Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

Skizofrenia, yang menyerang kurang lebih 1 persen populasi, biasanya


bermula di bawah usia 25 tahun, berlangsung seumur hidup, dan mengenai orang
dari semua kelas sosial. Baik pasien maupun keluarga sering mendapatkan
pelayanan yang buruk dan pengasingan sosial karena ketidaktahuan yang meluas
akan gangguan ini. Meski didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit
tunggal, skizofrenia mungkin terdiri dari sekumpulan gangguan dengan etiologi
yang heterogen dan mencakup pasien dengan presentasi klinis, respon terhadap
terapi dan perjalanan penyakit yang bervariasi. Klinis seyogianya menyadari
bahwa diagnosis skizofrenia sepenuhnya didasarkan pada riwayat psikiatri dan
pemeriksaan status mental. Tidak ada uji laboratorium untuk skizofrenia.1
Besarnya masalah klinis skizofrenia secara terus-menerus telah menarik
perhatian tokoh-tokoh utama psikiatri dan neurologi sepanjang sejarah gangguan
ini. Dua tokoh tersebut adalah Emil Kraepelin (1856-1926) dan Eugen Bleuler
(1857-1939). Sebelumnya, Benedict Morel (1809-1873), seorang psikiater
Perancis, menggunakan istilah demence precoce untuk pasien dengan penyakit
yang dimulai pada masa remaja yang mengalami perburukan; Karl Ludwig
Kahlbaum (1828-1899) menggambarkan gejala katatonia; Ewold Hacker (1843-
1909) menulis mengenai perilaku aneh pada pasien dengan hebefrenia.1
Kraepelin menerjemahkan istilah demence precoce dari Morel menjadi
demensia prekoks, suatu istilah yang menekankan proses kognitif (demensia) dan
awitan dini (prekoks) yang nyata dari gangguan proses ini. Pasien dengan
demensia prekoks digambarkan memiliki perjalanan penyakit yang membruk
dalam jangka waktu lama dan gejala klinis umum berupa halusinasi dan waham.
Kraepelin membedakan pasien ini dengan mereka yang diklasifikasikan menderita
psikosis manik-depresif yang mengalami episode nyata penyakit yang berselang-
seling dengan periode berfungsi normal. Gejala utama pasien dengan paranoia
adalah waham kejar persisten dan pasien tersebut digambarkan tidak begitu
mengalami perjalanan penyakit demensia prekoks yang memburuk serta gejala

1
intermitan psikosis manik-depresif. Meski Kraepelin telah mengakui bahwa
sekitar 4 persen pasiennya sembuh sempurna dan 13 persen mengalami remisi
yang signifikan, para peneliti dikemudian hari seringkali salah menyatakan bahwa
krepelin menganggap demensia prekoks memiliki perjalanan penyakit dengan
perburukan yang tak terhindarkan.1
Bleuler mencetuskan istilah skizofrenia, yang menggantikan demensia
prekoks dalam literatur. Ia memilih istilah tersebut untuk menunjukkan adanya
skisme (perpecahan, pen) antara pikira, emosi dan perilaku pada pasien dengan
gangguan ini. Bleuler menekankan bahwa, tak seperti konsep Kraepelin tentang
demensia prekos, skizofrenia tak harus memiliki perjalanan penyakit yang
memburuk. Sebelum dipublikasikannya edisi ketiga Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders (DSM-III), insiden skizofrenia di Amerika Serikat
(dengan para psikiater mengikuti prinsip Bleuler) meningkat hingga mungkin
mencapai dua kali insidensi di Eropa (dengan para psikiater mengikuti prinsip
Kraepelin). Setelah DSM-III diterbitkan, diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat
beralih ke konsep Kraepelin. Namun, istilah skizofrenia dari Bleuler menjadi label
yang diterima secara internasional untuk gangguan ini. Istilah ini sering
disalahartikan, terutama oleh orang awam, sebagai kepribadian ganda.
Kepribadian ganda, kini disebut gangguan identitas disosiatif, dikategorikan
dalam DSM-IV-TR sebagai gangguan disosiatif dan oleh sebab itu sepenuhnya
berbeda dengan skizofrenia.1
Bleuler mengidentifikasi gejala fundamental (atau primer) skizofrenia
yang spesifik untuk membangun teori mengenai perpecahan mental internal pada
pasien. Gejala tersebut meliputi gangguan asosiasi, khususnya kelonggaran;
gangguan afektif, autisme, dan ambivalensi, yang dirangkum menjadi empat A :
asosiasi, afek, autisme dan ambivalensi. Bleuler juga mengidentifikasi gejala
asesoris (sekunder), yang banyak menambah pemahaman mengenai skizofrenia.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Skizofrenia


Skizofrenia adalah suatu deskripsi sindrom dengan variasi penyebab
(banyak diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronik atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya. Pada umumnya ditandai
oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari pikiran dan persepsi,
serta oleh afek yang tidak wajar (inapropriate) or tumpul (blunted). Kesadaran
yang jernih (clear consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya
terpelihara, walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.2
Skizofrenia adalah suatu psikosa fungsional dengan gangguan utama pada
proses berpikir serta disharmoni (perpecahan, keretakan) antara proses berpikir,
afek /emosi, kemauan dan psikomotor disertai distorsi kenyataan, terutama karena
waham dan halusinasi; asosiasi terbagi-bagi sehingga timbul inkoherensi, afek dan
emosi menjadi inadekuat, spikomotor menunjukkan penarikan diri, ambivalensi
dan perilaku bizar.3
2.2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen,
yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia
selama masa hidupnya. Studi epidemiologic Catchment Area (ACA) yang di
sponsori National Institute of Mental Health (NIMH) melaporkan prevalensi
seumur hidup sebesar 0,6 sampai 1,9 persen. Menurut DSM-IV-TR, insiden
tahunan skizofrenia berkisar antara 0,5 sampai 5,0 per 10.000 dengan beberapa
variasi geografik (cth., insidens lebih tinggi pada orang yang lahir di daerah
perkotaan di negara maju). Skizofrenia ditemukan pada semua masyarakat dan
area geografis dan angka insidens serta prevalensinya secara kasar merata di
seluruh dunia. Di AS, kurang lebih 0,05 persen populasi total menjalani
pengobatan untuk skizofrenia setiap tahun dan hanya sekitar setengah dari semua

3
pasien skizofrenia mendapatkan pengobatan, meskipun penyakit ini termasuk
berat.1

Populasi Prevalensi (%)


Populasi umum 1,0
Saudara kandung bukan kembar 8,0
pasien skizofrenia
Anak dengan salah satu orangtua 12,0
penderita skizofrenia
Kembaran dizigotik pasien skizofrenia 12,0
Anak yang kedua orangtuanya 40,0
menderita skizofrenia
Kembaran monozigotik pasien 47,0
skizofrenia

Tabel 2.1. Prevalensi Skizofrenia pada populasi spesifik1

a. Gender dan usia


Skizofrenia setara prevalensinya pada pria dan wanita. Namun, kedua jenis
kelamin tersebut berbeda awitan dan perjalanan penyakitnya. Awitan terjadi lebih
dini pada pria dibandingkan wanita. Lebih dari separuh pasien skizofrenik pria
namun hanya sepertiga dari semua pasien skizofrenik wanita pertama kali dirawat
di rumah sakit psikiatri sebelum usia 25 tahun. Usia puncak awitan adalah 8
sampai 25 tahun untuk pria dan 25 sampai 35 tahun untuk wanita. Tidak seperti
pria, wanita menunjukkan dua puncak distribusi usia dengan puncak kedua terjadi
pada usia paruh baya. Kurang lebih 3 sampai 10 persen wanita mengalami awitan
penyakit di atas 40 tahun. Hampir 90 persen pasien yang menjalani pengobatan
skizofrenia berusia antara 15 dan 55 tahun. Awitan skizofrenia dibawah usia 10
tahun atau diatas usia 60 tahun sangat jarang. Sejumlah studi mengindikasikan
bahwa pria lebih cenderung mengalami hendaya akibat gejala negatif daripada
wanita dan bahwa wanita lebih cenderung mengalami memiliki kemampuan

