Anda di halaman 1dari 46

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Umum
Perencanaan tebal perkerasan merupakan dasar dalam menentukan
tingkat pelayanan sebuah jalan baik perkerasan baik menggunakan bahan
pengikat semen maupun bahan pengikat aspal.Perkerasan lentur umumnya
menggunakan bahan campuran aspal sebagai bahan lapisan permukaan
(surface course).Yang dimaksud dengan perkerasan lentur adalah perkerasan
yang menggunakan bahan campuran aspal sebagai bahan pengikat agregat
penyusunnya. Hasil interpretasi, evaluasi dan simpulan dari perencanaan
perkerasan jalan memperhitungkan hal hal sebagai berikut:
Perencanaan secara ekonomis sesuai dengan kondisi setempat.
Tingkat keperluan.
Kemampuan pelaksanaan.
Syarat teknis lainnya.
Sebagai kostruksi jalan yang direncanakan itu adalah optimal.

B. Sejarah Perkerasan Jalan


Sejarah perkerasan jalan dimulai bersamaan dengan sejarah umat
manusia itu sendiri yang selalu berhasrat untuk mencari kebutuhan hidup dan
berkomunikasi dengan sesama.Dengan demikian perkembangan jalan saling
berkaitan dengan perkembangan umat manusia.Perkembangan teknik jalan
seiring dengan berkembangnya teknologi yang ditemukan umat manusia.
Pada awalnya jalan hanyalah berupa jejak manusia yang mencari
kebutuhan hidup ataupun sumber air.Setelah manusia hidup berkelompok
jejak-jejak itu berubah menjadi jalan setapak.Dengan mulai dipergunakannya
hewan-hewan sebagai alat transportasi, jalan mulai dibuat rata.Jalan yang
diperkeras pertama kali ditemukan di Mesopotamia dengan ditemukannya roda
sekitar 3500 tahun SM.

14
Konstruksi perkerasan jalan berkembang pesat pada zaman keemasan
Romawi.Pada saat itu mulai dibangun jalan-jalan yang terdiri dari beberapa
lapis perkerasan.Perkembangan konstruksi perkerasan jalan seakan terhenti
dengan mundurnya kekuasaan Romawi sampai awal abad 18.Pada saat itu
sistem-sistem perkerasan jalan yang sebagian sampai saat ini masih umum
digunakan di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia.
Pierre Marie Jerome Tresaguet (1716-1796) dari Perancis
mengembangkan sistem lapisan batu pecah yang dilengkapi dengan drainase,
kemiringan melintang serta mulai menggunakan pondasi dari batu.
John Louden Mac Adam (1756-1863), orang Scotlandia
memperkenalkan konstruksi perkerasan yang terdiri dari batu pecah, batu kali
atau halus. Jenis perkerasan ini terkenal dengan nama perkerasan Macadam
seperti pada Gambar 3.2.a Untuk memberikan lapisan yang kedap air, maka
diatas lapisan aus yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan
ditaburi pasir kasar.

Gambar 3.1. Perkerasan MacadamSumber: Silvia Sukirman dalam


Perkerasan Lentur Jalan Raya, 1999

Thomas Telford (1757-1834) dari Scotlandia membangun jalan mirip


dengan apa yang dilaksanakan Tresaguet. Konstruksi perkerasannya terdiri dari
batu pecah berukuran 15/20 sampai 25/30 yang disusun tegak.Batu-batu kecil
diletakkan diatasnya untuk menutupi pori-pori yang ada dan memberikan
permukaan yang rata. Sistem ini dikenal dengan nama sistem Telford. Jalan-

15
jalan di Indonesia yang dibuat pada zaman dahulu sebagian besar merupakan
sistem jalan Telford seperti pada Gambar 3.2,b walaupun diatasnya telah
diberikan lapisan aus dengan pengikat aspal.

Gambar 3.2. Perkerasan TelfordSumber: Silvia Sukirman dalam Perkerasan


Lentur Jalan Raya, 1999

Perkerasan jalan dengan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat


telah ditemukan pertama kali di Babylon pada tahun 625 SM, tetapi perkerasan
jenis ini tidak berkembang sampai ditemukannya kendaraan bermotor bensin
oleh Gottlieb Daimler dan Karl Benz pada tahun 1880.Mulai tahun 1920
sampai sekarang teknologi konstruksi perkerasan dengan menggunakan aspal
sebagai bahan pengikat maju pesat. Konstruksi perkerasan menggunakan
semen sebagai bahan pengikat telah ditemukan pada tahun 1828 di London,
tetapi sama halnya dengan menggunakan aspal, perkerasan ini mulai
berkembang pesat sejak awal tahun 1990 an.

C. Penggolongan Jalan
1. Berdasarkan Fungsinya
a. Jalan arteri adalah jalanjalan yang melayani angkutan utama
dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien;
b. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang

16
dan jumlah jalan masuk dibatasi
c. Jalan Lokaladalah jalan yang melayani angkutan lokal, dengan ciri-
ciri:
1) Perjalanan jarak dekat;
2) Kecepatan rata-rata rendah;
3) Jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan adalah jalan yang melayani angkutan lingkungan
dengan ciri ciri
1) Perjalanan jarak pendek;
2) Kecepatan rendah.
e. Jalan Arteri Primeradalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kesatu yang terletak berdampingan, atau menghubungkan kota
jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
Persyaratan jalan arteri primer adalah :
1) Kecepatan rencana > 60km/jam;
2) Lebar badan jalan > 8,0 m;
3) Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalulintas rata rata;
4) Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana
dan kapasitas jalan dapat tercapai;
5) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan local, lalu lintas local, lalu
lintas ulang alik
6) Indeks permukaan tidak kurang dari 2.
f. Jalan Kolektor primeradalah jalan yang menghubungkan kota
jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota
jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
Persyaratan jalan kolektor primer adalah :
1) Kecepatan rencana >40km/jam;
2) Lebar jalam>7,0 m;
3) Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas
rata-rata.

17
4) Jalan kolektor primer tidak terputus walupun memasuki daerah
kota;
5) Jalan masuk dibatasi sehingga kecepatan rencana dan kapasitas
jalan tidak terganggu;
6) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal, lalu
lintas ulang alik;
7) Indeks permukaan tidak kurang dari 2.
g. Jalan Lokal Primeradalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang
dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil.
Persyaratan jalan local primer adalah :
1) Kecepatan rencana > 30 km/ jam;
2) Lebar jalan > 8,0 m;
3) Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata
rata;
4) Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat;
5) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,5.
h. Jalan Kolektor Sekunderadalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga;
Persyaratan jalan kolektor sekunder adalah :
1) Kecepatan rencana > 20 km/jam;
2) Lebar badan jalan> 7,0 m;
3) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,5.
i. Jalan Lokal Sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekundar ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.
Persyaratan jalan local sekunder adalah :
1) Kecepatan rencana > 10 km/ jam;
2) Lebar badan jalan > 5,0 m;

18
3) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,0.
j. Jalan utamayaitu jalan yang melayani lalu lintas yang tinggi antara
kota kota yang penting atau pusat pusat produksi dan pusat
eksport. Jalan jalan dalam golongan ini harus direncanakan untuk
dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.
k. Jalan Sekunderyaitu jalan yang melayani lalu lintas yang cukup
tinggi antar kota penting dan kota kota yang lebih kecil atau
daerah sekitarnya.
l. Jalan penghubung yaitu jalan untuk keperluan aktivitas daerah yang
juga dipakai sebagai jalan penghubung antar jalan jalan dari
golongan yang sama atau yang berlainan.

