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
3. Salinan putusan atau salinan penetapan pengadilan pajak dikirim kepada
para pihak dengan surat oleh sekretaris dalam jangka waktu tiga puluh (30)
hari sejak tanggal putusan pengadilan pajak diucapkan, atau dalam jangka
waktu tujuh (7) hari sejak tanggal putusan diucapkan.
4. Putusan pengadilan pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang
dalam jangka waktu tiga puluh (30) hari terutang sejak tanggal diterimanya
putusan.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan pajak dalam jangka
waktu terebut dikenakan sanksi dengan ketentuan kepegawaian yang
berlaku.

Pemeriksaan Peninjauan Kembali

Hal-hal yang berkitan dengan pemeriksaan peninjauan kembali adalah sebagai


berikut.

1. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali kepada


Mahkamah Agung melalui pengadilan pajak.
2. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan pengadilan pajak.
3. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut sebelum putusan, dan dalam
hal sudah dicabut permohonan penijauan kembali tersebut tidak dapat
diajukan kembali.

20
4. Hokum acara yang berlaku pada pemeriksaan peninjauan kembali adalah
hukum acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini.
5. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan alasan-
alasan antara lain :
a. Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan
atau tipu didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana
dinyatakan palsu;
b. Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat
menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di
pengadilan pajak akan menghasilkan keputusan yang berbeda;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
daripada yang dituntu, kecuali yang diputuskan berdasarkan Pasal 80
ayat 1 huruf b dan c;
d. Apabila mengetahui sutau bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud di atas huruf a dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat tiga bulan terhitung sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat
atau sejak putusan hakim pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum
tetap.
7. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud di atas huruf b dilakukan dalam jangka waktu paling
lambat tiga bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan
tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh
pejabat yang berwenan.
8. Pengajuan permohonan peninjauan kembali berdasarkan alasan
sebagaimana dimaksud di atas huruf c, d dan e dilakukan dalam jangka
waktu paling lambat 3 bulan terhitung sejak putusan dikirim.

21
9. Mahkamah Agung memeriksa dan memutuskan permohonan peninjauan
kembali dengan ketentuan :
a. Dalam jangka waktu 6 bulan sejak permohonan peninjauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan jika
pengadilan pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara biasa;
b. Dalam jangka waktu satu bulan sejak permohonan peninjauan kembali
diterima oleh Mahkamah Agung telah mengambil putusan, jika
pengadilan pajak mengambil putusan melalui pemeriksaan acara cepat.
10. Putusan atas permohonan peninjauan kembali harus diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.

2.6 PENGAJUAN PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI SANKSI


ADMINISTRASI PERPAJAKAN

Berdasarkan Pasal 25 Undang-Undang KUP, tidak menyebutkan atas STP.


Hal ini karena STP bukanlah ketetapan atas pokok pajak, melainkan hanya
mengenakan sanksi administrasi. Karena atas penerbitan STP tidak dapat diajukan
keberatan, maka upaya yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak adalah mengajukan
peninjauan kembali jumlah ketetapan pajak dan sanksi administrasi yang tercantum
dalam STP.

Berdasarkan Pasal 36 ayat 1 huruf a Undang-Undang KUP dan Keputusan


Menteri Keuangan Nomor 953/KMK.04/1983 disebutkan bahwa Menteri
Keuangan dapat menerbitkan Keputusan Peninjauan Kembali dengan
mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak dan sanksi administrasi yang
tidak benar. Terhadap keputusan peninjauan kembali tidak dapat diajukan banding.

2.7 REFORMASI PAJAK

Latar Belakang

Latar belakang reformasi pajak dilakukan karena undang-undang yang berlaku saat
itu (UU 1983) dibuat di zaman kolonial mempunyai landasan, pemikiran, jiwa,
sasaran, dan tujuan yang dirasakan tidak sesuai dengan harkat, hakikat, dan jiwa
kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat.

22
Pada zaman kolonial, pungutan pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi
kepentingan pemerintahan penjajahan, sedangkan dalam alam kemerdekaan
pungutan pajak dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945 dan merupakan perwujudan
kewajiban kenegaraan dan partisipasi anggota masyarakat dalam pembiayaan
Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai keadilan sosial dan
kemakmuran yang merata baik material maupun spiritual. Sistem perpajakan yang
ada saat itu bukan saja tidak sesuai dengan perekonomian Indonesia yang semakin
modern, tetapi juga sangat rumit dan sulit dipahami oleh pemungut pajak maupun
oleh pembayar pajak.

