LAPORAN KASUS
I.1 Identifikasi
Nama : Tn. B
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Ketahun
MRS : 12 September 2017
Pekerjaan : Petani
No. MR : 13.83.11
I.2 Autoanamnesis
Keluhan Utama:
Lemas yang memberat sejak 2 hari SMRS
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat (+)
Palpasi : ictus cordis (+) kuat angkat, tril (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular, gallop (-), murmur (-) galoop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris membesar, sikatriks(-), massa (-)
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan epigastrium (-), hepar/lien tidak teraba, undulasi
(-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Elektrolit Darah
Natrium : 108 ( 136-146 mmol/L)
Kalium : 3,7 (3,5 5,0 mmol/L)
Clorida : 76 (96-106 mmol/L )
I.7 Diagnosis Kerja
Syok sepsis
GEA dehidrasi derajat berat
I.8 Penatalaksanaan
Rawat ICU
O2
Rehidrasi IVFD NaCl 20 gtt/ mnt (jalur kanan) , IVFD Asering 20 gtt/mnt (jalur
kiri)
Inj . pelastin 1 gr /12 jam
Inj fartison 1 A / hari
I.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Latar Belakang
Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme (Guntur, 2008). Sepsis masih
menjadi penyebab utama kematian di sejumlah Intensive Care Unit (ICU). Selama Januari
2006-Disember 2007 di bagian PICU/NICU Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi
Surakarta, terdapat angka kejadian sepsis 33,5% dengan tingkat mortalitas sebesar 50,2%
(Pudjiastuti, 2008).
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks. Hal tersebut dapat
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai respon terhadap
faktor-faktor proinflamasi. Overproduksi sitokin inflamasi akan menyebabkan aktivasi respon
sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus, dan organ lainnya sehingga dapat terjadi
apoptosis, nekrosis jaringan, Multi Organ Dysfunction (MOD), syok septik, serta kematian.
Perkembangan terapi sepsis dengan obat-obatan akan berdampak secara mendasar pada
morbiditas dan mortalitas sepsis. Konsep modulasi respon inflamasi sistemik menuju sepsis
berat menyebabkan banyak obat-obatan antiinflamasi digunakan dalam uji coba klinis.
Berdasarkan hasil penelitian tahap Randomized Control Trials (RCTs), berbagai intervensi
antilipopolisakarida (anti-endotoksin), anti-CD14, anti-LBP, anti-TNF, interleukin-1-
receptor antagonist, ibuprofen, kortikosteroid dosis tinggi, bradikinin antagonist, platelet-
activating factor acetyl hydrolase, elastase inhibitor, nitric oxide synthase inhibitor tidak
memperlihatkan perbaikan kelangsungan hidup penderita sepsis (Russel, 2006; Guntur,
2008)
2. Definisi
Dua konferensi besar telah mendefinisikan sepsis, pertama tahun 1992 mengajukan
konsep Systeminc Inflammatory Response Syndrome (SIRS), mengenali perubahan
patofisiologi yang terjadi tanpa adanya kultur darah positif. Sepsis adalah suatu sindroma
klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap rangsangan
produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia, takipnea, hipotensi dan disfungsi
organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Kriteria untuk Sindrom Respons Inflamasi Sistemik (SIRS), diadaptasi dari konferensi
konsensus American College of Chest Physicians/Society of Critical Care Medicine :
- Hyperthermia/hypothermia (>38C; <35,6C)
- Tachypneu (respiratory rate >20/menit) atau PCO2 <32 mmHg atau membutuhkan
ventilasi mekanik
- Tachycardia (pulse >100/menit)
- Leukosit >12.000/mm3 ATAU <4000/mm3 atau >10% bentuk cell imature
- Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP).
Pada tahun 2001, konferensi definisi sepsis internasional memodifikasi model SIRS dan
mengembangkan sebuah pandangan luas mengenai sepsis. Konferensi ini mengembangkan
konsep sistem penderajatan untuk sepsis berdasarkan empat karakteristik terpisah yang
disebut sebagai PIRO. Huruf P mewakili predisposisi, mengindikasikan kondisi-kondisi ko-
morbid yang akan menurunkan kesintasan. Huruf I mewakili infeksi, yang merefleksikan
pengetahuan klinis bahwa beberapa organisme patogen lebih letal dibandingkan yang
lainnya. Huruf R mewakili respons terhadap adanya infeksi, termasuk timbulnya SIRS. Huruf
terakhir yakni O mewakili disfungsi organ dan termasuk kegagalan organ, termasuk
kegagalan sistem seperti sistem koagulasi.