2. Berdasarkan Lalu lintas


Pada umumnya lalu lintas pada jalan raya terdiri dari campuran
kendaraan cepat, kendaraan lambat, kendaraan berat, kendaraan ringan
dan kendaraan yang tidak bermotor.
Dalam hubungannya dengan kapasitas jalan, pengaruh dari setiap
jenis kendaraan tersebut terhadap keseluruhan arus lalu lintas,
diperhitungkan dengan membandingkan terhadap pengaruh mobil
penumpang.Pengaruh mobil penumpang dalam hal ini di pakai sebagai
satuan dan disebut Satuan Mobil Penumpang atau disingkat smp.
Untuk setiap jenis kendaraan kedalam satuan mobil penumpang
(smp), bagi jalan jalan di daerah datar digunakan koefisien dibawah ini
Penumpang dibawah ini :
Tabel 3.1 Nilai SMP untuk masing-masing jenis kendaraan
Jenis Kendaraan Nilai SMP
Sepeda 0,5
Mobil Penumpang 1
Truk Ringan (berat kotor >5ton) 2
Truk Sedang (berat kotor <5ton) 2,5

19
Bus 3
Truk Besar (berat kotor >5ton) 3
Kendaraan Tak Bermotor 7

Di daerah perbukitan dan pegunungan, koefisien untuk kendaraan


bermotor diatas dapat dinaikan, sedang untuk kendaraan tidak bermotor
tidak perlu dihitung.

3. Berdasarkan Volume dan sifat lalu lintas


Penggolongan jalan berdasarkan volume dan sifat-sifat lalu lintas
ini didasarkan pada besarnya Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) dan
dalam Satuan Mobil Penumpang (SMP) yang melewati jalan
tersebut.Volume menyatakan jumlah lalu lintas per hari dalam satu
tahun unutk kedua jurusan/arah. Jumlah lalu lintas perhari dalam satu
tahun dinyatakan sebagai LHR

1
=
1 (365 )

Berhubung karena pada umumnya lalu lintas pada jalan raya


terdiri dari gabungan kendaraan berat, Kendaraan ringan dan kedaraan
tak bermotor (kendaraan fisik), maka dalam hubungannya dengan
kapasitas jalan (jumlah kendaraan maksimum yang melewati satu
titik/tempat dalam satuan waktu) yang mengakibatkan adanya pengaruh
dari setiap jenis kendaraan terhadap keseluruhan arus lalu
lintas.Pengaruh ini diperhitungkan dengan mengekivalenkan terhadap
kendaraan standar.

Tabel 3.2 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Nilai SMP

Klasifikasi Lalu Lintas Harian Rata-rata


Fungsi Kelas (LHR) dalam smp

20
UTAMA I >20.000
SEKUNDER IIA 6.000 sampai 20.000
IIB
IIC 1.500 sampai 800
PENGHUBUNG III <2000
Sumber: Silvia Sukirman dalam Perkerasan Lentur Jalan Raya, 1999

Dalam menghitung besarnya volume lalu lintas untuk keperluan


penetapan kelas jalan, kecuali untuk jalan jalan yang tergolong dalam
kelas II C dan III, kendaraan yang tidak bermotor tidak diperhitungkan.

Khusus untuk perencanaan jalan jalan kelas I, sebagai dasar


harus digunakan volume lalu lintas pada saat saat sibuk.Sebagai
volume waktu sibuk yang digunakan untuk dasar suatu perencanaan
sebesar 15 % dari volume harian rata rata. Volume waktu sibuk ini
selanjutnya disebut volume tiap jam untuk perencanaan atau disingkat
VDP, jadi VDP = 15 %LHR.

Klasifikasi jalan tersebut adalah sebagai berikut:


a. Jalan Kelas I
Jalan ini mencakup semua jalan utama dan dimaksutkan untuk dapat
melayani lalu lintas cepat dan berat.Dalam komposisi lalu lintasnya
tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak bermotor.Jalan
raya dalam kelas ini merupakan jalan-jalan yang berjalur banyak
dengan kostruksi perkerasan dan jenis yang terbaik dalam arti
tingginya tingkat pelayanan terhadap lalu lintas.
b. Jalan Kelas II
Kelas jalan ini mencakup semua jalan-jalan sekunder.Dalam
komposisi lalu lintasnya terdapat lalu lintas lambat. Jalan kelas II ini
berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya dibagi 3(tiga) yaitu:
1. Jalan Kelas II A
Adalah jalan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan

21
konstruksi permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau
yang setaraf, dimana komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan
lambat, harus disediakan jalur tersendiri.
2. Jalan Kelas II B
Adalah jalan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana komposisi
lalu lintasnya terdapat Kendaraan lambat, tetapi tanpa kendaraan
tidak bermotor.
3. Jalan Kelas II C
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana komposisi
lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak
bermotor.
4. Jalan Kelas III
Jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan
merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua.Konstruksi
jalan berjalur tunggal atau dua.Konstruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah perlaburan dengan aspal.

D. Konstruksi Perkerasan Jalan


Perkerasan jalan raya adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan
lapis konstruksi tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan,
serta kestabilan tertentu agar mampu menyalurkan beban lalu lintas diatasnya
ke tanah dasar secara aman.Perkerasan jalan merupakan lapisan perkerasan
yang terletak di antara lapisan tanah dasar dan roda kendaraan, yang berfungsi
memberikan pelayanan kepada sarana transportasi, dan selama masa
pelayanannya diharapkan tidak terjadi kerusakan yang berarti.Agar perkerasan
jalan yang sesuai dengan mutu yang diharapkan, maka pengetahuan tentang

22
sifat, pengadaan dan pengolahan dari bahan penyusun perkerasan jalan sangat
diperlukan.
Berdasarkan uraian diatas, konstruksi perkerasan harus terdiri dari bahan-
bahan yang mempunyai sifat meneruskan setiap gaya tekan ke segala penjuru
dengan sudut rata-rata 450 terhadap garis vertical, sehingga penyebaran gaya
tersebut merupakan bentuk kerucut dengan sudut puncak 900.