4
fungsi sosial yang lebih baik daripada pria sebelum awitan penyakit. Secara
umum, hasil akhir pasien skizofrenik wanita lebih baik dibanding hasil akhir
pasien skizofrenik pria. Bila awitan terjadi setelah usia 45 tahun, gangguan ini
dicirikan sebagai skizofrenia awitan lambat.1
b. Infeksi dan musim saat lahir
Suatu temuan yang kuat dalam penelitian skizofrenia adalah bahwa orang-
orang yang mengalamai skizofrenia kemungkinan besar dilahirkan di musim
dingin dan awal musim semi dan lebih jarang yang dilahirkan pada akhir musim
semi dan musim panas. Dibelahan bumi utara, termasuk Amerika Serikat, orang
dengan skizofrenia lebih sering dilahirkan pada bulan Januari sampai April. Di
belahan bumi selatan, orang dengan skizofrenia lebih sering dilahirkan pada bulan
Juli sampai September. Satu hipotesis menyatakan bahwa faktor resiko spesifik-
musim, seperti virus atau perubahan musiman dalam diet, mungkin berlaku dalam
hal ini.1
Hipotesis viral mencakup slow virus, retrovirus dan reaksi autoimun yang
diaktifkan virus. Beberapa studi menunjukkan bahwa frekuensi skizofrenia
meningkat setelah pajanan terhadap influenza yang terjadi di musim dingin
selama trimester kedua kehamilan. Hipotesis lain adalah bahwa orang dengan
predisposisi genetik terhadap skizofrenia mengalami penurunan keuntungan
biologis untuk bertahan dari cobaan spesifik-musim.1
c. Distribusi geografik
Skizofrenia tidak terdistribusi secara merata di seluruh penjuru Amerika
Serikat maupun dunia. Secara historis, prevalensi skizofrenia di bagian timur laut
dan barat Amerika Serikat lebih besar daripada di daerah lain, meski distribusi
yang tidak merata ini telah terkikis. Sejumlah regio geografis bumi, seperti
Irlandia, memiliki prevalensi skizofrenia yang luar biasa tinggi dan para peniliti
menginterpretasikan kantung skizofrenia geografis ini sebagai kemungkinan
dukungan terhadap teori kausa skizofrenia infektif(contohnya, viral).1
d. Faktor reproduktif
Penggunaan obat psikoterapeutik, kebijakan terbuka di rumah sakit,
deinstitusionalisasi di rumah sakit pemerintah, penekanan pada rehabilitasi dan

5
perawatan berbasis masyarakat untuk pasien skizofrenia, semuanya telah
menyebabkan peningkatan angka pernikahan dan kesuburan di antara pasien
skizofrenia. Akibat faktor tersebut, jumlah anak yang dilahirkan dari orangtua
skizofrenik terus meningkat. Angka kesuburan pasien skizofrenik mendekati
angka populasi umum. Terdapat hubungan antara angka ksuburan dengan
transmisi genetik. Keluarga biologis derajat pertama pasien skizofrenik memiliki
risiko terkena penyakit sepuluh kali lebih besar dibanding populasi umum.1
e. Penyakit medis
Orang dengan penyakit skizofrenia memiliki angka kematian akibat
kecelakaan dan penyebab alami yang lebih tinggi daripada populasi umum.
Variabel terkait institusi atau terikat pengobatan tidak dapat menjelaskan angka
kematian yang meningkata, namun angka yang lebih tinggi terseebut mungkin
berhubungan dengan kenyataan bahwa diagnosis dan pengobatan untuk penyakit
medis dan bedah pada pasien skizofrenik merupakan suatu tantangan klinis
tersendiri. Sejumlah studi menunjukkan bahwa hingga 80 persen dari semua
pasien skizofrenik mengalami penyakit medis yang signifikan pada saat yang
bersamaan dan bahwa hingga 50 persen kondisi ini mungkin tidak terdiagnosis.1
f. Risiko bunuh diri
Bunuh diri merupakan penyebab utama kematian pada orang yang
menderita skizofrenia. Taksirannya bervariasi, namun hingga 10 persen orang
dengan skizofrenia mungkin meninggal akibat percobaan bunuh diri. Meski risiko
bunuh diri lebih besar pada orang dengan skizofrenia dibanding populasi umum,
sejumlah faktor risiko seperti jenis kelamin pria, berkulit putih dan mengalami
pengasingan sosial setara pada kedua kelompok. Faktor-faktor seperti penyakit
depresif, riwayat percobaan bunuh diri, pengangguran, dan penolakan yang baru
terjadi juga meningkatkan risiko bunuh diri pada kedua populasi Studi terdahulu
telah menunjukkan faktor risiko lain yang unik terdapat pada gangguan ini.
Diantaranya adalah usia muda dan jenis kelamin pria serta mengalami penyakit
kronik dengan eksaserbasi berulang. Perjalanan penyakit pascarawat inap dengan
kadar psikopatologi dan hendaya fungsional yang tinggi meningkatkan risiko
bunuh diri. Sebagai tambahan, orang yang memiliki kesadaran realistis akan efek

6
perburukan penyakit ini serta pengkajian diluar waham akan penurunan mental,
ketidakberdayaan, ketergantungan yang tinggi terhadap pengobatan atau
hilangnya kepercayaan akan pengobatan di masa yang akan datang juga
meningkatkan risiko bunuh diri pada orang dengan skizofrenia.1
Risiko kematian terutama tinggi pada usia muda, selama periode
pascarawat inap diri, dan pada awal perjalanan penyakit, meski risiko ini menetap
seumur hidup pasien. Faktor risiko yang teridentifikasi pada studi terdahulu
mungkin berguna untuk mengkaji risiko bunuh diri akut pada individu spesifik.
Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memahami secara lebih baik faktor risiko
yang paling bersifat prediktif akan kemungkinan bunuh diri pada orang dengan
skizofrenia di masa yang akan datang serta intervensi yang paling bermanfaat
untuk mencegah bunuh diri.1
g. Penggunaan zat
Merokok kretek
Sebagian besar survei telah melaporkan bahwa lebih dari tiga perempat
persen pasien skizofrenia merokok kretek, dibanding kurang dari setengah pasien
psikiatri lain secara keseluruhan. Selain risiko kesehatan yang telah dikenal baik
berkaitan dengan merokok, merokok kretek mempengaruhi aspek lain perawatan
pasien skizofrenik. Sejumlah studi melaporkan bahwa merokok kretek berkaitan
dengan penggunaan obat antipsikotik dalam dosis yang lebih tinggi, mungkin
karena merokok kretek meningkatkan laju metabolisme obat-obatan tersebut.
Dilain pihak, merokok kretek dikaitkan dengan penurunan parkinsonisme terkait
obat antipsikotik, mungkin karena aktivasi neuron dopamin yang bergantung
nikotin. Studi terkini menunjukkan bahwa nikotin dapat menurunkan gejala
positif, seperti halusinasi, pada pasien skizofrenik karena efeknya terhadap
reseptor nikotin diotak yang mengurangi persepsi stimulus luar, khususnya
bising.1
Zat lain
Komorbiditas skizofrenia dengan gangguan terkait zat lain lazim dijumpai,
meski dampak penyalahgunaan obat pada pasien skizofrenik masih belum jelas.
Kurang lebih 30 sampai 50 persen pada skizofrenia mungkin memenuhi kriteria

7
penyalahgunaan atau ketergantungan alkohol; dua zat lain yang paling sering
digunakan adalah kanabis (kurang lebih 15 sampai 25 persen) dan kokain (sekitar
5 sampai 10 persen). Pasien melaporkan bahwa dirinya menggunakan zat tersebut
untuk memperoleh kenikmatan dan mengurangi depresi dan ansietas. Sebagian
besar studi mengaitkan komorbiditas gangguan terkait zat pada pasien yang
mengalami skizofrenia dengan prognosis buruk.1
h. Faktor Populasi
Prevalensi skizofrenia senantiasa berkolerasi dengan kepadatan populasi
lokal di kota dengan populasi lebih dari 1 juta orang. Korelasi ini lebih lemah
dikota yang berpenduduk 100.000 sampai 500.000 orang dan tidak terdapat di
kota dengan penduduk kurang dari 10.000 orang. Efek kepadatan penduduk
sejalan dengan pengamatan bahwa insiden skizofrenia pada anak dengan salah
satu atau kedua orangtua skizfrenik dua kali lebih tinggi di perkotaan dibanding
masyarakat pedesaan. Pengamatan ini menyatakan bahwa stresor sosial di suasana
perkotaan mempengaruhi timbulnya skizofrenia pada orang yang berisiko.1
i. Faktor sosioekonomi dan kultural
Skizofrenia terdapat pada semua kebudayaan dan kelompok status
sosioekonomi. Di negara maju, jumlah pasien skizofrenik yang tidak seimbang
berada pada kelompok sosioekonomi lemah, suatu pengamatan yang dijelaskan
oleh dua hipotesis alternatif. Hipotesis aliran menurun (downward drift)
menyatakan bahwa orang yang terkena bergeser ke, atau gagal berpindah dari,
kelompok sosioekonomi lemah akibat penyakit ini. Hipotesis penyebab sosial
menyatakan bahwa stres yang dialami anggota kelompok sosioekonomi lemah
berperaan dalam timbulnya skizofrenia.1
Sejumlah peneliti menyajikan data yang mengindikasikan bahwa, selain
stres industrialisasi sebagai kausa skizofrenia, stres imigrasi juga dapat
menyebabkan kondisi lir-skiofrenia. Beberapa melaporkan prevalensi skizofrenia
yang tinggi pada imigran baru, suatu temuan yang melibatkan perubahan budaya
mendadak sebagai stresor yang terlibat dalam kausa skizofrenia. Hali yang
mungkin sejalan dengan kedua hipotesis tersebut adalah pengamatan bahwa

