Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PENYAKIT MYASTHENIA GRAVIS

Disusun oleh:

Jery Mamoto

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

2017
PENDAHULUAN
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa Latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Myasthenia Gravis termasuk salah
satu jenis penyakit autoimun. Menurut kamus kedokteran, penyakit autoimun itu sendiri adalah
suatu jenis penyakit dimana antibodi menyerang jaringan-jaringannya sendiri. Myasthenia
Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang
mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah.
Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan
juga dapat terserang.

Health Community dalam sebuah website-nya mendefinisikan Myasthenia Gravis


sebagai penyakit autoimun kronis yang berakibat pada kelemahan otot skelet. Otot-otot skelet
adalah serabut-serabut otot yang terdiri dari berkas-berkas atau striasi (striasi otot) yang
berhubungan dengan tulang. Myasthenia Gravis menyebabkan kelelahan yang cepat
(fatigabilitas) dan kehilangan kekuatan pada saat beraktivitas, dan membaik setelah istirahat.

Miastenia gravis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa, maupun lansia. Wanita lebih
sering menderita miastenia gravis dibandingkan pria. Rasio perbandingan wanita dan pria yang
menderita miastenia gravis adalah 6:4. Pada wanita, miastenia gravis tampak pada usia 15-35
tahun, sedangkan pria sering terjadi pada usia 40 tahun (Smeltzer & Bare, 2002). Akibat fatal
dari miastenia gravis yaitu kematian. Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya
disebabkan oleh insufisiensi pernafasan karena miastenia gravis ini juga dapat menyerang otot
dada dan pernapasan (Putra, 2009).

Jenis-jenis Miastenias Gravis :

Menurut Myastenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis dapat


diklasifikasikan sebagai berikut:

Adanya kelemahan otot-otot ocullar, kelemahan pada saat


Kelas I
menutup mata dan kekuatan otot-otot lain normal
Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta
Kelas II
adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya.
Kelas IIa
Juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan
Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau
Kelas IIb keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.
Kelas III Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang
Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
Kelas III a keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau
keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
Kelas III b
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.
Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan
Kelas IV dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami
kelemahan dalam berbagai derajat
Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan
Kelas IV a atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan
dalam derajat ringan
Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau
keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan
Kelas IV b pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya
dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding
tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita ter-intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

Klasifikasi menurut osserman ada 4 tipe, yaitu:

1. Ocular Myastenia

Terkenanya otot-otot mata saja, dengan ptosis dan diplopia sangat ringan dan tidak ada
Kematian

2. Generalized Myastenia

a. Mild Generalized Myastenia : permulaan lambat, sering terkena otot mata, pelan-pelan
meluas ke otot-otot skelet dan bulber. System pernafasan tidak terkena. Respon terhadap otot
baik.

b.Moderate Generalized Myastenia : Kelemahan hebat dari otot-otot skelet dan bulbar dan
respon terhadap obat tidak memuaskan.
3. Severe Generalized Myastenia

a. Acute Fulmating Myastenia : permulaan cepat, kelemahan hebat dari otot-otot


pernafasan, progresi penyakit biasanya komplit dalam 6 bulan. Respon terhadap obat kurang
memuaskan, aktivitas penderita terbatas dan mortilitas tinggi, insidens tinggi thymoma.

b. Late severe myasthenia : timbul paling sedikit 2 tahun setelah kelompok I dan II progresif
dari myasthenia gravis dapat pelan-pelan atau mendadak, prosentase thymoma kedua paling
tinggi. Respon terhadap obat dan prognosis jelek.

Miastenia gravis pada anak diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Miastenia Gravis Kongenital

Biasanya pada usia kurang dari 2 tahun, memiliki pola familial serta tidak berespons
terhadap terapi steroid. Jenis ini jarang dijumpai.

2. Miastenia Gravis Juvenile

Biasanya terjadi setelah usia 5 tahun, tidak memiliki pola familial dan memiliki karakteristik
mekanisme autoimun.

3. Miastenia Gravis Neonatal

Onset paling cepat timbul dalam beberapa jam setelah kelahiran. Beberapa kasus
dilaporkan dalam 1 hari, paling lambat dalam 3 hari. Merupakan miastenia gravis yang didapat
dari seorang ibu penderita miastenia gravis, bersifat self-limited atau sementara, karena hanya
disebabkan oleh transfer antibodi terhadap reseptor asetilkolin maternal melalui plasenta.
Remisi sempurna lebih banyak didapatkan pada jenis ini.