Gambar 3.3Skema penyebaran gaya tekan ban roda terhadap


perkerasan jalanSumber: Silvia Sukirman dalam Perkerasan Lentur Jalan Raya,
1999

Dari skema penyebaran gaya tersebut di atas tampak bahwa bagian


perkerasan sebelah atas akan menerima tekanan paling besar. Tekanan ini
semakin kebawah semakin kecil karena penyebaran gaya semakin luas
sehingga pada kedalaman/ tebal perkerasan tertentu (h) tekanan dari atas sudah
lebih kecil atau sama dengan daya dukung tanah dasar yang diperbolehkan.
Perkerasan lentur jalan pada umumnya terdiri dari beberapa lapis bahan
dengan kualitas yang berbeda-beda dimana lapisan yang paling kuat diletakkan
paling .
Berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi perkerasan jalan dapat
dibedakan atas:

23
1. Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan
yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.Pengaruhnya terhadap
repetisi beban adalah timbulnya rutting (lendutan pada jalur
roda).Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, jalan
bergelombang (mengikuti tanah dasar).Lapisan-lapisan perkerasannnya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
Susunan perkerasan lentur dapat dilihat pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Susunan Perkerasan Lentur

Adapun Struktur Lapisan Perkerasan Lentur sebagai berikut:


1) Tanah Dasar (Sub Grade)
Tanah dasar (sub grade) pada perencanaan tebal perkerasan akan
menentukan kualitas konstruksi perkerasan sehingga sifat-sifat tanh
dasar menentukan kekuatan dan keawetan konstruksi jalan raya.
Banyak metode yang dipergunakan untuk menentukan daya
dukung tanah dasar, dari cara yang sederhana sampai kepada cara yang
rumit seperti CBR (California Bearin Ratio), MR (Resilent Modulus),
DCP (Dynamic Cone Penetrometer), K (Modulus Reaksi Tanah Dasar).
Di Indonesia daya dukung tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan
tebal lapisan perkerasan ditentukan dengan menggunakan pemeriksaaan
CBR.

24
Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil
pemeriksaan laboratorium tidak dapat mencakup secara detail (tempat
demi tempat), sifat sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu
bagian jalan. Koreksi koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap
perencanaan secara detail maupun tahap pelaksanaan, disesuaikan
dengan kondisi tempat. Koreksi-koreksi semacam ini akan diberikan
pada gambar rencana atau dalam spesifikasi pelaksanaan.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah
sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi Permanen) dari macam tanah
tertentu akibat beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat
perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara
pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan
kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.
d. Lendutan dan lendutan selama dan sesudah pembebanan lalu lintas
dari mcam tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan
yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (Granular Soil)
yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
2) Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari
konstruksi perkerasan jalan yang terletak diantara tanah dasar (Sub
Grade) dan lapisan pondasi atas (Base Course).
Fungsi lapisan pondasi bawah adalah sebagai berikut :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan
menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisan
lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya
konstruksi).

25
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi atas.
d. Sebagai lapisan pertama agar pelaksanaan dapat berjalan dengan
lancer. Hal ini sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa
harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau
lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda roda alat besar.
Jenis lapisan pondasi bawah yang umum yangdipergunakan di
Indonesia antara lain:
Agregat bergradasi baik, dibedakan atas:
a. Sirtu kelas A
b. Sirtu kelas B
c. Sirtu kelas C
Sirtu kelas A bergradasi lebih kasar dari sirtu kelas B, Sirtu kelas
B lebih besar dari sirtu kelas C.
3) Lapis Pondasi Atas (Base Cours)
Lapisan pondasi atas (Base Cours) adalah bagian dari perkerasan
jalan yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan
permukaan.
Fungsi Lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut :
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban lapisan dibawahnya.
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
Material yang akan dipergunakan unutk lapisan pondsai atas
adalah material yang cukup kuat. Untuk lapisan pondasi atas tanpa
bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR >50%
dan indeks Plastisitas (IP<4%).Bahan-bahan alam seperti batu pecah,
kerikil pecah, stabilitas tanah dengan semen dan kapur dapat digunakan
sebagai lapis pondasi atas.
Jenis lapis pondasi atas yang umumnya dipergunakan di
Indonesia antara lain :
Agregat bergradasi baik, dapat dibagi atas :

26
- Batu pecah kelas A
- Batu pecah kelas B
- Batu pecah kelas C.
Batu pecah kelas A bergradasi lebih kasar dari batu pecah kelas
B, batu pecah kelas B bergradasi lebih baik dari batu kelas C.

4) Lapisan Permukaan (Surface Course)


Lapisan permukaan (surface cours) adalah lapisan yang terletak
paling atas. Lapisan ini berfungsi sebagai berikut:
a. Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan yang mempunyai
stabilitas yang tinggi untuk menahan beban roda selama masa
pelayanan.
b. Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak
meresap ke lapisan dibawahnya.
c. Lapisan aus (wearing Coarse), lapisan yang langsung menderita
gesekan akibat rem kendaraan sehingga mudah nenjadi aus.
d. Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah, sehingga lapisan
bawah yang memikul daya dukung lebih kecil akan menerima beban
yang kecil juga.
Bahan untuk lapisan permukaan umumnya adalah sama dengan
bahan lapisan pondasi dengan persyaratan yang lebih tinggi.
Penggunaan lapisan pondasi dengan persyaratan yang lebih
tinggi.Penggunaan lapisan aspal diperlukan agar lapisan dapat bersifat
kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan bantuan
tengangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan
terhadap beben roda lalu lintas. Pemilihan bahan untuk lapisan
permukaan perlu dipertimbangkan kegunaannya, umur rencana serta
permukaan perlu dipertimbangkan kegunaanya, umur rencana serta
pentahapan konstruksi agar tercapai manfaat yang sebesar-besarnya
dari biaya yang dikeluarkan.
Sesuai dengan fungsinya lapisan permukaan digunakan di

27
Indonesia ada dua jenis antara lain :

1) berdasarkan fungsi sebagai lapisan kedap air dan lapisan aus.


a. Burtu (Laburan Aspal Satu Lapis), merupakan lapis penutup yang
terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi dengan satu lapis agregat
bergradasi seragam, dengan tebal maksimum 2 cm.
b. Burda (Laburan Aspal Dua Lapis), merupakan lapisan penutup
yang terdiri dari lapisan aspal yang ditaburi agregat yang
dikerjakan 2 kali secara berurutan dengan tebal padat maksimum
3,5 cm.
c. Latasir (lapis tipis aspal pasir), merupakan lapis penutup yang
terdiri dari lapisan aspal dan pasir alam bergradasi menerus
dicampur, dihampar, dan dipadatkan pada suhu tertentu dengan
tebal padat 1-2 cm;
d. Buras (laburan aspal), merupakan lapis penutup terdiri dari
lapisan aspal taburan pasir dengan ukuran butir maksimum 3/8;
e. Latasbum (lapis tipis asbuton murni), merupakan lapis penutup
yang terdiri dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan
perbandingan tertentu dicampur secara dingin dengan tebal padat
maksimum 1 cm;
f. Lataston (lapis tipis aspal beton), merupakan lapis penutup yang
terdiri dari campuran antara agregat bergradasi timpang, mineral
pengisi (filler) dan aspal keras dengan perbandingan tertentu,
yang dicampur dan dipadatkan dalam keadaan panas. Tebal padat
antara 2,5-3 cm.
2) Lapisan bersifat struktural, berfungsi sebagai lapisan yang
menahan dan menyebarkan beban roda.
a) Penetrasi macadam (lapen), merupakan lapis perkerasan yang
terdiri dari agregat pokok dan pengunci bergradasi terbuka dan
seragam yang diikat oleh aspal dengan cara disemprotkan
diatasnya dan dipadatkan lapis demi lapis. Diatas lapen ini

28
biasanya diberi laburan aspal dengan agregat penutup. Tebal
lapisan suatu lapisan satu lapis dapat bervariasi dari 4-10 cm;
b) Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang
terdiri dari campuran antara agregat, lasbuton dan bahan pelunak
yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal padat
tiap lapisannya antara 3-5cm;
c) Laston (lapis aspal beton), merupakan suatu lapisan pada
konstruksi jalan yang terdiri dari campuran aspal keras dan
agregat yang mempunyai gradasi menerus dicampur, dihampar
dan dipadatkan pada suhu tertentu.