8
prevalensi skizofrenia meningkat diantara populasi Dunia Ketiga seiring
meningkatnya kontak dengan kebudayaan yang telah maju tekonologinya.1
Para pembuat teori yang mendukung kausa sosial untuk skizofrenia
berpendapat bahwa kebudayaan dapat bersifat lebih atau kurang skizofrenogenik,
bergantung persepsi penyakit mental pada kebudayaan yang bersangkutan, sifat
peran pasien, sistem dukungan sosial dan keluarga, serta kompleksitas komunikasi
sosial. Skizofrenia telah dilaporkan bersifat lebih jinak secara prognostik di
negara berkembang yang pasiennya mengalami reintegrasi ke masyarakat dan
keluarga secara lebih sempurna dibanding mereka di masyarakat Barat yang telah
sangat maju.1
Ekonomi
Biaya finansial penyakit ini di Amerika Serikat di perkirakan melampaui
biaya semua kanker bila digabungkan; penyakit ini bermula pada awal kehidupan,
menyebabkan hendaya yang signifikan dan bertahan lama; membuat tuntutan
perawatan rumah sakit yang berat; serta membutuhkan perawatan rawat jalan,
rehabilitasi, dan layanan dukungan terus-menerus; kurang lebih 1 persen
pendapatan nasional dialokasikan untuk pengobatan penyakit mental (tidak
termasuk gangguan terkait zat). Skizofrenia mengambil sekitar 2,5 persen seluruh
biaya pelayanan kesehatan. Jumlah biaya pengobatan dan biaya tidak langsung
untuk masyarakat (sebagai contoh, hilangnya produktivitas serta mortalitas)
mencapai hampis $50 miliar per tahun. Kurang lebih 75 persen orang dengan
skizofrenia berat tidak mampu bekerja dan menjadi penganggur.1
Rawat inap
Berkembangnya obat antipsikotik yang efektif serta perubahan sikap
politik dan populer terhadap pengobatan dan hak orang yang sakit mental telah
menghasilkan perubahan dramatis dalam pola rawat inap untuk pasien skizofrenik
selama 50 tahun belakangan. Probabilitas untuk kembali menjalani rawat inap
dalam waktu 2 tahun setelah dipulangkan dari rawat inap pertama berkisar antara
40 dan 60 persen. Pasien skizofrenia menempati hampir 50 persen dari seluruh
tempat tidur di rumah sakit jiwa dan mencakup kurang lebih 16 persen dari semua
pasien psikiatri yang menjalani pengobatan. Masalah tunawisma di kota besar

9
tampaknya berhubungan dengan deinstitusionalisasi pasien skizofrenik yang tidak
dipantau secara adekuat. Meski persentase persis para tunawisma yang skizofrenik
sulit diperoleh, diperkirakan sepertiga sampai dua pertiga tunawisma mungkin
mengalami skizofrenia.1
2.3. Etiologi
Skizofrenia didiskusikan seolah-olah sebagai suatu penyakit tunggal
namun kategori diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan, mungkin dengan
kausa yang heterogen, tapi dengan gejala perilaku yang sedikit banyak serupa.
Pasien skizofrenia menunjukkan presentasi klinis, respon terhadap terapi, dan
perjalanan penyakit yang berbeda-beda.1
Model diastesis-stres
Menurut model diastesi-sters terhadap integrasi faktor biologis, psikososial
dan lingkungan, seseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diastesis) yang
bila diaktifan oleh pengaruh yang penuh tekanan, memungkinkan timbulnyagejala
skizofrenia. Pada model diastesi-stres yang paling umum, diastesis atau stres
dapat berupa stres biologis, lingkungan atau keduanya. Komponen lingkungan
dapat bersifat biologis (contohnya, infeksi) atau psikologis (contohnya, situasi
keluarga yang penuh tekanan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis
diastesis dapat terbentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti
penyalahgunaan zat, stres psikososial dan trauma.1
Neurobiologi
Kausa skizofrenia belum diketahui. Meski demikian, dalam satu dekade
belakangan, terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya
peran patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistim limbik, korteks frontal,
serebelum dan ganglia basalis. Keempat area ini saling berhubungan sehingga
disfungsi satu area dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain.
Pencitraan otak manusia hidup dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak
postmortem menyatakan sistem limbik sebagai lokasi potensial proses patologi
primer pada setidaknya beberapa, bahkan mungkin sebagian besar, pasien
skizofrenik.1

10
Dua area yang menjadi subyek, penelitian aktif adalah waktu ketika suatau
lesi neuropatologi terlihat di otak serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial
dan lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin terletak pada
pembentukan abnormal (contohnya, migrasi abnormal neuron di sepanjang sel
glia radial selama pembentukan) atau pada degenerasi neuron setelah
pembentukan (sebagai contoh, kematian sel terprogram yang terlalu dini, seperti
yang tampak pada penyakit Huntington). Namun, fakta bahwa kembar
monozigotik memiliki angka kejadian bersama sebesar 50 persen menyiratkan
adanya interaksi yang masih sangat sedikit diketahui antara lingkungan dan
timbulnya skizofrenia. Dilain pihak, faktor yang mengatur ekspresi gen baru
mulai dipahami. Meski kembar monozigomatik mempunyai informasi genetik
yang sama, regulasi gen yang berbeda sepanjang hidup mungkin menyebabkan
salah satu kembar monozigomatik mengalaami skizofrenia, sementara
kembarannya tidak.1
Hipotesis dopamin
Rumusan paling sederhana hipotesis dopamin tentang skizofrenia
menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang
berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama,
kamnjuran serta potensi sebagian besar obat antipsikotik (yaitu, antagonis reseptor
dopamin) berkolerasi dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis
reseptor dopamin D2. Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik,
yang terkenal adalah amfetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak
menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin
yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor
dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut. Jalur dopamin di
otak yang terlibat juga tidak dirinci dalam teori ini, meski jalur mesokortikal dan
mesolimbik paling sering disebut. Neuron dopaminergik di jalur tersebut menjulur
dari badan sel di mesensefalon ke neuron dopaminoseptif di sitem limbik dan
korteks serebri.1
Peran signifikan dopamin dalam patofisiologi skizofrenia sejalan dengan
studi yang mengukur konsentrasi plasma metabolit utama dopamin, asam

11
homovanilat. Sejumlah studi pendahuluan mengindikasikan bahwa pada kondisi
eksperimental yang terkontrol secara seksama, konsentrasi asam homovanilat
plasma dapat menggambarkan konsentrasi asam homovanilat di sistem saraf
pusat. Studi tersebut melaporkan adanya korelasi positif antara konsentrasi asam
homovanilat prapengobatan yang tinggi dan dua faktor : keparahan gejala psikotik
dan repons pengobatan terhadap obat antipsikotik. Studi mengenai asam
homovanilat juga melaporkan bahwa setelah peningkatan sesaat, konsentrasi asam
homovanilat plasma akan terus menurun. Penurunan ini berkolerasi dengan
perbaikan gejala pada setidaknya beberapa pasien. Hipotesis dopamin tentang
skizofrenia terus diperbarui dan diperluas, dan reseptor dopamin baru terus
diidentifikasi.Satu studi melaporkan peningkatan reseptor D4 pada sampel otak
posmortem pasien skizofrenik.1
Neurotansmiter lain
Meski neurotransmiter dopamin telah menjadi pusat perhatian sebagian
besar penelitian skizofrenia, terdapat peningkatan perhatian yang ditujukan
kepada neurotransmiterlain, stidaknya atas dua alasan. Pertama, karena
skizofrenia cenderung merupakan gangguan yang heterogen, terdapat
kemungkinan bahwa abnormalitas pada neurotransmiter yang berbeda dapat
menimbulkan sindrom perilaku yang sama. Sebagai ontoh, zat halusinogenik yang
mempengaruhi serotonin, seperti asam lisergat dietilamid, dan zat yang
mempengaruhi dopamin dalam dosis tingi, seperti amfetamin, dapat menyebabkan
gejala psikotik yang sulit dibedakan skizofrenia. Kedua, penelitian neurosains
menunjukkan bahwa suatu neuron tunggal dapat mengandung lebih dari satu
neurotransmiter untuk setengah lusin neurotransmiter lainnya. Dengan demikian,
berbagai neurotransmiter di otak terlibat dalam hubungan interaksional yang
kompleks, dan fungsi yang abnormal dapat timbul akibat perubahan pada satu
neurotransmiter yang manapun.1
Serotonin
Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia
sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan bahwa obat antagonis
serotonin-dopamin (SDA) (contohnya, klozapin, risperidon, sertindol) memiliki

