Bab Iii
Bab Iii
TINJAUAN PUSTAKA
A. Umum
Perencanaan tebal perkerasan merupakan dasar dalam menentukan
tingkat pelayanan sebuah jalan baik perkerasan baik menggunakan bahan
pengikat semen maupun bahan pengikat aspal.Perkerasan lentur umumnya
menggunakan bahan campuran aspal sebagai bahan lapisan permukaan
(surface course).Yang dimaksud dengan perkerasan lentur adalah perkerasan
yang menggunakan bahan campuran aspal sebagai bahan pengikat agregat
penyusunnya. Hasil interpretasi, evaluasi dan simpulan dari perencanaan
perkerasan jalan memperhitungkan hal hal sebagai berikut:
Perencanaan secara ekonomis sesuai dengan kondisi setempat.
Tingkat keperluan.
Kemampuan pelaksanaan.
Syarat teknis lainnya.
Sebagai kostruksi jalan yang direncanakan itu adalah optimal.
14
Konstruksi perkerasan jalan berkembang pesat pada zaman keemasan
Romawi.Pada saat itu mulai dibangun jalan-jalan yang terdiri dari beberapa
lapis perkerasan.Perkembangan konstruksi perkerasan jalan seakan terhenti
dengan mundurnya kekuasaan Romawi sampai awal abad 18.Pada saat itu
sistem-sistem perkerasan jalan yang sebagian sampai saat ini masih umum
digunakan di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia.
Pierre Marie Jerome Tresaguet (1716-1796) dari Perancis
mengembangkan sistem lapisan batu pecah yang dilengkapi dengan drainase,
kemiringan melintang serta mulai menggunakan pondasi dari batu.
John Louden Mac Adam (1756-1863), orang Scotlandia
memperkenalkan konstruksi perkerasan yang terdiri dari batu pecah, batu kali
atau halus. Jenis perkerasan ini terkenal dengan nama perkerasan Macadam
seperti pada Gambar 3.2.a Untuk memberikan lapisan yang kedap air, maka
diatas lapisan aus yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan
ditaburi pasir kasar.
15
jalan di Indonesia yang dibuat pada zaman dahulu sebagian besar merupakan
sistem jalan Telford seperti pada Gambar 3.2,b walaupun diatasnya telah
diberikan lapisan aus dengan pengikat aspal.
C. Penggolongan Jalan
1. Berdasarkan Fungsinya
a. Jalan arteri adalah jalanjalan yang melayani angkutan utama
dengan ciri-ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien;
b. Jalan Kolektor adalah jalan yang melayani angkutan
pengumpulan/pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang
16
dan jumlah jalan masuk dibatasi
c. Jalan Lokaladalah jalan yang melayani angkutan lokal, dengan ciri-
ciri:
1) Perjalanan jarak dekat;
2) Kecepatan rata-rata rendah;
3) Jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
d. Jalan Lingkungan adalah jalan yang melayani angkutan lingkungan
dengan ciri ciri
1) Perjalanan jarak pendek;
2) Kecepatan rendah.
e. Jalan Arteri Primeradalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kesatu yang terletak berdampingan, atau menghubungkan kota
jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
Persyaratan jalan arteri primer adalah :
1) Kecepatan rencana > 60km/jam;
2) Lebar badan jalan > 8,0 m;
3) Kapasitas jalan lebih besar dari volume lalulintas rata rata;
4) Jalan masuk dibatasi secara efisien sehingga kecepatan rencana
dan kapasitas jalan dapat tercapai;
5) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan local, lalu lintas local, lalu
lintas ulang alik
6) Indeks permukaan tidak kurang dari 2.
f. Jalan Kolektor primeradalah jalan yang menghubungkan kota
jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua atau menghubungkan kota
jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
Persyaratan jalan kolektor primer adalah :
1) Kecepatan rencana >40km/jam;
2) Lebar jalam>7,0 m;
3) Kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas
rata-rata.
17
4) Jalan kolektor primer tidak terputus walupun memasuki daerah
kota;
5) Jalan masuk dibatasi sehingga kecepatan rencana dan kapasitas
jalan tidak terganggu;
6) Tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, lalu lintas lokal, lalu
lintas ulang alik;
7) Indeks permukaan tidak kurang dari 2.
g. Jalan Lokal Primeradalah jalan yang menghubungkan kota jenjang
kesatu dengan persil atau menghubungkan kota jenjang kedua
dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang
dibawahnya, kota jenjang ketiga dengan persil.