5) Pelapisan Tambahan (Overlay)


Untuk perhitungan lapisan tambahan (overlay), kondisi
perkerasan jalan lama (existing pavement dinilai sebagai berikut :
a. Lapisan Permukaan
Umumnya tidak retak, hanya sedikit deformasi pada jalur (90-
100%).Terlihat retak halus sedikit deformasi pada jalur roda namun
masih tetap stabil (70-90%).
Retak sedang, beberapa deformasi pada jalur roda, pada dasarnya
masih menunjukkan kestabilan (50-70%).
Retak banyak, demikian juga deformasi pada jalur roda,
menunjukkan gejala kestabilan (30-50%).
b. Lapis Pondasi
Pondasi Aspal Beton atau Penetrasi Macadam Umumnya tidak
retak (90 100 %)
Terlihat halus, namun masih tetap stabil (70 90 %)
Retak sedang, pada dasarnya masih menunjukkan kestabilan (50
70 %)
Retak banyak, menunjukkan gejala kestabilan (30 50 %)
Stabilitas Tanah dengan semen atau kapur:
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) 10 (70-100%)

29
Pondasi Macadam atau batu Pecah:
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) 6 (80-100%)
c. Lapis Pondasi Bawah:
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) 6 (90-100%)
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) > 6 (70-90%)
Sumber: SNI-1732-1989-F:16

2. Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)


Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement) yaitu perkerasan yang
menggunakan semen sebagai bahan pengikat.Sifat lapisan utama (plat
beton) yaitu memikul sebagian besar beban lalu lintas.Pengaruhnya
terhadap repetisi beban adalah timbulnya retak-retak pada permukaan
jalan.Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, bersifat sebagai
balok di atas permukaan pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan
diatas konstruksi tanah dasar dengan atau tanpa pondasi bawah.Beban lalu
lintas sebagian besar dipikul oleh pelat beton. Komponen perkerasan kaku
dapat dilihat pada Gambar 3.4

Gambar 3.5 Komponen Perkerasan Kaku

30
3. Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement)
Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement) yaitu
perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dan dapat
berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku
diatas.

Gambar 3.6 Komponen Perkerasan Komposit


Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan perkerasan lentur diberikan
pada table 3.3
Tabel 3.3 Perbedaan antara Perkerasan Lentur dan Perkerasan Kaku

No Perkerasan lentur Perkerasan kaku

1 Dapat digunakan untuk semua tingkat Kebanyakan digunakan hanya pada


lalu lintas jalan kelas tinggi, serta pada perkerasan
lapangan terbang

2 Kendali kualitas untuk job mix lebih Job mix lebih muda dikendalikan
murah kualitasnya, Modulus Elistisitas antara
lapis permukaan dan pondasi sangat
berbeda

3 Sulit untuk bertahan terhadap kondisi Dapat lebih bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk yang lebih buruk

4 Umur rencana relatif pendek S-10 Umur rencana dapat mencapai 20 tahun

5 Kerusakan tidak merambat ke bagian Jika terjadi kerusakan maka kerusakan

31
konstruksi yang lain, kecuali jika tersebut cepat dan dalam waktu singkat
perkerasan terendam air

6 Indeks pelayanan yang terbaik hanya Indeks pelayanan tetap baik hampir
pada saat selesai pelaksanaan selama umur rencana terutama jika
konstruksi, setelah itu berkurang transverse joints dikerjakan dan
seiring dengan waktu dan frekuensi dipelihara dengan baik
beban lalu lintasnya
7 Dapat digunakan untuk semua tingkat Kebanyakan digunakan hanya pada
lalu lintas jalan kelas tinggi, serta pada perkerasan
lapangan terbang

8 Kendali kualitas untuk job mix lebih Job mix lebih muda dikendalikan
murah kualitasnya, Modulus Elistisitas antara
lapis permukaan dan pondasi sangat
berbeda

9 Sulit untuk bertahan terhadap kondisi Dapat lebih bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk yang lebih buruk

10 Umur rencana relatif pendek S-10 Umur rencana dapat mencapai 20 tahun

11 Kerusakan tidak merambat ke bagian Jika terjadi kerusakan maka kerusakan


konstruksi yang lain, kecuali jika tersebut cepat dan dalam waktu singkat
perkerasan terendam air

12 Indeks pelayanan yang terbaik hanya Indeks pelayanan tetap baik hampir
pada saat selesai pelaksanaan selama umur rencana terutama jika
konstruksi, setelah itu berkurang transverse joints dikerjakan dan
seiring dengan waktu dan frekuensi dipelihara dengan baik
beban lalu lintasnya

32
E. Dasar dasar Perencanaan
1. Umum
Perencanaan tebal perkerasan adalah dasar dalam menentukan tebal
dari perkerasan, baik itu perkerasan lentur maupun tebal perkerasan kaku
sesuai dengan yang dibutuhkan untuk suatu jalan.
Perencanaan tebal lapis perkerasan lentur jalan baru umumnya dapat
dibedakan atas dua metode yaitu:
a. Metode Empiris, metode ini dikembangkan berdasarkan pengalaman dan
penelitian dari jalan jalan yang dibuat khusu untuk penilitian atau dari
jalan yang sudah ada.
b. Metode Teoritis, metode ini dikembangkan berdasarkan teori lapis
matematis dari sifat tegangan dan regangan pada lapisan perkerasan
akibat beban berulang dari lalu lintas.

Metode Empiris.

Dalam menghing tebal lapisan perkerasan jalan baru, terdapat


bermacam macam metode emipiris yang telah dikembangkan berbagai
Negara, seperti:

1. road Note 29 dan Road ote 31 dari Inggris. Metode ini digunakan untuk
tebal lapis perkerasan lentur di negara Negara beriklim sub tropis dan
tropis seperti Negara Malaysia, Singapura dan Thailand.
2. AASHTO dan Asphalt Institute dari Amerika dimana cara AASHTO
dijadikan perhitungan perkerasan di Indonesia.
3. Manual pemeriksaan perkerasan jalan dengan alat Benkleman Beam
sesuai dengan nomor : 01/ M B/ 1983.
4. Metode HRODI.
5. Metode Bina Marga Pd. T-05-2005-B. Metode ini merupakan revisi dari
Manual Pemeriksaan Perkersasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam
dengan nomor : 01/ MB/ 1983 (Bina marga 1983). Modifikasi dilakukan
untuk penyesuaian dengan kondisi alam, lingkungan, sifat tanah dasar,

33
dan jenis lapisan perkerasan yang umum dipergunakan di Indonesia.
6. Metode NAASRA, dari Australia yang dapat dibaca pada Interim Guide
to Pavement Thickness Design.

