Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Tenaga kerja merupakan tulang punggung di bidang industri yang sangat menentukan
keberhasilan dari suatu usaha untuk mempertinggi produksi, produktivitas dan efisiensi
kerja.Keberhasilan tenaga kerja sebagai sumber daya manusia perlu mendapat perhatian
khusus.Baik kemampuan, keselamatan serta kesehatan kerjanya, sekalipun faktor modal,
material yang bermutu baik, serta mesin-mesin canggih tidak dapat dijalankan oleh tenaga kerja
dengan kesehatan yang rendah dan tidak memuaskan. Maka dari itu para pekerja berhak
mendapatkan perlindungan kesehatan dan keselamatan dalam bekerja (Konvensi ILO
No.155/1981) serta mendapatkan pelayanan Kesehatan Kerja ( KonvensiILO No.197/2006; UU
No.36/2009; UU 13/2003). Maka dari itu para pekerja memerlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam menjaga kesehatan dan mencegah terjadinya kecelakaan kerja
(Kurniawidjaja L.M,2010).

Industri dan produksinya mempunyai dampak positif dan negatif kepada manusia. Di
satu pihak akan memberikan keuntungan berupa terciptanya lapangan kerja, mempermudah
komunikasi dan transportasi serta akhirnya terjadi peningkatan kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat. Di pihak lain timbul dampak negatif karena pajanan bahan-bahan yang terjadi pada
proses industri atau oleh karena produk-produk hasil industri tersebut. Pajanan bahan tersebut
dapat mempengaruhi kesehatan lingkungan antara lain berupa pencemaran air karena
pembuangan limbah dari pabrik, pencemaran udara oleh bahan-bahan yang diolah atau karena
asap pabrik tersebut (Mangunnegoro H,2003).

Penyakit akibat kerja disebabkan oleh pajanan terhadap bahan kimia dan biologis, serta
bahaya fisik ditempat kerja.Meskipun angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan
dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat lain, terdapat bukti bahwa penyakit ini
mengenai cukup banyak orang, khususnya di Negara- negara yang giat mengembangkan
industri (Aditama T.Y, 1999).

Menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 86 ayat 1 yang


menyatakan bahwa setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan dan perilaku yang sesuai dengan
harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Sumamur P.K, 2009).

Ratusan juta tenaga kerja diseluruh dunia saat ini bekerja dalam kondisi yang tidak
nyaman dan beresiko terjadinya gangguan kesehatan akibat kerja. Menurut International Labor
Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau
yang di sebabkan oleh pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan
sisanya adalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta
penyakit akibat hubungan kerja baru setiap tahunnya (Buchari,2007).

Di Amerika, The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)
memperkirakan bahwa angka kematian yang terkait dengan Penyakit Paru Akibat Kerja atau
dalam publikasi internasional disebut dengan Occupational Lung Diseases (OLD) sekitar 30%
yang disebabkakan oleh pajanan di tempat kerja. Lebih dari 20 juta pekerja di Amerika Serikat
telah terpajan bahan material yang dapat menyebabkan penyakit sistem pernapasan.Hampir
100.000 kematian akibat kecelakaan atau penyakit akibat kerja, sebagai konsekuensinya banyak
perusahaan beroperasi sederhana, hal ini karena kekhawatiran kesehatan dan keselamatan.

Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2007, diantara semua penyakit akibat
kerja 30% sampai 50% adalah penyakit pneumokoniosis. Selain itu ILO (international Labour
Organization) mendeteksi bahwa sekitar 40.000 kasus baru pneumokoniosis (penyakit saluran
napas) yang disebabkan oleh paparan debu tempat kerja terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya.
Hazard atau faktor resiko penyakit paru di tempat kerja bersumber dari bahan baku, bahan
sampingan, proses produksi, produk atau limbah. Hazard kesehatan paru yang berbentuk
debu/partikel yang berasal dari alam atau buatan akan terpajan tenaga kerja melalui inhalasi
udara di tempat kerja, maka penyakit paru akibat kerja dapat timbul dengan gejala yang
bervariasi yaitu dari ringan hanya batuk-batuk sampai sesak tidak dapat bernapas dengan segala
konsekuensinya : pekerja mungkin jatuh sakit, cacat dan sampai meninggal sehingga suatu
perusahaan akan merugi akibat produktivitas pekerja menurun. Hal ini dikarenakan adanya
penyempitan pada jalan napas (YunusF,2006).

Kasus pneumokoniosis menempati urutan pertama Occupational Diseases (OD) di


Negara Jepang dan China (ILO,2005). Lebih dari 3% kematian akibat penyakit paru kronik di
New York berhubungan dengan pekerjaan (WHO,2007). Sebuah studi di Mesir pada pekerjaan
keramik lebih banyak ditemukan gejala terhadap saluran pernapasan seprti batuk, demam, dan
produksi sputum (Agus D.S,2011).