Penyebab Miastenia Gravis


Miastenia gravis disebabkan oleh sistem imun yang tidak normal. Otak
mengendalikan otot lurik dengan mengirimkan impuls ke saraf. Impuls dikirim ke serat otot
melalui saraf. Namun, serabut saraf dan serat otot tidak benar-benar terhubung. Terdapat
ruang di antara ujung saraf dan serat otot yang disebut sambungan neuromuskuler.

Ujung saraf mengirimkan bahan kimia yang disebut asetilkolin pada sambungan
neuromuskuler ke lokasi reseptor serat otot. Setelah reseptor menerima asetilkolin, otot
akan berkontraksi.
Namun, jika seseorang terserang miastenia gravis, antibodinya akan menghalangi
reseptor otot. Dengan demikian, serat otot gagal berkontraksi dan melemah dengan
mudah. Antibodi merupakan bagian penting sistem kekebalan tubuh dan bertugas untuk
menghancurkan bakteri dan virus berbahaya. Sayangnya, pada kasus miastenia gravis,
antibodi tidak menyerang virus atau bakteri, melainkan menyerang lokasi reseptor.

Tanpa astetilkolin otot akan menjadi lemah, tetapi otot akan kembali normal ketika
otot tidak lagi mengirimkan saraf impuls untuk mengaktifkan serat otot, yang berarti bahwa
tubuh sedang beristirahat.

Miastenia gravis tidak hanya melemahkan otot, namun juga komplikasi dapat terjadi.
Beberapa komplikasi ynag paling umum adalah krisis miastenia, tumor timur, dan t iroid
yang terlalu atau kurang aktif, serta kondisi autoimun.

Krisis miastenia ditandai dengan melemahnya otot-otot pernapasan. Kondisi ini dapat
mengancam jiwa, sehingga membutuhkan perhatian medis segera. Di sisi lain, tumor timur
merupakan pertumbuhan daging yang berkembang pada timus, yaitu kelenjar di bawah
tulang dada. Tumor ini biasanya bersifat ganas (non-kanker).

Gejala Miastenias Gravis


Gejalanya secara umum, jika seseorang terserang MG, ia akan merasa seperti
mengantuk, lalu akhirnya tidak bisa menggerakkan kelopak mata. Menurunnya kelopak mata ini
disebut ptosis. Bisa juga mengalami penglihatan ganda atau diplopia.

Jika menyerang otot menelan/ tenggorokan, penderita akan sulit menelan, sulit
berbicara; suara menjadi sengau atau berbicara menjadi cedal. Jika yang diserang otot yang
membantu pernapasan, penderita akan mengalami napas yang pendek, sulit menarik napas
secara dalam, hingga gagal napas yang membutuhkan ventilator. Gagal napas dan keadaan
lumpuh total (akibat MG menyerang seluruh otot tubuh) ini merupakan myasthenia crisis. Pada
kasus yang lain, jika menyerang beberapa otot (bukan seluruhnya), seperti bahu, panggul,
sendi, penderita seperti tiba-tiba merasa capek luar biasa, kelelahan sepanjang hari seperti
tenaga/ energi telah terkuras habis. Keadan seperti ini berlangsung dalam hitungan menit
hingga satu jam. Dan akan pulih setelah badan istirahat secara total. Yang turut memperparah
atau memicu, selain badan yang kecapekan, jika penderita mengalami stres, kepanasan,
sedang dalam masa hamil, paska operasi atau infeksi.

Patofisiologi Myastenia Gravis

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi


miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya kelainan
autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis, misalnya autoimun
tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin merupakan
penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Auto antibodi terhadap
asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita
acquired myasthenia gravis generalisata (Rosyid, 2010). Mekanisme pasti tentang hilangnya
toleransi imunologik terhadap reseptor asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum
sepenuhnya dapat dimengerti.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi yang
merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada
patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral
terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus
atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik.

Diagnosis Myastenia Gravis


Penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai berikut (Ngoerah,
1991):

a. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan akan
terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang, penderita menjadi
anartris dan afonis.

b. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama


kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada ptosis,
maka penderita disuruh beristirahat.Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan
ptosis juga tidak tampak lagi.

c. Uji Tensilon (edrophonium chloride), disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila


tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya
kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia
gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.
d. Uji Prostigmin (neostigmin), pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin
merhylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya
ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.

e. Uji Kinin, diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg, 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh
miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.
Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat.

Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis pasti ada beberapa cara:

a. Pemeriksaan Laboratorium

1. Anti-Asetilkolin Reseptor Antibodi

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,
dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien, 80% dari penderita miastenia gravis
generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-
asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering
kali terjadi false positive anti-AChR antibody (Howard, 2008).

