Oleh:
Abdul Manan1
Abstrak
1
Penulis adalah Dosen Antropologi di Fakultas Adab UIN ar-Raniry,
mananaceh@yahoo.com,
Abdul Manan
I. PENDAHULUAN
Dalam sepanjang sejarahnya, masyarakat Aceh telah menjadikan Islam
sebagai pedoman dan bagian dari kehidupannya. Mereka tunduk dan taat kepada
Islam serta memperhatikan ketetapan atau fatwa para ulama. Penghayatan dan
penekunan terhadap ajaran Islam ini, melahirkan budaya Aceh yang tergambar
dalam kehidupan adat (uruf). Adat tersebut hidup dan berkembang dalam
kehidupan bermasyarakat, yang kemudian diakumulasikan lalu disimpulkan
menjadi sebuah patron landasan yang mengandung nilai-nilai filosofis: Adat
bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang,
Reusam bak Laksamana yang artinya, Hukum Adat di tangan pemerintah dan
Hukum Syariat ditangan Islam. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari
perwujudan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan
masyarakat Aceh, adat yang bersendikan syariat adalah unsur penting yang tidak
dapat dipisahkan seperti dua sisi dari satu mata uang ( two sides of the same
coin). Kedua unsur tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Nilai hukum adat dalam masyarakat Aceh bila ditelusuri dengan
mendalam, secara filosofis cenderung terbuka karena bernilai egaliter,
aperesiatif dan demokratis. Adat adalah norma-norma atau hukum syariah yang
telah mengakar dan berbudaya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat
Aceh, baik dalam aspek sosial, ekonomi maupun dalam hukum. Pada hakikatnya
nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai universal dari ajaran Islam. Kedua
unsur adat dan agama telah dimodifikasikan menjadi Qanun al-Atsyi yang
diartikan dengan adat meukuta alam.2 Qanun al-Atsyi adalah hal penting yang
dijadikan salah satu rujukan dalam kehidupan bermasyarakat. Di samping
bertujuan mengatur kehidupan masyarakat, adat juga menjadi cerminan
kepribadian suatu bangsa.
2
Teuku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, (Banda Aceh: PDIA, 1991), hal. xiv
II. PEMBAHASAN
1. Studi Kepustakaan
Berdasarkan berbagai sumber, peneliti menemukan bahwa telah banyak
penelitian yang dilakukan terhadap Qanun dan hukum adat (uruf) serta Perda
dan Seruan yang dikeluarkan di berbagai daerah di wilayah Aceh maupun di
wilayah lain di Indonesia. Baik dari segi isinya, penerapan, manfaat, maupun
respon dan tanggapan masyarakatnya. Penilitian ini dilaksanakan oleh orang
Aceh sendiri maupun di luar Aceh. Hal ini membantu peneliti untuk
menjadikannya sebagai pijakan dalam melakukan penulisan ini. Berbagai hasil
penelitian tersebut dapat membantu peneliti dalam melakukan kajiannya tentang
penerapan Seruan larangan duduk mengangkang bagi kaum wanita oleh
Walikota Lhokseumawe baik dari segi teoretis maupun praktis.
2. Kerangka Teoretis
a. Pengertian Adat atau Uruf
Adat dalam konteks kebahasaan adalah berasal dari bahasa Arab: ada,
yaudu, adah, yang berarti kebiasaan masyarakat. Ada juga yang mengatakan
bahwa adat adalah uruf yang merupakan bentuk jamak dari kata: arafa, yarifu,
uruf artinya tikrar atau pengulangan. Adapun adat menurut istilah adalah tradisi
atau kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun
waktu yang relatif lama.3
3
Muliadi Kurdi, Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa; Pendekatan
Sosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh, cet.1 (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2005), hal. 91-
95.
4
A. Rani Usman, ulasan singkat dari buku: Sejarah Peradaban Aceh, karangan
(online): http://aneukabumamak.blogspot.com/2011/07/adat-istiadat-masyarakat-aceh.html.