Kasus pneumokoniosis Program Perlindungan Kesehatan Respirasi (PPKR) merupakan


upaya komprehensif yang bertujuan menurunkan bahkan menghilangkanresiko penyakit paru
akibat pajanan hazard kesehatan di dunia usaha dan dunia kerja. Dari segi manajemen dan
ketenagakerjaan , program ini bermanfaat bagi pekerja yang layak (decent work) dan terlindung
dari risiko menderita sakit, cacat atau kematian yang berkaitan dengan penyakit paru akibat kerja
(PAK Paru) (Kurniawidjaja L.M,2010). Pabrik keramik PT Prima Indah Sanitoun merupakan
pabrik yang bergerak dalam bidang industri closet, dengan jumlah pekerja 57 orang yang
mendominasi pekerjanya adalah laki-laki. Closet tersebut terbuat dari keramik yang berbahan
Secara umum, tingkat pengetahuan pekerja tentang kegunaan alat pelindung diri keselamatan dan
kesehatan kerja sudah cukup tinggi (82,3%), serta tingkat penyediaan alat pelindung diri oleh
perusahaan juga sudah cukup memadai (87,6%). Namun, pekerja yang mengaku selalu
mempergunakan alat pelindung hanya 41,7 %. Hal ini lah yang menandakan rendahnya tingkat
pengetahuan dan kesadaran menggunakan alat pelindungterhadap bahan-bahan berbahaya pada
pekerja pabrik (Yunus F,2006).

Salah satu penyebab minimnya pekerja yang selalu mempergunakan alat

pelindung adalah masih rendahnya kesadaran pekerja dalam memakai alat pelindung diri dan
mematuhinya.Hal ini juga tak terlepas dari faktor pendidikan, sosial budaya, sikap dan perilaku
para pekerja.
1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana tingkat pengetahuan dan sikap tenaga kerja

pabrik penghasil keramik terhadap penyakit paru kerja akibat debu.

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. TUJUAN UMUM

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap tenaga kerja pabrik penghasil

keramik terhadap penyakit paru kerja akibat debu.

1.3.2. TUJUAN KHUSUS

1. Untuk mengetahui penggunaan alat pelindung pada karyawan.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

1. Dari hasil penelitian ini , kita dapat mengetahui bagaimana tingkat

pengetahuan dan sikap tenaga kerja pabrik penghasil keramik terhadap penyakit

paru akibat kerja.

2. Sebagai pacuan untuk memberikan penyuluhan kesehatan dan keselamatan

kerja.

3. Sebagai data dasar dalam menyusul strategi untuk Program Perlindungan

Kesehatan Respirasi.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGETAHUAN

2.1.1. Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu terutama melalui mata dan telinga.Bila seseorang
dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai suatu bidang tertentu dengan lancar, baik
secara lisan maupun tertulis maka dapat dikatakan mengetahui bidang tersebut.Sekumpulan
jawaban verbal yang diberikan orang tersebut dinamakan pengetahuan.Melalui lingkungan
seseorang mendapat pengalaman dan pengetahuan.Pengetahuan dapat diperoleh dari pendidikan
formal atau pendidikan informal.Makin tinggi pendidikan formal seseorang makin luas
pengetahuannya. Pengetahuan merupakan salah satu bentuk operasional dari perilaku manusia
yang dapat mempengaruhi sikap seseorang (Notoatmodjo S,2003).

Menurut Machfoedz, et al (2005) cara orang yang bersangkutan mengungkapkan apa-apa


yang diketahuinya dalam bentuk bukti atau jawaban baik lisan dan tertulis. Bukti atau jawaban
tersebut merupakan reaksi dari suatu stimulus yang dapat berupa pernyataan lisan maupun
tertulis.Seseorang memiliki pengetahuan yang tinggi apabila mampu mengungkapkan sebagian
besar informasi dari suatu objek dengan benar.Demikian juga bila seseorang hanya mampu
menggunakan sedikit informasi dari suatu objek dengan benar maka dikategorikan
berpengetahuan rendah tentang objek tersebut.

2.1.2. Tingkat Pengetahuan Didalam Domain Kognitif

Pengetahuan dalam domain kognitif menurut Notoatmodjo S (2003) mencakup 6 (enam)


tingkatan, yaitu :

a) Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya.Tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.
b) Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara
benar.
c) Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah
dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.
d) Analisa (analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke
dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e) Sintesis (synthesis)
Sintesis merupakan kepala suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f) Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu
materi atau objek.

2.1.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

Notoatmodjo S (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan sangat dipengaruhi oleh


beberapa faktor, yaitu : sosial ekonomi, kultur atau budaya, pendidikan dan pengalaman.

2.1.4. Cara Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang


menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin diketahui atau diukur dapat disesuaikan dengan tingkatan-
tingkatan domain kognitif (Notoatmodjo S,2003).

2.2. SIKAP

2.2.1. Pengertian Sikap

Menurut Notoatmodjo S (2005), sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari
seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup.Sikap merupakan
kesiapan untuk beraksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap
objek.