Persyaratan jalan local primer adalah :
1) Kecepatan rencana > 30 km/ jam;
2) Lebar jalan > 8,0 m;
3) Kapasitas jalan sama atau lebih besar dari volume lalu lintas rata
rata;
4) Tidak boleh diganggu oleh lalu lintas lambat;
5) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,5.
h. Jalan Kolektor Sekunderadalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga;
Persyaratan jalan kolektor sekunder adalah :
1) Kecepatan rencana > 20 km/jam;
2) Lebar badan jalan> 7,0 m;
3) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,5.
i. Jalan Lokal Sekunder adalah jalan yang menghubungkan kawasan
sekunder kesatu dengan perumahan, menghubungkan kawasan
sekunder kedua dengan perumahan, kawasan sekundar ketiga dan
seterusnya sampai ke perumahan.
Persyaratan jalan local sekunder adalah :
1) Kecepatan rencana > 10 km/ jam;
2) Lebar badan jalan > 5,0 m;
18
3) Indeks permukaan tidak kurang dari 1,0.
j. Jalan utamayaitu jalan yang melayani lalu lintas yang tinggi antara
kota kota yang penting atau pusat pusat produksi dan pusat
eksport. Jalan jalan dalam golongan ini harus direncanakan untuk
dapat melayani lalu lintas yang cepat dan berat.
k. Jalan Sekunderyaitu jalan yang melayani lalu lintas yang cukup
tinggi antar kota penting dan kota kota yang lebih kecil atau
daerah sekitarnya.
l. Jalan penghubung yaitu jalan untuk keperluan aktivitas daerah yang
juga dipakai sebagai jalan penghubung antar jalan jalan dari
golongan yang sama atau yang berlainan.
19
Bus 3
Truk Besar (berat kotor >5ton) 3
Kendaraan Tak Bermotor 7
1
=
1 (365 )
20
UTAMA I >20.000
SEKUNDER IIA 6.000 sampai 20.000
IIB
IIC 1.500 sampai 800
PENGHUBUNG III <2000
Sumber: Silvia Sukirman dalam Perkerasan Lentur Jalan Raya, 1999
21
konstruksi permukaan jalan dari jenis aspal beton (hot mix) atau
yang setaraf, dimana komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan
lambat, harus disediakan jalur tersendiri.
2. Jalan Kelas II B
Adalah jalan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana komposisi
lalu lintasnya terdapat Kendaraan lambat, tetapi tanpa kendaraan
tidak bermotor.
3. Jalan Kelas II C
Adalah jalan-jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi
permukaan jalan dari jenis penetrasi tunggal dimana komposisi
lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tidak
bermotor.
4. Jalan Kelas III
Jalan ini mencakup semua jalan-jalan penghubung dan
merupakan konstruksi jalan berjalur tunggal atau dua.Konstruksi
jalan berjalur tunggal atau dua.Konstruksi permukaan jalan yang
paling tinggi adalah perlaburan dengan aspal.
22
sifat, pengadaan dan pengolahan dari bahan penyusun perkerasan jalan sangat
diperlukan.
Berdasarkan uraian diatas, konstruksi perkerasan harus terdiri dari bahan-
bahan yang mempunyai sifat meneruskan setiap gaya tekan ke segala penjuru
dengan sudut rata-rata 450 terhadap garis vertical, sehingga penyebaran gaya
tersebut merupakan bentuk kerucut dengan sudut puncak 900.
23
1. Konstruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)
Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement) yaitu perkerasan
yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat.Pengaruhnya terhadap
repetisi beban adalah timbulnya rutting (lendutan pada jalur
roda).Pengaruhnya terhadap penurunan tanah dasar yaitu, jalan
bergelombang (mengikuti tanah dasar).Lapisan-lapisan perkerasannnya
bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.
Susunan perkerasan lentur dapat dilihat pada Gambar 3.4
24
Penentuan daya dukung tanah dasar berdasarkan evaluasi hasil
pemeriksaan laboratorium tidak dapat mencakup secara detail (tempat
demi tempat), sifat sifat daya dukung tanah dasar sepanjang suatu
bagian jalan. Koreksi koreksi perlu dilakukan baik dalam tahap
perencanaan secara detail maupun tahap pelaksanaan, disesuaikan
dengan kondisi tempat. Koreksi-koreksi semacam ini akan diberikan
pada gambar rencana atau dalam spesifikasi pelaksanaan.
Umumnya persoalan yang menyangkut tanah dasar adalah
sebagai berikut :
a. Perubahan bentuk tetap (deformasi Permanen) dari macam tanah
tertentu akibat beban lalu lintas.
b. Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat
perubahan kadar air.
c. Daya dukung tanah yang tidak merata dan sukar ditentukan secara
pasti pada daerah dengan macam tanah yang sangat berbeda sifat dan
kedudukannya, atau akibat pelaksanaan.
d. Lendutan dan lendutan selama dan sesudah pembebanan lalu lintas
dari mcam tanah tertentu.
e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan
yang diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (Granular Soil)
yang tidak dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.