Tujuan Reformasi Pajak


Tujuan utama dari pembaruan perpajakan sebagaimana diuraikan oleh Menkeu RI,
Bapak Radius Prawiro, pada Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 5 Oktober
1983 adalah untuk lebih menegakkan kemandirian kita dalam membiayai
pembangunan nasional dengan jalan lebih mengarahkan segenap potensi dan
kemampuan dari dalam negeri, khususnya dengan cara meningkatkan penerimaan
Negara melalui perpajakan dari sumber-sumber di luar minyak bumi dan gas alam.
Untuk membiayai dan menjamin berhasilnya Repelita IV kita tidak akan sekedar
mengandalkan pada peningkatan menerimaan Negara yang berasal dari sektor
minyak dan gas alam saja, melainkan juga dari usaha peningkatan penerimaan
pajak/non-minyak. Oleh karena itu untuk meningkatkan penerimaan tersebut
dianggap perlu untuk mengadakan penyempurnaan system perpajakan.

2.8 PAJAK-PAJAK YANG BERLAKU SEBELUM REFORMASI


Pajak yang berlaku sebelum reformasi perpajakan ada yang masih tetap berlaku
sampai sekarang dan ada yang telah dihapus.
Sejak zaman penjajahan Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak UU
yang mengatur pembayaran pajak yaitu;
1. Staatsblad Nomor 13 Tahun 1908 tentang Ordonansi Rumah Tangga.
2. Staatsblad Nomor 498 Tahun 1921 tentang Aturan Bea Meterai.
3. Staatsblad Nomor 291 Tahun 1924 tentang Ordonansi Bea Balik Nama.
4. Staatsblad Nomor 405 Tahun 1932 tentang Ordonansi Pajak Kekayaan.

23
5. Staatsblad Nomor 718 Tahun 1934 tentang Ordonansi Pajak Kendaraan
Bermotor
6. Staatsblad Nomor 611 Tahun 1934 tentang Ordonansi Pajak Upah
7. Staatsblad Nomor 671 Tahun 1936 tentang Ordonansi Pajak Potong
8. Staatsblad Nomor 17 Tahun 1944 tentang Ordonansi Pajak Pendapatan
9. UU Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio
10. UU Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I
11. UU Nomor 12 Tahun 1952 tentang Pajak Peredaran
12. UU Tahun 1951 tentang Pajak Penjualan yang diubah dengan UU Nomor 2
Tahun 1968
13. UU Nomor 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang dirubah dengan UU
Nomor 2 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti.
14. UU Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat
Paksa.
15. UU Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing
16. UU Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK,
dan/atau PPs atau Tata Cara MPS-MPO

2.9 REFORMASI PAJAK 1983

Reformasi pajak (tax reform) atau pembaruan perpajakan telah di lakukan sejak
tanggal 1 januari 1984. Bersamaan dengan diekluarkannya serangkaian undang-
undang sebagai berikut.

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata


Cara Perpajakan
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
Kedua undang-undang di atas berlaku sejak 1 Januari 1984.
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah, direncanakan diberlakukan tahun
1984 juga, tetapi karena masih ada sesuatu yang harus dipersiapkan lebih
matang, maka undang-undang tersebut diberlakukan mulai 1 April 1985.
4. Undang-Undang Nomor 12 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

24
5. Undang-Undang Nomor 13 Tentang Bea Meterai.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 13


Tahun 1985 mulai diberlakukan tahun 1995.
Pada Tahun 1991 Dikeluarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991.

2.10 REFORMASI PAJAK 1994

Reformasi perpajakan tidak berhenti begitu saja, tetapi terus dilakukan perubahan
dan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan perubahan system perekonomian. Pada
tahun 1991 perubahan pertama dilakukan terhadap pajak penghasulan, kemudian,
pada tahun 1994 setelah satu dasawarsa peraturan pajak dilaksanakan diadakan lagi
serangkaian perubahan terhadap peraturan perpajakan. Udang-undang pajak yang
dikeluarkan adalah sebagai berikut.

