Anda di halaman 1dari 6

Perubahan Morfologi dan Anatomi Kalus Catharanthus roseus

dengan Perlakuan Triptofan


(The morphological and anatomical changes on tryptophan-treated callus of
Catharanthus roseus)
1)*
Dingse Pandiangan
1
) Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sam Ratulangi Manado
*
E-mail korespondensi: dingsepan@yahoo.com

Diterima 5 Februari 2012, diterima untuk dipublikasikan 20 Februari 2012

Abstrak
Penelitian tentang perubahan morfologi dan anatomi kalus Catharanthus roseus dengan
pemberian perlakuan triptofan telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi
informasi tentang perubahan yang terjadi pada kalus khususnya struktur anatomi dan
morfologi sel kalus Catharanthus roseus setelah diberi perlakuan prekursor triptofan 175
mg/L. Pengamatan anatomi kalus dilakukan dengan metoda Parafin yang
didokumentasikan dengan mikroskop Nikon Halogen 100 W perbesaran 10X10 dan difoto
dengan camera Nikon DXM 1200F. Penampakan morfologi kalus didokumentasikan
dengan camera digital Cannon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan kalus
yang diberi perlakuan triptofan lebih lambat pada awalnya, namun bertahan hidup sampai
40 hari kultur. Kalus tanpa triptofan cepat bertumbuh pada awalnya sampai hari ke 18
kultur, setelah itu tidak ada pertumbuhan lagi. Setelah kultur 40 hari kultur, kalus dengan
perlakuan triptofan tetap bertumbuh dengan baik sedangkan kontrol sudah rusak atau lisis.
Struktur sel kalus perlakuan triptofan setelah 28 kali subkultur menunjukkan adanya
penebalan dinding sel, sedangkan sel kalus kontrol mengalami lisis atau kerusakan sel.
Kata kunci: anatomi, Catharanthus roseus, kalus, morfologi, triptofan

Abstract
A research on the morphological and anatomical changes on tryptophan-treated
callus of Catharanthus roseus was conducted. This study aimed to complete the
information about the changes, particularly on anatomical and morphological structure of
Catharanthus roseus callus cells after treatment of 175 mg/L precursor tryptophan.
Anatomical observations was conducted using paraffin method, documented using a Nikon
microscope with a 10x10 magnification and the photograph was taken using the Nikon
DXM 100 W Halogen 1200F camera. The appearance of callus morphology was
documented by Cannon digital camera. The results showed that the growth of tryptophan-
treated callus was slower at the beginning, but it survived by 40-day culture. Non-
tryptophan callus grew rapidly by 18-day culture and did not grow later on. Tryptophan-
treated callus for 40 days grew well, whereas control callus was damaged or lysis. The
tryptophan-treated callus after 28 times subcultures showed cell wall thickening, whereas
the control callus cells are lysis or damaged.
Keywords: anatomy, callus, Catharanthus roseus, morphology, tryptophan

PENDAHULUAN sebagai tanaman hias dan obat.


Tapak dara (Catharanthus roseus Tanaman tapak dara ini berguna untuk
(L) G. Don) banyak dibudidayakan mengobati hipertensi, diabetes,
46 JURNAL BIOSLOGOS, FEBRUARI 2012, VOL. 2 NOMOR 1