12
aktivitas terkait serotonin yang poten. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor
5-HT2 serotonin ditekankan sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi
gejala psikotik dan meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait
antagonisme D2. Pemeriksaa profil afinitas reseptor untuk masing-masing
antagonis serotonin-dopamin menunjukkan tidak adanya pola atau rasio aktivitas
yang seragam selain afinitasnya terhadap reseptor 5-HT2 serotonin yang lebih
tinggi dibanding terhadap reseptor D2. Klozapin memiliki afinitas tertinggi untuk
resptor histamin, sementara kuetiapin paling erat berkaitan dengan reseptor
adrenergik , dan ziprasidon merupakan satu-satunya anggota kelompok tersebut
yang berinteraksi kuat dengan reseptor 5-HT1. Afinitas terhadap reseptor 5-HT2
dan D2 bervariasi dengan kisaran lebih dari 100 kali lipat dalam kelas obat ini.
Meski demikian, masing-masing merupakan agen antipsikotik yang lebih efektif
daripada ratusan senyawa terkait yang hanya berbeda sedikit afinitasnya. Oleh
sebab itu, tampaknya berbagai sistem neurotransmiter berinteraksi dalam suatu
keseimbangan tertentu untuk mengatur tanda dan gejala skizofrenia dan, lebih
lanjut, bahwa obat antipsikotik dapat memodulasi sirkuit ini dengan mengacaukan
secara samar salah satu dari beberapa sistem neurotransmiter tersebut. Seperti
yang diisyaratkan pada penelitian mengenai mood, aktivitas serotonin dianggap
terlibat dalam perilaku impulsif dan bunuh diri yang juga dapat tampak pada
pasien skizofrenik.1
Norepinefrin
Sejumlah peneliti melaporkan bahwa pemberian obat antipsikotik jangka
panjang menurunkan aktivitas neuron noradrenergik di lokus seruleus dan bahwa
efek terapeutik beberapa obat antipsikotik mungkin melibatkan aktivitasnya pada
reseptor adrenergik- dan adrenergik-2. Meski hubungan antara aktivitas
dopaminergik dan noradrenergik masih belum jelas, terdapat peningkatan jumlah
data yang menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem
dopaminergik dalam suatu cara sehingga abnormalitas sistem noradrenergik
mempredisposisikan pasien untuk mengalami relaps yang sering.1

13
Asam -aminobutirat (GABA)
Neurotransmiter asam amino inhibitorik, Asam aminobutirat (GABA)
juga dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan
dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan
neuron GABAnergik di hipokampus. Hiangnya neuron GABAnergik inhibitorik
secara teoritis dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan
noradrenergik.1
Glutamat
Hipotesis yang diajukan tentang glutamat mencakup hiperaktivitas,
hipoaktivitas dan neurotoksisitas terinduksi glutamat. Glutamat dilibatkan karena
ingesti akut fensiklidin, suatu antagonis glutamat, menimbulkan sindrom yang
menyerupai skizofrenia.1
Neuropeptida
Dua neuropeptida, kolesistokinin dan neurotensin, ditemukan di sejumlah
regio otak yang terlibat dalam skizofrenia. Konsentrasinya mengalami perubahan
pada keadaan psikotik.1
Neuropatologi
Pada abad ke-19, ahli neuropatologi tidak mampu menemukan dasar
neuropatologi skizofrenia sehingga mereka mengklasifikasikan skizofrenia
sebagai gangguan fungsional. Namun, pada akhir abad ke-20, para peneliti
membuat suatu langkah signifikan dalam mengungkap dasar neuropatologi
potensial skizofrenia, terutama dalam sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk
abnormalitas neuropatologi atau neurokimiawi di korteks serebri, talamus, dan
batang otak. Berkurangnya volume otak yang dilaporkan secara luas terdapat pada
otak skizofrenik tampaknya merupakan akibat berkurangnya kepadatan akson,
dendrit dan sinaps yang memperantarai fungsi asosiatif otak. Densitas sinaptik
paling tinggi pada usia 1 tahun, kemudian menurun hingga mencapai nilai dewasa
pada awal masa remaja. Satu teori, yang sebagian didasarkan pada pengamatan
bahwa pasien sering menunjukkan gejala skizofrenik selama masa remaja,
menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat pemangkasan sinaps yang berlebihan
selama fase perkembangan ini.1

14
Sistem limbik
Berkat perannya dalam pengendalian emosi, sistem limbik di hipotesiskan
terlibat dalam dasar neuropatologi skizofrenia. Bahkan, area otak ini terbukti
menjadi subyek studi neuropatologi paling subur untuk skizofrenia. Banyak studi
sampel otak skizofrenik posmortem yang terkontrol baik menunjukkan adanya
pengurangan ukuran regio yang meliputi amigdala, hipokampus, dan girus
parahipokampus. Temuan neuropatologi ini sejalan dengan pengamatan yang
diambil dari studi pencitraan resonansi magnetik (MRI) pasien skizofrenia.
Dilaporkan pula adanya disorganisasi neuron di dalam hipokampus pasien
skizofrenik.1
Ganglia basalis
Ganglia basalis telah menjadi pusat perhatian teoritis skizofrenia
setidaknya untuk dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenia menunjukkan
gerakan aneh, bahkan saat tidak ada gangguan pergerakan terinduksi obat
(contohnya, diskinesia tarda). Gerakan aneh tersebut dapat mencakup cara
berjalan yang ganjil, seringai wajah dan streotipi. Karena ganglia basalis terlibat
dalam pengendalian gerakan, penyakit pada ganglia basalis disangkutpautkan
dalam patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologis yang
mungkin memiliki psikosis sebagai gejala terkait, gangguan pergerakan yang
melibatkan ganglia basalis (sebagai contoh, penyakit Huntington) adalah salah
satu yang paling sering dikaitkan dengan psikosis pada pasien yang terkena. Lebih
lanjut, ganglia basalis berhubungan secara timbal balik dengan lobus frontalis dan
abnormalitas fungsi lobus frontal yang terlihat pada sejumlah studipencitraan otak
mungkin disebabkan penyakit di ganglia basalis daripada di lobus frontal sendiri.1
Studi neuropatologi tentang ganglia basalis menghasilkan laporan yang
beragam dan inkonklusif mengenai hilangnya sel atau reduksi volume globus
palidus dan substansia nigra. Sebaliknya, banyak studi yang menunjukkan adanya
peningkatan jumlah reseptor D2 di nukleus kaudatus, putamen dan nukleus
akumbens. Namun, pertanyaan yang tetap belu terjawab adalah apakah
peningkatan tersebut terjadi sekunder setelah pasien menerima pengobatan
antipsikotik. Sejumlah peneliti telah mulai mempelajari sistem serotonergik di

15
ganglia basalis; suatu peran serotonin dalam gangguan psikotik diusulkan
berdasarkan kegunaan klinis obat antipsikotik dengan aktivitas serotonergik
(contohnya, klozapin, risperidon).1
Pencitraan neuro
Teknik pencitraan otak kini memungkinkan peneliti membuat pengukuran
neurokimiawi atau fungsi otak spesifik pada pasien hidup. Meski demikian,
kalkulasi data yang diperoleh dari mesin pencitraan otak dihitung berdasarkan
banyak asumsi dan perbedaan model matematis antara dua kelompok penelitian
berpotensi menjurus ke kesimpulan yang berbeda tentang data yang sama.1
Tomografi terkomputerisasi
Studi yang menggunakan tomografi terkomputerisasi (CT) secara
konsisten menunjukkan bahwa otak pasien skizofrenia mengalami pembesaran
ventrikel ketiga dan lateral serta reduksi volume korteks dalam derajat tertentu.
Temuan ini dapat diinterpretasikan sejalan dengan penurunan jumlah jaringan
otak yang biasa pada pasien yang terkena; masih belum diketahui apakah
penurunan ini disebabkan oleh pertumbuhan yang abnormal atau oleh degenerasi.1
Studi CT lain melaporkan asimetri serebri abnormal, berkurangnya volume
serebelum dan perubahan densitas otak pasien skizofrenia. Banyak studi CT
menghubungkan abnormalitas CT scan dengan adanya gejala negatif atau defisit,
hendaya neuropsikiatri, peningkatan tanda neurologis, kekerapan gejala
ekstrapiramidal akibat obat antipsikotik, serta penyesuaian pramorbid yang
buruk.1
Pencitraan resonansi magnetik
Salah satu studi MRI terpenting memeriksa kembar monozigotik yang
hanya salah satunya menderita skizofrenia. Studi tersebut menemukan bahwa
hampir semua kembar yang terkena memiliki ventrikel serebri yang lebih besar
dibanding kembar yang tidak terkena, meski ventrikel serebri sebagian besar
kembar yang terkena masih termasuk kisaran normal.1
Sejumlah laporan menunjukkan bahwa volume kompleks hipokampus-
amigdala dan girus parahipokampus berkurang pada pasien skizofrenia. Salah satu
studi terkini menemukan penurunan area otak di hemisfer kiri dan tidak di kanan,

