PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara pembuat, mencampur,
meracik formulasi obat, identifikasi, kombinasi, analisis dan
standardisasi/pembakuan obat serta pengobatan, termasuk pula sifat-sifat obat
dan distribusinya serta penggunaannya yang aman. Farmasi dalam bahasa
Yunani disebut farmakon yang berarti medika atau obat (Syamsuni, 2006).
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, ilmu farmasi pun
mengalami perkembangan sehingga terpecah menjadi ilmu yang lebih khusus
saling berkaitan, Salah satu dari cabang ilmu tersebut adalah farmasetika.
Farmasetika adalah ilmu yang mempelajari tentang cara penyediaan obat
meliputi pengumpulan, pengenalan, pengawetan, dan pembakuan bahan obat-
obatan; seni peracikan obat; serta pembuatan sediaan farmasi menjadi bentuk
tertentu hingga siap digunakan sebagai obat; serta perkembangan obat yang
meliputi ilmu dan teknologi pembuatan obat dalam bentuk sediaan yang dapat
digunakan dan diberikan kepada pasien (Ansel, 2008).
Dalam farmasetika dasar terdapat bermacam-macam bentuk sediaan obat
diantaranya padat sepeti serbuk, tablet, pil, kapsul, supositoria. Bentuk
setengah padat berupa salep/unguentum, krim, pasta, cerata, grl/jelly, dan
occulenta (salep mata). Bentuk cair/larutan seperti potio, sirup, elixir, obat
tetes, gargarisma, clysma, epithema, injeksi, infus intravena, douche, lotio,
dan mixturae. Serata bentuk gas sepertii inhilasi/spray/aerosol (Syamsuni,
2006).
Salah satu sediaan dalam farmasi adalah serbuk. Sediaan serbuk dapat
diartikan sebagai bahan atau campuran homogen dua atau lebih bahan obat
yang telah di haluskan, dibagi dalam bobot yang sama dan ditujukan untuk
pemakaian luar Dan terdapat dua jenis serbuk yaitu pulvis (serbuk tabur) dan
pulveres (serbuk bagi) (Sugianto, 2014).
Pulveres adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih kurang sama,
dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas yang cocok (Dirjen
POM, 1979).
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.2 Maksud Percobaan
1. Dapat meracik bahan obat serbuk bagi dengan benar
2. Dapat mengetahui dan memahami penggunaan sediaan serbuk bagi
I.2.3 Tujuan Percobaan
1. Untuk mengetahui dan meracik bahan obat serbuk bagi dengan metode
tritulation
2. Untuk mengetahui dan memahami sediaan serbuk bagi yang digunakan
secara oral.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Dasar Teori
II.1.1 Definisi Serbuk
Serbuk adalah campuran kering bahan obat atau zat kimia yang
dihaluskan untuk pemakaian oral/dalam atau untuk pemakaian luar.
Pulveres (serbuk bagi) adalah serbuk yang dibagi dalam bobot yang lebih
kurang sama, dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas
lain yang cocok (Syamsuni, 2006).
II.1.2 Serbuk Bagi
Untuk serbuk bagi yang mengandung bahan yang mudah meleleh
atau atsiri harus dibungkus dengan kertas perkamen atau kertas yang
mengandung lilin kemudian dilapisi lagi dengan kertas logam. Bagi serbuk
yang mengandung zat higroskopis serbuk dibungkus dalam kertas berlilin
dan diserahkan dalam pot dengan tutup sekrup (Dirjen POM, 1979; Anief,
2006).
Kekurangan serbuk sebagai bentuk sediaan karena kesulitan
menahan terurainya baha-bahan higroskopis, mudah mencair atau
menguap. Untuk mencapai efisiensi yang tinggi, serbuk harus merupakan
adonan yang homogen dari seluruh komponennya dan harus sempurna
ukuran partikelnya. Sebagaimana telah diungkapkan ukuran partikel tidak
hanya membantu daya larut dalam segelas air atau dalam lambung atau
dalam usus, tetapi juga dapat mempengaruhi aktivitas biologi, maupun
efek terapinya (Ansel, 2008).