1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Undang-Undang Nomor 6


Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Baranng Mewah.
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 12 tentang pajak Bumi dan Bangunan.

Selanjutnya, pada tahun 1997 diikeluarkan lagi serangkaian undang-undang


baru untuk melengkapi undang-undnag yang telah ada, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian


Sengketa Pajak.
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.

25
3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
surat Paksa.
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang penerimaan Negara Bukan
Pajak.
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan atas Tanah
dan Bangunan

2.11 REFORMASI PAJAK 2000

Pada tahun 2000, seiring dengan perkembangan social dan ekonomi, pemerintah
kembali mengeluarkan serangkaian undang-undang untuk mengubah undang-
undang yang telah ada, yaitu:

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1984 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa
5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Ha katas
Tanah dan Bangunan.
6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Pada tahun 2002, untuk lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian
hokum, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997

26
Ttentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang selama ini dirasakan kurang
berpihak kepada Wajib Pajak.

Setelah lama ditunggu, pada 27 Juli 2007, pemerintah mengesahkan


Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara Perpajakan.
Perubahan ini diharapkan lebih memberikan kepastian hokum kepada Wajib Pajak,
Kemduian., beruturut-turut oada tahun 2008 Pajak Penghasilan diubah dengan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun
2009.

Tanggal 15 Septermber 2009 pemerintah mengeluarkan Undang-Undang


Nomor 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Pajak Daerah dan Retribusi
Derah. Tujuan dari penyempurnaan undang-undang pajak adalah dalam rangka
ekstensifikasi dan intesifikasi pengenaan dan pemungutan pajak yang sekaligus
merupakan upaya peningkatan keadilan beban pajak, penghapusan fasilitas pajak
yang tidak memiliki landasan hukum yang akan merugikan perekonomian nasional
dan menutup peluang-peluang penghindaran pajak (loopholes).

Secara normatif sesuai dengan prinsip good tax policy, terhadap kegiatan
ekonomi system perpajakan harus netral dan tidak ada distrosi agar sumber daya
optimal dan sesuai dengan dinamika pasar dan pajak dapat mendorong atau
mengendalikan. Untuk itu, sesuai dengan fungsi regulerend secara umum dapat
dinyatakan bahawa system pajak harus dapat mendorong kegiatan dan pertumbuhan
ekonomi nasional dengan mendorong investasi dari luar serta mengamankan
penerimaan negara. Dalam tax reform 2000 fungsi regulerend telah
memperhitungkan kepentingan dunia bisnis antara lain peningkatan pelayanan,
penyederhaan prosedur, kepastian hukum, keadilan, dan fasilitas investasi untuk
mendorong kegiatan investasi.

Sedangkan, untuk menjalankan fungsi budgeter sebagai pilar utama


penerimaan negara dilakukan dengan memperluas cakupan subjek dan objek pajak,

27
dan meminimalkan kemungkinan transfer pricing dan pembatasan pengenaan
Pajak Pengasilan final.

Semua kebijakan ini dalam jangka panjang diharapkan dapat meningkatkan


tax compliance, meningkatkan investasi dan penerimaan negara untuk menuju
kemandirian pembiayaan pembangunan.

AMNESTI PAJAK (TAX AMNESTY)

2.12 PENGERTIAN TAX AMNESTY

Pengampunan pajak atau amnesti pajak adalah sebuah kesempatan berbatas waktu
bagi kelompok wajib pajak tertentu untuk membayar pajak dengan jumlah tertentu
sebagai pengampunan atas kewajiban membayar pajak (termasuk dihapuskannya
bunga dan denda) yang berkaitan dengan masa pajak sebelumnya tanpa takut
penuntutan pidana. Program ini berakhir ketika otoritas pajak memulai investigasi
pajak dari periode-periode sebelumnya. Dalam beberapa kasus, undang-undang
yang melegalkan pengampunan pajak memberikan hukuman yang lebih berat bagi
pengampun pajak yang terlambat menjalankan kewajibannya. Pengampunan pajak
bermanfaat sebagai salah satu sumber kas negara dari penerimaan pajak.

Menurut "UU No 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak" Tax Amnesty


adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara
mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang ini.

Menurut "PMK No. 118/PMK.03/2016" Tax Amnesty adalah adalah penghapusan


pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan

28
sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar
Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.