Diakses pada 15 Oktober 2013.
5
Syahrizal, dkk., Dimensi Pemikiran Hukum dalam Implementasi Syariat Islam di
Aceh, cet.2 (Nanggroe Aceh Darussalam: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2007), hal.19
3. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis.
Peneliti akan melakukan kajian tentang masalah ini baik secaca teoritis maupun
yang terjadi di lapangan. Disamping itu peneliti juga menggunakan metode
fenomenologis yang tidak terbatas pada empirik (sensual) tapi juga mencakup
6
Muliadi Kurdi, Pelestarian Nilai Adat Budaya sebagai Kearifan Lokal yang
Terganjal; Rekontruksi Sejarah dan Peran Adat Budaya dalam Masyarakat Aceh, Artikel Ilmiah
Poluler, cet.1. (Banda Aceh: Satket BRR Revitalisasi dan Pengembangan Kebudayaan NAD,
2005), hal 49., cet.1 (Medan: Ar-Raniry Press, 2005), hal. 27
7
Seruan Bersama ini ditandatangani oleh: Walikota Suaidi Yahya; Ketua DPRK
Saifuddin Yunus; Ketua MPU Tengku Asnawi Abdullah; dan Ketua MAA Tengku Usman
Budiman pada 2 Januari 2013 di Lhokseumawe
4. Lokasi Penelitian:
Wilayah Banda Aceh yang terdapat organisasi-organisasi perempuan dan
khususnya Kota Lhoksemawe yang merupakan ibu kota daerah tempat
diberlakukannya Perda tentang larangan duduk ngangkang bagi perempuan.
a. Populasi
Masyarakat kota Lhoksemawe yang terdiri dari: Walikota
Lhokseumawe, Ketua MPU Lhokseumawe, Masyarakat umum,
Masyarakat yang perpendidikan, Intansi-intansi pemerintah, seperti
MUI, KOMNAS PEREMPUAN dan beberapa dari masyarakat kota
Banda Aceh.
b. Sampel
Diwawancarai sejumlah orang yang terdiri dari masyarakat umum,
yang berpendidikan dan intansi pemerintah yang ada di Aceh
khususnya di kota Lhoksemawe.
8
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin,
1996), hal.12
6. Analisis Data:
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan data
kualitatif sebagai dasar deskripsi. Inti permasalahan yang ingin diketahui adalah
apa latar belakang dikeluarkannya Seruan Bersama tentang larangan duduk
ngangkang bagi perempuan dan bagaimana efektitas dan respon serta tanggapan
masyarakat terhadap Seruan bersama tersebut. Oleh karena itu, analisis data
yang dilakukan lebih terfokus pada analisis kontekstual, dengan cara melihat
hubungan satu data ke dalam sistem dimana data itu berasal. Data yang telah
diperoleh direduksi sedemikian rupa sesuai dengan kerangka konseptual dan
pertanyaan penelitian. Kemudian data tersebut diklasifikasi, diverifikasi dan
diinterpretasikan.
7. Hasil Penelitian
a. Latar Belakang Dikeluarkannya Seruan Bersama Tentang Larangan
Duduk Ngangkang bagi Perempuan oleh Walikota Lhokseumawe.
Berdasarkan dari berbagai sumber yang diperoleh peneliti tentang alasan
atau latarbelakang mengapa dikeluarkannya Seruan larangang duduk ngangkang
bagi perempuan yang menyebabkan pro dan kontra dari berbagai pihak, jika
ditelusuri lebih jauh dikeluarkannya Seruan tersebut bukan tanpa alasan yang
kuat. Dan apabila kita tinjau isi dari Aturan Larangan Mengangkang naik motor
di Lhokseumawe Aceh tersebut memiliki niat dan makna yang sangat baik dan
mulia, khususnya bagi wanita. Berikut adalah data informasi yang peneliti
peroleh tentang latarbelakang atau alasan dikeluarkannya Seruan larangan
duduk mengangkang bagi perempuan saat duduk di sepeda motor dari berbagai
sumber.