2. Antistriated Muscle (Anti-SM) Antibody

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia kurang
dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat
menunjukkan hasil positif.

3. Anti-Muscle-Specific Kinase (Musk) Antibodies

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab negatif
(miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-MuSK Ab.

4. Antistriational Antibodies

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi
yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR). Antibodi
ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan miastenia gravis pada usia muda.
Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaan yang kuat akan adanya thymoma
pada pasien muda dengan miastenia gravis.

b. Imaging

1. Chest x-ray (foto roentgen thorak), dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan
lateral. Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.

2. Chest Ct-scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.

3. MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada saraf otak.

c. Pendekatan Elektrodiagnostika

1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS), pada penderita miastenia gravis terdapat


penurunan jumlah reseptor asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu
potensial aksi.

2. Single-fiber Electromyography (SFEMG), menggunakan jarum single-fiber, yang


memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu
jitter (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada
motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal
yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada
neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density yang normal.

Penatalaksanaan Myastenia Gravis

Terapi Nonfarmakologi

a. Menjaga kondisi untuk tidak kelelahan dalam melakukan pekerjaan dan menjaga kondisi
untuk tidak stres. Karena kebanyakan pasien-pasien miastenia gravis ini terjadi pada saat
mereka dalam kondisi yang lelah dan tegang.
b. Mencegah untuk tidak terjadinya penyakit infeksi pada pernafasan. Karena hal ini dapat
memperburuk kelemahan otot yang diderita oleh individu.

c. Istirahat yang cukup

d. Pada Miastenia gravis dengan ptosis, yaitu dapat diberikan kacamata khusus yang
dilengkapi dengan pengait kelopak mata.

Terapi Farmakologi

a. Piridostigmin bromide

Dosis yang dianjurkan 1 mg/kg setiap 4-6 jam. Terapi ini termasuk lini pertama. Efeknya
cepat dalam 1530 menit. Efek samping muskarinik meliputi kram, diare, salivasi, lakrimasi, dan
bradikardia.

b. Kortikosteroid

Dimulai dari dosis 20 mg 4 kali sehari ditingkatkan 10 mg tiap 3-5 hari. Indikasi terapi ini
pada kasus berat yang tidak responsif dengan piridostigmin. Remisi atau perbaikan terjadi pada
6575% pasien. Efek samping yang dapat timbul, yaitu dispepsia, ulkus gaster, hipertensi,
intoleransi glukosa, katarak, retensi air, dan peningkatan berat badan.

c. Timektomi

Diindikasikan pada miastenia gravis generalisata, usia pubertas hingga 60 tahun. Sangat
menguntungkan bagi pasien yang memiliki timoma, banyak yang remisi setelah pembedahan.
Komplikasi tindakan harus dipahami dengan baik.

d. Azathioprine

Dosis awal 50 mg per hari, dosis terapeutik 23 mg/kg/hari. Terapi ini diberikan bila
terdapat kontraindikasi pemberian kortikosteroid, tidak efektif atau toleransinya buruk. Efek
samping adalah demam, mual, nyeri abdominal, leukopenia, hepatotoksisitas, peningkatan
risiko keganasan bila di gunakan jangka panjang, dan teratogenik. Efek perbaikan klinis sangat
lama, yaitu 26 bulan.
e. Plasmaferesis

Dosis plasmaferesis, yaitu 55 ml/kg/hari selama 5 hari. Biasanya perbaikan terjadi setelah
pemberian ke-3 dan menetap hingga 24 minggu. Terapi ini diindikasikan untuk pre-timektomi,
krisis miastenik, kelemahan yang cepat, dan progresivitas gejala.

f. Siklosporin

Dosis siklosporin 35 mg/kg/hari diberikan 2 kali sehari. Onset terapi lebih cepat
dibandingkan azathioprine. Terapi ini lebih dipilih bila pasien refrakter dengan terapi lain. Efek
samping yang dapat timbul yaitu disfungsi renal, hipertensi, nyeri kepala, hirsutisme,
ensefalopati, dan kejang.

g. Imunoglobulin Intravena

Dosis yang dianjurkan yaitu 400 mg/kg/hari selama 5 hari atau 1 gram/kg/hari selama 2
hari. Terapi ini dipilih bila plasmaferesis tidak dapat dikerjakan. Terapi ini memberikan
perbaikan klinis cepat, biasanya ditoleransi baik dan tanpa komplikasi. Kerugian terapi ini
dibandingkan plasmaferesis, yaitu perbaikan klinis lebih lambat, nyeri kepala.
SUMBER:

www.wikipedia.com

Anda mungkin juga menyukai