16
meski studi lain menemukan adanya pengurangan volume bilateral. Beberapa
studi menghubungkan berkurangnya volume sistem limbik dengan derajta
psikopatologi atau ukuran keparahan penyakit lain. Juga terdapat laporan
perbedaan waktu relaksasi T1 dan T2 pada pasien skizofrenia, terutama yang
diukur di regio frontal dan temporal.1
MRI fungsional
Sejumlah studi yang melibatkan pasien skizofrenia menunjukkan adanya
perbedaan aktivasi korteks sensorimotorik dibanding normal serta penurunan
aliran darah ke lobus oksipital.1
Spektroskopi resonansi magnetik
Satu studi yang menggunakan spektroskopi resonansi magnetik (MRS)
menemukan hipoaktivitas pada korteks prefrontal dorsolateral. Data mengenai
hipoaktivitas regio otak ini mendukung temuan studi pencitraan otak lainnya,
sebagai ontoh, tomografi emisi positron (PET). Temuan lain adalah terdapat
penurunan konsentrasi N-asetil aspartat di hipokampus dan lobus frontal pada
pasien skizofrenia serta di lobus temporal pada orang dengan episode psikosis
pertama. N-asetil aspartat merupakan suatu pertanda neuron.1
Tomografi emisi positron
Satu studi PET menemukan bahwa suatu sampel pasien skizofrenia
memiliki penurunan aktivitas metabolik di bagian anterior kiri talamus
sebagaimana terukur oleh PET [18F]luorodeoksiglukosa dan juga mengalami
pengurangan volume pada area yang sama sebagaimana terukur oleh pemindaian
MRI. Berubahnya arsitektur dan aktivitas talamus mungkin berperan dalam
skizofrenia.1
Tipe kedua studi PET menggunakan ligan radioaktif untuk memperkirakan
kuantitas reseptor D2 yang ada. Dua studi yang paling sering didiskusikan saling
berselisih mengenai hal ini. Satu kelompok melaporkan adanya peningkatan
jumlah reseptor D2 di ganglia basalis, sementara kelompok lain melporkan tidak
ada perubahan jumlah reseptor D2 di ganglia basalis. Kontroversi ini belum
terselesaikan.1

17
Elektrofisiologi terapan
Studi elektroensefalografik mengindikasikan bahwa banyak pasien
skizofrenia memiliki rekaman abnormal, peningkatan sensitivitas terhadap
prosedur aktivasi (contohnya, kekerapan aktivitas lonjakan (spike) setelah kurang
tidur), penurunan aktivitas alfa, peningkatan aktivitas delta dan teta, aktivitas
epileptiform yang mungkin lebih banyak daripada biasanya, dan abnormalitas sisi
kiri yang mungkin lebih banyak daripada yang lazim. Juga terdapat
ketidakmampuan pasien skizofrenia menyaring suara yang tidak relevan dan
menjadi sangat sensitif terhadap bunyi latar. Kebanjiran suara yang timbul
membuat sulit berkonsentrasi dan mungkin menjadi salah satu ffaktor timbulnya
halusinasi auditorik. Sensitivitas terhadap suara ini dapat dikaitkan dengan suatu
defek genetik.1
Epilepsi parsial kompleks
Psikosis lir-skizofrenia dilaporkan terjadi lebih sering dibanding yang
diperkirakan pada pasien dengan kejang parsial kompleks, khususnya kejang yang
melibatkan lobus temporal. Faktor yang dikaitkan dengan timbulnya psikosis pada
pasien tersebut mencakup fokus kejang di sisi kiri, lokasi lesi di temporal medial
dan kejang dengan awitan dini. Gejala peringkat pertama yang digambarkan
Schneider mungkin serupa dengan gejala pasien epilepsi parsial kompleks dan
dapat mencerminkan adanya gangguan lobus temporal bila tampak pada pasien
skizofrenia.1
Potensial bangkitan
Telah dijelaskan adanya sejumlahh besar abnormalitas potensial bangkitan
pasien skizofrenia. P300 adalah yang paling sering diteliti dan didefinisikan
sebagai gelombag potensial bangkitan yang positif dan besar yang terjadi kurang
lebih 300 ms setelah suatu stimulus sensorik terdeteksi. Pada pasien skizofrenia,
P300 secara statistik dilaporkan lebih kecil dan terjadi lebih lambat dibanding
pada kelompok pembanding. Abnormalitas gelombang P300 juga dilaporkan lebih
sering terjadi pada anak-anak yang karna memiliki orangtua yang juga terkena ,
mempunyai risiko skizofrenia yang lebih tinggi. Data potensial bangkitan selama
ini diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa meski pasien skizofrenia sangat

18
sensitif terhadap stimulus sensorik (potensial bangkitan awal yang lebih besar),
mereka mengompensasi peningkatan sensitivitas itu dengan menumpulkan
pemrosesan informasi pada tingkat korteks yang lebih tinggi, seperti yang
ditunjukkan oleh potensial bangkitan akhir yang lebih kecil.1
Disfungsi Pergerakan Mata
Ketidakmampuan mengikuti suatu target visual bergerak secara akurat
merupakan dasar definisi gangguan pencarian visual halus dan disinhibisi
pergerakan sakadik mata yang terlihat pada pasien skizofrenia. Disfungsi
pergerakan mata dapat menjadi petanda khas skizofrenia; disfungsi ini independen
terahadap teori obat dan keadaan klinis serta juga terlihat pada kerabat derajat
pertama pada subjek skizofrenik. Berbagai studi melaporkan pergerakan mata
abnormal pada 50 sampai 85 persen pasien skizofrenia, dibandingkan sekitar 25
persen pada pasien psikiatri nonskizofrenik dan kurang dari 10 persen pada suyek
kontrol yang mengidap sakit nonpsikiatri. Karena pergerakan mata sebagian
dikedalikan pusat-pusat di lobus frontal, gangguan pergerakan mata sejalan
dengan teori yang menyebutkan adanya proses patologi lobus frontal pada
skizofrenia.1
Psikoneuroimunologi
Sejumlah abnormalitas imunologis telah dikaitkan dengan pasien yang
mengalami skizofrenia. Abnormalitas tersebut meliputi penurunan produksi
interleukin 2 sel T, berkurangnya jumlah dan resposivitas limfosit perifer,
reaktivitas selular dan humoral yang abnormal terhadap neuron, serta adanya
antibodi yang memiliki target otak (antiotak). Data ini diinterpretasikan dengan
berbagai cara sebagai cermin efek virus neurotoksik atau gangguan autoimun
endogen. Sebagian besar penyelidikan yang mencari bukti adanya infeksi virus
neurotoksik yang dilakukan dengan sangat teliti menunjukkan hasil negatif, meski
data epidemiologi menunjukkan adanya insidens tinggi skizofrenia setelah
pajanan pranatal terhadap influenza selama beberapa kali epidemi penyakit
tersebut. Data lain yang mendukung hipotesis viral adalah meningkatnya jumlah
anomali fisik saat lahir, meningkatnya angka penyulit kehamilan dan pelahiran.,
kelahiran musiman yang sejalan dengan infeksi virus, pengelompokkan geografis