Derajat Sepsis
1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan 2 (dua) gejala sebagai
berikut:
a. Hyperthermia/hypothermia (>38,3C; <35,6C)
b. Tachypneu (resp >20/menit)
c. Tachycardia (pulse >100/menit)
d. Leukocytosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e. 10% >cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oligouri bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang
diinduksi sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai
hipoperfusi jaringan (Guntur, 2008).
3. Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di
AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat
antara 300.000-500.000 kasus pertahun (Bone 1987, Root 1991). Shock akibat sepsis terjadi
karena adanya respon sistemik pada infeksi yang serius. Walaupun insiden shock sepsis ini
tak diketahui namun dalam beberapa tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup
banyak faktor predisposisi untuk terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirosis hati,
alkoholisme, leukemia, limfoma, keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi
parenteral dan sonde, infeksi traktus urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah
penyebab kematian yang sering di ruang ICU.
4. Etiologi
Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal
(anonim, 2008).
Umumnya disebabkan kuman gram negatif. Insidensnya meningkat, antara lain karena
pemberian antibiotik yang berlebihan, meningkatnya penggunaan obat sitotoksik dan
imunosupresif, meningkatnya frekuensi penggunaan alat-alat invasive seperti kateter
intravaskuler, meningkatnya jumlah penyakit rentan infeksi yang dapat hidup lama, serta
meningkatnya infeksi yang disebabkan organisme yang resisten terhadap antibiotik (Anonim,
2001).
5. Patofisologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada bakteri
gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di dalam plasma,
dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang disintesis oleh hepatosit,
diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS masuk ke dalam sirkulasi, sebagian
akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS
akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan berikatan dengan LBP sehingga mempercepat
ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler
melalui nuklear factor kappaB (NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC),
suatu faktor transkripsi yang menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks
LPS-CD14 terlarut juga akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2
(TLR2) (Widodo, 2004).
Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid (LTA)
dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif menyebabkan
sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan komponen dinding sel
yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan molekul MHC kelas II dari antigen
presenting cells dan V-chains dari reseptor sel T, kemudian akan mengaktivasi sel T dalam
jumlah besar untuk memproduksi sitokin proinflamasi yang berlebih (Calandra, 2003).
Gambar 1. Model untuk disregulasi rekrutmen netrofil terhadap infeksi bakterial dalam
jarungan non-pulmonar pada keadaan normal (kiri) dan pada sepsis (kanan). Faktor-faktor
stimulasi koloni (granulocyte colony stimulating factor G-CSF dan granulocyte macrophage
colony stimulating factor GM-CSF) menginduksi pelepasan netrofil dari sumsum tulang.
Pada keadaan normal, sejumlah besar netrofil darah tepi memasuki daerah infeksi bakterial
dengan pertama menempel pada sel endotel dan kemudian bermigrasi seiring dengan gradien
faktor-faktor kemotaktik. Faktor-faktor kemotaktik ini dihasilkan pada lokasi patogen.
Netrofil menggunakan TLR 2 atau 4 untuk berinteraksi dengan pola molekular terkait
patogen pada bakteria untuk memfagosit dan mengeliminasi patogen. Sebaliknya, netrofil
pada pasien sepsis mempunyai peningkatan ekspresi integrin permukaan, yang menyebabkan
pengikatan kuat pada sel endotel. Sebagai akibatnya, netrofil tetap terikat pada sel endotel
dan gagal untuk bermigrasi secara adekuat ke dalam lokasi infeksi bakterial.
Gambar 2. Imbalans antara aktivasi koagulasi dan fibrinolisis serta penurunan mekanisme
antikoagulan dapat dilihat pada gambar di atas.
Mekanisme Kegagalan Organ
Penyebab akhir kematian pada pasien dengan sepsis adalah kegagalan organ multipel.
Terdapat hubungan erat antara derajat keberatan disfungsi organ terhadap perawatan intensif
dan kemungkinan kesintasan serta antara jumlah organ yang gagal dengan risiko kematian.