Metode Teoritis
Metode teoritis yang umum dipergunakan saat ini berdasarkan teori
elastis (elastic layered theory). Teori ini membutuhkan nilai Modulus
elastisitas dan poison ratio dari setiap lapisan perkerasan.
Cara yang digunakan dalam laporan ini untuk menghitung kembali
tebal lapis perkerasan adalah menghitung tebal lapis tambahan dengan
metode Benkleman Beam.

2. Analisa Perhitungan dengan Benkelman Beam


Analisa perhitungan yang dibahas pada laporan ini menggunakan metode:
Pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan
metode lendutan dengan nomor : Pd. T-05-2005-B (Bina Marga 2005)

34
2.1 Pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan
metode lendutan dengan nomor : Pd. T-05-2005-B (Bina Marga 2005)
a. Lalu lintas
Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan,
yang menampung lalu-lintas terbesar.
Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan
dari lebar perkerasan sesuai Tabel 3.4
Tabel 3.4 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur
L < 4,50 m 1
4,50 m L < 8,00 m 2
8,00 m L < 11,25 m 3
11,25 m L < 15,00 m 4
15,00 m L < 18,75 m 5
18,75 m L < 22,50 m 6
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang
lewat pada lajur rencana ditentukan sesuai Tabel 2.
Tabel 3.5 Koefisien distribusi kendaraan (C)
Kendaraan ringan* Kendaraan berat**
Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00
2 0,60 0,50 0,70 0,50
3 0,40 0,40 0,50 0,475
4 - 0,30 - 0,45
5 - 0,25 - 0,425
6 - 0,20 - 0,40
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

35
Keterangan : *) Mobil Penumpang
**) Truk dan Bus

Ekivalen beban sumbu kendaraan (E).


Angka ekivalen (E) masing-masing golongan beban sumbu (setiap
kendaraan) ditentukan menurut Rumus 1, 2, 3 dan 4
()
= [ ] ()
,

()
= [ ] ()
,

()
= [ ] . . ()
,
()
= [ ] . ()
,

Dengan Pengertian :
SDRG : Sumbu Dual Roda Ganda
STRG : Sumbu Tunggal Roda Ganda
STRT : Sumbu Tunggal Roda Tunggal
STrRG : Sumbu Triple Roda Ganda
Tabel 3.6 Ekivalen beban sumbu kendaraan (E)
Beban
sumbu Ekivalen beban sumbu kendaraan (E)

(ton) STRT STRG SDRG STrRG


1 0,00118 0,00023 0,00003 0,00001
2 0,01882 0,00361 0,00045 0,00014
3 0,09526 0,01827 0,00226 0,00070
4 0,30107 0,05774 0,00714 0,00221
5 0,73503 0,14097 0,01743 0,00539
6 1,52416 0,29231 0,03615 0,01118

36
7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072
8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535
9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662
10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630
11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635
12 24,38653 4,67697 0,57843 0,17895
13 33,58910 6,44188 0,79671 0,24648
14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153
15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690
16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558
17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079
18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595
19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468
20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Tabel 3.7 Ekivalen beban sumbu kendaraan atau WIM


No Jenis Kendaraan E

2 Sedan, Jeep 0,0001

3 Minibus,Oplet 0,003

4 Pickup, Micro Truck 0,003

5a Bus Sedang 0,1175

5b Bus Kecil 0,8139

6a Truck Ringan 2 Sumbu 0,8139

6b Truck Sedang 2 Sumbu 2,1974

7a Truck 3 Sumbu 3,6221

37
7b Truck Gandengan 3,6221

7c Truck Semi Trailer 3,6221

Sumber: Desain Perkerasan Jalan Lentur N0. 002/P/BM/2011

Faktor umur rencana dan perkembangan lalu lintas


Faktor hubungan umur rencana dan perkembangan lalu lintas ditentukan
menurut Rumus 5 atau dibawah ini.

= [ + ( + )

( + )
+ ( + ) ] . ()

Tabel 3.8Faktor hubungan antara umur rencana dengan
perkembangan lalu lintas (N)

r (%)
2 4 5 6 8 10
n (tahun)
1 1,01 1,02 1,03 1,03 1,04 1,05
2 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 3,09 3,18 3,23 3,28 3,38 3,48
4 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 5,26 5,52 5,66 5,81 6,10 6,41
6 6,37 6,77 6,97 7,18 7,63 8,10
7 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 8,67 9,40 9,79 10,19 11,06 12,01
9 9,85 10,79 11,30 11,84 12,99 14,26
10 11,06 12,25 12,89 13,58 15,07 16,73
11 12,29 13,76 14,56 15,42 17,31 19,46
12 13,55 15,33 16,32 17,38 19,74 22,45
13 14,83 16,96 18,16 19,45 22,36 25,75
14 16,13 18,66 20,09 21,65 25,18 29,37

38
15 17,47 20,42 22,12 23,97 28,24 33,36
20 24,54 30,37 33,89 37,89 47,59 60,14
25 32,35 42,48 48,92 56,51 76,03 103,26
30 40,97 57,21 68,10 81,43 117,81 172,72
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Akumulasi ekivalen beban sumbu standar (CESA)


Dalam menentukan akumulasi beban sumbu lalu lintas (CESA) selama
umur rencana ditentukan dengan Rumus .

= ()

Dengan Pengertian :
CESA = Akumulasi ekivalen beban sumbu standar
m = Jumlah masing-masing jenis kendaraan
365 = Jumlah hari dalam satu tahun
E = Ekivalen beban sumbu (Tabel 3)
C = Koefisien Distribusi Kendaraan (Tabel 2)
N = Faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan
dengan perkembangan lalu lintas (Tabel 4)

b. Lendutan
Lendutan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah lendutan
hasil pengujian dengan alat Benkelman Beam (BB).Apabila pada
waktupengujian lendutan ditemukan data yang meragukan maka pada
lokasi atau titik tersebut dianjurkan untuk dilakukan pengujian ulang atau
titik pengujian dipindah pada lokasi atau titik disekitarnya.
Lendutan balik adalah besar lendutan vertical suatu permukaan
jalan akibat dihilangkannya beban, diambil dari lendutan balik
maksimum pada kelompok roda belakang kiri dan kanan. Nilai lendutan

39
tersebut harus dikoreksi dengan faktor muka air tanah (faktor musim) dan
koreksi temperature serta faktor beban uji (bila beban uji tidak tepat
sebesar 8,16 ton).
Lendutan balik (rebound deflection) tiap-tiap titik dapat dihitung
dengan rumus:
= ( ) ()

Dengan Pengertian:
db = lendutan balik (mm)
d1 = lendutan pada saat beban tetap pada titik pengukuran
d3 = lendutan saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran
Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperature standar
350C, sesuai Rumus 8, untuk tebal lapis beraspal (HL)
lebih kecil 10 cm atau rumus 9, untuk tebal lapis beraspal
(HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm atau
menggunakan tabel 5 atau pada Gambar 1 (Kurva A untuk
HL < 10 cm dan Kurva B untuk > 10 cm).

