Anda di halaman 1dari 4

Surabaya, 26 Juli 2017

Kepada : Yth. Bapak Minola Sebayang, S.H., M.H.


Perihal : Analisis Tambahan Atas Langkah Hukum yang Akan Ditempuh
Masyarakat Adat Sibayak Lau Chih
Lampiran : - Hasil Rapat di DPRD Medan Tertanggal 20 Juli 2017

Mengacu dari hasil rapat di DPRD Medan pada hari Kamis, 20 Juli 2017 yang lalu upaya
hukum yang akan dilakukan untuk membela masyarakat adat Sibayak Lau Chih antara lain
adalah; mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PTPN II dan BPN;
mengajukan permohonan ke Bupati Deli Serdang agar memberikan penetapan pengakuan
status masyarakat adat Sibayak Lau Chih dalam Peraturan Daerah; melaporkan tindakan
polisi yang menghancurkan jambur dan mengintimidasi warga ke Propam.

Dari upaya hukum yang akan dilakukan diatas, berikut adalah analisis singkat dan aturan
terkait yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan:

I. Analisis terkait gugatan perdata Perbuatan Melawan Hukum terhadap PTPN II dan
BPN maupun Polri
Untuk pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum, saat ini masyarakat adat
Sibayak Lau Chih eksistensinya belum ditetapkan melalui Peraturan Daerah (vide
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat). Saat ini, masyarakat adat Lau Chih
baru memiliki bukti berupa Surat Keterangan Kepala Urung Kuta XII Kesultanan
Deli Medan Nomor 01-05-X-11/2017 yang dikeluarkan di bulan Mei 2017, yang
menerangkan bahwa daerah Lau Chih memang adalah Daerah Tanah Adat Ulayat
yang dipimpin oleh seorang bergelar Sibayak.
Kemungkinan hal ini akan digunakan oleh Tergugat dalam eksepsi bahwa
masyarakat adat Sibayak Lau Chih tidak memiliki hak dan kapasitas untuk
menggugat (persona standi in judicio), dan harus ditetapkan keberadaannya
sebagai masyarakat hukum adat lewat Peraturan Daerah terlebih dahulu.
Kemungkinan lainnya, dalam eksepsi Tergugat bisa menggunakan dalil bahwa secara
hukum kepemilikan tanah masyarakat adat dalam sengketa juga belum jelas
mengenai letak, luas, dan batas-batasnya.
Hal ini sejalan dengan Pasal 5 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat yang menentukan bahwa:
Keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam
suatu peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi
dan, apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya
dalam daftar tanah. Dengan demikian, semua tanah ulayat harus dituliskan dalam
peta dasar pendaftaran tanah.

II. Analisis terkait permohonan penerbitan Peraturan Daerah untuk Pengakuan


Terhadap Masyarakat Adat
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1 Angka 43 menegaskan kembali mengenai Desa dan Desa Adat sebagai Desa
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
diakui dan dihormati dalam system pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Undang-undang ini tegas mengatur bahwa pemerintah kabupaten/kota berwenang
untuk melakukan penetapan status tanah ulayat dan penetapan keberadaan
masyarakat hukum adat beserta dengan perlindungan terhadap budaya dan kearifan
lokal masyarakat adat tersebut.
Proses penentuan keberadaan masyarakat adat antara lain diatur pada Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yaitu melalui identifikasi dan verifikasi
yang dilakukan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten atau Kota, Kepala SKPD yang
membidangi pemberdayaan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur lebih lanjut
dalam Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan
Perlindungan Masyarakat Adat.
Pasal 10 Permendagri No. 52 Tahun 2014 menentukan bahwa, Bupati/Walikota
melaporkan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat
kepada Gubernur. Gubernur melaporkan penetapan penetapan pengakuan dan
perlindungan masyarakat hukum adat kabupaten/kota di wilayahnya kepada
Menteri melalui Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa sebagai
bahan pengambilan kebijakan.

Setelah masyarakat adat diakui keberadaannya dalam Peraturan Daerah, maka


upaya hukum selanjutnya adalah mengajukan permohonan pembatalan SHGU
171/2019 PTPN II.

III. REKOMENDASI
Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan di atas, beberapa upaya lain yang dapat
dilakukan yaitu sebagai berikut :
1. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah pendaftaran atas tanah masyarakat adat
Lau Chih melalui Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Dokumen yang
diterbitkan oleh BRWA dapat digunakan sebagai data pendukung saat mengajukan
permohonan penerbitan Peraturan Daerah atas pengakuan terhadap masyarakat
adat; maupun sebagai dokumen pendukung dalam pengajuan gugatan di
Pengadilan Negeri.
2. Pihak developer yang akan melakukan pembangunan perumahan di atas tanah yang
statusnya masih bersengketa juga dapat digugat sebagai salah satu Tergugat dalam
gugatan PMH.
3. Apabila nantinya gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan
terhadap PTPN II, BPN, dan Polri dikabulkan oleh Pengadilan Negeri, maka
langkah hukum selanjutnya yang dapat ditempuh masyarakat adat Lau Chih
adalah mengajukan permohonan pembatalan SHGU No. 171/2009 yang
digunakan PTPN II untuk menguasai dan melakukan penguasaan atas tanah
sengketa. Patut diduga penerbitan SHGU tersebut tidak melalui proses dan
ada cacat hukum administrative dalam penerbitan SHGU tersebut.
Hal ini sejalan dengan aturan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala
BPN No. 9 tahun 1999 (Permen Agraria 9/1999) Pasal 106 ayat (1) jo Pasal
119 dikatakan bahwa Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum
administratif dalam penerbitannya, dapat dimohonkan karena permohonan
yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan
----Pasal 106 ayat (1). Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh pejabat
yang berwenang dilaksanakan apabila diketahui adanya cacat hukum
administratif dalam proses penerbitan keputusan pemberian hak atau
sertifikatnya tanpa adanya permohonan----Pasal 119. Jadi siapa saja yang merasa
dirugikan dengan adanya penerbitan sertifikat hak atas tanah, dan dia
menganggap penerbitan tersebut cacat hukum administratif,
Dalam Pasal 107 Permen Agraria 9/1999 disebutkan bahwa Cacat hukum
administratif sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 (1) adalah :
a. kesalahan prosedur
b. kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan
c. kesalahan subjek hak
d. kesalahan objek hak
e. kesalahan jenis hak
f. kesalahan perhitungan luas
g. terdapat tumpang tindih hak atas tanah
h. data yuridis atau data data fisik tidak benar;atau
i. kesalahan lainnya yang bersifat administrative

Permohonan pembatalan SHGU tersebut diajukan kepada Menteri melalui Kepala


Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan
(vide Pasal 110 Permen Agraria 9/1999).

Demikian analisis tambahan ini saya sampaikan.


Hormat saya,

Vanny.

Anda mungkin juga menyukai