Mekanisme ini melibatkan deposisi fibrin luas yang menyebabkan oklusi mikrovaskular,
timbulnya eksudat jaringan yang kemudian menganggu oksigenasi adekuat dan gangguan
hemostasis mikrovaskular yang timbul dari elaborasi zat-zat vasoaktif seperti PAF, histamin
dan prostanoid. Inflitrat selular, terutama netrofil, merusak jaringan secara langsung dengan
melepaskan enzim lisosomal dan radikal-radikal bebas turunan superoksida. TNF- dan
sitokin-sitokin lainnya meningkatkan ekspresi sintase oksida nitrat terinduksi dan
peningkatan produksi oksida nitrat lebih lanjut akan menyebabkan instabilitas vaskular dan
juga berkontribusi terhadap depresi miokardial yang timbul pada sepsis.
6. Gejala Klinik
1) Fase dini: terjadi deplesi volume, selaput lendir kering, kulit lembab dan kering.
2) Post resusitasi cairan: gambaran klinis syok hiperdinamik: takikardia, nadi keras dengan
tekanan nadi melebar, precordium hiperdinamik pada palpasi, dan ekstremitas hangat.
3) Disertai tanda-tanda sepsis.
4) Tanda hipoperfusi: takipnea, oliguria, sianosis, mottling, iskemia jari, perubahan status
mental.
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat
dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Kedaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok
(nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan penurunan
tekanan darah).
Gejala syok sepsis yang mengalami hipovolemia sukar dibedakan dengan syok
hipovolemia (takikardia, vasokonstriksi perifer, produksi urin < 0,5 cc/kgBB/jam, tekanan
darah sistolik turun dan menyempitnya tekanan nadi). Pasien-pasien sepsis dengan volume
intravaskuler normal atau hampir normal, mempunyai gejala takikardia, kulit hangat, tekanan
sistolik hampir normal, dan tekanan nadi yang melebar. (anonim, 2008)
Perubahan hemodinamik
Tanda karakteristik sepsis berat dan syok-septik pada awal adalah hipovolemia, baik
relatif (oleh karena venus pooling) maupun absolut (oleh karena transudasi cairan). Kejadian
ini mengakibatkan status hipodinamik, yaitu curah jantung rendah, sehingga apabila volume
intravaskule adekuat, curah jantung akan meningkat. Pada sepsis berat kemampuan kontraksi
otot jantung melemah, mengakibatkan fungsi jantung intrinsik (sistolik dan diastolik)
terganggu.
Meskipun curah jantung meningkat (terlebih karena takikardia daripada peningkatan
volume sekuncup), tetapi aliran darah perifer tetap berkurang. Status hemodinamika pada
sepsis berat dan syok septik yang dulu dikira hiperdinamik (vasodilatasi dan meningkatnya
aliran darah), pada stadium lanjut kenyataannya lebih mirip status hipodinamik
(vasokonstriksi dan aliran darah berkurang).
Tanda karakterisik lain pada sepsis berat dan syok septik adalah gangguan ekstraksi
oksigen perifer. Hal ini disebabkan karena menurunnya aliran darah perifer, sehingga
kemampuan untuk meningkatkan ekstraksi oksigen perifer terganggu, akibatnya VO2
(pengambilan oksigen dari mikrosirkulasi) berkurang. Kerusakan ini pada syok septic
dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya gangguan oksigenasi jaringan.
Karakteristik lain sepsis berat dan syok septik adalah terjadinya hiperlaktataemia,
mungkin hal ini karena terganggunya metabolisme piruvat, bukan karena dys-oxia jaringan
(produksi energi dalam keterbatasan oksigen) (Guntur, 2008).
Multiple Organ Failure
DIC FDP 1:40 atau D-dimers 2,0 dengan
rendahnya
platelet
Memanjangnya waktu:
- protrombin
- partial thromboplastin
- Perdarahan
Penatalaksanaan
Untuk penanganan dan pengobatan sepsis dan syok sepsis diperlukan tindakan yang
agresif terhadap penyebab infeksi, hemodinamik, fungsi respirasi. Untuk memperbaiki
perfusi dan oksigenasi organ vital. Jika perlu dipasang CVP untuk mengukur secara akurat
volume cairan, cardiac output, dan resistensi perifer sehingga dapat dimonitor pemberian
cairan dan tekanan darah (Root, 1991).
Perbaikan sepsis tergantung pada seberapa berat penyakit penyebab. Pasien yang dapat
imunosupresan, perbaikan baru terlihat bila dosis imunosypresan diturunkan atau dihentikan.