Sikap juga dikatakan sebagai kecenderungan untuk bertindak, berfikir, berpersepsi, dan
merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukanlah perilaku, tetapi lebih
merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap.

2.2.2. Tingkatan Sikap

Sifat dapat diklasifikasikan dalam berbagai tingkatan, diantaranya adalah sebagai berikut
(Notoatmodjo S,2005) :

a. Menerima (receiving)
Menerima dapat diartikan bahwa orang (subjek) mau dan bersedia mempertahankan
stimulus yang diberikan (objek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mempersiapkan dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari sebuah sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu
benar attau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut
c. Menghargai (valuing)
Indikasi sikap ketiga adalah mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah.
d. Bertanggung jawab (responsible)
Sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko.

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Sikap

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain :

a. Pengalaman pribadi

b. Pengaruh orang lain yang dianggap penting

c. Pengaruh kebudayaan
d. Media massa

e. Lembaga pendidikan dan lembaga agama

f. Pengaruh faktor emosional

2.2.4. Cara Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.Secara langsung
dapat dinyatakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.
Sedangkan secara tidak langsung dapat dilakukan pernyataan-pertanyaan hipotesis, kemudian
ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo S,2003).

2.3. Debu

2.3.1 Pengertian

Debu adalah partikel-partikel zat padat yang disebabkan oleh kekuatankekuatan alami
atau mekanis, seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan pengepakan yang cepat, peledakan
dan lain-lain dari bahan-bahan organik maupun anorganik, misalnya batu, kayu, bijih logam,
arang batu, butir-butir zat padat dan sebagainya (Sumamur PK, 2006).

Menurut Departemen Kesehatan RI (2003) debu ialah partikel-partikel kecil yang


dihasilkan oleh proses mekanis. Jadi pada dasarnya, pengertian debu adalah partikel yang
berukuran kecil sebagai hasil dari proses alami maupun mekanis.

Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di
udara (Suspended Particulate Matter / SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500
mikron (Pudjiastuti W,2002).

2.3.2 Sifat debu

Menurut Pudjiastuti W (2002), dari sifatnya debu dikategorikan pada :

1. Sifat mengendap
Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi. Namun karena ukurannya
yang relatif kecil berada di udara.Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi
partikel yang lebih besar dari debu yang terdapat di udara.
2. Permukaan cenderung selalu basah
Permukaan debu yang cenderung selalu basah disebabkan karena permukaannya
selalu dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis.Sifat ini menjadi penting sebagai
upaya pengendalian debu di tempat kerja.
3. Sifat menggumpal
Debu bersifat menggumpal disebabkan permukaan debu yang selalu basah, sehingga
debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan.
4. Listrik statis (elektrostatik)
Sifat ini menyebabkan debu dapat menarik partikel lain yang berlawanan. Adanya
partikel yang tertarik ke dalam debu akan mempercepat terjadinya proses
penggumpalan.
5. Opsis
Opsis adalah debu atau partikel basah atau lembab lainnya dapat memancakan sinar
yang dapat terlihat pada kamar gelap.

2.3.3 Klasifikasi Debu

Secara garis besar, ada tiga macam debu yaitu :

1. Debu organik seperti debu kapas, debu daun-daunan, tembakau dan sebagainya.

2. Debu mineral yang merupakan senyawa kompleks seperti silikon dioksida (SiO2),
silikon trioksida (SiO3), arang batu dan sebagainya.

3. Debu metal merupakan debu yang mengandung unsur logam seperti timah hitam,
mercuri, aseton dan lain-lain.

Dari segi karakter zatnya, debu terbagi atas :

1. Debu fisik (debu tanah, batu dan mineral )

2. Debu kimia (debu organic dan anorganik)


3. Debu biologis (virus, bakteri, jamur)

Ditempat kerja debu jenis-jenis ini dapat ditemukan seperti dalam kegiatan pertanian,
pengusaha keramik, batu kapur, batubara,dan lain-lain (Pudjiastuti W,2002).

2.3.4. Sumber dan distribusi debu

Secara alamiah partikulat debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh
angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Sedangkan sumber debu yang tidak
sempurna akibat ulah manusia sebagian besar berasal dari pembakaran hutan, pembakaran
batubara, proses industri, dan gas buangan alat transportasi. Debu yang terdapat di dalam udara
terbagi dua, yaitu deposite particulate matter adalah partikel debu yang hanya berada di udara,
partikel ini segera mengendap karena ada daya tarik bumi. Dan Suspended particulate matter
adalah debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Yunus F,2006).

2.3.5. Ukuran Partikel Debu

Masing-masing partikel debu umumnya memiliki bentuk tersendiri yang berbeda satu
sama lain (tidak beraturan, bulat, serat). Konsep yang digunakan untuk mengukur partikel debu
dengan standart partikel aerodinamik. Diameter aerodinamik adalah diameter satuan kepadatan
suatu partikel bulat yang akan jatuh pada kecepatan yang sama di udara.