2.13 LATAR BELAKANG TAX AMNESTY

Latar belakang Tax Amnesty atau mengapa Indonesia perlu memberikan tax
amnesty kepada para pembayar pajak (wajib pajak) diantaranya adalah sebagai
berikut :

Penyebab Pertama Indonesia memberlakukan Tax Amnesty adalah karena


terdapat Harta milik warga negara baik di dalam maupun di luar negeri yang
belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan;
Tax Amnesty adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dan
pertumbuhan perekonomian serta kesadaran dan kepatuhan masyarakat
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, perlu menerbitkan kebijakan
Pengampunan Pajak;
Kasus Panama Pappers.

2.14 SUBJEK DAN OBJEK TAX AMNESTY

Subjek Tax Amnesty

Subjek Tax Amnesty adalah warga negara Indonesia baik yang ber NPWP maupun
tidak yang memiliki harta lain selain yang telah dilaporkan dalam SPT Tahunan
Pajak (warga negara yang pembayaran pajaknya selama ini masih belum sesuai
dengan kondisi nyata).

Objek Tax Amnesty

Objek Tax Amnesty adalah Harta yang dimiliki oleh Subjek Tax Amnesty, artinya
yang menjadi sasaran dari pembayaran uang tebusan adalah atas Harta baik itu yang
berada di dalam negeri maupun diluar negeri. Pengertian Tax Amnesty secara
umum saya jabarkan dalam tanya jawab tax amnesty dibawah ini.

2.15 PROSEDUR DAN MEKANISME IKUT PROGRAM TAX AMNESTY

Berikut adalah prosedur dan mekanisme yang harus dijalankan.

29
a. Melakukan Pelaporan

Tax Amnesty diawali dengan melakukan pelaporan kepada KPP (Kantor Pelayanan
Pajak) baik yang ada di dalam maupun di luar negeri. Proses ini harus dilakukan
sendiri oleh Wajib Pajak, ini dikarenakan pada proses tersebut ada data yang
bersifat rahasia yang hanya bisa dibagi dengan pihak terkait saja.

b. Menyetorkan Surat Pernyataan Aset

Proses yang kedua dilakukan adalah penyetoran surat pernyataan aset kepada
petugas pajak. Data yang dilaporkan wajib data yang asli dan harus sesuai, lalu
kemudian wajib pajak akan mendapatkan surat keterangan dalam waktu kurang
lebih 10 hari setelah proses tersebut berlangsung.

c. Proses Penghapusan dan Pembebasan Sanksi

Proses terpenting berikutnya yaitu adanya proses pemberian fasilitas penghapusan


pajak, termasuk pembebasan dari sanksi pidana dan juga administrasi. Yang
selanjutnya diikuti proses investasi harta kepada bank persepsi .

2.16 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TAX AMNESTY

Kelebihan Tax Amnesty

1. Sumber daya yang dimiliki pada instansi aparatur pajak saat ini sudah
memadai yang dapat mendukung diberlakukannya penerapan tax amnesty.
Demikian juga infrastruktur pendukung lainnya.
2. Bila kebijakan perpajakan seperti tax amnesty diterapkan maka akan
menciptakan kerelaan masyarakat untuk mendaftarkan diri menjadi Wajib
Pajak dan menunaikan kewajiban perpajakannya seperti yang dilakukan
pemerintah sebelumnya dengan sunset policy (kebijakan pemberian fasilitas
perpajakan) maupun pemebebasan pajak fiskal bagi warga negara Indonesia
yang hendak bepergian ke luar negeri dengan syarat memiliki NPWP.
3. Kondisi ekonomi nasional saat ini relatif stabil dengan rata-rata
pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Hal ini dapat menjamin
pemberlakuan tax amnesty.