19
pada kasus dewasa, dan rawat inap musiman. Meski demikian, ketidakmampuan
mendeteksi bukti genetik adanya infeksi virus mengurangi makna semua data
sirkumstansial. Kemungkinan adanya antibodi autoimun otak memiliki sejumlah
data yang mendukung; namun, proses patofisiologinya, bila ada, mungkin hanya
menjelaskan suatu subkelompok populasi dengan skizofrenia.1
Psikoneuro endorinologi
Banyak laporan yang menjabarkan adanya perbedaan neuroendokrin
antara kelompokpasien skizofrenia dengan kelompok subjek kontrol. Sebagai
contoh, uji supresi deksametason dilaporkan abnormal pada berbagai
subkelompok pasien skizofrenia, meski nilai prediktif atau praktis uji tersebut
terhadap skizofrenia telah dipertanyakan. Namun, satu laporan yang dilakukan
dengan seksama mnghubungkan nonsupresi persisten dalam uji supresi
deksametason pada skizofrenia dengan hasil akhir jangka panjang yang buruk.
Sejumlah data menyiratkan adanya penurunan konsentrasi hormon FSH-LH,
mungkin berhubungan dengan usia saat awitan dan lamanya sakit. Dua
abnormalitas tambahan yang dilaporkan mungkin berhubungan dengan timbulnya
gejala negatif : menumpulnya pelepasan prolaktin dan hormon pertumbuhan (GH)
pada stimulasi hormon pelepas gonadotropin (GnRH) atau hormon pelepas
tirotropin (TRH) serta menumpulnya pelepasan hormon pertumbuhan (GH) pada
stimulasi apomorfin.
Faktor genetik
Serangkaian studi genetik secara meyakinkan mengusulkan adanya
komponen genetik dalam pewarisan siat skizofrenia. Pada tahun 1930-an, studi
klasik mengenai genetika skizofrenia menunjukkan bahwa seseorang memiliki
kecenderungan menderita skizofrenia bila terdapat anggota keluarga yang
mengidap gangguan tersebut dan kecenderungan seseorang mengalami skizofrenia
berkaitan dengan kedekatan hubungannya (sebagai contoh, kerabat derajat
pertama atau kedua). Kembar monozigotik memiliki angka kejadian bersama yang
paling tinggi. Pada studi terhadap kembar monozigotik yang diadopsi, kembar
yang dibesarkan orangtua asuh tampak mengalami skizofrenia dalam jumlah yang
sama dengan kembarannya yang dibesarkan orangtua biologisnya. Temuan ini

20
mengemukakan bahwa pengaruh genetik lebih besar daripada pengaruh
lingkungan, suatu temuan yang dikuatkan dengan pengamatan bahwa semakin
parah skizofrenianya, semakin besar kemungkinan kembarannya mengalami
gangguan yang sama. Satu studi menyokong model diastesi-stres dan
menunjukkan bahwa kembar monozigotik yang diadopsi dan kemudian
mengalami skizofrenia ternyata sangat mungkin merupakan anak yang diadopsi
keluarga yang memiliki gangguan psikologis.1
Telah banyak dilaporkan adanya hubungan antara lokasi kromosom dan
skizofrenia sejak penerapan teknik biologi molekuler dilakukan secara luas. Lebih
dari separuh dari seluruh kromosom dikaitkan dengan skizofrenia pada berbagai
laporan, namun lengan panjang kromosom 5, 11 dan 18; lengan pendek
kromosom 19, serta kromosom X paling sering disebut. Lokus pada kromosom 6,
8, dan 22 juga dianggap terlibat.1
2.4. Gejala-gejala
Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk danisi pikiran,
persepsi dan emosi serta perilaku. Berikut ini beberapa gejala yang dapat diamati
pada skizofrenia.3,4
Penampilan dan perilaku umum
Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas skizofrenia. Beberapa
bahkan dapat berpenampilan dan berperilaku normal. Mungkin mereka tampak
berpreokupasi terhadap kesehatan, penampilan badan, agama atau minatnya.3
Pasien dengan skizofrenia kronis cenderung menelantarkan
penampilannya. Kerapian dan higiene pribadi juga terabaikan. Mereka juga
cenderung menarik diri secara sosial.3,4
Gangguan pembicaraan
Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran .
Yang terganggu terutama adalah asosiasi. Asosiasi longgar berarti tidak adanya
hubungan antar ide. Kalimat-kalimatnya tidak saling berhubungan. Kadang-
kadang satu idea belum selesai diutarakan, sudah dikemukakan idea lain. Atau
terdapat pemindahan maksud, misalnya maksudnya tani tetapi dikatakan
sawah. Bentuk yang lebih parah adalah inkoherensi.3,4

21
Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan merah bila
dimaksudkan :berani. Atau terdapat asosiasi bunyi (clang association) oleh
karena pikiran sering tidak mempunyai tujuan tertentu, misalnya piring-miring,
atau ... dulu waktu hari, jah memang matahari, lalu saya lari..... semua ini
menyebabkan bahwa jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat diikuti
dan dimengerti.3,4
Neologisme: kadang-kadang pasien dengan skizofrenia membentuk kata
baru untuk menyatakan arti yang hanya dipahamioleh dirinya sendiri. Mutisme:
sering tampak pada pasien skizofrenia katatonik. Kadang-kadang pikiran seakan-
akan berhenti, tidak timbul idea lagi. Keadaan ini dinamakan blocking, biasanya
berlangsung beberapa detik saja, tetapi kadang-kadang sampai beberapa hari.3,4
Gangguan Perilaku
Salah satu gangguan aktivitas motorik pada skizofrenia adalah gejala
katatonik yang dapat berupa stupor atau gaduh gelisah. Pasien dengan stupor
tidak bergerak, tidak berbicara, dan tidak berespons, meskipun ia sepenuhnya
sadar. Sedangkan pasien dengan katatonik gaduh gelisah menunjukkan aktivitas
motorik yang tidak terkendali. Kedua keadaan ini kadang-kadang terjadi
bergantian. Pada stupor katatonik juga bisa didapati fleksibilitas serea dan
katalepsi. Gejala katalepsi adalah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk
waktu yang lama. Sedangkan fleksibilitas serea adalah bila anggota badan
dibengkokkan terasa suatu tahanan seperti pada lilin atau malam dan posisi itu
dipertahankan agak lama.3,4
Gangguan perilaku lain adalah stereotipi dan manerisme. Berulang-ulang
melakukan suatu gerakan atau mengambil sikap badan tertentu disebut stereotipi.
Misalnya, menarik-narik rambutnya, atau tiap kali bila mau menyuap nasi
mengetuk piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan verbigrasi, kata atau
kalimat diulang-ulangi, hal ini sering juga terdapat pada gangguan otak orgnaik.
Manerisme adalah stereotipi tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam
bentuk grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya berjalan.3,4

22
Negativisme adalah menentang atau justru melakukan yang berlawanan
dengan apa yang disuruh. Otomatisme komando (command automatisme)
sbetulnya merupakan lawan dari negativisme : semua perintah dituruti secara
otomatis, bagaimana ganjil pun. Termasuk dalam gangguan ini adalah ekolalia
(penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain) dan ekhopraxia (penderita
meniru perbuatan atau gerakan orang lain).3,4
Gangguan Afek
Kedangkalan respons emosi (emotional blunting), misalnya penderita
menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal yang penting untuk dirinya sendiri sepertti
keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus sudah hilang. Juga
sering didapati anhedonia. Parathimi: apa yang seharusnya menimbulkan rasa
senang dan gembira, pada penderita timbul rasa sedih atau marah. Paramimi:
penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia menangis. Parathimi dan
paramimi bersama-sama dinamakan incongruity of affect dalam bahasa inggris
dan inadequaat dalam bahasa belanda.3,4
Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai
kesatuan, misalnya sesudah membunuh anaknya penderita menangis berhari-hari,
tetapi mulutnya seperti tertawa. Semua ini merupakan gangguan afek dan emosi
yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek dan emosi lain adalah: emosi
berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat, seperti pada penderita sedang
bersandiwara. Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan
untuk mengadakan hubungan emosi yang baik (emotional rapport). Karena itu
sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita. Karena terpecah-belahnya
kepribadian, maka dua hal yang berlawanan mungkin timbul bersama-sama,
misalnya mencintai dan membenci satu orang yang sama; menangis dan tertawa
tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi afektif.3,4
Sensitivitas emosi : penderita skizofrenia sering menunjukkan
hipersensitivitas terhadap penolakan, bahkan sebelum menderita sakit. Sering hal
ini menimbulkan isolasi sosial untuk menghindari penolakan.3,4