Table 2.1 Korelasi ukuran dan perilaku partikel.

Diameter aerodinamik Perilaku partikel

(m)

>100 Bila dilepaskan dengan kecepatan tinggi akan jatuh


dengan cepat di sekitar tempat partikel tersebut
dilepaskan. Biasanya tidak terisap ke saluran
pernapasan.

100-30 Karena partikelnya lebih kecil, maka akan terbawa


oleh aliran udara di sekitarnya. Dapat terisap ke
saluran pernapasan, tetapi akan tertangkap oleh
mekanisme penyaringan di hidung. Tidak akan
masuk ke dalam tubuh, kecuali partikel tersebuut
dapat larut oleh cairan di dalam hidung .

30-5 Karena partikelnya jauh lebih kecil, akan terbawa


oleh aliran udara lebih jauh. Mudah masuk ke
dalam cabang-cabang bronkus, tetapi perlahan-
lahan akan dibersihkan oleh mekanisme pertahanan
tubuh. Sebagian dapat terserap ke bagian tubuh bila
partikel tersebut tersimpan cukup lama.

<5 Partikelnya sangat kecil maka akan terbawa oleh


aliran udara dan sangat mudah terisap sampai
masuk ke paru. Namun, partikel akan mengambang
di udara paru karena diameternya sangat kecil dan
mudah dikeluarkan lagi. Selain itu, partikel mudah
pula diabsorpsi ke tubuh karena mengendap di
daerah pertukaran gas.

Sumber : Harrianto R, 2010

Ukuran partikel suatu zat yang terisap mengakibatkan cara penetrasi dan area
penyimpanan yang berbeda-beda di dalam percabangan saluran pernapasan. Dengan demikian,
partikel zat kimia dibedakan menjadi tiga berdasarkan kemampuan absorpsi partikelnya kedalam
tubuh, yaitu :

a. Non-inspirable
Partikel-partikel yang dapat terisap oleh saluran pernapasan, tetapi tidak akan
diabsorpsi ke dalam tubuh karena akan terperangkap oleh mekanisme penyaringan di
hidung.
b. Inspirable
Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk ke
dalam cabang-cabang bronkus dan dapat mengendap di semua bagian saluran
pernapasan, tetapi biasanya perlahan-lahan akan dibersihkan oleh mekanisme
pertahanan tubuh.
c. Respirable
Partikel-partikel yang bila terisap oleh saluran pernapasan akan mudah masuk sampai
ke alveolus sehingga dapat diabsorpsi oleh tubuh (Harrianto R ,2010)

2.3.6. Komposisi Kimia

a. Inert dust

Golongan debu ini tidak menyebabkan kerusakan atau reaksi fibrosis pada paru. Efeknya
sangat sedikit atau tidak ada sama sekali pada penghirupan normal.

b. Poliferatif dust

Golongan debu ini di dalam paru akan membentuk jaringan parut atau fibrosis. Fibrosis
ini akan membuat pengerasan pada jaringan alveoli sehingga mengganggu fungsi paru.
Debu dari golongan ini menyebabkan fibrocytic pneumoconiosis.Contohnya: debu silika,
asbestosis, kapas, berilium, dan sebagainya.

c. Tidak termasuk inert dust dan poliferatif dust


Kelompok debu ini merupakan kelompok debu yang tidak tahan di dalam paru, namun
dapat menimbulkan efek iritasi yaitu debu yang bersifat asam atau asam kuat.

2.3.7. Dampak Pencemaran Udara Oleh Debu

Partikel debu selain memiliki dampak terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan
gangguan sebagai berikut :

a. Gangguan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan


dan pengotoran.

b. Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan poripori


tumbuhan sehingga menggangu jalannya fotosintesis.

c. Merubah iklim global regional maupun internasional.


d. Mengganggu perhubungan / penerbangan yang akhirnya mengganggu kegiatan sosial
ekonomi di masyarakat.

e. Mengganggu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan
pernapasan dan kanker pada paru-paru.

Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada sifat debu, komposisi kimia,
konsentrasi debu dan ukuran partikel debu (Pudjiastuti W,2002).

2.3.8. Pengendalian Dan Penanggulangan Debu

Pengendalian debu dapat berdasarkan empat simpul, yaitu :

a. Simpul I
yaitu pancegahan terhadap sumbernya, antara lain isolasi sumber agar tidak
mengeluarkan debu diruangan kerja dengan local echauster atau dengan
melengkapi water sprayer pada cerobong pembuang asap.
b. Simpul II
yaitu pencegahan dilakukan terhadap media transmisi udara dengan cara memakai
metode basah, yaitu penyiraman lantai dan melakukan pengeboran basah.
c. Simpul III
yaitu pencegahan terhadap tenaga kerja yang terpapar dengan menggunakan Alat
Pelindung Diri (APD) berupa masker.
d. Simpul IV
yaitu pencegahan terhadap penderita atau orang sakit akibat terpajan partikel debu
antara lain melalui pemeriksaan dan pengobatan serta rehabilitas terhadap korban atau
orang sakit.