pendarahan akibat penurunan jumlah pertumbuhan yang lebih lambat dari pada
trombosit, eptelioma korionik, leukemia yang undiferensiasi. Disamping itu, Girod
limfositik akut, leukemia, monositik akut, and Zryd (1991) melaporkan bahwa
limfosarkoma dan sarkoma sel retikulum. morfologi sel pada kultur kalus bit merah
Beberapa penelitian lain melaporkan mempengaruhi akumulasi pigmen
bahwa sekitar 130 macam alkaloid telah betalain. Penambahan prekursor triptofan
diidentifikasi pada tanaman ini. dapat meningkatkan kandungan
Diantaranya adalah alkaloid anti kanker katarantin (Pandiangan et al 2006)
seperti vinblastin (VLB), vinkristin (VCR) mungkin juga dapat mengubah morfologi
dan leurosin. dan anatomi kalus. Oleh karena itu
Kultur kalus maupun jaringan (in dilakukan penelitian ini untuk mengetahui
vitro) tanaman ternyata dapat perubahan morfologi dan anatomi kalus
memproduksi senyawa kimia berupa C. roseus yang diberi perlakuan triptofan.
alkaloid dan sejenisnya yang tergolong
metabolit sekunder (Vazquez-Flota et al. METODE
1994, Kim et al. 1994). Beberapa Bahan dan Medium
penelitian menyatakan bahwa alkaloid Bahan penelitian yang digunakan
tertentu dihasilkan lebih tinggi melalui adalah daun dari tunas apikal C. roseus
kultur jaringan (kalus) dari pada yang tumbuhkan di Laboratorium. C.
kandungan tanaman induknya roseus yang digunakan sebagai sumber
(Pandiangan et al. 2006). Dengan eksplan C. roseus berbunga putih.
demikian sangat perlu menggunakan Medium yang digunakan adalah medium
kultur jaringan pada pengembangan Murashige dan Skoog (MS), yang
tapak dara ini untuk memproduksi suatu dilengkapi dengan zat hara makro, mikro,
senyawa alkaloid. Penemuan ini vitamin, zat pengatur tubuh, sukrosa dan
menimbulkan harapan untuk menerapkan agar-agar. Medium disterilkan dengan
cara yang sama dalam skala besar otoklaf 15 lb/inc2 dengan suhu 121oC
terutama untuk memproduksi antara lain selama 15 menit.
alkaloid anti kanker yang selama ini
ditakuti. Induksi Kalus
Pandiangan et al. (2006) sudah Induksi kalus mengikuti metoda
melaporkan bahwa pendekatan Pandiangan dan Nainggolan (2006).
penambahan prekursor sudah dilakukan. Eksplan daun C. roseus disterilkan
Perlakuan triptofan pada kalus tapak dara terlebih dahulu sebelum dikulturkan pada
dapat meningkatkan kandungan medium induksi kalus. Sterilisasi
katarantin sampai 950,536g/g berat dilakukan dengan alkohol 75% dan Na-
kering (BK). Umumnya pada hipoklorit 2 % selama 15 menit yang
pertumbuhan kalus rendah menghasilkan dilakukan 3 kali secara bertahap. Eksplan
kandungan katarantin yang lebih tinggi yang sudah steril dikulturkan dalam
daripada pertumbuhan yang tinggi. Dari medium MS dengan kombinasi zat
penelitian tersebut ditemukan pengatur tumbuh 2,4-D 2 mg/L dan
pertumbuhan optimum adalah pada Kinetin 0,2 mg/L. . Subkultur dilakukan
perlakuan 175 mg/L prekursor triptofan. setiap 3 minggu, selama 2 bulan untuk
Moreno-Valenzuela (1998), juga memperbanyak kalus dan membuat kalus
melaporkan bahwa pada sel yang kompak semakin meremah pada kultur
mengalami spesialisasi dan diferensiasi kalus yang berulang-ulang.
menghasilkan metabolit sekunder yang
tinggi pada kultur in vivo. Sel yang
mengalami diferensiasi menunjukkan
Pandiangan, Perubahan morfologi dan . 47

Perlakuan Triptofan pada Kultur Kalus pertambahan ukuran secara visual.