Keuntungan serbuk yaitu serbuk lebih mudah terdispersi dan lebih
larut daripada sediaan padat, anak-anak atau orang tua yang sukar menelan
kapsul atau tablet lebih mudah menggunakan serbuk. Masalah stabilitas
yang sering dihadapi dalam sediaan cair, tidak ditemukan dalam serbuk.
Obat yang tidak stabil dalam suspensi dan obat yang terlalu besar
volumenya dapat dibuat dalam bentu serbuk. Dokter lebih leluasa dalam
memilih dosis (Syamsuni, 2006).
Ada dua cara penulisan serbuk bagi yang biasa dilakukan oleh
dokter. Cara pertama ditulis jumlah obat untuk seluruh serbuk dan lalu
dibagi menjadi beberapa bungkus. Cara kedua ditulis jumlah untuk setiap
bungkus serbuknya dan membuat berapa bungkus. Bila dokter lupa menulis
atau keliru menulis d.t.d., akan segera diketahui mengenai besarnya dosis
yang menyimpang dari dosis biasa, apa lebih besar atau terlalu kecil (Anief,
2006).
Supaya dapat terbagi tepat, maka campuran serbuk sering ditambah
zat tambahan yang berkhasiat netral atau indiferen, seperti Saccharum
Lactis, Saccharum album, sampai berat serbuk tiap bungkusnya 500 mg.
Penggunaan Saccharum album ada keuntungannya sebagai korigen rasa,
tetapi serbuk akan mudah basah karena higroskopis (Anief, 2006).
II.2 Uraian Bahan
II.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1995)
Nama resmi : Aethanolum
Nama lain : Etanol, alcohol
Rumus molekul : C2H5OH
Rumus struktur : H H
H C C OH
H H
Paracetamol Ranitidin
III.3.2 Resep 2
1. Dimasukkan Ampicillin sebanyak 5 tab kedalam lumpang, kemudian
digerus.
2. Disiapkan kertas perkamen sesuai jumlah sediaan yang diminta.
3. Dibagi sesuai sediaan yang diminta
4. Diletakkan di atas kertas perkamen dan dibungkus karena dipakai
kertas perkamen hanya apabila ada keperluan menahan kelembapan
pada batas-batas tertentu (Ansel, 2008).
5. Dimasukkan kedalam plastik obat dan diberi eriket berwarna putih
karena untuk pemakaian oral (Syamsuni, 2006).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1 Hasil
IV.2 Pembahasan
Pada pertemuan kedua kali ini kami membuat sediaan serbuk
berupa serbuk bagi atau pulveres. Pulveres adalah serbuk yang dibagi
dalam bobot yang lebih kurang sama, di bungkus dengan kertas perkamen
atau bahan pengemas yang lain yang cocok. Pembuatan serbuk bagi
menggunakan metode trituration adalah dapat di kerjakan baik untuk
menghaluskan atau untuk mencampur serbuk menggunakan lumpang dan
alu (Anief, 2010 ; Ansel, 1989).
Untuk skala laboratorium menggunakan menggunakan metode
trituration, tidak menggunakan metode lain seperti misalnya metode
tumbling adalah mengguling-gulingkan serbuk yang di tutup dalam suatu
wadah besar, biasanya di putar oleh mesin. Karena metode tersebut
biasanya hanya untuk skala besar seperti pabrik atau industry
(Ansel,1989).
Pada resep serbuk bagi yang pertama yaitu obat Ampicilin, hal
yang pertama kali kami lakukan adalah menyiapkan alat dan bahan.
Sebelum menggunakan alat, sebaiknya alat dibersihkan terlebih dahulu
menggunakan alkohol 70%. Tujuan diberikannya alkohol 70% yaitu agar
terhindar dari mikroba organisme (Dirjen POM,1979).