2.4. Penyakit Paru Kerja Akibat Debu

Penyakit paru kerja adalah penyakit atau kelainan pada paru yang timbul sehubungan
dengan pekerjaan. Berbagai bahan berupa debu, serat dan gas yang timbul pada proses industri.
Tergantung pada jenis bahan tersebut maka penyakit yang ditimbulkannya pun bermacam-
macam (Rampai B,2009).
Penyakit paru kerja yang disebabkan oleh debu dikenal sejak manusia mengenal
penambangan mineral. Berbagai jenis debu mineral dapat menimbulkan pneumokoniosis (Cowie
R.L,2005).

Untuk menentukan adanya penyakit paru yang terjadi berhubungan dengan pekerjaan,
harus dilakukan evaluasi medis yang menyeluruh.Riwayat pekerjaan sehubungan dengan pajanan
bahan harus diketahui, serta ditentukan derajat lama pajanan dan penggunaan alat pelindung.
Masa antara pajanan yang didapat sampai timbul kelainan mungkin berlangsung lama, sehingga
menimbulkan kesulitan dalam menentukan hubungan antara pekerjaan atau penyakit
(Mangunnegoro H dan Yunus F,2003).

Beberapa prinsip yang digunakan secara umum untuk menentukan penyakit paru akibat
pajanan bahan di tempat kerja atau lingkungan antara lain :

a. Sebagian besar penyakit paru disebabkan atau diperberat oleh pajanan dari tempat
kerja atau lingkungan. Jadi pemicu dari tempat kerja dan lingkungan, harus secara terus-
menerus diperhatikan dalam evaluasi dan penatalaksanaan penyakit paru.

b. Sebagian penyakit paru mungkin disebabkan oleh banyak faktor, dan faktor pekerjaan
bias berinteraksi dengan faktor lain. Sebagai contoh : faktor resiko kanker paru pada
pekerja yang terpajan asbes sekaligus merokok lebih besar daripada hanya terpajan asbes
atau merokok secara sendiri-sendiri.

c. Dosis pajanan penting, sebagai faktor pemicu proporsi populasi yang terkena dan
derajat keparahan penyakit. Pajanan dengan dosis yang lebih tinggi biasanya
menyebabkan lebih banyak individu yang terkena serta derajat yang lebih parah (Rampai
B,2009).

2.4.1. Pengertian

Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo berarti paru dan
konis berarti debu (Cowie RL,2005).

Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut :


1. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes
(asbestosis), dan timah (stannosis).

2. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara. Universitas

3. Kelainan yang timbul oleh debu organik seperti kapas (bisinosis) (Yunus F,2004).

International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu


kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan
terhadap debu tersebut (Agus D.S,2011).

Umumnya diperlukan waktu pajanan 10 tahun agar dapat menimbulkan pneumokoniosis.

2.4.2 Epidemiologi

Silikosis, asbestosis, dan pneumokoniosis batu bara merupakan jenis pneumokoniosis


terbanyak. Data di Australia tahun 1979-2002 menyebutkan terdapat >1000 kasus
pneumokoniosis terdiri dari 56% asbestosis, 38% silikosis, dan 6% pneumokoniosis barubara.
Resiko penyakit ini meningkat seiring dengan lama pajanan terhadap partikel silika. Sebanyak
12% pekerja dengan masa kerja lebih dari 30 tahun menderita silikosis (Agus D.S,2011).

Data prevalensi pneumokoniosis nasional di Indonesia belum ada.Data yang ada hanya
data penelitian-penellitain berskala kecil pada berbagai industri yang beresiko terjadi
pneumokoniosis.

2.4.3. Sifat Debu dan Hubungannya dengan Penyakit Paru

Respon jaringan tubuh terhadap debu yang terinhalasi dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain : (Demedts M,2003)

a. Sifat fisik
Keadaan fisik yang berupa partikel uap atau gas, ukuran, dan densitasi partikel, bentuk
dan kemampuan penetrasi yeng mempengaruhi sifat migrasi dan reaksi tubuh.Sifat
kelarutan partikel juga berpengaruh, seperti asbestos dan silika yang merupakan partikel
tidak larut.
b. Sifat kimia
Sifat fibrogenitas merupakan sifat suatu bahan yang menimbulkan fibrosis jaringan.Debu
fibrogenik merupakan debu yang dapat menimbulkan reaksi jaringan paru (fibrosis)
seperti batubara, silika bebas dan asbes.Dan debu nonfibrogenik adalah debu besi, kapur
dan timah.
c. Faktor Penjamu
Faktor ini berperan penting pada respon jaringan terhadap agen/bahan
terinhalasi.Gangguan sistem pertahanan paru alami seperti kelainan genetik, kecepatan
bersihan dan fungsi makrofag. Gangguan sistem pertahanan paru didapat contohnya
karena obat-obatan, asap rokok, dan alkohol. Kondisi anatomi dan fisiologi saluran napas
dan paru mempengaruhi pola pernapasan yang akhirnya mempengaruhi deposit
agen/bahan terinhalasi. Keadaan imunologi juga berperan, contohnya alergi.