2) Lapisan Pondasi Bawah (Sub Base Course)
Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course) adalah bagian dari
konstruksi perkerasan jalan yang terletak diantara tanah dasar (Sub
Grade) dan lapisan pondasi atas (Base Course).
Fungsi lapisan pondasi bawah adalah sebagai berikut :
a. Bagian dari konstruksi perkerasan yang telah mendukung dan
menyebarkan beban roda ke tanah dasar.
b. Mencapai efisiensi penggunaan material yang murah agar lapisan
lapisan selebihnya dapat dikurangi tebalnya (penghematan biaya
konstruksi).
25
c. Untuk mencegah tanah dasar masuk kedalam lapisan pondasi atas.
d. Sebagai lapisan pertama agar pelaksanaan dapat berjalan dengan
lancer. Hal ini sehubungan dengan kondisi lapangan yang memaksa
harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca, atau
lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda roda alat besar.
Jenis lapisan pondasi bawah yang umum yangdipergunakan di
Indonesia antara lain:
Agregat bergradasi baik, dibedakan atas:
a. Sirtu kelas A
b. Sirtu kelas B
c. Sirtu kelas C
Sirtu kelas A bergradasi lebih kasar dari sirtu kelas B, Sirtu kelas
B lebih besar dari sirtu kelas C.
3) Lapis Pondasi Atas (Base Cours)
Lapisan pondasi atas (Base Cours) adalah bagian dari perkerasan
jalan yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan lapisan
permukaan.
Fungsi Lapisan pondasi atas adalah sebagai berikut :
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan
menyebarkan beban lapisan dibawahnya.
b. Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.
c. Bantalan terhadap lapisan pondasi bawah.
Material yang akan dipergunakan unutk lapisan pondsai atas
adalah material yang cukup kuat. Untuk lapisan pondasi atas tanpa
bahan pengikat umumnya menggunakan material dengan CBR >50%
dan indeks Plastisitas (IP<4%).Bahan-bahan alam seperti batu pecah,
kerikil pecah, stabilitas tanah dengan semen dan kapur dapat digunakan
sebagai lapis pondasi atas.
Jenis lapis pondasi atas yang umumnya dipergunakan di
Indonesia antara lain :
Agregat bergradasi baik, dapat dibagi atas :
26
- Batu pecah kelas A
- Batu pecah kelas B
- Batu pecah kelas C.
Batu pecah kelas A bergradasi lebih kasar dari batu pecah kelas
B, batu pecah kelas B bergradasi lebih baik dari batu kelas C.
27
Indonesia ada dua jenis antara lain :
28
biasanya diberi laburan aspal dengan agregat penutup. Tebal
lapisan suatu lapisan satu lapis dapat bervariasi dari 4-10 cm;
b) Lasbutag merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan yang
terdiri dari campuran antara agregat, lasbuton dan bahan pelunak
yang diaduk, dihampar dan dipadatkan secara dingin. Tebal padat
tiap lapisannya antara 3-5cm;
c) Laston (lapis aspal beton), merupakan suatu lapisan pada
konstruksi jalan yang terdiri dari campuran aspal keras dan
agregat yang mempunyai gradasi menerus dicampur, dihampar
dan dipadatkan pada suhu tertentu.
29
Pondasi Macadam atau batu Pecah:
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) 6 (80-100%)
c. Lapis Pondasi Bawah:
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) 6 (90-100%)
Indeks Plastisitas (Plasticity Index = PI) > 6 (70-90%)
Sumber: SNI-1732-1989-F:16
30
3. Konstruksi Perkerasan Komposit (Composite Pavement)
Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement) yaitu
perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dan dapat
berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku
diatas.
2 Kendali kualitas untuk job mix lebih Job mix lebih muda dikendalikan
murah kualitasnya, Modulus Elistisitas antara
lapis permukaan dan pondasi sangat
berbeda
3 Sulit untuk bertahan terhadap kondisi Dapat lebih bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk yang lebih buruk
4 Umur rencana relatif pendek S-10 Umur rencana dapat mencapai 20 tahun
31
konstruksi yang lain, kecuali jika tersebut cepat dan dalam waktu singkat
perkerasan terendam air
6 Indeks pelayanan yang terbaik hanya Indeks pelayanan tetap baik hampir
pada saat selesai pelaksanaan selama umur rencana terutama jika
konstruksi, setelah itu berkurang transverse joints dikerjakan dan
seiring dengan waktu dan frekuensi dipelihara dengan baik
beban lalu lintasnya
7 Dapat digunakan untuk semua tingkat Kebanyakan digunakan hanya pada
lalu lintas jalan kelas tinggi, serta pada perkerasan
lapangan terbang
8 Kendali kualitas untuk job mix lebih Job mix lebih muda dikendalikan
murah kualitasnya, Modulus Elistisitas antara
lapis permukaan dan pondasi sangat
berbeda
9 Sulit untuk bertahan terhadap kondisi Dapat lebih bertahan terhadap kondisi
drainase yang buruk yang lebih buruk
10 Umur rencana relatif pendek S-10 Umur rencana dapat mencapai 20 tahun
12 Indeks pelayanan yang terbaik hanya Indeks pelayanan tetap baik hampir
pada saat selesai pelaksanaan selama umur rencana terutama jika
konstruksi, setelah itu berkurang transverse joints dikerjakan dan
seiring dengan waktu dan frekuensi dipelihara dengan baik
beban lalu lintasnya
32
E. Dasar dasar Perencanaan
1. Umum
Perencanaan tebal perkerasan adalah dasar dalam menentukan tebal
dari perkerasan, baik itu perkerasan lentur maupun tebal perkerasan kaku
sesuai dengan yang dibutuhkan untuk suatu jalan.