Kemudian diambil bahan yang akan digunakan yaitu Ampicilin
sebanyak 5 tablet sesuai dengan perhitungan bahan. Lalu masukkan
ampicilin kedalam lumpang, gerus hingga halus dan homogen. Kemudian
serbuk yang telah digerus dibagi menjadi 9 bagian yang sama, dibungkus
dengan kertas perkamen yang telah disiapkan. Digunakan kertas perkamen
karena kertas perkamen tidak menyerap lembab. Kemudian dikemas
kedalam kantong klip dan diberi etiket putih, diberi etiket putih karena
pemakaian dalam (oral) atau melewati gastrointerstinal (Ansel, 1989 ;
Tjay, 2002).
Pada resep serbuk bagi yang kedua, hal yang pertama kali kami
lakukan adalah menyiapkan alat dan bahan. Sebelum menggunakan alat,
sebaiknya alat dibersihkan terlebih dahulu menggunakan alkohol 70%.
Tujuan diberikannya alkohol 70% yaitu agar terhindar dari mikroba
organisme (Dirjen POM, 1979).
Pertama dimasukkan Ranitidin kedalam lumpang sebanyak 2 tablet
sesuai dengan perhitungan bahan gerus hingga halus, Ranitidin merupakan
obat bersalut sehingga dalam penanganannya Ranitidin harus digerus
terpisah dari obat yang lain. Di gerus terpisah karena obat tersebut
mengandung salut, sehingga serbuk dan salutnya harus di pisahkan. Selain
itu di gerus terpisah juga karena Ranitidin bersifat higroskopis yaitu
mudah menyerap air di udara. Setelah itu ayak ranitidin menggunakan
ayakan nomor 44 untuk memisahkan serbuk Ranitidin dengan salutnya. Di
gerus menggunakan ayakan nomor 44 karena serbuk agak halus yaitu
serbuk (44/85) artinya partikel serbuk 100% melewati ayakan nomor 44
dan 40% melewati ayakan nomor 85 (Saikia, 2003 ; Syamsuni, 2005).
Kemudian diambil paracetamol sebanyak 3 tablet sesuai dengan
perhitungan bahan, lalu masukkan paracetamol kedalam lumpang gerus
hingga halus. Selanjutnya dimasukkan CTM kedalam lumpang sebanyak 3
tablet sesuai dengan perhitungan bahan gerus hingga halus dan homogen.
Ditambahkan lagi GG kedalam lumpang sebanyak 3 tablet sesuai dengan
perhitungan bahan kemudian gerus hingga halus dan homogen. Campur
Ranitidin yang telah di ayak dengan Paracetamol, CTM, dan GG yang
telah di gerus hingga halus dan homogen.
Kemudian serbuk yang telah digerus dibagi menjadi 5 bagian yang
sama, dibungkus dengan kertas perkamen yang telah disiapkan. Digunakan
kertas perkamen karena kertas perkamen tidak menyerap lembab.
Kemudian dikemas kedalam kantong klip dan diberi etiket putih, diberi
etiket putih karena pemakaian dalam (oral) atau melewati gastrointerstinal
(Ansel, 1989 ; Tjay, 2002).
IV.3 Resep
dr. Yudistira
Jl. Ampera No.1 Bandung
SIP No. 10/KM/1988
No : 07 Tgl : 32/12-2018
R/ Ampicilin 250 mg
R/ PCT 250 mg
CTM 2 mg
Ranitidin tab
GG tab
= -4,411 gr
3. DM CTM = /40 (Dirjen POM,1979)
17
DM Sehari = 150 40 = 4,5
D Sehari = 2 3 = 6
6
% OD = 4,5 100% = 133% (OD)
= -4,42 gr
Dalam perhitungan dosis di atas dapat di ketahui bahwa resep tersebut
tidak rasional. Setelah melakukan perhitungan dosis di ketahui bahwa
pada obat ampicilin dan CTM mencapai over dosis. Untuk obat
paracetamol dan GG, tidak masuk range atau dosis antara.
