Anda di halaman 1dari 5

Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak

Filed under: Foto Tinggalkan komentar


April 25, 2012

Makalah ini Disusun Sebagai Salah Satu Tugas
Mata Kuliah Qowaidlul Fiqhiyyah
Dosen Pengampu :
A. Halil Thahir, M. HI
Disusun Oleh :
Ahmad nurhadi salim: 933301510
JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDY TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KEDIRI
2012
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kaidah-kaidah fiqih yang ada dalam khazanah keilmuan qawaid al fiqhiyyah pada dasarnya
tebagi dalam dua kategori. Pertama adalah kaidah fiqih yang hanya diperuntukkan untuk
masalah individu dan masalah ibadah dalam arti hubungan vertikal antara setiap individu dengan
Allah. Kedua, kaidah fiqih yang memang sengaja dimunculkan untuk menyelesaikan beberapa
masalah terkait dengan hubungan yang bersifat horizontal antar manusia itu sendiri, selain
memang di dalamnya terdapat nilai-nilai hubungan vertikal karena beberapa obyek yang menjadi
kajian adalah hukum Islam yang tentu saja itu semua bersumber dari Allah.
Dalam pembahasan ini pemakalah akan mencoba untuk membahas cabang-cabang kaidah
Alyaqin La Yazulu Bisyakki. Menurut hemat penulis, bahwa kaidah ini sangat penting untuk
dibahas karena merupakan kaidah yang berisi tentang al-yaqin dan asy-syakk
Kaidah ini menghantarkan kepada kita kepada konsep kemudahan demi menghilangkan
kesulitan yang kadang kala menimpa kepada kita, dengan cara menetapkan sebuah kepastian
hukum dengan menolak keragu-raguan. Dan telah diketahui akibat dari keragu-raguan adalah
adanya beban dan kesulitan, maka kita diperintahkan untuk mengetahui hukum secara benar dan
pasti sehingga terasa mudah dan ringan dalam menjalankan perintah Alloh dan menjauhi
larangan-Nya, termasuk didalamnya adalah aqidah dan ibadah
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Al Yaqinu la Yuzalu Bi al-Syak
Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti: pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya,
sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.
Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni :
1. Menurut Imam Al-Jurjani Al-Yaqin adalah meyakini sesuatu bahwasanya begini dengan
berkeyakinan bahwa tidak mungkin ada kecuali dengan begini cocok dengan realita yang ada,
tanpa ada kemungkinan untuk menghilangkannya.
2. Imam Abu Al-Baqa Al-Yaqin adalah pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti dan
dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima sesuatu
yang tidak bersifat pasti.
3. As-Suyuthi menyatakan Al-Yaqin adalah sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat dibuktikan
melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya.
4. Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara
ada atau tidak ada.
5. Menurut Imam Al-Jurjani Asy-Syakk adalah sesuatu yang tidak menentu (meragukan) antara
sesuatu yang saling berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya.
Untuk bisa memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui, bahwa tingkat daya hati
dalam menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
1. Al Yakin
Secara bahasa: mengetahui dan hilangnya keraguan. Al Yakin merupakan kebalikan dari Al Syak.
Bisa disimpulkan bahwa Al Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas sesuatu yang
sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang ada tidak bisa dihilangkan oleh keraguan
yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan yang
sederajat.
2. Ghalabah al Dzan
Ghalabatul al dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia
menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu
lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan.
3. Al Dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa mengungguli
yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga membuang lainnya yang
lemah maka inilah yang disebut al dzan. Sedangkan jika hati berpegang pada salahsatunya dan
membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan
4. Al syak
Al syak secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al syak adalah setara antara
dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak condong
pada salahsatunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika keduanya
seimbang, maka disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul disebut dzan dan
yang lemah disebut salah duga/al wahn.
2. Macam-macam Kaidah Cabang Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak Beserta Contoh Penerapannya
Dari kaidah Al Yaqinu La Yuzalu Bi al-Syak diatas kemudian dibagi menjadi kaidah-kaidah
cabangnya yakni :
1.
( Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini semakna pula dengan
( Apa yang ditetapkan
berdasrkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama
tidak ada dalil yang bertentangan dengannya)
Kaidah ini menjelaskan bahwa setiap perkara yang telah memiliki status hukum yang pasti
sebelumnya, harus tetap dipertahankan sebagaimana kondisi hukum semula, hukum tersebut
tidak bisa diubah, selama belum ada bukti kuat dan meyakinkan yang bisa mengubahnya.
Misal :
1. Aminah meyakini bahwa ia telah punya wudhu (suci), tetapi kemudian ia ragum apakah sudah
batal atau belum. Berdasarkan kaidah ini ia tetap dihukumi punya wudhu. Sebab, sebelumya ia
yakin bahwa ia telah berwudhu. Keyakinannya tersebut tidak bisa dihilangkan denga
keraguannya yang mengatakan bahwa ia telah mengalami hadas.
2. Fandi memiliki hutang kepada Anton. Fandi kemudian mengaku bahwa ia telah membayar
hutang tersebut, tetapi anton tidak mengakuinya. Dalam hal ini, Fandi tetap dihukumi punya
hutang, sampai ia benar-benar mampu membuktikan bahwa dirinya telah membayar hutangnya
kepada Anton
2. ( Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik hal Allah maupun
hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan kewajiban pada dirinya.
Misal :
1. Anak kecil bebas dari tanggung jawab melakukan kewajiban sampai ia baligh.
2. Tidak ada hak dan kewajiban antara pria dan wanita yang bersifat pernikahan sampai ada
bukti adanya akad nikah yang sah.
3. ( Hukum asal adalah ketiadaan)
Kaidah ini dapat lebih jelas dengan kaidah