Perencanaan tebal lapis perkerasan lentur jalan baru umumnya dapat
dibedakan atas dua metode yaitu:
a. Metode Empiris, metode ini dikembangkan berdasarkan pengalaman dan
penelitian dari jalan jalan yang dibuat khusu untuk penilitian atau dari
jalan yang sudah ada.
b. Metode Teoritis, metode ini dikembangkan berdasarkan teori lapis
matematis dari sifat tegangan dan regangan pada lapisan perkerasan
akibat beban berulang dari lalu lintas.
Metode Empiris.
1. road Note 29 dan Road ote 31 dari Inggris. Metode ini digunakan untuk
tebal lapis perkerasan lentur di negara Negara beriklim sub tropis dan
tropis seperti Negara Malaysia, Singapura dan Thailand.
2. AASHTO dan Asphalt Institute dari Amerika dimana cara AASHTO
dijadikan perhitungan perkerasan di Indonesia.
3. Manual pemeriksaan perkerasan jalan dengan alat Benkleman Beam
sesuai dengan nomor : 01/ M B/ 1983.
4. Metode HRODI.
5. Metode Bina Marga Pd. T-05-2005-B. Metode ini merupakan revisi dari
Manual Pemeriksaan Perkersasan Jalan Dengan Alat Benkelman Beam
dengan nomor : 01/ MB/ 1983 (Bina marga 1983). Modifikasi dilakukan
untuk penyesuaian dengan kondisi alam, lingkungan, sifat tanah dasar,
33
dan jenis lapisan perkerasan yang umum dipergunakan di Indonesia.
6. Metode NAASRA, dari Australia yang dapat dibaca pada Interim Guide
to Pavement Thickness Design.
Metode Teoritis
Metode teoritis yang umum dipergunakan saat ini berdasarkan teori
elastis (elastic layered theory). Teori ini membutuhkan nilai Modulus
elastisitas dan poison ratio dari setiap lapisan perkerasan.
Cara yang digunakan dalam laporan ini untuk menghitung kembali
tebal lapis perkerasan adalah menghitung tebal lapis tambahan dengan
metode Benkleman Beam.
34
2.1 Pedoman perencanaan tebal lapis tambah perkerasan lentur dengan
metode lendutan dengan nomor : Pd. T-05-2005-B (Bina Marga 2005)
a. Lalu lintas
Jumlah Lajur dan Koefisien Distribusi Kendaraan (C)
Lajur rencana merupakan salah satu lajur lalu lintas dari suatu ruas jalan,
yang menampung lalu-lintas terbesar.
Jika jalan tidak memiliki tanda batas lajur, maka jumlah lajur ditentukan
dari lebar perkerasan sesuai Tabel 3.4
Tabel 3.4 Jumlah lajur berdasarkan lebar perkerasan
Lebar Perkerasan (L) Jumlah Lajur
L < 4,50 m 1
4,50 m L < 8,00 m 2
8,00 m L < 11,25 m 3
11,25 m L < 15,00 m 4
15,00 m L < 18,75 m 5
18,75 m L < 22,50 m 6
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
Koefisien distribusi kendaraan (C) untuk kendaraan ringan dan berat yang
lewat pada lajur rencana ditentukan sesuai Tabel 2.