Subkultur kalus pada media MS Namun pada perlakuan triptofan pada
dengan perlakuan triptofan 175 mg/L awalnya (sampai hari 18) lambat
dilakukan langsung pada saat subkultur pertambahan ukuran kalus, tapi terus
kedua. Setiap perlakuan dibuat 4 bertahan dan sampai hari ke-28 dan
ulangan. Berat inokulum yang digunakan masih tumbuh baik seperti Gambar 2.
dalam kultur dalam adalah 2 g kalus. Bahkan kalus sampai pada hari ke-40
kalus ditimbang secara aseptik dalam kultur juga menunjukkan penampakan
Laminar air flow ketika sedang subkultur. yang serupa dengan Gambar tersebut.
Medium yang disiapkan sekitar 16 botol Oleh karena itu pada hari ke-40 setelah
kultur. kultur dalam perlakuan triptofan,
menghasilkan berat basah yang lebih
Pengamatan Morfologis dan Anatomi tinggi seperti pada Pandiangan dan
Kalus Nainggolan (2006).
Penampakan secara morfologi Pada Gambar 1 terlihat bahwa
kalus diamati secara visual. Hasil kalus kontrol (K) yang diamati pada hari
pengamatan didokumentasikan dengan ke-18 setelah subkultur menunjukkan
menggunakan kamera digital Cannon. pertumbuhan yang lebih cepat
Pengamatan anatomi didokumentasikan dibandingkan dengan kalus perlakuan
dengan menggunakan mikroskop Nikon pada triptofan. Tapi kemudian kalus
Halogen 100 W dengan perbesaran kontrol ini akan terlebih dahulu
10X10 yang difoto dengan camera digital mengalami fase penurunan atau penuaan
Nikon DXM 1200F. Anatomi kalus diamati dibandingkan kalus perlakuan. Kalus
dengan metoda parafin. perlakuan dapat bertahan bahkan sampai
lebih dari 40 hari. Pada minggu ketiga
(hari ke 21) kalus kontrol mulai kelihatan
HASIL DAN PEMBAHASAN berwarna coklat (nekrotis) sepertinya sel-
Pengamatan morfologi dan selnya mengalami kerusakan. Namun
pertumbuhan kalus secara visual kalus T masih tetap berwarna putih
menunjukkan bahwa pertambahan besar kekuningan atau nampak masih
kalus kontrol cepat pada awalnya sampai bertumbuh baik sampai hari ke-28 kultur
hari ke-18 (Gambar 1). Setelah itu (Gambar 2).
mengalami pencoklatan dan tidak ada

T
K

Gambar 1. Penampakan kalus Catharanthus roseus yang diberi perlakuan triptofann (T)
dan kontrol (K) yang diamati pada hari ke-18 setelah subkultur
48 JURNAL BIOSLOGOS, FEBRUARI 2012, VOL. 2 NOMOR 1

K
T

A B

Gambar 2. Penampakan kalus C. roseus setelah hari ke-28 disubkultur pada medium
perlakuan triptofan. K = kontrol, nampak warna kecoklatan. T = perlakuan
triptofan 200 mg/L dengan kalus berwarna putih kekuningan. A =
penampakan sayatan kalus K dengan sel lisis ( ). B = penampakan sayatan
kalus T dengan penebalan dinding sel ( )

Hasil analisis anatomi kalus tanpa xilem (Darsini 2001). Sifat sel latisifer
triptofan (kontrol = K) menunjukkan yang sangat menonjol dalam hal ini
bahwa sel nampak pecah atau lisis adalah adanya penebalan dinding selnya.
(Gambar 2A). Kalus T atau perlakuan Oleh karena penebalan dinding sel juga
triptofan menunjukkan bahwa sel-selnya dapat menyebabkan pembelahan sel
banyak yang mengalami penebalan. Sel berkurang. Disamping itu sel kalus yang
yang menebal tersebut merupakan diberi perlakuan triptofan mengalami
respon terhadap perlakuan triptofan. penebalan dingding yang mengakibatkan
Penampakan selnya mirip dengan sel sel-sel tersebut tidak cepat lisis atau
trakeid dan terlihat banyak jumlahnya kerusakan kalus. Medium yang lama
(Gambar 2B). Menurut Rompas (1998) tentu sudah mengalami pengurangan
bahwa sel-sel penghasil metabolit kandungan nutrisi dan perubahan
sekunder alkaloid pada C. roseus adalah tekanan osmosis akibat pertumbuhan
latisifer. Proses perkembangannya kalus (Moreno-Valenzuela et al. 1999).
menunjukkan sel-selnya memanjang dan Oleh karena penebalan yang terjadi sel T
mengalami penebalan dinding yang mempunyai pertahanan terhadap
mempunyai sifat-sifat yang sama dengan perubahan tekanan osmosis dalam
Pandiangan, Perubahan morfologi dan . 49