23
Gangguan persepsi
Halusinasi : pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan
kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada
keadaan lain. Paling sering pada skizofrenia adalah halusinasi pendengaran
(auditorik atau akustik) dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau
siulan. Halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi pengecapan (gustatorik) atau
halusinasi rabaan (taktil) jarang dijumpai. Misalnya penderita mencium kembang
ke mana pun ia pergi, atau ada orang yang menyinarinya dengan alat rahasia, atau
ia merasa ada racun di dalam makanannya. Halusinasi penglihatan (optik) agak
jarang pada skizofrenia, lebih sering pada psikosis akut yang berhubungan dengan
sindrom otak organik. Bila terdapat, maka biasanya pada stadium permulaan,
misalnya penderita melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang
menakutkan.3,4
Gangguan pikiran
Waham : padaskizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan
sangat bizar. Penderita tidak menginsafi hal ini dan baginya wahamnya
merupakan fakta yang tidak dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak
mengubah sikapnya yang bertentangan, misalnya penderita berwaham bahwa ia
raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan mau disuruh melakukan
pekerjaan kasar. Mayer-Gross membagi waham dalam 2 kelompok; yaitu waham
primer dan waham sekunder. Mungkin juga terdapat waham sitematis. Ada juga
tafsiran yang bersifat waham (delusional interpretations).3,4
Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab apa-
apa dari luar. Menurut Mayer-Gross hal ini hampir patognomonik buat
skizofrenia. Misalnya waham bahwa istrinya sedang berbuat serong sebab ia
melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita berkata
dunia akan kiamat sebab ia melihat seekor anjing mengangkat kaki terhadap
sebatang pohon untuk kencing.3,4
Waham sekunder biasanya logis kedengarannya : dapat diikuti dan
merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala skizofrenia lain.
Waham dinamakan menurut isinya : waham kebesaran expansif, waham nihilistik,

24
waham kejaran, waham sindiran, waham dosa, dan sebagainya. Waham primer
agak jarang terjadi dan lebih sulit ditentukan dengan pasti. Waham kejaran
(persecutory delusion) sering didapatkan tetapi tidak spesifik untuk skizofrenia.
Waham referensi dan waham kerndali serta waham pikiran sisipan atau pikiran
siaran lebih jarang terjadi tetapi mempunyai arti diagnostik yang lebih besar untuk
skizofrenia.3,4
2.5. Patofisiologi

Sumber gambar :
https://www.google.co.id/search?q=gambar+anatomi+proses+terjadinya+skizofrenia 5
Patofisiologi schizophrenia dihubungkan dengan genetic dan lingkungan.
Faktor genetic dan lingkungan saling berhubungan dalam patofisiologi terjadinya
schizophrenia. Neurotransmitter yang berperan dalam patofisiologinya adalah
DA, 5HT, Glutamat, peptide, norepinefrin. Pada pasien skizoprenia terjadi
hiperreaktivitas system dopaminergik (hiperdopaminergia pada sistem
mesolimbik berkaitan dengan gejala positif, dan hipodopaminergia pada sistem
mesocortis dan nigrostriatal bertanggungjawab terhadap gejala negatif dan
gejala ekstrapiramidal) Reseptor dopamine yang terlibat adalah reseptor
dopamine-2 (D2) yang akan dijumpai peningkatan densitas reseptor D2 pada
jaringan otak pasien skizoprenia. Peningkatan aktivitas sistem dopaminergik pada
sistem mesolimbik yang bertanggung jawab terhadap gejala positif. Sedangkan

25
peningkatan aktivitas serotonergik akan menurunkan aktivitas dopaminergik pada
sistem mesocortis yang bertanggung-jawab terhadap gejala negatif.6
Neurobiologi
Terdapat peningkatan jumlah penelitian yang mengindikasikan adanya
peran patofisiologis area otak tertentu, termasuk sistem limbik, korteks frontal,
serebelum, dan ganglia basalis. Keempat area ini saling terhubung sehingga
disfungsi satu area dapat melibatkan proses patologi primer di tempat lain.
Pencitraan otak manusia hidup dan pemeriksaan neuropatologi jaringan otak
postmortem menyatakan sistem limbik sebagai lokasi potensial proses patologi
primer pada setidaknya beberapa, bahkan mungkin sebagian besar, pasien
skizofrenia.7
Dua area yang menjadi subjek penelitian aktif adalah waktu ketika suatu
lesi neuropatologi terlihat di otak serta interaksi lesi tersebut dengan stresor sosial
dan lingkungan. Dasar penampakan abnormalitas otak mungkin terletak pada
pembentukan abnormal atau pada degenerasi neuron setelah pembentukan.
Namun, fakta bahwa kembar monozigotik memiliki angka kejadian bersama
sebesar 50% menyiratkan adanya interaksi yang masih sangat sedikit diketahui
antara lingkungan dan timbulnya skizofrenia. Di lain pihak, faktor yang mengatur
ekspresi gen baru mulai dipahami. Meski kembar monozigotik mempunyai
informasi genetik yang sama, regulasi gen yang berbeda sepanjang hidup
mungkin menyebabkan salah satu kembar monozigotik mengalami skizofrenia,
sementara kembarannya tidak.7
Neuroanatomik, Neurofungsional, dan Neurokognitif
CT-scan dan MRI secara konsisten menunjukkan peningkatan volume
ventrikel lateral dan ketiga pada pasien skizofrenia. Studi ini umumnya juga
menunjukkan pengurangan volume otak secara keseluruhan pasien skizofrenia
dan pengurangan tertentu dalam ukuran dari struktur lobus temporal medial,
seperti amigdala dan hipokampus. Selain itu, penelitian telah melaporkan
penurunan ukuran dari thalamus dan kelainan pada garis tengah daerah
perkembangan. Tak satu pun dari perubahan ini spesifik untuk skizofrenia,

26
meskipun beberapa telah terbukti ada pada pasien dengan episode penyakit
pertama dan tidak menggunakan obat sebelumnya.7
Teknik fungsional neuroimaging, seperti tomografi emisi positron (PET),
menunjukkan secara in vivo pengukuran metabolisme glukosa regional atau aliran
darah otak, dimana keduanya mencerminkan aktivitas neuron regional. Sebagian
besar penelitian telah mendeteksi perubahan aktivitas di korteks prefrontal,
struktur ganglia basalis, daerah temporo-limbik, dan thalamus, menunjukkan
fungsi sirkuit cortico-striato-thalamo-kortikal yang terganggu. Penurunan aktivitas
dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia sering diamati selama tugas
aktivasi kognitif dan memori kerja. Selama halusinasi pendengaran aktif, aktivasi
abnormal thalamus, striatum, limbik, dan daerah paralimbik telah terdeteksi.
Pasien skizofrenia yang menampilkan kelainan pada bagian prefrontal, thalamic,
dan cerebellar, menunjukkan gangguan dalam sirkuit pontine-cerebellar-thalamic-
frontal.7
Neurokimia
Penemuan menunjukkan bahwa disregulasi dopamin yang kompleks
terjadi dengan aktivitas hiperdopaminergik dalam proyeksi mesencephalic ke
striatum limbik dan aktivitas hipodopaminergik di neokorteks. Bukti dari kegiatan
hiperdopaminergik termasuk hubungan antara efektivitas dopamin reseptor yang
mengikat obat dan pengurangan gejala positif serta peningkatan reseptor D2
dalam studi postmortem dan PET.7
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai gejala positif
berhubungan dengan kelainan dalam penyimpanan dopamin presynaptic,
pelepasan, transportasi, dan reuptake dalam sistem mesolimbik. Hipo-aktivitas
dari sistem dopamin ditunjukkan dari penemuan penurunan onset dopamin pada
pasien dengan gejala negatif, dan dalam beberapa penelitian agonis dopamin telah
terbukti memperbaiki gejala negatif. Pencitraan fungsional juga menunjukkan
bahwa hipo-frontalitas akan lebih parah pada pasien dengan gejala negatif.7
Serotonergik, glutamatergic, dan sistem neurotransmitter lainnya
(misalnya, gamma-aminobutyric acid [GABA]) telah diselidiki pada skizofrenia,
terutama mengacu pada interaksi dengan sistem dopaminergik.. Dalam studi

27
tentang sistem GABAergic, penurunan dekarboksilase asam glutamat, enzim
GABA-sintesis, telah diamati dalam korteks prefrontal pada pasien skizofrenia,
dan perubahan dalam subtipe neuron GABAergic telah dilaporkan.7
Sistem opioid juga telah dianggap sebagai kandidat yang berpotensial
yang terlibat dalam skizofrenia, didasarkan terutama pada kesamaan antara efek
farmakologis dari terjadinya tanda opioid dan kejiwaan. Hipotesis telah diusulkan
pada peningkatan maupun penurunan level dari berbagai peptide opioid sebagai
faktor yang mendasari sebagai penyebab gejala skizofrenia. Namun, penelitian
klinis berdasarkan hipotesis sering menghasilkan hasil variable atau bermacam-
macam.7
2.6. Pedoman diagnostik skizofrenia umum
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a - Thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda; atau
- Thought insertion or withdrawal = isi pikiran yang asing dari luar masuk
kedalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh
sesuatu dari luar dirinya (Withdrawal); dan
- Thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umumnya mengetahuinya.
b - Delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau
- Delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah
terhadap suatu kekuatan dari luar;
(tentang dirinya= secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota gerak
atau kepikiran, tindakan atau penginderaan khusus);
- Delusion perception = pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang
bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik dan mukjizat.