Tabel 3.5 Koefisien distribusi kendaraan (C)
Kendaraan ringan* Kendaraan berat**
Jumlah Lajur
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 1,00 1,00 1,00 1,00
2 0,60 0,50 0,70 0,50
3 0,40 0,40 0,50 0,475
4 - 0,30 - 0,45
5 - 0,25 - 0,425
6 - 0,20 - 0,40
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
35
Keterangan : *) Mobil Penumpang
**) Truk dan Bus
Dengan Pengertian :
SDRG : Sumbu Dual Roda Ganda
STRG : Sumbu Tunggal Roda Ganda
STRT : Sumbu Tunggal Roda Tunggal
STrRG : Sumbu Triple Roda Ganda
Tabel 3.6 Ekivalen beban sumbu kendaraan (E)
Beban
sumbu Ekivalen beban sumbu kendaraan (E)
36
7 2,82369 0,54154 0,06698 0,02072
8 4,81709 0,92385 0,11426 0,03535
9 7,71605 1,47982 0,18302 0,05662
10 11,76048 2,25548 0,27895 0,08630
11 17,21852 3,30225 0,40841 0,12635
12 24,38653 4,67697 0,57843 0,17895
13 33,58910 6,44188 0,79671 0,24648
14 45,17905 8,66466 1,07161 0,33153
15 59,53742 11,41838 1,41218 0,43690
16 77,07347 14,78153 1,82813 0,56558
17 98,22469 18,83801 2,32982 0,72079
18 123,45679 23,67715 2,92830 0,90595
19 153,26372 29,39367 3,63530 1,12468
20 188,16764 36,08771 4,46320 1,38081
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
3 Minibus,Oplet 0,003
37
7b Truck Gandengan 3,6221
r (%)
2 4 5 6 8 10
n (tahun)
1 1,01 1,02 1,03 1,03 1,04 1,05
2 2,04 2,08 2,10 2,12 2,16 2,21
3 3,09 3,18 3,23 3,28 3,38 3,48
4 4,16 4,33 4,42 4,51 4,69 4,87
5 5,26 5,52 5,66 5,81 6,10 6,41
6 6,37 6,77 6,97 7,18 7,63 8,10
7 7,51 8,06 8,35 8,65 9,28 9,96
8 8,67 9,40 9,79 10,19 11,06 12,01
9 9,85 10,79 11,30 11,84 12,99 14,26
10 11,06 12,25 12,89 13,58 15,07 16,73
11 12,29 13,76 14,56 15,42 17,31 19,46
12 13,55 15,33 16,32 17,38 19,74 22,45
13 14,83 16,96 18,16 19,45 22,36 25,75
14 16,13 18,66 20,09 21,65 25,18 29,37
38
15 17,47 20,42 22,12 23,97 28,24 33,36
20 24,54 30,37 33,89 37,89 47,59 60,14
25 32,35 42,48 48,92 56,51 76,03 103,26
30 40,97 57,21 68,10 81,43 117,81 172,72
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
= ()
Dengan Pengertian :
CESA = Akumulasi ekivalen beban sumbu standar
m = Jumlah masing-masing jenis kendaraan
365 = Jumlah hari dalam satu tahun
E = Ekivalen beban sumbu (Tabel 3)
C = Koefisien Distribusi Kendaraan (Tabel 2)
N = Faktor hubungan umur rencana yang sudah disesuaikan
dengan perkembangan lalu lintas (Tabel 4)
b. Lendutan
Lendutan yang digunakan dalam perhitungan ini adalah lendutan
hasil pengujian dengan alat Benkelman Beam (BB).Apabila pada
waktupengujian lendutan ditemukan data yang meragukan maka pada
lokasi atau titik tersebut dianjurkan untuk dilakukan pengujian ulang atau
titik pengujian dipindah pada lokasi atau titik disekitarnya.
Lendutan balik adalah besar lendutan vertical suatu permukaan
jalan akibat dihilangkannya beban, diambil dari lendutan balik
maksimum pada kelompok roda belakang kiri dan kanan. Nilai lendutan
39
tersebut harus dikoreksi dengan faktor muka air tanah (faktor musim) dan
koreksi temperature serta faktor beban uji (bila beban uji tidak tepat
sebesar 8,16 ton).
Lendutan balik (rebound deflection) tiap-tiap titik dapat dihitung
dengan rumus:
= ( ) ()
Dengan Pengertian:
db = lendutan balik (mm)
d1 = lendutan pada saat beban tetap pada titik pengukuran
d3 = lendutan saat beban berada pada jarak 6 meter dari titik
pengukuran
Ft = faktor penyesuaian lendutan terhadap temperature standar
350C, sesuai Rumus 8, untuk tebal lapis beraspal (HL)
lebih kecil 10 cm atau rumus 9, untuk tebal lapis beraspal
(HL) lebih besar atau sama dengan 10 cm atau
menggunakan tabel 5 atau pada Gambar 1 (Kurva A untuk
HL < 10 cm dan Kurva B untuk > 10 cm).