medium (Taiz and Zeiger 2002), sehingga pertumbuhan kalus atau pertumbuhannya
sel kalus bertahan lama dan bertumbuh tetap normal sama dengan kontrol (tanpa
baik. Di samping itu triptofan yang triptofan) meskipun kandungan
berlebih dalam media dapat dikonversi alkaloidnya meningkat. Ada perbedaan
oleh sel tumbuhan menjadi asam piruvat antara hasil penelitian ini dengan Zhao et
dan asetil ko-A pada katabolisme sel al. (2001). Hasil penelitian ini
(Lehninger 1990), sehingga kekurangan menunjukkan adanya pengaruh terhadap
nutrisi dapat diatasi dan dapat pertumbuhan kalus. Zhao et al. (2001),
memperpanjang waktu kultur. melaporkan bahwa kandungan katarantin
Pola pertumbuhan kalus (data pada meningkat dengan penambahan triptofan
Pandiangan 2006) tersebut menunjukkan 300 mg/l dan 500 mg/l pada kultur kalus
bahwa 175 mg/L triptofan yang kompak dari C. roseus. Pengaruh
ditambahkan ke dalam media triptofan terhadap kultur itu bisa
menghasilkan kalus dengan berat basah meningkatkan atau menurunkan
tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan alkaloid tergantung tipe kultur
perlakuan prekursor triptofan terhadap dan spesies yang digunakan. Kalau pada
pertumbuhan kalus mempunyai kalus meningkatkan tapi pada kultur lain
konsentrasi yang optimum. Perlakuan bisa saja menurunkan atau sebaliknya.
prekursor triptofan mempunyai
mekanisme penghambatan feedback KESIMPULAN
pada konsentrasi yang semakin tinggi Pertumbuhan kalus C. roseus yang diberi
dari konsentrasi triptofan 200 mg/L (Taiz perlakuan triptofan lebih lambat pada
and Zeiger 2002). Tetapi juga mempunyai awalnya, namun bertahan hidup sampai
mekanisme induksi terhadap 40 hari kultur. Kalus tanpa triptofan cepat
pertumbuhan pada konsentrasi triptofan bertumbuh pada awalnya sampai hari ke
100 sampai 200 mg/L. 18 kultur, setelah itu tidak ada
Pengamatan secara kuantitatif lebih pertumbuhan lagi. Setelah kultur 40 hari
menguatkan pengamatan kualitatif kultur, kalus dengan perlakuan triptofan
sebelumnya pada penelitian sebelumnya. tetap bertumbuh dengan baik sedangkan
Melanjutkan hasil sebelumnya bahwa kontrol sudah rusak atau lisis. Struktur sel
bahwa kalus kontrol lebih cepat kalus perlakuan triptofan setelah 28 kali
mengalami penuaan (senescens) dari subkultur menunjukkan adanya
kalus perlakuan triptofan. Hal ini dapat penebalan dinding sel, sedangkan sel
dibuktikan dari naiknya berat basah atau kalus kontrol mengalami lisis atau
pertumbuhan kalus setelah 40 hari kultur kerusakan sel.
pada perlakuan triptofan 175 mg/L. Di
samping itu nutrisi yang ditambahkan UCAPAN TERIMA KASIH
melalui triptofan merupakan nutrisi Diucapkan terima kasih kepada
tambahan dan merupakan cadangan pimpinan dan staf SITH ITB Bandung
nutrisi pada pertumbuhan kalus (Moreno- yang memberikan kesempatan untuk
Valenzuela et al. 1999). Faktor komposisi menggunakan alat mikroskop Nikon
media sangat mempengaruhi aktivitas Halogen 100 W dengan camera digital
enzim yang mempengaruhi pertumbuhan Nikon DXM 1200F sehingga tulisan ini
dan kandungan alkaloid (Merilon et al. dapat dipublikasikan. Demikian juga
1986). dengan Dr. Rizkita Rahmi Esyanti
Zhao et al. (2001), melaporkan diucapkan terima kasih atas
dengan penambahan triptofan 300 mg/l kerjasamanya melalui penelitian Hibah
dan 500 mg/l pada kultur kalus kompak Pekerti.
dari C. roseus tidak menekan
50 JURNAL BIOSLOGOS, FEBRUARI 2012, VOL. 2 NOMOR 1