28
c Halusinasi Auditorik :
- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap prilaku
pasien
- Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai
suara yang berbicara atau
- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu atau kekuatan dan kemampuan diatas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca atau berkomunikasi dengan
mahluk asing atau dunia lain).
Atau paling sedikitnya dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
(e). Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja , apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan terus menerus.
(f). Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation) yang berakibat inkoherensia atau pembicaraan yang tidak
relevan atau neologisme.
(g). Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing) atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.
(h). Gejala negatif seperti sikap apatis, bicara yang jarang dan respons
emosional yang menumpul tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunya kinerja sosial, tetapi harus
jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi
neureptika.
Adapun gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal);

29
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal
behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak
berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed attitute), dan
penarikan diri secara sosial.2,8
2.7. Klasifikasi Skizofrenia dan pedoman diagnostik
F20.0 Skizofrenia Paranoid
Pedoman diagnostik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Sebagai tambahan:
- Halusinasi dan/ waham harus menonjol;
(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau
halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling),
mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing).
(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual , atau lain-
lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence) atau passivity
(delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam,
adalah yang paling khas;
- Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif tidak nyata / tidak menonjol.2,8
F20.1 Skizofrenia Hebefrenik
Pedoman Diagnostik
Memenuhi Kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenik untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya 15-25 tahun).
Kepribadian premorbid menunjukan pemalu dan senang menyendiri (solitary),
namun tidak harus demikian untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
berikut ini

30
Untuk meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3
bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini
memang benar bertahan :
- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta
manerisme, ada kecenderungan untuk menyendiri (solitaris) dan perilaku
menunjukan hampa tujuan dan hampa perasaan.
- Afek pasien yang dangkal (shallow) tidak wajar (inaproriate), sering
disertai oleh cekikikan (gigling) atau perasaan puas diri (self-satisfied),
senyum-senyum sendiri (self absorbed smiling) atau sikap tinggi hati (lofty
manner), tertawa menyerigai, (grimaces), manneriwme, mengibuli secara
bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakalI dan ungkapan dan
ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrases), dan
- Proses pikir yang mengalami disorganisasi dan pembicaraan yang tak
menentu (rambling) dan inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
biasanya menonjol, halusinasi dan waham biasanya ada tapi tidak menonjol
(fleeting and fragmentaty delusion and hallucinations). Dorongan kehendak
(drive) dan yang bertujuan (determnation) hilang serta sasaran ditinggalkan,
sehingga prilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of purpose)
Tujuan aimless tdan tampa maksud (empty of puspose). Adanya suatu
preokupasi yang dangkal, dan bersifat dibuat-buar terhadap agama, filsafat, dan
tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan
pikirannya.2,8
F20.2. Skizofrenia katatonik
Pedoman diagnostik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnostik skizofrenia
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya:
a. stupor (amat berkurangnya dalam rekativitas terhadap lingkungan dan dalam
gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara).

31
b. Gaduh-gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang bertujuan, yang tidak
dipengaruhi oleh stimuli eksternal).
c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan
mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh).
d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua
perintah atau upaya untuk menggerakkan atau pergerakan kearah yang
berlawanan).
e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan upaya
menggerakkan dirinya).
f. Fleksibilitas cerea / waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak dan
tubuh dalam posisiyang dapat dibentuk dari luar).
g. gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara
otomatis terhadap perintah) dan pengulangan kata-kata serta kalimat-kalimat.
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain. Penting untuk diperhatikan
bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk diagnostik untuk skizofrenia.
Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik,
atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.2,8
F20.3 Skizofrenia Tak terinci (undifferentiated)
Pedoman diagnostik
Memenuhi kriteria umum untuk diagnosa skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia paranoid, hebefrenik, katatonik.
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skiszofrenia.2,8
F20.4. Depresi Pasca-skizofrenia
Pedoman diagnostik
Diagnosis hanya ditegakkan hanya kalau :
a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini

32
b. Beberapa gejala skizofrenik masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi
gambaran klinisnya); dan
c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit
kriteria untuk episode depresif (F32.-) dan telah ada dalam kurun waktu paling
sedikit 2 minggu.
Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis menjadi
episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-
F20.3).
F20.5 Skizofrenia Residual
Pedoman diagnostik
Untuk suatu diagnostik yang menyakinkan, persyaratan berikut harus di penuhi
semua:
(a) Gejala Negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan
psikomotorik, aktifitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketidak
adaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi
non verbal yang buruk, seperti ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara,
dan posisi tubuh, perawatan diri, dan kinerja sosial yang buruk.
(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimasa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosa skizofrenia
(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan
frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat
berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia
(d) Tidak terdapat dementia, atau penyakit/gangguan otak organik lainnya,
depresi kronis atau institusionla yang dapat menjelaskan disabilitas negatif
tersebut.2,8
F20.6. Skizofrenia Simpleks
Pedoman diagnostik
Skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada
pemantapan perkembangan yang berjalan berlahan dan progresif dari:

33
- Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
- Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu
tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.
Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibanding dengan sub tipe
skizofrenia lainnya.2,8
2.8. Algoritma penatalaksanaan skizofrenia
Terapi Farmakologi

Terapi pada episode akut skizoprenia :


Tujuan terapi 7 hari pertama : mengurangi agitasi, hostility, agresi, anxiety

34
Jika seorang pasien terkena serangan psikotik akut, lebih baik diatasi dengan
meng-imobilisasi pasien dulu dan mengajaknya bicara, kemudian diberi
benzodiazepine untuk penenang dan atau suatu obat antipsikotik
Benzodiazepine (exp: lorazepam 2 mg i.m setiap 30 menit) terbukti efektif
mengurangi agitasi sehingga mengurangi dosis antipsikotik yang
dibutuhkan mengurangi efek samping.
Jika dibutuhkan antipsikosis untuk agitasi yang berat obat potensi tinggi
bisa digunakan, exp: haloperidol 2-5 mg IM setiap 60 menit.
Selanjutnya dapat digunakan antipsikotik lain sesuai algoritma.9,10
Terapi stabilisasi :
Terapi minggu ke 2-3 terapi stabilisasi tujuannya: meningkatkan
sosialisasi dan perbaikan kebiasaan (self-care habits) dan perasaan.
Mungkin perlu waktu 6-8 minggu untuk mendapat respon yang diharapkan,
pada pasien kronis mungkin butuh waktu 3-6 bulan.
Pengobatan : menggunakan antipsikotik atipikal; jika menggunakan obat
tipikal: dosis yang ekuivalen dengan klorpromasin 300-1000 mg dapat
digunakan.
Terapi tidak bisa menyembuhkan, hanya mengurangi gejala.9,10
Terapi pemeliharaan :
Tujuan : mencegah kekambuhan
Harus diberikan sedikitnya sampai setahun sejak sembuh dari episode akut
Bahkan untuk bisa lebih berhasil perlu terapi selama sedikitnya 5 tahun,
kemudian dosis pada diturunkan perlahan-lahan.
Terapi pemeliharaan dapat diberikan dalam dosis setengah dari dosis akut.
Bagi pasien yang kepatuhannya rendah ada obat yang dibuat dalam
formulasi depot contoh : flufenazin dekanoat atau haloperidol dekanoat
dapat diberikan setiap 2-4 minggu sekali secara i.m. tetapi formulasi depot
ini hanya dapat diberikan jika pasien telah memiliki dosis efektif p.o yang
stabil.
Risperidon long acting dengan dosis 25-50 mg IM setiap 2 minggu.9,10

35
36
37
38
BAB III
KESIMPULAN

1. Ciri khas skizofrenia adalah keretakan jiwa atau disharmoni antara proses
berpikir, afek-emosi, psikomotor dan kemauan, berarti ada yang menurun dan
ada yang meningkat.
2. etiologi skizofrenia yang sekarang banyak dianut adalah teori genetik, teori
neurokimia dan teori perkembangan saraf.
3. Sesudah beberapa kali serangan skizofrenia, maka terjadi kemunduran mental
(deteriorasi mental), karena sesudah setiap serangan sering ditinggalkan
cacat.
4. Tujuan pengobatan adalah meredakan gejala-gejala dan mencegah
kekambuhan.
5. Dengan pengobatan sekarang, kira-kira 1/3 dari penderita skizofrenia sembuh
penuh, 1/3 lagi sembuh sosial dan yang sisanya memerlukan
pengobatan/perawatan yang terus-menerus. Namun, dengan intervensi dini
yang komprehensif, angka kesembuhan dapat ditingkatkan.
6. Peranan dokter umum dan dokter keluarga dalam penanganan gangguan
skizofrenia perlu ditingkatkan.3

39

Anda mungkin juga menyukai