- Walikota Lhokseumawe:
Suaidi Yahya berkomentar, "alasannya untuk peningkatan dan
mendukung syariat Islam yang telah ada qanun-nya di Aceh," kata Suadi Yahya,
9
http://m.kaskus.co.id/post/50ee8c0b5b2acf4e1900000
10
Wawancara dengan Walikota Lhokseumawe (Suaidi Yahya) tanggal
18/10/2013.
Abu Asnawi menjelaskan, bahwa pada peringatan tahun baru 2012 yang
lalu seluruh tempat rekreasi di kota Lhokseumawe ditutup dan di sweeping oleh
remaja mesjid Islamic Center kota Lhokseumawe, mereka berputar-putar
mengililingi mesjid Islamic Center kota Lhokseumawe. Pada saat itu terlihat
oleh wali kota yang sedang memberikan pidato sambutan tahun baru Hijriah di
mesjid Islamic Center, secara spontan mengatakan akan mengatur dan tidak
boleh duduk ngangkang di atas sepeda motor. Oleh wartawan langsung
11
Wawancara dengan Abu Asnawi (Ketua MPU Kotamadya Lhokseumawe)
tanggal 19/10/2013
membesar-besarkan hal ini dengan menulis pada media bahwa walikota akan
mengeluarkan Perda tentang masalah tersebut.
12
Serambi Indonesia, Segera Dievaluasi, Jumat 5 April 2013, hal 13.
akan merumuskan solusi."Saya kira, ini pendapat pro dan kontra masih ada dan
saya kira sudah akan ada solusi yang cukup," ujarnya. 13
13
Ahmad ToriqdetikNews, Ini Sikap Gubernur Aceh Soal Larangan Ngangkang di
Lhokseumawe (online): http://news.detik.com/read/2013/01/15/150517/2142721/
10/?nd772204topnews, Selasa, 15/01/2013 15:05 WIB
untuk diterapkan. Mungkin di depan kita anak-anak mau duduk nyamping, pas
dibelakang kita tidak mau. Katanya lebih baik seruan ini dimasukkan dalam
kurikulum sekolah, kalau mau seruan ini efektif dan yang melangggar diberikan
sanksi.14
Zainal (penjual Bakso keliling di Banda Aceh), ketika diwawancarai oleh
peneliti mengatakan:
Saya kurang paham dengan masalah ini, maklumlah saya tiap hari asik
dengan jual bakso, kapan sempat saya mikir masalah yang begituan.
Menurut saya itu sih boleh-boleh saja kalau niatnya baik. Tapi alangkah
senangnya saya kalau pemerintah memikirkan masalah lapangan kerja,
khususnya bagi kami masyakat kecil. Apalagi kebutuhan hidup sekarang
semakin meningkat.
Raudhah Rizkina (22), warga Utuenkot Cunda Lhokseumawe, menilai
pemberlakuan larangan mengangkang tersebut hanya upaya untuk mencari
sensasi sesaat. Menurutnya, larangan duduk mengangkang bisa meningkatkan
angka kecelakaan lalu lintas. Lebih lanjut dia menilai, aturan pelarangan
mengangkang tersebut hanya upaya menutupi kekurangan pemkot yang tidak
mampu bekerja dengan baik meningkatkan perekonomian dan memberantas
kemiskinan.
Sementara itu, Saniah (warga Kampong Jawa, Lhokseumawe) menilai
soal perempuan mengangkang di sepeda motor tak harus diatur oleh pemerintah.
"Masih ada cara lain untuk meng-Islamkan pengendara sepeda motor
yang bukan muhrim. Aku melihat wali kota tidak melihat secara luas,
hanya melihat perilaku sebagian saja," sebutnya. Menurut dia, sebelum
membuat peraturan, seharusnya Pemkot berdiskusi dulu dengan semua
14
Hasil wawancara dengan jamaah mesjid Baitur Rahman kota Lhokseumawe
pada 18/10/2013.