DAFTAR PUSTAKA Catharanthus roseus hairy roots.


Plant Cell Reports 18: 99-104
Girod PA and Zryd JP (1991) Secondary Pandiangan D, Nainggolan N (2006)
metabolism in culture red beet Produksi alkaloid dari kalus tapak
(beta vulgaris L.) cells: dara. Jurnal Ilmiah Sains 6: 48-54
differentional regulation of Pandiangan D (2006) Respons
betaxanthin and betacyanin Pertumbuhan Kalus Catharanthus
biosynthesis. Plant Cell Tissue roseus yang diberi perlakuan
Organ Culture 25:1-12 triptofan. Jurnal Biotika 5:49-56
Kim SW, Jung KH, Kwak SS, and Liu JR Pandiangan D, Rompas D, Aritonang H,
(1994) Relationship between cell Esyanti RR, Marwani E ( 2006)
morphology and indole alkaloid Pengaruh triptofan terhadap
production in suspension cultures pertumbuhan dan kandungan
of Catharanthus roseus. Plant Cell katarantin pada kultur kalus C.
Report 14:23-26 roseus. Jurnal Matematika dan
Merillon JM, Doireau P, Guiilot A, Sains 11:111-118
Chonieux JC, and Rideau M Rompas DR (1998) Asal-usul,
(1986) Indole alkaloid perkembangan dan penyebaran
accumulation and tryptophan Latisifer pada tumbuhan tapak
decarboxylase activity in dara (Catharanthus roseus (L)
Catharanthus roseus cells G.Don). Tesis ITB Bandung
cultured in three different media. Taiz L and Zeiger E (2002) Plant
Plant Cell Reports 5:23-26 physiology, 3rd ed. Sinauer
Moreno-Valenzuela O, Coello-Coello J, Associates, pp 423-460
Loyola-Vargas VM and Vazquez- Vazquez-Flota F, Moreno-Valenjuela O,
Flota F (1999). Nutrient Miranda-Ham ML, Coello-Coello J,
consumption and alkaloid and Loyola-Vargas VM (1994)
accumulation in a hairy root line of Catharanthine and ajmalisine
Catharanthus roseus. synthesis in Catharanthus roseus
Biotechnology Letters 21: 1017 hairy root cultures. Plant Cell,
1021 Tissue and Organ Culture 38:
Darsini NN (2001) Perkembangan latisifer 273-279
pada kultur kalus Catharanthus Zhao J, Hu Q, Guo YQ, Zhu WH (2001)
roseus (L.) G. Don. Tesis ITB Effects of stress factors,
Bandung. bioregulators, and synthetic
Moreno-Valenzuela OA, Galaz-Avalos precursors on indole alkaloid
RM, Minero-Garcia Y, Loyola- production in compact callus
Vargas VM (1998) Effect of clusters cultures of Catharanthus
diffrentiation on the regulation of roseus. Appl Microbiol Biotechnol
indole alkaloid production in 55:693-698.

Anda mungkin juga menyukai