30
4. Program ini dapat meningkatkan dana-dana masuk ke Indonesia yang cukup
banyak di simpan di luar negeri. Di samping itu, dana-dana yang selama ini
diparkir di luar negeri dapat kembali masuk ke tanah air bila pemerintah
secepatnya menerapkan pengampunan pajak.
5. Tax amnesty dapat berpengaruh positif bagi pasar uang pada Bursa Efek
Indonesia. Bila kebijakan ini diterapkan maka mempunyai potensi terjadi
penambahan emiten baru karena perusahaan-perusahaan tidak perlu
khawatir atas permasalahan pajak yang telah lewat. Karena masalah
perpajakan merupakan salah satu faktor yang dianggap memberatkan bagi
calon emiten untuk mengubah status perusahaannya menjadi perusahaan
terbuka.
6. Pemerintah dapat mengkonsentrasikan atau memfokuskan pada upaya
pemberantasan korupsi. Demikian juga dengan diimplementasikan tax
amnesty maka asset recovery-nya lebih mudah karena tidak perlu
melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses hukum lainnya
untuk mengambil asset koruptor. Asset recovery adalah perbandingan
antara jumlah kerugian negara yang didakwakan dengan penyitaan aset atau
pengembalian aset korupsi.

Kekurangan Amnesti Pajak

1. Tidak mempunyai payung hukum yang dapat menjadi landasan hukum


implementasi tax amnesty yang dapat memberikan aturan jelas. Hal ini akan
menambah keraguan bagi wajib pajak dan calon wajib pajak. Namun
apabila implementasi tax amnesty akan diterapkan maka berarti harus di
buat terlebih dahulu peraturan perpajakan (undang-undang) yang mengatur
tentang hal itu. Hal in tentu saja akan memakan waktu yang lebih lama
karena tentu saja harus mendapat persetujuan dari DPR (Dewan
Pertimbangan Rakyat).
2. Tax amnesty dianggap mencederai keadilan bagi masyarakat yang selama
ini patuh membayar pajak. Apalagi pada tahun 1964 dan 1984, tax amnesty
berjalan tidak efektif karena minimnya ketersediaan data perpajakan. Tidak
ada lengkapnya basis data perpajakan membuka kemungkinan petugas

31
pajak untuk mendeteksi kekayaan yang tak dilaporkan. Pengemplang pajak
pun tak perlu khawatir akan tertangkap. Terlebih, kekayaan yang tidak
dilaporkan pada umumnya berada di luar negeri sehingga benar-benar jauh
dari jangkauan petugas pajak.

3. Tax Amnesty dikhawatirkan tidak akan berjalan secara konsisten. Banyak


yang menilai jika kekurangan penerimaan pajak tidak hanya bisa
diselesaikan dengan kebijakan pengampunan pajak tersebut. Belum adanya
kejelasan mengenai kewajiban bagi wajib pajak untuk menempatkan
kekayaannya di dalam negeri, besar kemungkinan individu-individu yang
meminta pengampunan pajak akan menyembunyikan kembali kekayaan
mereka di luar negeri ketika manfaattax amnesty tak lagi diberikan.

4. Tax Amnesty Hanya Beri "Karpet Merah" bagi Koruptor. Tax Amnesty
dalam RAPBNP 2016 dianggap sebagian orang bukan untuk kepentingan
masyarakat. Mereka menilai tax amnesty hanya untuk kepentingan
pengusaha yang memiliki dana besar di luar negeri. Pengampunan pajak
hanya akan menjadi karpet merah untuk koruptor dan konglomerat yang
mendapat keuntungan di Indonesia. Menurut mereka, tax amnesty hanya
dijadikan bahasa kampanye oleh politisi untuk memuluskan proyek-proyek
swasta.

2.17 PELUANG DAN TANTANGAN IMPLEMENTASI TAX AMNESTY DI


INDONESIA

Ada beberapa langkah yang ditempuh pemerintah Indonesia khususnya Direktorat


Jenderal Pajak guna meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, antara lain
melaksanakan program Sensus Pajak Nasional. Selain itu melakukan
penyempurnaan peraturan untuk menangani tindakan penghindaran pajak (tax
avoidance), tindakan penggelapan pajak melalui transfer pricing, dan pengenaan
pajak final. Selain itu salah satu bentuk upaya atau inovasi lain dalam system
perpajakan yang berguna meningkatkan penerimaan pajak tanpa menambah beban
baik jenis pajak baru maupun persentase pajak yang sudah ada kepada masyarakat,
dunia usaha dan para pekerja adalah melalui program tax amnesty. Salah satu tujuan

32
pengampunan pajak ini diharapkan dapat mengurangi citra negatif pada aparat
perpajakan yang selalu dipersepsikan selalu bersikap sewenang-wenang dan harus
selalu dihindari, berubah menjadi hubungan yang lebih friendly.