2.4.4. Patogenesis Pneumokoniosis

Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan
respon tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.Komposisi kimia, sifat
fisik, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi
pneumokoniosis.Sitotoksisitas partikel debu terhadap makrofag alveolar memegang peranan
penting dalam patogenesis pneumokoniosis.Debu berbentuk quartz lebih sitotoksik dibandingkan
yang sulit larut. Sifat kimiawi permukaan partikel debu yakni aktifitas radikal bebas dan
kandungan besi juga merupakan hal yang penting (Ngurah Rai,2003).

Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respon makrofag alveolar terhadap debu yang
masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya
tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut
aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka akan timbul
reaksi inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas
bawah.Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat
menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian
debu seperti debu batubara tampak relative inert dan menumpuk dalam jumlah relative banyak di
paru dengan reaksi jaringan yang minimal (Yunus F,2004).
Debu inert akan tetap berada di makrofag selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis
lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan
limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas (Ngurah Rai,2003).

Pada debu yang bersifat sitoktoksis, partikel debu yang difagositosis makrofag akan
menyebabkan kehancuran yang diikuti dengan fibrositosis. Partikel debu akan merangsang
makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respon
peradangan dan memulai proses proferasi fibroblast. Mediator yang paling banyak berperan
adalah Tumor Necrosis Factor (TNF)-, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor
dan transforming growth factor (TGF)- yang memacu faktor fibrogenik makrofag alveolar atau
epitel alveolar sehingga memacu pembentukan kolagen selanjutnya terjadi fibrosis. Hilangnya
integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan
kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam
interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di
transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi mediator inflamasi kronik.
Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi
fibroblast dan terjadilah pneumokoniosis (Ngurah Rai,2003).

Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat. Reaksi parenkim dapat
berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan
pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat partikel debu (Yunus F,2004).

2.4.5. Jenis Pneumokoniosis

Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya.

Tabel 2.2 Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya

Jenis debu Pneumokoniosis

Asbes Asbestosis

Silika Silikosis

Batubara Pneumokoniosis batubara


Besi Siderosis

Berilium Beriliosis

Talk Talkosis (talk pneumokoniosis)

Grafit Pneumokoniosis grafit

Debu karbon Pneumokoniosis karbon

Sumber :Agus DS,2011

2.4.6. Ukuran Debu yang Berpengaruh

Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya pneumokoniosis. Dari hasil


penelitian, ukuran tersebut dapat mencapai target organ sebagai berikut:

a. 5-10 m : akan tertahan oleh saluran napas atas dan menimbulkan banyak penyakit
berupa iritasi sehingga menimbulkan penyakitpharyngitis.

b. 3-5 m : akan tertahan oleh saluran pernapasan broncus / bronchioles yang dapat
menimbulkan bronchitis, allergis atau asma.

c. 1-3 m : akan mencapai dipermukaan alveoli.

d. 0,5-0,1 m : akan tertinggal dipermukaan alveoli/selaput lendir

e. sehingga menyebabkan fibrosis paru.

f. 0,1-0,5 m : melayang dipermukaan alveoli.

Menurut WHO 2006 ukuran partikel debu yang membahayakan adalah ukuran 0,1-5 atau
sampai 10 mikron (Pudjiastuti W,2002).

2.4.7. Diagnosis penyakit paru akibat kerja

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.


A. Anamnesis

1. Riwayat pekerjaan

a. Pencatatan pekerjaan dan kegemaran yang terus-menerus atau part time secara kronologis.

b. Identifikasi bahan berbahaya di tempat kerja : bahan yang digunakan pekerja.

c. Hubungan antara pajanan dan gejalan yang timbul : waktu antara mulai bekerja dan gejala
pertama, perkembangan gejala, hubungan antara gejala dengan tugas tertentu, perubahan gejala
pada waktu libur / jauh dari tempat kerja.

2. Keluhan penyakit

a. Batuk (sifat batuk keras / tidak keras), waktu batuk (pagi/siang/malam/terusmenerus).

b. Dahak (pagi/siang/malam/terus-menerus).

c. Napas pendek (waktu jalan cepat, waktu berjalan panjang).

d. Nyeri dada.