=, ,
< 10 (8)
= , ,
()
TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil
pengukuran langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari
temperatur udara, yaitu:

= ( + + ) ()

Tp = temperatur permukaan laspis beraspal


Tt = temperatur tengah lapis beraspal atau dari tabel 6
Tb = temperatur bawah lapis beraspal ataudari tabel 6
Ca = faktor pengaruh muka air (faktor musim)
= 1,2 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim kemarau

40
atau muka air tanah rendah
= 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau
muka air tanah tinggi
= faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB)
=, ( )(, ) ()

Cara pengukuran lendutan balik mengacu pada SNI 03-2416-1991


(Metoda Pengujian Lendutan Perkerasan Lentur Dengan Alat Benkelman
Beam) dan gambar alat BenkelmanBeam (BB) ditunjukkan pada Gambar
C2 pada Lampiran C.

Grafik3.1 Faktor koreksi lendutan terhadap temperatur standar (Ft)Sumber:


Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Tabel 3.9 Faktor koreksi lendutan terhadap temperatur standar


Faktor Koreksi (Ft) Faktor Koreksi (Ft)
TL TL
(oC) Kurva A Kurva B (oC) Kurva A Kurva B
(HL< 10 cm) (HL 10 cm) (HL< 10 cm) (HL 10 cm)
20 1,25 1,53 46 0,90 0,81
22 1,21 1,42 48 0,88 0,79

41
24 1,16 1,33 50 0,87 0,76
26 1,13 1,25 52 0,85 0,74
28 1,09 1,19 54 0,84 0,72
30 1,06 1,13 56 0,83 0,70
32 1,04 1,07 58 0,82 0,68
34 1,01 1,02 60 0,81 0,67
36 0,99 0,98 62 0,79 0,65
38 0,97 0,94 64 0,78 0,63
40 0,95 0,90 66 0,77 0,62
42 0,93 0,87 68 0,77 0,61
44 0,91 0,84 70 0,76 0,59
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Catatan :
Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL) kurang
dari 10 cm.
Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL)
minimum 10 cm
Tabel 3.10Temperatur tengah (Tt) dan bawah (Tb) lapis beraspal
berdasarkan data temperatur udara (Tu) dan temperatur
permukaan (Tp)
Tu +
Temperatur lapis beraspal ( oC) pada kedalaman
Tp
(oC) 2,5 cm 5,0 cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm
45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1
46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6
47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0
48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5
49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9
50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4
51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8
52 30,9 29,5 26,2 25,3 24,0 23,3
53 31,5 30,0 26,7 25,7 24,5 23,7
54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2
55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6
56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1
57 33,9 32,3 28,6 27,6 26,3 25,5
58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0
59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4
60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9
61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3
62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8

42
63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2
64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7
65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1
66 39,3 37,3 32,9 31,9 30,5 29,6
67 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0
68 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5
69 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9
70 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4
71 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8
72 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3
73 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8
74 44,0 41,7 36,8 35,7 34,1 33,2
75 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7
76 45,2 42,9 37,8 36,7 35,0 34,1
77 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6
78 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0
79 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5
80 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9
81 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4
82 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8
83 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3
84 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7
85 50,6 47,9 42,1 40,9 39,2 38,2
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

c. Keseragaman lendutan
Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik
pengujian atau berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan
panjang seksi maka cara menentukan panjang seksi jalan harus
dipertimbangkan terhadap keseragaman lendutan. Keseragaman yang
dipandang sangat baik mempunyai rentang faktor keseragaman antara 0
sampai dengan 10, antara 11 sampai dengan 20 keseragaman baik dan
antara 21 sampai dengan 30 keseragaman cukup baik. Untuk menentukan
faktor keseragaman lendutan adalah dengan menggunakan Rumus 15
sebagai berikut:

= 100% < (12)

Dengan pengertian:
FK = Faktor keseragaman
FK ijin = Faktor keseragaman yang diijinkan

43
= 0% - 10% ; keseragaman sangat baik
=11% - 20% ; keseragaman baik
= 21% - 30% ; keseragaman cukup baik
dR = Lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan


= ()

S = Deviasi standar = simpangan baku


2
(1 2 )(1 )
= (14)
( 1)

d = Nilai lendutan balik (dB) atau lendutan langsung (dL)tiap


titik pemeriksaaan pada suatu seksi jalan
ns = Jumlah titik pemeriksaaan pada suatu seksi jalan

d. Lendutan wakil
Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub
ruas/seksi jalan, digunakan Rumus 18, 19 dan 20 yang disesuaikan
dengan fungsi/kelas jalan, yaitu:
= + ; () ()
= + , ; ()
= + , ; . . ()
Dengan pengertian:
Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan
dR = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan sesuai Rumus 13
s = deviasi standar sesuai Rumus 14

e. Lendutan rencana/ijin (Drencana)


Lendutan Rencana/ijin (Drencana) dengan alat BB dapat dihitung
dengan rumus:
= , (,) ()
Dengan pengertian:

44
Drencana = lendutan rencana, dalam satuan millimeter.
CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar, dalam satuan
ESA
Atau dengan memplot data lalu-lintas rencana (CESA) pada
Gambar 4 Kurva D untuk lendutan balik dengan alat BB.

f. Tebal Lapis Tambah/overlay (Ho)


Tebal lapis tambah/overlay (Ho) dengan menggunakan Rumus 19
atau dengan memplot pada Gambar 5.
[(, ) + ( ) ( )]
= ()
,
Dengan pengertian:
Ho = tebal lapis tambah sebelum dikoreksi temperatu rata-rata
tahunan daerah tertentu, dalam satuan centimeter.
Dsbl ov = lendutan sebelum lapis tambah/Dwakil, dalam satuan
milimeter.
Dsbl ov = lendutan setelah lapis tambah atau lendutan rencana, dalam
satuan millimeter.

g. Faktor koreksi tebal lapis tambah


Tebal lapis tambah/overlay yang diperoleh adalah berdasarkan
temperatur standar 35oC, maka untuk masing-masing daerah perlu
dikoreksi karena memiliki temperatur perkerasan rata-rata tahunan
(TPRT) yang berbeda. Data temperatur perkerasan rata- rata tahunan
untuk setiap daerah atau kota ditunjukkan pada Lampiran A, sedangkan
faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay (Fo) dapat diperoleh dengan
Rumus 20 atau menggunakan Grafik 2.
= , (, ) ()
Dengan pengertian :
Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay
TPRT = temperature perkerasan rata-rata tahunan untuk daerah/kota

45
Grafik 3.2 Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay (Fo)Sumber:
Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Tabel 3.11Temperatur perkerasan rata-rata tahunan (TPRT) untuk


beberapa daerah/kota di Indonesia
TP rata2
NO. KOTA (oC)
Propinsi DI Aceh
1 BAND.CUT NYAK DIEN (MEULABOH) 34,6

2 MET. LHOKSEUMAWE 34,9


(LHOKSEUMAWE)
3 PBRK.GULA COK GIREK (COK 35,4
GIREK)
4 BANDARA BILANG BINTANG (BANDA 35,5
ACEH)
5 KODAM I. SABANG (SABANG) 35,9