=, ,
< 10 (8)
= , ,
()
TL = temperatur lapis beraspal, diperoleh dari hasil
pengukuran langsung dilapangan atau dapat diprediksi dari
temperatur udara, yaitu:
= ( + + ) ()
40
atau muka air tanah rendah
= 0,9 ; bila pemeriksaan dilakukan pada musim hujan atau
muka air tanah tinggi
= faktor koreksi beban uji Benkelman Beam (BB)
=, ( )(, ) ()
41
24 1,16 1,33 50 0,87 0,76
26 1,13 1,25 52 0,85 0,74
28 1,09 1,19 54 0,84 0,72
30 1,06 1,13 56 0,83 0,70
32 1,04 1,07 58 0,82 0,68
34 1,01 1,02 60 0,81 0,67
36 0,99 0,98 62 0,79 0,65
38 0,97 0,94 64 0,78 0,63
40 0,95 0,90 66 0,77 0,62
42 0,93 0,87 68 0,77 0,61
44 0,91 0,84 70 0,76 0,59
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
Catatan :
Kurva A adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL) kurang
dari 10 cm.
Kurva B adalah faktor koreksi (Ft) untuk tebal lapis beraspal (HL)
minimum 10 cm
Tabel 3.10Temperatur tengah (Tt) dan bawah (Tb) lapis beraspal
berdasarkan data temperatur udara (Tu) dan temperatur
permukaan (Tp)
Tu +
Temperatur lapis beraspal ( oC) pada kedalaman
Tp
(oC) 2,5 cm 5,0 cm 10 cm 15 cm 20 cm 30 cm
45 26,8 25,6 22,8 21,9 20,8 20,1
46 27,4 26,2 23,3 22,4 21,3 20,6
47 28,0 26,7 23,8 22,9 21,7 21,0
48 28,6 27,3 24,3 23,4 22,2 21,5
49 29,2 27,8 24,7 23,8 22,7 21,9
50 29,8 28,4 25,2 24,3 23,1 22,4
51 30,4 28,9 25,7 24,8 23,6 22,8
52 30,9 29,5 26,2 25,3 24,0 23,3
53 31,5 30,0 26,7 25,7 24,5 23,7
54 32,1 30,6 27,1 26,2 25,0 24,2
55 32,7 31,2 27,6 26,7 25,4 24,6
56 33,3 31,7 28,1 27,2 25,9 25,1
57 33,9 32,3 28,6 27,6 26,3 25,5
58 34,5 32,8 29,1 28,1 26,8 26,0
59 35,1 33,4 29,6 28,6 27,2 26,4
60 35,7 33,9 30,0 29,1 27,7 26,9
61 36,3 34,5 30,5 29,5 28,2 27,3
62 36,9 35,1 31,0 30,0 28,6 27,8
42
63 37,5 35,6 31,5 30,5 29,1 28,2
64 38,1 36,2 32,0 31,0 29,5 28,7
65 38,7 36,7 32,5 31,4 30,0 29,1
66 39,3 37,3 32,9 31,9 30,5 29,6
67 39,9 37,8 33,4 32,4 30,9 30,0
68 40,5 38,4 33,9 32,9 31,4 30,5
69 41,1 39,0 34,4 33,3 31,8 30,9
70 41,7 39,5 34,9 33,8 32,3 31,4
71 42,2 40,1 35,4 34,3 32,8 31,8
72 42,8 40,6 35,8 34,8 33,2 32,3
73 43,4 41,2 36,3 35,2 33,7 32,8
74 44,0 41,7 36,8 35,7 34,1 33,2
75 44,6 42,3 37,3 36,2 34,6 33,7
76 45,2 42,9 37,8 36,7 35,0 34,1
77 45,8 43,4 38,3 37,1 35,5 34,6
78 46,4 44,0 38,7 37,6 36,0 35,0
79 47,0 44,5 39,2 38,1 36,4 35,5
80 47,6 45,1 39,7 38,6 36,9 35,9
81 48,2 45,6 40,2 39,0 37,3 36,4
82 48,8 46,2 40,7 39,5 37,8 36,8
83 49,4 46,8 41,2 40,0 38,3 37,3
84 50,0 47,3 41,6 40,5 38,7 37,7
85 50,6 47,9 42,1 40,9 39,2 38,2
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
c. Keseragaman lendutan
Perhitungan tebal lapis tambah dapat dilakukan pada setiap titik
pengujian atau berdasarkan panjang segmen (seksi). Apabila berdasarkan
panjang seksi maka cara menentukan panjang seksi jalan harus
dipertimbangkan terhadap keseragaman lendutan. Keseragaman yang
dipandang sangat baik mempunyai rentang faktor keseragaman antara 0
sampai dengan 10, antara 11 sampai dengan 20 keseragaman baik dan
antara 21 sampai dengan 30 keseragaman cukup baik. Untuk menentukan
faktor keseragaman lendutan adalah dengan menggunakan Rumus 15
sebagai berikut:
= 100% < (12)
Dengan pengertian:
FK = Faktor keseragaman
FK ijin = Faktor keseragaman yang diijinkan
43
= 0% - 10% ; keseragaman sangat baik
=11% - 20% ; keseragaman baik
= 21% - 30% ; keseragaman cukup baik
dR = Lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan
= ()
d. Lendutan wakil
Untuk menentukan besarnya lendutan yang mewakili suatu sub
ruas/seksi jalan, digunakan Rumus 18, 19 dan 20 yang disesuaikan
dengan fungsi/kelas jalan, yaitu:
= + ; () ()
= + , ; ()
= + , ; . . ()
Dengan pengertian:
Dwakil = lendutan yang mewakili suatu seksi jalan
dR = lendutan rata-rata pada suatu seksi jalan sesuai Rumus 13
s = deviasi standar sesuai Rumus 14
44
Drencana = lendutan rencana, dalam satuan millimeter.