IV.5 Farmakologi Obat
1. Adsorbsi
a. Ampicilin
Bioavailabilitas adalah 30-55% dari dosis oral diserap dari saluran
pencernaan dalam puasa orang dewasa konsentrasi serum puncak di
capai dalam waktu 1-2 jam. Makanan umumnya menurun tingkat
dan luasnya absorbsi.
b. Paracetamol
Paracetamol di absorbsi cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu
jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam (Gunawan,2007).
c. CTM
Diserap dengan baik setelah pemberian oral, tetapi hanya 25-45%
(tablet konvensional) atau 35-60% (larutan) dari dosis tunggal yang
mencapai sirkulasi sistemik sebagai obat tidak berubah.
Bioavailabilitas sediaan extended-release berkurang di bandingkan
dengan tablet konvensional atau larutan oral. Konsentrasi plasma
puncak umumnya terjadi dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian
tablet oral konvensional atau larutan oral (Gunawan,2007).
d. Ranitidin
Bioavailabilitas ranitidin yang di berikan secara oral sekitar 50%
dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira
1,7-3 jam pada orang dewasa , dan memanjang pada orang tua dan
pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh
ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada ginjal. Kadar
puncak pada plasma di capai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150
mg ranitidin secara oral, dan yang terkait protein plasma hanya 15%
(Gunawan,2007).
e. GG
Gliseril guaiakolat diarbsorbsi pada saluran cerna degan baik
(Andrew,2008).
2. Distribusi
a. Ampicilin
Didistribusikan ke dalam asites, synovial, dan cairan pleura. Juga
didistribusikan ke hati, empedu, paru-paru, kandung empedu, prostat,
otot, efusi telinga tengah, sekresi bronkial, sputum, sekresi sinus
maksilaris, amandel air liur, keringat, dan air mata. Didistribusikan ke
CSF (Cairan Serebrospinal) dalam konsentrasi 11-65% dari konsentrasi
serum simultan; konsentrasi CSF tertinggi terjadi 3-7 jam setelah dosis
IV. Mudah melalui placenta. Terdistribusi ke dalam susu dalam
konsentrasi rendah. Pengikatan protein lebih rendah pada neonatus
dibandingkan pada anak-anak atau orang dewasa; ampisilin di laporkan
8-12% terikat dengan protein serum pada neonatus (Gunawan,2007).
b. Paracetamol
` Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25%
paracetamol terikat protein plasma (Gunawan,2007).
c. CTM
Mengalami distribusi cepat dan luas, namun, distribusi belum
sepenuhnya di ketahui (Gunawan,2007).
d. Ranitidin
Distribusi, Ranitidin terdistribusi secara luas pada cairan tubuh dan
sekitar 10-19% berkaitan dengan protein serum. Volume distribusi
ranitidin rata-rata 1,7 L/Kg. Pada pemberian secara oral ranitidin juga
terdistribusi ke CSF. Ranitidin juga terdistribusi ke susu (Gunawan,
2007).
e. GG
Griseril Guaiakolat merupakan obat batuk ekspektoran, mekanisme
kerja Griseril Guaiakolat dengan cara meningkatkan volume dan
menurunkan viskositas dahak di trachea dan bronki, kemudian
merangsang pengeluaran dahak menuju faring. Guafenesin (Griseril
Guaiakolat) meningkatkan volume dan mengurangi kekentalam sputum
yang kuat dan di gunakan sebagai ekspektoran untuk batuk produktif
(Andrew, 2008).