Propinsi Sumatra Utara

1 BRASTAGI-KOTA GADUNG 24,6


2 KEB.PERCOB. BALIGE-GURGUR 24,9
3 MARIHAT ST.P.SIANTAR (PEMATANG 32,7
SIANTAR)
4 ARON GLP. TIGA 32,9

5 MET.GUNUNG SITOLI (BINAKA) 34,4

6 BANDAR. PINANG SORI (SIBOLGA) 34,8

7 BANDARA POLONIA (MEDAN) 35,8


8 KLIMATOLOGI SAMPALI (SAMPALI) 35,7
9 JL.GEROPAH BELAWAN (BELAWAN- 36,2
MEDAN)
Propinsi Sumatra Barat
1 SUKARAME KEBUN PERCOB. 27,8

46
2 PADANG PANJANG 28,0

3 RAMBATAN, BATUSANGKAR 31,5

4 SUMANI, KOTO SINGKARAK (SOLOK) 32,6


5 B. BENIH PADANG GELUGUR 33,7
6 KLIM. SICINCIN (SICINCIN 33,8
PARIAMAN)
7 BANDARA TABING (PADANG) 35,0

Propinsi Riau
1 BANDARA KIJANG (TANJUNG 34,8
PINANG)
2 BANDARA SIMP. TIGA (PEKANBARU) 35,2
3 BANDARA JAYAPURA (JAPURA- 35,4
RENGAT)
4 BANDARA DABO (DABO-SINGKEP) 35,8
5 BANDARA NATUNA (RANAI) 36,0
6 METEO TAREMPA (TAREMPA) 36,8
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

h. Tebal lapis tambah terkoreksi (Ht)


Tebal lapis tambah terkoreksi (Ht) dihitung dengan mengkalikan Ho dengan faktor
koreksi overlay (Fo), yaitu sesuai dengan Rumus 21
= ()
Dengan pengertian:
Ht = tebal lapis tambah/overlay Laston setelah dikoreksi dengan
temperature rata-rata tahunan daerah tertentu, dalam satuan
centimeter.
Ho = tebal lapis tambah Laston sebelum dikoreksi temperature rata-
rata tahunan daerah tertentu, dalam satuan centimeter.
Fo = faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay (sesuai Rumus 20 atau
dengan menggunakan Gambar 2).

Catatan:
Bila jenis atau sifat campuran beraspal yang akan digunakan tidak
sesuai dengan ketentuan diatas maka tebal lapis tambah harus
dikoreksi dengan faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
(FKTBL) sesuai Rumus 22 atau Gambar 3 atau Tabel 7.

47
Grafik 3.3 Hubungan antara lendutan rencana dengan lalu
lintasSumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Grafik 3.4 Tebal lapis tambah (Ho)Sumber: Pedoman Perencanaan tebal


perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

48
i. Jenis lapis tambah
Pedoman ini berlaku untuk lapis tambah dengan Laston, yaitu modulus
resilien (MR) sebesar 2000 MPa dan Stabilitas Marshall minimum 800 kg.
Nilai modulus resilien (MR) diperoleh berdasarkan pengujian UMATTA
atau alat lain dengan temperatur pengujian 25oC. Apabila jenis campuran
beraspal untuk lapis tambah menggunakan Laston Modifikasi dan Lataston
atau campuran beraspal yang mempunyai sifat berbeda (termasuk untuk
Laston) dapat menggunakan faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
(FKTBL) sesuai Rumus 22 atau Gambar 3 dan Tabel 7.

= , ,
. . ()

Dengan pengertian:
FKTBL = faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
MR = Modulus Resilien (MPa)

Grafik 3.5. Faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian


(FKTBL)Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

Tabel 3.12Faktor koreksi tebal lapis penyesuaian (FKTBL)

49
Modulus Stabilitas
Jenis Lapisan Resilien, MR Marshall FKTBL
(MPa) (kg)
Laston Modifikasi 3000 min. 1000 0,85
Laston 2000 min. 800 1,00
Lataston 1000 min. 800 1,23
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B

2.2 Pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan


metode lendutan dengan nomor : Pd. T-05-2002-B (Bina Marga 2002)
Kriteria perencanaan dengan metode ini meliputi : angka ekivalen
Beban gandar sumbu kendaraan, indeks permukaan, structural number,
lajur rencana, lapisan perkerasan, reliability, umur rencana.

a. Angka Ekivalen Bebab Gandar Sumbu Kendaraan (E)


Angka ekivalen (E) masing masing golongan gandar sumbu setiap
kendaraan ditentukan menurut table pada lampiran berikut
()
= [ ] ()
,

()
= [ ] ()
,

()
= [ ] . . ()
,
()
= [ ] . ()
,

b. Relibilitas
Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat
kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk
menjamin bermacam-macam alternatif perencanaan akan bertahan
selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Faktor
perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi

50
perkiraan lalu-lintas (w18) dan perkiraan kinerja (W18), dan karenanya
memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan
bertahan selama selang waktu yangdirencanakan.
Pada umumnya, dengan meningkatnya volume lalu-lintas dan
kesukaran untuk mengalihkan lalu-lintas, resiko tidak memperlihatkan
kinerja yang diharapkan harus ditekan.Hal ini dapat diatasi dengan
memilih tingkat reliabilitas yang lebih tinggi.Tabel 3 memperlihatkan
rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi
jalan. Perlu dicatat bahwa tingkat reliabilitas yang lebih tinggi
menunjukkan jalan yang melayani lalu-lintas paling banyak, sedangkan
tingkat yang paling rendah, 50 % menunjukkan jalanlokal.

Tabel 3.13 Rekomendasi tingkat realibilitas untuk bermacam-


macam kondisi jalan

Rekomendasi tingkat reliabilitas


Klasifikasi jalan
Perkotaan Antar kota
Bebas hambatan 85 99.9 80 99,9
Arteri 80 99 75 95
Kolektor 80 95 75 95
Lokal 50 80 50 80
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B

Reliabilitas kinerja-perencanan dikontrol dengan faktor


reliabilitas (FR) yang dikalikan dengan perkiraan lalu-lintas (w18)
selama umur rencana untuk memperoleh prediksi kinerja (W18). Untuk
tingkat reliabilitas (R) yang diberikan, reliability factor merupakan
fungsi dari deviasi standar keseluruhan (overall standard deviation,S0)
yang memperhitungkan kemungkinan variasi perkiraan lalu-lintas dan
perkiraan kinerja untuk W18 yang diberikan. Dalam persamaan desain
perkerasan lentur, level of reliabity (R) diakomodasi dengan parameter
penyimpangan normal standar (standard normal deviate, ZR). Tabel 4
memperlihatkan nilai ZR untuk level of serviceabilitytertentu.

51
Penerapan konsep reliability harus memperhatikan langkah-langkah
berikut ini :
1. Definisikan klasifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah
merupakan jalan perkotaan atau jalan antarkota
2. Pilih tingkat reliabilitas dari rentang yang diberikan pada Tabel4.
3. Deviasi standar (S0) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat.
Rentang nilai S0 adalah 0,40 0,50.