( hukum asal pada sifat-sifat

yang datang kemudian adalah tidak ada)
Misal :
1. Apabila terjadi persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang
diperjualbelikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya cacat iti
tidak ada. Ada pula ulama yang menyatakan, karena hukum asalnya adalah akad jual beli telah
terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila si pembeli bisa memberikan bukti yang
meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika barang tersebut masih ditangan penjual.
4.
( Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang terdekat)

Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafii, sedangkan dalam kitab-kitab
madzhab Hanafi juga terdapat
( Hukum asal adalah penyandaran suatu
peristiwa kepada waktu yang lebih dekat dengannya) secara substansi sama saja.
Apabila terjadi keraguan karena perbadaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang
ditetapkan adalah menurut waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu
yang paling dekat yang menjadikan peristiwa itu. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan bahawa
peristiwa tersebut telah terjadi pada waktu yang lebih jauh.
Misal :
1. Seorang wanita sedang mengandung, ada yang memukul perutnya, kemudian keluarlah bayi
dalm keadaan hidup dan sehat. Selang bebarapa bulan, bayi itu meninggal. Maka, meninggalnya
bayi itu tidak disandarkan keapada pemukulan yang terjadi pada waktu yang lama, tetapi
disebabkan hal lain yang merupakan waku paling dekat dengan keamtiannya.
5.
( Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan sampai ada

dalil yang menunjukkan keharamannya)
Misal :
1. Apabila ada binatang yang belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka
hukumnya boleh dimakan.
( Hukum asal segala sesuatu adalah
Dikalangan madzhab Hanafi ada pula
larangan[haram])
Kaidah ini hanya berlaku untuk bidang fiqh muamalah, sedangkan untuk fiqh ibadah digunakan
kaidah

( Hukum asal ibadah mahdhah adalah batal sampai ada
dalil yang memerintahkannya), kaidah ini semakna dengan ( Tidak ada

hukum terhadap suatu perbuatan sampai datangnya syariah) dan kaidah

(Yang meragukan tentang hukum wajibnya, maka tidak wajib dilakukan).
6.
( Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti yang meyakinkan pula)

Misal :
1. Kita berpraduka tidak bersalah kepada seseorang, tetapi kemudian ternyata orang tersebut
tertangkap sedang melakukan kejahatan, maka orang tersebut adalah bersalah dan harus
dihukum.
2. Si A berhutang kepada si B, tetapi kemudian ada bukti bahwa si A telah membayar utangnya
kepada si B, misalnya ada kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa hutang A
sudah lunas. Maka, si A yang tadinya berhutang, sekarang sudah bebas dari hutangnya.
7. ( Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tidak bisa hilang kecuali

dengan keyakinan lagi)
Thawaf ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran. Kemudian
dalam keadaan thowaf, seseorang ragu apakah yang dilakukannya putaran keenam atau kelima.
Maka yang meyakinkan adalah jumlah yang kelima. Jadi dalam hal yang berhubungan dengan
bilangan, apabila seseorang itu ragu, maka bilangan yang terkecil itulah yang meyakinkan.
8. ( Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
Kaidah teresebut lebih dekat dimasukkan ke dalam kelompok kaidah ushul daripada kaidah fiqh.
Alasannya, kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah-kaidah bahasa
berhubungan erat dengan arti yang terkandung dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Misal :
1. Apabila seseorang berkata:Saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad. Maka
anak dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, bukan anak pungut dan bukan
pula cucu. Demikian pula kata-kata hibah, jual beli, sewa-menyewa, gadai dan lain-lainnya di
dalam akad harus diartikan dahulu dengan arti kata yang sebenarnya, bukan arti kiasannya.
9. ( Hukum asal bersenggama adalah haram)

Persoalan lain yang menurut fikih (Islam) memiliki hukum asal haram adalah melakukan
persetubuhan (senggama). Dalam kaidah ini disebutkan bahwa ketentuan dasar melakukan
persetubuhan dengan perempuan adalah haram, kecuali dengan ada sebab yang diyakininya bisa
menghalalkannya, yakni pernikahan.
Misal :
1. Arfan ragu mengenai sah tidaknya akad nikahnya dengan Ani. Karena Arfan meragukan salah
satu dari syarat nikah, maka ia tidak boleh berhubungan badan dengan Ani. Sebab, hukum asal
melakukan hubungan badan adalah haram.
Qadhi Abd al-Wahhab al-Maliki menyebutkan dua kaidah lagi yang berhubuingan dengan Al
Yaqin la Yuzal bi al-Syak, yakni sebagai berikut :
10.
( Tidak dianggap [diakui], persangkaan yang jelas salahnya)

Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
atau penanggungjawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggungjawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka
yang jelas salahnya.
11. ( Tidak diakui adanya wahan[kira-kira])
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalam zhann yang salah itu persangkaannya. Sedangkan
dalam wahann, yangsalah itu zatnya. Apabila seseorang meningal dengan meninggalkan
sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak diakui ahli waris yang
dikira-kira.

Anda mungkin juga menyukai