3. Metabolisme
a. Ampicilin
Sebagian di metabolism melalui hidrolisis cincin -laktam untuk
penicilloic asam yang menghasilkan mikrobiologis inactive.
b. Paracetamol
Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian
asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian
kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat
mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat
menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit (Gunawan,
2007).
c. CTM
Mengalami metabolisme substansial dalam mukosa GI selama
penyerapan dan efek lintas pertama melalui hati. Di metabolisme cepat
dan ekstensif terutama menjadi minimal 2 metabolit tak di kenal dan
monodes methyl chlorpheniramine dan didesmethyl chlorpherniramine
(Gunawan, 2007).
d. Ranitidin
Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam
jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya
dieksresi terutrama melalui ginjal, sisanya melalui tinja (Gunawan,
2007).
e. GG
Metabolit dibromoanfhranilic acid (activity unspecified) (Andrew,
2008).
4. Eksresi
a. Ampicilin
Dieliminasi dalam urin oleh sekresi tubular ginjal dan pada tingkat
lebih rendah oleh filtration glomelurus. Jumlah kecil juga diekresikan
dalam tinja dan empedu. Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal
normal sekitar 20-64% dari dosis oral tunggal diekresikan tidak berubah
dalam urin dalam waktu 6-8 jam. Sekitar 60-70% dari dosis IM tunggal
atau 73-90% dari dosis IV tunggal diekresikan tidak berubah dalam
urin.
b. Paracetamol
Obat ini diekresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai paracetamol
(3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Gunawan,2007).
c. CTM
Diekskresikan dalam urin (Gunawan,2007).
d. Ranitidin
Sekitar 70% dari ranitidin yang di berikan IV dan 30% dari yang
diberikan secara oral dieksresi dalam urin dalam bentuk asal
(Gunawan,2007).
e. GG
Eksresi terjadi di ginjal dan di keluarkan melalui urin. Dengan
waktu paruh eliminasi ~ 1 jam (Andrew, 2008).
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Dalam resep yang diberikan, dapat disimpulkan jika obat yang akan
dircik dibuat dalam bentuk sediaan serbuk bagi dengan metode tritulation,
karena pembuatan resep ini masih berskala laboratorium. Bahan obat
ampicilin yang berfungsi sebagai antibiotik digerus terlebih dahulu dan
dikemas tersendiri karena pengonsumsian antibiotik harus dihabiskan oleh
pasien. Kemudian untuk resep yang lain di gerus terlebih dahulu obat
rahitidin karna obat ini bersalut dan di ayak setelahnya. Untuk obat-obat yang
tidak bersalut, di gerus sekaligus dimulai dengan obat berbobot banyak
kemudian di ayak setelahnya. Campurkan ranitidin tadi kedalam campuran
obat-obat tersebut kemudian di gerus kembali sampai homogen.
Resep serbuk diatas dibagi dalam bobot yang sama dan dibungkus
dengan kertas perkamen. Untuk racikan serbuk Ampicilin di kemas tersendiri
dengan eriket berwarna putih dan aturan pemakaiannya. Begitu juga dengan
campuran bahan obat lainnya, di gerus bersamaan dan dibuat homogen
kemudian dibungkus menggunakan kertas perkamen dan diberikan etiket
berwarna putih dan aturah pemakaian obat tersebut.
V.2 Saran
V.2.1 Saran Untuk Jurusan
Sebaiknya fasilitas dan infrastruktur laboratorium lebih ditingkatkan.
V.2.2 Saran Untuk Asisten
Sebaiknya asisten lebih memperhatikan dan mengarahkan praktikan
dalam melakukan prosedur kerja agar tidak terjadi kesalahan dalam
praktikum.
V.2.3 Saran Untuk Praktikan
Sebaiknya praktikan lebih teliti dan terampil dalam praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Andrew, G.S. 2008. The Integrated Use of Chemical Insectisides and The
Entomopathogenic Nematode, Steinernema Carpocapsae For Control Of
Sweetpotato Whitefly, Bemisia tabaci. Insect Sains. Journal Compilation
Institute of Zoologi.
MIMS. 2015. Mims Bahasa Indonesia Edisi 15. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Sugianto, S. 2014. Industry and Cosmestic Used of Talk With Their Implication
On Health. Malaysia: IMU Clinical School.