3. Riwayat penyakit

Ditanyakan tentang ada tidaknya penyakit/keluhan yang pernah diderita :

a. Batuk

1. Selama 3 (tiga) bulan, terjadi tiap tahun

2. Sifat batuk (keras / tidak keras)

3. Waktu batuk (pagi/siang/malam/terus-menerus)

4. Peningkatan batuk selama 3 minggu atau lebih, selama 1 tahun terakhir

b. Dahak

1. Dahak selama 3 bulan, terjadi tiap tahun

2. Waktu terjadinya dahak (pagi/siang/malam.terus-menerus)


3. Peningkatan dahak selama 3 minggu atau lebih, selama 3 tahun terahir

c. Napas pendek

Selama 12 bulan terakhir pernah mengalami/tidak terbangun tidur malam

d. Mengi (wheezing)

1. Sejak 3 bulan terakhir pernah mengalami/tidak

2. Waktu mengi disertai napas pendek atau napas normal

e. Nyeri dada

Sejak 3 tahun terakhir pernah mengalami/tidak, lamanya 1 minggu

f. Penyakit-penyakit lain yang pernah diderita

1. Kecelakaan/operasi didaerah dada

2. Gangguan jantung

3. Bronchitis

4. Pneumonia

5. Pleuritis

6. TB paru

7. Asma

8. Gangguan dada lainnya

4. Riwayat kebiasaan

Ditanyakan riwayat kebiasaan merokok, meliputi : jumlah rokok yang dihisap, lama
merokok, cara mengisap rokok (dangkal/dalam), umur memulai merokok, jenis rokok (buatan
sendiri/pabrik, menggunakan filter/tidak) dan kontinuiti merokok.
B. Pemeriksaan fisik

Pada kebanyakan kasus pennyakit paru akibat kerja, hasil pemeriksaan fisik relatif tidak
membantu.Pada observasi umum, penyakit paru obstruksi dapat ditemukan sesak napas,
saat istirahat maupun setelah melaksanakan aktivitas sedangkan pada kasus
pneomokoniosis ditemukan jari-jari tabuh, demam tinggi, takipnoe atau kadang sianosis,
dan biasanya ditemukan krepitasi.

C. Pemeriksaan penunjang

1. Foto toraks

Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut ILO untuk interpretasi


gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi.Klasifikasi ini digunakan untuk
keperluan epidemiologi penyakit paru akibat kerja.Perselubungan pada pneumokoniosis dibagi
atas dua golongan, yaitu perselubungan halus dan kasar.

Table 2.3 Klasifikasi ILO (2000) Gambaran Radiologi Pneumokoniosis

Gambaran radiologi Deskripsi

Perselubungan halus

a. bercak kecil bulat


P Diameter sampai 1,5 mm
Q Diameter 1,5 3 mm
R Diameter 3 10 mm
b. bercak kecil ireguler
S Diameter sampai 1,5 mm
T Diameter sampai 1,5 3 mm
U Diameter 3 10 mm

Kerapatan Berdasarkan konsentrasi perselubungan pada zona


yang terkena
0/- 0/0 0/1 Kategori 0 tidak terlihat perselubungan pada zona yang
terkena.
1/0 1/1 Kategori 1 terlihat perselubungan lingkar kecil dengan
jumlah relatif sedikit.
2/1 2/2 2/3 Kategori 2 terlihat beberapa perselubungan ireguler kecil.
Corakan paru tidak jelas.
3/2 3/3 Kategori 3 banyak terlihat perselubungan lingkar kecil.
Corakan paru sebagian atau keseluruhan tidak jelas.

Perselubungan kasar

A Satu perselubungan dengan diameter 1-5 cm atau beberapa


perselubungan dengan diameter >1cm, tetapi bila
dijumlahkan perselubungan tidak melebihi 5cm.

B Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau


lebih banyak dibanding kategori A dengan jumlah luas
perselubungan tidak melebihi luas lapangan paru kanan
atas.

C Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya


melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga
lapangan kanan.

2. Tes Fungsi Paru

Tes fungsi paru merupakan tes kuatitatif dari faal paru, digunakan untuk
menentukan kapasitas fungsi paru dan kemampuannya untuk melakukan
pekerjaan.Dengan demikian dapat digunakan pula untuk membantu menentukan ciri-ciri
dan beratnya penyakit paru kerja.

a. Spirometri dapat dihasilkan pengukuran volume ekspirasi dan inspirasi


individu. Membandingkan hasilnya dengan nilai normal, hal ini berguna untuk
menilai kegagalan fungsi paru (ILO,2000).
b. Tes pernapasan tunggal dengan menggunakan mini-Wright peak-flow meter
portable dapat digunakan untuk tes pernapasan tunggal, yang merefleksikan
beratnya obstruksi saluran pernapasan, dengan mengukur kecepatan hembusan
ekspirasi paksa (peak expiratory flow rate,PEFR). Pengukuran serial PEFR
mencatat hembusan ekspirasi paksa sebelum,selama dan setelah jam kerja, serta
selama liburan, paling tidak selama 1 minggu (Harrianto R,2010).