Pada pasen dengan netropeni atau disfungsi netropil mungkin memerlukan transfusi
granulosit. Perlu juga diperhatikan adalah penggantian kateter intra vena, kateter Folley.
Sedangkan untuk fungsi respirasi perlu dimonitor saturasi oksigen arteri tetap 95% dan jika
terjadi respiratory failure perlu dipasang intubasi.
Untuk pengobatan shock sepsis perlu diperhatikan obat yang esensial (hemodinamik,
antibiotik, vasopressor), kontroversial (kortikosteroid, heparin dan opiat antagonis), masa
mendatang (antibodi monoklonal).
Perbaikan hemodinamik.
Banyak pasen shock sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Cairan koloid maupun
kristaloid dapat diberikan. Jika disertai anemia berat perlu transfusi darah dan CVP dipelihara
antara 10-12 mmHg.
Untuk mencapai cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam.
Jika tekanan darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan
pemberian vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit
Dopamin diberikan bila sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau
tekanan sistolik 90-110 mmHg. Dosis awal adalah 2-5 mg/Kg BB/menit. Bila dosis ini
gagal meningkatkan MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 g/
KgBB/menit. Bila masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 mg/Kg BB/menit,
tetapi di kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua
vasokonstriktor masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan
vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin) (Mansjoer, 2001).
Pemakaian Antibiotik
Setelah diagnosa sepsis ditegakkan, antibiotik harus segera diberikan, dimana sebelumnya
harus dilakukan kultur darah, cairan tubuh, dan eksudat. Pemberian antibiotik tak perlu
menunggu hasil kultur. Untuk pemilihan antibiotik diperhatikan dari mana kuman masuk dan
dimana lokasi infeksi, dan diberikan terapi kombinasi untuk gram positif dan gram negatif.
Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat menurunkan
angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia pemberian dosis tinggi 30 mg
metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak
didapatkan peningkatan angka mortalitas (Root, 1991).
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat memperbaiki
keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas (Sprung,1984; Bone, 1987;
Hinshaw 1987; Cohen, 1991).
Nalokson suatu opiat antagonis diberikan pada binatang percobaan untuk mencegah syok
karena diinduksi oleh endotoksin (Robert 1988; Root, 1991; Bone, 1992). Pada manusia
dilakukan suatu studi prospektif dan didapatkan hasil yaitu naloksan tidak menaikkan tekanan
darah tetapi dapat mengurangi penggunaan vasopressor (Robert, 1988).
DIC asimptomatik tidak membutuhkan terapi spesifik, jika terjadi perdarahan berat
diperlukan penggantian faktor pembekuan dan platelet, penggunaan heparin dan fibrinolitik
lainnya masih kontraversial. Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal
merupakan harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi hanya efektif
bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan antibodi CB0006 dan TNF
antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan mungkin juga dapat digunakan untuk
pengobatan walaupun terapeutic window-nya sempit.
Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram negative, terutama pada sumber infeksi
saluran cerna dan saluran kemih yang sering disebabkan kuman Gram negatuf (Mansjoer,
2001).
Memperbaiki asidosis metabolik dengan natrium bikarbonat sampai pH normal dan
memperbaiki gangguan elektrolit dengan pemberian elektrolit (Mansjoer, 2001).
Penelitian baru melibatkan pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis
untuk membandingkan resusitasi hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi
dini berdasarkan target (EGDT-early goal directed therapy) menunjukkan adanya reduksi
mortalitas yang signifikan secara statistik (16,5%).
EGDT merupakan suatu pendekatan algoritmik untuk optimalisasi (gambar 10) yang
bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan antara sediaan dan kebutuhan oksigen pada
kasus-kasus sepsis berat atau syok sepsis pada 6 jam pertama rawat gawat darurat. Strategi ini
mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat dengan optimalisasi volume
intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan vena sentral (CVP central venous
pressure), tekanan darah (afterload) dengan pemantauan tekanan arterial rerata (mean
arterial pressure MAP), kontraktilitas dengan pemantauan untuk menghindari takikardia
dan pemulihan keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen
(dipandu dengan pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-
komponen EGDT diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care
Medicine untuk dukungan hemodinamik pada sepsis.
Gambar 3. Algoritma EGDT
Progosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang rata-
rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk sering
mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari diagnosa
dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik decompensated menjadi
mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung
ireversibel dan fatal.