CESA = akumulasi ekivalen beban sumbu standar, dalam satuan
ESA
Atau dengan memplot data lalu-lintas rencana (CESA) pada
Gambar 4 Kurva D untuk lendutan balik dengan alat BB.
45
Grafik 3.2 Faktor koreksi tebal lapis tambah/overlay (Fo)Sumber:
Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
46
2 PADANG PANJANG 28,0
Propinsi Riau
1 BANDARA KIJANG (TANJUNG 34,8
PINANG)
2 BANDARA SIMP. TIGA (PEKANBARU) 35,2
3 BANDARA JAYAPURA (JAPURA- 35,4
RENGAT)
4 BANDARA DABO (DABO-SINGKEP) 35,8
5 BANDARA NATUNA (RANAI) 36,0
6 METEO TAREMPA (TAREMPA) 36,8
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
Catatan:
Bila jenis atau sifat campuran beraspal yang akan digunakan tidak
sesuai dengan ketentuan diatas maka tebal lapis tambah harus
dikoreksi dengan faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
(FKTBL) sesuai Rumus 22 atau Gambar 3 atau Tabel 7.
47
Grafik 3.3 Hubungan antara lendutan rencana dengan lalu
lintasSumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
48
i. Jenis lapis tambah
Pedoman ini berlaku untuk lapis tambah dengan Laston, yaitu modulus
resilien (MR) sebesar 2000 MPa dan Stabilitas Marshall minimum 800 kg.
Nilai modulus resilien (MR) diperoleh berdasarkan pengujian UMATTA
atau alat lain dengan temperatur pengujian 25oC. Apabila jenis campuran
beraspal untuk lapis tambah menggunakan Laston Modifikasi dan Lataston
atau campuran beraspal yang mempunyai sifat berbeda (termasuk untuk
Laston) dapat menggunakan faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
(FKTBL) sesuai Rumus 22 atau Gambar 3 dan Tabel 7.
= , ,
. . ()
Dengan pengertian:
FKTBL = faktor koreksi tebal lapis tambah penyesuaian
MR = Modulus Resilien (MPa)
49
Modulus Stabilitas
Jenis Lapisan Resilien, MR Marshall FKTBL
(MPa) (kg)
Laston Modifikasi 3000 min. 1000 0,85
Laston 2000 min. 800 1,00
Lataston 1000 min. 800 1,23
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur PD-T-01-2005-B
b. Relibilitas
Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat
kepastian (degree of certainty) ke dalam proses perencanaan untuk
menjamin bermacam-macam alternatif perencanaan akan bertahan
selama selang waktu yang direncanakan (umur rencana). Faktor
perencanaan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi
50
perkiraan lalu-lintas (w18) dan perkiraan kinerja (W18), dan karenanya
memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan
bertahan selama selang waktu yangdirencanakan.
Pada umumnya, dengan meningkatnya volume lalu-lintas dan
kesukaran untuk mengalihkan lalu-lintas, resiko tidak memperlihatkan
kinerja yang diharapkan harus ditekan.Hal ini dapat diatasi dengan
memilih tingkat reliabilitas yang lebih tinggi.Tabel 3 memperlihatkan
rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi
jalan. Perlu dicatat bahwa tingkat reliabilitas yang lebih tinggi
menunjukkan jalan yang melayani lalu-lintas paling banyak, sedangkan
tingkat yang paling rendah, 50 % menunjukkan jalanlokal.
51
Penerapan konsep reliability harus memperhatikan langkah-langkah
berikut ini :
1. Definisikan klasifikasi fungsional jalan dan tentukan apakah
merupakan jalan perkotaan atau jalan antarkota
2. Pilih tingkat reliabilitas dari rentang yang diberikan pada Tabel4.
3. Deviasi standar (S0) harus dipilih yang mewakili kondisi setempat.
Rentang nilai S0 adalah 0,40 0,50.
52
Dimana : W18 = Beban gandar standard kumulatif untuk 2 arah
DD1 = Faktor distribusi arah
DL = Faktor distribusi lajur
Pada umumnya DD diambil 0,5 pada beberapa kasus terdapat
pengecualian dimana kendaraan berat cendrung menuju kea rah tertentu.