3. Analisis debu penyebab

Pada kondisi tertentu, diperlukan diagnosis pasti pajanan bahan di lingkungan


kerja dengan analisis bahan biologi (sputum, bronchoalveolar lavage/BAL).pemeriksaan
BAL membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan ini dapat terlihat debu di dalam
makrofag dan jenis debu kemungkinana dapat diidentifikasi menggunakan mikroskop
elektron. Pada kasus asbestosis dapat ditemukan serat asbes dan asbestos body (AB). AB
adalah bahan yang berbentuk secara intraselular dan berasal dari satu atau lebih makrofag
alveolar yang bereaksi dengan serat asbes (Harrianto R,2010).

Pada silikosis, makrofag yang ditemukan dalam BAL berisi partikel granit yang
semakin lama riwayat pajanan terdapat debu granit maka akan semakin banyak
ditemukan makrofag tersebut.

2.4.8. Tatalaksana

Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, mengilang ataupun berkurang


progresivitas hanya dengan menjauhi pajanan. Tatalaksana medis umumnya terbatas
hanya pengobatan bersifat simptomatik. Pemberian oksigen dan bronkodilator bila
terdapat keadaan hipoksemia dan obstruksi (Cowie RL,2005).

Pencegahan penyakit akibat kerja dapat berupa :

1. Bahan penyebab penyakit dapat diidentifikasi, diukur dan dikontrol.

2. Populasi yang beresiko mudah diawasi secara teratur dan diobati.

3. penggunaan APD (Alat Pelindung Diri).


APD yang baik adalah yang memenihi standart keamanan dan kenyamanan bagi
pekerjanya (Safety and Acceptation).APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada
lingkungan kerja dengan paparan debu konsentrasi tinggi adalah :

a. Masker untuk melindungi debu atau partikel-partikel yang masuk ke


pernapasan dapat terbuat dari kain yang memiliki ukuran pori-pori tertentu.

b. Respiratori pemurni udara dapat membersihkan udara dengan cara menyaring


atau menyerap toksinitas rendah sebelum memasuki sistem pernapasan (Habsari
ND,2003).

Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Dapat dilakukan dengan


mengurangi kadar debu, lama pajanan, dan melakukan deteksi dini dengan cara
pemeriksaan berkala.
BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. KERANGKA KONSEP

Tingkat Pengetahuan
Penyakit Paru Kerja Akibat Debu

Sikap

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

1. Tingkat pengetahuan merupakan hasil dari tahudan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengideraan terjadi melalui panca indra manusia,
yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba.

2. Sikap adalah reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus
atau objek.

3. Penyakit paru kerja akibat debu adalah penyakit atau kelainan pada paru yang timbul
sehubungan dengan pekerjaan yang disebabkan oleh debu.

3.3. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian total sampling yaitu sampel yang diambil
dari keseluruhan tenaga kerja pabrik keramik di PT Prima Indah Sanitoun Kota Binjai

3.4. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di PT Prima Indah Sanitoun Kota Binjai selama bulan September
dan Oktober 2013.

3.5 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh tenaga kerja di PT Prima Indah Sanitoun
Kota Binjai yaitu sejumlah 57 orang. Sampel adalah bagian dari populasi yang mewakilkan
populasi yang akan diambil (Notoadmojo S,2005).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua tenaga kerja PT Prima Indah Sanitoun Kota
Binjai, yaitu sejumlah 57 orang.

3.6 METODE PENGUMPULAN DATA

Metode Pengumpulan data ialah cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk
mengumpulkan data. Metode (cara atau teknik) menunjukkan suatu kata yang abstrak dan tidak
di wujudkan dalam benda, tetapi hanya dapat dilihat menggunakan angket, wawancara, ujian
(tes), dokumentasi dan lainnya.

Alat ukur yang digunakan dalam penetian ini adalah kuesioner.Kuesioner adalah daftar
pertanyaan yang diberikan langsung kepada responden sesuai dengan permintaan pengguna.

3.6.1 Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data.Pengumpulan data
dilakukan dengan pengisian kuesioner oleh responden yang dilakukan secara langsung oleh
peneliti terhadap sampel penelitian.

3.6.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh langsung dari bagian administrasi PT Prima
Indah Sanitoun.

3.6.3. Uji Validitas dan Reabilitas

Pada penelitian ini digunakan kuesioner yang berisi pertanyaan yang berhubungan
dengan tingkat pengetahuan dan sikap tenaga kerja PT Prima Indah Sanitoun terhadap penyakit
paru kerja akibat debu. Kuesioner ini akan diuji validitas dan reabilitasnya dengan menggunakan
program Statistical Product and Service Solutions (SPSS).

Sampel yang digunakan dalam uji validitas ini memiliki karakter yang hampir sama
dengan sampel dalam penelitian. Uji validitas dan reabilitas kuesioner dilakukan dengan jumlah
sampel sebanyak 20 subjek.

Setelah kuesioner valid, peneliti akan membagikan kuesioner pada subjek penelitian dan
menyetujui informed consent

Anda mungkin juga menyukai