2.18 IMPLEMENTASI TAX AMNESTY DI BEBERAPA NEGARA

Indonesia pernah menerapkan pengampunan pajak pada 1984. Namun


pelaksanaannya belum efektif karena wajib pajak sendiri kurang merespons dan
tidak diikuti dengan reformasi sistem administrasi perpajakan secara terpadu dan
menyeluruh. Demikian juga minimnya keterbukaan dan peningkatan akses
informasi ke masyarakat termasuk sistem kontrol dari Ditjen Pajak sendiri.
Pemberian tax amnesty tidak sekedar menghapus hak tagih atas wajib pajak namun
yang lebih penting lagi sebenarnya adalah memperbaiki sikap dan perilaku WP,
sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan penerimaan negara di masa yang
akan datang.

Pada dasarnya pemerintah dapat mencari format terbaik yang bisa


diimplementasikan bila Tax Amnesty diterapkan. Pemerintah juga dapat mengkaji
dan belajar dari negara yang telah mengimplementasikan kebijakan pengampunan
pajak seperti Afrika Selatan, Italia, India, Korea Selatan dan lain-lain.

Pemerintah Afrika Selatan menerapkan strategi melalui Pull and Push


Strategy. Mekanisme strategi Pull adalah dengan menarik atau memberikan
insentif kepada wajib pajak agar wajib pajak tertarik untuk ikut serta dalam program
ini. Salah satu caranya adalah dengan penghapusan denda dan atau bunga pajak
terutang atau pembayaran tebusan dengan tarif yang rendah.

Push, dimaksudkan memberikan tekanan atau rasa tidak nyaman seandainya


WP tidak mau berpartisipasi. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan
kuantitas dan kualitas audit tax, strategi pemilihan target penyidikan yang tepat dan
transparan hasil penyidikan serta sanksi pidana pajak sementara sebelum program
amnesti diumumkan.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tax Amnesty atau pengampunan pajak merupakan pengampunan atau pengurangan


pajak terhadap property yang dimiliki oleh perusahaan dalam bentuk penghapusan
pajak terutang, penghapusan sanksi pajak terutang, penghapusan sanksi pidana
tertentu yang harus diharuskan membayar dengan uang tebusan. Amnesti pajak
sebelumnya pernah diterapkan pada tahun 1984 serta tahun 2004, namun pada saat
itu gagal. Pada tax amnesty kali ini terdapat kebijakan amnesti yang berbeda yaitu
dibagi dalam 3 periode.

Adapun kelebihan Tax Amnesty, yaitu: sumber daya yang dimiliki pada instansi
aparatur pajak saat ini sudah memadai yang dapat mendukung diberlakukannya
penerapan tax amnesty. Kedua, menciptakan kerelaan masyarakat untuk
mendaftarkan diri dan menunaikan kewajiban perpajakannya. Ketiga, pertumbuhan
ekonomi di atas 5 persen dapat menjamin pemberlakuan tax amnesty. Keempat,
meningkatkan dana masuk ke Indonesia yang cukup banyak di simpan di luar
negeri. Kelima, berpengaruh positif bagi pasar uang pada bursa efek indonesia.
Kekurangan Tax Amnesty, yaitu : tidak mempunyai payung hukum yang dapat
menjadi landasan hukum implementasi tax amnesty. Dianggap menciderai asas
keadilan. Dikhawatirkan tidak akan berjalan secara konsisten.

3.2 Saran

34
Penerapan tax amnesty Indonesia saat ini semestinya lebih ditingkatkan
keseriusannya demi menghindari kegagalan seperti yg terjadi pada 2 periode
sebelumnya. Sebaiknya, penerapan amnesty ini lebih dimatangkan lagi dengan
diciptakannya payung hukum yang tegas demi mengurangi peluang korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Erly Suandy; Hukum Pajak, Edisi Ketujuh

http://www.lembagapajak.com/2016/07/pengertian-pengampunan-pajak-tax-
amnesty-adalah.htm

http://hanifhanifku.blogspot.co.id/2016/09/makalah-peran-tax-amnesty-
dalam.html

http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Analisis%20Implementasi%20Tax%
20Amnesty%20di%20Indonesia.pdf

35

Anda mungkin juga menyukai