Tabel 3.14 Nilai Penyimpanan Normal Standard

Reliabilitas, R(%) Standar normal deviate, ZR


50 0,000
60 0,253
70 0,524
75 0,674
80 0,841
85 1,037
90 1,282
91 1,340
92 1,405
93 1,476
94 1,555
95 1,645
96 1,751
97 1,881
98 2,054
99 2,327
99,9 3,090
99,99 3,750
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B

c. Lalu lintas Pada Lajur Rencana


Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif
beban gandar standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana
ini digunakan perumusan berikut ini :
W18 = DD x DL x W18

52
Dimana : W18 = Beban gandar standard kumulatif untuk 2 arah
DD1 = Faktor distribusi arah
DL = Faktor distribusi lajur
Pada umumnya DD diambil 0,5 pada beberapa kasus terdapat
pengecualian dimana kendaraan berat cendrung menuju kea rah tertentu.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa DD bervariasi 0,3-0,7
tergantung arah mana yang berat dan kosong.

Tabel 3.15 Faktor Distribusi Lajur (DL)


Jumlah Lajur Perarah % Beban Gandar Standard Dalam Lajur
Rencana
1 100
2 80-100
3 60-80
4 50-75
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B

Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan


lentur dalam pedoman ini adalah lalu-lintas kumulatif selama umur
rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban gandar
standar kumulatif pada lajur rencana selama setahun (w18) dengan
besaran kenaikan lalu lintas (traffic growth). Secara numerik rumusan
lalu-lintas kumulatif ini adalah sebagai berikut :
(1+)1
Wt = W18 x =

Dimana Wt = Jumlah beban gandar tunggal standar kumulati

W18 =Beban gandar standard kumulatif selama 1 tahun


N = Umur pelayanan (tahun)
G = Perkembangan lalu lintas (%)
d. Koefisien Drainase

53
Koefisien drainase diperlukan untuk mengakomodasi kualitas
system drainase yang dimiliki perkerasan jalan, koefisien drainase dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel 3.16 Defenisi Kualitas Drainase (m)
Kualitas drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali air tidak akan mengalir
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B

Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam


perencanaan dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang
dimodifikasi. Faktor untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini
adalah koefisien drainase (m) dan disertakan ke dalam persamaan
Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien
kekuatan relative(a) dan ketebalan (D).
Tabel berikut memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang
merupakan fungsi dari kualitas drainase dan persen waktu selama
setahun struktur perkerasan akan dipengaruhi oleh kadar air yang
mendekati jenuh
Tabel 3.17 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien
kekuatan relative material untreated base dan subbase pada
Persen waktu struktur perkerasandipengaruhioleh kadarair
Kualitas drainase yang mendekatijenuh
<1% 15% 5 25 % > 25
Baik sekali 1,40 1,30 1,35 1,30 1,30 1,20 %
1,20
Baik 1,35 1,25 1,25 1,15 1,15 1,00 1,00
Sedang 1,25 1,15 1,15 1,05 1,00 0,80 0,80
Jelek 1,15 1,05 1,05 0,80 0,80 0,60 0,60
Jelek sekali 1,05 0,95 0,08 0,75 0,60 0,40 0,40
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B

54
e. Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan
kekuatan perkerasan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi
lalu-lintas yang lewat.
Adapun beberapa ini IP beserta artinya adalah seperti yang
tersebut di bawah ini:
1. IP =2,5:menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil danbaik.
2. IP =2,0:menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang
masihmantap
3. IP =1,5:menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin
(jalantidak terputus).
4. IP =1,0:Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehinggasangat mengganggu lalu-lintaskendaraan.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur
rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional
jalan sebagai mana diperlihatkan pada Tabel berikut ini :
Tabel 3.18 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana(IPt)
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Bebas hambatan
1,0 1,5 1,5 1,5 2,0 -
1,5 1,5 2,0 2,0 -
1,5 2,0 2,0 2,0 2,5 -
- 2,0 2,5 2,5 2,5
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur
rencana(IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada
awal umur rencana sesuai dengan table berikut :
Tabel 3.19 Indeks permukaan pada awal umur rencana(IPo)
Ketidakrataan *) (IRI,
Jenis Lapis Perkerasan IP0
m/km)
LASTON >4 <1,0
3,9 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 3,5 <2,0
3,4 3,0 > 2,0
LAPEN 3,4 3,0 <3,0
2,9 2,5 > 3,0

55
Alat pengukur ketidakrataan yang dipergunakan dapat berupa roughometer NAASRA,
Bump Itegrator, dll.Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur SNI Pt-T-
01-2002-B
f. Koefisien Kekuatan Relative (a)
Pedoman ini memperkenalkan korelasi antara koefisien kekuatan
relatif dengan nilai mekanistik, yaitu modulus resilien.
Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi
Koefisien Kekuatan Relatif dikelompokkan ke dalam 5 katagori, yaitu :
beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi granular (granular base),
lapis pondasi bawah granular (granular subbase), cement-treated base
(CTB), dan asphalt-treated base (ATB).

1. Lapis Permukaan Beton Aspal (Asphalt Concrete Surface Course)


Nilai koefisien kekuatan relative untuk lapis permukaan Beton
Aspal bergradasi rapat berdasarkan modulus elastisitas (E AC ) pada
suhu 68F dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Grafik 3.6. Grafik untuk memperkirakan koefisien kekuatan


relative lapis permukaan beton aspal bergradasi rapat (a1)Sumber:
Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur SNI Pt-T-01-2002-B

56
g. Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan
Pada saat menentukan tebal lapis perkerasan, perlu
dipertimbangkan keefektifannya dari segi biaya, pelaksanaan
konstruksi dan batasan pemeliharaan untuk menhindari kemungkinan
dihasilkannya perencanaan yang tidak praktis dari segi keefektifan
biaya. Perencanaan yang secara ekonomis optimum adalah apabila
dipergunakan tebal lapis pondasi minimum seperti dalam table berikut:

Tabel 3.20 Tebal minimum untuk lapis permukaan berbeton aspal


dan lapis pondasi agregat.

Lapis pondasi
Lalu-lintas (ESAL) Beton Aspal LAPEN LASBUTAG
agregat

inci cm inci cm inci cm inci cm

< 50.000 *) 1,0 *) 2,5 2 5 2 5 4 10

50.001 150.000 2,0 5,0 - - - - 4 10

150.001 500.000 2,5 6,25 - - - - 4 10

500.001 2.000.000 3,0 7,5 - - - - 6 15

2.000.001-7.000.000 3,5 8,75 - - - - 6 15

> 7.000.000 4,0 10,0 - - - - 6 15

Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur SNI Pt-T-01-2002-B

57
h. Koefisien kekuatan relative untuk Overlay
Untuk perhitungan lapis tambah (Overlay) kekuatn struktur
perkerasan lama (existing pavement) dinilai dengan tabel berikut ini:
Tabel 3.21 Koefisien kekuatan relative
BAHAN KONDISI PERMUKAAN Koefisienk
ekuatan
relatif (a)
Lapis Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya 0.35 0.40
Beton aspal
permukaan terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah

<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.25 0.35
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.20 0.30
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.14 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.08 0.15
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis pondasi Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya 0.20 0.35
yang
distabilisasi terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah

<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 0.25
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
>5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi

>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.10 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.08 0.15
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis pondasi Tidak ditemukan adanya pumping, degradation, or contamination by 0.10 0.14
atau pondasi
lapis fines.
bawah
granular
Terdapat pumping, degradation, or contamination by fines 0.00 0.10
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur SNI Pt-T-01-2002-B

58
59

Anda mungkin juga menyukai