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa DD bervariasi 0,3-0,7
tergantung arah mana yang berat dan kosong.
53
Koefisien drainase diperlukan untuk mengakomodasi kualitas
system drainase yang dimiliki perkerasan jalan, koefisien drainase dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel 3.16 Defenisi Kualitas Drainase (m)
Kualitas drainase Air hilang dalam
Baik sekali 2 jam
Baik 1 hari
Sedang 1 minggu
Jelek 1 bulan
Jelek sekali air tidak akan mengalir
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B
54
e. Indeks Permukaan (IP)
Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan
kekuatan perkerasan yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi
lalu-lintas yang lewat.
Adapun beberapa ini IP beserta artinya adalah seperti yang
tersebut di bawah ini:
1. IP =2,5:menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil danbaik.
2. IP =2,0:menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang
masihmantap
3. IP =1,5:menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin
(jalantidak terputus).
4. IP =1,0:Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat
sehinggasangat mengganggu lalu-lintaskendaraan.
Dalam menentukan indeks permukaan (IP) pada akhir umur
rencana, perlu dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional
jalan sebagai mana diperlihatkan pada Tabel berikut ini :
Tabel 3.18 Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana(IPt)
Klasifikasi Jalan
Lokal Kolektor Arteri Bebas hambatan
1,0 1,5 1,5 1,5 2,0 -
1,5 1,5 2,0 2,0 -
1,5 2,0 2,0 2,0 2,5 -
- 2,0 2,5 2,5 2,5
Sumber : Pedoman Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur SNI Pt-T-01-2002-B
Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur
rencana(IPo) perlu diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada
awal umur rencana sesuai dengan table berikut :
Tabel 3.19 Indeks permukaan pada awal umur rencana(IPo)
Ketidakrataan *) (IRI,
Jenis Lapis Perkerasan IP0
m/km)
LASTON >4 <1,0
3,9 3,5 > 1,0
LASBUTAG 3,9 3,5 <2,0
3,4 3,0 > 2,0
LAPEN 3,4 3,0 <3,0
2,9 2,5 > 3,0
55
Alat pengukur ketidakrataan yang dipergunakan dapat berupa roughometer NAASRA,
Bump Itegrator, dll.Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur SNI Pt-T-
01-2002-B
f. Koefisien Kekuatan Relative (a)
Pedoman ini memperkenalkan korelasi antara koefisien kekuatan
relatif dengan nilai mekanistik, yaitu modulus resilien.
Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi
Koefisien Kekuatan Relatif dikelompokkan ke dalam 5 katagori, yaitu :
beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi granular (granular base),
lapis pondasi bawah granular (granular subbase), cement-treated base
(CTB), dan asphalt-treated base (ATB).
56
g. Batas-batas minimum tebal lapis perkerasan
Pada saat menentukan tebal lapis perkerasan, perlu
dipertimbangkan keefektifannya dari segi biaya, pelaksanaan
konstruksi dan batasan pemeliharaan untuk menhindari kemungkinan
dihasilkannya perencanaan yang tidak praktis dari segi keefektifan
biaya. Perencanaan yang secara ekonomis optimum adalah apabila
dipergunakan tebal lapis pondasi minimum seperti dalam table berikut:
Lapis pondasi
Lalu-lintas (ESAL) Beton Aspal LAPEN LASBUTAG
agregat
57
h. Koefisien kekuatan relative untuk Overlay
Untuk perhitungan lapis tambah (Overlay) kekuatn struktur
perkerasan lama (existing pavement) dinilai dengan tabel berikut ini:
Tabel 3.21 Koefisien kekuatan relative
BAHAN KONDISI PERMUKAAN Koefisienk
ekuatan
relatif (a)
Lapis Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya 0.35 0.40
Beton aspal
permukaan terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.25 0.35
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.20 0.30
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.14 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau 0.08 0.15
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis pondasi Terdapat sedikit atau sama sekali tidak terdapat retak kulit buaya dan/atau hanya 0.20 0.35
yang
distabilisasi terdapat retak melintang dengan tingkat keparahan rendah
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 0.25
<5% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan rendah dan/atau 0.15 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau
>5-10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan sedang dan/atau 0.10 0.20
<10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan sedang dan tinggi
0.08 0.15
>10% retak kulit buaya dengan tingkat keparahan tinggi dan/atau
>10% retak melintang dengan tingkat keparahan tinggi
Lapis pondasi Tidak ditemukan adanya pumping, degradation, or contamination by 0.10 0.14
atau pondasi
lapis fines.
bawah
granular
Terdapat pumping, degradation, or contamination by fines 0.00 0.10
Sumber: Pedoman Perencanaan tebal perkerasan lentur SNI Pt-T-01-2002-B
58
59